5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hormon Tiroid 1. Fisiologi ...

34
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hormon Tiroid 1. Fisiologi Hormon Tiroid Hormon tiroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid berupa T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Unit fungsional dari struktur kelenjar tiroid adalah folikel, struktur yang berbentuk bulat seperti kista berukuran 0,02-9 mm. Setiap folikel terdiri dari kumpulan pusat koloid yang dikelilingi oleh epitel berlapis tunggal sel folikel (tirosit) yang terletak pada lamina basal (Gambar.1). Jaringan interstitial yang kaya dengan aliran pembuluh kapiler dan limfatik memisahkan folikel ini dengan sekitarnya. Sel-sel folikel dapat bervariasi bentuk dari skuamos, kuboid hingga kolumnar, tergantung pada tingkat aktivitas, yang berada di bawah pengaruh dari Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH). Saat istirahat tanpa stimulasi TSH, folikel tampak besar, dilapisi oleh skuamosa atau epitel kuboid yang berlimpah koloid luminal. Tirosit aktif adalah sel kolumnar yang memiliki aktivitas yang sangat terpolarisasi. Sintesis dan eksositosis dari tiroglobulin terjadi pada apeks sel, sementara endositosis tiroglobulin dari penyimpanan koloid terjadi pada permukaan basal. Sekresi TSH menyebabkan endositosis koloid di epitel luminal (Standing, 2005; Ganong, 2008). Gambar 2.1. Struktur kelenjar tiroid (Standing, 2005) Folikel tiroid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Transcript of 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hormon Tiroid 1. Fisiologi ...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hormon Tiroid

1. Fisiologi Hormon Tiroid

Hormon tiroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid berupa

T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Unit fungsional dari struktur kelenjar tiroid

adalah folikel, struktur yang berbentuk bulat seperti kista berukuran 0,02-9 mm.

Setiap folikel terdiri dari kumpulan pusat koloid yang dikelilingi oleh epitel

berlapis tunggal sel folikel (tirosit) yang terletak pada lamina basal (Gambar.1).

Jaringan interstitial yang kaya dengan aliran pembuluh kapiler dan limfatik

memisahkan folikel ini dengan sekitarnya. Sel-sel folikel dapat bervariasi bentuk

dari skuamos, kuboid hingga kolumnar, tergantung pada tingkat aktivitas, yang

berada di bawah pengaruh dari Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH). Saat

istirahat tanpa stimulasi TSH, folikel tampak besar, dilapisi oleh skuamosa atau

epitel kuboid yang berlimpah koloid luminal. Tirosit aktif adalah sel kolumnar

yang memiliki aktivitas yang sangat terpolarisasi. Sintesis dan eksositosis dari

tiroglobulin terjadi pada apeks sel, sementara endositosis tiroglobulin dari

penyimpanan koloid terjadi pada permukaan basal. Sekresi TSH menyebabkan

endositosis koloid di epitel luminal (Standing, 2005; Ganong, 2008).

Gambar 2.1. Struktur kelenjar tiroid (Standing, 2005)

Folikel tiroid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Fungsi utama dari kelenjar tiroid adalah untuk mensintesis dua hormon,

triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), yang memainkan peran penting dalam

regulasi berbagai fungsi metabolisme seluruh tubuh. Tidak seperti hormon

lainnya, T3 dan T4 mengandung iodium, yang merupakan bahan baku penting dan

terdiri dari sekitar 65% dari berat T4. Mereka dibebaskan dari tiroid menanggapi

mekanisme umpan balik pada sumbu hipofisis-hipotalamus. TSH menstimulasi

sekresi hormon tiroid, TSH disekresi oleh lobus anterior dari kelenjar pituitari.

Sekresi TSH oleh hipofisis diatur oleh Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH)

yang disekresi oleh hipotalamus seperti terlihat pada Gambar 2.2. (Standing,

2005; Ganong, 2008; Loevner dan Laurie, 2011).

Gambar 2.2. Mekanisme kontrol produksi hormon tiroid

(Standing, 2005)

Kebanyakan iodium diet diubah menjadi iodida (I-) sebelum penyerapan

melalui usus, hal ini terutama terjadi di dalam usus kecil. Konsentrasi plasma

normal iodida kurang dari 10 mg/L. Tiroid dan ginjal mengeluarkan sebagian

besar iodida plasma dan total clearance efektif adalah sekitar 45 sampai 60 mg/

menit, yang sesuai dengan penurunan iodida plasma sekitar 12% per jam. Selain

itu, kelenjar ludah, lambung, pleksus koroid, keringat, mengeluarkan sejumlah

kecil iodida. ASI juga mengandung sejumlah besar iodida, dan susu ini adalah

sumber dari hampir semua iodium bayi yang baru lahir. Setelah diserap oleh usus,

iodida beredar secara aktif dan terkonsentrasi di basal-lateral membran plasma

dari tirosit dengan menggunakan Natrium Iodida Symporter (NIS). NIS adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

kunci protein membran plasma yang membentang di membran sel dan

mengkatalisis akumulasi aktif iodida dalam kelenjar tiroid. Ini adalah langkah

penting pertama dalam biosintesis hormon tiroid dan proses ini diperkuat oleh

TSH seperti terlihat pada Gambar 2.3. (Standing, 2005).

Gambar 2.3. Arsitektur sel folikel tiroid (Standing, 2005)

A. Struktur histologi kelenjar tiroid

B. Fisiologi hormon tiroid.

B

A

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Tiroid, kelenjar ludah dan mukosa lambung berbagi derivasi embriologi

umum dari saluran pencernaan primitif, dan di daerah masing-masing, transportasi

iodida dihambat oleh tiosianat, perklorat, dan glikosida jantung. Dengan

demikian, mekanisme transpor aktif iodida ditingkatkan oleh TSH atau diblokir

oleh perklorat atau tiosianat. Setelah iodida berada dalam tirosit, dia diangkut ke

permukaan membran plasma apikal dari sel, dekat lumen folikel. Retikulum

endoplasma dari tirosit mensintesis protein kunci yaitu thyroid perokxidase (TPO)

dan thyroglobulin (TG), yang mana tyrosyls ini berfungsi sebagai substrat untuk

iodinasi dan fungsi hormon. Dengan demikian, fungsi utama TG adalah untuk

menyediakan backbone polipeptida untuk sintesis dan penyimpanan hormon

tiroid. Hal ini juga berfungsi sebagai depot penyimpanan iodium dan pengambilan

iodium ketika ketersediaan iodium eksternal langka atau tidak teratur. TPO

mengurangi peroksida, meningkatkan keadaan oksidasi iodida (I-) menjadi iodin

(I+), dan menempelkan (I+) ke tyrosyls di TG. Oksidasi iodida ini dihambat oleh

prophylthiouracil dan turunan imidazol. Artinya, obat antitiroid ini terutama

bertindak dengan mengganggu oksidasi iodida. Kelainan genetik pada NIS, TPO,

dan TG juga dapat mengganggu proses ini dan menyebabkan gondok dan

hipotiroidisme. Iodinasi awal TG menghasilkan monoiodinated tiroglobulin

(MIT) dan diiodinated tiroglobulin (DIT). Pasangan iodinasi lanjutan dua residu

dari DIT membentuk T4, sedangkan MIT dan DIT menghasilkan T3 terlihat pada

gambar 2.4. (Loevner dan Laurie, 2011).

Gambar 2.4. Diagram produksi hormon tiroid dari tirosin

(Loevner dan Laurie, 2011)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Sebuah Tiroglobulin mengandung sekitar 0,5% iodium, 5 residu dari MIT,

5 residu dari DIT, 2,5 residu dari T4, dan 0,7 residu dari T3. Peningkatan iodium

meningkatkan rasio DIT/MIT dan T4/T3, sementara kekurangan iodium

mengurangi rasio ini. Iodinasi Tyrosyl dapat diblokir oleh turunan sulfonamide.

TSH mengikat reseptor di membran plasma basal dari tirosit dan ini menginduksi

pembentukan pseudopod pada permukaan sel apikal. Hal ini menyebabkan

endositosis tetesan koloid dan meningkatkan kecepatan di mana TG ditarik

kembali ke tirosit tersebut. Setelah T3 dan T4 yang mengandung TG berada

dalam sel, selanjutnya disampaikan kepada endosomes dan lisosom, dan dicerna

oleh protease. Setelah diproses, T4 dan T3 dilepaskan ke dalam sirkulasi.

Pelepasan enzim proteolitik T3 dan T4 dari TG diaktifkan oleh TSH dan dihambat

oleh sejumlah besar iodium. Sebagian besar kontrol TSH pada tiroid adalah

dengan ekspresi gen protein kunci. Pasokan iodium yang terlalu besar atau terlalu

kecil juga mengganggu sintesis yang adekuat. Kelenjar tiroid normal

mempertahankan konsentrasi iodida bebas 20 sampai 50 kali lebih tinggi dari

konsentrasi plasma. Pada kelenjar tiroid juga terdapat ion lainnya termasuk

bromida, astatine, pertechnetate, fenat, dan klorat (Loevner dan Laurie, 2011).

Meskipun kelenjar tiroid normal memproduksi sekitar 80% T4 dan 20% T3,

T3 memiliki sekitar empat kali potensi hormon T4. T4 terdapat dalam darah

dalam konsentrasi yang 20 sampai 50 kali lipat lebih besar dari T3. Dalam

sirkulasi terdapat beberapa protein pembawa yang mengangkut hormon tiroid.

Tiroksin binding globulin (TBG) membawa sekitar 70% dari T3 dan T4 (terutama

T4), tiroksin binding preglobulin membawa sekitar 5% dari T3 dan 25% dari T4,

dan albumin membawa hormon yang tersisa (terutama T3). Bentuk aktif dari T3

dan T4 adalah bentuk bebas, yang hanya mewakili 0,3% dari T3 dan 0,03% dari

T4 dalam keseimbangan dengan hormon terikat tidak aktif. Hanya T3 dan T4

bebas ini yang tersedia di jaringan perifer untuk fungsi hormon tiroid. Tiroksin

binding globulin meningkat selama kehamilan dan dengan pemberian estrogen

serta menurun dengan pemberian androgen. T4 dikonversi dalam jaringan oleh sel

target menjadi T3, hormon kuat yang mengikat inti protein reseptor protein di

sitoplasma. Kompleks protein reseptor hormon ini kemudian mengikat elemen

respon hormon yang sesuai pada DNA. Hal ini secara langsung berpengaruh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

terhadap tingkat transkripsi, yang mengarah ke peningkatan messenger RNA

(mRNA) dan sintesis protein. Hormon tiroid memiliki banyak efek fisiologis

diantaranya seperti tertera dalam tabel 2.1. berikut :

Tabel 2.1. Efek fisiologis hormon tiroid

Jaringan

Sasaran

Pengaruh Mekanisme

Jantung Kronotropik Meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor B-

adrenergik

Inotropik Meningkatkan respon terhadap katekolamin

Meningkatkan proporsi alfa-miosin rantai berat

Jaringan

adiposa

Katabolik Merangsang lipolisis

Otot Katabolik Meningkatkan pemecahan protein

Tulang Perkembangan

dan metabolik

Mempromosikan pertumbuhan normal dan

tulang

Mempercepat pertukaran (turnover) tulang

Sistem saraf Perkembangan Mempromosikan perkembangan otak normal

Usus Metabolik Meningkatkan laju serapan karbohidrat

Lipoprotein Metabolik Merangsang pembentukan reseptor LDL

Lain-lain Kalorigenik Merangsang konsumsi oksigen oleh jaringan

aktif yang aktif secara metabolik (kecuali testis,

uterus, Kelnjar limfe, limpa, hipofisis anteriot)

Meningkatkan laju metabolik

Sumber : Barret, 2010

Dua lobus tiroid pada janin dapat diketahui saat usia kehamilan 7 minggu,

sedangkan karakteristik sel folikel tiroid dan pembentukan koloid terlihat pada

usia 10 minggu. Sintesis tiroglobulin terjadi mulai minggu ke 4 dan serapan

iodium terjadi pada 8-10 minggu, sedangkan sintesis dan sekresi tiroksin (T4) dan

triiodothyronine (T3) terjadi pada usia kehamilan 12 minggu (LaFranche, 2011).

Pengaruh hormon tiroid pada fungsi fisiologis jantung sangat dipengaruhi oleh

kadar serum T3. Hal ini karena jantung tidak mempunyai aktivitas 5’-

monodeiodinase, sehingga ambilan T3 dari peredaran darah merupakan sumber

hormon tiroid utama pada kardiomiosit (Klein I, 2007). T3 bekerja pada

kardiomiosit secara genomik dan non-genomik. T3 bekerja secara genomik

melalui ikatan dengan TR yang terletak dalam nukleus kardiomiosit. Aktivasi

kompleks TR-RXR-TRE oleh T3 meningkatkan proses transkripsi dan ekspresi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

gen-gen yang menyandi protein-protein struktural dan pengatur beserta enzim-

enzim penting dalam kardiomiosit (Dillmann, 2010).

Gen-gen pada kardiomiosit yang ekspresinya dipengaruhi oleh kompleks

Triiodotironin-Thyroid Receptor- Retinoid X Receptor-T3 response element (T3-

TR-RXR-TRE) dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah gen

yang diatur secara positif, yaitu gen-gen yang mengalami peningkatan aktivitas

transkripsi akibat T3. Gen ini antara lain gen alfa-miosin rantai berat, Ca2+-

ATPase retikulum sarkoplasma, Na+-K+-ATPase, reseptor adrenergik beta-1,

atrial natriuretic hormone (ANP), dan voltage-gated potassium channels (Klein I,

2007). Gen alfa-miosin rantai berat menyandi protein kontraktil rantai berat

alfamiosin yang merupakan serabut otot tipe cepat dalam filamen tebal pada

kardiomiosit. Gen Ca2+-ATPase retikulum sarkoplasma menyandi protein

Sarcoplasmic Reticulum Calsium (SERCa2+) dalam membran retikulum

sarkoplasma, yang mengatur ambilan kalsium dari sitoplasma ke dalam retikulum

sarkoplasma selama fase diastolik jantung (Dillmann, 2010).

Ambilan kalsium ini menurunkan kadar kalsium dalam sitoplasma yang

penting dalam memperlama fase diastolik. Kedua gen tersebut berperan dalam

pengaturan fungsi sistolik dan diastolik jantung. Gen Na+/K+-ATPase dan voltage-

gated potassium channels mengatur respons elektrik dan kimiawi kardiomiosit.

T3 meningkatkan ekspresi protein pengatur transportasi ion tersebut yang

berperan dalam menghantarkan aktivitas elektrik kardiomiosit. Gen reseptor

adrenergik beta-1 menyandi protein reseptor beta-1 pada membran plasma

kardiomiosit, yang berfungsi sebagai penghantar respons jantung terhadap pacuan

simpatis dan adrenergik (Klein, 2007; Dillmann, 2010). Ekspresi reseptor beta-1

mengalami peningkatan akibat pengaruh T3. Jenis kedua adalah gen yang diatur

secara negatif, yaitu gen-gen yang mengalami penurunan aktivitas transkripsi

akibat T3. Gen ini antara lain gen beta-miosin rantai berat, fosfolamban, adenilil

siklase tipe V dan VI, thyroid hormone receptor-1, dan Na+/Ca2+ exchanger. Gen

beta-miosin rantai berat menyandi protein miosin rantai berat tipe beta pada

filamen tebal yang merupakan ATPase miosin tipe lambat. T3 menurunkan

ekspresi gen beta-miosin rantai berat sekaligus menaikkan ekspresi alfa-miosin

rantai berat, menghasilkan efek hipertrofi dan peningkatan kontraktilitas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

kardiomiosit (Dahl, 2008). Fosfolamban merupakan penghambat Ca2+-ATPase

retikulum endoplasma dalam memompa kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma.

T3 menurunkan ekspresi gen fosfolamban dan sekaligus meningkatkan aktivitas

SERCa2+. Pada hipotiroidisme, ekspresi fosfolamban pada kardiomiosit

meningkat, menyebabkan hambatan ambilan kalsium ke dalam retikulum

sarkoplasma sehingga kalsium sitoplasma meningkat dan mengganggu fase

diastolik (Dillmann, 2010). Kadar nilai rujukan hormon tiroid tergantung dari usia

seperti tertera dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2. Nilai rujukan hormon tiroid

Usia Thyroxine

(mcq/dl)

Free

Thyroxine

(ng/dl)

Triiodo

thyronine

(ng/dl)

Free

Triido

thyronine

(ng/dl)

Thyroxine

Binding

Globulin

(mg/dl)

Thyroid

Stimulating

Hormone

Cord

blood

1-3 hr

1-4 mgg

1-12 bln

1-5 th

6-10 th

11-15 th

16-20 th

0,6-17,5

11,0-21.3

8,2-16,6

7,2-15,6

7,3-15

6,4-13,3

5,6-11,7

4,2-11,9

1,03-1,73

0,6-2,0

0,7-1,7

0,8-1,8

1,0-2,1

0,8-1,9

0,59-2,45

0,54-2,23

14-86

100-380

99-310

102-264

105-269

94-241

83-213

90-210

0,09-0,36

0,17-0,57

0,17-0,65

0,24-0,65

0,29-0,9

0,34-0,72

0,37-0,7

0,42-0,68

0,7-4,7

0,5-4,5

1,6-3,6

1,3-2,8

1,4-2,6

1,4-2,6

1,4-2,6

<2,5-17,4

<2,5-13,3

0,6-10,0

0,6-6,3

0,6-6,3

0,6-6,3

0,2-7,6

Sumber : Lamia, 2014

2. Patofisiologi Euthyroid Sick Syndrome Pada Kondisi Sakit Kritis

Kondisi sakit kritis akan mempengaruhi kerja dari hormon tiroid yang

tadinya normal. Keadaan ini disebut sebagai Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau

Non Thyroidal Illness (NTI) atau low T3 syndrome atau low T3-low T4 Syndrome

yang mana terjadi gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid yang terjadi

selama sakit kritis dan menghasilkan penurunan kadar hormon tiroid tanpa bukti

ada penyakit tiroid atau hipotalamus-hipofisis sebelumnya. Setelah pemulihan

dari ESS, hasil tes kelainan fungsi tiroid ini harus kembali normal. Perubahan

yang paling menonjol adalah triiodotironin serum rendah (T3) dan peningkatan

reverse T3 (rT3), yang mengarah ke istilah umum "sindrom low T3." Thyroid

Stimulating Hormone (TSH), tiroksin (T4), T4 bebas (FT4) juga dipengaruhi

dalam derajat yang berbeda berdasarkan tingkat keparahan dan durasi dari ESS.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Ketika berat penyakit meningkat maka derajat keparahan ESS pun meningkat dan

secara bertahap akan normal kembali ketika pasien pulih, seperti yang

ditunjukkan pada gambar 2.5. dan 2.6. (Serhat, 2015).

Gambar 2.5. Euthyroid Sick Syndrome (Serhat, 2015).

Gambar 2.6. Hubungan antara konsentrasi serum hormon tiroid dan

tingkat keparahan Euthyroid Sick Syndrome.

(Serhat, 2015).

Kadar TSH dapat tinggi, sedang ataupun rendah dipengaruhi oleh derajat

penyakit, tetapi sebagian besar kadar TSH pasien adalah di atas 0,05 μIU/mL.

Pada pasien di rumah sakit yang mengalami NTI, sekitar 10% memiliki nilai

TSH abnormal rendah, insiden tertinggi terjadi pada kelompok pasien dengan

tingkat keparahan paling tinggi. Pada pasien dengan tingkat keparahan paling

tinggi yang nyata terlihat adalah kadar T4 rendah. Tiroid menghasilkan T4 dalam

jumlah signifikan lebih besar dari T3 aktif, dalam rasio 17:1 (T4:T3). Tingkat

masing-masing hormon yang beredar juga ditentukan oleh konversi extra tiroid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

T4 ke T3, yang pada manusia sehat menyumbang lebih dari 80% dari produksi

T3. Aktivasi dan inaktivasi hormon tiroid dilakukan oleh kelompok tiga

iodothyronine deiodinase, yang masing-masing merupakan selenoprotein, yang

dikodekan oleh gen terpisah. Deiodinase D1, D2 dan D3 memiliki distribusi

jaringan, afinitas substrat dan peran fisiologis yang berbeda (Bianco dan Kim,

2006).

Semua deiodinase adalah membran integral protein, dan meskipun lokasi

selular mereka bervariasi, semua domain katalitik mereka berada di dalam sitosol

sel (Friesema EC et al., 2006). D1 dan D2 mengaktifkan T4 dengan menghapus

atom iodium dari cincin luarnya (5'deiodinasi), membentuk T3. Di sisi lain, D3

menginaktifasi baik T3 dan T4 dengan menghapus atom iodium dari inner ring

(5-deiodinasi) menghasilkan masing-masing T2 dan rT3, reaksi yang juga dapat

dikatalisasi oleh D1. Isoenzim D1 dan D3 terletak dalam membran plasma,

sementara D2 masih dipertahankan dalam retikulum endoplasma. T3 dihasilkan

dari D2 sehingga berpotensi memiliki akses ke inti karena lebih dekat, sementara

T3 diproduksi oleh D1 lebih mudah diekspor ke plasma (Seth, 2009). Perbedaan-

perbedaan dalam lokasi intraseluler mungkin menjelaskan mengapa D2 muncul

memasok T3 untuk penggunaan lokal dalam inti sel terutama dalam jaringan

seperti otak, hipofisis dan jaringan adiposa. Sementara jaringan yang

mengekspresikan tinggi D1 seperti hati dan ginjal mengekspor T3 yang di

hasilkan ke plasma (Bianco dan Kim, 2006).

Gambar 2.7. Reaksi deiodonasi (Bianco dan Kim, 2006)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Perbedaan tipe deiodenase terlihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perbedaan Deiodinasi tipe 1,2 dan 3 Tipe Deiodinasi D1 D2 D3

Substrat rT3>T4>t3 T4>rT3 T3>T4

Distribusi Hati, ginjal, otot,

kelenjar tiroid

Otak, Pituitari Otak, plasenta,

jaringan fetus

Fungsi Produksi T3

plasma

Produksi T3 lokal Degradasi T3

Hipotiroid Menurun Meningkat Menurun

Hipertiroid Meningkat Menurun Meningkat

Sumber : Cooper, 2008

Pada pasien yang memiliki penyakit non tiroid yang berat, tingkat TSH

dapat menurun (derajat penurunan berhubungan dengan tingkat keparahan

penyakit) dan biasanya kembali normal atau normal rendah dalam 24-48 jam

meskipun mungkin tetap rendah dengan penyakit yang berkepanjangan dan berat.

Saat sakit terjadi penurunan cepat dalam FT3 (maksimal dalam 4 hari) dan

proporsional untuk keparahan penyakit dan peningkatan rT3 (maksimal pada 12

jam) dan tidak berhubungan dengan keparahan penyakit serta sering kembali

normal dalam waktu 2 minggu. Hal ini disebabkan oleh penghambatan dari 5-

monodeiodination perifer (karena peningkatan inhibisi oleh sitokin yang beredar,

meningkatnya level kortisol dan starvation) yang mengurangi konversi perifer T4

menjadi T3 dan mengurangi clearance rT3. Tingkat T4 total normal atau rendah

pada pasien yang sakit berat dan waktu paruh plasma T4 berkurang dari 7 hari ke

1-5 hari. Tidak adanya peningkatan TSH akibat T3 yang rendah disebabkan oleh

perubahan di set-point pada tingkat hipotalamus-hipofisis dengan hasil akhir

serum TSH oleh pengaruh TRH adalah normal. Meskipun kadar FT3 menurun

namun keadaan klinis eutiroid dipertahankan dengan cara peningkatan sintesis

reseptor T3 jaringan. Selama fase pemulihan penyakit, sering ada peningkatan

sementara kadar TSH sampai FT4 dan kadar FT3 kembali ke normal (Yu dan

Koenig, 2006).

Umumnya, fungsi tes tiroid abnormal pada pasien yang sakit akut (atau

selama kelaparan), tanpa disertai tanda-tanda klinis dari penyakit tiroid yang perlu

diobati. Studi fungsi tiroid sebaiknya diulang setelah penyakit akut telah

membaik. rT3 biasanya meningkat pada penyakit non-tiroid dan rendah pada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

pasien hipotiroid yang sakit, namun kadar tingkat rT3 belum andal untuk

membedakan antara dua gangguan ini. Tingkat TSH sering memberikan refleksi

yang wajar dari status fungsi tiroid bahkan pada pasien dengan penyakit akut

(Zeold et al., 2006). Skema dibawah (gambar 2.8.) ini menggambarakan

perubahan pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid hormon yang terjadi selama

proses sakit kritis.

Gambar 2.8. Aksis Hipotalamus-hipofisis-tiroid saat sehat dan sakit

(Mebis dan Berghe, 2009).

Tingkat keparahan Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau Non Thyroidal Illness

(NTI) dapat ditunjukkan dengan hasil laboratorium hormon tiroid sesuai tabel 2.4.

berikut.

Tabel 2.4. Derajat keparahan NTI

Derajat beratnya

penyakit

Hormon

fT3 fT4 rT3 TSH

Ringan ↓ N ↑ N

Sedang ↓↓ N, ↓, ↑ ↑↑ N, ↓

Berat ↓↓↓ ↓ ↑ ↓↓

Masa kesembuhan ↓ ↓ ↑ ↑

Sumber : Mehrdad et al., 2013; Larsen et al., 2008

Sedangkan untuk membedakan kondisi ESS/NTI dengan kondisi hipotiroid,

interpretasi hasil pemeriksaan hormon tiroid dapat dilihat dalam tabel 2.5. berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Tabel 2.5. Perubahan hormon tiroid pada kondisi ESS/NTI dan hipotiroid Primary

hypothyroidsm

Central

hypothyroidsm

Non-thyroidal

illness

T4 Rendah Rendah Normal atau

rendah

T3 Rendah atau

mendekati normal

Rendah atau

mendekati normal

Rendah

rT3 Rendah atau

normal

Rendah atau

normal

Meningkat atau

normal

TSH

- Single

sample

Meningkat Rendah atau

normal

Normal

- Pulsatile

secretion

Meningkat Rendah Rendah

Sumber : Mebis dan Berghe, 2009

Masih merupakan kontroversi, apakah perubahan kadar hormon tiroid pada

sakit kritis atau ESS merupakan suatu proses respon adaptif atau maladaptif pada

penyakit. Beberapa penjelasan untuk mencari penyebab ESS diantaranya adalah

akurasi tes uji di ESS, sitokin, deiodinasi, penghambatan sekresi TRH dan TSH,

penghambatan transportasi plasma membran iodotironin, penurunan atau desialasi

Thyroid-binding, pengurangan ekspresi Thyroid Receptor (TR) serta DNA-binding

dan obat-obatan yang mempengaruhi fungsi tiroid. Perubahan-perubahan dalam

hasil tes fungsi tiroid dapat diamati pada sebagian besar penyakit akut dan

kronis.

Tabel 2.6. Contoh penyakit dengan gangguan fungsi tiroid

Gastrointestinal diseases

Pulmonary diseases

Cardiovascular diseases

Renal diseases

Infiltrative and metabolic disorders

Inflammatory conditions

Myocardial infarction

Starvation

Sepsis

Burns

Trauma

Surgery

Malignancy

Bone marrow transplantation

Sumber : Tognini et al., 2009; Friesema et al., 2006

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Secara umun patofisiologi terjadinya Euthyroid Sick Syndrome adalah (Seth,

2009) :

a. Penurunan aktivitas enzim iodothyronin 5’-monodeiodinase tipe 1 yang

menghasilkan penurunan konversi T4 menjadi T3 di perifer dan penurunan

metabolisme dari rT3. Deiodinase tipe I adalah sebuah selenoprotein, dan

kekurangan selenium adalah hal umum yang terjadi pada pasien sakit kritis.

Beberapa penulis berpendapat bahwa kekurangan selenium dapat berkontribusi

terhadap kerusakan enzim deiodinase tipe I. Sitokin (misalnya, IL-1 beta, TNF-

alpha, interferon-gamma) menurunkan deiodinase tipe I messenger RNA

(mRNA) in vitro. Deiodinase tipe I tidak ada di hipofisis, di mana tingkat T3

berada dalam kisaran referensi, karena peningkatan deiodinasi lokal. Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan konversi T4 ke T3 intrapituitari ada karena

jenis deiodinase tipe II yang spesifik di hipofisis dan otak. Dari data yang ada

diduga D1 dan D2 tidak esensial untuk maintenance dari kadar T3. Mereka

lebih berperan penting dalam homeosatis hormon tiroid. D2 menjadi penting

dalam produksi T3 lokal dan D1 berperan penting dalam konservasi iodium di

jaringan perifer dan tiroid (Galton et al., 2009).

b. Perubahan fungsi di hipotalamus dan hipofisis menghasilkan penurunan sekresi

hormon TRH (Thyrotropin Releasing Hormon) dan TSH (Thyrotropin

Stimulating Hormon). Sitokin, kortisol, dan leptin, serta perubahan dalam

metabolisme hormon tiroid otak, mempengaruhi dalam penghambatan dan

sekresi TRH dan TSH.

c. Peningkatan level sitokin, interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-1 (IL-1) dan

penurunan level leptin juga berperan dalam patofisiologi ESS. Sitokin

diperkirakan memainkan peran dalam ESS terutama IL-1, IL-6, Tumor

Necrosis Factor (TNF)-alpha, dan interferon-beta. Sitokin diperkirakan

mempengaruhi hipotalamus, hipofisis, atau jaringan lain, menghambat

produksi TSH, hormon pelepas tiroid (TRH), tiroglobulin, T3 dan tiroid

binding globulin. Sitokin juga diperkirakan menurunkan aktivitas deiodinase

tipe I dan mengurangi kapasitas mengikat inti reseptor T3. IL-1 memblok

kemampuan T3 untuk menginduksi D1 pada hepar tikus (Yu dan Koenig,

2006).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

d. Pemakaian dopamin, bedah pintas kardiopulmonal diduga berhubungan dengan

kejadian ESS. Dopamin diberikan dalam mendukung fungsi ginjal dan fungsi

jantung pada banyak pasien sakit kritis. Dopamin menghambat sekresi TSH

langsung, menekan produksi hormon tiroid yang sudah tidak normal.

Penghentian infus dopamin diikuti dengan peningkatan dramatis yang cepat

dari TSH, kenaikan T4 dan T3, dan peningkatan rasio T3 / rT3 (Ng, S.M. et

al., 2014). Kadar hormon tiroid turun selama dilakukan bedah bypass

cardiopulmonal pada anak (Shiva et al., 2011) dan pemberian T3 pasca bedah

bypass kardiopulmonal memperikan efek positif pada fungsi jantung (Haas dan

Camphausen. 2006).

Kondisi yang mempengaruhi hasil tes fungsi tiroid adalah (Serhat, 2015):

a. Pemakaian obat-obatan

Tabel 2.7. Obat-obatan yang mempengaruhi fungsi tiroid

Obat Mekanisme

Hipotiroidism Thionamide, lithium, perchlorate,

aminoglutethimede, thalidomide

iodine and obat dgn kandungan iodine:

Amiodarone

Kontras radiografi

Ekspektoran

Kalium Iodine

Betadin kumur

Antiseptik topikal

Cholestyramine, colestipol, aluminium hydroxide,

kalsium karbonat, sukralfat, iron sulfate,

raloxifine, omeprazole, lansoprazole, sevelame,

lanthanum carbonate

Interferon-alpha, interleukin-2

Dopamine

Sunitinib

Bexarotene

Penghambatan sintesis hormon

tiroid

Penurunan absorbsi T4

Immuno-dysregulation

Supresi TSH Possible destructive thyroiditis Peningkatan clerance T4 &

supresi TSH

Hipertiroidism iodine,amiodarone

interfero-alpha, interleukin-2

stimulasi sintesis hormon tiroid

Immuno-dysregulation

Obat penyebab tes

fungsi tiroid

abnormal tanpa

disfungsi kelenjar

tiroid

androgens, danazol, glucocorticoids, nicotinic

acid

L-asparaginase

estrogen, tamoxifen’raloxifene, methadine,

5-fluouracil, clofibrate,heroin, mitotane

Salicylate, salsalate, furosemide, heparin, NSAIDs

Kadar TBG serum yang rendah

Kadar TBG serum yang tinggi

Penurunan T4 binding TBG

Phenytoin, carbamazepine, rifampin,

phenobarbital

Peningkatan clearance T4

Dobutamine, glucocortikoid, ocreotid Supresi sekresi TSH

Amiodarone, glucocorticoids, agen kontras

(mis. Iopanoic acid), propylthiouracil, propanolol

Kegagalan konversi T4 menjadi

T3

Sumber : Economidou et al., 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

b. Luka bakar

Pasien dengan luka bakar yang signifikan menunjukkan nilai-nilai khas profil

ESS, yaitu T3 dan FT3 rendah dengan peningkatan rT3, total T4 dan tingkat

FT4 mungkin sedikit menurun tetapi normal kembali setelah beberapa hari.

Sekresi TSH basal tidak berubah. Dalam sebuah studi dari sick eutiroid

syndrome pada pasien luka bakar, Gangemi dkk menemukan secara signifikan

tingkat lebih rendah FT3 dan TSH pada pasien cedera yang meninggal

dibandingkan pada mereka yang bertahan hidup. Sebuah hubungan yang

bermakna juga ditemukan antara konsentrasi FT3 dan keparahan luka bakar

pasien (Gangemi et al., 2008).

c. Puasa

Jumlah T4 biasanya tetap tidak berubah, tetapi sekresi tiroid mungkin

berkurang. T4 bebas dapat tetap, atau mungkin meningkat akibat penurunan

pengikatan T4 sekunder untuk peningkatan asam lemak bebas, yang meningkat

selama kelaparan. Total T3 dan T3 bebas serum menurun secara dramatis, rT3

umumnya meningkat, dan sekresi TSH basal, serta respon TSH untuk TRH

juga berkurang.

d. Malnutrisi kalori protein

Kelaparan mengubah hasil tes fungsi tiroid. Selama kelaparan jumlah T4

berkurang, T4 bebas tidak berubah, jumlah T3 berkurang secara signifikan, T3

bebas berkurang, dan rT3 naik secara signifikan. TSH basal tidak berubah atau

meningkat dan terjadi penundaan stimulasi TSH ke TRH. Semakin berat

malnutrisi yang terjadi, semakin rendah kadar T3 dan T4 pasien tersebut

(Kumar, et al., 2009).

e. Bedah

Jumlah T3 akan turun secara dramatis pada hari operasi dan tetap secara

signifikan menurun pasca operasi. Tingkat penurunan adalah terkait dengan

keparahan trauma bedah. Konsentrasi T3 bebas cepat turun ke tingkat rendah

pasca operasi, sejalan dengan penurunan total T3. T4 biasanya tidak berubah

pada hari operasi. Satu studi menunjukkan bahwa jumlah T4 menurun selama

operasi dengan anestesi epidural tetapi meningkat dengan anestesi umum.

Persentase dari T4 bebas meningkat selama operasi dan pasca operasi akan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

berkurang. Kadar TSH ditemukan tidak berubah selama operasi, kecuali

dengan operasi hipotermia, di mana TSH meningkat (Velissaris et al., 2009).

f. Penyakit ginjal

Hormon tiroid dapat dipengaruhi oleh fungsi ginjal dalam berbagai cara

mengingat heterogenitas disfungsi ginjal dan variasi dalam fungsi ginjal, yang

mungkin memiliki efek mendalam pada tiroid. Pada gagal ginjal kronis,

jumlah T4 dan T4 bebas dapat normal atau meningkat, jumlah T3 berkurang

secara signifikan, T3 bebas berkurang, rT3 tidak berubah, TSH basal dapat

berubah atau meningkat, dan respon stimulasi TSH ke TRH menurun. Banyak

kelainan dibalik ini membaik dengan transplantasi ginjal. Pada sindrom

nefrotik, presentasi klinis dan temuan tes fungsi tiroid seperti hipotiroidisme.

Total T4 dan T4 bebas bisa normal atau berkurang. Proteinuria yang signifikan

atau kehilangan TBG dan penggunaan steroid, bersamaan dapat menjelaskan

berkurangnya T4. Jumlah T3 berkurang secara signifikan, T3 bebas berkurang,

dan rT3 tidak berubah. Berbeda dengan hipotiroidisme primer, TSH basal

tidak berubah atau sedikit meningkat, sementara respon TSH untuk TRH

menurun (Iglesias, 2009; Hekmat dan Javadi, 2010).

g. Penyakit hati

Kelainan hasil tes fungsi tiroid umum terjadi pada pasien dengan penyakit

hati. Kelainan ini bervariasi tergantung pada jenis dan tingkat keparahan

penyakit hati. Hati adalah tempat yang paling penting untuk konversi T4 ke T3.

Penurunan T3 mungkin mencerminkan efek langsung dari penyakit hati pada

proses deiodinasi daripada efek tidak langsung dari penyakit sistemik. Penyakit

hati mempengaruhi transportasi hormon tiroid dalam darah secara signifikan

karena sintesis dari semua protein binding, yaitu, TBG, TBPA, dan albumin

terjadi di hati. Pada sirosis, hasil kelainan fungsi tes tiroid tergantung pada

jumlah jaringan hati residual fungsional. Umumnya, jumlah T4 tidak berubah

atau berkurang, FT4 tidak berubah atau meningkat, T3 bebas berkurang atau

tidak berubah, dan rT3 naik. Berbeda dengan sebagian besar kategori sindrom

T3 rendah lainnya, TSH basal mungkin meningkat. Pada Infeksi hepatitis yang

menular, kelainan yang terjadi tidaklah umum. Pada infeksi hepatitis jumlah

T4 sering berubah, jumlah T4 meningkat ketika TBG meningkat, T4 bebas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

dapat turun, jumlah T3 meningkat, T3 bebas menurun, rT3 tidak berubah, dan

TSH basal meningkat. Terjadi respon TSH akibat perangsangan TRH yang

berlebihan. Dalam kasus hepatitis aktif kronis dan primary biliary cirrhosis

tingkat serum TBG meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar total T4 dan

T3 dan penurunan serapan resin T3. Pada pasien sirosis yang berhubungan

hepatitis B dan C, penurunan kadar T3 berhubungan dengan derajat kerusakan

hepar (Ghanaei, 2012).

h. Infeksi

Pada manusia, kadar T4 dan T3 serum turun tak lama setelah timbulnya

infeksi klinis. Ini mencerminkan penurunan stimulasi TSH dari tiroid,

penurunan sekresi T4 tiroid dan infeksi menghambat hormon pengikat untuk

mengangkut protein. Saat pemulihan, pengeluaran TSH bertambah, dan tingkat

T4 dan T3 semakin meningkat. Pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala atau

AIDS dan tanpa infeksi oportunistik atau disfungsi hati, memiliki konsentrasi

T4 serum dan T3 dalam rentang referensi. Nilai FTI dan konsentrasi T4 bebas

juga berada dalam kisaran referensi atau sedikit rendah. Beberapa pasien

mungkin telah memiliki konsentrasi TBG sedikit lebih tinggi, yang cenderung

berbanding terbalik dengan persentase sel CD4. Beberapa pasien mungkin

memiliki peningkatan kecil dalam konsentrasi TSH serum. Pasien AIDS

dengan infeksi pneumonia carinii atau infeksi serius lainnya memiliki

perubahan fungsi tiroid khas NTI berat lainnya (Unachukwu dan Uchenna,

2009).

i. Penyakit jiwa

Perubahan dalam hasil tes fungsi tiroid pada penyakit jiwa bervariasi dan

membingungkan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam hasil tes

fungsi tiroid, seperti penyakit jiwa tertentu, usia pasien, stadium penyakit

pasien, obat yang bersamaan, dan adanya penyakit tiroid lain dan ESS. Dalam

depresi primer, jumlah T4 dapat meningkat atau tidak berubah, FT4 dapat

meningkat atau tidak berubah, jumlah T3 tidak berubah, FT3 tidak berubah,

rT3 naik, TSH basal tidak berubah, dan respon TSH oleh TRH menurun. Salah

satu kelainan yang paling umum dalam temuan tes fungsi tiroid pada gangguan

kejiwaan akut adalah kenaikan FTI (7-9% dari pasien). Ini adalah akibat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

sekunder untuk peningkatan sementara T4, yang jarang pada penyakit lainnya.

Total T4 tinggi dan FTI normal setelah pengobatan. Respon TRH tumpul pada

depresi tetapi tidak dalam skizofrenia. Dalam studi tahun 2006, dari 250 subjek

dengan depresi kejiwaan utama, 6,4% memperlihatkan sindrom T3 rendah dan

ini tidak dianggap berasal dari kekurangan gizi atau penyakit lain dan

parameter metabolik semua normal. Penyakit Anorexia nervosa memiliki aspek

mirip dengan kelaparan dan hipotiroidisme. Kulit kering, bradikardia,

hipotermia, sembelit, dan amenore dapat menjadi tanda dan gejala adanya cacat

hipotalamus dalam sekresi TRH. Dalam gangguan ini, jumlah T4 menurun, dan

T4 bebas biasanya tidak berubah. Jumlah T3 berkurang secara signifikan, tetapi

T3 bebas biasanya tidak berubah, rT3 tinggi, dan TSH basal tidak berubah,

tetapi terjadi puncak TSH yang lambat sebagai respon perangsangan TRH

(Remachandra dan Kabir, 2006).

Gambaran perubahan profil hormon tiroid pada beberapa penyakit dapat terlihat

dalam tabel 2.8. berikut.

Tabel 2.8. Perubahan hormon tiroid pada penyakit dengan ESS T3 serum rT3 serum T4 serum fT4 serum TSH serum

Puasa

Penyakit ringan

Penyakit kritis

Surgical trauma burn

Chroic renal failure

Hepatitis

Infeksi HIV

Depresi

=↑

=

=↓

=

=↑

=↑

=

=

=↓

=↑

=

=↑

=

=↑

=↓

=↓

=↓

=↓

=↑

=

=↓

=↓

=

=↑

=↓

Sumber : Wiersinga, 2005

Pengaruh Euthyroid Sick Syndome pada kondisi sakit kritis diantaranya adalah :

a. Gangguan sistem respirasi

Kondisi ESS pada pasien gagal napas memiliki risiko tinggi untuk

memerlukan bantuan ventilasi mekanik yang lama (Yasar et al., 2015).

Supplementasi hormon tiroid pada kondisi ini terbukti memberikn efek yang

bermanfaat. Beberapa mekanisme yang menerangkan hubungan kondisi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

hipotiroid dan gagal napas adalah : perubahan respon normal pernapasan

terhadap kondisi hipoksia ataupun hiperkapnia, kelemahan otot-otot

pernapasan, efusi pleura dan obstruksi sleep apnea (Johnson, 2011).

Penelitian oleh Plikat dkk secara retrospektif pada pasien yang masuk ke ICU

menunjukkan dari 220 orang yang memerlukan ventilator, 40% dengan

kondisi eutiroid, 50% dengan T3 rendah, dan 83% dengan kondisi FT3/FT4

rendah (Plikat et al., 2007). Penelitian lain menujukkan bahwa kondisi ESS

merupakan faktor risiko independen pada penggunaan ventilator yang

berkepanjangan (OR, 2,25; 95% CI, 1.18-4.29; p=0.01) (Bello et al., 2010).

b. Gangguan sistem kardiovaskuler

Hormon tiroid memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap

sistem kardiovaskuler sebagai hasil binding T3 terhadap reseptor inti di

miosit dan binding dengan reseptor kanal ion kalsium, kalium dan natrium.

Efek yang timbul adalah peningkatan inotropik dan kronotropik, peningkatan

oksigenasi jaringan, peningkatan tekanan darah dan penurunan resistensi

perifer sebagai efek langsung T3 pada otot polos (Klein dan Danzi, 2007).

Penurunan kadar hormon tiroid pada kondisi sakit jantung mungkin akan

memperburuk kondisi penyakitnya, tetapi beberapa penelitian yang telah

dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Pingitore dkk

menunjukkan bahwa pemberian hormon tiroid untuk pasien dengan

kardiomiopati dilatasi dan ESS meningkatkan secara signifikan stroke

volume dan volume akhir diastolik ventrikel kiri serta penurunan denyut

jantung (Pingitore et al., 2008). Suplementasi T3 oral dengan dosis 0,5

mcg/kg tiap 12 jam selama 3 hari pasca operasi jantung terbuka pada bayi dan

anak kurang dari 2 tahun dapat menjaga kadar T3 dalam batas normal

(Marwali et al., 2013).

Coceani meneliti apakah rendahnya tingkat T3 pada pasien eutiroid terkait

dengan kehadiran dan prognosis penyakit arteri koroner (CAD). Para penulis

menilai data dari 1.047 pasien eutiroid yang telah menjalani angiografi

koroner untuk tersangka CAD. Hasilnya, sebelum dan setelah analisis regresi

logistik multivariat, menunjukkan bahwa ada hubungan antara rendahnya

tingkat T3 bebas (FT3) dan adanya CAD baik single atau multivessel.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Dengan rata-rata 31 bulan follow-up, tingkat kematian total dan episode sakit

jantung, sebelum dan sesudah analisis regresi Cox multivariat, lebih tinggi

pada pasien dengan sindrom rendah T3 (analisis Cox: Jumlah HR mortality =

1.80; cardiac mortality HR = 2.58). Para penulis menyimpulkan bahwa dalam

studi kohort, tingkat FT3 rendah dan sindrom T3 rendah, bahkan pada pasien

yang tidak memiliki riwayat infark miokard atau gagal jantung kronis,

berhubungan, masing-masing, dengan kehadiran dan prognosis yang

merugikan bagi pasien CAD (Coceani dan Iervasi, 2009). Gambar 2.9.

berikut ini menunjukkan survival rate dari pasien Euthyroid Sisk Syndrome

(Plikat et al., 2007).

Gambar 2.9. Euthyroid Sisk Syndrome (ESS) Survival Rate

(Plikat et al., 2007)

B. Mortalitas Pasien Anak Sakit Kritis

1. Definisi Sakit Kritis

Sakit kritis adalah setiap proses penyakit yang menyebabkan

ketidakstabilan fisiologis yang mengarah ke cacat atau kematian dalam beberapa

menit atau jam (Frost dan Wise, 2007). Pengenalan dan manajemen sakit kritis

sangat sulit pada bayi dan anak-anak, karena perbedaan usia tertentu dalam jenis

penyakit dan rentang nilai fisiologis, keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan prosedur pada anak-anak kecil, dan penurunan kondisi mendadak yang

tak terduga terutama pada bayi yang memiliki keterbatasan kapasitas kompensasi.

Pepatah lama bahwa “anak-anak bukan orang dewasa yang kecil” tetap berlaku,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

dan nilai pengetahuan khusus dan pelatihan manajemen perawatan kritis anak

oleh personil yang bersangkutan tidak dapat abaikan. Anak sakit kritis ada dalam

situasi yang beragam, termasuk pra rumah sakit (dokter perawatan primer,

puskesmas dan keadaan yang muncul tak terduga ) dan lingkungan rumah sakit

(gawat darurat, bangsal dan fasilitas perawatan intensif). Termasuk kondisi kritis

adalah masalah infeksi dan sepsis, pernapasan, jantung dan keadaan darurat

saraf, trauma dan perawatan suportif pasca bedah. Hasil dari penyakit kritis pada

anak bergantung pada pengenalan awal, antisipasi intervensi yang cepat dan

pengobatan definitif (Jones et al., 2005).

Di Amerika Serikat perkiraan data nasional dari keseluruhan penggunaan

layanan ICU untuk anak-anak sangat terbatas. Dari survei yang dilakukan pada

tahun 2001 oleh Randolph dan rekan untuk melaporkan jumlah tahunan dari

penerimaan PICU mereka, lebih dari 230.000 anak-anak dirawat di PICU per

tahun. Pasien-pasien ini mewakili 6,6% dari pasien anak yang di rawat di rumah

sakit. Angka kematiannya adalah 2,4% (atau lebih dari 11.000 kematian nasional)

(Randolph et al., 2004). Pollack dkk melakukan penelitian di Amerika Serikat

dengan melibatkan 8 PICU pada Desember 2011 hingga Agustus 2012

mendapatkan hasil angka mortalitas di PICU sebesar 2% (Pollack et al., 2014).

Di Pakistan data pada tahun 2007 menunjukkan jumlah mortalitas pasien yang

masuk PICU dari 314 pasien, yang meninggal sebanyak 14% (Haque dan Bano,

2009). Mortalitas pasien anak yang masuk ke ICU di negara Ethiopia di RS

Ethiopia University Hospital menunjukkan dari 170 pasien anak yang masuk ke

ICU, 40% diantaranya meninggal (Abebe et al., 2015).

Dalam penelitian, kriteria penyakit kritis pada anak didefinisikan sebagai

kondisi apapun yang mengarah ke kerusakan satu atau lebih sistem organ yang

membutuhkan dukungan untuk mempertahankan fungsi vital baik dengan terapi

mekanik atau farmakologi yaitu: ventilasi mekanis, > 60% oksigen inspirasi oleh

masker, dopamin > 5 mcg / kg / menit, setiap dosis adrenalin, urin < 1 ml/kg/jam,

kreatinin serum > 3,4 mg / dl, trombosit < 100.000 / mm3 (Suvarna dan Fande,

2009). Kondisi sakit kritis yang menjadi kriteria rawat di ruang intensif, yaitu

kegawatan jantung (gagal jantung, disritmia kordis), kegawatan respirasi (gagal

napas akut, status asmatikus), kegawatan neurologis (koma, penurunan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

kesadaran), kegawatan sirkulasi / homeostasis (gagal sirkulasi, gangguan

keseimbangan elektrolit, gagal ginjal akut, ketoasidosis diabetikum), kegawatan

khusus (status konvulsivus/epileptikus), memerlukan pemantauan khusus / ketat

(obat-obatan yang perlu titrasi, pasca operasi kepala, toraks atau abdomen (dengan

kecenderungan gagal napas dan gagal jantung) (Gausche et al., 2004).

Adanya gangguan homeostasis tubuh merupakan gambaran karakteristik

pada pasien sakit berat termasuk sepsis. Baik pada orang dewasa maupun anak

gangguan ini dapat diperkirakan dengan menilai sebagian atau beberapa variabel

fisiologis dari nilai normal. Penilaian dapat dilakukan dengan sistem skoring

seperti Pediatric Risk of Mortality (PRISM), Pediatric Index of Mortality (PIM)

dan Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD), skor dibuat dengan

menjumlahkan nilai beberapa variabel. Skor tersebut digunakan untuk

menggambarkan derajat beratnya sakit dari kelompok pasien dengan sakit berat.

Nilai ini mempertimbangkan beberapa komorbiditas dan gangguan fisiologis yang

ada pada saat perawatan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) (Bambang et

al., 2014).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas Anak Sakit Kritis

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Siddiqui et al. (2015) di PICU pada anak 1-

16 tahun umur rata-rata pasien yang meninggal terjadi di umur 2,8 tahun atau

dibawah 5 tahun. Usia berpengaruh terhadap mortalitas karena berhubungan

dengan maturitas dari sistem imun. Respon imun terdiri dari adaptif dan respon

imun alamiah. Respon imun adaptif akan membentuk suatu antibodi atau

imunoglobulin pada penyakit tertentu. Pembentukan antibodi akan berkembang

sesuai dengan usia. Imunoglobulin M akan sama nilainya dengan dewasa setelah

anak berumur 2 tahun sama halnya dengan sel B yang mensekresi

immunoglobulin mulai umur 2 tahun. Sedangkan immunoglobulin A akan mulai

disekresi pada anak mulai usia 5 tahun (Achkar et al., 2012).

b. Status nutrisi

Status nutrisi beperngaruh terhadap mortalitas pasien di ruang intensif.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas pasien hal ini berhubungan dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

lama rawat dan respon terhadap penyakit. Pasien dengan malnutrisi memiliki

gangguan homeostasis imun karena terjadi penekanan dari fungsi limfosit T,

peningkatan sitokin antiinflamasi dan perlindungan sel terhadap kerusakan

sehingga bila fungsi sistem terganggu, mortalitas pasien akan meningkat. Pada

kondisi malnutrisi terjadi peningkatan sitokin inflamasi seperti IL6 dan CRP

dimana CRP dan IL6 dapat memicu terjadinya hiperkatabolisme yang

menyebabkan proteolisis (Wischmeyer, 2011).

Pasien dengan penyakit kritis memiliki risiko besar untuk terjadinya

malnutrisi. Peningkatan proteolisis untuk membentuk glukosa dan proses lipolisis

karena pengaruh adrenergik meningkat pada pasien dengan penyakit kritis.

(Wischmeyer, 2011) Insidensi terjadinya malnutrisi pada anak dengan sakit kritis

berkisar 25-70% cukup banyak karena anak dengan malnutrisi terjadi

hiperkatabolisme, gangguan metabolisme dan terjadi penurunan suplai nutrisi ke

jaringan tubuh. (Prieto et al., 2011). Kondisi malnutrisi pada penyakit kritis

mempengaruhi mortalitas pasien dengan penyakit kritis, pasien dengan malnutrisi

lebih banyak mengalami sepsis, menggunakan vasopressor sampai dengan terjadi

kegagalan fungsi organ. Mortalitas pasien dengan malnutrisi dua kali lipat lebih

tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi (Mongensen et al., 2015). Penelitian

lain pada pasien anak dengan penyakit kritis didapatkan pasien dengan malnutrisi

memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi dan

durasi penggunaan ventilator lebih lama pada pasien dengan malnutrisi (Menezes

et al., 2012).

c. Jenis penyakit

Pasien yang dirawat di ruang intensif terdiri dari pasien dengan berbagai

macam penyakit. Berdasarkan penelitian, jenis penyakit dapat mempengaruhi

mortalitas pasien yang dirawat di ruang intensif. Penelitian yang dilakukan oleh

Handayani et al. (2014) pada pasien di ruang intensif, pasien non bedah memiliki

mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien bedah. Berbeda halnya dengan

penelitian Handayani et al, penelitian lain melaporkan mortalitas pasien yang

dirawat di ruang intensif yang paling banyak adalah pasien bedah mayor.

(Hardisman, 2015). Kasus bedah yang dirawat di ruang rawat intensif berbagai

macam diantaranya adalah bedah jantung pada penyakit jantung bawaan, bedah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

saraf, bedah ortopedi, transplantasi, urologi dan kasus bedah umum yang paling

banyak seperti apendisitis, kasus kelainan bawaan seperti stenosis pilorus, hernia

diagfragma, solid tumor, atresia biliaris dan kasus bedah lain. Mortalitas dari

masing-masing kasus bedah berbeda-beda paling banyak mortalitas adalah kasus

bedah jantung pada penyakit jantung bawaan (Mc Ateer et al., 2013).

d. Sepsis

Hasil studi oleh Wolfler (2006) pada anak yang dirawat di PICU

menunjukkan bahwa anak dengan diagnosis sepsis memiliki angka morbiditas dan

mortalitas yang tinggi dibandingkan yang tanpa sepsis. Kondisi severe sepsis dan

syok sepsis memiliki mortalitas berturut-turut 17,7% dan 50,8%. Tanurahardja et

al (2014) melaporkan 14 (46%) dari 30 anak yang mengalami sepsis di PICU

meninggal dunia, sedangkan Kaur et al. (2014) dari 50 anak yang dirawat di

PICU, 28 diantaranya meninggal dunia.

e. Penggunaan inotropik

Penelitian oleh Alshuheel et al. (2014) yang menyatakan kelompok pasien di

PICU yang menggunakan inotropik lebih banyak yang meninggal dibandingkan

dengan yang tidak menggunakan inotropik (p<0,001). Volakli et al. (2011)

melaporkan bahwa penggunaan inotropik merupakan faktor risiko mortalitas (OR

32.31; 95% CI: 7.11 hingga 146.85; p=<0.001). Hal ini kemungkinan berkaitan

dengan derajat keparahan penyakit yang melibatkan atau mengakibatkan

disfungsi otot jantung, hingga pasien memerlukan topangan inotropik

f. Skor PELOD

Derajat disgungsi organ pada pasien sakit kritis dapat dinilai menggunakan

skor PELOD. Semakin tinggi nilai skor PELOD, semakin tinggi pila risiko

mortalitas pasien. Skoring PELOD > 20 maka risiko pasien meninggal > 50%.

g. Perubahan kadar hormon tiroid/ Euthyroid Sick Syndrom (ESS)

ESS diduga berkaitan dengan mortalitas pasien anak sakit kritis. Penelitian di

India pada pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU mendapatkan bahwa

kadar T3 yang rendah merupakan predikor mortalitas, sedangan TSH dan FT4

tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien yang hidup (survivors) dan

meninggal (nonsurvivors) (Kumar et al., 2013).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

3. Skor PELOD Pada Anak Sakit Kritis

Salah satu indikator outcome yang sering dipakai di Pediatic Intensive Care

Unit (PICU) adalah Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score.

Penelitian di Bali Indonesia dan di Banglore India menunjukkan skor PELOD

dapat dengan baik memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di unit Perawatan

Intensif Anak dengan prediksi terbaik pada hari ke-3 perawatan (Salim et al.,

2014; Jyotirmanju et al., 2013). Skor PELOD adalah skor yang digunakan untuk

menilai berat penyakit dan prediksi kematian berdasarkan atas kelainan yang

didapat pada pemeriksaan fisis dan laboratorium.

Tabel 2.9. Skor PELOD diperoleh dari skor fungsi organ Variabel Skor

Kardiovaskular

a. Denyut

Jantung

a. Usia < 12

tahun

195

0

> 195 10

b. Usia 12

tahun

150 0

> 150 10

b. Tekanan

sistolik

a. Usia < 1

bulan

> 65 0

35-65 10

<35 20

b. Usia 1

bulan – 1

tahun

> 75 0

35-75 10

<35 20

c. Usia 1

tahun – 12

tahun

> 85 0

45-85 10

< 45 20

d. Usia 12

tahun

> 95 0

55-95 10

< 5 20

Pernafasan a. PaO2/FiO2 (tanpa

memperhatikan mode

ventilasi mekanik)

> 70 mm Hg 0

70 mm Hg 10

b. PaCO2 (tanpa

memperhatikan mode

ventilasi mekanik)

90 mm Hg 0

> 90 mm Hg 10

c. Ventilasi mekanik

(termasuk mask ventilation)

Membutuhkan ventilasi

mekanik

0

Tidak membutuhkan ventilasi

mekanik

1

Neurologi a. Skala koma Glasgow (nilai

terendah sebelum dilakukan

sedasi)

12-15 0

7-11 1

4-6 10

3 20

b. Reaksi pupil Keduanya reaktif 0

Keduanya terfiksasi 10

Hematologi a. Jumlah Leukosit 4,5 x 109/L 0

1,5-4,4 x 109/L 1

< 1,5 x 109/L 10

b. Jumlah trombosit 3,5 x 109/L 0

< 3,5 x109/L 1

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Variabel Skor

0 Hepar a. SGOT < 950 UI/L

950 UI/L 1

b. Masa thrombin atau INR PT > 60% atau INR < 1,4 0

PT 60% atau INR 1,4 1

Ginjal Kadar

kreatinin

a. Usia < 7 hari < 1,59 mg/dl 0

1,59 mg/dl 10

b. Usia 7 hari – 1

tahun

< 0,62 mg/dl 0

0,62 mg/dl 10

c. Usia 1 tahun –

12 tahun

< 1,13 mg/dl 0

1,13 mg/dl 10

d. Usia > 12

tahun

< 1,59 mg/dl 0

1,59/dl 10

Sumber : Leteurtre et al., 2003

Nilai skor setiap sistim organ ditentukan oleh skor tertinggi pengukuran dari

setiap sistim organ. Nilai PELOD merupakan jumlah seluruh skor sistim organ.

Penyesuaian skala koma Glasgow untuk anak di bawah usia 5 tahun dapat

mengikuti tabel 2.10. berikut :

Tabel 2.10. Skala koma Glasgow ≥ 5 tahun < 5 tahun

Eye opening

(membuka mata)

E4 Spontan Seperti anak > 5 tahun

E3 Terhdap rangsang verbal Seperti anak > 5 tahun

E2 Terhadap rangsang nyeri Seperti anak > 5 tahun

E1 Tak ada respon Seperti anak > 5 tahun

Verbal V5 Terorientasi Sadar atau mengeluarkan suara

sesuai kemampuan sehari-hari

V4 Kacau (Confused) Kurang dari kemampuannya

sehari-hari atau menangis

iritabel

V3 Kata-kata tidak adekuat Menangis bila nyeri

V2 Suara tidak komprehensif Mengerang bila nyeri

V1 Tak ada respon terhadap nyeri Tak ada respon terhadap nyeri

Grimace

(menggantikan

penilaian verbal

pada anak yang

terintubasi)

G5 Aktifitas muka dan mulut

normal, contohnya batuk,

menghisap pipa endotrakeal

G4 Aktifitas spontan berkurang

atau hanya berespon terhadap

sentuhan

G3 Menyeringai kuat pada nyeri

G2 Menyeringai lemah atau

perubahan ekspresi muka pada

nyeri

G1

Tak ada respon pada nyeri

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

≥ 5 tahun < 5 tahun

Motor M6 Menurut perintah Gerakan spontan normal

M5 Dapat melokasikan nyeri Seperti anak > 5 tahun atau

menghindar terhadap sentuhan

M4 Menghindar dari nyeri Seperti anak > 5 tahun

M3 Fleksi abnormal terhadap nyeri Seperti anak > 5 tahun

M2 Ekstensi abnormal terhadap

nyeri

Seperti anak > 5 tahun

M1 Tak ada respon terhadap nyeri Seperti anak > 5 tahun

Sumber : Tatman et al., 1997

Prediksi kematian dihitung berdasar rumus:

1) Logit = -7,64+0,30 (jumlah skor PELOD)

2) Prediksi kematian = 1/(1+e-Logit)

Risiko meninggal pada pasien sengan skor PELOD ≥ 20 adalah 15 kali lebih

besar dibandingkan dengan yang memiliki skor PELOD < 20 (p=0.012)

(Tanurahardja et al., 2014). Penelitian di Bandung menunjukkan skor PELOD

maupun PIM2 mempunyai korelasi positif dengan outcome pasien dihitung

dengan menggunakan Spearman’s correlation, r=0,288 (p=0,001) (Linda et al.

2008). Bila dibandingkan, Skor PELOD dan PRISM III merupakan alat yang

baik untuk memprediksi kematian pasien anak dengue syok syndrome yang

dirawat di ruang intensif anak. Skor PELOD sedikit lebih baik dari skor PRISM

III (Iskandar et al. 2011). Skor PELOD mempunyai keunggulan lain dari skor

PRISM III yaitu dapat menggambarkan banyak dan derajat sistem organ yang

terganggu serta dapat digunakan gratis secara online (Leteurtre et al., 2006).

C. Pengaruh Euthyroid Sick Syndrome Terhadap Mortalitas Anak Sakit

Kritis.

Beberapa penelitian mencoba menghubungkan Euthyroid Sick Syndrome

dan luaran pasien yang dirawat dengan sakit kritis. Melalui review sistematik

Angelousi menghubungkan fungsi tiroid saat pasien masuk dengan luaran pada

pasien sepsis atau syok sepsis dengan hasil didapatkan bahwa penurunan fungsi

tiroid saat masuk rumah sakit berkaitan dengan luaran yang buruk dari pasien

dimana dari 9 studi, 7 diantaranya melibatkan usia anak-anak dan neonatus

(Angelousi et al., 2011). Pada penelitian dengan subjek orang dewasa di ICU

oleh Plikat dkk, telah dibuktikan bahwa Non Thyroidal Illness Syndrome

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

berhubungan dengan mortalitas, lama rawat, dan penggunaan ventilator dan

penurunan FT4 bersamaan dengan FT3 dianggap sebagai proses maladaptif yang

ditunjukkan dengan perburukan pasien (Plikat et al., 2007). Sedangkan Feillong

Wang menemukan bahwa FT3 secara independen merupakan prediktor

mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU (Wang et al., 2012). Penelitian dari di

India pada pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU mendapatkan bahwa

kadar T3 yang rendah merupakan predikor mortalitas, sedangan TSH dan FT4

tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien yang hidup (survivors) dan

meninggal (nonsurvivors), seperti terlihat dalam tabel 2.11. dan gambar 2.10.

berikut (Kumar et al., 2013).

Tabel 2.11. Parameter endokrin pasien yang hidup (suvivors) dan

meninggal (nonsurvivors) di ICU Survivors Nonsurvivors P value

Age

ICU stay

Hospital stay

HbA1c

Glucose

Prolactin

T3

T4

TSH

Years

Days

Days

%

mg/dL

ng/mL

ng/dL

µg/dL

mIU/L

58.5 (15.9)

2.7 (3.2)

7.4 (4.8)

5.9 (1.3)

112 (12.4)

21,5 (17.8)

66.2 (30.1)

7.5 (2.3)

3.2 (4.2)

59.2 (18.7)

2.1 (1.8)

6.5 (5.8)

6.05 (1.5)

108.7 (14.3)

28.8 (37.7)

49.1 (32,7)

6.8 (2.6)

2.4 (3)

0.8746

0.3031

0.0624

0.6990

0.4667

0.7737

0.0044

0.5442

0.2083 Sumber : Kumar et al., 2013

Gambar 2.10. Kadar T3 pada pasien survivors dan nonsurvivors

Sumber : Kumar et al., 2013

Penelitian tenteng profil hormon tiroid pada anak sepsis dihubungkan

dengan outcome dengan seting di PICU di RSCM Jakarta tahun 2014 menunjukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

tidak ada perbedaan skor PELOD (p=0,218) yang signifikan antara kadar TSH

rendah (T3 rendah, FT4/TSH rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dan TSH tinggi

(T3 rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dengan outcome pasien meninggal ataupun

bertahan hidup (p=0,55). Peneliti berkesimpulan hormon tiroid menurun pada

anak-anak sepsis dengan mayoritas memiliki T3 yang rendah tetapi tidak

berhubungan dengan kadar TSH ( Tanurahardja et al., 2014). Sedangkan di

Semarang mendapatkan hasil yang berbeda, dimana kadar hormon TSH, T3 dan

T4 pasien tidak berbeda bermakna pada anak sepsis dengan luaran perbaikan atau

perburukan (Bambang et al., 2014).

Penurunan kadar T3 dan T4 adalah proporsional sesuai tingkat keparahan

penyakit dan mungkin berkaitan dengan prediktor outcome yang buruk pada

pasien sakit kritis. Pada anak-anak, penelitian oleh Jyoti tentang hubungan profil

hormon tiroid dengan derajat penyakit dan outcome klinis menunjukkan adanya

kadar T3 yang rendah merefleksikan status klinis yang buruk pada pasien dan

kadar T4 dapat memprediksi survival. Penelitian ini menggunakan kelompok

kasus anak yang dirawat di PICU dengan kelompok kontrol anak sehat.

Pengambilan sampel kelopok kasus dilakukan dua kali yaitu saat pertama kali

masuk PICU dan saat keluar PICU atau sesaaat sebelum meninggal, dengan hasil

seperti terlihat dalam tabel berikut (Suvarna dan Fande, 2009) :

Tabel 2.12. Profil tiroid pada kasus sakit kritis dan luaran pasien Thyroid parameter Outcome N Mean±SD 95%CI Pvaluea P value paired testb

Survived Expired

T3 (first sample) ng/dL

T3 (second sample)ng/dL

T4 (first sample)mcg/dL

T4 (first sample)mcg/dL

TSH (first sample)µU/mL

T3 (first sample)µU/mL

Survived

Expired

Survived

Expired

Survived

Expired

Survived

Expired

Survived

Expired

Survived

Expired

22

8

22

8

22

8

22

8

22

8

22

8

59.3 ± 29.2

38.9 ± 14.8

95.6 ± 40.2

43.0 ± 21.3

6.3 ± 3.0

4.8 ± 2.7

8.0 ± 2.5

4.8 ± 3.3

2.1 ± 2.4

1.0 ± 1.0

4.1 ± 2.9

2.7 ± 4.7

46.9-71.7

28.5-49.3

78.6-112.9

28-58

5.1-7.5

3.0-6.6

7-9

2.6-7

1.1-3-1

0.4-1.6

2.9-5.3

-0.5-5.9

0.020

0.002

0.208

0.009

0.239

0.359

<0.001*

0.007*

0.009*

0.538

0.963

0.338

a p value for comparison brttween thr thyroid parameters in case and the outcome (survived/expired) b p value for the comparison between the thyrois parameters in the first and second samples of the survived and expired

cases * p<0.05 is significant;SD: standart deviation; CI: confience interval

Sumber : Suvarna dan Fande, 2009

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Penelitian oleh Hebbar tahun 2009 tentang disfungsi endokrin pada pasien anak

sakit kritis (sepsis dan non sepsis) menunjukkan hasil dimana keduanya memiliki

perbedaan pada skor PELOD dan low T3 syndrome, terlihat dalam tabel 2.13.

berikut.

Tabel 2.13. Profil tiroid pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis Hormone

(Range in Healthy Subjects)

All Patients

Median (range)

n

Septic

Patients

Median (range)

n

Non Septic

Patiens

Median (range)

n

P value

(Septic Vs

Non Septic

Adrenocortivotropin hormone

(6-48 pg/mL)

Cortisol (0,5-49.7 mcg/dL)

Arginine vasopresin (0-31 pg/mL)

TSH (0.3-5 UIU/mL)

T4 (4.9-11.7 mcg/dL)

T3 (0.6-1.6 ng/dL)

rT3 (10-50 ng/dL)

13 (4-863)

51

22.2 (1.8-141.6)

71

1.75 (0.5-31.5)

45

0.58 (0.03-16.59)

70

7.2 (<0.3-13.7)

67

0.59 (0.3-1.8)

68

52.5 (0.1-136)

68

(0.5-62)

18

24.6 (1.8-141.6)

29

1.5 (0.06-4.6)

18

0.45 (0.06-4.60

28

7.4 (3.2-13.7)

25

0.47 (0.04-2.2)

25

70.5 (14-137)

22

(4-863)

33

21.5 (2.7-230)

44

2.05 (0.5-31.5)

27

0.77 (0.03-16.59)

42

6.9 (3.7-12.7)

42

0.68 (0.3-1.3)

42

38 (0.1-136)

46

0.87

0.32

0.33

0.08

0.86

0.09

0.0002a

a statistical significant between septic and nonseptic median values by chi-square test

Sumber : Hebbar et al., 2009

Tabel 2.14. Skor PELOD pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis Total patients All

Patients

73

Septic

Patients

29

Nonseptic

Patients

44

p value

(septic vs

Nonseptic)

Median age in month (range)

Race

Caucasian

African American

Hispanic

Other

Sex

Male

Female

Diagnostic condition

Sepsis

Respiratory

Renal failure

Cardiac

Oncologic

Hemoglobin SS

Neurologic

Miscellaneous

DKA

Median PELOD (range)

Median PRISM (range)

72 (3-228)

38 (52%)

33 (45%)

2 (3%)

0

40 (55%)

33 (45%)

29 (40%)

36 (49%)

8 (8%)

7 (9.5%)

19 (26%)

4 (5%)

5 (7%)

13 (18%)

6

12 (0-51)

12 (0-35)

60 (3-204)

15 (52%)

12 (41%)

2 (7%)

0

16 (55%)

13 (45%)

N/A

14 (48%)

6 (21%)

0

7 (24%)

0

0

0

0

20 (0-51)

14 (2-35)

102 (6-228)

23 (52%)

21 (48%)

0

0

24 (55%)

20 (45%)

N/A

22 (50%)

2 (5%)

7 (16%)

12 (27%)

4 (9%)

5 (11%)

13 (30%)

6 (14%)

11 (0-51%)

10 (0-30%)

0.19

0.67

0.958

0.89

0.05

0.04

0.77

0.15

0.15

0.001

0.08

0.02

0.007

Sumber : Hebbar et al., 2009

Mortalitas dan morbiditas pada pasien sakit kritis tergantung pada penyakit

yang mendasari, tingkat keparahan, dan, mungkin durasi penyakit. Besarnya

kelainan hasil tes fungsi tiroid tampaknya tergantung pada tingkat keparahan,

daripada jenis penyakit. T4 turun secara proporsional dengan tingkat keparahan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

penyakit. Probabilitas kematian berkorelasi dengan tingkat T4. Ketika turun, Total

kadar T4 serum di bawah 4 mcg / dL, kemungkinan kematian adalah sekitar 50%;

dengan tingkat T4 serum di bawah 2 mcg / dL, kemungkinan kematian mencapai

80% (Tognini et al., 2009).

D. Kerangka Teori

Kondisi sakit

kritis

Gangguan fungsi tiroid /

Euthyroid Sick Syndrome (ESS)

TSH ↓ / N, FT4 ↓ / N, FT3 ↓

Enzim 5’deiodinase turun

Sekresi TRH-TSH turun

TBG turun

Sekresi IL-1, IL-6, TNFα , INFβ

meningkat

Asupan turun

Keparahan penyakit

Penggunaan obat pada tiroid

Gangguan sistem

kardiovaskuler

Gangguan sistem

respirasi

Efek inotropik &

kronotropik turun,

SVR meningkat

Pelemahan otot napas

Kebutuhan ventilator

meningkat

Cardiac output

turun Ventilasi-oksigenasi

tidak adekuat

Meningkatkan

Mortalitas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

E. Kerangka Konsep

Keterangan :

Pasien anak

sakit kritis

Gangguan fungsi tiroid ?

Ya

Tidak

Euthyroid Sick Syndrome (ESS)

TSH ↓ / N, FT4 ↓ / N, FT3 ↓

Bukan ESS

Meningkatkan

Mortalitas

Skor PELOD

Status gizi

Usia

Jenis Penyakit

Penggunaan inotropik

Sepsis

: ranah penelitian

: variabel perancu

: variabel perantara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

F. Penjelasan Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

Pada kondisi sakit kritis terjadi asupan yang turun dan pengingkatan level

sitokin serta penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi

tiroid. Hal tersebut mengakibatkan penurunan aktifitas dari enzim 5’ mono

deiodinase dan penurunan sekresi TRH-TSH dengan hasil akhit penurunan dari

T3 atau T4 atau Euthyroid Sick Syndrome. Penurunan T3 dan T4 akan

mengganggu fungsi kardiorespirasi berupa penurunan efek inotropik, kronotropik

dan cardiac output. Pada keadaaan ini juga terjadi kelemahan otot-otot

pernapasan yang berakibat oksigenasi berkurang dan secara keseluruhan

mengganggu proses metabolisme tubuh. Keadaan sakit kritis dan penurunan

fungsi tiroid akan meningkatkan risiko mortalitas dari pasien. Usia, status gizi,

jenis penyakit, penggunaan inotropik, sepsis dan Skor PELOD merupakan faktor

risiko yang dapat mempengaruhi mortalitas pasien anak sakit kritis.

G. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Terdapat pengaruh Euhtyroid Sick Syndrome terhadap peningkatan

mortalitas anak sakit kritis.

2. Terdapat hubungan kadar hormon tiroid dengan skor PELOD dan

mortalitas pada anak sakit kritis.

3. Terdapat hubungan usia, jenis penyakit, skor PELOD, sepsis dan

penggunaan inotropik dengan mortalitas pada anak sakit kritis.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user