Implementasi Pancasila di Era Setelah Reformasi

35
TUGAS MANDIRI Implementasi Pancasila di Era Setelah Reformasi Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila Disusun Oleh: Nama Mahasiswa : Astrid Priscilla Dion NPM : 131110027 Kode Kelas : 131-LW111-N1 UNIVERSITAS PUTERA BATAM

Transcript of Implementasi Pancasila di Era Setelah Reformasi

TUGAS MANDIRI

Implementasi Pancasila di Era SetelahReformasi

Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:

Nama Mahasiswa : Astrid Priscilla Dion

NPM : 131110027

Kode Kelas : 131-LW111-N1

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

TA 2012/2013

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Kuasa, sehingga atas izin

dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih pada seluruh pihak yang

telah membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini sebagai

tugas mandiri mata kuliah Pendidikan Pancasila.

Makalah yang berjudul “Implementasi Pancasila di Era Reformasi”

disusun berdasarkan berbagai sumber dan pembelajaran yang penulis

dapatkan. Semoga memberikan manfaat.

Tak ada jalan yang tak retak, maka begitu pula lah penulisan

makalah ini yang jauh dari kesempurnaan dan banyak kekeliruan

disana-sini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang

dimiliki penulis. Untuk itu, penulis menerima saran, kritik, dan

pertanyaan demi perbaikan di masa yang akan datang.

20 Desember2013

Astrid Priscilla Dion

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam

konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan

tuntutan hakiki agar setiapwarga negara Indonesia memiliki

pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap

yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi

Pancasiladalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara

konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang

tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan,

diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.

Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18

Agustus 1945),Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai

dengan pasang naiknya sejarahbangsa Indonesia (Koento

Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembanganPancasila

sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu : (1) tahap 1945

– 1968 sebagai tahap politis, (2) tahap 1969 – 1994 sebagai

tahap pembangunan ekonomi, dan (3) tahap 1995 – 2020 sebagai

tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini memang tampak

berbeda lazimnya para pakar hukumketatanegaraan melakukan

penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu: (1) 1945

– 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949

– 1950 masa konstitusi RIS ; (3) 1950 – 1959 masa UUDS 1950 ;

(4) 1959 – 1965 masa orde lama ; (5) 1966 – 1998 masa orde

baru dan (6) 1998 – sekarang masa reformasi.

Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan,

yaitu dari segi politikdan dari segi hukum. Di era reformasi

ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi

dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populerseperti

pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa

bodohdalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam

kehidupanberbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang

kehilangan legitimasi, rujukan dan kekuatan vitalnya. Sebab

utamannya sudah umum kitaketahui, karena rejim Orde Lama dan

Orde Baru menempatkan Pancasilasebagai alat kekuasaan yang

otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar

dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai

ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari

penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti

globalisasi yang selalu mendikte,krisis ekonomi yang belum

terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokalyang

berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik

komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan

dalamkonteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang

lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif,

sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat,bangsa dan negara.

Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut

“terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu

yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah

dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara

Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi

sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik

pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pancasila“. Jadi sulit

untuk dielakkan jika sekarang ini muncul pendeskreditan atas

Pancasila.

Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang

gamang untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk

membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang berbicara

Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda

menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan

dengan Pancasila.

Salahsatunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan

Mahasiswadan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan

Kongres I GMPI diAsrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3

Maret 2008 bahwa kaum muda yang diharapkan menjadi penerus

kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila.

Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan

oleh aktivis gerakan nasionalis tersebut pada 2006 bahwa

sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai

pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen

responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian

sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 persen responden yang masih

memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup

berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan

diriuntuk “malu-malu” terhadap Pancasila. Jika kita simak

kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari

pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-

kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru

yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata –

kata Pancasila. Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan

Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki

konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa

Rezim Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang

Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri

mempraktikkan Pancasila.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana implementasi Pancasila pada Era Setelah Reformasi?

1.3. Tujuan Penulisan

Untuk menjelaskan implementasi Pancasila pada era setelah

reformasi.

BAB II

PEMBAHASAN

Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil

mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan

malah bisa dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan

masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana diamanatkan

oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the founding

father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-

nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-

nilai Pancasila.

Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1

Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18

Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar

negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli

1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan

Ketetapan No. I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi

dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang. Akibat hukum

dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh

kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh

Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi

akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa

ini haruslah berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya

implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan

pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila

yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan

dan kesatuan NKRI.

Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai

pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah

Indonesia baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi

Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik

Indonesia.

Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-

nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali

dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah

Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh

pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima) yang

kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi

persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai

Merauke.

Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa

wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara.

Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah

mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai

negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai

Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.

A. Masa Orde Lama

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma

yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh

tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan

keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi

sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari

masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.

Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi

Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila

diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa

orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang

berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan

periode 1959-1966.

Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja

menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk

mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis

oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh

DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada

periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika

menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan

penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat

diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan

politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan

mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang

diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden

hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala

pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini

menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.

Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah

Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek

kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.

Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap

Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan

musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting).

Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan

hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan

mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan

RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI.

Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan

terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.

Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun

UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis

politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah

mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan

Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD

1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama

periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology

liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi

terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat

sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi

berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah

berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam

konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat

menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi,

menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata

tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di

sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-

nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila

dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung

Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang

disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau

menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala

Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan

kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi

ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap

dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta

semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik

adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter,

konfrotatif dan tidak memberi ruang pada demokrasi bagi

rakyat.

B. Masa Orde Baru

Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD

1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde

lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi

internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin.

Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi

hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang

sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau

mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena

internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.

Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila,

diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana

menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan

pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah

stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi

pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana

yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi

dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan

melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan

P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau

Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada

pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi

bangsa.

Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan

Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.

Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan

penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik

dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan

sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai

kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran

lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran

HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah

atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai

legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai

alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi

yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan,

Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang

hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal

pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak

demokrasi dikekang.

C. Masa Orde Reformasi

1. Gerakan Reformasi

Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai

dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei

1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil

Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan

Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukkan Kabinet

Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang

merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan

rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara

menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU, Politik tahun

1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomu yang

menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU

Anti Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha

Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan Konsumen, UU

Perlindungan Buruh dan lain sebagainya (Nopirirn, 1998 :

1). Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan

reformasi hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi

pada berbagai instansi pemerintahan.

Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada

kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan

DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui

Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :

a) UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU

No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).

b) UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No.

3/1975, jo. UU No. 3/1985).

c) UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU

No.4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985).

d) Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus

benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang

demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD

1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(Mardjono, 1998 : 57).

2. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila

Makna “Reformasi” secara etimologis berasal dari kata

“reformation” dengan akar kata “reform” yang secara

semantic bermakna “make or become better by removing or

putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced

Leaner’s Divtionary of Current English, 1980. dalam

Wibisono, 1998:1). Secara harfiah reformasi memiliki

makna: suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang

atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk

dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan

nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda,

1998). Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki

kondisi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu

penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan Orde banyak

terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan

menjadi “nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak

sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan UUD 1945

serta batang tubuh UUD 1945.

b) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu

cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu,

dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan

negara Indonesia, dalam hal ini Pancasila sebagai

ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi

pada prinsip-prinsipnya suatu gerakan untuk

mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang

dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan

ideologis yang jelas maka gerakan reformasi akan

mengarah kepada anarkisme, disentegrasi bangsa dan

akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara

Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet

dan Yugoslavia.

c) Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan

pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini

UUD) sebagai kerangka acuan reformas. Reformasi pada

prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan

untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang

ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi

akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara

demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tanga rakyat

sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi

harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah

sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya

sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu

harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia,

peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas

dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi itu sendiri

harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain

itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke

arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam

penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai

manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan

negara dan untuk rakyatlah segala aske kegiatan negara.

d) Refomasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah

kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan yang

dilakukan dengan reformasi harus mengarah pada suatu

kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala

aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial,

budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan

reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan

martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.

e) Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik

sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta

terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Pancasila sebagai Dasar Cita-Cita Reformasi

Gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangkaperspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita danideologi (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanyasuatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akanmengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme,serta pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dannegara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasilapada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilaiKetuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sertaberkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapunsecara rinci sebagai berikut:

a) Reformasi yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang berarti

bahwa suatu gerakan ke arah perubahan harus mengarah

pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan

manusia sebagai Makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia

adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah

sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi sehingga

senantiasa bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan

suatu perubahan ke arah suatu kehidupan kemanusiaan yang

lebih baik. Maka reformasi harus berlandasan keagamaan.

Oleh karena itu reformasi yang dijiwai nilai-nilai

religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan,

merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan

lainnya.

b) Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,

yang berarti bahwa reformasi harus dilakukan dengan

dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab.

Oleh karena itu reformasi harus dilandasi oleh moral

kemanusiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai

kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

bahkan reformasi menargetkan ke arah penataan kembali

suatu kehidupan negara yang menhargai harkat dan

martabat manusia, yang secara kongkrit menghargai hak-

hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek

eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia

lain, oleh golongan satu terhadap golongan lain bahkan

oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang

majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi

yang berdasar pada kemanusiaan menentang praktek-praktej

yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, bik

alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama.

Reformasi yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak

membenarkan perilaku yang biadab membakar, menganiaya,

menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan

lainnya yang mengarah pada praktek anarkisme. Sekaligus

reformasi yang berkemanusiaan harus membrantas sampai

tuntas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah

sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan

pemerintahan Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).

c) Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai

persatuan, sehingga reformasi harus menjamin tetap

tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus

menghindarkan diri dari praktek-praktek yang mengarah

pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas

dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki

makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara,

sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih

kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga

reformasi harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan

sebagai suatu bangsa Indonesia.

d) Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas

kerakyatan sebab justru permasalah dasar gerakan

reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penatan

kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan

pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai

paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan

negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara,

dalam pengertian inilah maka reformasi harus

mengembalikan pada tatanan pemerintahan negara yang

benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah

sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Maka

semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan

demokratis seperti kediktatoran baik bersifat langsung

maupun tidak langsung,, feodalisme maupun

totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya

masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator

mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas

kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada

anarkisme. Oleh karena itu penataan kembali mekanisme

demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR,

pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-

undangannya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan

negara pada asas demokrasi yang bersumber pada

kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat

Pancasila.

e) Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi

terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan

dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan

negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu

terwujudnya tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh

karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi

yang melakukan perubahan dan penataan kembali, pada

hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu

sendiri, namun perubahan dan penataan demi kehidupan

bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak

asai, peradilan yang benar-benar terbebas dari

kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-

benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar

menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-

prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu reformasi hukum

baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat

pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target

reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu keadilan

dalam kehidupan rakyat.

Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde

Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian,

merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan

yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai

dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat

bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan

mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan

hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orba. Namun,

sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan

pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan

hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan

berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas

masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat

primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama,

antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana.

Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk

menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan

kekerasan.

Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego

kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi

tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman

tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati

negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui

Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/

prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang

saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian

bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa,

agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu

tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti

Bhineka Tunggal Ika.

Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga

bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik

dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik

vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku.

Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban

jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat,

seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-

nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah

hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah

memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya

karena berbagai masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid,

dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap

dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya

sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus

globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya,

sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik

merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan

pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.

Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan

seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan

para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi

membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan.

Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang

telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan

pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi

tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri

sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah

pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran

dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya

sebagai imbalan dolar.

Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan

”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara

sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. Di

dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan

sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada

masyarakat melemah.

D. Masa Setelah Orde Reformasi

Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah

perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila

dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala tindak

tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara

dari republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan

pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai

seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan

lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak

boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang

mengatur dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai pedoman kehidupan

bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada yang

lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi

diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat

Indonesia ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah hasil dari

penggalian karakter-karakter dan budaya masyarakat Indonesia.

Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat

berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal

1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk

merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian

Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara.

Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala

sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk

kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai

salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang

hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada

Pancasila.

Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru

selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman

publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih

banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa.

Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila

sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil

mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi,

implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua.

Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian

menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi

perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang

digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang

berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya

dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat

sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi yang resmi

yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi

negara/Orde Baru. Disinilah terjadi penafsiran sepihak

terhadap Pancasila oleh rezim Orde Baru. Ideologi yang

bertentangan akan berada dalam kategori yang harus

dimusnahkan atau ditindak. Pengasastunggalan Pancasila

merupakan cara rezim Orde Baru untuk menyatukan pandangan-

pandangan, tetapi akhirnya menjadi penindasan ideologis,

sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan

kritis menjadi takut.

Belum lagi penindasan secara fisik seperti pembunuhan

terhadap orang di Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus

Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli

dan seterusnya. Perlakuan diskriminasi oleh negara juga

dirasakan oleh masyarakat non pribumi (keturunan) dan

masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan,

bahkan acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam

jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi. Sedangkan

orang-orang yang dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai

contoh bagi masyarakat bagaimana kalau mereka tidak tunduk

kepada penguasa. Inilah salah satu contoh bentuk kekerasan

politik.

Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang

Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa

Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap

berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB,

dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas

kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah

melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar

HAM.

Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai

"wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu

tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya

masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU

Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem

pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai

wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat

proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses

departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan

kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis

demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan

sebagainya.

Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan

penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus

Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus

Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan

lain-lain. Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde

Baru seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai

dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto

"lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu,

berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai

kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi

Pancasila sebagai dasar dan ideology negara.

Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga

memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru

sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai

doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara

komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak

hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik,

tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat

pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang

dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada

pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan

melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap

upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah

tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di

tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang

keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai

ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah

Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama

rezim reformasi.

Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai

ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para

founding fathers saat mendirikan negara ini.

Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila

bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen

politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak

sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara

sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan

Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain,

seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika

Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai

sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang

mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya

penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa

awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah

melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila

sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik

yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil.

Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila

sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya

yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat

negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba

untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu

konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi

bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus

mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang

masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi

masih kerap terjadi.

SUDAH hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi.

Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi

Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-

ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila

dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah Pancasila

memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat

dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum

berlansung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan

secara maksimal sebagaimana mestinya.

Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi

belum memahami makna sesungguhnya. Bangsa Indonesia merasakan

delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal

reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu

muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan,

pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan

bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah

dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya,

sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama

dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti

membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul

sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui

kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah

ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum

terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara

Indonesia.

Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi

dasar, acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar

negara yang sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung

dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering

mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar

justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila untuk

kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan

jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus mampu

menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional

dewasa ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi

tanpa persatuan dengan golongan-golongan lainnya. Pengalaman

kegagalan dan kemacetan gerakan reformasi selama ini telah

membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi setapak

gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi

negara yang demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil

makmur. Harap dicamkan: ”Persatuanlah yang membawa kita ke

arah kebesaran dan kemerdekaan..”

Dan agar persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima;

tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya

Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan” Bung Karno

yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang

lalu.

Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin

Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil,

seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang

selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa

keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali

amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu

menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui

kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa

Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur

pemerintahan yang baru.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

a. Bahwa pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup

serta sumber dari semua sumber hukum adalah warisan hukum

yang di gali nilai budaya,adat serta kepribadian bangsa.

b. Tidak ada yang salah dengan pancasila hanya saja

penjabaran pelaksanaan pada masa pemerintahan sebelumnya

hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan saja.

c. Pada masa reformasi ini sesuai dengan maknanya maka tidak

salah dan tepat bila kita harus kembali pada nilai-nilai

pancasila yang telah sekian lama menjadi asing dan jauh

dari kehidupan kita sebagai bangsa.

3.2. Kritik dan Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas ada beberapa saran yang dapat

di berikan guna mewujudkan upaya pembinaan masyarakat dalam

menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang

meliputi paham kebangsaan,rasa kebangsaan dan semangat

kebangsaan,antara lain :

a. Untuk meningkatkan wawasan kebangsaan bagi segenap

komponen bangsa diperlukan perhatian dan penanganan pihak-

pihak terkait secara intergrative.

b. Peran pada elit pemerintah,elit politik dan tokoh

masyarakat LSM serta media masa sangat di perlukan untuk

meningkatkan Wawasan Kebangsaan.

c. Perlunya pengamatan Pancasila secara nyata dalam kehidupan

sehari-hari melalui penataran atau sertifikasi Pedoman

Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4),di seluruh

lembaga pedidikan,baik formal maupun nonformal,agar lebih

tertanam rasa cinta tanah air,bangsa dan negara bahkan

selalu siap dalam usaha bela negara.