67 BAB III KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI A ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of 67 BAB III KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI A ...
67
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN ANAK AL-GHAZALI
A. Biografi dan Karya Al-Ghazali
1. Sejarah Ringkas Imam Al-Ghazali
Diterangkan dalam (dalam Abidin Ibnu Rusn, 2009:9) mengenai
riwayat hidup Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam.
Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad, , namanya kadang diucapkan Ghazzali( dua z), artinya tukang
pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah membuat pakaian dai bulu
(wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sedangkan lazimnya ia dipanggil
dengan Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung
kelahirannya.
Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di desa
Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama”
(Zainuddin), “ Samudera yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan
lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan bermunculannya para
cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit.
Kehidupan saat itu menunjukan kemakmuran tanah airnya, kemakmuran
pemimpinnya, dan kebenran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana
sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat
diperhatikan, pendidikan dan biaya penuntut ilmu ditanggung oleh
pemerintah dan pemuka masyarakat.
Walaupun ayah imam Al-Ghazali seseorang yang buta huruf dan
miskin beliau memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sesaat
sebelum meninggal ayah imam Al-Ghazali meninggalkan kata pada
seorang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-
Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah
Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu.
68
Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya
seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu.
Disamping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu
pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila
mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-
sedu seraya bermohon kepada Allah swt., kiranya dia dianugrahi seorang
putera yang pandai dan berilmu.
Kesempatan emas ini dimafaatkan oleh imam Al-Ghazali untuk
memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Pada masa kecilnya Al-
Ghazali memepelajari ilmu fiqh dinegerinya sendiri pada Syekh Ahmad
bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar
pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.
Pada awal studinya, imam Al-Ghazali mengalami suatu yang
menarik, yang kemudian mendorong kemajuannya dalam pendidikan.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang ketempat asalnya imam Al-Ghazali
dihadang oleh segerombolan perampok, mereka merampas semua bawaan
imam Al-Ghazali, termasuk catatan kuliahnya.
Imam Al-Ghazali meminta kepada perampok tersebut agar
mengembalikan catatanya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok
tersbut malah menertawakannya dan mengejeknya, sebagai penghinaan
terhadap imam Al-Ghazali yang ilmunya hanya bergantung kepada
beberapa helai kertas saja. Tanggapan imam Al-Ghazali terhadap peritiwa
tersebut positive. Ejekan tersebut untuk mencambuk dirinya dan
menajamkan ingatannya dengan menghafal semua catatan kuliahnya
selama tiga tahun itu.
Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut,
berangkatlah imam Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam
Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok
pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqh madzhab
69
Syafi‟i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati da selalu mengatakan: “Al-
Ghazali itu lautan tak bertepi......”.
Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al-Ghazali berangkat ke
Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-mulk dari pemerintahan dinasti
Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar.
Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka
ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian
imam Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali pada
tahun 484 H. Menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang
didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar
di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para
pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana
dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka pada tahun 488 H. Imam Al-Ghazali pergi ke Mekkah
menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia
terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke
Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al-Umawi di kota
tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “
Al-Ghazaliyah”, diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia
mengarang kitab “ IHYA”, yang kami alih-bahasakan ini. Keadaan hidup
dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian
kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-
masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang
membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran
dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya ihya‟, tak lama sesudah itu
berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan
Nizamiyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia.
Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk kaum
shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur‟an,
mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada
70
penuntut-penuntut ilmu yag ingin menyauk dari lautan ilmunya,
mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian
diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatimah
Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir
tahun 505 H (1111 M) di Thusia.
Jenazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan
dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya‟ir yang termasyhur. Sebelum
meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan
pada kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggris, yaitu :
“ Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat
bumi yang sunyi senyap, namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan
dan buah bibir ummat manusia masa depan”.
Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat
muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang
berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantara karangannya yang
banyak itu, ada dua buah yang kurang terkenal di negeri kita, akan tetapi
sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena
anatara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab “ Maqashidul-Falasifah” dan kitab “
Tahafutul-Falasifah”. Kitab yangpertama berisi ringkasan dari bermacam-
macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah
diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad
ke XII M.
Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah
yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malaj
oleh imam al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu,
bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan
lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan
dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.
Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia
(Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordovs (1126-1198). Dia
membantah akan pendirian imam Al-Ghazali dalamhal falsafah itu dengan
71
mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil
falasifah”(kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali).
Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah fahaman imam Al-Ghazali
tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah
pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Demikianlah telah
beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan
menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu.
Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan
menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa
yang akan kalah.
Di samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-
Ghazali, dilontarkan nya kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengah-tengah
umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga
karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasanya Al-
Ghazali, maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikiran ini Al-
Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang. Sebagai Filosuf,
imam Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan
“mazhab perasaan”, sebagaimana filosuf Inggris David Hume (1711-1776)
yang mengemukakakn bahwa perasaan adalah sebagai alat yang
terpenting dalam falsafah yang timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata
berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.
Imam Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian.
Selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengikuti bahwa
perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga
tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna-sempurnanya dengan
sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan
semau-maunya saja. Lalu akhirnya Al-Ghazali kembali kepada apa yang
dinamakannya perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah swt.
Imam Al-Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates,
Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit
dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu
72
mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji dibandingkan dengan
karangan-karangan filosif yang lain. Semua ini menunujukan ketajaman
otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati
serta khusu‟ akan kata-kata “ wallahu‟alam” artinya “ Allah yang Maha
Tahu”.
Dalam zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan anatara
ahli tasawuf dan ahli fiqh. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah
merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya
atau sesudah wafatnya, imam Al-Ghazali mendapat teman sepaham,
disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak
sepaham, diantaranya ialaj Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah,Ibnu Qayyim, dan
lain-lain dari ahli fiqh, Didunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian
besar, mendapat penghargaan dari para filosuf, diantaranya dari Renan,
Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain.
Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Ds. Zwemmer pernah
memasukan imam Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang
pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah saw. Sampaikepada
zaman kita sekarang yaitu:
1. Nabi Besar Muhammad saw
2. Imam Al-Bukhari, ulama hadizt yang terbesar
3. Ilamam Al-Asy‟ari, ulama tauhid yang termasyhur
4. Imam Al-Ghazali, pengarang Ihya‟ yang terkenal.
Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan
kita menyebutkan beberapa bidang lagi, dimana Al-Ghazali mempunyai
saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, fiqh dan lain-
lain.
2. Karya Karya Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali telah banyak menghasilkan karya-karya
monumental dalam berbagai disiplin ilmu. Daftar selengkapnya mengenai
karya-karya imam Al-Ghazali tersebut, sebagaimana di kutip oleh Sayid
73
Muhammad bin Muhammad al-Husaini (dalam Abidin Ibnu Rusn, 2009:
26- 30), adalah sebagai berikut:
Huruf Alif:
1. Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad
2. Ilmjamu al-awwam „an Ilmi al-Klam
3. Asraru al-Mu‟ammaladatiddin
4. Asraru al-Anwari al-Ilahiyah
5. Akhlaqu al-Abrar
6. Asraru al-Itba‟is as-Sunnah
7. Asraru al-Huruf wa al-Kalimat
Huruf Baa:
8. Bidayatu al-Hidayah
9. Al-Basith fii Furuu‟i al-Madzhab
10. Bayanu al-Qaulani li as-Syafi”ie
11. Badaa‟i ash-Shani
Huruf Taa:
12. Tanbihu al-Ghafilin
13. Talbisu al-Iblis
14. Tahafut al-Falasifah
15. At-Ta‟liqu fi Furuu‟i al-Mazhab
16. Thasinu al-Adillah
17. Tafsiru al-Qur‟an al-Kariim
18. At-Tafriqu baina al-Iman wa az-Zindiqat
Huruf Jim:
19. Jawahirual-Qur‟an
Huruf Kha:
20. Khujjatul al-Khaq
21. Khaqiqatu ar-Ruh
22. Khaqiqatu al-Qaulani
Huruf Khaa:
23. Khulasatu ar-Rasaa‟il
74
Huruf Raa:
24. Rasailu al-Aqhtab
25. Risalatu Ath-Thair
26. Ar-Raddu „alaman Tha‟ana
27. Risalatu al-Laduniyah
28. Risalatu al-Qudsiyah
Huruf Siin:
29. As-Sirru al-Mashun
Huruf Syiin:
30. Syarkhu Da‟irati „ala Ibni Abi Thalib
31. Syifaau al-Khalil
Huruf ‘Ain:
32. „Aqidatu al-Misbakh
33. “Ajaa ibi Shan‟illah
34. „Unquudu al-Mukhtasar
Huruf Ghain:
35. Ghayatu al-Ghaur fi Masaa ili ad-Daur
36. Ghauruddaur fi Mas alati al-Madzkur
Huruf Faa:
37. Fatikhatu al-Ulum
38. Fawatikhussuri wa al-Farqu baina ash-Shali waghairu ash-
Shalikhah
Huruf Qaff:
39. Al-Qanunu al-Kalbiyu
40. Al-Qanunu ar-Rasul
41. Al-Qurbatu ila Allah
42. Al-Qathasu al-Mustaqim
43. Qawa‟idul al-„Aqaaid
44. Al-Qaulul Jamil fi ar-Raddi „ala man Ghayyara al-Injil
Huruf Kaf:
45. Kimia‟is Sa‟adah
75
46. Kasyfu‟ Ulumi al-Akhirah
Huruf Lam:
47. Al-Lubabu al-Muntakhili fi al-Jadal
Huruf Miim:
48. Al-Mustasfaa
49. Al-Mankhul fi al-Usul
50. Al-Makhudzu fi al- Khilafiyat
51. Al-Mabadi wa al-Ghayat
52. Al-Majlisu al-Ghazali
53. Al-Manqashidu al-Flasifah
54. Al-Munqidz min Ad-Dhalal
55. Mi‟yaru al-„Ilmi
56. Makhallu an-Nadhar
57. Minhaju al-Abidin
58. Misyakatu al-Anwar
59. Mizanu al-Amal
60. Mawahimu al-Bathiniyah
61. Minhaju al-„ala
62. Mi‟raju as-Shalikhin
63. Al-Maknun fi al-Ushul
64. Muslimu as-Salatin
Huruf Wau:
65. Al-Wajizu fi al-Furu‟
66. Al-Wasithu fi al-Furu‟i al-Wasith
Huruf Yaa:
67. Yaqutu at-Ta‟wil fi at-Tafsiri at-Tanzil
B. Konsep Pendidikan Spiritual Al-Ghazali
Imam al-Ghazali memperkenalkan kecerdasan spiritual dengan
beberapa sebutan, seperti sama hal nya dalam konsep mukasyafah dan
ma‟rifah, menurut imam al-Ghazali, kecerdasan dalam bentuk mukasyafah
76
(penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari
berbagai hambatan. Yang dimaksud hambatan disini ialah kecenderungan
duniawi dan berbagai penyakit jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat.
Mukasyafah adalah sasaran terakhir para pencari kebenaran dan mereka
yang berkeinginan meletakan keyakinan diatas kepastian. Kepastian yang
mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat di capai ketika roh tidak
lagi terselubung khayalan dan fikiran.
لإوبوجوت يي ذال مل عال ن ل لإمسقن ي ةراخآ ةفاشكمال مل وةلامعمال مل
(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah) Dijelaskan dalam kalimat tersebut bahwa sanya ilmu pengetahuan
yang dapat menghantarkan kita menuju akhirat itu terbagi menjadi dua,
yakni ilmu mua‟amalah dan ilmu mukasyafah.
امةلامعمال مل عبن أوط قف مو لع مال فش كون مبلط يماةفاشكمال مل عبن أو
(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah) وبلمعال فش كال عمون مبلط يBaris ini menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah
yakni ilmu yang diminta untuk sekadar mengetahuinya saja. Dan dengan
ilmu mu‟amalah ialah yang diminta disamping ia mengetahuinya,
hendaknya ia mengamalkannya.
لإمسقن ي ةلامعمال مل ن إ لإوحاروال الم أبمل عال ن أراىظمل مل
ارال وبو للقا الم أبمل لعا ن أناطب ال لي م إحاروى م إوةادا ةادبا
تو كمللا الن ماسوال نابجتح ال مك بيىتال بو لقىال لداروال و
.ناطبوراىظني رط شلإمل عاال ذىمسقن اباجوال بفمو مذ امم إودو مان م إ(Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah)
77
Dijelaskan padanya ilmu mu‟amalah itu terbagi menjadi ilmu dzahir,
yakni yang dimaksud ilmu dzahir ini adalah ilmu mengenai amal
perbuatan anggota badan. Yang kedua adalah ilmu bathin, yakni ilmu yang
mengenai amal perbuatan hati dan melalui anggota badan, adakalanya
merupakan adat kebiasaan dan kadang pula merupakan ibadah.
Dan yang datang pada hati, yang dengan sebab terdinding dari panca
indera, termasuk bagian alam malakut, adakalanya terpuji adakalanya
tercela. Oleh sebab itu ilmu ini terbagi kepada menjadi dua, yakni ilmu
dzahir dan bathin
لإمسقن احاروال بقل عت مال راىالظ رط الش و ناطلبا رط الش وةادبوةاد
دو من ومو مذ ملإمسقن اسف الن قل أوبل لقا الوح أبقل عمت لا (Imam al-Ghazali, juz I, Muqaddimah)
Bagian dzahir yang menyangkut anggota badan, terbagi kepada
adat kebiasaan dan ibadah. Bagian batin yang menyangkut denga hal ihwal
hati dan budi pekerti jiwa, yang terbagi kepada yang tercela dan terpuji
Kecerdasan spiritual, menurut imam al-Ghazali, dapat diperoleh
melalui wahyu dan ilham. Wahyu merupakan kata-kata yang
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, diturunkan
oleh Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain
sebagai petunjuk Nya. Sedangkan ilham hanya merupakan pengungkapan
(mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk
kedalam batin seseorang. Imam al-Ghazali tidak membatasi ilham itu
hanya pada wali, tetapi diperuntukan kepada siapapun yang
diperkenankan oleh Allah. Menurut dia, tidak ada perantara anatara
manusia dan pencipta Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh
di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Bagi imam
al-Ghazali, mukasyafah adalah kebenaran Ilahi.
Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang
memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa
78
depan. Hal ini terjadi karena disaat tidur manusia tidak lagi
memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian
terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat tidur.
Dalam keadaan sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan
puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar,
manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak
ada perbedaan antara mukasyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting
adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan
jasmaninya ( Sulaiman Dunya, 1994: 139)
Sebelum membahas terlalu jauh mengenai spiritual, hendaknya kita
membahas terlebih dahulu tentang struktur insan, yaitu pengetahuan
manusia terhadap dirinya sendiri. Disebabkan menurut imam al-Ghazali ,
pengetahuan yang benar tentang struktur insan merupakan platform
(landasan, sistem operasi) bagi tumbuhnya keberagaman yang utuh
sehingga seorang muslim dapat memulai keislamannya dengan arahan
yang jelas dan nyata dimana dia akan adil dalam mendayagunakan segala
potensi pencarian kebenaran yang Allah hadirkan dalam dirinya baik yang
melekat pada aspek jasadiahnya seperti fikiran, nalar (logika), maupun
yang melekat pada aspek bathiniyahnya se[erti petunjuk Allah, nur ilmu
(ilmu laduni) dan ilmu tasawwuf.
Mengenai struktur insan, atau struktur manusia adalah struktur
berbagai alam dan bagian-bagiannya, tentang bagimana unsur- unsur
penyusunannya , inter relasinya, dan mekanisme hukum yang berlaku
didalamnya dimana alam yang dimaksud tidak hanya meliputi alam fisik
inderawi tetapi juga alam-alam atas, termasuk alam malaikat. Untuk
menjelaskan struktur insan yang kompleks ini maka imam al-Ghazali
menggambarkan bahwa manusia itu adalah hewan yang mampu berfikir
(hayawan nathiq) . maksudnya berjasmani seperti hewan tetapi mampu
menyerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat.
Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur
jiwa (al-nafs) yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan
79
apa yang dipikirkannya (nathiq) , baik dalam bentuk perkataannya hingga
perbuatan , sehingga bila saja binatang diberi jiwa (al-nafs) sebagaimana
yang diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir. Dalam
ihya Ulumiddin, imam al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam
membahasa tentang esensi manusia yaitu: qalb, ruh, nafs, dan aql.
Kutipan Prof. Dr. Oemar Hamaliki al-Taumy al- Syaibany dari
Mizanul Amal karya imam al-Ghazali dalam buku Pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan (2009: 33 ), menyatakan uraian ini:
“Insan (manusia) ialah makhluk yang dicipta dari tubuh yang dapat
dilihat oleh pandangan, dan jiwa bida ditanggapi oleh akal dan mata
hati (bashirah), tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan
dengan tanah dan ruh nya pada nafs atau jiwanya. Allah maksudkan
ruh ialaha apa yang kita ketahui sebagai jiwa atau nafs. Allah
mengisyaratkan kepada orang yang berpandangan jauh bahwa jiwa
atau nafs manusia termasuk perkara ketuhanan. Ia lebih besar dan
lebih tinggi dari jasad yang terpacak di bumi”
Dari sini dapat disebutkan sifat-sifat dasar jasad, yang merupakan
kebalikan dari sifat-sifat jiwa, yakni: ia adalah materi membutuhkan ruang,
waktu, dan tempat, terdiri atas unsur-unsur yang membentuknya, hancur,
tidak mengetahui, dan tidak merasa.
Mengenai hal tersebut imam al-Ghazali menyampaikan pandangannya
tentang terciptanya manusia, ia terdiri dari dua unsur yang sifatnya
berbeda, yakni: bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang
disebut hati atau ruh. Akan tetapi, walaupun kedua unsur tersebut
mempunyai sifat yang berbeda, dalam membentuk makhluk sempurna.
Manusia keduanya berhubungan erat, antara yang satu dengan yang
laintidak dapat dipisahkan, dan hubungan itu bersifat khususi. Artinya, satu
unsur tidak berada di jasad juga tidak di luarnya, tidak terpisah dan juga
tidak menyatu, tetapi keduanya saling membutuhkan. Hal ini dijelaskan
al-Ghazali dalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan (2009: 35),
sebagai berikut:
80
“Maka hatilah yang mengetahui Allah. Dialah yang mendekati Allah.
Dialah yang bekerja karena Allah. Dialah yang berjalan karena Allah.
Dan dialah yang membuka apa yang disisi Allah dan yang ada pada
Nya. Dan sesungguhnya anggota badan itu adalah pengikut, pelayan
dan alat yang dipergunakan oleh hati dan yang dipakainya. Laksana
pemilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya
dan pekerja bagi perkakasnya”
Seperti yang disampaikan dalam al-Qur;an surat Shaad: 72, mengenai
hakikat manusia diberikan kalbu oleh Allah SWT:
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku
meniupkan kepadanya dari ruh (ciptaan)-Ku maka hendaklah kamu
tunduk dan sujud kepada-Nya” (Q.S Shaad: 72)
Mengenai kedua hubungan antara kedua unsur manusia itu akan
menjadi lebih jelas lagi kalau kita membaca uraian imam al-Ghazali
tentang junudul qalbi (pasukan hati) Juz III kitab Ihya „Ulumuddin ( imam
al-Ghazali: 5).
ال و ن ج ونضر غبقل عت يي ذال وهف بل قد ارصب ال ىبري دنجاندنجولامدالمك حفدو ن ال وكلمال مك حفوىورائصبال بل ىإري لدنجوعال بداىشمال هدناجم أفدن ال نعامذآهفانو ال و لجالر ود يال وهف ي عال و اهعي جن إفةناطبال وةراىالظ اءض ال رائسوانلسل وانذلا وي
تقلد قاولدد رمال اوهي ففر صتمال وهف ولةرخسموبل قل لةمادطلةلو ب م ى وفلولعي طتس لوتا لا فدرت وي ل أذإا عال رما ي أذإوتحتفن ااحتفن ال ب أذإوتكر تةكرال بلرجال رما انسالل رما اءض ال رائاسذكومل كوبمكال مز جوملكال ب
Menurutnya, bahwa hati mempunyai dua macam pasukan. Pertama,
pasukan yang tampak, yang meliputi: tangan, kaki, mata, dan seluruh
81
anggota tubuh. Semuanya itu mengabdi dan tunduk kepada perintah hati.
Inilah yang disebut sebagai pengetahuan. Kedua, pasukan yang ada
kaitannya dengan yang dapat menentukan perbedaan anatara manusia dan
binatang, karena mempunyai dasar yang lebih halus, terutama beberapa
bagian dari beberapa bagian dari pasukannya seperti syaraf dan otak.
Inilah yang disebut kemauan. Kedua pasukan hati yakni (pengetahuan dan
kemauan) inilah yang tidak hanya membedakan manusia dari binatang
tetapi juga membedakan anatara orang dewasa dan anak-anak.
Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya ihya „Ulumiddin
penjelasan kekhususan hati insan:
وبل ق لمتش ين اأاهدح إانتجردولوي فمو لعال هذآىلو صحفبالص ث ازوجوتلي حتس مال ةالحتاس بمل عال كةيلو ال ةيرو رالض مو لعال رائىسل
ت اراصهن أل إةلاصحري اغهي فةيرظالن مو لعال نو كتف ةراىالظ اتزائال الحكمو لعال لإةافضال بوالحنو كيولو صال وانكم لا ةبي رقةنكم ةدرف مال فو رال وملقال واةوالد لإةابتكال نمفرع ي يلذال بالكا وللص تحن أةيانالث دع اب هغل ب ي ل وةابتكال بارقد قون إفةبكرمال نو دشذإفهدن ةنو زخ مال كنو كتف رك فال وبارجالت بةبستك مال مو لعال اءاوهي لإعجر ن كيل ن إوباكولالقي ذ إةابتكال بقاذالالحوالحا (Imam al-Ghazali, juz III, hal 7-8)اهي لوردقبةابتكل الراشبم
Penjelasan dari kalimat diatas, adalah anak kecil mempunyai dua
tingkat dalam memiliki ilmu pengetahuan yang dimaksud dalam
pembahasan sebelumnya yakni mengenai nafsu-syahwat, kemarahan,
panca indra zahiriah dan batiniah. Tingkat yang pertama: bahwa hatinya
anak kecil itu melengkapi kepada ilmu dlaruri seperti ilmu yang
mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya , segala yang jawwaz
yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada tingkat
ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat
82
kemungkinannya dan dekat keberhasilannya. Yakni adalah keadaan anak
kecil itu, dengan dihubungkan dengan ilmu pengetahuan itu seperti halnya
seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal penulisan, selain tinta, pena
dan huruf-huruf tunggal yang tidak tersusun, ia sudah mendekati kepada
penulisan. Dan begitupun tingkat kedua: berhasil bagi anak kecil itu ilmu
pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka
ilmu pengetahuan itu seperti simpanan pada dirinya. Kalau ia mau niscaya
ia akan kembali padanya. Dan hal itu sama dengan hal nya orang yang
pandai menulis, karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak
langsug menulis. Disebabkan kepada kemampuannya dalam penulisan itu.
Semua hal tersebut dikarenakan manusia hidup memiliki tujuan,
Abidin ibnu Rusn dalam bukunya menyampaikan sebuah kutipan
mengenai tujuan hidup manusia yang dinyatakan oleh imam al-Ghazali
yakni sebagai berikut:
“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan
agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.
Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat
yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau
memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi”
Dari pernyataan imam al-Ghazali tersebut, dapat difahami bahwa
manusia mempunyai dua tujuan hidup. Pertama, sebagai perantara yang
harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai tujuan akhir yang akan dicapai
setelah hancurnya dunia. Tujuan akan dicapai didunia berupa kesenang-
senangan duniawi seperti wanita, anak-anak, harta, sarana transportasi,
hewan ternak, sawah ladang, dan lain-lain. Kebahagiaan disni sangatlah
relatif artinya, yakni tidak ada batasan yang jelas, terutama tentang
bagaimana dan kapan seseorang mencapai serta merasa puasa terhadap
yang dipandangnya sebagai sesuatu yang nikmat. Disamping itu, manusia
tidak akan dapat mencapainya kecuali bekerja dengan manusia lain
melalui terwujudnya lapangan pekerjaan sebagaimana yang diterangkan.
Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan yang akan dicapai diakhirat
adalah sorga dan segala kenikmatannya, yang berpuncak saat manusia
83
melihat Allah. Kebahagiaan akherat telah jelas wujud dan saatnya yaitu
setelah yaumul hisab, hari perhitungan amal sebagai satu masa setelah hari
kiamat. Setiap manusia merasakan kenikmatan yang sama dengan
sendirinya sebagai hasil daya upaya dan kemampuannya dalam
memanfaatkan kenikmatan- kenikmatan dunia.
Selanjutnya imam al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia untuk
beramal sebagai hakikat syukur harus melalui tiga tahapan: pengetahuan
(ilmu), keadaan tertentu didalam pribadi (hal), dan amal (tindakan).
Karena manusia di muka bumi yang bertugas menjadi khalifah Allah
mutlak membutuhkan pengetahuan, sehingga sebelum bertugas Allah
membekali ilmu kepadanya. Atas dasar inilah imam al-Ghazali
menegaskan bahwa:
“Manusia tidak akan mencapai tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu
dan amal. Dan ia tidak akan dapat beramal kecuali dengan mengetahui
cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagiaan dunia
dan akhirat”
Penegasan tersebut dijelaskan dalam kitab ihya „ulumuddin juz I bab
tentang dalil akal (Ihya‟Ulumuddin, 13) :
اماءيش ال لضف أوةيدبال ةادعيالس ماخآدق حفةبراءيش ال مظ أووهي لإةلي سووى إهي لإلصوت ي ن لا لإلصوت ي لولمعال ومل عال بل اوين الد فةادعالس لص أفلمعال ةيفي كبمل عال بلإلمعال وىةراخآ ااضي أءي الش ةلي ضففرع د قولفي كوالم اللضف أن ذإوهف مل عال مالعال ب رن مبرالقمل عال ةرث ن أتفرد قوورث فرشب اقحتل ال وي ةراخآ افذآىىل ال لمال ةنارقموةكئلمال قفأب
Imam al-Ghazali menjelaskan kedudukan yang tertinggi bagi seorang
manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan
kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan
amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara
beramal. Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah (ilmu).
84
Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak,
kadang-kadang mengetahui keutamaan sesuatu juga dengan kemuliaan
hasilnya. Dan anda mengetahui hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri
kepada Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian
malaikat, dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Dan itu semuanya
adalah di akhirat.
Salah satu fase penting dalam kehidupan umat manusia dalam upaya
menambahkan dan membentuk suatu kepribadian tangguh berdasarkan
moralitas dan nilai-nilai ajaran Islam adalah pada masa anak-anak
sehingga diharapkannya terwujudnya insan kamil yang mampu
mengfungsikan dirinya sebagai hamba Allah SWT dan sebagai khalifah
(pemimpin) di bumi sebagaimana yang tercantum dalam Q.S adz-Dzariyat
ayat 56 tentang tujuan penciptaan manusia:
Artinya “ dan aku tidakmenciptakan jin dan manusia supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Q.S adz-Dzariyat: 56)
Manusia lahir dalam keadaan fitrah dengan memiliki rasa ketauhidan
dan dibekali akal oleh Allah suatu potensi kecerdasan, kemampuan watak,
dan motif. Manusia sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi
telah dibekali dengan berbagai potensi. Dan dengan dikaruniai potensi
tersebut diharapkan manusia mampu menjalankan tugasnya . dan diantara
potensi yang dimiliki manusia adalah potensi beragama. Fitrah beragama
dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakan hatinya untuk
melakukan perbuatansuci yang diilhami oleh Allah. Fitrah manusia
mempunyai sifat yag suci, yang dengan nalurinya tersebut, ia secara
terbuka menerima kebenaran dan menerima kehadiran Allah SWT sebagi
Tuhan yang maha suci.( Sururin, 2004: 29)
Anak adalah suatu amanah yang diberikan kepada setiap kedua orang
tua, hatinya suci bagaikan jauhar sederhana dan suci yang bisa menerima
segala apa yang digoreskan kepadanya baik berupa kebaikan ataupun
85
berupa keburukan dan cenderuing kepada setiap hal yang ditunjukan
kepadanya. Setiap anak yang lahir berpotensi untuk menjadi cerdas karena
secara fitri manusia dibekali dengan kecerdasan oleh Allah.
Dalam mengaktualisasikan diri sebagai hamba dan sebaia khalifah
tersebut maka diperlukan suatu upaya pengasuhan dan pendidikan pada
anak secara berkala agar tercapai perkembangan dan pertumbuhan
kecerdasan intelektual moralitas dan terlebih lagi kecerdasan spiritual
secara baik.
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang berasal dari fitrah
manusia itu sendiri dan bersumber dari Allah, kecerdasan yang lebih
mengandalkan kemampuan atau kesucian inteleksi. Model kecerdasan
spiritual pun lebih bersifat spiritual (Spiritual Intellegensi) yang terefleksi
dalam perilaku pemaknaan ibadah dan kegiatan yang memiliki tujuan dan
arah yang jelas serta benar, karena kecerdasan spiritual bersifat mutlak
kebenarannya. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang
berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola
danmendaya gunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas kehidupan
spiritual. Kehidupan spiritual yang dimaksud adalah meliputi hasrat untuk
hidup lebih bermakna. (A. Mujib dan Yusuf M, 2006: 325).
Dalam usaha pembentukan kecerdasan spiritual sejak dini adalah
dengan penanaman pendidikan agama menjadi sesutu yang sangat
signifikan . pendidikan agama merupakan hal terpenting dalam kehidupan
di dunia, sebab memusatkan pada perbaikan spiritual, disiplin dan
perbaikan tingkah laku disamping itu juga memperhatikan tentang kaidah-
kaidah utama tentang akhlak mulia serta contoh- contoh yang terhormat.
Dengan pendidikan agama maka akan mendukung individu-individu
dengan kekuatan iman, intelektual serta ketelitian , yang mana kekuatan
tersebut mampu membentuk kekuatan akal. Dengan kata lain bahwa denga
pendidikan agama akan terwujud kecerdasan spiritual yang optimalyang
menjadi tujuan manusia yang utama manusia hidup di dunia.
86
Dalam hal ini imam al-Ghazali, istilah kecerdasan spiritual beliau
samakan dengan kecerdasan qalbiyah. Menurutnya tujuan puncak
kecerdasan spiritual atau kecerdasan qalbiyah yang di maksud dalah
mencapai tazkiyah al-nafs yakni penyucian jiwa yang otimal dengan
keuletan melaksanakan ar-riyadhah (latihan-latihan spiritual).
Adapun tujuan lebih rinci mengenai tazkiyah al-nafs adalah sebagai
berikut:
1. Untuk membentuk manusia yang bersih aqidah, suci jiwa, luas
ilmu dan seluruh aktifitas bernilai ibadah
2. Membentuk manusia yang berjiwa suci, berakhlakul karimah
dalam pergaulan sesamanya yang sadar akan tugas, tanggung
jawab, hak dankewahibannya dalam mengarungi kehidupan
dunia.
3. Membentuk manusia yang berjiwa sehat dan jauh dari sifat tercela
4. Membentuk manusia yang berfikiran sehat dan optimistik,
futuristik dalam kehidupan.
Imam al-Ghazali mengemukakan aspek terpenting dalam kecerdasan
spiritual adalah proses tazkiyah al-nafs dan upaya ar-riyadhah. Ada
beberapa hal dalam mengobati hati untuk meneduhkan jiwa manusia
beriman yaitu senantiasa membaca al-Qur‟an dan maknanya, mendirikan
shalat malam, memperbanyak berpuasa , bergaul dengan orang-orang
shaleh serta memperbanyak zikir malam. Apabila dilaksanakan dengan
kesabaran maka amalan tersebut mampu membersihkan jiwa manusia serta
mengobati hati manusia serta mensyucikannya dari berbagai penyakit.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S al-A‟la ayat 14-15 :
Artinya “ Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman). Dan Dia ingat nama Tuhanya, lalu Dia
sembahyang (Q.S al-A‟la : 14-15)
87
Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita
berbicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab
pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk
memelihari kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun
sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan
hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus.
Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah
pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya
dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakatnya
untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selalu berubah.
Seperti perkembangan anak- anak disekolah menyebabkan ia dapat
mencipta alat-alat modern untuk mengatasi, misalnya banjir, gempa bumi,
udara dingin, angin beliung, gunung berapi, menempuh jarak yang jauh
dan lain-lain dengan mencipta teknologi modern untuk menanggulangi
masalah tersebut.
Misal yang kita beri di atas adalah untuk membuktikan bahwa
pendidikan itu hanyalah alat yag dipergunakan manusia untuk memelihara
hidupnya. Kalau begitu tujuan pendidikan itu haruslah berpangkal pada
tujuan hidup.
Manusia mempunyai dua tujuan hidup menurut imam al-Ghazali.
Pertama, sebagai perantara yang harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai
tujuan akhir yang akan dicapai setelah hancurnya dunia. Tujuan yang akan
dicapai didunia berupa kesenang-senangnan duniawi seperti wanita, anak-
anak, harta, sarana transportasi, hewan ternak, sawah ladang, dan lain-lain.
Kebahagiaan disini sangatlah relatif, tidak ada batasan yang jelas, terutama
tentang bagaimana dan kapan seseorang mencapai serta merasa puas
terhadap yang dipandangnya sebagai sesuatu yang nikmat. Disamping itu
manusia tidak akan dapat mencapaianya kecuali bekerja sama dengan
manusia lain melalui terwujudnya lapangan pekerjaan.
88
Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan yang akan dicapai di akhirat
adalah sorga dan segala kenikmatannya, yang berpuncak saat manusia
melihat Allah. Kebahagiaan akhirat telah jelas wujud dan saatnya, yaitu
setelah yaumul hisab, hari perhitungan amal sebagai satu masa setelah hari
kiamat. Setiap manusia merasakan kenikmatan yang sama dengan
sendirinya sebagai hasil daya upaya dan kemampuaanya dalam
memanfaatkan kenikmatan dunia. Saat mendapatkan istri yang cantik harta
yang melimpah, kedudukan yang tinggi atau kendaraan mewah misalnya,
seseorang yang hendak mencapai tujuan akhirat tidak lengah, ia akan tetap
melaksanakan aktivitas-aktivitas akhirat yang menjadi tugas dalam agama.
Tetapi kebanyakan manusia sering lalai. Orang menjadi lupa diri justru
pada saat memperoleh beberapa kenikmatan dari Allah. Harta yang
dimiliki bukan menjadikannya bersyukur, melainkan justru melenyapkan
ingatananya akan dihisab, sehingga ia enggan memperhatikan orang
miskin yang membutuhkan sebagian harta darinya, ia tidak pernah zakat
atau sedekah. Ketika mampu membangun gedung- gedung mewah sebagi
tempat tinggalnya didunia, ia lupa membangun rumah masa depannya di
akhirat.
Pandangan imam al-Ghazali teantang tujuan pendidikan yakni
mendekatkan diri kepada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali
dengan mensyucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepada Nya (Abidin
Ibnu Rusn, 2009: 78)
Terhadap bidang pengajaran atau pendidikan, imam al-Ghazali banyak
mencurahkan perhatiaannya. Yang mendasari pemikiran nya tentang kedua
bidang ini ialah analisisnya terhadap manusia. Manusia, menurut imam al-
Ghazali, dapat memperoleh derajat kedudukan yang paling terhormat di
antara sekian banyak makhluk dipermukaan bumi dan langit karena
pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.
Sesuai dengan pandangan imam al-Ghazali tersebut terhadap manusia
dan amaliahanya, bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan
kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan,
89
maka dalam kitab monumentalnya, Ihya „Ulumuddin, imam al-Ghazali
mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar.
C. Pendidikan Spiritual Menurut imam al-Ghazali
Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada
Allah, sehingga kita memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Persoalannya, sekarang ini pendidikan telah didistorsi menjadi alat untuk
mencapai kemashuran, kedudukan dan materi semata. Karena itu, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang belum tentu ia menjadi semakin
bahagia, semakin baik dan semakin takwa kepada Allah. Bahkan sering
terjadi kaum terdidik melakukan kejahatan, kekejaman kesewenang-
wenangan. Imam al-Ghazalilah yang pernah berusaha mengembalikan
pendidikan dalam posisi yang sebenarnya, dengan merumuskan kembali
tentang tujuan pendidikan, metode mengejar, kode etik guru dan murid,
teknik evaluasi, materi yang perlu diajarkan, dan lain-lain.
Dalam ungkapan Al-Ghazali, istilah kecerdasan spiritual yaitu
disamakan dengan kecerdasan qalbiyah. Menurutya pucak kecerdasan
spiritual atau kecerdasan qalbiyah adalah mencapai tazkiyah al- nafs
(pensucian jiwa) yang optimal dengan keuletan melaksanakan arriyadhah
(latihan-latihan spiritual).
Dalam kitab ihya „ulumuddin dalam jilid 3 bab tentara hati ( imam al-
Ghazali: 5) imam al-Ghazali menjelaskan hati itu mempunyai dua tentara:
tentara yang dapat dilihat oleh dengan mata kepala dan tentara yang tidak
dapat dilihat , kecuali dengan mata hati. Hati itu berkedudukan raja. Dan
tentara itu berkedudukan pelayan dan pembantu demikianlah arti tentara.
Adapun tentara yang disaksikan dengan mata, ialah: tangan, kaki, mata,
telinga, lidah dan anggota-anggota tubuh lainnya, yang zahir dan yang
batin. Semuanya itu pelayan hati dan yang berkerja cuma-cuma untuk
hati. Hatilah yang menggunakannya dan yang pulang pergi kepadanya.
Semua anggota itu dijadikan secara naluri patuh kepada hati. Tiada
sanggup menyalahinya dan mendurhakainya. Apabila hati menyuruh mata
90
dibuka, niscaya dia terbuka. Apabila hati menyuruh kaki bergerak, niscaya
ia bergerak. Apabila hati menyuruh lidah berkata-kata dan ia yakin akan
hukum yang akan diperkatakan, niscaya lidah itu berkata-kata. Dan
begitulah dengan anggota-anggota badan lainnya.
Kepatuhan anggota-anggota tubuh dan panca indera kepada hati, dapat
diserupakan dari segi kepatuhan para malaikat kepada Allah Ta‟ala.
Sesungguhnya malaikat itu secara naluri patuh, tiada sanggup menyalahi
Nya. Bahkan, mereka tiada mendurhakai Allah akam apa yang disuruh
oleh Allah. Mereka berbuat apa yang disuruh.
Maka dijadikan didalam hati apa yang dihayatinya dari keinginan-
keinginannya, dan dijadikannya anggota-anggota badan yang menjadi alat
keinginan- keinginan itu. Maka diperlukan dua tentara untuk menolak
bahaya yang membinasakan, yakni tentara batin dan tentara zahir. Tentara
batin, yaitu marah yang menolak segala yang membinasakan dan menuntut
balas dari musuh. Dan tentara zahir, yaitu adalah tangan dan kaki, dimana
dengan tangan dan kaki itu dapat berkerja menurut kehendak marah.
Menurut imam al-Ghazali nafsu-syahwat, kemarahan dan pancra
indera zahiriah dan batiniah, maka sesungguhnya itu terdapat pada anak
kecil. Kemudian pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu
mempunyai dua tingkat: tingkat pertama, bahwa hatinya anak kecil itu
melengkapi kepada ilmu dlaruri pertama yang lain seperti ilmu tentang
mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya. Segala yang jawaz
yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada tingkat
ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat
keberhasilannya. Adalah anak kecil itu, dengan dihibungkan kepada ilmu
pengetahuan, seperti hal nya seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal
penulisan, selain tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang tidak bersusun.
Ia sudah mendekati kepada penulisan. Dan belum lagi sampai kesana.
Tingkat kedua yakni bahwa berhasil bagi anak kecil itu ilmu pengetahuan
yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka ilmu
pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau ia mau, niscaya ia
91
kembali kepadanya. dan halnya itu sama dengan hal nya orang yang
pandai menulis, karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak
langsung menulis, disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu.
Hal tersebut adalah tujuan penghabisan derajat insaniyah, yang
terdapat tingkat-tingkat yang tak terhingga jumlahnya, yang berlebih
kurang dari padanya, disebabkan banayak dan sedikitnya pengetahuan
memperolehnya. Karena sebahagian hati berhasil ilmu pengetahuan itu
dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya (mubadaah) dan
membukakanya (mukasyafah). Dan sebagaimana mereka, memperolehnya
dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera berhasil dan
kadang-kadang lambat berhasil.
Sesungguhnya hati itu seperti bejanan (tempat air). Selama masih
penuh dengan air, maka tidakakan dimasuki udara. Maka hati yang
disibukan oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh ma‟rifah
(mengenal) keagungan Allah Ta‟ala. Kepada inilah diisyaratkan dengan
sabda Nabi saw:
طيالش لو لأن ا ق لنو مو يي ملكو تو رظنلمددنببو لى إلماء)رواهأحدمنأيبىريره(الس
Artinya: “ jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak
Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang kea lam malakut yang
tinggi (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Dari keseluruhan ini teranglah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu
dan hikmah. Dan yang termulia, dari segala macam ilmu itu, ialah: ilmu
mengenai Allah, sifat-sifatnya dan af‟alnya (perbuatannya). Maka dengan
itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaannya itu
kebahagiaan dan kepatutannya disisi Tuhan Yang Maha Agung dan Maha
Sempurna.
Maka tubuh manusia itu tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat ilmu.
Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah
manusia itu dijadikan. Sebagaimana yang di jelaskan dalam bab syukur
92
yakni, barang siapa menggunakan anggota tubuh dan panca inderanya
pada jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan
barang siapa berpaling darinya, maka merugi dan kecewa.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa orang berilmu itu adalah ibarat
hati, dimana keadaan hakikat segala sesuatu bertempat didalamnya. Dan
pengetahuan yang diketahui itu, adalah ibarat hakikat segala sesuatu. Dan
pengetahuan itu sendiri adalah ibarat hasil di dalam bentukdi dalam cerita.
Imam al-Ghazali pun menuliskan dalam kitanya ihya „ulumuddin
tentang mengosongkan hati dari segala urusan duniawi dan menghadapkan
diri dengan penuh cita-citakepada Allah ta‟ala. Maka barang siapa yang
dianya bagi Allah, maka adalah Allah baginya. Maka senantiasalah Allah
terus menerus serta kehadiran hati sehingga ia berkesudahan kepada
keadaan, dimana ia meninggalkan penggerakan lidah. Kemudia ia bersabar
atas yang demikian, sehingga terhapus bekasnya dari lidah. Dan berbetulan
hatinya rajin kepada berdzikir. Lalu ia berkebiasaan yang demikian,
sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan cara
kalimatnya . dan tinggalah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya,
yang hadir di dalam hati seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak
berpisah. Dan ia mempunyai usaha yang mempunyai kesudahan kepada
batas tersebut. Dan berusaha untuk kekalnya keadaan itu, dengan menolak
was-was hati.( imam al-Ghazali, 1974)
Dengan demikian perlulah sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan
berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan
terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan
berserah diri kepada Nya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal
pengetahuan didalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di
samping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng pertahanan
religus yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah
yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah
menguasai seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan anak anak dari
sifat- sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa, dan tradisi-tradisi jahiliyah
93
yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu
kebiasaan dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat
yang paling utama, demikian ringkasnya mengenai pendidikan religius
yang disampaikan oleh Abdullah Nashih Ulwan (1994: 193).
Dijelaskan pula dalam kitab ihya „ulumuddin tentang didalam ilmu
yang diperoleh hati itu, berlaku seperti kekuatan dapat melihat pada mata
dan melihatnya segala bentuk benda. Terlambatnya ilmu dari tanggapan
akal pada masa kanak-kanak, kepada waktu tamyiz, atau dewasa adalah
menyerupai dengan terlambatnya penglihatan dari melihat sampai kepada
waktu terbit matahari dan membanjir sinarnya kepada semua benda yang
dilihat.
Qalam yang ditulis oleh Allah dengan qalam itu. Segala ilmu diatas
lembaran hati, berlaku seperti berlakunya bundaran matahari. Tidak
terperolehnya ilmu dalam hati anak-anak sebelum tamyiz, karena papan
hatinya belum tersedia untuk menerima ilmu itu sendiri. Dan pena yang
meruapakan suatu makhluk Allah Ta‟ala, dijadikan sebab untuk
berhasilnya ukiran ilmu dalam hati manusia. Allah ta‟ala berfirman :
Artinya “ yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
(Q.S al-„Alaq: 4-5)
Meskipun begitu ilmu aqli itu tidak cukup untuk keselamatan hati,
walaupun hati itu memerlukan kepadanya. Sebagaimana akal itu tidak
cukup untuk tetapnya sebab-sebab kesehatan badan. Akan tetapi,
memerlukan kepada pengetahuan lainya. Karena akal saja tidak tidaka
akan cukup dengan mendengar tidak cukup dengan mendengar saja, tanpa
akal. Maka mengajak kepada semata-mata taqlid, serta menyingkirkan akal
secara keseluruhan itu bodoh.
94
Dan mencukupkan dengan semata-mata akal tanpa nur al-Qur‟an dan
Sunnah Rasul saw, itu adalah salah. Seperti dijelaskan dalam kitab ihya
„ulumuddin (imam al-Ghazali: 16)
ضي رمال صخ والش ةيود ال كةير الش مو لعال وةيذغ ال كةيلق عال مو لعال ن إفركي لبو لقال اضرم أكلدذكفاءوالد وافتماءذغال برضتس يإهجل اتادبعال فائظويىوةعي رالش نمةادفت س مال ةيودال بلالن مفبو لقال حلص لم هي لاللاتولصاءيبن اال هب كرتال الم ال وبفت اك وةير الش ةادبعال اتالعبضي رمال وبل ق ياودي ةيلق عال مو لعال ىكبر ضتس ا اءذغال بضي رمال ر ضتس ايما
Dan dari keseimbangan pandangan hati batiniah bagi pandangan
dzahir, maka Allah ta‟ala berfirman dalam Q.S An-Najm ayat 11:
Artinya “ hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (QS. An-Najm: 11)
Dalam hal ini dapat kita sadari betapa menjadi setiap langkah
kehidupan ini menjadi lebih bermakna itu perlu dengan ilmu, lalu denga
izinya diwahyukan Nya apa yang dikehendakiNya dan kecenderungan
mereka yang tidak bersungguh-sungguh mempelajari ilmu dan
menghasilkan apa yang di ketahuinya. Manakala telah berhasil yang
demikian, niscaya adalah Allah yang memerintah hati hambaNya dan yang
menanggungnya dengan penyinaran nur ilmu. Dan apabila Allah
memerintah urusan hati, niscaya melimpahlah rahmat Nya kepada hati,
bercemerlanglah nur dalam hati, terbukalah dada tersingkaplah rahasia
alam-malakut, hilanglah wajah hati tabir kelalaian dengan kelemah-
lembutan rahmat dan cemerlanglah pada hati hakekat urusan ke Tuhan-an.
Maka tidak ada atas hamba Nya, selain bersiap dengan pembersihan
95
semata, menghadirkan cita-cita serta kemauan yang benar, kehausan yang
sempurna dan mengintip dengan menunggu terus-menenrus akan rahmat
yang dibuka oleh Allah ta‟ala kepadanya.
Seseorang yang memiliki tingkat kedekatan dengan Allah dengan
kehidupan yang menghidupkan spiritual dalam setiap langkahnya maka
senantiasalah ia akan selalu mengucap dengan lidahnya Allah, allah terus
menerus serta kehadiran hati sehingga ia berkesudahan kepada keadaaan,
dimana ia meninggalkan penggerakan lidah. Kemudian, ia bersabar atas
yang demikian, sehingga terhapuslah bekasnya dari lidah. Dan berbetulan
hatinya rajin kepada berdzikire. Lalu ia membiasakan yang demikian,
sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan cara
kalimatnya. Dan tinggallah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya,
yang hadir didalam hati. Seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak
terpisah. Dan ia mempunyai usaha yang berkesudahan kepada batas
tersebut. Dan berusaha untuk kekalnyakeadaan itu, dengan menolak was-
was hati. Semuanya terasa akan selalu bermakna dalam setiap langkah
kehidupannya karena setiap langkah terhubung dan kepasrahan hatinya
karena Allah semata.