unud-901-287633792-tesis aku

53
 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman horti kultu ra dari famili Solan ace ae yang memilik i nilai ek onomi tin ggi (Cahy ono, 2003 ). Caba i r awit digu naka n seba gai bumbu mas aka n dan baha n obat (Hey ne, 1987). Menurut Rukma na (200 2), seca ra umum b uah cab ai rawit mengandung zat gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, ka lsium, fosfor, besi, vitamin A, B1, B2, C dan se nyawa alkal oid se perti capsaicin , oleoresin, fla van oid dan minya k esensial. Kandungan terse but banyak diman faatkan sebag ai bahan bumbu mas ak, ramu an obat tr adisi onal , indus tri pan gan d an pakan ungg as. Produk tivita s cabai rawit di Indon esi a rat a-r ata ma sih re nda h. Pad a tahu n 2009 prod uksi caba i rawit 5,07 ton/ha, pada tah un 2010 turun menjadi 4,56 ton/h a, dan pa da tahun 2011 pr oduk si menja di 5,01 ton /ha (Biro Pu sat Statistik, 2011 ). Kend ala yang meny ebab kan renda hnya produ ktivit as cab ai di Indo nesia ada lah gang gua n hama dan pe nyak it (Seman gun, 20 00). Bebe rapa je nis peny akit yang dominan me nyerang caba i adalah antraknosa , layu bakteri dan virus (Syukur et al., 2009 ). Peny akit kuni ng, peny akit bula i dan peny akit kerd il ya ng diseb abka n oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005 ). Perbaikan genetik me rupakan salah sa tu usaha yang dapat dilak ukan untuk peni ngka tan p roduk tivita s ca bai rawit. Taha p awa l dala m per baika n ge netik a

description

11

Transcript of unud-901-287633792-tesis aku

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman

    hortikultura dari famili Solanaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Cahyono,

    2003). Cabai rawit digunakan sebagai bumbu masakan dan bahan obat (Heyne,

    1987). Menurut Rukmana (2002), secara umum buah cabai rawit mengandung zat

    gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1,

    B2, C dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid dan minyak

    esensial. Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masak,

    ramuan obat tradisional, industri pangan dan pakan unggas.

    Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun

    2009 produksi cabai rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56

    ton/ha, dan pada tahun 2011 produksi menjadi 5,01 ton/ha (Biro Pusat Statistik,

    2011). Kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia

    adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000). Beberapa jenis penyakit

    yang dominan menyerang cabai adalah antraknosa, layu bakteri dan virus (Syukur

    et al., 2009). Penyakit kuning, penyakit bulai dan penyakit kerdil yang disebabkan

    oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya

    produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005).

    Perbaikan genetik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk

    peningkatan produktivitas cabai rawit. Tahap awal dalam perbaikan genetika

  • 2tanaman adalah perluasan keragaman genetik tanaman untuk memudahkan seleksi

    tanaman unggul (Hidayat, 1994).

    Pemuliaan mutasi merupakan metode yang banyak digunakan sebagai

    upaya untuk mendapatkan keragaman genetik tanaman saat ini. Bahan mutagen

    yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia,

    misalnya seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS), Diethyl Sulphate (DES),

    Methyl Methane Sulphonate (MMS), nitrous acids dan sebagainya (IAEA, 1977).

    EMS paling banyak digunakan karena sering menghasilkan mutan yang

    bermanfaat dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).

    Senyawa EMS merupakan senyawa alkil yang mengubah guanin menjadi 7-

    etilguanin yang berpasangan dengan timin (Chopra, 2005). Senyawa ini banyak

    digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan perbaikan

    kualitas tanaman. Beberapa penelitian melaporkan EMS menghasilkan

    peningkatan keragaman dan menghasilkan mutan, misalnya dihasilkan mutan

    pisang yang resisten terhadap virus (Imelda et al., 2000). Mutagen EMS juga

    menyebabkan peningkatan keragaman varian abaka dan berhasil mendapatkan

    mutan yang tahan terhadap penyakit layu Fusarium (Purwati et al., 2007, Purwati

    et al., 2008).

    Keberhasilan mutasi dengan mutagen kimia pada tiap tanaman tergantung

    pada konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan (Yanti, 2007). Menurut

    Alcantara et al., (1996) EMS yang digunakan pada kisaran konsentrasi 0,5%

    sampai 1,5% dan lama perendaman 3 - 9 jam dapat menghasilkan mutan pada

    cabai besar. Jabeen dan Mirza (2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai

  • 3besar dengan EMS, menghasilkan mutan kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi

    dari lambat ke cepat yaitu pada konsentrasi 0,5% dengan lama perendaman 6 jam.

    Konsentrasi 1% dengan lama perendaman 6 jam pada cabai besar menghasilkan

    11,2% bibit cabai yang memiliki daun yang menyatu (Pharmawati et al., 2013).

    Penelitian mengenai aksi mutagen EMS pada cabai rawit dilakukan untuk

    mengamati pengaruh pemberian mutagen 1% EMS melalui perbedaan lama

    perendaman benih terhadap morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

    rawit.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang timbul adalah

    1. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

    12 jam pada morfologi tanaman yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah

    cabang ?

    2. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

    12 jam pada aspek fisiologi yaitu kandungan klorofil ?

    3. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

    12 jam pada aspek reproduktif seperti viabilitas polen, umur 50% tanaman

    berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan jumlah total

    buah ?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Penelitian bertujuan menguji aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6

    jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

    rawit.

  • 41.4. Manfaat Penelitian

    Manfaat penelitian adalah memberikan informasi aksi EMS 1% dengan

    lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan

    reproduktif tanaman. Selanjutnya jika diperoleh tanaman dengan karakter yang

    menguntungkan, maka dapat digunakan dalam program pemuliaan tanaman.

  • 5BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

    Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

    (Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

    sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

    Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

    sebagai berikut:

    a. Cabai Kecil

    Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

    memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

    mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

    dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

    b. Cabai Ceplik

    Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 3,5 cm dan lebar 11

    mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

    5

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

    Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

    (Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

    sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

    Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

    sebagai berikut:

    a. Cabai Kecil

    Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

    memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

    mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

    dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

    b. Cabai Ceplik

    Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 3,5 cm dan lebar 11

    mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

    5

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

    Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

    (Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

    sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

    Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

    sebagai berikut:

    a. Cabai Kecil

    Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

    memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

    mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

    dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

    b. Cabai Ceplik

    Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 3,5 cm dan lebar 11

    mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

  • 6dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

    masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

    (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

    c. Cabai Putih

    Cabai putih memiliki ciri ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

    berukuran panjang 3 cm serta berat rata rata 2,5 g/buah. Buah yang

    muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

    memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

    2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

    Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

    protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

    6

    dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

    masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

    (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

    c. Cabai Putih

    Cabai putih memiliki ciri ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

    berukuran panjang 3 cm serta berat rata rata 2,5 g/buah. Buah yang

    muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

    memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

    2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

    Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

    protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

    6

    dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

    masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

    (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

    c. Cabai Putih

    Cabai putih memiliki ciri ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

    berukuran panjang 3 cm serta berat rata rata 2,5 g/buah. Buah yang

    muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

    memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

    Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

    2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

    Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

    protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

  • 7B1, B2 dan C (Rukmana, 2002). Cabai rawit mengandung zat oleoresin dan

    zat aktif capsaicin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit rematik,

    obat batuk berdahak, sakit gigi, masuk angin, asma serta mencegah infeksi

    sistem pencernaan (Wijayakusuma, 1992).

    Menurut Heyne (1987), cabai rawit banyak digunakan sebagai bumbu

    dapur seperti sambal, saus, asinan dan produksi makanan kaleng. Selain

    digunakan sebagai penyedap masakan, juga dapat digunakan untuk industri

    pewarna bahan makanan, bahan campuran pada berbagai industri pengolahan

    makanan dan minuman.

    2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Rawit

    Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh

    sebagai perdu dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m. Tanaman dapat

    ditanam di lahan kering (tegalan) dan di lahan basah (sawah). Kondisi

    lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi cabai

    rawit. Keadaan iklim dan tanah merupakan dua hal pokok yang harus

    diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman cabai rawit (Pijoto, 2003).

    Tanaman cabai rawit memerlukan tanah yang memiliki tekstur lumpur

    berpasir atau liat berpasir, dengan struktur gembur. Selain itu, tanah harus

    mudah mengikat air, memiliki solum yang dalam (minimal 1m), memiliki

    daya menahan air yang cukup baik, tahan terhadap erosi dan memiliki

    kandungan bahan organik tinggi (Setiadi, 1987). Tanaman cabai rawit

    memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0 7,0 (pH optimal 6,5)

    dan memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan naungan). Dapat

  • 8tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman cabai rawit memerlukan

    kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan dalam satu tahun dan

    curah hujan berkisar antara 600 mm-1.250 mm per tahun. Kelembaban udara

    yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60% -80%. Agar dapat tumbuh

    dengan baik dan bereproduksi tinggi, tanaman cabai rawit memerlukan suhu

    udara rata-rata tahunan berkisar antara 180C-300C (Cahyono, 2003).

    2.2 Mutasi

    Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu organisme yang

    terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar bagi sumber variasi

    organisme hidup yang bersifat terwariskan (Van Harten, 1998).

    Berdasarkan tempat terjadinya mutasi dibedakan menjadi mutasi gen

    dan mutasi kromosom. Mutasi gen adalah perubahan urutan basa pada DNA

    yang mengakibatkan terjadinya perubahan kodon dan akhirnya merubah

    urutan asam amino pada polipeptida yang terbentuk.

    Mutasi kromosom adalah perubahan jumlah kromosom dan susunan

    atau urutan gen dalam kromosom (Brookes, 1998). Mutagen kimia yang

    menyebabkan mutasi kromosom antaralain: kolkisin, zat digitonin, nitrous

    acids dan hidroksil-amina.

    Menurut Zhu et al., (2006), mutasi dapat terjadi secara spontan

    ataupun melalui induksi. Kedua mutasi tersebut dapat menimbulkan variasi

    genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman, baik seleksi secara alami

    maupun buatan (pemuliaan). Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan dapat

    meningkatkan keragaman genetik tanaman sehingga memungkinkan pemulia

  • 9melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang

    dikehendaki (Al-Qurainy dan Khan, 2009). Mutasi induksi dapat dilakukan

    pada tanaman dengan perlakuan mutagen tertentu terhadap biji, serbuk sari,

    kultur jaringan dan sebagainya (Mahandjiev et al.,2001). Salah satu mutagen

    yang sering digunakan dalam penelitian tanaman dengan induksi mutasi

    adalah mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS) (Soeranto, 2003).

    2.3 Mutagen Ethyl Methane Sulphonate (EMS)

    Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan senyawa alkil yang

    dapat mengubah basa-basa DNA guanine menjadi 7-etilguanin yang

    berpasangan dengan timin (Chopra, 2005). Mutagen kimia EMS paling

    banyak digunakan karena mudah diperoleh, efektif menghasilkan mutan dan

    tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).

    Menurut Alcantara et al., (1996) mutagen EMS digunakan pada

    kisaran konsentrasi 0,5% sampai 1,5%. Penggunaan EMS dapat memicu

    terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk mendapatkan

    tanaman pisang yang toleran banana bunchy top nanovirus (Imelda et al.,

    2000), peningkatan keragaman Abaka serta resistensinya terhadap Fusarium

    (Purwati et al., 2007, Purwati et al., 2008), serta tanaman paprika yang

    memiliki serbuk sari dan buah yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al.,

    1995). Jabeen dan Mirza (2002), melakukan penelitian induksi mutasi

    dengan EMS pada tanaman cabai besar sehingga menghasilkan mutan-mutan

    tanaman yang kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi dari lambat ke cepat.

    Dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa EMS adalah suatu mutagen

  • 10

    yang efektif dan dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman

    cabai.

    2.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Akibat Mutasi

    Perubahan yang terjadi pada morfologi tanaman akibat perlakuan EMS

    seperti hasil penelitian pada tanaman kenaf yang menghasilkan jumlah cabang

    yang banyak pada perlakuan EMS 0,7% pada perendaman 4 jam (Arumingtyas

    dan Indriani, 2005), daun variegata pada Arabidopsis pada perlakuan 0,1 pada

    perendaman 6 jam (Chen et al., 2000) dan hasil penelitian Jabeen dan Mirza

    (2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai besar dengan EMS 0,5%

    selama 6 jam, menghasilkan mutan kerdil.

    Perlakuan EMS mengakibatkan beberapa perubahan yang terjadi pada

    fisiologi tanaman antara lain, hasil penelitian Srivastava dan Jitendra (2012),

    perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 3 jam, 5 jam dan 7 jam

    menghasilkan kandungan klorofil tanaman safflower lebih rendah dibandingkan

    kontrol. Kandungan terendah pada perlakuan perendaman selama 7 jam. Hasil

    penelitian lainnya yaitu Pande et al., (2012) menyebutkan kombinasi perlakuan

    mutagen sinar X 25 Kr dan EMS 0,5% pada bunga matahari mengalami

    peningkatan klorofil (Pande et al., 2012).

    Perlakuan EMS juga mengakibatkan perubahan pada genetika tanaman.

    Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian tanaman pisang yang resisten terhadap

    virus pada perlakuan EMS 0,7% dengan perendaman 5 jam (Imelda et al., 2000).

    Penelitian tanaman paprika yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al., 1995).

  • 11

    BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berpikir

    Cabai rawit merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting di

    Indonesia. Kebutuhan cabai rawit tinggi sedangkan produksi nasional tidak

    mampu memenuhi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Rata-

    rata produksi cabai rawit nasional saat ini masih rendah, karena hama dan

    penyakit (Biro Pusat Statistik, 2011).

    Peningkatan produktivitas cabai rawit melalui pemuliaan tanaman,

    diantaranya dengan induksi mutasi. Pemuliaan dengan induksi mutasi dapat

    dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate

    (EMS). EMS merupakan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian

    tanaman dengan induksi mutasi. Keuntungan dari pemuliaan mutasi dengan

    mutagen EMS adalah dapat merubah karakter tanaman cabai rawit seperti waktu

    munculnya bibit, kelulushidupan tanaman, morfologi, fisiologi dan reproduktif

    tanaman cabai rawit. Diharapkan dengan adanya kultivar unggul hasil induksi

    mutasi maka produktivitas cabai rawit menjadi tinggi.

  • 12

    3.2 Konsep Penelitian

    Gambar 3.1 Konsep Penelitian

    3.3 Hipotesis:

    Pemberian 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam

    dapat menyebabkan perbedaan karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif

    tanaman cabai rawit.

    Kebutuhan cabairawit tinggi

    Produksi cabai rawitmasih rendah

    Pemuliaan mutasi

    Mutagen kimia

    EMS

    Karakter tanaman-Munculnya bibit-Kelulushidupan-Morfologi

    -Fisiologi

    - Reproduktif

    Kultivar

    unggul

    Produktivitascabai rawit

    tinggi

    Perendaman EMS1% selama 6 jam, 9jam dan 12 jam

    Seleksi

  • 13

    BAB IV

    METODELOGI PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Rancangan percobaan dalam penelitian disusun berdasarkan rancangan

    acak kelompok (RAK) satu faktor yang terdiri 4 perlakuan yaitu kontrol dan

    perlakuan mutagen kimia EMS 1% dengan lama perendaman berbeda yaitu 6 jam,

    9 jam dan 12 jam. Areal percobaan dibagi ke dalam 6 kelompok (ulangan),

    masing-masing kelompok terdiri dari 4 petak percobaan sesuai dengan jumlah

    perlakuan. Masing-masing perlakuan dan kontrol ditanam 40 bibit dan pada

    masing-masing perlakuan diamati 6 tanaman (6 unit percobaan) yang ditentukan

    secara acak. Keempat perlakuan percobaan ditentukan secara acak pada masing-

    masing kelompok, seperti terlihat pada Gambar 4.1

    Kelompok 1

    Kelompok 2

    K K K K K

    K K K KK

    P6 P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

    P12 P12 P12 P12 P12

    P12 P12 P12 P12 P12

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    P12 P12 P12 P12 P12

    P12 P12 P12 P12 P12

    K K K K K

    K K K K K

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    P6 P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

  • 14

    Kelompok 3

    Kelompok 4

    Kelompok 5

    Kelompok 6

    Gambar 4.1 Denah Percobaan

    Keterangan: K = kontrol (0% EMS)

    P 6 = lama perendaman 6 jam dalam EMS 1%

    P 9 = lama perendaman 9 jam dalam EMS 1%

    P 12 = lama perendaman 12 jam dalam EMS 1%

    P12

    P12P12 P12

    P12 P12

    P12P12

    P12 P12

    P12

    P12

    P12

    P12

    P12P12

    P12

    P12

    P12P12

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    P6

    P12 P12 P12 P12

    P12 P12 P12 P12P12

    P12

    P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

    K K K KK

    K K K K K

    P6 P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    K K K K K

    K K K K K

    P12 P12 P12 P12 P12

    P12 P12 P12 P12 P12

    K K K K K

    K K K KK

    P6 P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    K K K K K

    K K K K K

    P9 P9 P9 P9 P9

    P9 P9 P9 P9 P9

    P6 P6 P6 P6 P6

    P6 P6 P6 P6 P6

  • 15

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    Tahap pembuatan larutan, pemberian perlakuan benih cabai rawit dan

    pengamatan viabilitas polen dan pengujian kandungan klorofil dilakukan di

    Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

    Universitas Hindu Indonesia. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu

    Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Penanaman dan pengamatan

    morfologi tanaman cabai rawit dilakukan di Banjar Sigaran Desa Mekar Bhuana,

    Abiansemal. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 -Juni 2013.

    4.3 Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian dibatasi hanya pada respon tanaman hasil perendaman benih

    dengan EMS 1%. Respon yang diamati yaitu munculnya bibit, kelulushidupan

    tanaman cabai rawit, karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

    rawit. Munculnya bibit meliputi persentase jumlah bibit yang muncul, sedangkan

    kelulushidupan tanaman meliputi persentase tanaman yang mampu hidup pada

    umur 12 MST dan 24 MST setelah tanam. Karakter morfologi meliputi tinggi

    tanaman dan jumlah cabang. Pengamatan karakter morfologi yaitu tinggi tanaman

    dilakukan pada 4 minggu setelah tanam (MST), 10 MST dan 20 MST, sedangkan

    pengamatan jumlah cabang dilakukan pada 10 MST dan 20 MST. Karakter

    fisiologi meliputi kandungan klorofil daun, sedangkan karakter reproduktif

    meliputi: viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman

    berbuah serta jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST sedangkan jumlah total

    buah pada 24 MST.

  • 16

    4.4 Penentuan Sumber Data

    Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah cabai rawit. Ada

    perbedaan dalam pengambilan jumlah sampel pada masing-masing variabel.

    Munculnya bibit digunakan 480 sampel benih cabai rawit. Pengamatan karakter

    morfologi diamati 144 tanaman. Karakter fisiologi masing-masing kelompok

    diambil perwakilan 3 tanaman dari tiap perlakuan pada tiap ulangan secara acak.

    Karakter reproduktif umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah,

    jumlah bunga dan jumlah total buah diamati seluruh sampel. Pengamatan

    viabilitas polen masing-masing kelompok diambil perwakilan 2 tanaman dari tiap

    perlakuan pada tiap ulangan secara acak dan diamati 3 bunga dari masing- masing

    tanaman tersebut.

    4.5 Variabel Penelitian

    Variabel bebas dalam penelitian adalah lama perendaman benih 6 jam, 9

    jam dan 12 jam dalam EMS 1%. Variabel tergantungnya adalah respon tanaman

    yaitu persentase munculnya bibit, persentase kelulushidupan, karakter morfologi,

    fisiologi dan reproduktif tanaman cabai rawit.

    4.5.1 Persentase Munculnya Bibit

    Variabel yang diamati untuk mengetahui persentase munculnya bibit cabai

    rawit diamati setiap hari setelah semai sampai memiliki 2 daun.

    4.5.2 Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

    Variabel yang diamati untuk mengetahui kemampuan hidup tanaman

    cabai rawit adalah persentase tanaman yang hidup setelah 6 bulan.

  • 17

    4.5.3 Morfologi Tanaman Cabai Rawit

    Variabel yang diamati pada karakter morfologi tanaman cabai rawit

    adalah tinggi tanaman dan jumlah cabang setelah perlakuan EMS 1% dengan lama

    perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

    4.5.4 Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

    Variabel yang diamati untuk mengamati fisiologi tanaman cabai rawit

    adalah kandungan klorofil daun tanaman cabai rawit, pada umur 5 minggu setelah

    perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

    4.5.5 Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

    Variabel yang diamati dalam karakter reproduktif tanaman cabai besar

    adalah viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman

    berbuah, jumlah bunga serta jumlah total buah cabai rawit setelah perlakuan EMS

    1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

    4.5.6. Hubungan Antar Karakter

    Hubungan antar karakter yang meliputi interaksi tinggi tanaman dengan

    jumlah cabang dan jumlah cabang dengan jumlah bunga dilakukan dengan

    memplot karakter-karakter tersebut pada sumbu x dan y dan menganalisis

    korelasinya dengan analisis korelasi Pearson. Menurut Sugiyono (2005), kriteria

    yang digunakan untuk menentukan interprestasi koefisien korelasi adalah sebagai

    berikut :

    r = 0,000-0,199 = Korelasi yang sangat rendah

    r = 0,200-0,399 = Korelasi yang rendah

    r = 0,400-0,599 = Korelasi yang sedang

  • 18

    r = 0,600-0,799 = Korelasi yang kuat

    r = 0,800-1,000 = Korelasi yang sangat kuat

    4.6 Bahan Penelitian

    Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih cabai rawit

    Capsicum frutescens L. Bhaskara yang diproduksi PT. BISI Internasional Tbk

    yang diperoleh dari toko pertanian di Denpasar, Ethyl Methane Sulphonate

    (EMS), akuades, buffer fosfat pH 7, air, aceton 80%, tanah dicampur bahan

    organik dengan perbandingan 2:1, pupuk NPK, insektisida, zat warna 2% aceto-

    carmine dan label.

    4.7 Instrumen Penelitian

    Alat yang digunakan pada penelitian adalah pinset, tabung reaksi,

    penggaris, pensil, labu takar, alat-alat pertanian, gelas ukur, spektrofotometer,

    mikroskop, timbangan analitik, pipet tetes, mikropipet, sentrifuge, pipet tip,

    mortar, kaca penutup, gelas ukur, pH meter dan kamera.

    4.8 Prosedur Penelitian

    4.8.1 Pembuatan Buffer Fosfat dan Pembuatan 1% EMS

    Pembuatan 1M buffer fosfat pH 7 dilakukan dengan cara

    mencampurkan 70 ml 1M K2HPO4 dengan 20 ml 1M KH2PO4 lalu pH diukur

    sampai mencapai pH 7. Jika pH belum mencapai nilai 7, maka ditambahkan

    dengan KH2PO4. Konsentrasi buffer fosfat yang digunakan untuk melarutkan

    EMS adalah 0,1M. Untuk membuat buffer fosfat pH 7 dengan konsentrasi

    0.1M, maka dilakukan pengenceran 10 x dari buffer fosfat 1M (Koethoff et

  • 19

    al., 1989). Selanjutnya 1% EMS dibuat dengan cara mengambil 0,05 ml EMS

    dan dijadikan 5 ml dengan buffer fosfat pH 7.

    4.8.2 Pembuatan Zat Warna 2% Aceto-carmine

    Zat warna aceto-carmine dibuat dengan cara melarutkan 0,5 gram

    carmine bubuk dilarutkan dalam 25 ml asam asetat 45%. Selanjutnya diaduk

    dengan batang pengaduk sampai tercampur. Kemudian dipanaskan hingga

    mendidih, didinginkan, kemudian disaring dengan kertas saring (Koethoff et

    al., 1989).

    4.8.3. Pengolahan Lahan

    Tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibuat

    bedengan dengan ukuran lebar 90 cm 120 cm. Pembuatan parit atau saluran

    irigasi dengan ukuran 40 cm. Pemupukan dasar yaitu dengan pupuk kandang,

    berupa kotoran babi disebarkan secara merata pada permukaan tanah

    bedengan. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 15 ton/ha lahan. Selain

    itu, ditambahkan pupuk NPK (1:1:1) sebanyak 180 kg/ha. Kemudian

    bedengan tersebut ditutup plastik mulsa.

    4.8.4. Perlakuan Pemberian EMS dan Penyemaian

    Perlakuan pemberian EMS dilakukan terhadap benih berdasarkan

    metode dari Alcantara et al., (2004). Benih cabai rawit direndam dalam air

    selama 6 jam, selanjutnya direndam EMS 1% yang dilarutkan dalam buffer

    fosfat pH 7, selama 6 jam, 9 jam dan 12 jam. Sebagai kontrol benih

    direndam dalam buffer fosfat pH 7. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

  • 20

    Benih-benih yang telah diperlakukan dicuci dengan air mengalir

    selama 30 menit untuk menghilangkan sisa-sisa mutagen yang menempel pada

    benih. Selanjutnya benih-benih tersebut disemaikan dalam bumbungan yang

    terbuat dari kertas.

    4.8.5. Penanaman di Lapang

    Setelah memiliki 2 daun, bibit dipindahkan ke bedengan.

    Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan anjuran budidaya tanaman

    cabai rawit (Cahyono, 2003). Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 50 x

    60 cm untuk dataran rendah dan 60 x 75 cm untuk dataran tinggi. Tanaman disiram

    setiap hari, diberikan pupuk NPK. Pemupukan dilakukan 4 MST, pemupukan

    susulan kedua dilakukan 10 MST dan pemupukan susulan ketiga dilakukan 16

    MST. Penggunan insektisida sesuai kondisi tanaman. Tanaman cabai rawit

    dipelihara selama 6 bulan.

    4.8.6 Pengamatan Morfologi

    Pengamatan dilakukan mulai munculnya bibit tanaman cabai rawit.

    Pengamatan morfologi meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang. Tinggi

    tanaman ditentukan dengan mengukur mulai dari leher akar sampai titik

    tumbuh tanaman. Jumlah cabang ditentukan dengan cara menghitung jumlah

    cabang yang tumbuh dari batang pokok sampai semua cabang tanaman cabai

    rawit. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu.

    4.8.7 Kandungan Klorofil

    Karakter fisiologi diamati melalui penghitungan kandungan klorofil.

    Penghitungan kandungan klorofil dilakukan menurut metode Lichtenthaler

  • 21

    dan Wellburn (1983). Sampel yang digunakan adalah daun ketiga dari pucuk

    yang sudah berkembang sempurna. Daun ditimbang sebanyak 0,1 g lalu

    digerus dengan mortar, kemudian ditambah aceton 80% sebanyak 3 ml dan

    disentrifuge pada 3000 rpm selama 3 menit. Pellet yang masih dalam tabung

    ditambahkan 1 ml aceton dan disentrifuge kembali. Supernatan yang didapat

    dipindahkan ke labu takar sebelumnya, sampai mencapai 5 ml, kemudian

    diukur absorbansinya pada panjang gelombang 645 nm dan 663 nm.

    Penghitungan kandungan klorofilnya sebagai berikut:

    1. Klorofil a C55 H72O5N4 mg/L

    = 12,7 x E663 2,69 x E645

    2. Klorofil b C55H70O6N4 mg/L

    = 22,9 x E645 4,68 x E663

    3. Klorofil total mg/L

    = 20,2 x E645 + 8,02 x E663

    4.8.8 Pengamatan Karakter Reproduktif

    Karakter reproduksi diamati melalui pengamatan viabilitas polen pada

    tanaman kontrol dan tanaman-tanaman hasil perlakuan EMS. Menurut Tyagi

    (2002), viabilitas polen diamati dengan menggunakan uji warna aceto-

    carmine. Polen dari bunga yang mekar ditaburkan di atas kaca objek dan

    ditetesi dengan 2% aceto-carmine, dan dibiarkan selama 30 menit. Masing-

    masing sampel diwakili dengan menggunakan 3 preparat, diamati dengan satu

    bidang pandang pembesaran 10x40 pada setiap preparat di bawah mikroskop.

  • 22

    Polen yang viabel merupakan polen yang dapat menyerap zat warna

    2% aceto-carmine dengan baik dan memiliki dinding yang tidak mengkerut.

    Polen yang tidak viabel merupakan polen yang tidak dapat menyerap zat

    warna aceto-carmine dan berdinding mengkerut. Selanjutnya dilakukan

    penghitungan persentase viabilitas polen yaitu jumlah polen dengan dinding

    tidak mengkerut dan terwarnai dibagi jumlah polen yang diamati dikalikan

    100%. Karakter reproduktif lain yang diamati antara lain dengan mencatat

    umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan

    jumlah total buah. Selanjutnya jumlah bunga dihitung dengan cara manual

    setiap 2 minggu sedangkan jumlah total buah dihitung secara setiap kali panen

    selama 6 bulan.

    4.9 Metode Pengolahan Data

    Data persentase munculnya bibit dan persentase kelulushidupan

    tanaman dilihat berdasarkan rata-rata persentase munculnya bibit dan jumlah

    tanaman yang bertahan hidup. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang,

    jumlah bunga, jumlah total buah, umur 50% tanaman berbunga, umur 50%

    tanaman berbuah, kandungan klorofil dan persentase viabilitas polen dianalisis

    secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis of Variance). Jika

    berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test. Data yang

    diperoleh diaplikasikan dengan menggunakan program SPSS (Statistical

    Program for Social Sciences) for windows versi 15.0 tahun 2006. Data

    tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

  • 23

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    5.1. Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit

    Hasil pengamatan munculnya bibit pada bumbungan menunjukkan bahwa

    pada kontrol maupun perlakuan, bibit pertama kali muncul pada 8 hari setelah

    semai (HSS) dan jumlah bibit yang terbanyak muncul pada 8 HSS adalah pada

    kontrol. Pada 10 HSS, persentase munculnya bibit pada kontrol dan semua

    perlakuan mencapai 100% (Tabel 5.1).

    Tabel 5.1Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit Setelah Perlakuan EMS 1%

    dengan Lama Perendaman Berbeda.

    Keterangan: P. 6 jam, P. 9 jam dan P. 12 jam = perendaman benihselama 6 jam, 9 jam dan 12 jam dalam 1% EMS.

    5.2 Karakter Pertumbuhan Tanaman Cabai Rawit

    Pengaruh 1% EMS terhadap pertumbuhan tanaman cabai rawit diamati

    pada beberapa karakter seperti tinggi tanaman yang diamati pada 4 MST, 10 MST

    dan 20 MST. Jumlah cabang yang diamati pada 10 MST dan 20 MST. Analisis

    tanah dilakukan di awal penelitian setelah pengolahan lahan. Hasil tersebut

    disajikan pada Lampiran 12.

    Hari Persentase Munculnya BibitKontrol P. 6 jam P. 9 jam P. 12 jam

    8 73.3 31.7 50.0 31.79 85.0 50.0 70.0 53.310 100 100 100 100

  • 24

    Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh

    nyata (P 0,05) terhadap tinggi tanaman pada 4 MST dan 10 MST. Perbedaan

    tersebut terlihat dari hasil uji Duncan, perlakuan perendaman 1% EMS selama 6

    jam, 9 jam dan 12 jam dimana tanaman tertinggi dihasilkan oleh kontrol dan

    tanaman terendah dihasilkan oleh perlakuan perendaman selama 12 jam. Pada 20

    MST, diantara perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda menghasilkan

    tinggi tanaman yang berbeda. Tinggi tanaman antar perlakuan memiliki perbedaan

    yaitu perendaman 6 jam memiliki tanaman tertinggi sedangkan tanaman terendah

    pada perendaman 12 jam (Gambar 5.1).

    Gambar 5.1.Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman.

    Huruf yang sama pada satu garis dalam grafik berarti tidak berbeda nyata(P 0,05)

    Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata

    (P 0,05) terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Jumlah cabang paling

    banyak terdapat pada kontrol pada 10 MST. Semakin lama perendaman bebih

    (d)

    (d)

    (ab)

    (c)

    (c)

    (b)

    (b)

    (ab)

    (a)

    (a)

    (a)

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    4 MST 10 MST 20 MST

    Ting

    gi T

    an

    am

    an

    (cm

    )

    Umur

    KontrolP.6 JamP.9 JamP.12 Jam

    (b)

  • 25

    cabai rawit dengan EMS 1%, jumlah cabang akan semakin sedikit pada 10 MST.

    Pada 20 MST perlakuan perendaman selama 6 jam memiliki jumlah cabang paling

    banyak (Tabel 5.2).

    Tabel 5.2Jumlah Cabang per Tanaman

    Perlakuan 10 Minggu 20 Minggu

    Kontrol 4,3 0,2(c) 20,7 0,5(a)

    P.6 Jam 3,2 0,1(b) 21,6 0,2(b)

    P.9 Jam 2,8 0,0(a) 21,4 0,1(ab)

    P.12 Jam 2,6 0,0(a) 20,9 0,1(ab)

    Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata standar error.Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapada kolom yang sama berarti tidak berbedanyata (P 0,05).

    5.3 Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

    Pergaruh EMS 1% dengan variasi lama perendaman terhadap perubahan

    karakter fisiologis diamati melalui kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil

    total pada tanaman cabai rawit.

    Perlakuan 1% EMS memberikan pengaruh nyata (P 0,05) terhadap

    kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai rawit.

    Perendaman 12 jam memiliki kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

    terendah dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Kandungan

    klorofil b pada perlakuan perendaman 9 jam sama dengan kontrol. Perlakuan

    perendaman selama 6 jam memiliki kandungan klorofil terbanyak (Tabel 5.3).

  • 26

    Tabel 5.3Kandungan Klorofil a, Klorofil b, dan Klorofil Total pada Daun Tanaman Cabai

    Rawit pada 5 MST

    Perlakuan Klorofil a(mg/L) Klorofil b (mg/L) Klorofil total (mg/L)Kontrol 19.3 0.5(b) 19.8 0.7(ab) 39.1 1.1(b)

    P.6 jam 18.5 0.6(b) 20.9 0.8(b) 39.3 0.9(b)P.9 jam 17.9 0.5(b) 20.6 0.7(ab) 38.5 1.2(b)P.12 jam 16.2 0.6(a) 18.0 1.1(a) 34.2 1.4(a)

    Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angka yangdiikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidakberbeda nyata (P 0,05).

    5.4 Hubungan Antar Karakter

    Berdasarkan hasil penelitian ini, selanjutnya dicari hubungan karakter

    morfologi tanaman cabai rawit. Korelasi digunakan untuk mengetahui adanya

    hubungan antara dua variabel pada masing-masing perlakuan 1% EMS dengan

    lama perendaman berbeda. Korelasi positif menyatakan hubungan yang searah

    antara dua variabel, artinya semakin tinggi suatu variabel, maka nilai variabel lain

    pun akan semakin tinggi. Sebaliknya, korelasi negatif menandakan adanya

    hubungan berbalik arah antar dua variabel, yang artinya semakin tinggi suatu

    variabel, nilai variabel lain akan semakin rendah atau sebaliknya. Tabel 5.4

    menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang positif dan signifikan antara

    tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah bunga

    tanaman cabai rawit pada kontrol dan perlakuan 1% EMS dengan perendaman

    berbeda. Tingkat korelasi Pearson yang terjadi antara kedua variabel tesebut

    adalah korelasi kuat sampai dengan sangat kuat. Korelasi yang paling kuat terjadi

  • 27

    antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah

    bunga yang diberi perlakuan 1% EMS perendaman benih cabai selama 9 jam.

    Tabel 5.4Nilai Korelasi Karakter Tanaman Cabai Rawit pada 12 MST

    PerlakuanNilai Korelasi Pearson Antar Karakter

    Tinggi dengan JumlahCabang

    Jumlah Cabang denganJumlah Bunga

    Kontrol 0,626* 0,888*P.6 Jam 0,780* 0,817*P.9 Jam 0,872* 0,958*P.12 Jam 0,805* 0,910*

    *Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.

    5.5 Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

    Pengaruh 1% EMS terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

    diamati pada jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan jumlah total

    buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan umur 50%

    tanaman berbunga dan berbuah serta viabilitas polen.

    Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang berbeda tidak berpengaruh

    nyata (P 0,05) terhadap umur 50% berbunga dan 50% berbuah cabai rawit padaperlakuan dan tanaman kontrol (Tabel 5.5).

    Tabel 5.5Rata-rata Umur 50% Berbunga dan Berbuah

    Perlakuan 50 % Berbunga (Hari) 50% Berbuah (Hari)Kontrol 42,0 0,0(a) 56,0 0,0(a)

    P.6 Jam 42,0 0,0(a) 56,0 0,0(a)

    P.9 Jam 44,3 2,3(a) 56,0 0,0(a)

    P.12 Jam 46,6 2,9(a) 60,6 2,9(a)

    Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P 0,05).

  • 28

    Jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan 1% EMS dengan

    lama perendaman yang berbeda secara umum lebih sedikit dibandingkan kontrol

    pada 10 MST. Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh

    nyata (P 0,05) terhadap jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST. Pada 10 MST

    jumlah bunga paling banyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol, sedangkan pada 20

    MST jumlah bunga paling banyak pada perlakuan perendaman selama 9 jam dan

    tidak berbeda dengan perlakuan lainnya jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel

    5.6).

    Tabel 5.6Jumlah Bunga per Tanaman Cabai Rawit

    Perlakuan 10 Minggu 20 Minggu

    Kontrol 2,6 0,1(b) 13,5 0,2(a)

    P.6 Jam 2,3 0,0(ab) 15,8 0,5(b)

    P.9 Jam 2,3 0,0(a) 16,2 0,3(b)

    P.12 Jam 2,3 0,1(a) 15,4 0,2(b)

    Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P 0,05).

    Secara umum terjadi peningkatan jumlah total buah cabai rawit

    dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang

    berbeda memberikan pengaruh nyata (P 0,05) terhadap jumlah total buah 24

    MST. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada hasil Duncan, yaitu perlakuan 1%

    EMS dengan perendaman berbeda memiliki jumlah total buah yang lebih banyak

    diurutkan seperti berikut 6 jam, 12 jam dan 9 jam dibandingkan dengan kontrol

    (Tabel 5.7).

  • 29

    Tabel 5.7Jumlah Total Buah per Tanaman Cabai Rawit

    Perlakuan 24 Minggu

    Kontrol 52,9 0,9(a)

    P.6 Jam 59,3 0,6(b)

    P.9 Jam 60,1 0,6(b)

    P.12 Jam 59,9 0,5(b)

    Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error.Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata(P 0,05).

    Perlakuan 1 % EMS dengan perendaman berbeda berpengaruh nyata (P

    0,05) terhadap viabilitas polen. Perendaman dengan 1% EMS menyebabkan

    viabilitas polen lebih tinggi dibandingkan pada tanaman kontrol. Perbedaan

    tersebut dapat dilihat pada hasil uji Duncan yaitu persentase viabilitas polen

    perendaman 6 jam paling tinggi tetapi tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam.

    (Tabel 5.8).

    Tabel 5.8Rata-rata Persentase Viabilitas Polen Tanaman Cabai Rawit pada 6 MST

    Perlakuan Viabilitas Polen (%)Kontrol 74.3 0.4(a)

    P.6 jam 81.2 0.7(c)P.9 jam 78.9 0.2(b)P.12 jam 80.6 0.4(c)

    Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P 0,05).

    Gambar 5.2 menunjukkan gambar polen yang viabel dan tidak viabel pada

    bunga tanaman cabai rawit.

  • 30

    Y

    X

    Gambar 5.2Polen Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L.)

    Keterangan: Perbesaran mikroskop 4x10, X adalah polentidak viabel, Y adalah polen viabel.

    5.6 Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

    Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit pada 12

    MST terlihat bahwa perlakuan 1% EMS dengan perendaman 6 jam dan 12 jam

    mampu bertahan hidup 100%, sedangkan pada perlakuan perendaman 9 jam yaitu

    83,33. Pada kontrol persentase kelulushidupan paling kecil yaitu 80,56. Pada 24

    MST, persentase kelulushidupan tanaman cabai rawit mengalami penurunan

    hanya pada kontrol yaitu 72,22 (Tabel 5.9).

    Tabel 5.9Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

    PerlakuanJumlah Tanaman Yang Hidup (%)

    12 Minggu 24 Minggu

    Kontrol 80,56 72,22P.6 Jam 100,00 100,00P.9 Jam 83,33 83,33P.12 Jam 100,00 100,00

  • 31

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    6.1 Persentase Munculnya Bibit

    Hasil penelitian perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda

    menyebabkan terhambatnya muncul bibit jika dibandingkan dengan kontrol,

    namun pada 10 hari setelah semai (HSS) kemunculan bibit dengan perlakuan 1%

    EMS dapat mencapai 100% (Tabel 5.1). Pada 8 HSS perendaman selama 6 jam

    dan 12 jam menghasilkan kemunculan bibit yang lebih rendah dibanding

    perlakuan 9 jam. Hal ini karena benih masih dalam pengaruh sifat racun dari

    EMS (Poerba, 2000). Pada perendaman 9 jam, pada 8 HSS jumlah bibit yang

    muncul lebih banyak dari perlakuan lainnya, yang dapat disebabkan sifat acak dari

    mutasi sehingga tidak menghasilkan pola yang jelas. Walaupun demikian, pada

    10 HSS munculnya bibit dapat mencapai 100% baik pada kontrol maupun

    perlakuan. Hal tersebut karena benih yang diberikan perlakuan mutagen EMS

    dapat beradaptasi dan mampu muncul ke permukaan tanah (Cassaret, 1961).

    Menurut Al-Qurainy dan Khan (2009) faktor yang mendorong proses

    perkecambahan benih hasil perlakuan mutagenik adalah kemampuan benih

    mengembangkan toleransi terhadap efek penghambatan mutagen dan telah

    meningkatkan kondisi fisiologis pada saat berlangsungnya proses perkecambahan,

    sehingga benih yang diberi perlakuan mutagen bisa mengalami perkecambahan

    walaupun lambat.

    Kerusakan fisiologis dapat disebabkan karena kerusakan kromosom dan

    kerusakan sel di luar kromosom. Kerusakan tersebut merupakan gangguan

  • 32

    fisiologis bagi pertumbuhan tanaman. Besarnya kerusakan fisiologis tergantung

    pada besarnya konsentrasi mutagen yang digunakan dan semakin tinggi

    konsentrasi yang digunakan makin tinggi kerusakan fisiologis yang timbul dan

    berakhir kematian. Kerusakan fisiologis hanya terjadi pada generasi M1

    sedangkan mutasi gen, mutasi kromosom dan mutasi sitoplasma akan diturunkan

    pada generasi berikutnya (Mugiono, 2001).

    Perlakuan mutagen akan menyebabkan kerusakan sel atau terhambatnya

    metabolisme sel karena adanya gangguan sintesa RNA sehingga sintesis enzim

    yang diperlukan untuk pertumbuhan terhambat. Adanya gangguan struktur DNA

    akan menyebabkan enzim yang dihasilkan kehilangan fungsinya. Perlakuan

    mutagen dapat menyebabkan enzim yang merangsang pertunasan menjadi tidak

    aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Cassaret,1961).

    Efek EMS dalam menurunkan perkecambahan bisa dihubungkan dengan

    beda potensial air. Perbedaan potensial air di dalam sel dan di luar sel dapat

    menghambat perkecambahan benih karena adanya hambatan penyerapan air.

    Loveless (1991) menegaskan bahwa semakin besar konsentrasi partikel atau zat,

    makin rendah nilai potensial air. Meningkatnya potensial osmotik, EMS akan

    menurunkan potensial air sehingga akan menyulitkan benih mendapatkan air.

    Konsentrasi EMS yang lebih tinggi dapat menurunkan potensial air di luar benih

    dan oleh karena itu benih tidak dapat melakukan imbibisi air yang cukup untuk

    perkecambahan (Singh dan Kole, 2005).

    Jayakumar dan Selvaraj (2003) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi

    EMS dapat menghancurkan promotor pertumbuhan, meningkatkan penghambat

  • 33

    pertumbuhan dan metabolisme benih, dan menyebabkan berbagai penyimpangan

    kromosom. EMS merupakan senyawa yang beracun, sehingga menghambat

    pertumbuhan, tetapi akhirnya benih dapat beradaptasi dan mampu muncul ke

    permukaan tanah. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Pharmawati et al.,

    (2013) pada cabai besar dimana EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam

    menghambat perkecambahan dan hanya mencapai tingkat perkecambahan 964.4

    % pada 10 HSS.

    6.2 Karakter Morfologi Tanaman Cabai Rawit Akibat Pengaruh EMS

    Berdasarkan hasil penelitian pada umur 4 MST dan 10 MST tanaman

    perlakuan perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memiliki tinggi

    tanaman dan jumlah cabang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal

    ini terkait dengan proses munculnya bibit yang dihambat oleh EMS, pada

    pertumbuhan selanjutnya terjadi peningkatan tinggi pada tanaman perlakuan

    dibandingkan dengan kontrol, karena tanaman sudah mampu beradaptasi terhadap

    mutagen EMS (Cassaret, 1961). Hal tersebut terlihat pada 20 MST perlakuan

    perendaman selama 6 jam menghasilkan tanaman tertinggi dengan jumlah cabang

    terbanyak dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Sehingga dapat

    dikatakan bahwa perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam paling

    efektif mempengaruhi tinggi tanaman dan jumlah cabang cabai rawit.

    Efek meningkatkan tinggi ini mungkin terjadi karena perubahan yang

    cepat dalam proses metabolisme bibit dan peningkatan aktivitas promoter

    pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011). Meningkatnya proses metabolisme

    mengakibatkan proses pembelahan sel, pemanjangan sel dan juga pembentukan

  • 34

    jaringan meningkat dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman

    seperti tinggi tanaman (Hermansyah dan Inoriah, 2009). Pertambahan tinggi

    tanaman dapat terjadi karena adanya proses pembelahan sel pada meristem apikal,

    yang ditandai dengan perpanjangan pucuk yang diikuti oleh perkembangannya

    menjadi daun dan batang (Puspita et al., 2010).

    Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yang berbeda berpengaruh

    terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Perlakuan perendaman selama 6 jam

    memiliki jumlah cabang paling banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya

    dan kontrol (Tabel 5.2). Hal ini menunjukkan pengaruh sensitivitas mutagen EMS

    terjadi pada tahap perkembangan tanaman. Sensitivitas mutagenik sangat

    dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman (Deshpande et al., 2010). Hasil

    karakter vegetatif yang bervariasi diduga akibat dari pengaruh mutagen kimia

    yang bersifat acak. Ethyl methane sulphonate menyebabkan mutasi titik melalui

    transisi pada DNA, melalui perubahan pasangan basa GC-AT yang

    mengakibatkan perubahan asam amino (Chopra, 2005).

    Terjadinya perubahan morfologi yang bervariasi pada tanaman cabai rawit

    jika dibandingkan kontrol yang terjadi akibat pengaruh mutagen EMS diharapkan

    mampu menghasilkan keragaman yang besar dan berpeluang terhadap seleksi

    tanaman hasil mutasi untuk meningkatkan produksinya. Jaben dan Mirza (2002)

    menyatakan bahwa penggunaan EMS 0.5% dengan perendaman selama 6 jam

    dapat mempengaruhi mutasi morfologi tanaman cabai besar.

  • 35

    6.3 Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

    Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh

    nyata (P 0,05) terhadap kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

    tanaman cabai rawit (Tabel 5.3). Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

    pada tanaman yang diberi perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kontrol

    yang kandungan klorofilnya paling banyak. Kandungan klorofil a, klorofil b dan

    klorofil total paling rendah didapat pada benih yang diberikan perlakuan selama

    12 jam.

    Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b

    berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya kemudian

    ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya

    akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan

    untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991).

    Peningkatan kandungan klorofil b akan meningkatkan efisiensi fungsi

    antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian

    tanaman terhadap lingkungan dengan radiasi yang rendah juga dicirikan dengan

    membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem

    II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al., 1992).

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 1% EMS menyebabkan

    kandungan klorofil lebih rendah dibandingkan kontrol. Pengujian kandungan

    klorofil dilakukan pada 5 MST yaitu seminggu setelah pemupukan dasar. Menurut

    Hendriyani dan Setiari (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis klorofil

    meliputi: cahaya, gula atau karbohidrat, air, suhu, faktor genetik dan unsur-unsur

  • 36

    nitrogen, magnesium, fosfor, mangan, Cu, Zn, sulfur dan oksigen. Hasil analisis

    tanah pada Lampiran 12, menunjukkan bahwa kandungan posfor tanah sangat

    tinggi. Unsur fosfor komponen penting penyusun senyawa ATP yang berperan

    sebagai sumber energi pada reaksi gelap fotosintesis sedangkan nitrogen dan

    magnesium yang diketahui sebagai unsur yang mutlak harus tersedia pada

    pembentukan klorofil (Dwijoseputro 1986).

    Rendahnya kandungan klorofil pada perlakuan diduga disebabkan oleh

    efek toksik dari EMS yang mengakibatkan perubahan pada basa DNA. Perubahan

    pada gen akan berdampak pada perubahan fungsi sel tanaman (Khan et al., 2009).

    Menurut Lichtenthaler dan Wellburn (1983), mutagen EMS pada perendaman

    yang lama dapat menghambat proses biosintesis klorofil. Hal yang sama dengan

    temuan yang menyatakan bahwa perlakuan konsentrasi dan perendaman mutagen

    EMS yang meningkat mengakibatkan penurunan kandungan klorofil a, klorofil b

    dan total pada tanaman kacang hijau (Svetlana, 2004). Pada hasil penelitian

    Srivastava dan Pandey (2012), menunjukan tanaman safflower (Carthamus

    tinctorius L.) yang diberi perlakuan EMS dengan lama perendaman berbeda

    menghasilkan kandungan klorofil a dan klorofil b, lebih rendah dengan waktu

    perendaman lebih lama. Kandungan klorofil total menurun dari 11.83g/ml pada

    kontrol menjadi 6.36g/ml pada perlakuan selama 7 jam.

  • 37

    Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan temuan yang

    menyatakan bahwa mutagen dapat menyebabkan peningkatan jumlah klorofil

    pada daun (Harahap, 2005). Penelitian Pande et al., (2012) menyebutkan

    kombinasi perlakuan mutagen sinar X 25 Kr dan EMS 0,5% menyebabkan

    terjadinya peningkatan klorofil pada tanaman bunga matahari. Peningkatan

    kandungan klorofil disebabkan karena terjadinya peningkatan kandungan

    karotenoid yang disebabkan kombinasi sinar-X dan EMS menginduksi kerusakan

    pada fotosistem tanaman yang memiliki gejala yang mirip seperti kerusakan

    cahaya pada tanaman, sehingga menyebabkan kandungan karotenoid pada

    tanaman meningkat dan maksimum pada perlakuan 25 Kr + 0,5% EMS. Selain

    itu peningkatan kandungan klorofil dipengaruhi oleh umur tanaman, umur daun

    dan morfologi daun. Biber (2007) menyatakan bahwa umur daun dan tahapan

    fisiologis suatu tanaman merupakan faktor yang menentukan kandungan klorofil.

    6.4 Hubungan Antar Karakter

    Tabel 5.4 tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang

    positif dan signifikan antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang dan jumlah

    cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit pada kontrol dan setiap

    perlakuan perendaman benih cabai dengan EMS 1%. Korelasi Pearson yang

    positif dengan nilai r yang paling kuat terjadi antara tinggi tanaman dengan

    jumlah cabang tanaman rawit yang diberi perlakuan perendaman benih cabai

    dengan EMS 1% selama 9 jam. Semakin tinggi tanaman akan meningkatkan

    pertumbuhan tunas sehingga akan mampu memperbanyak jumlah cabang

    (Hermansyah dan Inoriah, 2009).

  • 38

    Meningkatnya tinggi tanaman sejalan dengan meningkatnya jumlah

    cabang hal ini terjadi karena meningkatnya pembelahan sel pada meristem apikal

    dan perpanjangan sel mengakibatkan pertambahan tinggi tanaman, kemudian

    diikuti oleh pembentukan cabang (Puspita et al., 2010). Adanya dominansi apikal

    pada ujung tanaman saat pertumbuhan tanaman menyebabkan meningkatnya

    tinggi tanaman. Percabangan dapat terjadi karena dominasi apikal yang

    menyebabkan adanya persaingan antara tunas pucuk dengan tunas lateral,

    sehingga pada fase vegetatif tanaman dapat bertambah tinggi disertai

    pembentukan daun dan cabang terminal pada percabangan dikotomi. Pada titik

    tertentu yang jauh dari pucuk tanaman akan muncul juga percabangan lateral.

    Peningkatan jumlah cabang terjadi karena hilangnya dominasi apikal

    mengakibatkan distribusi lateral hormon pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011).

    Korelasi Pearson yang positif r yang paling kuat terjadi antara jumlah

    cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan

    perendaman EMS 1% selama 9 jam. Peningkatan jumlah cabang tanaman juga

    meningkatkan munculnya bunga, sehingga banyaknya cabang akan berpengaruhi

    terhadap banyaknya bunga, sehingga jumlah cabang produktif dapat menghasilkan

    jumlah bunga yang lebih banyak (Sutapradja, 2008).

    6.5 Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

    Pengaruh EMS 1% terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

    yang diamati meliputi jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan untuk

    jumlah total buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan

  • 39

    terhadap viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman

    berbuah.

    Pada penelitian ini perlakuan perendaman berbeda tidak berpengaruh

    terhadap umur 50% berbunga dan umur 50% berbuah. Hal ini disebabkan umur

    berbunga dan berbuah tidak mutlak dipengaruhi oleh perlakuan mutagen, tetapi

    juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada di antaranya suhu, cahaya,

    kelembaban dan curah hujan yang mendukung kondisi lingkungan tanaman cabai

    yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan normal, sehingga mampu

    merangsang pembentukan bunga (Conger et al., 1977). Spesies tanaman memiliki

    kemampuan berbeda dalam menanggapi pengaruh mutagen (Mensah et al., 2007).

    Hal tersebut mengakibatkan umur berbunga dan berbuah dengan perlakuan 1%

    EMS tidak menunjukkan hasil perbedaan yang nyata.

    Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata

    (P 0,05) terhadap jumlah bunga dan jumlah total buah. Pada perlakuan

    perendaman berbeda memiliki jumlah bunga dan jumlah total buah lebih tinggi

    dibandingkan dengan kontrol. Dhakshanamoorthy et al., (2010) menyebutkan

    bahwa hormon florigen dominan bertanggung jawab untuk masa pembungaan dan

    kematangan buah dibandingkan pengaruh mutagen. Jabeen dan Mirza ( 2002),

    menyatakan bahwa mutasi pada gen yang terlibat saat berbunga dan akan

    berpengaruh dalam pengembangan buah. Jabeen dan Mirza (2002), menemukan

    bahwa jumlah maksimum rata-rata buah tercatat pada perlakuan EMS 0,1% dan

    jumlah rata-rata minimal buah tercatat pada tanaman yang diberikan perlakuan

    EMS 0,01%. Peningkatan jumlah buah okra per tanaman dan panjang buah

  • 40

    sebagai akibat iradiasi gamma disebutkan oleh banyak peneliti (Dubey et al.,

    2007; Mishra et al., 2007; Sharma dan Mishra, 2007). Peningkatan jumlah total

    buah per tanaman pada perlakuan 1% EMS menunjukkan keuntungan dari segi

    produksi buah.

    Perlakuan dengan 1% EMS menghasilkan viabilitas polen lebih tinggi

    dibandingkan kontrol. Persentase viabilitas polen perendaman selama 6 jam

    paling tinggi dan tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam (Tabel 5.8). Hasil

    tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama perendaman tertentu dapat

    meningkatkan viabilitas polen tanaman. Menurut Kulkarni (2011) konsentrasi

    EMS 0,1% dapat meningkatkan fertilitas polen Imacrotyloma uniflorum L. hingga

    86,4% apabila perendaman dilakukan selama 6 jam. Sedangkan pada penelitian

    Sakin dan Sencar (2002) penurunan fertilitas gandum durum generasi M1 bisa

    mencapai lebih dari 50% pada perlakuan perendaman benih dengan EMS

    konsentrasi 0,01% selama 3 jam.

    6.6 Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

    Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit dengan

    perlakuan EMS 1 % (Tabel 5.9). Pada minggu ke-24 MST persentase tanaman

    yang hidup berkisar 72 % sampai 100%. Perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam

    menunjukkan persentase tanaman hidup yang paling tinggi yaitu 100%. Pada

    perlakuan perendaman 9 jam menurun menjadi 83,33. Persentase kelulushidupan

    tanaman cabai rawit paling rendah pada kontrol yaitu 72,22. Peningkatan

    kelulushidupan tanaman tersebut disebabkan karena efek perlakuan EMS yang

    diberikan.

  • 41

    Pesentase keluluhidupan yang tinggi pada tanaman dengan perendaman

    EMS mampu bertahan dalam kondisi buruk. Toleransi tanaman terhadap stress

    yang meningkat dibandingkan dengan tanaman normal (Conger et al., 1977).

    Hasil penelitian Wiguna et al.,(2004), persentase tanaman wortel yang hidup

    tertinggi yaitu perlakuan EMS 0,01 dengan perendaman selama 3 jam. Hal ini

    terbalik dengan pendapat Poerba (2000) yang menyatakan persentase tanaman

    tempuyung yang mampu hidup dan menghasilkan bunga setelah diberi perlakuan

    EMS cenderung menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi EMS dan

    konsentrasi letal dicapai pada konsentrasi EMS 0,9% 1,2% dengan lama

    perendaman 3 jam.

  • 42

    BAB VII

    SIMPULAN DAN SARAN

    7.1 Simpulan

    Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan

    bahwa:

    1. Perendaman benih cabai rawit dengan mutagen kimia EMS 1%

    dapat memperlambat munculnya bibit. Perlakuan 1% EMS dengan

    perendaman berbeda memberikan efek positif terhadap tinggi

    tanaman dan jumlah cabang pada perlakuan perendaman 6 jam.

    Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda meningkatkan

    kelulushidupan tanaman.

    2. Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai

    rawit mengalami penurunan akibat perlakuan 1% EMS, kandungan

    terendah dihasilkan pada perlakuan perendaman selama 12 jam.

    3. Perlakuan perendaman 1% EMS tidak berpengaruh pada umur 50%

    berbunga dan berbuah. Peningkatan jumlah bunga dan jumlah total

    buah tanaman cabai rawit terjadi pada perlakuan perendaman.

    Persentase viabilitas polen paling tinggi pada perendaman 6 jam.

    7.2 Saran

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk

    melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlakuan perendaman benih dalam

    1% EMS terhadap karakter anatomi dan molekuler tanaman cabai rawit.

  • 43

    Penanaman generasi kedua perlu dilakukan untuk menguji segregasi sifat dan

    melakukan seleksi.

  • 44

    DAFTAR PUSTAKA

    Alcantara, T.P., Bosland P.W., and Smith, D.W. 1996. Ethyl Methane SulfonateInduced Mutagenesis of Capsicum annuum. Journal Heredity. 87 (2):3941.

    Alka and Khan, S. 2011. Induced Variation in Quantitative Traits Due toChemical Mutagen (Hydrazine Hydrate) Treatment in Lentil (Lensculinaris Medik.). Indian Stream Researh Journal. 1 (7):1-11.

    Al-Qurainy, F., and Khan, S. 2009. Mutagenic Effects of Sodium Azide and itsApplication in Crop Improvement. World Applied Sciences Journal. 7 (2):220-226.

    Arumingtyas E., dan Indriyani, S. 2005. Induksi Viabilitas Genetika PercabanganTanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan Mutagen Kimia EthylMethane Sulfonate (EMS). Natural Journal. 8 (1):57-71.

    Ashok, Y.P., Sharma,P., and Yadav, A. 1995. Effect of Different Ethyl MethaneSulfonate Treatments on Pollen Viability and Fruit Rot Incidence in BellPepper. Annal of Agricultural Research. 16 (3):442-444.

    Biber, P.D. 2007. Evaluating a Chlorophyll Content Meter on Three CoastalWetland Plant Species. Journal of Agricultural Food and EnvironmentalSciences. 1 (2):1-11.

    Biro Pusat Statistik. 2011. Production of Fruits in Indonesia. Jakarta: Biro PusatStatistik.p.34-35.

    Brookes, M. 1998. Day of the Mutators. New Scientist. 2 (1):38-42.

    Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.28-32.

    Cassaret, A. P. 1961. Radiation Biology. Preatice. Hall Inc. Englewood Clif : NewJersey. Dalam Hartati, S. 2000. Penampilan Genotip Tanaman Tomat(Lycopersicum esculentum Mill.) Hasil Mutasi Buatan pada Kondisi StressAir dan Kondisi Optimal. Agrosains. 2 (2):79-82.

    Chen, M., Choi,Y., and Rodermel, D.F. 2000. Mutation in the Arabidosis VAR2Locus Leaf Variegations Due to the Loss of Chloroplast FtsH protease.Plant Journal. 22 (7):303-313.

    Chopra, V.L. 2005. Mutagenesis: Investigating the Process and Processing theOutcome for Crop Improvement. Current Science. 89 (2):353-359.

  • 45

    Conger, B.V., Konzak, C.F., and Nilan, R.A. 1977. Radiation sensitivity andmodifying factors. Manual on Mutation Breeding, 2nd Ed. (TechnicalReports Series No. 119), IAEA, Vienna.p.40.

    Deshpande, K.N., Mehetre, S.S., and Pingle, S.D. 2010. Effect of DifferentMutagens for Induction of Mutations in Mulberry. Asian Journal BiologyScience. 10 (1):104-108.

    Dhakshanamoorthy, D., Selvaraj, R., and Chidambaram, A. 2010. Physical andChemical Mutagenesis in Jatropha curcas L. to Induce Variability in SeedGermination, Growth and Yield Traits. Journal Plant Biology. 55 (2):113-125.

    Dubey A.K., Yadav, J.R., and Singh, B. 2007. Studies on Induced Mutations byGamma Irradiation in Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monch.).Progressive Agriculture. 7 (2):46-48.

    Dwijoseputro G. 1994. Pengantar fisiologi tumbuhan. Jakarta : Gramedia.p.36.

    Harahap F. 2005. Induksi Variasi Genetik Tanaman Manggis (Garciniamangostana) dengan Radiasi Sinar Gamma.[Disertasi]. Bogor : InstitutPertanian Bogor.

    Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Yayasan SaranaWana Jaya.p.38-40

    Hendriyani, I.S., dan Setiari, N. 2009. Kandungan Klorofil dan PertumbuhanKacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yangBerbeda. Journal Sains and Mathematics. 17 (3):145-150.

    Hermansyah, Y., dan Inoriah, E. 2009. Penggunaan Pupuk Daun dan ManipulasiJumlah Cabang yang Ditinggalkan pada Panen Kedua Tanaman Nilam.Akta Agrosia. 12 (2):194-203.

    Hidayat, E. B. 1994. Sonchus L. In: Siernonsma, J .S. and Piluek, K. (ed): PlantResources of South East Asia. Bogor Indonesia: PROSEA. p.260-262.

    Hidema, J., Makino, A., Kurita, Y., Mae, T., and Ohjima, K. 1992. Changes in theLevel of Chlorophyll and Light-harvesting Chlorophyll a/b Protein PS IIin Rice Leaves Agent Under Different Irradiances from Full ExpansionThrough Senescense. Plant and Cell Physiology. 33 (8):1209-1214.

    IAEA, 1997. Manual on Mutation Breeding. Technical Report Series, No.119.Vienna: Internasional Atomic Energy Agency.p.98-103.

  • 46

    Imelda, M., Deswina, P., Hartati, S., Estiati, A., and Atmowijoyo, S. 2000.Chemical Mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy TopVirus Resistence in Banana. Annales Bogorienses. 38 (3):205-211.

    Jabeen, N., and Mirza, B. 2002. Ethyl Methane Sulfonate Enhances GeneticVariability in Capsicum annuum. Asian Journal of Plant Sciences. 1 (4):425-428.

    Jayakumar S., and Selvaraj R. 2003. Mutagenic Effectiveness and Efficiency ofGamma Rays and Ethyl Methane Sulphonate in Sunflower (Helianthusannus L.). Madras Jurnal Agriculture. 90 (1):574-576.

    Koethoff, M., Sandel. E.B., and Merhan, E.J. 1989. Quantitative ChemicalAnalysis. Fourth Edition, New York : Macmillan Publishing.p.36-39.

    Kulkami, G. B. 2011. Efect of Mutagen on Pollen Fertility and Other Paramenterin Horse Gram (Imacrotyloma uniflorum (Lam) Verdcourt). BioscienceDiscovery. 2 (1):146-150.

    Kumar, G., and Yadav, R.S. 2010. EMS Induced Genomic Disorders in Sesame(Sesamum indicum L.). Romanian Journal Of Biology Plant Biology. 55(2):97104.

    Lichtenthaler, H.K., and Wellburn, R.R. 1983. Determination of TotalCarotenoids and Chlorophylls a and b of Leaf Extracts in DifferentSolvents. Biochemical Society Transaction. 11 (7):591-592.

    Loveless, A.R. 1991. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik.Jilid 1.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.p.33-35.

    Mahandjiev, A., Kosturkova, G., and Mihov, M. 2001. Enrichment of Pisumsativum Gene Resources through Combined use of Physical and ChemicalMutagens. Israel Journal of Plant Sciences. 49 (4):279-284.

    Mensah, J.K., and Obadoni, B. 2007. Effects of Sodium Azide on YieldParameters of Groundnut (Arachis hypogaea L.). African Journal ofBiotechnology. 6 (6):668-671.

    Mishra, M.N., Hina, Q., and Shivali, M. 2007. Macro and Micro Mutations, inGamma Rays Induced M2 Populations of Okra (Abelmoschus esculentus(L) Moench). Journal Plant Sciences. 2 (1):44-47.

    Mugiono. 2001. Pemuliaan Tanaman Dengan Teknik Mutasi. Badan TenagaNuklir Nasional, Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta.p.17-19.

  • 47

    Pande, S., and Khetmalas, M. 2012. Biological Effect of Sodium Azide andColchicine on Seed Germination and Callus Induction in Steviarebaudiana. Asian Journal of Experimental Biological Sciences. 3 (1): 93-98.

    Pharmawati M., Defiani M.R., and Suada I.K. 2013. Ethyl MethanesulfonateDelayed Germination and Altered Seedling Morphology of Capsicumannuum L. Proceedings 4th International Conference on Biosciences andBiotechnology.

    Pitojo, S. 2003. Benih Cabai. Yogyakarta: Kanisius.p.23-24.

    Poerba Y.S. 2000. Pengaruh Mutagen Ethyl Methan Sulfonate (EMS) TerhadapPertumbuhan Sonchus arvensis (L.) Pada Generasi M1. Seminar NasionalBiologi XVI. Bandung.p.25-32.

    Purwati, R.D., Budi, U., dan Sudarsono, S. 2007. Penggunaan Asam Fusaratdalam Seleksi in vitro untuk Resistensi terhadap Fusarium oxysporum f.sp.cubense. Jurnal Littri. 7 (2):80-91.

    Purwati, R.D., Sudjindro, K.E., dan Sudarsono, S. 2008. Keragaman GenetikaVarian Abaka yang Diinduksi dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS).Jurnal Littri. 15 (4):152-161.

    Puspita, D. S., Ashari, S., dan Haryono, D. 2010. Respon Awal PertumbuhanVegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap PemberianPupuk Anorganik. Malang : Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.p.21-24.

    Rukmana, R.H 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.31-33.

    Sakin M. A and Sencar. 2002. The Effect of Different Doses of Gamma Ray andEMS on Formation of Chlorophyll Mutation in Durum Wheat (Trticumdurum Desf.). Tarim Bilimleri Dergisi. 3 (1):15-21.

    Salisbury, F. B., dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. (Lukman,D.R dan Sumaryono). Bandung: ITB.p.343.

    Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.p.32-35.

    Setiadi, 1987. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.p.27-29.

    Sharma B.K., and Mishra, M.N. 2007. Micro-Mutations for Fruit Number, FruitLength and Fruit Yield Characters in Gamma-Irradiated Generation of

  • 48

    ANKUR-40 Variety of Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monech).Journal of Horticulture and Forestry. 2 (3):038-051.

    Singh, R., and Kole, C.R. 2005. Effect of Mutagenic Treatments with EMS onGermination and some Seedling Parameters in Mungbean. Crop Research.30 (2):236-240.

    Soeranto, H. 2003. Peran IPTEK Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman untukMendukung Industri Pertanian. Jakarta: Puslitbang Teknologi Isotop danRadiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional.p.308-316.

    Srivastava, P., and Pandey, J. 2012. LICF Spectrum as a Fast Detector ofChlorophyll Damage in Safflower Growing under Mutagenic Stress.World Journal of Agricultural Sciences. 8 (3):322-325.

    Sudiono, Yasin, N., Hendrastuti, S., dan Hidayat, P. 2005. Penyebaran danDeteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab Penyakit Kuning padaTanaman Cabai di Sumatera. Jurnal Hama dan Penyakit TumbuhanTropika. 5 (2):113-121.

    Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : PT. Alfabeta.p.20-23.

    Sutapradja, H. 2008. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat Kultivar Intan danMutiara pada Berbagai Jenis Tanah. Jurnal Hortikultura. 18 (2):160-164.

    Svetlana, D.L., 2004. Induction of Chlorophyll Tool for Detecting Differences andChanges of Mutants in Common Bean Under the Action of ChlorophyllContent in Plant Species and Leaf Tissue. Chemical Mutagens ENU andEMS. Journal of Central European Agriculture. 5 (2):85-90.

    Syukur, M., Sujiprihati, S., Koswara, J., dan Widodo, J. 2009. Ketahanan terhadapAntraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum padaBeberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya denganKandungan Kapsaicin dan Peroksidase. Jurnal Agronomi Indonesia. 37(3):233-239.

    Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. Tokyo: The Benyamin/CummingPublishing Company.p.219-247.

    Tyagi, A.P. 2002. Cytogenetics and Reproductive Biology of Some BELE(Abelmoschus manihot Linn.) Cultivars. Journal Natural Science. 20 (1):30-33.

    Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application.New York : Cambridge University Press.p.53-55.

  • 49

    Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1992. Tanaman BerkhasiatObat di Indonesia. Jilid I Jakarta: Pustaka Kartini.p.21-25.

    Yanti, Y. 2007. Morphologycal Variation Planlet Raja SerehBanana Treatmentsof Ethyl Methane Sulphonate Muthagen Throuhg in vitro. The Third AsianConference on Plant Pathology. Yogyakarta.p. 467-471.

    Zhu, X.D., Chen, H.Q., and Shan, J.X. 2006. Nuclear Techniques for RiceImprovement and Mutant Induction in China National Rice ResearchInstitute. Plant Mutation Reports. 3 (1):7-10.

  • 50

    LAMPIRAN

    Lampiran 1. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 4 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikn

    Perlakuan 3 189,283 63,094 95,30 0,000*Kelompok 5 1,884 0,377 0,569 0,723

    Galat 135 89,332 0,662Total 143 280,498

    Lampiran 2. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 10 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 873,668 291,229 76,289 0,000*Kelompok 5 216,396 43,279 11,337 0,000*

    Galat 135 515,354 3,817Total 143 1605,438

    Lampiran 3. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 20 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 142,377 47,459 2,615 0,054Kelompok 5 734,765 146,953 8,096 0,000*

    Galat 120 2178,074 18,151Total 128 3054,326

    Lampiran 4. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 10 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 59,91 19,97 39,044 0,000*Kelompok 5 29,201 5,84 11,419 0,000*

    Galat 135 69,049 0,511Total 143 158,16

  • 51

    Lampiran 5. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 20 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 15,603 5,201 2,255 0,085Kelompok 5 89,339 17,868 7,748 0,000*

    Galat 120 276,741 2,306Total 128 381,349

    Lampiran 6. Hasil ANOVA 50% Berbunga Tanaman Cabai Rawit.

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah

    F Sig.

    Perlakuan 3 22,458 7,486 1,774 0,195Kelompok 5 42,875 8,575 2,032 0,132Galat 15 63,292 4,219Total 24 77763,000

    Lampiran 7. Hasil ANOVA 50% Berbuah Tanaman Cabai Rawit.

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah

    F Sig.

    Pperlakuan 3 98,000 32,667 2,500 0,099Kelompok 5 65,333 13,067 1,000 0,451Galat 15 196,000 13,067Total 24 121912,000

    Lampiran 8. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 10 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 2,965 0,988 2,438 0,067Kelompok 5 11,451 2,29 5,648 0,000*

    Galat 135 54,743 0,406Total 143 69,16

  • 52

    Lampiran 9. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 20 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah F Signifikan

    Perlakuan 3 13,333 4,444 3,067 0,031*Kelompok 5 66,196 13,239 9,138 0,000*

    Galat 119 172,414 1,449Total 127 253,617

    Lampiran 10. Hasil ANOVA Jumlah Total Buah Tanaman Cabai Rawit 24 MST

    SumberKeragaman

    DerajatBebas

    JumlahKuadrat

    KuadratTengah

    F Sig.

    Perlakuan 3 1090.704 363.568 25.229 0.000Kelompok 5 219.114 43.823 3.041 0.013Galat 127 1830.156 14.411Total 136 466652.000

  • 53

    Lampiran 11. Foto Penelitian

    Munculnya Bibit pada 9 hari setelah semai (HSS).

    Buah Cabai Rawit.