syarifahnimayahya.files.wordpress.com · Web viewTugas Individu PENYAKIT BENIH DAN PASCA PANEN “...
Transcript of syarifahnimayahya.files.wordpress.com · Web viewTugas Individu PENYAKIT BENIH DAN PASCA PANEN “...
Tugas Individu
PENYAKIT BENIH DAN PASCA PANEN
“Penyakit Pasca Panen pada Tanaman Jeruk yang Disebabkan Oleh Cendawan Botryodiplodia theobromae”
Oleh:
SARIPA NI’MANIM. D1F116028
JURUSAN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jeruk merupakan salah satu tanaman buah yang penting dan
dibudidayakan secara luas di Indonesia. Hal ini terlihat dari total produksi jeruk di
Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi setelah pisang dengan angka
1,8 juta ton.
Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina
dipercaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang
lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau
dibudidayakan.Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang
Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Itali.
Jeruk mengandung beta karoten, kaya akan antioksidan yang baik
memerangi kanker dan melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan. Kalsiumnya
mampu melindungi tulang dan gigi. Asal folat, menyediakan makanan bagi otak
dan menjaga perkembangan sel otak. Magnesiumnya, mengatur tekanan darah,
potasium, menjaga kestabilan sistem dan kardiovaskuler, sementara thiaminnya
mampu mengubah makanan menjadi energi. Selain itu, vitamin B yang
terkandung dalam sebutir jeruk mampu meningkatkan hemoglobin yang penting
bagi peredaran oksigen dalam tubuh. Kandungan nutrisi tersebut sangat baik
untuk mengobati berbagai penyakit, seperti asma, bronkitis, TBC, rematik, gagal
ginjal, menekan jumlah kolesterol didalam tubuh, mencegah diabetes,
menyembuhkan arthritis, tekanan darah tinggi, kecanduan alkohol, hingga
pneumonia.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana panen dan pasca panen jeruk?
2. Apakah jeruk, buah nonklimakterik?
3. Bagaimana penanganan pasca panen jeruk?
4. Sebutkan alur penanganan panen hingga pemasaran yang perlu
diterapkan?
BAB IIPEMBAHASAN
A. Panen dan Pascapanen Jeruk
Di Indonesia, umumnya buah jeruk dikonsumsi dalam bentuk buah segar
(buah meja) dan sering dijadikan sebagai buah tangan ketika bersilaturahmi atau
menjenguk orang sakit. Oleh karena itu, mutu buah jeruk banyak ditentukan oleh
mutu ekternal (warna kulit, ukuran buah, tekstur kulit dan kemulusan kulit)
maupun mutu internalnya (kadar sari buah, kadar gula, kadar asam, rasio
gula/asam dan warna sari buah). Meskipun penampilan jeruk nusantara relatif
kurang menarik dibandingkan dengan jeruk impor, mutu internal terutama nilai
gizi sari buahnya tentu lebih baik dibandingkan jeruk impor yang telah mengalami
masa penyimpanan berbulan-bulan lamanya.
Selain dipengaruhi oleh manajemen kebun terutama pasokan nutrisi, mutu
buah jeruk juga dipengaruhi oleh kegiatan panen dan penanganan pascapanen.
Beberapa kesalahan yang sering dilakukan pada saat panen : panen pada saat buah
belum masak atau membiarkan buah di pohon melampaui batas masak fisiologis
demi mengejar harga tinggi atau karena terjerat sitem ijon, penggunaan alat panen
yang tidak tepat dan cara panen yang belum benar. Kondisi ini biasanya
diperparah oleh penanganan paska panen yang kurang memadai seperti
penggunaan wadah (packing) yang tidak tepat, pengangkutan dari kebun ke
gudang yang sembarangan, belum dilakukan sortasi dan grading (pemutuan) dan
lain sebagainya.
Buah jeruk setelah dipetik masih melakukan proses fisiologis yaitu
respirasi dan transpirasi yang menyebabkan perubahan kandungan zat-zat dalam
buah. Respirasi adalah suatu proses pengambilan O2 untuk memecah senyawa-
senyawa organik (substrat) menjadi CO2, H2O dan energi. Sedangkan transpirasi
adalah proses kehilangan air melalui penguapan. Substrat yang penting dalam
respirasi meliputi karbohidrat, beberapa jenis gula seperti glukosa, fruktosa dan
sukrosa; asam organik; dan protein.
B. Jeruk, Buah Nonklimakterik
Berdasarkan ketersediaan O2, respirasi dapat digolongkan menjadi dua
jenis, yaitu respirasi aerob dan respirasi anaerob. Respirasi aerob merupakan
proses respirasi yang membutuhkan O2, sebaliknya respirasi anaerob merupakan
proses repirasi yang berlangsung tanpa membutuhkan O2. Respirasi anaerob
sering disebut juga dengan nama fermentasi. Respirasi aerob pada buah tropis
digambarkan dengan reaksi berikut:
C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O + 678kal
Berdasarkan pola respirasinya, buah dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu buah klimakterik dan non klimakterik. Buah klimakterik adalah
buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak, kemudian
menurun secara cepat. Buah klimakterik mengalami peningkatan laju respirasi
pada akhir fase kemasakan, sedang pada buah non klimakterik tidak terjadi
peningkatan laju respirasi pada akhir fase pemasakan. Buah jeruk termasuk non
klimaterik, sebaiknya panen dilakukan sebelum akhir fase kemasakan buah agar
daya simpannya lebih lama. Adanya respirasi menyebabkan buah menjadi masak
dan tua yang ditandai dengan proses perubahan fisik, kimia dan biologi antara lain
proses pematangan, perubahan warna, pembentukan aroma dan kemanisan,
pengurangan keasaman, pelunakan daging buah dan pengurangan bobot. Laju
respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui daya simpan sayur
dan buah setelah panen. Semangkin tinggi laju respirasi, semakin pendek umur
simpan. Bila proses respirasi berlanjut terus, buah akan mengalami kelayuan dan
akhirnya terjadi pembusukan yang sehingga zat gizi hilang.
Laju respirasi buah dan sayuran dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor
luar. Faktor dalam yang mempengaruhi respirasi adalah tinggkat kedewasaan,
kandungan substrat, ukuran produk, jenis jaringan dan lapisan alamiah seperti
lilin, ketebalan kulit dan sebagainya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi
adalah suhu, konsentrasi gas CO2 dan O2 yang tersedia, zat-zat pengatur tumbuh,
dan kerusakan yang ada pada buah.
C. Cendawan Botryodiplodia theobromae
Taksonomi Cendawan
Klasifikasi cendawan Botryodiplodia theobromae (Alexopoulos et al.,
1996) adalah sebagai berikut:
Domain : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Phylum : Deuteromycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Sphaeropsidales
Famili : Sphaeropsidaceae
Genus : Botryodiplodia
Spesies : Botryodiplodia theobromae (Pat.) (anamorph)
Cendawan B. theobromae (Pat.) memiliki nama lain Lasiodiplodia
theobromae (Pat.) Griff. et Maubl., yang dahulu lebih dikenal dengan nama
Diplodia natalensis P. Evans. Cendawan tersebut merupakan cendawan yang
bereproduksi secara aseksual (anamorph), cendawan tersebut memiliki fase
seksual (teleomorph) yaitu sebagai cendawan Botryosphaeria rhodina.
B. theobromae merupakan cendawan yang bersifat polifag dan memiliki
kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan
infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat
serangga (Semangun, 2007).
Cendawan B. theobromae pada jeruk menyebabkan penyakit kulit diplodia
yang ditandai dengan adanya pembusukan pada bagian batang dan tangkai buah.
Miselium muncul di permukaan jaringan pada keadaan lingkungan yang lembab
(Semangun, 2007).
Botryosphaeriaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat
sejumlah spesies yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang
paling dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum,
pseudofusicoccum, Dothiorella dan Sphaeropsi. Anggota ini memiliki distribusi
yang sangat luas. Kelompok cendawan dapat berperan sebagai saprofit, parasit
dan endofit.
Berdasarkan gejalanya, Diplodia dibedakan menjadi Diplodia basah dan
Diplodia kering.
Diplodia Kering Diplodia Basah
Diplodia basah: batang, cabang, atau ranting yang terserang mengeluarkan
blendok berwarna kuning keemasan dan pada stadia lanjut, kulit tanaman
mengelupas. Diplodia kering: kulit batang atau cabang tanaman yang terserang
akan mengering tanpa mengeluarkan blendok, sehingga gejalanya lebih sulit
diamati. Pada bagian celah kulit terlihat adanya masa spora jamur berwarna putih
atau hitam. Serangan pada batang utama akan lebih berbahaya dibandingkan pada
cabang atau ranting. Serangan yang melingkar pada cabang mengakibatkan bagian
tanaman diatas serangan akan kering dan mati.
Gejala dapat timbul pada batang maupun hanya pada cabang, kulit batang
pecah tanpa atau dengan mengeluarkan blendok berwarna kuning kecokelatan.
Gejala yang tidak disertai dengan keluarnya blendok disebut diplodia kering,
sedangkan yang disertai dengan keluarnya blendok disebut diplodia basah. Pada
perkembangan lanjut, kulit batang mengering dan mengelupas. Di bagian bawah
kulit yang mengelupas dapat ditemukan tanda penyakit berupa miselium putih dan
massa spora jamur berwarna kehitaman. Kayu di bagian dalam kulit batang
berpenyakit berwarna hijau biru sampai hitam. Bila penyakit hanya terdapat pada
cabang maka hanya cabang yang bersangkutan yang meranggas, mengalami mati
ujung, dan akhirnya mengering. Namun bila penyakit terdapat pada batang utama
maka pohon secara keseluruhan dapat mengalami gejala yang sama.
Gejala busuk pangkal buah berkembang setelah panen pada suhu dan
kelembaban yang sesuai dengan kebutuhan patogen. Busuk mulai dari pangkal
batang di sekitar titik tangkai buah dan kemudian berkembang melalui sumbu
buah lebih cepat daripada melalui juring buah, menimbulkan busuk basah
berwarna cokelat atau hitam yang pada permukaan kulit meluas dari arah pangkal
dan ujung buah. Jamur berkembang tidak merata pada juring sehingga pada kulit
buah perkembangan busuk tidak merata. Penyakit menular dengan cepat ke buah
sehat dalam penyimpanan yang lembab.
D. Penanganan Pascapanen
Aktivitas panen dan penanganan seperti teknik pemanenan yang kurang
tepat, sortasi yang tidak baik, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan dan
penyimpanan yang kurang diperhatikan serta adanya serangan hama dan penyakit
dapat menyebabkan kerusakan buah jeruk hingga sekitar 25%. Untuk
menghasilkan jeruk bermutu tinggi, alur penanganan panen hingga pemasaran
yang perlu diterapkan adalah sebagai berikut :
1. Panen
Umur buah/tingkat kematangan buah yang dipanen, kondisi saat panen,
dan cara panen merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi mutu jeruk.
Umur buah yang optimum untuk dipanen adalah sekitar 8 bulan dari saat bunga
mekar. Ciri-ciri buah yang siap dipanen : jika dipijit tidak terlalu keras; bagian
bawah buah jika dipijit terasa lunak dan jika dijentik dengan jari tidak berbunyi
nyaring, warnanya menarik (muncul warna kuning untuk jeruk siam) dan kadar
gula (PTT) minimal 10%. Kadar gula dapat ditentukan dengan alat hand
refraktometer di kebun.
Gambar alat hand refraktometer
Dalam satu pohon, buah jeruk tidak semuanya dapat dipanen sekaligus,
tergantung pada kematangannya. Jeruk termasuk buah yang kandungan patinya
rendah sehingga bila dipanen masih muda tidak akan menjadi masak seperti
mangga. Jika panen dilakukan setelah melampaui tingkat kematangan optimum
atau buah dibiarkan terlalu lama pada pohon, sari buah akan berkurang dan akan
banyak energi yang dikuras dari pohon sehingga mengganggu kesehatan tanaman
dan produksi musim berikutnya. Panen yang tepat adalah pada saat buah telah
masak dan belum memasuki fase akhir pemasakan buah. Dalam penyimpanan,
rasa asam akan berkurang karena terjadi penguraian persenyawaan asam lebih
cepat dari pada peruraian gula.
Kerusakan mekanis selama panen bisa menjadi masalah yang serius,
karena kerusakan tersebut menentukan kecepatan produk untuk membusuk,
meningkatnya kehilangan cairan dan meningkatnya laju respirasi serta produksi
etilen yang berakibat pada cepatnya kemunduran produk. Panen dapat dilakukang
dengan tangan maupun gunting. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam panen
jeruk :
Jangan melakukan panen sebelum embun pagi lenyap.
Tangkai buah yang terlalu panjang akan melukai buah jeruk yang lain sehingga
harus di potong di sisakan sekitar 2 mm dari buah.
Panen buah di pohon yang tinggi harus menggunakan tangga, agar cabang dan
ranting tidak rusak.
Jangan memanen buah dengan cara memanjat pohon, karena kaki kotor dapat
menyebarkan penyakit pada pohon
Pemanen buah dilengkapi dengan keranjang yang dilapisi karung plastik atau
kantong yang dapat digantungkan.
Wadah penampung buah terbuat dari bahan yang lunak, bersih dan buah
diletakkan secara perlahan. Krat walau biaya awalnya mahal, bisa ditumpuk,
bertahan lama, dapat dipakai berulang-ulang dan mudah dibersihkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeruk yang cara pengambilanya berhati-
hati dan disimpan pada temperatur kamar 23-31oC selama 3 minggu, yang
busuk mencapai 7 %; buah yang dijatuhkan diatas lantai yang busuk sebanyak
12 %; buah yang dipetik basah yang busuk sebesar 21 %; buah yang dipetik
terlalu masak yang busuk sebanyak 29 %; buah yang terkena sinar matahari
selama satu hari yang busuk sebanyak 38 %.
2. Sortasi dan Pencucian
Sortasi atau seleksi merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan setelah
panen yang umumnya dikerjakan di bangsal pengemasan atau di kebun dengan
tujuan memisahkan buah yang layak dan tidak layak untuk dipasarkan (busuk,
terserang penyakit, cacat, terlalu muda/tua dan lain-lain). Sortasi juga dilakukan
untuk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau pasar.
Setelah sortasi, buah jeruk dicuci untuk membersihkan kotoran dan pestisida yang
masih menempel pada permukaan kulit buah. Buah direndam dalam air yang
dicampur deterjen atau cairan pembersih 0,5-1 %, kemudian digosok pelan-pelan
menggunakan lap halus atau sikat lunak jangan sampai merusak kulit. Selanjutnya
buah dibilas dengan air bersih, dikeringkan menggunakan lap lunak dan bersih
atau ditiriskan.
3. Pemutuan
Pemutuan atau grading dilakukan setelah sortasi dan pencucian untuk
mengelompokan buah berdasarkan mutu yaitu, ukuran, berat, warna, bentuk,
tekstur, dan kebebasan buah dari kotoran atau bahan asing. Peranan penerintah
tidak hanya terbatas pada bidang pemasaran saja. Tetapi yang paling penting ialah
penetapan standarisasi buah, yang mencakup kualitas buah. Sehubumgan dengan
standarisasi buah tersebut, Standar Nasional Indonesia (SNI) menggolongkan
buah jeruk kedalam 4 kelas berdasarkan bobot atau diameter buah (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Jeruk Keprok, termasuk Jeruk Siam (SNI 01-3165-1992)
Kelas Bobot (g) Diameter (cm)
A ≥ 151 ≥ 71
B 101 – 150 61 -70
C 51 – 100 51 -60
D ≤ 50 40 – 50
4. Pelilinan
Beberapaa jenis buah secara alami dilapisi oleh lilin yang berfungsi
sebagai pelindung terhadap serangan fisik, mekanik dan mikrobiologis. Pelapisan
lilin pada buah-buahan sebenarnya adalah menggantikan dan menambah lapisan
lilin alami yang terdapat pada buah yang sebagian besar hilang selama
penanganan karena lapisan lilin yang menutupi pori-pori buah dapat menekan
respirasi dan transpirasi sehingga daya simpan buah lebih lama dan nilai jualnya
lebih baik. Manfaat lainnya adalah meningkatkan kilau dan menutupi luka atau
goresan pada permukaan kulit buah sehingga penampilannya menjadi lebih baik.
Pelilinan terhadap buah jeruk segar pertama kali dikenal sejak abad 12-13
oleh bangsa Cina, tetapi pada saat itu tanpa memperhatikan adanya efek-efek
respirasi dan tranpirasi sehingga lapisan lilin yang terbentuk terlalu tebal,
mengakibatkan respirasi anaerob (fermentasi) dan menghasilkan jeruk yang
masam dan busuk. Oleh karena itu, pelilinan harus diupayakan agar pori-pori kulit
buah tidak tertutupi sama sekali agar tidak terjadi kondisi anaerob di dalam buah.
Sebaliknya, jika lapisan lilin terlalu tipis hasilnya kurang efektif mengurangi laju
respirasi dan transpirasi. Dibandingkan dengan pendinginan, aplikasi lilin kurang
efektif dalam menurunkan laju respirasi sehingga pelilinan banyak dilakukan
untuk melengkapi penyipanan dalam suhu dingin.
Lilin yang digunakan dapat berasal dari berbagai sumber seperti tanaman,
hewan, mineral maupun sintetis. Kebanyakan formula lilin dipersiapkan dengan
satu atau lebih bahan seperti beeswax, parafin wax, carnauba wax (secara alami
didapat dari carnauba palm) dan shellac (lilin dari insekta). Syarat lilin yang
digunakan : tidak mempengaruhi bau dan rasa buah, cepat kering, tidak lengket,
tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, tipis, tidak mengandung racun, harga
murah dan mudah diperoleh. Syarat komoditi yang dilapisi adalah segar (baru
dipanen) dan bersih, sehat (tidak terserang hama/penyakit) dan ketuaan cukup.
Lilin yang banyak digunakan adalah lilin lebah yang diemulsikan dengan
konsentrasi 4 – 12%. Air yang digunakan tidak boleh menggunakan air sadah
karena garam-garam yang terkandung dalam air tersebut dapat merusak emulsi
lilin. Aplkasinya dapat dilakukan dengan, penyemprotan, pencelupan atau
pengolesan.
Untuk membuat emulsi lilin standar 12 % diperlukan lilin lebah 120 g,
asam oleat 20 g, triethanol amin (TEA) 40 g dan air panas 820 cc. Lilin
dipanaskan dalam panci sampai mencair, kemudian dimasukkan dalam blender.
Selanjutnya dituang sedikit demi sedikit asam oleat, TEA dan air panas, larutan
diblender 2-5 menit agar tercampur dengan sempurna kemudian emulsi lilin
didinginkan. Emulsi lilin dapat digunakan setelah proses pendinginan selesai
dilaksanakan.
Sebenarnya pelilinan buah-buahan itu tidak mengandung racun karena
menggunakan lilin lebah dan konsentrasinya pelilinannya sedikit sekali. Yang
paling dikuatirkan buah-buahan itu rawan kandungan pestisida kemudian terlapisi
lilin sehingga pestisidanya masih menempel pada buah. Kandungan pestisida
inilah yang sangat berbahaya bila sampai termakan, bisa menyebabkan banyak
penyakit diantaranya kanker, leukimia, tumor, neoplasma indung telur dll.
5. Penguningan
Penguningan dilakukan untuk membuat warna kuning kulit buah jeruk
lebih rnerata dan seragarn. Penguningan merupakan proses perombakan pigmen
hijau (klorofil) pada kulit jeruk secara kimiawi dan sekaligus membentuk warna
kuning jingga (karotenoid) pada kulit jeruk. Proses ini tidak berpengaruh terhadap
bagian dalam jeruk; gula, asam dan jus jeruk tidak terpengaruh. Penguningan
biasanya menggunakan zat perangsang metabolik berupa gas alifatis tidak jenuh
yang disebut etilen. Etilen suIit diperoleh (harus diimpor) di Indonesia, sebagai
pengganti dapat digunakan asetilen (karbid) dan ethrel (asam 2 kloroetiifosfonat)
Penguningan dengan etilen dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu the "shot"
methode, trikle degreening dan tents or room (SARDI, 2004).
Namun prinsipnya sama yaitu, gas etilen dengan dosis tertentu
dimasukkan ke dalam suatu ruangan yang tertutup rapat bersirkulasi berisi jeruk
yang mau dikuningkan dengan mengatur suhu dan kelembaban optimum agar
proses penguningan dapat berjalan lancar. Ritenour et al, (2004) merekornendasi
beberapa kondisi dalam penguningan (dengm ethilen) yaitu : suhu, konsentrasi
etilen, kelembaban relatif, ventilasi dan sirkulasi udara. Suhu 82-83OF (28-290C)
adalah suhu optimum dalam penguningan. Suhu diatas atau dibawah suhu tersebut
cenderung memperlambat proses penguningan. Konsentrasi 5 ppm etilen cukup
untuk mencapai laju penguningan yang maksimal. Kelembaban relatif 90-95%
direkomendasikan untuk penguningan dan dapat dijaga dengan steam or
pneumatic atomizing nozzles yang mencampur air dengan udara. Prinsip proses
penguningan jeruk dengan asetilen sama dengan etilen karena bentuknya sama,
yaitu gas.
Hasil penguningan terbaik diperoleh dari penggunaan 2000 ppm asetilen
ke jeruk valensia selama 11 jam pemeraman pada kondisi ruangan yang bersuhu
29-32OC dengan kelembaban relatif 80-90% selarna 7,4 hari. Penampakan jeruk
berubah secara drastis dari warna kulit hijau menjadii kuning (Broto et a/., 1990)
Proses penguningan dengan ethrel sangat sederhana. Buah jeruk dibersihkan
dengan kain lap basah, dianginkan, kemudian dicelupkan dalam larutan ethrel
dengan konsentrasi dan selama waktu tertentu. Penggunaan 1000 ppm ethrel 40
PGR (dengan waktu pencelupan 30 detik) merupakan dosis optimal yang efektif
mengubah warna kulit buah jeruk siem Madu Berastagi rnenjadi berwarna kuning
merata setelah 7 hari penyimpanan pada suhu kamar (Napitupulu et al., 1990)
6. Labeling dan Pengemasan
Pengemasan buah bertujuan melindungi buah dari luka, memudahkan
pengelolaan (penyimpanann, pengangkutan, distribusi), mempertahankan mutu,
mempermudah perlakuan khusus dan memberikan estetika yang menarik
konsumen. Kemasan dan lebel jeruk perlu di desain sebaik mungkin baik warna
dan dekorasinya karena kemasan yang bagus dapat menjadi daya daya tarik bagi
konsumen.
Bila jeruk akan dikirim keluar kota, buah jeruk yang diangkut dengan peti
akan lebih aman dari pada dengan keranjang bambu atau karung karena keranjang
atau karung tidak dapat meredam goncangan selama penggangkutan.
Peti jeruk harus di paku kuat-kuat, bagian ujung dan tengah-tengahnya diikat tali
kawat atau bahan pengikat kain yang kuat. Bahan peti dipilih yang ringan dan
murah misalnya kayu senggon laut (albazia falcata) atau kayu pinus. Bentuk peti
disesuaikan dengan bak angkutan, disarankan persegi panjang (60 x 30 x 30 cm)
atau bujur sanggkar (30 x 30 x 30 cm), tebal papan 0,5 cm, lebar 8 cm, jarak antar
1,5 cm agar udara di dalam peti tidak lembab tetapi juga tidak terlalu panas. Bobot
maksimal setiap peti sebaiknya tidak melebihi 30 kg. Buah jeruk lebih baik jika
dibungkus dengan kertas tissue (potongan/sobekan kertas) kemudian peti diberi
tanda diantaranya yaitu nama barang, jumlah buah setiap peti, berat peti dan jeruk,
kualitas, tanda merek dagang, daerah/negara asal.
7. Penyimpanan
Penyimpanan buah jeruk bertujuan : memperpanjang kegunaan,
menampung hasil panen yang melimpah, menyediakan buah jeruk sepanjang
tahun, membantu pengaturan pemasaran, meningkatkan keuntungan financial,
mempertahankan kualitas jeruk yang disimpan. Prinsip dari perlakuan
penyimpanan : mengendalikan laju respirasi dan transpirasi, mengendalikan atau
mencegah penyakit dan perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki oleh
konsumen.
Penyimpanan di ruang dingin dapat mengurangi aktivitas respirasi dan
metabolisme, pelunakan, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas
mikroba (bakteri, kapang/cendawan). Jeruk yang disimpan hendaknya bebas dari
lecet kulit, memar, busuk dan kerusakan lainnya. Untuk mendapatkan hasil yang
baik, suhu ruang penyimpanan dijaga agar stabil. Suhu optimum untuk
penyimpanan buah jeruk adalah 5–10oC. Jika suhu terlalu rendah dapat
menyebabkan kerusakan buah (chiling injury). Jika kelembaban rendah akan
terjadi pelayuan atau pengkeriputan dan jika terlalu tinggi akan merangsang
proses pembusukan, terutama apabila ada variasi suhu dalam ruangan.
Kelembaban nisbi antara 85-90% diperlukan untuk menghindari pelayuan dan
pelunakan pada beberapa jenis buah/sayuran. Beberapa produk bahkan
memerlukan kelembaban sekitar 90-95%. Kelembaban udara dalam ruangan
pendinginan dapat dipertinggi antara lain dengan cara menyemprot lantai dengan
air. Kelembaban yang tepat akan menjamin tingkat keamanan bahan yang
disimpan terhadap pertumbuhan mikroba. Sirkulasi udara diperlukan secukupnya
untuk membuang panas yang berasal dari hasil respirasi atau panas yang masuk
dari luar.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Penanganan pascapanen yang tepat diperlukan agar kesegaran buah jeruk
sekaligus umur simpanannya dapat bertahan lama. Teknologi penanganan
pascapanen buah jeruk pada umumnya meliputi : pemanenan, pencucian dan
pembersihan, sortasi dan pengkelasan, penguningan, pelapisan lilin, penyimpanan,
dan pengemasan. Buah jeruk harus dipanen tepat saat tua karena tidak
memerlukan pemeraman dan sebaiknya dipetik dengan gunting. Pencucian
diperlukan untuk menghilangkan residu fungisida, spora jamur dan tanah pada
permukaan kulit buah jeruk. Sortasi dilakukan untuk memisahkan buah yang cacat
dan mengkelaskan buah. Pelapisan Iilin dilakukan agar buah tampak bersinar dan
mengurangi susut bobot selama penyimpanan. Penguningan diperlukan agar kulit
buah jeruk berwarna kuning merata dan seragam karena buah seringkali masih
bewama hijau atau hijau-kekuningan ketika tua. Buah harus disimpan pada suhu
sekitar 150C dengan kelembaban udara diatas 80%. Buah biasanya dikemas
dengan kemasan kayu yang dialasi kertas kraf/bahan lain untuk mengurangi
goncangan. Goncangan secara vertikal dan horizontal dalam pengangkutan dapat
menyebabkan kerusakan buah jeruk.
DAFTAR PUDTAKA
Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed ke-4. New York: John Wiley & Sons, Inc.
CAB International. 2007. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK: CAB International. www.cabicompendium.org/cpc.
Dody D H dan B Napitupulu. Penanganan Pascapanen Buah Jeruk. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian :Surnatera Utara.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/panen-dan-pascapanen-jeruk/
Semangun H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.