135603015-Case-Report

65
SMF/Lab Farmasi-Farmakoterapi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman TUGAS P-TREATMENT EPILEPSI Oleh : Dorothy Karya Yogi (0708015031) Dewi Puspita Ayu (0708015019) Pembimbing: dr. Ika Fikriah, M.Kes FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of 135603015-Case-Report

SMF/Lab Farmasi-Farmakoterapi

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

TUGAS P-TREATMENT

EPILEPSI

Oleh :

Dorothy Karya Yogi (0708015031)

Dewi Puspita Ayu (0708015019)

Pembimbing:dr. Ika Fikriah, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA

2012

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.............................................Daftar Isi................................................

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang........................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Epilepsi ..............................................................................................................

1. Definisi ....................................................................................................

2. Klasifikasi .................................................................................................

3. Etiologi dan Faktor Risiko ......................................................................................................

4. Patofisiologi dan Gejala Klinis ......................................................................................................

5. Penegakan Diagnosis ...................................................................................................

6. Komplikasi ..................................................................................................

7. Penatalaksanaan .............................................................................................

BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN3.1Kasus ....................................................

........................................................3.2 P-treatment ..............................................................................................................

BAB IV PENUTUP4.1 Kesimpulan ............................................................................................................4.2 Saran .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering

dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-

laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi

terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan

usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi

pada usia lanjut.

Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang

tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada

pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk

akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu

di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan

kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan

pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization

(WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap

epilepsi.

Terdapat perbedaan epidemiologi dari berbagai negara.

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidens dan

prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti

menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Insiden

epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara

di negara berkembang mencapai 100/100,000. Pendataan secara

global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40%

adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya

ditemukan pada usia lanjut.

Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia

penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah

dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan

seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila

penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan

antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.

Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5%

penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-

tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara

intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal

atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan

berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan

epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi

klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang

disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di

otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak

akut (“unprovoked”).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis

dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya

mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan

gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat

berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik

(subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan

otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).

Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau

sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah

bermacam jenis epilepsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1............................................Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda

klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara

intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau

berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai

macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang

dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang

serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh

hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan

dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International

Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan definisi

epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya

faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,

perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya

konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan

sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi sebelumnya. Sedangkan

bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala

yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang

berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

Dengan demikian, terdapat beberapa elemen penting dari

definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:

Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.

Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya

bangkitan selanjutnya.

Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Epilepsi tipe bangkitan umum sekunder adalah tipe bangkitan

yang berkembang dari bangkitan yang pada awalnya bersifat

parsial,baik sederhana atau kompleks dan dalam waktu singkat

menjadi bersifat umum.

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis

dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya

mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan

gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat

berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik

(subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan

otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).

Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau

sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam

jenis epilepsi.

2.2............................................Etiologi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak

penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui

sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang

diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik,

misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi

kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka

kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya

epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi

seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan

hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,

sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan

testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan

epilepsi.

Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya

mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron),

misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar

hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.

2.2.1 Penyebab Epilepsi secara Umum:

aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang

mempengaruhi otak.

gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di

otak akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain.

pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau

hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir,

gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau

infeksi.

pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy

idiopatik, pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril.

pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena

birth trauma, cedera kepala, tumor.

2.2.2 Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan

ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat

merusak otak janin, menglami infeksi, minum alkohol, atau

mengalami cidera.

kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang

oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena

tindakan.

cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak \

tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum

terutama pada anak-anak.

penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah

otak.

radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis

tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-

kejang yang berulang.

kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini

disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah

dari normal diturunkan pada anak.

2.3.........................................Klasifikasi

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE

yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against

Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi

berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

2.3.1 Bangkitan Parsial

Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; focus di satu bagian

tetapi dapat menyebar ke bagian lain.

2.3.1.1 Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) ;

berlangsung kurang dari satu

menit. Dapat bersifat :

a. Dengan gejala motorik ; merupakan gerakan abnormal

unilateral.

b. Dengan gejala sensorik ; merasakan, membaui, mendengar

sesuatu yang abnormal.

c. Dengan gejala otonomik ; takikardia, bradikardia,

takipneu, kemerahan, rasa tidak enak pada epigastrium,

gangguan daya ingat.

d. Dengan gejala psikik.

2.3.1.2 Bangkitan parsial kompleks; biasanya berlangsung 1-3

menit

a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran

- Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

- Dengan automatisme

b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

- Dengan gangguan kesadaran saja

- Dengan automatisme

c. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau

klonik)

- Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan

umum

- Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan

umum

- Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

2.3.2 Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) ; hilangnya

kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik,

serta tidak disertai aura.

a. Bangkitan lena (absence) ;sering disalah diagnosis

sebagai melamun.

- Typical absences :

Usia 4-20 tahun, muncul dan selesai tiba-tiba, lama 10

– 20 detik, penderita terdiam/bengong/tidak sadar, berkali

– kali dalam sehari, tanpa aura, biasanya disertai gerakan

klonik kelopak mata. Penyebab idiopatik, gambaran EEG yang

khas ( gambaran paku-ombak simetris, bisinkron 3 spd/ 2-4

spd, latar belakang normal), periode konfus post ictal

tidak ada.

- Atypical absences :

Seperti typical absences, tetapi serangan lebih lama,

otomatisme lebih menonjol, terjadi pada semua usia.

Gambaran EEG berupa latar belakang abnormal dengan paku-

ombak 2-2,5 spd.

b. Bangkitan mioklonik

Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa

otot dan tungkai; cenderung singkat.

c. Bangkitan tonik

d. Bangkitan atonik

Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya

postur tubuh ( drop attack)

e. Bangkitan klonik

Gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, tunggal

dan multiple di lengan, tungkai, dan torso.

f. Bangkitan tonik-klonik

Spasme tonik – klonik otot, inkontinensia urin dan

alvi ; menggigit lidah ; fase pasca ictus.

2.3.3 Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan berdasarkan

Sindroma menurut ILAE 1989 :

2.3.3.1 Idiopatik

a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm

2.3.3.2 Symptomatik

a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan

berdasarkan lokasi anatomi yang diperkirakan

berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan,

EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimaging

b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum

sekunder berasal dari lobus frontal, parietal,

temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak

diketahui

c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik

atau idiopatik

2.3.4 Epilepsi Umum

2.3.4.1 Idiopatik

a. Benign neonatal familial convulsions, benign

neonatal convulsions

b. Benign myoclonic epilepsy in infancy

c. Childhood absence epilepsy

d. Juvenile absence epilepsy

e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

g. Other generalized idiopathic epilepsies

2.3.4.2 Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

a. West’s syndrome (infantile spasms)

b. Lennox gastaut syndrome

c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures

d. Epilepsy with myoclonic absences

2.3.4.3 Simtomatik

a. Etiologi non spesifik

b. Early myoclonic encephalopathy

c. Specific disease states presenting with seizures

2.4.......................................Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan

lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut

terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi

yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal,

lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan

lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar

neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak

terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini

:

a. Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter.

b. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s

inhibitory neurotransmitter.

c. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik

adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat

inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin

(5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan

epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh

transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang

normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari

impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil

neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan

meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang

berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses

sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi

yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara

teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

a. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik)

kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls

epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang

kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung

konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).

Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

b. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga

terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini

fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls

(eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan

oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada

penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat

pada berbagai tempat di otak.

c. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai

potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang

sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

a.Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari

sel untuk menimbulkan bangkitan.

b.Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

c.Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang

abnormal, muatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal

sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan

kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan

mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam

waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi

serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-

lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi

neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan

akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti

hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus

sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi

impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron

sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus,

batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi

di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara

intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari

polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat

dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan

sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron (karena kehabisan

glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan

epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak,

asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat berlanjut terus

sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan

disebut status epileptikus.

Gambar Patofisiologi terjadinya Kejang

2.5..................................Manifestasi Klinik

2.5.1 Epilepsi umum :

2.5.1.1 Major : Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).

a. Primer

b. Sekunder.

Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang

kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik

kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,

perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala

pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.

Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului

aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus

epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa

perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan

tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu,

sakit kepala dan sebagainya.

Bangkitkan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran

sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian

penderita mengalami kejang tonik. otot-otot

berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan

fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong

keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang

dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian

disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah

mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si

sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3

menit.

Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip

seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya

negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti

secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan

stupor sampai koma. Kira-kira 4—5 menit kemudian

penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan

tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap

jam sampai setahun sekali.

2.5.1.2 Minor

a. Petit mal.

Elipesi petit mal yang sering disebut pykno

epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik.

Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi.

Umumnya tmbul pada anak sebelum pubertas (4 -- 5

tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang

berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri

atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan

Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan

bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat

melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat

berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari.

Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan

menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul

lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4

ciri :

- Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf

kecerdasanyang normal.

- Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa

detik.

- Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam

obat.

- Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat

dengan frekuensi 3 per detik.

b. Bangkitan mioklonus

Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya

anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi

berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya

sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan

kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka

terhadap rangsang sensorik.

c. Bangkitan akinetik.

Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh

karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan

cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan

dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis

bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akine- tik)

dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut

trias Lennox-Gastaut.

d. spasme infantile

Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai

salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3

-- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.

Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu

dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti

proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi

dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa

gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi,

tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai

teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil,

sianosis dan berkeringat.

2.5.2 Epilepsi parsial (· 20% dari seluruh kasus epilepsi).

2.5.2.1 Bangkitan motorik.

Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.

Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota

badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita

seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang

misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke

otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.

Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche.

2.5.2.2 Bangkitan sensorik

Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus

epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato

sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis

memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian

tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan

kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik

pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya

dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi

kejang-kejang.

2.5.2.3 Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.

Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali.

Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena

fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan

bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar,

penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra

tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang

kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu

epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan

motorik lazimnya berupa automatisme.Manifestasi klinik

ialah sebagai berikut:

a. Kesadaran hilang sejenak.

b. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk

kealam pikiran antara sadar dan mimpi(twilight state).

c. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang

terdiri dari halusinasi dan automatisme yang

berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.

Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :

a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.

b. Halusinasi dengan automatisme membaca.

c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan,

pendengaran atau perasaan aneh

2.6...........................................Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan

klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun

demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang

berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

2.6.1 Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan

menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan

serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala

sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan

(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi

yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis

juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan

kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan

metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2.6.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang

berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi

telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik

fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-

sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan

riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa

harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat

menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

a. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang

mengukur aktivitas listrik di dalam otak.

Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak

memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala

untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah

terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya

untuk menentukan penyebab yang biasa diobati.

b. Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk :

-mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.

-menilai fungsi hati dan ginjal.

-menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat

menunjukkan adanya infeksi).

c. EKG (elektrokardiogram)

EKG dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama

jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah

ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami

pingsan.

d. CT scan dan MRI

CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau

kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena

cedera kepala.

e. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah

telah terjadi infeksi otak.

2.7....................................Diagnosa Banding

Sinkop, gangguan jantung, gangguan sepintas peredaran darah

otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria,

narkolepsi, pavor nokturnus, paralisis tidur, migren.

2.8....................................Penatalaksanaan

2.8.1........................Obat-obat anti epilepsy

Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada

manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi

didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan

epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat

terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari

sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien

tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan

epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari

terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang

dapat ditoleransi).

2.8.2.......Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi

2.8.2.1..........Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi.

Orang yang terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa

konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam

jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan

adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.

Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai

penderita epilepsi yang menurut penilaian masyarakat

penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat

disayangkan apabila penderita sinkop yang berulang,

diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu

dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter

untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah coba-coba

dalam terapi epilepsi.

2.8.2.2Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat

antiepilepsi

Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam

merawat pasien dengan serangan epilepsi adalah

memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini

seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan

mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan

kerugian pengobatan.

Setelah kejang pertama

Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah

menilai risiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika

bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan

harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari.

Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi

dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat

dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku adiktif

dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat

diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan

epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko

pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak

penderita epilepsi benigna dengan “spikes” di

sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan

obat karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa

setelah mengalami hanya sedikit serangan nokturnal,

mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi

struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk

tumor otak, displasia kortikal dan malformasi

arteriovenosa).

Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan

pertama jangan ragu-ragu untuk memberikan terapi untuk

memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan

dilakukannya tindakan bedah. Namun demikian, pada

banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik

seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan

pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik

(2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan

risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat,

possibly treat dan probably treat (yang akan lebih

dibahas dalam tabel di bawah ini).A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastikb. Malformasi arteiovenosac. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika

2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau

kejang demam pada masa kanak-kanak)d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma

kepala berate. Todd’s postical paresisf. Status epileptikus

B. Possibly :Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktorrisiko di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbanganyang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obatantiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah,sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hiduppasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akanmengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atautrauma jika mengalami bangkitan kedua.C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa

digunakan) :a. Putusnya alkoholb. Penyalahgunaan obat c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,

hipoglikemikd. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah

pukulan di kepala)e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau

epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal.f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar

dalam waktu-waktu ujianSetelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua

kali atau lebih membutuhkan pengobatan. Kecuali pada

serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat

putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat

penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,

hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal

dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom

epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau

epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang

karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar

dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non

epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal di atas

sebaiknya ditangani sesuai kausanya.

Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun

tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka

kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun

pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang

yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil

dengan pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya

dokter berdiskusi dengan pasien.

Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien

yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi

kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien

bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang

dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan

tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya

hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya

kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun

pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati,

maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun

kedua dari kejang yang pertama.

2.8.2.3..........Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal,

tipe serangan dan karakteristik pasien

a. Tipe Serangan

Tipe serangan First-line Second-line/add on

Third line/add on

Parsial simple &kompleks denganatau tanpageneral sekunder

KarbamazepineFenitoin FenobarbitalOkskarbazepinLamotriginTopiramat Gabapentin

Asam valproatLevetiracetamZonisamidPregabalin

TiagabinVigabatrinFelbamatPirimidon

Tonik klonik Asam valproatKarbamazepineFenitoin Fenobarbital

LamotriginOkskarbazepin

Topiramat LevetiracetamZonisamidPirimidon

Mioklonik Asam valproat Topiramat LevetiracetamZonisamid

LamotriginClobazamClonazepamFenobarbital

Absence (tipikaldan atipikal)

Asam valproatLamotrigin

Etosuksimid LevetiracetamZonisamid

Atonik Asam valproat LamotriginTopiramat

Felbamat

Tonik Asam valproatFenitoin Fenobarbital

ClonazepamClobazam

Epilepsy absencejuvenil

Asam valproatEtosuksimid

Clonazepam

Epilepsymioklonik juvenil

Asam valproatFenobarbital

ClonazepamEtosuksimid

b. Karakteristik Pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi

karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara

individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan

adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga,

pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi

mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada

kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa

ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat

dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita,

khususnya wanita yang masih dalam usia subur.

2.8.2.4 Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai

dari dosis yang paling rendah yang direkomendasikan dan

pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol

dengan efek samping obat yang minimal (dapat

ditoleransi). Perlu dilakukan evaluasi respon klinik

pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan

melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal

dan kemudian memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan

penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan,

baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.

Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara

bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan

efek samping gastrointestinal dan neurologik yang

biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat

antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung

menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat

ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :

Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik :

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-

obat antiepilepsi seperti gabapentin, fenitoin, dan

fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga

terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai

dengan dosis terapetik yang direkomendasikan.

Evaluasi ulang

Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat

antiepilepsi dan penggantian obat antiepilepsi dengan

obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi

kembali :

Diagnosis epilepsi

Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi

Adanya lesi aktif

Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal :

apakah dosis terpaksa diberikan dengan kadar

maksimal yang dapat ditoleransi? apakah pengaturan

dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai

kondisi optimal?)

Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan

merupakan penyebab yang paling umum terjadinya

kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Tabel dosis obat antiepilepsi untuk dewasa

Obat

Dosisawal

(mg/hari)

Dosisyangpalingumum

(mg/hari)

Dosismaintenan

ce(mg/hari)

Frekuensi

pemberian

(kali/hari)

Efek samping

Fenitoin 200 300 100-700 1-2

Hirsutisme, hipertrofigusi, distres lambung,

penglihatan kabur, vertigo,hiperglikemia, anemia

makrositik

Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4

Depresi sumsum tulang,distress lambung, sedasi,

penglihatan kabur,konstipasi, ruam kulit

Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3

Gangguan GI, sedasi,diplopia, hiponatremia,

ruam kulit

Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2

Hepatotoksik, ruam, sindromsteven-johnson, nyeri

kepala, pusing, penglihatankabur

Zonisamid 100 400 400-600 1-2

Somnolen, ataksia,kelelahan, anoreksia,pusing, batu ginjal,

leukopenia

Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2

Mual, muntah, BB ↓,konstipasi, diare, gangguan

tidur

Felbamat 1200 2400 1800-4800 3gg. GI, BB ↓ , anoreksia,nyeri kepala, insomnia,

hepatotoksik

Topiramat 25-50 200-400 100-100 2

Faringitis, insomnia, BB ↓,konstipasi, mulut kering,

sedasi, anoreksiaClobazam 10 20 10-40 1-2

Clonazepam 1 4 2-8 1-2

Mengantuk, kebingungan,nyeri kepala, vertigo,

sinkopFenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung

Pirimidon 125 500 250-1500 1-2

Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4

Mulut kering, pusing,sedasi, langkah terhuyung,nyeri kepala, eksaserbasi

kejang generalisataVigabatr

in500-1000 3000 2000-4000 1-2

Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3

Leukopenia,mulut kering,penglihatan kabur, mialgia,penambahan berat, kelelahan

Pregabalin 150 300 150-600 2-3

Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksikLevetiracetam 1000 2000-

3000 1000-4000 2

2.8.2.5.........................Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat

antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis

maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat

antiepilepsi kedua harus segera dipilih.

b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping,

reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang

tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan

gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat

kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang

direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan

secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang

pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus

dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek

samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan

sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer

gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru

politerapi dipertimbangkan.

Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam

memulai pengobatan epilepsi. Berbagai keuntungan

diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan

evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar

obat dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat

ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan

(4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini

terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya,

selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat

ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan

obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar

75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami

remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan

tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan

memerlukan kombinasi obat.

Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan

epilepsi di antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi

menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan

kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)

ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas,

(5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih

jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7)

dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan

letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu

mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam

manajemen epilepsi di kemudain hari.

Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu

sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu

mekanisme aksi tunggal serta dengan satu target mungkin

merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan

berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab

multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target.

Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan.

Generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik

dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk

politerapi. Studi tersebut menggunakan vigabatrin

sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial

refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah

mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan

tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi

frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus

mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari

70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,

sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang

baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi obat.

Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama,

karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan

karena efek sampingnya aditif.

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih

menguntungkan, misalnya: valproat dan etosuksimid dalam

manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan

dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai

mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan

lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik.

Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan

pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi

obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme

aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan

menggunakan obat-obat yang:

a. mempunyai mekanisme aksi berbeda;

b. efek samping relatif ringan;

c. indeks terapi lebar, dan

d. interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah:

bangkitan terkendali dengan efek samping obat relatif

rigan atau tidak ada sama sekali.

Kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya

monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam

obat lini pertama tidak menolong, obat yang mempunyai

efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap

diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti

dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat lini

kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik

obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut

harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif.

Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut

mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus

epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat

antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu,

atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

2.8.2.6........................Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat

diagnosis yang tepat

b. Menentukan dan mengobati penyebab

c. Mengobati serangan :

- Menilai perlunya terapi obat.

- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang

akibat penyakit akut yang reversible.

- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi

benigna yang diketahui dengan pasti ( kejang

demam, rolandic epilepsy).

- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui

penyebabnya), nilai apakah banyak manfaatnya

apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan

risiko tinggi.

- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai.

- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat

(alcohol, kurang tidur, stress emosional, demam,

kurang makan, menstruasi, dan lain-lain).

- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan

pembedahan dan implantasi stimulator nervus vagus

pada pasien yang sulit diobati dengan obat

antiepilepsi.

d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi

- Hentikan kejang

- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat

ditoleransi pasien

- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati

jika ada.

2.8.2.7..........................Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan

minum obat menrupakan faktor prediktor untuk

tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita

epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami

remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus

dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat.

Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah

menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita

dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal

berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang

dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis

sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada

suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti

dengan obat lain yang tidak dianjurkan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien

dalam menjalani pengobatan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita

epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan

dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping

obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya pengobatan

serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas,

2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).

Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006)

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah

dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik,

kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat epilepsi.

Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus

memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan

berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping

tentunya faktor obat yang efikasius, dosis yang tepat

dan cara pemberian obat yang tepat juga harus

diperhatikan.

2.9..........................................Komplikasi

a. Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami

epilepsy akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan

bisa lepas obat.

b. 20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis

pengobatan semakin sulit 5 % di antaranya akan tergantung

pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pasien dg lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi

mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik prognosis

jelek

BAB II

P-TREATMENT

Kasus

Nn. R (18 tahun), tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang seluruh

tubuh dimana lengan fleksi dan tungkai ekstensi, lidah tergigit,

berkeringat, serta inkontinensia urin dan alvi selama 2-3 menit

kemudian pingsan beberapa saat. Dia kemudian dibawa oleh ibunya

ke rumah sakit terdekat. Dari pengakuan ibunya, kejadian ini

ternyata sudah sering dialami pasien sejak kecil. Hasil

pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan yaitu :

N : 92 x/menit

TD : 110/70 mmHg

RR : 22x/menit

T : 36,4C

EEG : abnormal dengan gambaran spike wave

Darah Lengkap: Leukosit : 10.440

Trombosit : 263.000

Hb : 11,2 gr/dL

GDS : 95 mg/dL

Hct : 31,8 %

Pertanyaan :1. Tentukan diagnosis pasien tersebut

2. Tentukan langkah-langkah p-treatment dalam pemilihan obat yang

sesuai untuk pasien tersebut.

Jawaban:

1. Diagnosis

Anamnesis: pasien jatuh dan kejeang seluruh tubuh dimana

lengan fleksi dan tungkai ekstensi, lidah tergigit, berkeringat,

serta inkontinensia urin dan alvi selama 2-3 menit kemudian

pingsan beberapa saat. Riwayat kejadian serupa sejak kecil. Hasil

pemeriksaan fisik: N : 90x/menit, TD : 110/70 mmHg, RR :

22x/menit, dan T : 36,4C. EEG : abnormal dengan gambaran spike

wave

Diagnosis kerja: epilepsi general tonik-klonik (grand mal)

2. P-Treatment

Tahapan penentuan P-treatment: 1) problem pasien, 2) tujuan

terapi, 3) pemilihan terapi, 4) pemberian terapi (resep jika

ada), 5) komunikasi terapi, 6) monitoring dan evaluasi.

1. Problem Pasien

Problem pada pasien berdasarkan soal yaitu:

Problem/Diagnosa Utama: epilepsi general tonik-klonik (grand

mal)

Problem/Diagnosa Tambahan: -

2. Tujuan Terapi

Tujuan terapi bagi pasien ini berdasarkan problemnya adalah:

Membebaskan pasien dari bangkitan epilepsi tanpa mengganggu

fungsi normal SSP.

Memberikan edukasi pada keluarga pasien mengenai penyakit

yang saat ini diderita oleh anaknya dan memberikan

pemahaman mengenai pengobatan yang harus dijalani pasien

guna mengurangi kekambuhan penyakitnya

3. Pemilihan Terapi

Advise

- Menghindari melakukan aktivitas di tempat yang

berbahaya.

- Menghindari faktor pencetus yang dapat menimbulkan

bangkitan epilepsi, misalnya minum alkohol, obat-obatan

tertentu (TCA, obat tidur), stres emosional, kelelahan fisik

maupun mental.

- Beristirahat dengan cukup karena kurang tidur juga

merupakan salah satu faktor pencetus epilepsi.

Terapi Non Farmakologi

- Makan makanan yang seimbang serta konsumsi vitamin yang

cukup.

- Istrirahat yang cukup, karena kelelahan yang berlebihan

dapat mencetuskan serangan epilepsi.

- Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan

tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya.

Penanganan saat serangan:

jauhkan dari tempat dan barang2 berbahaya

tidurkan pada sisi tubuh

jalan nafasnya

baju dan ikat pinggang di kendorkan atau dilepas

hindari beri minuman saat tak sadar

larikan ke dokter atau rumah sakit terdekat

Terapi Farmakologi

Pemberian obat yang ditujukan untuk mencegah proses inisiasi

dan membatasi proses penyebaran impuls sehingga tidak terjadi

serangan epilepsi berulang.

Pemilihan obat antiepilepsi

Obat antiepilepsi terdiri dari beberapa golongan, yaitu:

Obat AntiepilepsiGolongan Jenis Obat

Hidantoin Barbiturat Oksazolidindion

Suksinamid Carbamazepin Benzodiazepin

Fenitoin, Etotoin, Mefenitoin

Fenobarbital Bimetadion, Trimetadion,

Parametadion Etosuksimid Carbamazepin Diazepam, Lorazepam,

Klonazepam, Klorazepat

Asam Valproat Antiepilepsi lain

dipotasium, Nitrazepam, Klobazam

Asam Valproat Fenasemid, Acetazolamid

Pemilihan terapi epilepsi berdasarkan serangan, disebutkan pada tabel berikut:

Tipe serangan First-line Second-line/add on

Third line/add on

Parsial simple &kompleks denganatau tanpageneral sekunder

KarbamazepineFenitoin FenobarbitalOkskarbazepinLamotriginTopiramat Gabapentin

Asam valproatLevetiracetamZonisamidPregabalin

TiagabinVigabatrinFelbamatPirimidon

Tonik klonik Asam valproatKarbamazepineFenitoin Fenobarbital

LamotriginOkskarbazepin

Topiramat LevetiracetamZonisamidPirimidon

Mioklonik Asam valproat Topiramat LevetiracetamZonisamid

LamotriginClobazamClonazepamFenobarbital

Absence (tipikaldan atipikal)

Asam valproatLamotrigin

Etosuksimid LevetiracetamZonisamid

Atonik Asam valproat LamotriginTopiramat

Felbamat

Tonik Asam valproatFenitoin Fenobarbital

ClonazepamClobazam

Epilepsy absencejuvenil

Asam valproatEtosuksimid

Clonazepam

Epilepsymioklonik juvenil

Asam valproatFenobarbital

ClonazepamEtosuksimid

Pada pasien kasus ini tipe serangannya adalah tonik-klonik

(grand mal), sehingga golongan obat yang dapat diberikan adalah

asam valproat, carbamazepin, golongan hidantoin dan golongan

barbiturat. Adapun dosis obat tersebut yaitu :

Obat

Dosisawal

(mg/hari)

Dosisyangpalingumum

(mg/hari)

Dosismaintenan

ce(mg/hari)

Frekuensi

pemberian

(kali/hari)

Efek samping

Fenitoin 200 300 100-700 1-2

Hirsutisme, hipertrofigusi, distres lambung,

penglihatan kabur, vertigo,hiperglikemia, anemia

makrositik

Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4

Depresi sumsum tulang,distress lambung, sedasi,

penglihatan kabur,konstipasi, ruam kulit

Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung

Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik

Asam Valproat

Efficacy Safety Suitability Cost

+++

Farmakodinamik:Inhibisi kanal Na padamembran sel akson, inhibisi kanal Ca tipeT pada neuron talamus,peningkatan inhibisi GABA

Farmakokinetik:A: bioavailabilitas > 80% puncaknya 2 jamD: absorbsi diperlambat makanan tapi intoksikasi berkurangM: terionisasi sempurna dalam pH plasma fisiologik, 90%terikat protein plasmaE:eksresi lewat ginjal

+

Efek sampingMual, muntah dangangguan pencernaan lain seperti nyeri perut, kantuk, ataksia dan tremor, perdarahan, hiperammonemia, trombositopenia,anemia, depresi sutul, pancreatitis, iritasi GIT

++

Indikasi:Efektif terhadap epilepsi umum

Kontraindikasi:Gangguan fungsi hati dan penyakithati

++

Carbamazepin

Efficacy Safety Suitability Cost+

Farmakodinamik:Menutup kanal Na pd konsent. Terapi dan menghbt pelepasan

+

Efek sampingPusing, vertigo,ataksia, diplopia dan

+++

Indikasi:Kejang parsial dan tonik klonik

+

berulang frekuensi tinggi pada kultur saraf. Presinaptik menurunkan transmisi sinaptik. Menghambat ambilan dan pelepasan norepinefrin.

Farmakokinetik:A : kadar puncak 6-8 jam pemberian obat, lambat diabsorbsi setelah makanD : lambat, 70% terikat protein plasmaM: heparE: melalui urine

penglihatan kabur, mual, muntah, reaksi alergi berupa dermatitis, eosinophilia, limfadenopati dan splenomegali, frekuensi kejangdapat meningkat akibat dosis berlebih, SSJ, nekrolisis epidermal toksis, rambut rontok, leucopenia, trombositopenia,hepatitis, SLE

umum, sedatif, neuralgia trigeminal

Kontraindikasi:Hipersensitif, blok AV, riwayat intermiten porfiria akut MAOI, penggunaan bersama MAOI

Golongan Hidantoin

Efficacy Safety Suitability Cost+++

Farmakodinamik:Mengubah konduktan Na+,K+, dan Ca2+, potensi membran, dan konsentrasi asam aminodan neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA

Farmakokinetik:A: absorbsi Natrium Fenitoin dari GIT hampir sempurna mencapai puncak

++

Efek sampingCNS : Diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukarbicara, disertaigangguan lain seperti : tremor, gugup, kantuk dan rasa lelahGIT : oedem gingiva, anoreksi, nyeri

++

Indikasi:Kejang parsial dan tonik klonikumum, neuralgia trigeminal, aritmia jantung, sindrom ekstrapiramidal

Kontraindika

++

berkisar 3-12 jamD: banyak diikat protein plasmaM: dimetabolisir melalui parahidroksilasi menjadi HPPH E: melalui urine

ulu hati, mual, muntahKulit : ruam morbiliformis, keratosis

si : pasien dgn penyakitgangguan ginjal

Barbiturat

Efficacy Safety Suitability Cost++

Farmakodinamik:Memacu proses penghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Menekan pelepasan dari fokus. Menekan melalui konduksi Na+, lepasnya frekuensi tinggi renjatan saraf yang berulang dalam kultur.Pada konsentrasi tinggi, barbiturat menghambat arus Ca2+ (tipe L dan M).Menghambat respon eksitatif yang disebabkan glutamat, terutama yang diakibatkan oleh aktivasi reseptor AMPA

Farmakokinetik:A: oral sekitar 90%. Puncak konsentrasi plasma dicapai 8-12

+

Efek sampingMengantuk, penurunan kesadaran, distrasia, ataksia, stimulasi “paradoksal” yang disebabkan oleh disinhibisitingkah laku, depresi SSP sampai koma danhenti pernapasan, laringospasme

++

Indikasi:Kejang parsial dan tonik klonikumum, hipnotik, sedatif

Kontraindikasi : Acute permitten porphyria, varigate porphyria, symptomatic porphyria

+++

jam setelah pemberian oralD: memiliki ikatan protein sangat rendah (20 sampai 45%).M: dimetabolisme oleh hati, terutama melaluihidroksilasi dan glukoronidasi, dan menginduksi banyak isozymes dari sistem sitokrom P450E: diekskresikan oleh ginjal

Berdasarkan efficacy, safety dan suitability dan cost maka obat yang

dipilih yaitu golongan Hidantoin. Setelah itu dip ilih lagi jenis

obat golongan Hidantoin yang sesuai berdasarkan efficacy, safety dan

suitability dan cost. Sehingga dengan demikian dapat diperoleh jenis

obat yang benar-benar sesuai dengan pasien.

Golongan Hidantoin

Fenitoin

Efficacy Safety Suitability Cost+++

Farmakodinamik:Mengubah konduktan Na+,

++

Efek sampingCNS : Diplopia,

+++

Indikasi:Kejang

+++

K+, dan Ca2+, potensi membran, dan konsentrasi asam aminodan neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA

Farmakokinetik:A: jika diberikan per oral berlangsung lambatD: Kadar puncak dalam plasma 3-12 jamM : pengikatan oleh albumin plasma sekitar90%, biotransformasi dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hatiE : bersama empedu kemudian direabsorpsi dan absorpsi dan biotransformasi lanjutan, lalu dieksresi melalui ginjal

ataksia, vertigo, nistagmus, sukarbicara, disertaigangguan lain seperti : tremor, gugup, kantuk dan rasa lelahGIT : oedem gingiva, anoreksi, nyeri ulu hati, mual, muntahKulit : ruam morbiliformis, keratosis

parsial dan tonik klonikumum, neuralgia trigeminal, aritmia jantung, sindrom ekstrapiramidal

Kontraindikasi : sinus bradikardi

MefenitoinEfficacy Safety Suitability Cost+++

Farmakodinamik:Mefenitoin cenderung menstabilkan ambang hipereksitabilitas, serta mengurangi gradien Na pada membran

++

Efek sampingReaksi alergi (kesulitan bernapas, pembengkakan bibir, lidah, atau wajah, ataugatal-gatal);

+++

Indikasi:Kejang parsial dan tonik klonikumum, neuralgia trigeminal, aritmia

++

Farmakokinetik:Volume distribusi 1,4 L/kgDimetabolisme oleh enzim sitokrom P450

halusinasi; susah berbicara;ruam; gangguan penglihatan; agitasi; ikterikpada kulit/mata (jaundice); mudah memar ataupendarahan, ataubengkak gusi; mual, muntah, konstipasi, diare, pusing, sakit kepala, insomnia,

jantung, sindrom ekstrapiramidal

Kontraindikasi : kehamilan

Etotoin

Efficacy Safety Suitability Cost+++

Farmakodinamik:Ethotoin menghambat impuls saraf dalam korteks motor dengan menurunkan masuknya ion natrium,

Farmakokinetik:Sangat cepat diabsorpsi, dimetabolisme di heparmenjadi bentuk N-deethyl dan p-hidroksil-ethotoin.

++

Efek sampingNyeri dada, gangguan penglihatan, demam, mual, muntah, konstipasi, sakit kepala, tenggorokan serak, ruam padakulit.Gejala overdosismeliputi mengantuk, hilangnya koordinasi otot atau gangguan, mual, gangguan visual, dan, pada dosis yang sangat tinggi,

+++

Indikasi:Kejang parsial dan tonik klonikumum, neuralgia trigeminal, aritmia jantung, sindrom ekstrapiramidal

Kontraindikasi : alergi etotoin, penyakit hati, atau kelainan seldarah (anemia,

++

koma. hemofilia)

Kesimpulan: Dari berbagai pilihan obat yang termasuk dalam

golongan hidantoin maka berdasarkan efficacy, safety dan

suitability dan cost dipilihlah jenis obat fenitoin.

Oleh karena itu kita gunakan obat Kutoin dalam

pengobatan pasien itu.

4. Pemberian Terapi

a. Terapi Non Farmakologi

- Makan makanan yang seimbang serta konsumsi vitamin yang

cukup.

- Istrirahat yang cukup, karena kelelahan yang berlebihan

dapat mencetuskan serangan epilepsi.

- Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan

tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya.

Penanganan saat serangan:

jauhkan dari tempat dan barang2 berbahaya

tidurkan pada sisi tubuh

jalan nafasnya

baju dan ikat pinggang di kendorkan atau dilepas

hindari beri minuman saat tak sadar

larikan ke dokter atau rumah sakit terdekat

b. Terapi Farmakologi

Berdasarkan terapi yang telah diberikan pada pasien ini

yaitu:

Kutoin kapsul 100 mg dengan dosis 3 kali sehari dan dengan

maksimal dosis 300 mg per hari.

Penulisan Resep

5. Komunikasi Terapi

a. Informasi Penyakit

Pasien menderita epilepsi bangkitan tonik-klonik

(grandmal).

- Epilepsi merupakan suatu serangan kejang yang terjadi

secara berulang. Pada kasus, epilepsi yang terjadi

dr. Hj. YSMJalan P. Kalimantan No. 59SIP. 67907.02736.83646.2012

Samarinda, 10 Maret 2012

R/ Kutoin caps no. xxx S 3 dd caps I

ζ

merupakan bangkitan tonik-klonik (grandmal) karena

bangkitannya terjadi dalam 3 fase, yaitu tonik, klonik,

dan pasca-kejang (jatuh, kejang seluruh tubuh, kemudian

pingsan selama beberapa saat).

- Bangkitan kejang pada epilepsi disebabkan oleh faktor-

faktor pencetus seperti kurang tidur, konsumsi alkohol,

konsumsi obat-obatan sedatif, stres emosional, perubahan

hormon, infeksi, cedera kepala, kelelahan fisik.

b. Informasi Terapi

- Pasien dianjurkan mencari seseorang yang bertugas sebagai

pengawas minum obat untuk menghindari terjadinya putus

obat mendadak yang dapat menyebabkan status epileptikus

yang lebih parah.

- Jangan merubah dosis tanpa sepengetahuan dokter pasien.

- Terapi farmakologi dapat dihentikan apabila bebas kejang

selama 2-3 tahun, dan aktivitas paroksismal EEG telah

menghilang.

- Obat harus dihentikan secara perlahan dalam waktu

beberapa bulan/minggu.

- Pasien harus menghindari faktor pencetus serangan seperti

aktivitas berlebihan.

c. Informasi Obat dan Penggunaan

- Obat Fenitoin diminum 3 kali sehari sebanyak 1 tablet

setelah makan/dengan makanan.

- Karena BSO dalam bentuk kapsul maka pasien harus menelan

utuh obat tersebut, jangan dipatahkan dan dibuka.

- Pasien harus berkonsultasi dengan dokter apabila timbul

gejala baru atau gejala lain yang memburuk yang diduga

akibat pengobatan (misal: perubahan mood).

6. Monitoring dan Evaluasi

• Segera kontrol ke dokter bila timbul efek samping atau bila

keluhan bertambah parah.

• Obat diberikan untuk 1 bulan, setelah itu sebaiknya kontrol

untuk mengevaluasi pengobatan dan untuk melanjutkan terapi.

• Melakukan pemeriksaan kadar obat dalam plasma sebagi

monitoring obat untuk menghindari terjadinya kadar yang

tinggi dalam plasma dan berefek toksisitas.

BAB III

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari kasus pasien di atas antara lain:

1. Pasien menderita epilepsi general tonik-klonik (grand mal).

2. Pengobatan antiepilepsi yang diberikan kepada pasien adalah

golongan hidantoin yakni fenitoin. Meskipun therapeutic windownya

sempit, namun obat ini memiliki efficacy, suitability dan cost yang

lebih baik dibandingkan obat lain. Namun, mengingat efek

samping obat ini cukup banyak dan terkadang sering mengenai

SSP, sebaiknya penggunaannya dibawah pengawasan dokter.

DAFTAR PUSTAKA

1. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 10. Jakarta. PT.

Infomaster Lisensi dari CMP Medica. 2009/2010

2. Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosby’s Medical Drug

Reference. USA. Elsevier Mosby. 2005

3. Katzung B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Diterjemahkan

oleh Dripa Sjabana, dkk. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

4. Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2001: 518

5. McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL,

Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrison’s.

Principles of Internal Medicine. Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill.

p.1456-1462

6. Sukandar, Elin Y, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta:

PT.ISFI Penerbitan.

7. Sweetman, S. C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference 34th

Edition. USA: Pharmaceutical Press