67 BAB III KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI A ...

29
67 BAB III KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI A. Biografi dan Karya Al-Ghazali 1. Sejarah Ringkas Imam Al-Ghazali Diterangkan dalam (dalam Abidin Ibnu Rusn, 2009:9) mengenai riwayat hidup Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, , namanya kadang diucapkan Ghazzali( dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah membuat pakaian dai bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sedangkan lazimnya ia dipanggil dengan Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya. Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “ Samudera yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan bermunculannya para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukan kemakmuran tanah airnya, kemakmuran pemimpinnya, dan kebenran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya penuntut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Walaupun ayah imam Al-Ghazali seseorang yang buta huruf dan miskin beliau memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sesaat sebelum meninggal ayah imam Al-Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al- Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu.

Transcript of 67 BAB III KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI A ...

67

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI

A. Biografi dan Karya Al-Ghazali

1. Sejarah Ringkas Imam Al-Ghazali

Diterangkan dalam (dalam Abidin Ibnu Rusn, 2009:9) mengenai

riwayat hidup Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam.

Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin

Ahmad, , namanya kadang diucapkan Ghazzali( dua z), artinya tukang

pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah membuat pakaian dai bulu

(wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sedangkan lazimnya ia dipanggil

dengan Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung

kelahirannya.

Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di desa

Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang

menyandang gelar “pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama”

(Zainuddin), “ Samudera yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan

lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan bermunculannya para

cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit.

Kehidupan saat itu menunjukan kemakmuran tanah airnya, kemakmuran

pemimpinnya, dan kebenran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana

sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat

diperhatikan, pendidikan dan biaya penuntut ilmu ditanggung oleh

pemerintah dan pemuka masyarakat.

Walaupun ayah imam Al-Ghazali seseorang yang buta huruf dan

miskin beliau memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sesaat

sebelum meninggal ayah imam Al-Ghazali meninggalkan kata pada

seorang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-

Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah

Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu.

68

Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya

seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu.

Disamping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu

pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila

mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-

sedu seraya bermohon kepada Allah swt., kiranya dia dianugrahi seorang

putera yang pandai dan berilmu.

Kesempatan emas ini dimafaatkan oleh imam Al-Ghazali untuk

memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Pada masa kecilnya Al-

Ghazali memepelajari ilmu fiqh dinegerinya sendiri pada Syekh Ahmad

bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar

pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.

Pada awal studinya, imam Al-Ghazali mengalami suatu yang

menarik, yang kemudian mendorong kemajuannya dalam pendidikan.

Suatu hari, dalam perjalanan pulang ketempat asalnya imam Al-Ghazali

dihadang oleh segerombolan perampok, mereka merampas semua bawaan

imam Al-Ghazali, termasuk catatan kuliahnya.

Imam Al-Ghazali meminta kepada perampok tersebut agar

mengembalikan catatanya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok

tersbut malah menertawakannya dan mengejeknya, sebagai penghinaan

terhadap imam Al-Ghazali yang ilmunya hanya bergantung kepada

beberapa helai kertas saja. Tanggapan imam Al-Ghazali terhadap peritiwa

tersebut positive. Ejekan tersebut untuk mencambuk dirinya dan

menajamkan ingatannya dengan menghafal semua catatan kuliahnya

selama tiga tahun itu.

Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut,

berangkatlah imam Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam

Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya

yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok

pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqh madzhab

69

Syafi‟i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati da selalu mengatakan: “Al-

Ghazali itu lautan tak bertepi......”.

Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al-Ghazali berangkat ke

Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-mulk dari pemerintahan dinasti

Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar.

Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka

ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian

imam Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali pada

tahun 484 H. Menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang

didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar

di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para

pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana

dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Maka pada tahun 488 H. Imam Al-Ghazali pergi ke Mekkah

menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia

terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke

Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al-Umawi di kota

tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “

Al-Ghazaliyah”, diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia

mengarang kitab “ IHYA”, yang kami alih-bahasakan ini. Keadaan hidup

dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian

kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-

masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang

membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran

dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya ihya‟, tak lama sesudah itu

berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan

Nizamiyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia.

Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk kaum

shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur‟an,

mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada

70

penuntut-penuntut ilmu yag ingin menyauk dari lautan ilmunya,

mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian

diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatimah

Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir

tahun 505 H (1111 M) di Thusia.

Jenazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan

dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya‟ir yang termasyhur. Sebelum

meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan

pada kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggris, yaitu :

“ Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat

bumi yang sunyi senyap, namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan

dan buah bibir ummat manusia masa depan”.

Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat

muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang

berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantara karangannya yang

banyak itu, ada dua buah yang kurang terkenal di negeri kita, akan tetapi

sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena

anatara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab “ Maqashidul-Falasifah” dan kitab “

Tahafutul-Falasifah”. Kitab yangpertama berisi ringkasan dari bermacam-

macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah

diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad

ke XII M.

Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah

yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malaj

oleh imam al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu,

bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan

lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan

dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia

(Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordovs (1126-1198). Dia

membantah akan pendirian imam Al-Ghazali dalamhal falsafah itu dengan

71

mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil

falasifah”(kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali).

Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah fahaman imam Al-Ghazali

tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah

pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Demikianlah telah

beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan

menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu.

Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan

menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa

yang akan kalah.

Di samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-

Ghazali, dilontarkan nya kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengah-tengah

umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga

karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasanya Al-

Ghazali, maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikiran ini Al-

Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang. Sebagai Filosuf,

imam Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan

“mazhab perasaan”, sebagaimana filosuf Inggris David Hume (1711-1776)

yang mengemukakakn bahwa perasaan adalah sebagai alat yang

terpenting dalam falsafah yang timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata

berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.

Imam Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian.

Selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengikuti bahwa

perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga

tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna-sempurnanya dengan

sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan

semau-maunya saja. Lalu akhirnya Al-Ghazali kembali kepada apa yang

dinamakannya perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah swt.

Imam Al-Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates,

Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit

dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu

72

mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji dibandingkan dengan

karangan-karangan filosif yang lain. Semua ini menunujukan ketajaman

otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati

serta khusu‟ akan kata-kata “ wallahu‟alam” artinya “ Allah yang Maha

Tahu”.

Dalam zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan anatara

ahli tasawuf dan ahli fiqh. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah

merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya

atau sesudah wafatnya, imam Al-Ghazali mendapat teman sepaham,

disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak

sepaham, diantaranya ialaj Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah,Ibnu Qayyim, dan

lain-lain dari ahli fiqh, Didunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian

besar, mendapat penghargaan dari para filosuf, diantaranya dari Renan,

Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain.

Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Ds. Zwemmer pernah

memasukan imam Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang

pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah saw. Sampaikepada

zaman kita sekarang yaitu:

1. Nabi Besar Muhammad saw

2. Imam Al-Bukhari, ulama hadizt yang terbesar

3. Ilamam Al-Asy‟ari, ulama tauhid yang termasyhur

4. Imam Al-Ghazali, pengarang Ihya‟ yang terkenal.

Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan

kita menyebutkan beberapa bidang lagi, dimana Al-Ghazali mempunyai

saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, fiqh dan lain-

lain.

2. Karya Karya Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali telah banyak menghasilkan karya-karya

monumental dalam berbagai disiplin ilmu. Daftar selengkapnya mengenai

karya-karya imam Al-Ghazali tersebut, sebagaimana di kutip oleh Sayid

73

Muhammad bin Muhammad al-Husaini (dalam Abidin Ibnu Rusn, 2009:

26- 30), adalah sebagai berikut:

Huruf Alif:

1. Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad

2. Ilmjamu al-awwam „an Ilmi al-Klam

3. Asraru al-Mu‟ammaladatiddin

4. Asraru al-Anwari al-Ilahiyah

5. Akhlaqu al-Abrar

6. Asraru al-Itba‟is as-Sunnah

7. Asraru al-Huruf wa al-Kalimat

Huruf Baa:

8. Bidayatu al-Hidayah

9. Al-Basith fii Furuu‟i al-Madzhab

10. Bayanu al-Qaulani li as-Syafi”ie

11. Badaa‟i ash-Shani

Huruf Taa:

12. Tanbihu al-Ghafilin

13. Talbisu al-Iblis

14. Tahafut al-Falasifah

15. At-Ta‟liqu fi Furuu‟i al-Mazhab

16. Thasinu al-Adillah

17. Tafsiru al-Qur‟an al-Kariim

18. At-Tafriqu baina al-Iman wa az-Zindiqat

Huruf Jim:

19. Jawahirual-Qur‟an

Huruf Kha:

20. Khujjatul al-Khaq

21. Khaqiqatu ar-Ruh

22. Khaqiqatu al-Qaulani

Huruf Khaa:

23. Khulasatu ar-Rasaa‟il

74

Huruf Raa:

24. Rasailu al-Aqhtab

25. Risalatu Ath-Thair

26. Ar-Raddu „alaman Tha‟ana

27. Risalatu al-Laduniyah

28. Risalatu al-Qudsiyah

Huruf Siin:

29. As-Sirru al-Mashun

Huruf Syiin:

30. Syarkhu Da‟irati „ala Ibni Abi Thalib

31. Syifaau al-Khalil

Huruf ‘Ain:

32. „Aqidatu al-Misbakh

33. “Ajaa ibi Shan‟illah

34. „Unquudu al-Mukhtasar

Huruf Ghain:

35. Ghayatu al-Ghaur fi Masaa ili ad-Daur

36. Ghauruddaur fi Mas alati al-Madzkur

Huruf Faa:

37. Fatikhatu al-Ulum

38. Fawatikhussuri wa al-Farqu baina ash-Shali waghairu ash-

Shalikhah

Huruf Qaff:

39. Al-Qanunu al-Kalbiyu

40. Al-Qanunu ar-Rasul

41. Al-Qurbatu ila Allah

42. Al-Qathasu al-Mustaqim

43. Qawa‟idul al-„Aqaaid

44. Al-Qaulul Jamil fi ar-Raddi „ala man Ghayyara al-Injil

Huruf Kaf:

45. Kimia‟is Sa‟adah

75

46. Kasyfu‟ Ulumi al-Akhirah

Huruf Lam:

47. Al-Lubabu al-Muntakhili fi al-Jadal

Huruf Miim:

48. Al-Mustasfaa

49. Al-Mankhul fi al-Usul

50. Al-Makhudzu fi al- Khilafiyat

51. Al-Mabadi wa al-Ghayat

52. Al-Majlisu al-Ghazali

53. Al-Manqashidu al-Flasifah

54. Al-Munqidz min Ad-Dhalal

55. Mi‟yaru al-„Ilmi

56. Makhallu an-Nadhar

57. Minhaju al-Abidin

58. Misyakatu al-Anwar

59. Mizanu al-Amal

60. Mawahimu al-Bathiniyah

61. Minhaju al-„ala

62. Mi‟raju as-Shalikhin

63. Al-Maknun fi al-Ushul

64. Muslimu as-Salatin

Huruf Wau:

65. Al-Wajizu fi al-Furu‟

66. Al-Wasithu fi al-Furu‟i al-Wasith

Huruf Yaa:

67. Yaqutu at-Ta‟wil fi at-Tafsiri at-Tanzil

B. Konsep Pendidikan Spiritual Al-Ghazali

Imam al-Ghazali memperkenalkan kecerdasan spiritual dengan

beberapa sebutan, seperti sama hal nya dalam konsep mukasyafah dan

ma‟rifah, menurut imam al-Ghazali, kecerdasan dalam bentuk mukasyafah

76

(penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari

berbagai hambatan. Yang dimaksud hambatan disini ialah kecenderungan

duniawi dan berbagai penyakit jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat.

Mukasyafah adalah sasaran terakhir para pencari kebenaran dan mereka

yang berkeinginan meletakan keyakinan diatas kepastian. Kepastian yang

mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat di capai ketika roh tidak

lagi terselubung khayalan dan fikiran.

لإوبوجوت يي ذال مل عال ن ل لإمسقن ي ةراخآ ةفاشكمال مل وةلامعمال مل

(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah) Dijelaskan dalam kalimat tersebut bahwa sanya ilmu pengetahuan

yang dapat menghantarkan kita menuju akhirat itu terbagi menjadi dua,

yakni ilmu mua‟amalah dan ilmu mukasyafah.

امةلامعمال مل عبن أوط قف مو لع مال فش كون مبلط يماةفاشكمال مل عبن أو

(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah) وبلمعال فش كال عمون مبلط يBaris ini menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah

yakni ilmu yang diminta untuk sekadar mengetahuinya saja. Dan dengan

ilmu mu‟amalah ialah yang diminta disamping ia mengetahuinya,

hendaknya ia mengamalkannya.

لإمسقن ي ةلامعمال مل ن إ لإوحاروال الم أبمل عال ن أراىظمل مل

ارال وبو للقا الم أبمل لعا ن أناطب ال لي م إحاروى م إوةادا ةادبا

تو كمللا الن ماسوال نابجتح ال مك بيىتال بو لقىال لداروال و

.ناطبوراىظني رط شلإمل عاال ذىمسقن اباجوال بفمو مذ امم إودو مان م إ(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah)

77

Dijelaskan padanya ilmu mu‟amalah itu terbagi menjadi ilmu dzahir,

yakni yang dimaksud ilmu dzahir ini adalah ilmu mengenai amal

perbuatan anggota badan. Yang kedua adalah ilmu bathin, yakni ilmu yang

mengenai amal perbuatan hati dan melalui anggota badan, adakalanya

merupakan adat kebiasaan dan kadang pula merupakan ibadah.

Dan yang datang pada hati, yang dengan sebab terdinding dari panca

indera, termasuk bagian alam malakut, adakalanya terpuji adakalanya

tercela. Oleh sebab itu ilmu ini terbagi kepada menjadi dua, yakni ilmu

dzahir dan bathin

لإمسقن احاروال بقل عت مال راىالظ رط الش و ناطلبا رط الش وةادبوةاد

دو من ومو مذ ملإمسقن اسف الن قل أوبل لقا الوح أبقل عمت لا (Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah)

Bagian dzahir yang menyangkut anggota badan, terbagi kepada

adat kebiasaan dan ibadah. Bagian batin yang menyangkut denga hal ihwal

hati dan budi pekerti jiwa, yang terbagi kepada yang tercela dan terpuji

Kecerdasan spiritual, menurut imam al-Ghazali, dapat diperoleh

melalui wahyu dan ilham. Wahyu merupakan kata-kata yang

menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, diturunkan

oleh Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain

sebagai petunjuk Nya. Sedangkan ilham hanya merupakan pengungkapan

(mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk

kedalam batin seseorang. Imam al-Ghazali tidak membatasi ilham itu

hanya pada wali, tetapi diperuntukan kepada siapapun yang

diperkenankan oleh Allah. Menurut dia, tidak ada perantara anatara

manusia dan pencipta Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh

di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Bagi imam

al-Ghazali, mukasyafah adalah kebenaran Ilahi.

Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang

memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa

78

depan. Hal ini terjadi karena disaat tidur manusia tidak lagi

memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian

terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat tidur.

Dalam keadaan sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan

puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar,

manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak

ada perbedaan antara mukasyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting

adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan

jasmaninya ( Sulaiman Dunya, 1994: 139)

Sebelum membahas terlalu jauh mengenai spiritual, hendaknya kita

membahas terlebih dahulu tentang struktur insan, yaitu pengetahuan

manusia terhadap dirinya sendiri. Disebabkan menurut imam al-Ghazali ,

pengetahuan yang benar tentang struktur insan merupakan platform

(landasan, sistem operasi) bagi tumbuhnya keberagaman yang utuh

sehingga seorang muslim dapat memulai keislamannya dengan arahan

yang jelas dan nyata dimana dia akan adil dalam mendayagunakan segala

potensi pencarian kebenaran yang Allah hadirkan dalam dirinya baik yang

melekat pada aspek jasadiahnya seperti fikiran, nalar (logika), maupun

yang melekat pada aspek bathiniyahnya se[erti petunjuk Allah, nur ilmu

(ilmu laduni) dan ilmu tasawwuf.

Mengenai struktur insan, atau struktur manusia adalah struktur

berbagai alam dan bagian-bagiannya, tentang bagimana unsur- unsur

penyusunannya , inter relasinya, dan mekanisme hukum yang berlaku

didalamnya dimana alam yang dimaksud tidak hanya meliputi alam fisik

inderawi tetapi juga alam-alam atas, termasuk alam malaikat. Untuk

menjelaskan struktur insan yang kompleks ini maka imam al-Ghazali

menggambarkan bahwa manusia itu adalah hewan yang mampu berfikir

(hayawan nathiq) . maksudnya berjasmani seperti hewan tetapi mampu

menyerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat.

Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur

jiwa (al-nafs) yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan

79

apa yang dipikirkannya (nathiq) , baik dalam bentuk perkataannya hingga

perbuatan , sehingga bila saja binatang diberi jiwa (al-nafs) sebagaimana

yang diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir. Dalam

ihya Ulumiddin, imam al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam

membahasa tentang esensi manusia yaitu: qalb, ruh, nafs, dan aql.

Kutipan Prof. Dr. Oemar Hamaliki al-Taumy al- Syaibany dari

Mizanul Amal karya imam al-Ghazali dalam buku Pemikiran al-Ghazali

tentang pendidikan (2009: 33 ), menyatakan uraian ini:

“Insan (manusia) ialah makhluk yang dicipta dari tubuh yang dapat

dilihat oleh pandangan, dan jiwa bida ditanggapi oleh akal dan mata

hati (bashirah), tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan

dengan tanah dan ruh nya pada nafs atau jiwanya. Allah maksudkan

ruh ialaha apa yang kita ketahui sebagai jiwa atau nafs. Allah

mengisyaratkan kepada orang yang berpandangan jauh bahwa jiwa

atau nafs manusia termasuk perkara ketuhanan. Ia lebih besar dan

lebih tinggi dari jasad yang terpacak di bumi”

Dari sini dapat disebutkan sifat-sifat dasar jasad, yang merupakan

kebalikan dari sifat-sifat jiwa, yakni: ia adalah materi membutuhkan ruang,

waktu, dan tempat, terdiri atas unsur-unsur yang membentuknya, hancur,

tidak mengetahui, dan tidak merasa.

Mengenai hal tersebut imam al-Ghazali menyampaikan pandangannya

tentang terciptanya manusia, ia terdiri dari dua unsur yang sifatnya

berbeda, yakni: bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang

disebut hati atau ruh. Akan tetapi, walaupun kedua unsur tersebut

mempunyai sifat yang berbeda, dalam membentuk makhluk sempurna.

Manusia keduanya berhubungan erat, antara yang satu dengan yang

laintidak dapat dipisahkan, dan hubungan itu bersifat khususi. Artinya, satu

unsur tidak berada di jasad juga tidak di luarnya, tidak terpisah dan juga

tidak menyatu, tetapi keduanya saling membutuhkan. Hal ini dijelaskan

al-Ghazali dalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan (2009: 35),

sebagai berikut:

80

“Maka hatilah yang mengetahui Allah. Dialah yang mendekati Allah.

Dialah yang bekerja karena Allah. Dialah yang berjalan karena Allah.

Dan dialah yang membuka apa yang disisi Allah dan yang ada pada

Nya. Dan sesungguhnya anggota badan itu adalah pengikut, pelayan

dan alat yang dipergunakan oleh hati dan yang dipakainya. Laksana

pemilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya

dan pekerja bagi perkakasnya”

Seperti yang disampaikan dalam al-Qur;an surat Shaad: 72, mengenai

hakikat manusia diberikan kalbu oleh Allah SWT:

Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku

meniupkan kepadanya dari ruh (ciptaan)-Ku maka hendaklah kamu

tunduk dan sujud kepada-Nya” (Q.S Shaad: 72)

Mengenai kedua hubungan antara kedua unsur manusia itu akan

menjadi lebih jelas lagi kalau kita membaca uraian imam al-Ghazali

tentang junudul qalbi (pasukan hati) Juz III kitab Ihya „Ulumuddin ( imam

al-Ghazali: 5).

ال و ن ج ونضر غبقل عت يي ذال وهف بل قد ارصب ال ىبري دنجاندنجولامدالمك حفدو ن ال وكلمال مك حفوىورائصبال بل ىإري لدنجوعال بداىشمال هدناجم أفدن ال نعامذآهفانو ال و لجالر ود يال وهف ي عال و اهعي جن إفةناطبال وةراىالظ اءض ال رائسوانلسل وانذلا وي

تقلد قاولدد رمال اوهي ففر صتمال وهف ولةرخسموبل قل لةمادطلةلو ب م ى وفلولعي طتس لوتا لا فدرت وي ل أذإا عال رما ي أذإوتحتفن ااحتفن ال ب أذإوتكر تةكرال بلرجال رما انسالل رما اءض ال رائاسذكومل كوبمكال مز جوملكال ب

Menurutnya, bahwa hati mempunyai dua macam pasukan. Pertama,

pasukan yang tampak, yang meliputi: tangan, kaki, mata, dan seluruh

81

anggota tubuh. Semuanya itu mengabdi dan tunduk kepada perintah hati.

Inilah yang disebut sebagai pengetahuan. Kedua, pasukan yang ada

kaitannya dengan yang dapat menentukan perbedaan anatara manusia dan

binatang, karena mempunyai dasar yang lebih halus, terutama beberapa

bagian dari beberapa bagian dari pasukannya seperti syaraf dan otak.

Inilah yang disebut kemauan. Kedua pasukan hati yakni (pengetahuan dan

kemauan) inilah yang tidak hanya membedakan manusia dari binatang

tetapi juga membedakan anatara orang dewasa dan anak-anak.

Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya ihya „Ulumiddin

penjelasan kekhususan hati insan:

وبل ق لمتش ين اأاهدح إانتجردولوي فمو لعال هذآىلو صحفبالص ث ازوجوتلي حتس مال ةالحتاس بمل عال كةيلو ال ةيرو رالض مو لعال رائىسل

ت اراصهن أل إةلاصحري اغهي فةيرظالن مو لعال نو كتف ةراىالظ اتزائال الحكمو لعال لإةافضال بوالحنو كيولو صال وانكم لا ةبي رقةنكم ةدرف مال فو رال وملقال واةوالد لإةابتكال نمفرع ي يلذال بالكا وللص تحن أةيانالث دع اب هغل ب ي ل وةابتكال بارقد قون إفةبكرمال نو دشذإفهدن ةنو زخ مال كنو كتف رك فال وبارجالت بةبستك مال مو لعال اءاوهي لإعجر ن كيل ن إوباكولالقي ذ إةابتكال بقاذالالحوالحا (Imam al-Ghazali, juz III, hal 7-8)اهي لوردقبةابتكل الراشبم

Penjelasan dari kalimat diatas, adalah anak kecil mempunyai dua

tingkat dalam memiliki ilmu pengetahuan yang dimaksud dalam

pembahasan sebelumnya yakni mengenai nafsu-syahwat, kemarahan,

panca indra zahiriah dan batiniah. Tingkat yang pertama: bahwa hatinya

anak kecil itu melengkapi kepada ilmu dlaruri seperti ilmu yang

mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya , segala yang jawwaz

yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada tingkat

ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat

82

kemungkinannya dan dekat keberhasilannya. Yakni adalah keadaan anak

kecil itu, dengan dihubungkan dengan ilmu pengetahuan itu seperti halnya

seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal penulisan, selain tinta, pena

dan huruf-huruf tunggal yang tidak tersusun, ia sudah mendekati kepada

penulisan. Dan begitupun tingkat kedua: berhasil bagi anak kecil itu ilmu

pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka

ilmu pengetahuan itu seperti simpanan pada dirinya. Kalau ia mau niscaya

ia akan kembali padanya. Dan hal itu sama dengan hal nya orang yang

pandai menulis, karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak

langsug menulis. Disebabkan kepada kemampuannya dalam penulisan itu.

Semua hal tersebut dikarenakan manusia hidup memiliki tujuan,

Abidin ibnu Rusn dalam bukunya menyampaikan sebuah kutipan

mengenai tujuan hidup manusia yang dinyatakan oleh imam al-Ghazali

yakni sebagai berikut:

“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan

agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.

Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat

yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau

memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi”

Dari pernyataan imam al-Ghazali tersebut, dapat difahami bahwa

manusia mempunyai dua tujuan hidup. Pertama, sebagai perantara yang

harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai tujuan akhir yang akan dicapai

setelah hancurnya dunia. Tujuan akan dicapai didunia berupa kesenang-

senangan duniawi seperti wanita, anak-anak, harta, sarana transportasi,

hewan ternak, sawah ladang, dan lain-lain. Kebahagiaan disni sangatlah

relatif artinya, yakni tidak ada batasan yang jelas, terutama tentang

bagaimana dan kapan seseorang mencapai serta merasa puasa terhadap

yang dipandangnya sebagai sesuatu yang nikmat. Disamping itu, manusia

tidak akan dapat mencapainya kecuali bekerja dengan manusia lain

melalui terwujudnya lapangan pekerjaan sebagaimana yang diterangkan.

Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan yang akan dicapai diakhirat

adalah sorga dan segala kenikmatannya, yang berpuncak saat manusia

83

melihat Allah. Kebahagiaan akherat telah jelas wujud dan saatnya yaitu

setelah yaumul hisab, hari perhitungan amal sebagai satu masa setelah hari

kiamat. Setiap manusia merasakan kenikmatan yang sama dengan

sendirinya sebagai hasil daya upaya dan kemampuannya dalam

memanfaatkan kenikmatan- kenikmatan dunia.

Selanjutnya imam al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia untuk

beramal sebagai hakikat syukur harus melalui tiga tahapan: pengetahuan

(ilmu), keadaan tertentu didalam pribadi (hal), dan amal (tindakan).

Karena manusia di muka bumi yang bertugas menjadi khalifah Allah

mutlak membutuhkan pengetahuan, sehingga sebelum bertugas Allah

membekali ilmu kepadanya. Atas dasar inilah imam al-Ghazali

menegaskan bahwa:

“Manusia tidak akan mencapai tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu

dan amal. Dan ia tidak akan dapat beramal kecuali dengan mengetahui

cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagiaan dunia

dan akhirat”

Penegasan tersebut dijelaskan dalam kitab ihya „ulumuddin juz I bab

tentang dalil akal (Ihya‟Ulumuddin, 13) :

اماءيش ال لضف أوةيدبال ةادعيالس ماخآدق حفةبراءيش ال مظ أووهي لإةلي سووى إهي لإلصوت ي ن لا لإلصوت ي لولمعال ومل عال بل اوين الد فةادعالس لص أفلمعال ةيفي كبمل عال بلإلمعال وىةراخآ ااضي أءي الش ةلي ضففرع د قولفي كوالم اللضف أن ذإوهف مل عال مالعال ب رن مبرالقمل عال ةرث ن أتفرد قوورث فرشب اقحتل ال وي ةراخآ افذآىىل ال لمال ةنارقموةكئلمال قفأب

Imam al-Ghazali menjelaskan kedudukan yang tertinggi bagi seorang

manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan

kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan

amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara

beramal. Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah (ilmu).

84

Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak,

kadang-kadang mengetahui keutamaan sesuatu juga dengan kemuliaan

hasilnya. Dan anda mengetahui hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri

kepada Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian

malaikat, dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Dan itu semuanya

adalah di akhirat.

Salah satu fase penting dalam kehidupan umat manusia dalam upaya

menambahkan dan membentuk suatu kepribadian tangguh berdasarkan

moralitas dan nilai-nilai ajaran Islam adalah pada masa anak-anak

sehingga diharapkannya terwujudnya insan kamil yang mampu

mengfungsikan dirinya sebagai hamba Allah SWT dan sebagai khalifah

(pemimpin) di bumi sebagaimana yang tercantum dalam Q.S adz-Dzariyat

ayat 56 tentang tujuan penciptaan manusia:

Artinya “ dan aku tidakmenciptakan jin dan manusia supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (Q.S adz-Dzariyat: 56)

Manusia lahir dalam keadaan fitrah dengan memiliki rasa ketauhidan

dan dibekali akal oleh Allah suatu potensi kecerdasan, kemampuan watak,

dan motif. Manusia sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi

telah dibekali dengan berbagai potensi. Dan dengan dikaruniai potensi

tersebut diharapkan manusia mampu menjalankan tugasnya . dan diantara

potensi yang dimiliki manusia adalah potensi beragama. Fitrah beragama

dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakan hatinya untuk

melakukan perbuatansuci yang diilhami oleh Allah. Fitrah manusia

mempunyai sifat yag suci, yang dengan nalurinya tersebut, ia secara

terbuka menerima kebenaran dan menerima kehadiran Allah SWT sebagi

Tuhan yang maha suci.( Sururin, 2004: 29)

Anak adalah suatu amanah yang diberikan kepada setiap kedua orang

tua, hatinya suci bagaikan jauhar sederhana dan suci yang bisa menerima

segala apa yang digoreskan kepadanya baik berupa kebaikan ataupun

85

berupa keburukan dan cenderuing kepada setiap hal yang ditunjukan

kepadanya. Setiap anak yang lahir berpotensi untuk menjadi cerdas karena

secara fitri manusia dibekali dengan kecerdasan oleh Allah.

Dalam mengaktualisasikan diri sebagai hamba dan sebaia khalifah

tersebut maka diperlukan suatu upaya pengasuhan dan pendidikan pada

anak secara berkala agar tercapai perkembangan dan pertumbuhan

kecerdasan intelektual moralitas dan terlebih lagi kecerdasan spiritual

secara baik.

Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang berasal dari fitrah

manusia itu sendiri dan bersumber dari Allah, kecerdasan yang lebih

mengandalkan kemampuan atau kesucian inteleksi. Model kecerdasan

spiritual pun lebih bersifat spiritual (Spiritual Intellegensi) yang terefleksi

dalam perilaku pemaknaan ibadah dan kegiatan yang memiliki tujuan dan

arah yang jelas serta benar, karena kecerdasan spiritual bersifat mutlak

kebenarannya. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang

berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola

danmendaya gunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas kehidupan

spiritual. Kehidupan spiritual yang dimaksud adalah meliputi hasrat untuk

hidup lebih bermakna. (A. Mujib dan Yusuf M, 2006: 325).

Dalam usaha pembentukan kecerdasan spiritual sejak dini adalah

dengan penanaman pendidikan agama menjadi sesutu yang sangat

signifikan . pendidikan agama merupakan hal terpenting dalam kehidupan

di dunia, sebab memusatkan pada perbaikan spiritual, disiplin dan

perbaikan tingkah laku disamping itu juga memperhatikan tentang kaidah-

kaidah utama tentang akhlak mulia serta contoh- contoh yang terhormat.

Dengan pendidikan agama maka akan mendukung individu-individu

dengan kekuatan iman, intelektual serta ketelitian , yang mana kekuatan

tersebut mampu membentuk kekuatan akal. Dengan kata lain bahwa denga

pendidikan agama akan terwujud kecerdasan spiritual yang optimalyang

menjadi tujuan manusia yang utama manusia hidup di dunia.

86

Dalam hal ini imam al-Ghazali, istilah kecerdasan spiritual beliau

samakan dengan kecerdasan qalbiyah. Menurutnya tujuan puncak

kecerdasan spiritual atau kecerdasan qalbiyah yang di maksud dalah

mencapai tazkiyah al-nafs yakni penyucian jiwa yang otimal dengan

keuletan melaksanakan ar-riyadhah (latihan-latihan spiritual).

Adapun tujuan lebih rinci mengenai tazkiyah al-nafs adalah sebagai

berikut:

1. Untuk membentuk manusia yang bersih aqidah, suci jiwa, luas

ilmu dan seluruh aktifitas bernilai ibadah

2. Membentuk manusia yang berjiwa suci, berakhlakul karimah

dalam pergaulan sesamanya yang sadar akan tugas, tanggung

jawab, hak dankewahibannya dalam mengarungi kehidupan

dunia.

3. Membentuk manusia yang berjiwa sehat dan jauh dari sifat tercela

4. Membentuk manusia yang berfikiran sehat dan optimistik,

futuristik dalam kehidupan.

Imam al-Ghazali mengemukakan aspek terpenting dalam kecerdasan

spiritual adalah proses tazkiyah al-nafs dan upaya ar-riyadhah. Ada

beberapa hal dalam mengobati hati untuk meneduhkan jiwa manusia

beriman yaitu senantiasa membaca al-Qur‟an dan maknanya, mendirikan

shalat malam, memperbanyak berpuasa , bergaul dengan orang-orang

shaleh serta memperbanyak zikir malam. Apabila dilaksanakan dengan

kesabaran maka amalan tersebut mampu membersihkan jiwa manusia serta

mengobati hati manusia serta mensyucikannya dari berbagai penyakit.

Seperti yang dijelaskan dalam Q.S al-A‟la ayat 14-15 :

Artinya “ Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri

(dengan beriman). Dan Dia ingat nama Tuhanya, lalu Dia

sembahyang (Q.S al-A‟la : 14-15)

87

Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita

berbicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab

pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk

memelihari kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun

sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan

hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke

generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus.

Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah

pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya

dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakatnya

untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selalu berubah.

Seperti perkembangan anak- anak disekolah menyebabkan ia dapat

mencipta alat-alat modern untuk mengatasi, misalnya banjir, gempa bumi,

udara dingin, angin beliung, gunung berapi, menempuh jarak yang jauh

dan lain-lain dengan mencipta teknologi modern untuk menanggulangi

masalah tersebut.

Misal yang kita beri di atas adalah untuk membuktikan bahwa

pendidikan itu hanyalah alat yag dipergunakan manusia untuk memelihara

hidupnya. Kalau begitu tujuan pendidikan itu haruslah berpangkal pada

tujuan hidup.

Manusia mempunyai dua tujuan hidup menurut imam al-Ghazali.

Pertama, sebagai perantara yang harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai

tujuan akhir yang akan dicapai setelah hancurnya dunia. Tujuan yang akan

dicapai didunia berupa kesenang-senangnan duniawi seperti wanita, anak-

anak, harta, sarana transportasi, hewan ternak, sawah ladang, dan lain-lain.

Kebahagiaan disini sangatlah relatif, tidak ada batasan yang jelas, terutama

tentang bagaimana dan kapan seseorang mencapai serta merasa puas

terhadap yang dipandangnya sebagai sesuatu yang nikmat. Disamping itu

manusia tidak akan dapat mencapaianya kecuali bekerja sama dengan

manusia lain melalui terwujudnya lapangan pekerjaan.

88

Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan yang akan dicapai di akhirat

adalah sorga dan segala kenikmatannya, yang berpuncak saat manusia

melihat Allah. Kebahagiaan akhirat telah jelas wujud dan saatnya, yaitu

setelah yaumul hisab, hari perhitungan amal sebagai satu masa setelah hari

kiamat. Setiap manusia merasakan kenikmatan yang sama dengan

sendirinya sebagai hasil daya upaya dan kemampuaanya dalam

memanfaatkan kenikmatan dunia. Saat mendapatkan istri yang cantik harta

yang melimpah, kedudukan yang tinggi atau kendaraan mewah misalnya,

seseorang yang hendak mencapai tujuan akhirat tidak lengah, ia akan tetap

melaksanakan aktivitas-aktivitas akhirat yang menjadi tugas dalam agama.

Tetapi kebanyakan manusia sering lalai. Orang menjadi lupa diri justru

pada saat memperoleh beberapa kenikmatan dari Allah. Harta yang

dimiliki bukan menjadikannya bersyukur, melainkan justru melenyapkan

ingatananya akan dihisab, sehingga ia enggan memperhatikan orang

miskin yang membutuhkan sebagian harta darinya, ia tidak pernah zakat

atau sedekah. Ketika mampu membangun gedung- gedung mewah sebagi

tempat tinggalnya didunia, ia lupa membangun rumah masa depannya di

akhirat.

Pandangan imam al-Ghazali teantang tujuan pendidikan yakni

mendekatkan diri kepada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali

dengan mensyucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepada Nya (Abidin

Ibnu Rusn, 2009: 78)

Terhadap bidang pengajaran atau pendidikan, imam al-Ghazali banyak

mencurahkan perhatiaannya. Yang mendasari pemikiran nya tentang kedua

bidang ini ialah analisisnya terhadap manusia. Manusia, menurut imam al-

Ghazali, dapat memperoleh derajat kedudukan yang paling terhormat di

antara sekian banyak makhluk dipermukaan bumi dan langit karena

pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.

Sesuai dengan pandangan imam al-Ghazali tersebut terhadap manusia

dan amaliahanya, bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan

kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan,

89

maka dalam kitab monumentalnya, Ihya „Ulumuddin, imam al-Ghazali

mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar.

C. Pendidikan Spiritual Menurut imam al-Ghazali

Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada

Allah, sehingga kita memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Persoalannya, sekarang ini pendidikan telah didistorsi menjadi alat untuk

mencapai kemashuran, kedudukan dan materi semata. Karena itu, semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang belum tentu ia menjadi semakin

bahagia, semakin baik dan semakin takwa kepada Allah. Bahkan sering

terjadi kaum terdidik melakukan kejahatan, kekejaman kesewenang-

wenangan. Imam al-Ghazalilah yang pernah berusaha mengembalikan

pendidikan dalam posisi yang sebenarnya, dengan merumuskan kembali

tentang tujuan pendidikan, metode mengejar, kode etik guru dan murid,

teknik evaluasi, materi yang perlu diajarkan, dan lain-lain.

Dalam ungkapan Al-Ghazali, istilah kecerdasan spiritual yaitu

disamakan dengan kecerdasan qalbiyah. Menurutya pucak kecerdasan

spiritual atau kecerdasan qalbiyah adalah mencapai tazkiyah al- nafs

(pensucian jiwa) yang optimal dengan keuletan melaksanakan arriyadhah

(latihan-latihan spiritual).

Dalam kitab ihya „ulumuddin dalam jilid 3 bab tentara hati ( imam al-

Ghazali: 5) imam al-Ghazali menjelaskan hati itu mempunyai dua tentara:

tentara yang dapat dilihat oleh dengan mata kepala dan tentara yang tidak

dapat dilihat , kecuali dengan mata hati. Hati itu berkedudukan raja. Dan

tentara itu berkedudukan pelayan dan pembantu demikianlah arti tentara.

Adapun tentara yang disaksikan dengan mata, ialah: tangan, kaki, mata,

telinga, lidah dan anggota-anggota tubuh lainnya, yang zahir dan yang

batin. Semuanya itu pelayan hati dan yang berkerja cuma-cuma untuk

hati. Hatilah yang menggunakannya dan yang pulang pergi kepadanya.

Semua anggota itu dijadikan secara naluri patuh kepada hati. Tiada

sanggup menyalahinya dan mendurhakainya. Apabila hati menyuruh mata

90

dibuka, niscaya dia terbuka. Apabila hati menyuruh kaki bergerak, niscaya

ia bergerak. Apabila hati menyuruh lidah berkata-kata dan ia yakin akan

hukum yang akan diperkatakan, niscaya lidah itu berkata-kata. Dan

begitulah dengan anggota-anggota badan lainnya.

Kepatuhan anggota-anggota tubuh dan panca indera kepada hati, dapat

diserupakan dari segi kepatuhan para malaikat kepada Allah Ta‟ala.

Sesungguhnya malaikat itu secara naluri patuh, tiada sanggup menyalahi

Nya. Bahkan, mereka tiada mendurhakai Allah akam apa yang disuruh

oleh Allah. Mereka berbuat apa yang disuruh.

Maka dijadikan didalam hati apa yang dihayatinya dari keinginan-

keinginannya, dan dijadikannya anggota-anggota badan yang menjadi alat

keinginan- keinginan itu. Maka diperlukan dua tentara untuk menolak

bahaya yang membinasakan, yakni tentara batin dan tentara zahir. Tentara

batin, yaitu marah yang menolak segala yang membinasakan dan menuntut

balas dari musuh. Dan tentara zahir, yaitu adalah tangan dan kaki, dimana

dengan tangan dan kaki itu dapat berkerja menurut kehendak marah.

Menurut imam al-Ghazali nafsu-syahwat, kemarahan dan pancra

indera zahiriah dan batiniah, maka sesungguhnya itu terdapat pada anak

kecil. Kemudian pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu

mempunyai dua tingkat: tingkat pertama, bahwa hatinya anak kecil itu

melengkapi kepada ilmu dlaruri pertama yang lain seperti ilmu tentang

mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya. Segala yang jawaz

yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada tingkat

ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat

keberhasilannya. Adalah anak kecil itu, dengan dihibungkan kepada ilmu

pengetahuan, seperti hal nya seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal

penulisan, selain tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang tidak bersusun.

Ia sudah mendekati kepada penulisan. Dan belum lagi sampai kesana.

Tingkat kedua yakni bahwa berhasil bagi anak kecil itu ilmu pengetahuan

yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka ilmu

pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau ia mau, niscaya ia

91

kembali kepadanya. dan halnya itu sama dengan hal nya orang yang

pandai menulis, karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak

langsung menulis, disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu.

Hal tersebut adalah tujuan penghabisan derajat insaniyah, yang

terdapat tingkat-tingkat yang tak terhingga jumlahnya, yang berlebih

kurang dari padanya, disebabkan banayak dan sedikitnya pengetahuan

memperolehnya. Karena sebahagian hati berhasil ilmu pengetahuan itu

dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya (mubadaah) dan

membukakanya (mukasyafah). Dan sebagaimana mereka, memperolehnya

dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera berhasil dan

kadang-kadang lambat berhasil.

Sesungguhnya hati itu seperti bejanan (tempat air). Selama masih

penuh dengan air, maka tidakakan dimasuki udara. Maka hati yang

disibukan oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh ma‟rifah

(mengenal) keagungan Allah Ta‟ala. Kepada inilah diisyaratkan dengan

sabda Nabi saw:

طيالش لو لأن ا ق لنو مو يي ملكو تو رظنلمددنببو لى إلماء)رواهأحدمنأيبىريره(الس

Artinya: “ jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak

Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang kea lam malakut yang

tinggi (HR Ahmad dari Abi Hurairah)

Dari keseluruhan ini teranglah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu

dan hikmah. Dan yang termulia, dari segala macam ilmu itu, ialah: ilmu

mengenai Allah, sifat-sifatnya dan af‟alnya (perbuatannya). Maka dengan

itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaannya itu

kebahagiaan dan kepatutannya disisi Tuhan Yang Maha Agung dan Maha

Sempurna.

Maka tubuh manusia itu tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat ilmu.

Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah

manusia itu dijadikan. Sebagaimana yang di jelaskan dalam bab syukur

92

yakni, barang siapa menggunakan anggota tubuh dan panca inderanya

pada jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan

barang siapa berpaling darinya, maka merugi dan kecewa.

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa orang berilmu itu adalah ibarat

hati, dimana keadaan hakikat segala sesuatu bertempat didalamnya. Dan

pengetahuan yang diketahui itu, adalah ibarat hakikat segala sesuatu. Dan

pengetahuan itu sendiri adalah ibarat hasil di dalam bentukdi dalam cerita.

Imam al-Ghazali pun menuliskan dalam kitanya ihya „ulumuddin

tentang mengosongkan hati dari segala urusan duniawi dan menghadapkan

diri dengan penuh cita-citakepada Allah ta‟ala. Maka barang siapa yang

dianya bagi Allah, maka adalah Allah baginya. Maka senantiasalah Allah

terus menerus serta kehadiran hati sehingga ia berkesudahan kepada

keadaan, dimana ia meninggalkan penggerakan lidah. Kemudia ia bersabar

atas yang demikian, sehingga terhapus bekasnya dari lidah. Dan berbetulan

hatinya rajin kepada berdzikir. Lalu ia berkebiasaan yang demikian,

sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan cara

kalimatnya . dan tinggalah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya,

yang hadir di dalam hati seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak

berpisah. Dan ia mempunyai usaha yang mempunyai kesudahan kepada

batas tersebut. Dan berusaha untuk kekalnya keadaan itu, dengan menolak

was-was hati.( imam al-Ghazali, 1974)

Dengan demikian perlulah sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan

berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan

terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan

berserah diri kepada Nya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal

pengetahuan didalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di

samping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng pertahanan

religus yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah

yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah

menguasai seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan anak anak dari

sifat- sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa, dan tradisi-tradisi jahiliyah

93

yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu

kebiasaan dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat

yang paling utama, demikian ringkasnya mengenai pendidikan religius

yang disampaikan oleh Abdullah Nashih Ulwan (1994: 193).

Dijelaskan pula dalam kitab ihya „ulumuddin tentang didalam ilmu

yang diperoleh hati itu, berlaku seperti kekuatan dapat melihat pada mata

dan melihatnya segala bentuk benda. Terlambatnya ilmu dari tanggapan

akal pada masa kanak-kanak, kepada waktu tamyiz, atau dewasa adalah

menyerupai dengan terlambatnya penglihatan dari melihat sampai kepada

waktu terbit matahari dan membanjir sinarnya kepada semua benda yang

dilihat.

Qalam yang ditulis oleh Allah dengan qalam itu. Segala ilmu diatas

lembaran hati, berlaku seperti berlakunya bundaran matahari. Tidak

terperolehnya ilmu dalam hati anak-anak sebelum tamyiz, karena papan

hatinya belum tersedia untuk menerima ilmu itu sendiri. Dan pena yang

meruapakan suatu makhluk Allah Ta‟ala, dijadikan sebab untuk

berhasilnya ukiran ilmu dalam hati manusia. Allah ta‟ala berfirman :

Artinya “ yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, dia

mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”

(Q.S al-„Alaq: 4-5)

Meskipun begitu ilmu aqli itu tidak cukup untuk keselamatan hati,

walaupun hati itu memerlukan kepadanya. Sebagaimana akal itu tidak

cukup untuk tetapnya sebab-sebab kesehatan badan. Akan tetapi,

memerlukan kepada pengetahuan lainya. Karena akal saja tidak tidaka

akan cukup dengan mendengar tidak cukup dengan mendengar saja, tanpa

akal. Maka mengajak kepada semata-mata taqlid, serta menyingkirkan akal

secara keseluruhan itu bodoh.

94

Dan mencukupkan dengan semata-mata akal tanpa nur al-Qur‟an dan

Sunnah Rasul saw, itu adalah salah. Seperti dijelaskan dalam kitab ihya

„ulumuddin (imam al-Ghazali: 16)

ضي رمال صخ والش ةيود ال كةير الش مو لعال وةيذغ ال كةيلق عال مو لعال ن إفركي لبو لقال اضرم أكلدذكفاءوالد وافتماءذغال برضتس يإهجل اتادبعال فائظويىوةعي رالش نمةادفت س مال ةيودال بلالن مفبو لقال حلص لم هي لاللاتولصاءيبن اال هب كرتال الم ال وبفت اك وةير الش ةادبعال اتالعبضي رمال وبل ق ياودي ةيلق عال مو لعال ىكبر ضتس ا اءذغال بضي رمال ر ضتس ايما

Dan dari keseimbangan pandangan hati batiniah bagi pandangan

dzahir, maka Allah ta‟ala berfirman dalam Q.S An-Najm ayat 11:

Artinya “ hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (QS. An-Najm: 11)

Dalam hal ini dapat kita sadari betapa menjadi setiap langkah

kehidupan ini menjadi lebih bermakna itu perlu dengan ilmu, lalu denga

izinya diwahyukan Nya apa yang dikehendakiNya dan kecenderungan

mereka yang tidak bersungguh-sungguh mempelajari ilmu dan

menghasilkan apa yang di ketahuinya. Manakala telah berhasil yang

demikian, niscaya adalah Allah yang memerintah hati hambaNya dan yang

menanggungnya dengan penyinaran nur ilmu. Dan apabila Allah

memerintah urusan hati, niscaya melimpahlah rahmat Nya kepada hati,

bercemerlanglah nur dalam hati, terbukalah dada tersingkaplah rahasia

alam-malakut, hilanglah wajah hati tabir kelalaian dengan kelemah-

lembutan rahmat dan cemerlanglah pada hati hakekat urusan ke Tuhan-an.

Maka tidak ada atas hamba Nya, selain bersiap dengan pembersihan

95

semata, menghadirkan cita-cita serta kemauan yang benar, kehausan yang

sempurna dan mengintip dengan menunggu terus-menenrus akan rahmat

yang dibuka oleh Allah ta‟ala kepadanya.

Seseorang yang memiliki tingkat kedekatan dengan Allah dengan

kehidupan yang menghidupkan spiritual dalam setiap langkahnya maka

senantiasalah ia akan selalu mengucap dengan lidahnya Allah, allah terus

menerus serta kehadiran hati sehingga ia berkesudahan kepada keadaaan,

dimana ia meninggalkan penggerakan lidah. Kemudian, ia bersabar atas

yang demikian, sehingga terhapuslah bekasnya dari lidah. Dan berbetulan

hatinya rajin kepada berdzikire. Lalu ia membiasakan yang demikian,

sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan cara

kalimatnya. Dan tinggallah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya,

yang hadir didalam hati. Seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak

terpisah. Dan ia mempunyai usaha yang berkesudahan kepada batas

tersebut. Dan berusaha untuk kekalnyakeadaan itu, dengan menolak was-

was hati. Semuanya terasa akan selalu bermakna dalam setiap langkah

kehidupannya karena setiap langkah terhubung dan kepasrahan hatinya

karena Allah semata.