“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy?”: Nihilisme Baudrillard, Reversibilitas, dan Perlawanan...

15
“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy?”: Nihilisme Baudrillard, Reversibilitas, dan Perlawanan Simulakrais indoprogress.com /2014/11/apa-yang-kamu-lakukan-setelah-orgy-nihilisme-baudrillard- reversibilitas-dan-perlawanan-simulakrais/ Harian Indoprogress “Satu-satunya kenikmatan sejati di dunia ini adalah untuk menyaksikan segala sesuatu ‘berbalik’ menjadi bencana, untuk akhirnya keluar dari determinasi dan indeterminasi, dari peluang dan keniscayaan, dan memasuki kenyataan tentang keterkaitan yang memusingkan dimana, suka atau tidak suka, segala sesuatu sampai pada akhirnya tanpa melalui cara-caranya, dimana kejadian-kejadian menghasilkan efek tanpa melalui penyebabnya.”[1] “Apa yang menarik bagi saya sebenarnya adalah suatu hal semacam strategi fatal … yang membongkar tatanan indah ketak-terbalikkan (irreversibility), yaitu tentang finalitas segala sesuatunya. Saya kira apa yang mengganggu orang adalah ide mengenai reversibilitas saat ia terberi sebagai sesuatu semacam hukum. Saya tidak menganggapnya sebagai suatu hukum. Saya menerimanya sebagai aturan permainan.”[2] — Jean Baudrillard DARI sekian banyak konsep yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, satu yang kurang begitu mendapat sorotan adalah konsep reversibilitas (reversibility),[3] yaitu yang saya artikan sebagai suatu potensialitas inheren untuk berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah, bentuk, model dan intensi yang digariskan sedari mula. Seperti yang akan saya perjelas pada bagian-bagian berikutnya,

Transcript of “Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy?”: Nihilisme Baudrillard, Reversibilitas, dan Perlawanan...

“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy?”: NihilismeBaudrillard, Reversibilitas, dan PerlawananSimulakrais

indoprogress.com /2014/11/apa-yang-kamu-lakukan-setelah-orgy-nihilisme-baudrillard-reversibilitas-dan-perlawanan-simulakrais/

Harian Indoprogress

“Satu-satunya kenikmatansejati di dunia ini adalah untukmenyaksikan segala sesuatu‘berbalik’ menjadi bencana,untuk akhirnya keluar darideterminasi dan indeterminasi,dari peluang dan keniscayaan,dan memasuki kenyataantentang keterkaitan yangmemusingkan dimana, sukaatau tidak suka, segalasesuatu sampai pada akhirnyatanpa melalui cara-caranya,dimana kejadian-kejadianmenghasilkan efek tanpamelalui penyebabnya.”[1]

“Apa yang menarik bagi sayasebenarnya adalah suatu halsemacam strategi fatal … yangmembongkar tatanan indahketak-terbalikkan(irreversibility), yaitu tentangfinalitas segala sesuatunya.Saya kira apa yangmengganggu orang adalah idemengenai reversibilitas saat iaterberi sebagai sesuatusemacam hukum. Saya tidakmenganggapnya sebagaisuatu hukum. Sayamenerimanya sebagai aturanpermainan.”[2]

— Jean Baudrillard

DARI sekian banyak konsep yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, satu yang kurang begitumendapat sorotan adalah konsep reversibilitas (reversibility),[3] yaitu yang saya artikan sebagaisuatu potensialitas inheren untuk berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah, bentuk, model danintensi yang digariskan sedari mula. Seperti yang akan saya perjelas pada bagian-bagian berikutnya,

reversibilitas ini adalah fitur ontologis dari realitas dalam pemahaman Baudrillard. Jika hiper-realitasBaudrillardian cenderung menekankan suatu konsepsi realitas yang terdiri dari silang sengkarutbanalitas simulakra, maka, demi kepentingan pembeda, saya akan menyebut Baudrealitas sebagaihiperealitas yang menekankan potensi reversibilitas dari realitas. Realitas, dengan demikian memilikidua wajah: hiper-realitas dan Baudrealitas.

Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangannihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia.[4]Repetisi melelahkan akan konsep-konsep seperti simulakra, simulasi dan hiper-realitas nampaknyatelah mendiskreditkan konsep Baudrillard yang lain – yaitu reversibilitas, misalnya – yang menurutpenulis memiliki potensi perlawanan terhadap ketiga konsep sebelumnya. Artikel ini mencobamengangkat konsep reversibilitas, dan bagaimana ia berimplikasi bagi pemahaman kita baik tentangsemesta realitas maupun filsafat Baudrillard sendiri. Kesemuanya ini demi menyudahi dan melawaneuforia selebrasi pseudo-liberal posmodernisme, atau yang disebut Baudrillard sebagai orgy[5]. Ya,posmodernitas adalah sebuah orgy.

Pilihan saya untuk menyoroti konsep reversibilitas ini bukan sekedar pilihan suka atau tidak suka,melainkan ia berdasarkan dari beberapa urgensi dan memiliki beberapa implikasi, baik filosofismaupun praksis (setidaknya yang saya kampanyekan, yaitu perlawanan sistemik terhadap totalitastatanan kapitalisme-neoliberal hari ini). Pertama, konsep ini merupakan salah satu cara untukmembawa karya-karya Baudrillard dari jurang nihilisme naïf, [6] yang notabene juga kerap dijumpai dipikiran para cerdik pandai Indonesia. Cara ini, harus diakui, bukanlah suatu cara à la Baudrillard untukmelampaui nihilisme. Baudrillard sendiri lebih memilih membawa nihilisme ini sampai pada limitnya,eksesnya, sehingga ia akan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam (implosi).[7] Namun demikian,sayangnya (sejauh yang saya amati), Baudrillard tidak menunjukkan caranya (selain seruan untukterus mengkonsumsi, seperti di Consumer Society). Akibatnya, proposal ini hanya menjadi retorikapolitik asesorial, jika bukan kepercayaan mesianik yang naïf.

Tidak ada salahnya dengan ini, hanya saja, kita tidak akan pernah tahu, apalagi mampu mengevaluasi,sejauh mana proposal ini berhasil. Interpretasi ini akhirnya hanya akan meninggalkan kita terkatung-katung di samudera hiperealitas, dalam toleransi fatalis terhadap pluralisme realitas, dan berpesta-pora sampai mati dalam posmodernitas sembari menunggu sang ratu adil datang membawakankebenaran mulianya. Politik, jika ada, akhirnya tak lebih dari sekedar sebuah bingkisan etik/fatsoenyang banal dan obesitas alibi etika dan moral yang tak berdasar. Singkatnya, politik sama dengan NOLbesar dalam hiperealitas posmodern berikut filosofi yang mempropagandakannya—posmodernisme.

Kedua, konsep reversibilitas mampu menunjukkan jalan untuk memanjat jurang nihilisme ini, tepatdengan cara yang sama seperti ia menjebak kita semua dalam jurang tersebut. Sumbangsih pentingBaudrillard adalah menunjukkan bahwa pada nihilisme, selalu terdapat momen reversibilitas. Segalasesuatunya, pasca nihilisme (yaitu pasca pengosongan esensi; pasca simulasi ke dalam tatanansimulakra) memiliki potensi untuk dibolak-balik arahnya, logikanya, “isi”-nya, orientasinya, dst.Konsekuensi nihilisme—yaitu matinya esensi, orisinalitas, dan otentisitas—tidak lantas berujung padaapatisme dan sinisme apolitis—sebagaimana yang banyak diderita Baudrillardian posmodern (baca:para nihilis pasif). Reversibilitas merupakan potensi politik peninggalan Baudrillard untuk membongkarsistem yang telah dideskripsikannya dengan baik: hiper-realitas.

Tujuan utama tulisan singkat ini, sebagaimana yang mungkin sudah bisa dideteksi, adalah suatueksperimentasi teoretiko-politis untuk memahami, demi kemudian mendeteksi celah (yi. reversibilitas)dari tatanan simulakra. Untuk sampai kepada tujuan ini, tulisan ini akan pertama-tama membahasperkembangan konsep reversibilitas dalam pemikiran Baudrillard sendiri, lalu mencoba memberikanrumusan yang padu. Berikutnya konsep ini dipakai untuk menggeser cara pandang umum mengenaihiper-realitas (a la posmodern), yang menurut penulis, kontra-produktif bagi seluruh perjuangan politikmelawan tatanan simulakra itu sendiri. Sampai sini setidaknya motivasi utama artikel ini jelas: yaitumerebut warisan Baudrillard dari cengkeraman pesimisme nihilisme naïf à la posmodernisme untukkemudian menggunakannya balik untuk menghantam posmodernitas itu sendiri, berikut nabi-nabi

posmodern yang menopangnya, termasuk, jika perlu, para Baudrillardian sendiri. Forget Baudrillard?No! Forget (postmodern) Baudrillards![8]

Menyudahi Transendensi dan Orgy Posmodernisme

Secara kronologi intelektual, Baudrillard pertama kali mengembangkan konsep reversibilitas ini padatiga bukunya Symbolic Exchange and Death (1976), Forget Foucault (1977) dan Seduction (1979).Latar belakang pengembangan konsep ini tentu saja adalah pelajaran yang ia petik saat bergulatdengan kontradiksi yang ia temukan dalam pemikiran Marx, dan dalam aplikasi pemikiran Marxtersebut ke realitas sosial saat itu. Pelajaran tersebut tak lain adalah matinya transendensi. Dalampemikiran Marx, Baudrillard menunjukkan titik buta dari seluruh sistem pemikiran tersebut mengenaikapital, yaitu pada konsep ‘produksi’ yang berfungsi seoah-olah sebagai metafisika transenden.Produksi, sebagai konsep, tidak pernah dipertanyakan Marx; seolah-olah ia adalah konsep absolut-universal yang berlaku di sepanjang sejarah. Padahal, sebagaimana Baudrillard buktikan di zamannyasendiri (tepatnya, kapitalisme pasca-Fordis dan/atau kapitalisme pasca-Industri), konsep tersebut telahberubah.[9]

Sebagaimana ditunjukkan Baudrillard, yang terutama akan semakin jelas pada tahun-tahunberikutnya, produksi dalam kapitalisme kontemporer, adalah selalu produksi akan tanda yang tidakmemiliki acuan apapun. Produksi di kapitalisme kontemporer, adalah simulasi tanda-tanda. Sehinggatepatlah judul buku Baudrillard berikutnya: The Political Economy of Sign. Namun demikian,produksi/simulasi tanda ini tidak selalu harus diartikan sesempit produksi iklan, pencitraan dan produk-produk berbasis citra. Bahkan, yang ingin penulis tekankan, produksi/simulasi tanda yang dimaksudBaudrillard harus dipahami lebih dari ini; ia juga berpengaruh pada ekonomi kapitalis yang tradisionaljuga. Mengapa demikian?” Penjelasan dalam kata-kata Baudrillard sendiri, sbb.:

“Dengan mengangkat produksi ke abstraksi total (yi. produksi demi produksi itu sendiri),ke kekuatan kode, yang bahkan tidak lagi beresiko menjadi dipertanyakan oleh suatuacuan yang ditiadakan, sistem ini berhasil menetralisir tidak hanya konsumsi,melainkan juga produksi itu sendiri sebagai suatu medan kontradiksi. Daya-dayaproduksi sebagai suatu acuan (substansi ‘obyektif’ dari proses produksi) dan dengandemikian juga sebagai suatu acuan revolusioner (motor dari kontradiksi modusproduksi) kehilangan dampak spesifiknya, dan dialektika tidak lagi beroperasi di antaradaya-daya produksi dan relasi-relasi produksi, persis karena ‘dialektika’ tidak lagiberoperasi di antara substansi tanda-tanda dan tanda-tanda itu sendiri.”

[Through the elevation of production to a total abstraction (production for its own sake),to the power of a code, which no longer even risks being called into question by anabolished referent, the system succeeds in neutralizing not only consumption, butproduction itself as a field of contradictions. Productive forces as a referent (‘objective’substance of the production process) and thus also as a revolutionary referent (motor ofthe contradictions of the mode of production) lose their specific impact, and the dialecticno longer operates between productive forces and relations of production, just as the‘dialectic’ no longer operates between the substance of signs and the signsthemselves.][10]

Pandangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Baudrillard sudah mengantisipasi dominasikapitalisme finansial yang akan terjadi justru dua dekade berikutnya. Kapitalisme finansial mencobamengabstraksikan suatu produk/komoditas ke dalam bit-bit/angka—angka yang nantinya disebut‘indeks harga’. Indeks harga ini dipertukarkan sedemikian rupa dalam bursa saham. Akhirnya, bursasaham ini menjadi ujung tombak akumulasi kapital bagi perusahaan (bahkan ia menjadi mimpi bagi

perusahaan-perusahaan yang belum go public). Lini produksi akhirnya diperketat bukan demimeningkatkan kualitas komoditas per se, melainkan demi meningkatkan performa (ya, performa—yaitupagelaran rangkaian tanda!) di mata pemegang saham dan calon investor. Sampai di sini perluditandaskan bahwa dominasi kapitalisme finansial dan pasca-industri tidak serta-merta menafikankerja-kerja manufaktur tradisional. Namun kerja-kerja manufaktur tradisional ini harus diletakkan dalamkonteks dominasi kapitalisme finansial/pasca-industri ini. Karena, sebagaimana ditekankanBaudrillard, “[p]roduksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya.”

“Secara ekonomis, proses ini memuncak pada otonomi internasional semu kapitalfinansial, pada permainan kapital mengambang yang tak terkendalikan. Saat mata uangdicerabut dari pertana-pertanda produksi, dan bahkan dari acuan standar dolar,ekwivalensi universal* (general equivalence) menjadi tempat strategi dari manipulasi.Produksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya. Puncak kejayaan sistemik iniberkaitan erat dengan kemenangan kode.”

[Economically, this process culminates in the virtual international autonomy of financecapital, in the uncontrollable play of floating capital. Once currencies are extracted fromall productive cautions, and even from reference to the gold standard, generalequivalence becomes the strategic place of the manipulation. Real production iseverywhere subordinated to it. This apogee of the system corresponds to the triumph ofthe code.][11]

Pembahasan ini bisa berlanjut bahkan sampai menjelaskan kolapsnya perekonomian dunia (1995 diMexico, 1998 di Asia, 2002 di Argentina, 2008 Subprime Mortgage di AS, 2010 Eurozone, 2011Yunani), yang lagi-lagi sudah diramalkan oleh Baudrillard sendiri. Namun bukan ini yang menjaditujuan utama tulisan ini. Yang ingin ditunjukkan melalui fenomena finansialisasi dan krisis kapitalismeini adalah bahwa matinya transendensi ekonomi, yaitu produksi, berimplikasi pada ke-“serbamungkin”-an produksi itu sendiri, bahkan kemungkinan akan bunuh dirinya (suicide) sistem produksiitu sendiri (baca: krisis kapitalisme). Kondisi serba mungkin yang tidak menentu inilah yang disebutnyasebagai kondisi reversibilitas.

Sekiranya jelas bahwa kondisi reversibilitas ini menjadi nampak saat transendensi berakhir, atau lebihtepatnya, diakhiri. Selama landasan dan fundamen segala sesuatu (ekonomi: produksi; agama: tuhan;politik: kebaikan; kuasa: kekerasan, hukum: keadilan dst.) masih diasumsikan ada, yang padahal tidakpernah ada, maka segala sesuatu akan tampak irreversible. Inilah arti penting reversibilitasBaudrillardian; ia mampu menunjukkan celah dari kebuntuan katastrofik hiper-realitas lautan simulakra.Memahami realitas secara Baudrealitas dengan demikian pertama-tama akan menghalau seluruhkonsepsi orisinalitas, keaslian, otentisitas, ke-nyata-an, kebenaran, dst., atau dengan kata lain“membunuh” realitas itu sendiri, mengosongkannya dari esensinya. Berikutnya, mengangkat danmenampakkan dimensi reversibilitas dari realitas tersebut, sedemikian rupa sehingga realitas taditampak tidak lebih sebagai ilusi. Namun sekali lagi, mencoba menyelamatkan ilusi dari kepasifanfatalis para posmodern, ilusi di sini tidak seharusnya dilihat sebagai titik akhir; melainkan ia adalah titikawal dari mana politik dimulai, dari mana sejarah perlawanan mulai dicatat. Mengapa demikian?Karena “[s]ejarah tidak akan berakhir—karena sisa-sisanya, seluruh residunya – Gereja, komunisme,kelompok etnis, konflik, dan idiologi— dapat didaur-ulang terus-menerus secara tak terbatas.” [[h]istorywill not come to an end – since the leftovers, all the leftovers – the Church, communism, ethnic groups,conflicts, ideologies – are indefinitely recyclable].[12]

Penekanan tentang poin ini dirasa penting semenjak kecenderungan penerimaan terhadap pemikiranBaudrillard ini (dan pemikiran yang disebut “posmodern” secara umum) selalu berujung pada sikapapolitis/apatis[13] yang berujung pada aspirasi liberal akan perayaan banalitas, pluralitas dan multi-kulturalisme.[14] Pula sikap ini akan menarik orang pada ruang-ruang privat kehidupan, padaspiritualitas (baik baru maupun lama), pada etika-diri dan moralitas, pada romantisisme masa lalu, dst.,yang justru hanya mengulang apa yang ingin dilawan Baudrillard (dan posmodernisme itu sendiri).Lainnya, orang akan berkubang pada pragmatisme (dalam arti sempit) kehidupan dengan merayakanhedonisme dan workaholism, seraya menghindari kompleksitas kehidupan dengan kembali menarikdiri ke ruang-ruang privat yang juga telah disediakan sebelumnya (agama, kesenian murni, yoga,bisnis, sekte-motivasi, video game, dst.). Singkatnya, afirmasi pasif dari nihilisme hanya akan berujungpada fundamentalisme: kesenangan, keyakinan, identitas, dan pasar. Posmodernisme danfundamentalisme adalah satu koin yang sama dengan dua wajah berbeda.

Momen posmodern—dalam artian runtuhnya tiang-tiang metafisik penyanggah segala sesuatu,diartikan Baudrillard sebagai suatu kematian (death). Namun demikian, perayaan Baudrillard akankematian ini tidak seperti euforia fundamentalis yang barusan dipaparkan. Malahan Baudrillardmenyebut euforia ini sebagai orgy—suatu metafora yang digunakannya untuk menunjukkan kondisi“apa saja boleh.” Orgy adalah konsekuensi dari matinya transendensi yang bermuara pada apatismedan apolitisme. Baudrillard kemudian bertanya,

“Jika saya harus mengarakterisasikan kondisi yang baru ini, saya akan menyebutnya‘setelah orgy’. Orgy bisa dilihat sebagai suatu keseluruhan pergerakan modernitas,dengan ragam rupa liberasinya – liberasi politik, liberasi seksual, [dst.] Jika andamengehndaki pendapat saya, hari ini segala sesuatunya terliberasi. Permainan sudahberakhir, dan kita bersama-sama dihadapkan pada pertanyaan penting: ‘apa yang kamulakukan setelah orgy?’”

[If I had to characterize this new state of affairs, I would call it ‘after the orgy’. The orgyis in a way the whole explosive movement of modernity, with its various kinds ofliberation – political liberation, sexual liberation, [etc.] If you want my opinion, todayeverything is liberated. The game is over, and we collectively confront the crucialquestion: ‘What are you doing after the orgy?’][15]

Jelas, jika pertanyaan “apa yang kamu lakukan setelah orgy?” diajukan ke Baudrillard, maka ia akanmenjawab: reversibilitas.

“Mulai saat ini kita akan hidup dalam sebuah dunia tanpa yang orisinil, seperti yangpernah terjadi pada obyek dan citra sebelum kesenian ada. Dan dalam ketiadaanorisinalitas kita dapat menemukan kembali beberapa dari bentuk-bentuk ritual ini,namun yang pasti itu semua tidak akan sama dengan yang pernah ada sebelum zamanestetika. Bentuk dan citra kita adalah melampaui estetika, sama seperti media kita yangmelampaui benar dan salah, dan nilai-nilai kita yang melampaui baik dan jahat. Namunselalu ada satu titik melampaui penghujung yang memudar ini. Selalu ada suatu masasetelah orgy. Suatu rahasia reversibilitas mengeram dalam segala sesuatu, bahkansaat ia tampak tak terbalikkan. Reversibilitas itu indah.”

[From now on we will live in a world without originals, as it was for objects and imagesbefore art existed. And in the absence of originality we may recover some of these ritualforms, but certainly they will not be the same as those existing before the age ofaesthetics. Our forms and images are beyond aesthetics, just as our media are beyondthe true and the false, and our values are beyond good and evil. But there is always apoint beyond the vanishing point. There is always a time after the orgy. A secretreversibility lies in all things, even when they seem to be irreversible. Reversibility isbeautiful.][16]

Reversibilitas, Seduksi, Miskonstruksi

Mereka yang sudah memahami kondisi kontemporer sebagai suatu “kematian,” dan ingin beranjakpada kondisi ini akan segera dihadapkan Baudrillard pada konsep reversibilitas. Memahamireversibilitas, mirip seperti dekonstruksi Derridean, harus melihatnya sebagai “telah selalu bekerja”(always already at work). Jadi, reversibilitas bukanlah suatu usaha dari luar untuk mengutak-atik suatukonsep/obyek lalu memutar-balikkannya. Reversibilitas telah selalu ada pada segala sesuatu, bahkan

saat sesuatu tersebut tampak kokoh, mantap dan padu. Sekali lagi, untuk menyadari dimensireversibilitas ini, syarat utama yang harus dipenuhi adalah dengan membuang jauh-jaug pandanganbahwa konsep/obyek yang akan direversi tersebut memiliki esensi dan substansi yang fix, asali, yang“dari sananya.” Saat konsep/obyek tersebut telah dikosongkan, maka yang tersisa adalah suatu‘kontingensi absolut’, suatu potensi reversibilitas yang tak terbatas. Jadi, seluruh kulit dan kerangka(forma) dari konsep/obyek tersebut, minus substansi/esensi/maknanya, tersisa bagi kita untukdimainkan sesuka hati, diisi dengan esensi/substansi apapun, diarahkan kemanapun.

Menarik untuk sejenak membahas kritik Baudrillard terhadap Foucault, baik esensi kritiknya maupunforma kritiknya. Secara esensi, kritik Baudrillard berusaha menunjukkan bahwa pandangan Foucaultmengenai kekuasaan yang tersebar, mikro dan relasional sebenarnya hanya dimungkinkan saat ia(tanpa disadari), dan kita semua, menerima kenyataan bahwa kekuasaan telah mati. Kekuasaantradisional, yang berbasikan sumber-sumber baik ilahi maupun modern (hukum, rakyat, ideperdamaian universal), telah berakhir.[17]

“[Bagaimana] jika Foucault berbicara dengan sangat baik mengenai kuasa—dan jangansampai kita melupakannya, yaitu yang dalam artiannya yang obyektif riil mencakupbermacam-macam pembelokkan namun tidak mempertanyakan sudut pandangseseorang tentangnya, dan mengenai kuasa yang tercacah-cacah namun yang prinsiprealitasnya tidak dipertanyakan—hanya karena kuasa itu sendiri telah mati?”

[[What] if Foucault spoke so well of power to us—and let us not forget it, in realobjective terms which cover manifold diffractions but nonetheless do not question theobjective point of view one has about them, and of power which is pulverized but whosereality principle is nonetheless not questioned—only because power is dead?][18]

Dari segi forma, maka kerja kritik Baudrillard tersebut juga menunjukkan reversibilitas at work.Baudrillard mengosongkan intensi Foucault, yaitu untuk memahami mekanisme kuasa (atau yangdisebutnya sendiri, “the ‘how’ of power” [19]) dari keseluruhan proyek intelektual Foucault (terutama,yang dibahas buku itu, Discipline and Punish dan History of Sexualtiy, vol 1 ), untuk kemudianmenggantikannya dengan intensinya sendiri, yaitu menunjukkan bahwa “kuasa telah mati.” Iamenggunakan seluruh bangunan teoritik Foucault untuk menunjukkan akhir lain yang tidak dilihatFoucault, yang menanti di penghujung masyarakat disipliner Foucault: yaitu simulasi kekuasaan yangnotabene menjadi ketertarikan Baudrillard sendiri.

Baudrillard sendiri telah menunjukkan bagaimana caranya eksploitasi reversibilitas itu dilakukan.Namun setidaknya ada beberapa yang bisa penulis rangkumkan: pertama-tama adalah denganmemahami keseluruhan struktur sistemik dan logika internal beroperasinya obyek/konsep yang akandireversi. Memahami logika internal yang dimaksud adalah memahaminya dalam obyektivitas danfaktisitas singularnya; singkatnya, memahaminya in its own term. Di sini sekiranya perlu upaya suaturehabilitasi konsep ‘obyektivitas’ dari Positivisme yang semata-mata mengartikannya sebagaikeberjarakan subyek terhadap obyek yang diamatinya, yang notabene mustahil sebagaimanaditunjukkan Mazhab Kritis Frankfurt. Obyektivitas harus dipahami sebagai suatu kondisi dimana suatuobyek memiliki logika internalnya sendiri yang secara relatif otonom terhadap manusia. Unsur-unsurmanusiawi seperti kekuasaan, hasrat, moral, etika, bahasa, dst., dengan demikian harus diusir keluardari analisis obyektif. Memahami suatu artifak budaya misalnya, tidak bisa selamanya diletakkan padakehendak bebas sang penciptanya atau relasi kepentingan/kuasa yang melatar-belakanginya (sisimanusia), melainkan harus melihat dari sisi materialitas spesifik artifak tersebut. [20] Begitu pula dalammemahami kapitalisme, tidak bisa selamanya meletakkannya dalam koridor “demi kesejahteraanbersama,” “demi kepentingan nasional,” “kepentingan komprador,” “intervensi asing,”“zionis!” dst.;kapitalisme memiliki logikanya sendiri diluar ini semua: yaitu perpetuasi akumulasi dirinya sendiri!

Kedua, mengarahkan logika tersebut ke arah sesuai yang dikehendaki. Setelah obyektivitas sistem

didapatkan, barulah politik masuk. Namun kali ini, ia tidak masuk dan mengintervensinya secaramembabi-buta; sebaliknya, ia diam-diam, secara klandestin, menyabotase sistem tersebut ke arahyang diinginkan. Persis seperti yang dikatakan Baudrillard, yaitu bahwa kita harus

“sampai pada suatu pandangan tentang sistem yang menyusuri logika internal sampaiakhir, tanpa menambah suatu apapun, namun yang, dalam waktu bersamaan,membalikkan sistem secara total, mengungkapkan nir-maknawinya yang tersembunyi,sang Tiada yang menghantuinya, ketidak-hadiran dalam jantung sistem, bayang-bayang yang mengiringinya.”

[arrive at an account of the system which follows out its internal logic to its end, withoutadding anything, yet which, at the same time, totally inverts that system, revealing itshidden non-meaning, the Nothing which haunts it, that absence at the heart of thesystem, that shadow running alongside it.][21]

Sebenarnya, inilah yang juga dimaksudkan Baudrillard melalui konsep seduksi-nya (seduction).Seduksi, merupakan suatu tindakan untuk menyasarkan sesuatu, to lead something astray. Seduksiadalah apa yang dilakukan saat seseorang mereversi sesuatu, saat ia “merayu” sesuatu untukberbelok dan keluar dari jalur yang ditentukanya. Seduksi adalah lawan dari produksi. Apabila produksiadalah menghasilkan atau mengkonstruksi sesuatu; maka seduksi adalah menghasilkan sesuatu yangbaru dalam balutan yang lama.[22] Seduksi dengan demikian dapat dipahami sebagai suatumisproduksi dan/atau miskonstruksi. Seperti yang ditekankan di atas, segala sesuatu bisa didaur-ulang, direorientasi, diputar-balikkan sesuka-hati sehingga kata mis- dalam misproduksi danmiskonstruksi berarti suatu kreasi ulang yang baru yang diluar motif dan intensi awal pengkreasiansesuatu tersebut.

“Karena kita memberi makna, mengikuti penggunaan kita akan yang imajiner, hanyakepada apa yang tidak-terbalikkan; akumulasi, progresi, pertumbuhan, produksi, nilai,kuasa, dan hasrat itu sendiri kesemuanya adalah tak-terbalikkan – suntikkan setetessaja reversibilitas ke bangunan (dispositif) ekonomi, politik, institusi atau seksual kitadan segala sesuatunya akan runtuh dalam sekejap.”

[For we give meaning, following our use of the imaginary, only to what is irreversible;accumulation, progress, growth, production, value, power, and desire itself are allirreversible processes—inject the slightest dose of reversibility into our economical,political, institutional, or sexual machinery (dispositif) and everything collapses atonce.][23]

Refleksi Penutup: Mental Petaruh dan Perlawanan Simulakrais

Sampai di sini sekiranya telah jelas mengenai konsep reversibilitas, berikut potensi politik yangterkandung di dalamnya. Reversibilitas merupakan suatu cara dalam mengafirmasi nihilisme hiper-realitas, tidak secara pasif dan naïf, melainkan secara aktif. Reversibilitas ini kemudian juga akanmengganggu pandangan dominan mengenai Baudrillard sebagai seorang pemikir yang pesimis danfatalis. Selain mendeskripsikan permasalahan dan menempatkannya pada medan problematik yangbaru dan lebih realistis, Baudrillard juga memikirkan kemungkinan perlawananannya. Kenyataanbahwa ia belum begitu dikembangkan dengan cukup ekstensif oleh Baudrillard tentu adalah sesuatuyang patut disayangkan. Namun demikian, justru di titik inilah kerja intelektual Baudrillard harusditeruskan.[24] Kerja intelektual ke depan, yang bergulat dengan Baudrealitas, dengan demikian harusmampu beranjak dari sekedar berputar-putar pada konsep hiperealitas dan simulakra. Hal ini bukanhanya karena sudah cukup banyak karya-karya yang menyoroti ini, melainkan juga adalah kontra-produktif secara politis untuk terus berkubang pada lautan simulakra ini. Kritik, dengan demikian,hanya merepetisi tuduhan-tuduhan “bohong!”, “palsu!”, “tidak berdasar!” dst., seraya tidak berdayamenjelaskan mengapa kebohongan tersebut terus direproduksi, apalagi mengintervensinya.

Problem lain yang mengemuka terkait reversibilitas ini adalah problem etik. Kosongnyaesensi/substansi/makna, juga berarti bahwa reversibilitas tidak mengenal moralitas sama sekali. Iabisa dinisbatkan predikat “netral.” Artinya, ia bisa dipakai siapa saja untuk kepentingan apa saja. Mulaidari mereka yang berniat mengeruk keuntungan sampai mereka yang ingin menantang sistemeksploitasi, mulai dari pemimpin berkedok moralis sampai teroris yang ingin menegakkanidealismenya, dst. Inilah implikasi ekstrim dari reversibilitas. Ia menawarkan jalan perlawanan,melainkan ia juga memungkinkan eksploitas jenis baru. Reversibilitas mempunyai struktur farmakon(dalam pengertian Derrida), racun sekaligus penawarnya.

Melihat reversibilitas melulu dari sisi ekstrimnya hanya akan berakhir pada paranoia yang tidak kalahkontra-produktifnya dengan apatisme dan naïfisme. Reversibilitas merupakan sumbangsih Baudrillarduntuk mereversi apa yang tampak tak-terbalikkan; ia merupakan saksi dari komitmen optimis

Baudrillard untuk melawan sistem simulakra ini. Menyikapi ekstrimitas implikasi reversibilitas iniharuslah dengan mentalitas petaruh (gambler).[25] Itu juga mengapa Baudrillard melihat ini sebagaisuatu ‘permainan’ (game) dan ‘tantangan’ (challenge). Bila “game of truth” dalam pengertian Foucaultberarti pertarungan klaim-klaim kebenaran, maka “game of truth” Baudrillardian adalah suatupermainan dimana kebenaran telah dikosongkan dari makna esensialnya, untuk lantas kemudiandireorientasi demi kepentingan masing-masing. Dalam permainan ini, dimana-mana tampakkebenaran, tapi kebenaran tidak ada dimana-mana.

Masih terkait pertimbangan etis, politik yang berbasiskan pada konsep reversibilitas ini, di kesempatanlain, secara kontroversial disandingkan Baudrillard dengan prinsip Iblis, yaitu “tentu saja bukan tentangsupremasi yang Jahat [dari yang Baik], melainkan mengenai ketergandaan fundamental yangmenuntut seluruh tatanan yang ada untuk dibangkangi, diserang, dilanggar, dan dibongkar” [notexactly the supremacy of Evil [over the Good], but the fundamental duplicity that demands that anyorder exists only to be disobeyed, attacked, exceeded, and dismantled].[26] Jadi yang perludiperhatikan di sini adalah bahwa prinsip Iblis dalam pemahaman Baudrillard adalah selalu melampauiBaik dan Buruk, tidak hanya itu, ia menabrak pendikotomian itu sendiri! Ia akan secara aktifmendevaluasi nilai-nilai yang ada, tapi juga kemudian merevaluasinya.

Perlawanan dengan mendasarkan strateginya pada permainan reversibilitas ini berada pada tataransimbolik, pada permukaan, atau bahkan penulis akan menawarkan, perlawanan pada tataransimulakra—perlawanan simulakrais. Jika perlawanan pada umumnya diarahkan pada dalang, yang-dibelakang-layar, esensi, dst. dari suatu kebohongan, maka perlawanan simulakrais adalahperlawanan yang dilangsungkan justru di medan kebohongan itu sendiri. Perlawanan simulakrais tidakmencari esensi yang tersembunyi dari suatu kriminalitas (korupsi, skandal, eksploitasi, dst.), melainkanjustru ia beroperasi dalam dan melalui logika beroperasi kriminalitas itu sendiri. Inilah sumbangsihstrategis yang ditawarkan oleh Baudrillard bagi perlawanan politik di era hiperealitas. Hanya denganmemahami dimensi reversibilitas Baudrealitas, suatu peluang pembebasan dari perbudakankapitalisme berbasis simulakra bisa dimungkinkan.

“Kita tidak akan menghancurkan sistem melalui suatu revolusi yang langsung dandialektis terhadap infrastruktur ekonomi dan politik. Segala sesuatu dihasilkan olehkontradiksi, oleh relasi kekuasaan, atau oleh energi pada umumnya, hanya akanmengumpan balik ke mekanisme tersebut dan memberinya daya dorong, mengikutidistorsi sirkuler menyerupai pita Moebius. Kita tidak akan pernah mengalahkannyadengan mengikuti logika energinya, kalkulasinya, rasio dan revolusinya, sejarah dankuasanya, atau finalitas dan kontra-finalitasnya. Kita tidak akan pernah menaklukkansistem di ranah riil: kekeliruan paling parah dari seluruh strategi revolusioner kitaadalah percaya bahwa kita dapat mengakhiri sistem ini di ranah riil: ini adalah imajinasimereka, yang ditanamkan kepada mereka oleh sistem itu sendiri, hidup danterselamatkan semata karena selalu mengarahkan siapapun yang menyerang sangsistem untuk bertarung satu sama lain dalam ranah realitas, yang adalah selalu realitasdari sang sistem. … Karenanya kita harus memindahkan segala sesuatunya ke alamsimbolik, dimana tantangan, pembalikan, dan pelampauan adalah hukumnya.”

[We will not destroy the system by a direct, dialectical revolution of the economic orpolitical infrastructure. Everything produced by contradiction, by the relation of forces, orby energy in general, will only feed back into the mechanism and give it impetus,following a circular distortion similar to a Moebius strip. We will never defeat it byfollowing its own logic of energy, calculation, reason and revolution, history and power,or some finality or counter-finality. The worst violence at this level has no purchase, andwill only backfire against itself. We will never defeat the system on the plane of the real:the worst error of all our revolutionary strategies is to believe that we will put an end tothe system on the plane of the real: this is their imaginary, imposed on them by the

system itself, living or surviving only by always leading those who attack the system tofight amongst each other on the terrain of reality, which is always the reality of thesystem. ... We must therefore displace everything into the sphere of the symbolic, wherechallenge, reversal and overbidding are the law.][27]

Akhirnya, sekiranya bisa dipahami kalimat kontroversial Baudrillard berikut, yang saya usulkan untukjuga kita serukan: “Saya adalah teroris dan nihilis dalam teori sama seperti yang lainnya dengansenjatanya. Kekerasan teoritis, dan bukan kebenaran, adalah satu-satunya yang tersisa bagi kita” [Iam a terrorist and nihilist in theory as the others are with their weapons. Theoretical violence, not truth,is the only resource left us].[28]***

Penulis aktif Purusha Research Cooperative

Daftar Kutipan

Baudrillard, Jean, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., Post-PopArt (Cambridge: MIT, 1987, 1989).

Baudrillard, Jean, “Forget Baudrillard” dalam Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e),2007 [1977]).

Baudrillard, Jean, “The Revenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny.,Baudrillard Live: Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]).

Baudrillard, Jean, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])

Baudrillard, Jean, Fatal Strategies (NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990).

Baudrillard, Jean, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York:Semiotext(e), 1990 [1983]).

Baudrillard, Jean, Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).

Baudrillard, Jean, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994 [1992]).

Baudrillard, Jean, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]).

Baudrillard, Jean, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press, 1990 [1979])

Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University ofMichigan Press, 1994 [1981]).

Baudrillard, Jean, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]).

Baudrillard, Jean, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975[1973]).

Benjamin, Breaking “I Will Not Bow,” Dear Agony (2009) [Lagu]

Cultural Politics, Special Issue: Baudrillard Redux, editor tamu, Richard G. Smith, David B. Clarke, andMarcus A. Doel, vol. 7, issue 3, 2011.

Foucault, Michel, “Truth and Power,” dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).

Foucault, Michel, Birth of Biopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell(Hampshire, Palgrave Macmillan, 2008)

Foucault, Michel, Society Must be Defended: Lectures at the College de France, 1975-76, terj. D.Macey (NY: Picador).

Marx, Karl, A Contribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr &Compan, 1904)

Noys, Benjamin, The Persistence of the Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory(Edinburgh Uni Press, 2010).

Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta: Matahari, 2011).

Polimpung, Hizkia Yosie, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana,Makalah pada Diskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIPUI Depok, Senin, 30 April 2012.

[1] “The only real pleasure in the world is to watch things ‘turn’ into catastrophe, to emerge finally fromdeterminacy and indeterminacy, from chance and necessity, and enter the real of vertiginiousconnections, for better or worse, where things reach their end without passing through their means,where events attain their effects without passing through causes.” Jean Baudrillard, Fatal Strategies(NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990), hal. 156. Semua terjemahan adalah terjemahan bebas dari sayasendiri.

[2] “What interests me is indeed something like a fatal strategy … which dismantles the beautiful orderof irreversibility, of the finality of things. I think what troubles people is the idea of reversibility whengiven as a kind of law. I do not accept it as law. I take it as a rule of the game.” Jean Baudrillard, “TheRevenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny., Baudrillard Live:Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]), hal. 57.

[3] Saya menerjemahkannya secara mentah dari bahasa Inggrisnya demi kepentingan keselarasancitra akustik saja. (Terjemahan Indonesia yang bisa saya pikirkan, misalnya: keterputarbalikkan danketerbolak-balikan, menurut saya kurang berterima dan cenderung njelimet di lidah).

[4] Lihat karya-karya posmodernis Indonesia seperti Yasraf Amir Piliang, misalnya, yang tampaksangat kental dengan pemikiran Baudrillard yang nihilis naïf ini.

[5] Orgy, adalah bahas Inggris untuk ‘pesta seks’. Baudrillard menggunakan terma ini secara metaforisuntuk menunjukkan euforia perayaan kebebasan di era posmodernitas, yaitu era di mana tatanansosial kehilangan tiang-tiang penyangga tradisionalnya (agama, negara, keseimbangan pasar, dst.).Lihat bagian berikut tulisan ini.

[6] Nietzsche menekankan dua bentuk nihilisme: pasif dan aktif. Nihilisme pasif larut dalam euforiamatinya transendensi, sementara nihilisme aktif mengambil posisi aktif dalam terus menerusmenciptakan dan menghancurkan transendensi-transendensi baru. Nihilisme naïf yang dimaksud disini adalah nihilisme pasif dalam artian Nietzsche, atau yang dengan sinis disebut Baudrillard sebagaiorgy.

[7] Apresiasi demikian banyak dilakukan oleh kelompok filsuf baru yang menamai filosofinya sebagai‘akselerasionisme’. Sebenarnya nama ini diberikan oleh Benjamin Noys dengan semangat kritik,namun ia malah diafirmasi oleh sejumlah pemikir seperti Nick Srnicek, Alex Williams, dan RobinMackay, bahkan disambut oleh filsuf sekelas Antonio Negri. Lih. Benjamin Noys, The Persistence ofthe Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory (Edinburgh Uni Press, 2010), h. 4-9.Pengantar dan arahan sumber penting bisa klik di sini: http://monoskop.org/Accelerationism.

Sayangnya, pendeketan akselerasionis ini rawan mengulai mesianisme nihilisme pasif. Kritik ekstensifterhadap akselerasionis ini akan disampaikan di lain kesempatan.

[8] “Forget Baudrillard” merupakan judul artikel penutup buku Jean Baudrillard, Forget Foucault, terj. N.Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).

[9] Sebenarnya kritik ini juga bukan tanpa masalah. Apakah konsepsi produksi yang telah berubah,atau Baudrillard sendiri yang memang gagal melihat antisipasi Marx terhadap “perubahan”—jika ada—konsep produksi. Saya membahas ini melalu konsep ‘produksi imaterial’; lihat, Hizkia YosiePolimpung, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana, Makalah padaDiskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIP UI Depok,Senin, 30 April 2012.

[10] Jean Baudrillard, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975[1973]), hal. 129. Penekanan pada teks asli.

[11] Ibid., cat.kaki no. 95. Penekanan dari penulis. *cat: ‘General equivalence’ dalam teks asli sayaterjemahkan sebagai ‘ekwivalensi universal’. Hal ini untuk mengikuti konseptualisasi Marx mengenaiuang sebagai ‘universal equivalent’, yaitu yang secara umum merupakan upaya mengonversikan kerjamanusia yang abstrak (susah diukur) dalam menghasilkan suatu komoditas ke dalam satu ukuranumum (yi. universal) yang setara (yi. ekwivalen) sebagai medium pertukaran. Alhasil, karena ekwivalenuniversal (yi. uang) ini, kerja manusia menjadi tak tampak, menjadi terepresi. Lih. Karl Marx, AContribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr & Compan, 1904),h.26-30.

[12] Jean Baudrillard, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994[1992]), hal. 27.

[13] Contoh untuk ini adalah sikap kawan-kawan anarkis dan punk kebanyakan dan kelas menengahpada umumnya.

[14] Lihat karya-karya Yasraf Amir Piliang, misalnya, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta:Matahari, 201) untuk ini.

[15] Jean Baudrillard, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., Post-Pop Art (Cambridge: MIT, 1987, 1989), hal. 182.

[16] Ibid., hal. 189.

[17] Sebenarnya Foucault pun telah menyadari hal ini saat menyerukan untuk “[l]et’s suppose thatuniversals do not exist” untuk memulai analisis tentang kekuasaan dan kepemerintahan(governmentality). Hal ini karena menurutnya universal-universal ini—yaitu agasan semacam sangberdaulat, kedaulatan, rakyat, subyek, negara dan masyakarat madani,” dan bahwa itu semuahanyalah korelat-korelat dari suatu cara tertentu dalam memerintah.” Michel Foucault, Birth ofBiopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell (Hampshire, PalgraveMacmillan, 2008), hal. 2-3. Di kesempatan lain, Foucault juga menyerukan “[k]ita perlu memenggalkepala sang Raja: dalam teori politik yang masih harus dilakukan,” dalam Power/Knowledge: SelectedInterviews and Other Writings 1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 121.

[18] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 31.

[19] Lihat, misalnya, Michel Foucault, Society Must be Defended: Lectures at the College de France,1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador), hal. 24.

[20] Hal ini tidak lantas berarti faktor-faktor subyektif/antropo-sentris (kuasa, hasrat, kepentingan,bahasa, dst.) dikesampingkan. Melainkan poinnya, menjelaskan sesuatu dari faktor-faktor ini sajahanyalah menjelaskan separuh cerita saja, separuh lainnya adalah bagaimana sesuatu tersebut

bekerja dengan caranya sendiri. Analisis yang holistik dengan demikian berkomitmen untuk melihatdan memahami tarik-menarik kedua faktor ini.

[21] Jean Baudrillard, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]), hal 150.

[22] Lih. & bdk. Jean Baudrillard, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press,1990 [1979]), hal. 34-5. Dari konsepsi ini sekiranya jelas bahwa terjemahan bahasa Indonesia atasbuku ini telah salah kaprah sedari, bahkan, penjudulannya ke dalam bahasa Indonesia: “Berahi.” Lih.Jean Baudrillard, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])

[23] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 55

[24] Jurnal Cultural Politics vol 7, issue 3, 2007, edisi khusus: Baudrillard Redux, misalkan,mendedikasikan seluruh volumenya untuk membahas warisan Baudrillard selain konsep-konsepsimulasi, simulakra dan hiper-realitas.

[25] Uraian lebih ekstensif mengenai mentalitas petaruh ini, lihat karya Baudrillard, Seduction.

[26] Jean Baudrillard, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York:Semiotext(e), 1990 [1983]), hal. 77.

[27] Jean Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]), hal36. Penekanan dari teks asli.

[28] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University ofMichigan Press, 1994 [1981]), hal 163.

Baca Juga

Kontemporalitas Idealisme Martin, atau Bagaimana MenjadiMaterialisme-Dialektis tanpa Perlu Dialektis [Bagian I]

Kenapa Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung?

Tuhan Di Bumi

Kontemporalitas Idealisme Martin dan Pentingnya MenonjokObyektivitas secara Obyektif [Bagian II]

Realisme, Realitas dan Realistis dalam Hubungan Internasional