REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

24
Pengalaman Belajar Lapangan REAKSI ANAFILAKSIS Oleh: Pinky Pradika Shandy dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH 2016

Transcript of REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Page 1: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Pengalaman Belajar Lapangan

REAKSI ANAFILAKSIS

Oleh:

Pinky Pradika Shandy

dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

2016

Page 2: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis

merupakan salah satu kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada

definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan

untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.1

Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan

mediator inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan

juga kemokin.2 Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus,

vasodilatasi, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya

menimbulkan gambaran urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi dan juga

hipotensi.3

Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang

dimiliki seorang pasien.1 Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang

dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, namun pada umumnya terdapat beberapa

alergen seperti makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari hewan, latex, dan

injeksi alergen saat immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak

ditemukan adanya pencetus.2-5

Kasus alergi, terutama di Inggris tergolong banyak, dimana menjangkit sekitar

30% dewasa dan 40% anak-anak.6 Insiden anafilaksis sendiri kurang dapat

diperkirakan karena tidak adanya definisi pasti sehingga sering menimbulkan

diagnosis yang kurang tepat. Namun berdasar review dari literatur American

College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis

kejadian anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan kini diperkirakan semakin

meningkat.7,8

Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana sebagian kasus

kematian muncul dalalm waktu satu jam setelah paparan alergen yang disebabkan

oleh edema saluran pernafasan bagian atas dan spasme bronkus, ataupun

hipotensi dan kegagalan sirkulasi.9-12

Meskipun angka mortalitas dari anafilaksis

rendah, namun penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan.

Page 3: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan

yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.

Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasar

kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara

tunggal, namun dalam praktek sehari-hari sering ditemukan adanya dua atau lebih

jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan.13

Reaksi anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul

segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh.13

Terdapat berbagai definisi

mengenai anafilaksis, namun pada umumnya para pakar sepakat bahwa

anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dan dapat mengancam

nyawa. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi dikenal dengan

reaksi anafilaktik, sedangkan reaksi yang ridak melalui reaksi imunologik disebut

reaksi anafilaktoid, namun karena gejala yang timbul maupun pengobatannya

tidak dapat dibedakan, maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.14

2.2 ETIOLOGI

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE ataupun

melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari anafilaksis,

terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan

tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa

kejadian tidak diketahui penyebabnya.14

Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada

orang dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan menjadi

pemicu, namun beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga obat

seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi penyebab

tersering dari anafilaksis.15

Tabel 1. Beberapa alergen pada kasus anafilaksis.15,16

Page 4: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Sengatan hewan Tawon, lebah

Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang almond, kacang brazil, hazel

Makanan Susu sapi, telur, ikan, lobster, kepiting, udang, cumi-cumi, buncis,

krustasea, pisang, siput, daging ayam, daging kalkun, daging babi

Antibiotik Penisilin, cephalosporin, amphotericin, ciprofloxacin, vancomycin

Obat anestesi Suxamethonium, atracurium, obat-obatan induksi

Obat lainnya NSAID, ACEI, gelatin, protamin, vitamin K, etoposide, acetazolamide,

pethidine, anestesi lokal, diamorphine, streptokinase

Kontras Iodinated, technetium, fluorescein

Lainnya Latex, cat rambut, hydatid

2.3 PATOFISIOLOGI

2.3.1 Reaksi tipe I

Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi

anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam

tubuh. Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh

fagosit, diproses dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel

yang akan melepas sitokin dan merangsang sel B untuk membentuk IgE.

IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast,

basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang

sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di

permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast.

Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang

akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin,

mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari

metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi

tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala

yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial,

rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.13

2.3.2 Reaksi tipe II

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG

atau IgM karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya

dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu

sel sendiri juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan

sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe

II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus

anemia hemolitik. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun

Page 5: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme

ini.13

2.3.3 Reaksi tipe III

Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya

endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.

Antibodi yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks

tersebut akan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan

berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang

dikerahkan ke tempat tersebut nantinya akan merusak jaringan sekitar.

Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten

seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora jamur, atau bahkan dari

jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun.13

2.3.4 Reaksi tipe IV

Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga

disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi

menjadi delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran

CD4+ dan T cell mediated cytolysis dengan peran CD8

+.13

Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel

efektor. Sel tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan

mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan

pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk makrofag yang teraktivasi

seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan

sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin,

dermatitis kontak, dan reaksi granuloma.13

Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh

karena itu reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja

dimana kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari CD8+ yang langsung

membunuh sel target. Sebagai contoh pada infeksi virus hepatitis, virus

tersebut tidak bersifat sitopatik namun kerusakan yang ada ditimbulkan oleh

respon cytotoxic T lymphocyte terhadap hepatosit yang terinfeksi.13

2.4 DIAGNOSIS

Page 6: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup beberapa organ, dimana gejala-

gejala dapat dilihat pada Tabel 2.17

Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan

berdasarkan pada tanda klinis dan gejala yang timbul dimana kriteria Sampson

yang telah dipublikasi dapat dilihat pada Tabel 3.18

Tabel 2. Tanda dan gejala dari anafilaksis.17

Kulit

Urtikaria

Angioedema

Eritema

Pruritus

Gastrointestinal

Mual

Muntah

Nyeri perut

Diare

Saluran Napas Bagian Atas

Kongesti

Suara serak

Bersin

Batuk

Orofaringeal atau laringeal edema

Saluran Napas Bagian Bawah

Spasme bronkus

Mengi

Dada terasa terikat

Neurologi

Kepala terasa ringan

Pusing

Bingung

Oral

Gatal

Gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau

palatum

Lainnya

Ansietas

Kardiovaskuler

Hipotensi

Pusing

Sinkop

Takikardia

Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari

anafilaksis. Informasi mengenai manifestasi klinis seperti urtikaria, angioedema,

obstruksi jalan nafas, dan juga paparan alergen sebelum gejala seperti makanan,

obat, ataupun gigitan serangga perlu diperoleh melalui anamnesis. Tidak adanya

manifestasi pada kulit menimbulkan keraguan dalam diagnosis anafilaksis, namun

tidak adanya manifestasi tersebut tidak dapat secara langsung menyingkirkan

diagnosa anafilaksis.17

Penyebab dari munculnya suatu anafilaksis dapat diketahui dengan pemeriksaan

IgE in vitro atau skin test. Diagnosis klinis dari reaksi ini dapat didukung dengan

adanya peningkatan konsentrasi sel mast dan juga mediator basofil seperti

histamin pada plasma atau tryptase total baik dalam serum atau plasma.17

Tabel 3. Kriteria klinis untuk anafilaksis.18

Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah ini, sangat mendukung diagnosa

anafilaksis

1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit, jaringan

mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir-

lidah-uvula)

Page 7: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Ditambah dengan minimal satu dari:

Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,

hypoxemia)

Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,

sinkop, inkontinensia)

2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang dicurigai

(menit-beberapa jam)

Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan, bengkak pada

bibir-lidah-uvula)

Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,

hypoxemia)

Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,

sinkop, inkontinensia)

Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)

3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya

Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik menurun >30%**

Dewasa: sistolik <90mmHg atau penurunan sistolik >30% dari baseline

*PEF : Peak Expiratory Flow

**Definisi tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak

1 bulan-<1tahun : <70mmHg

1-10 tahun: kurang dari (70mmHg + [2 x usia])

11-17 tahun : <90mmHg

2.5 TATALAKSANA

Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan airway,

breathing dan circulation. Saat seorang pasien memenuhi kriteria, pemberian

epinephrine harus segera diberikan karena merupakan terapi utama anafilaksis.18

Epinephrine 1:1000 diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,01 mg/kg

untuk anak-anak dengan dosis maksismum 0,5mg atau 0,3-0,5mg untuk dewasa,

dapat diulang setiap 5-15 menit bila dibutuhkan.18,19

Dosis tersebut

direkomendasikan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah.

Pemberian melalui rute intra muskuler terutama pada anterolateral paha dikatakan

dapat meningkatkan konsentrasi epinephrine dalam darah dengan waktu yang

lebih cepat bila dibandingkan dengan rute subkutan ataupun intra muskuler pada

deltoid. Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi khusus seperti hipotensi yang

berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada pemberian intra

muskuler ataupun resusitasi cairan. Dosis epinephrine intra vena dapat diberikan

secara bolus 5-10ug (0,2ug/kg) pada kasus hipotensi dan 0,1-05mg pada henti

jantung. Pemberian secara intra vena harus dilakukan dengan hati-hati karena

dapat menyebabkan aritmia sehingga pemasangan monitor jantung sangat

Page 8: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

direkomendasikan. Infus epinephrine dosis rendah yang diberikan secara kontinyu

merupakan pilihan yang sangat aman dan efektif apabila pemberian dengan rute

intra vena harus dilakukan.18

Tabel 4. Diagnosa banding dari anafilaksis.19

Presentasi Diagnosis Banding

Hipotensi Syok septik

Reaksi vasovagal

Syok kardiogenik

Syok hipovolemik

Gangguan pernapasan dengan wheezing atau

stridor

Corpus allienum pada saluran nafas

Asma atau eksaserbasi PPOK

Sindrom disfungsi pita suara

Postprandial collapse Corpus allienum pada saluran nafas

Konsumsi monosodium glutamat

Konsumsi sulfite

Keracunan ikan scombroid

Kemerahan (flushing) Carcinoid

Postmenopausal hot flushes

Sindrom red man (vancomycin)

Lainnya Serangan panik

Systemic mastocytosis

Angioedema herediter

Leukemia dengan produksi histamin

berlebih

Page 9: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau hipoksemia, dianjurkan

pemberian oksigen melalui sungkun non rebreathing ataupun endotracheal tube.

Beta 2 agonis yang diberikan secara inhalan, seperti albuterol, dapat berguna

untuk mengatasi spasme bronkus yang refrakter terhadap epinephrine.18

Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif (10-20ml/kg) apabila kondisi

hipotensi tidak teratasi dengan pemberian epinephrine. Pemberian kristaloid

dalam volume besar diperlukan pada 5-10menit pertama, dan dapat dilanjutkan

dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti noradrenalin, vasopressin, atau

metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang tidak dapat terkoreksi

dengan pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan.18

Terapi lini kedua untuk anafilaksis adalah antihistamin (H1 dan H2 antagonis),

dimana obat ini memiliki waktu kerja yang lebih lambat dari epinephrine, dan

hanya memiliki efek minimal dalam tekanan darah. Pemberian antihistamin

sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria, angioema,

ataupun pruritus. Dipenhydramine dapat diberikan secara intra vena atau intra

muskuler dengan dosis 25-50mg, sediaan oral dapat diberikan untuk kasus ringan.

Kombinasi dari H1 dan H2 antagonis akan memiliki hasil yang lebih efektif dalam

penanganan manifestasi pada kulit. Ranitidin dan cimetidine merupakan obat

pilihan dari golongan H2 antagonis.18

Efektivitas pemberian kortikosteroid yang tinggi pada kasus alergi lainnya

membuat para klinisi menggunakan obat ini sebagai terapi pada anafilaksis untuk

mencegah reaksi berkepanjangan ataupun reaksi bifasik. Metilprednisolone dapat

diberikan 1-2mg/kg setiap 6jam atau dapat dipertimbangkan pemberian prednison

oral 1mg/kg dengan dosis maksimal 50mg pada serangan ringan.18

Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, observasi satu hingga 72jam

terhadap pasien harus dilakukan untuk mencegah fase bifasik yang muncul karena

efek epinephrine yang sudah mulai hilang. Munculnya fase bifasik pada

anafilaksis dilaporkan pada 1-20% kasus, terutama serangan berat. Keterlambatan

pemberian epinephrine ataupun diperlukannya dosis ekstra untuk mengontrol

serangan awal memiliki hubungan dengan munculnya fase ini.18

BAB III

LAPORAN KASUS

Page 10: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : IMU

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 72 tahun

Bangsa/Suku : Indonesia/Bali

Agama : Hindu

Alamat : Jl. Letda Made Putra Denpasar

Tgl MRS : 24 Juni 2015 (23:18 WITA)

Tgl Pemeriksaan : 26 Juni 2015

No Rekam Medis : 14063399

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama

Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3 jam SMRS yang dirasakan timbul

mendadak dan dada terasa seperti terikat. Sesak nafas dirasakan sangat berat

hingga sulit untuk menarik nafas dan tidak membaik dengan perubahan posisi.

Sesak dirasakan setelah pasien mengkonsumsi nasi bungkus yang berisi lawar

babi dan makanan olahan babi lainnya pada pukul 19.00 (24/6/2015). Keluhan ini

disertai juga dengan tenggorokan yang terasa kering dan juga terasa seperti

tercekik.

Pasien juga mengeluhkan munculnya kemerahan pada kulit yang sedikit menonjol

dan juga terasa gatal. Kemerahan tersebut muncul setelah keluhan sesak napas,

dan muncul pertama kali pada paha kanan dan kemudian menyebar ke daerah

perut dan dada.

Buang air besar dengan konsistensi cair dialami dua kali oleh pasien, dimana

keluhan tersebut muncul setelah keluhan sesak dialami. BAK dikatakan normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu dan Pengobatan

Pasien memiliki riwayat alergi terhadap penisilin sejak tahun 30 tahun yang lalu

yang diketahui saat ia dirawat di rumahsakit. Tidak ada riwayat alergi makanan

Page 11: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

sebelumnya. Riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, hipertensi, dan diabetes

mellitus disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan cucunya memiliki riwayat alergi terhadap makanan seperti

cumi-cumi, udang, dan kepiting. Reaksi alergi yang muncul pada cucu pasien

berupa kulit kemerahan disertai gatal-gatal dan kelopak mata yang bengkak,

namun tidak sampai sesak nafas.

Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang montir, ia tinggal bersama istri, anak dan cucunya. Pasien

memiliki riwayat merokok sejak muda namun satu tahun yang lalu pasien sudah

berhenti merokok. Pasien juga memiliki riwayat minum minuman beralkohol,

terutama apabila ada acara khusus seperti upacara keagamaan. Riwayat konsumsi

obat-obatan terlarang disangkal.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK (24 Juni 2015)

Status Present

Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 98x/menit

Respirasi : 30x/menit

Temp. aksila : 36,7ºC

VAS : 0/10

Tinggi badan : 163 cm

Berat badan : 52 kg

BMI : 19,62kg/m2

Page 12: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Status General

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor 3mm,

edema palpebra (-/-)

THT

Telinga : serumen (-/-), hiperemi (-/-)

Hidung : septum deviasi (-), sekret (-/-)

Tenggorokan : tonsil (T1/T1) hiperemi (-), faring hiperemi (-)

Mukosa bibir : sianosis (-)

Mulut : perdarahan gusi (-)

Leher : JVP PR + 0cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks : simetris (+), urtikaria (+)

Cor

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas atas ICS II, batas bawah ICS V, batas kanan PSL

D, batas kiri MCL S

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : simetris pada saat statis dan dinamik

Palpasi : vokal fremitus N/N

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi (-), urtikaria (+), bising usus (+) normal

Ekstremitas : hangat + + , edem - -

+ + - -

: urtikaria pada regio femur dekstra

Page 13: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (25 Juni 2015, 00:18 WITA)

Parameter Hasil Satuan Referensi Keterangan

WBC 18,9 103/μL 4,10-11,0 Tinggi

Neutrofil 12,6 66,8 103/μL % 2,50-7,50 47,00-80,00 tinggi

Limfosit 4,36 23,0 103/μL % 1,00-4,00 13,00-40,00 tinggi

Monosit 1,33 7,02 103/μL % 0,10-1,20 2,00-11,00 tinggi

Eosinofil 0,498 2,63 103/μL % 0,00-0,50 0,00-5,00

Basofil 0,099 0,522 103/μL % 0,00-0,10 0,00-2,00

RBC 4,72 103/μL 4,00-5,20

HGB 14,5 g/dL 12,0-16,0

HCT 42,9 % 38,00-46,00

MCV 91,0 fL 80,00-100,00

MCH 30,7 pg 26,00-34,00

MCHC 33,8 g/dL 31,00-36,00

RDW 12,8 % 11,60-14,80

PLT 223 103/μL 140,00-440,00

MPV 7,72 fL 6,80-10,0

Kimia Klinik (25 Juni 2015, 00:18 WITA)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

SGOT 15,1 U/L 11 – 27

SGPT 11,8 U/L 11,0 – 34,0

BS Acak 115 mg/dL 70,00 – 140,00

BUN 17 mg/dL 8,00-23,00

Creatinin 0,92 mg/dL 0,50 – 0,90

Natrium 135 mmol/L 136-145

Kalium 3,6 mmol/L 3,50-5,10

Analisis Gas Darah (25 Juni, 01:42 WITA)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

pH 7,4 7,35-7,45

pCO2 42 mmHg 35,00-45,00

pO2 144 mmHg 80,00-100,00 Tinggi

BEecf 1,2 mmol/L -2 – 2

HCO3- 26 mmol/L 22,00-26,00

SO2c 99 % 95%-100%

TCO2 27,3 mmol/L 24,00-30,00

3.5 DIAGNOSIS KERJA

Reaksi anafilaksis et causa suspek makanan et causa suspek daging babi

Page 14: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

3.6 PENATALAKSANAAN

Planning terapi

Rawat inap

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

Oksigen via nasal kanul 2lpm

Epinephrine 0,3mg IM

Dipenhydramine 3 x 10 mg IV

Metilprednisolone 2 x 62,5mg IV

Planning diagnostik

IgE total

Planning monitoring

Vital sign dan keluhan

Page 15: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

BAB IV

DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH

4.1 ALUR KUNJUNGAN RUMAH

Kunjungan rumah dilakukan pada Selasa, 30 Juni 2015 ke tempat tinggal pasien

yang berada di Jalan Letda Made Putra no. 19, Denpasar. Penulis meminta izin

dan membuat janji terlebih dahulu dengan pasien sebelum dilakukannya

kunjungan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dan

mengamati kondisi pasien secara langsung, menemukan permasalahan yang ada,

bersama-sama mencari bentuk penyelesaian, dan juga untuk memberikan edukasi.

Pada saat kunjungan dilakukan, pasien mengatakan bahwa kondisinya sudah jauh

lebih baik. Adapun intervensi yang dilakukan adalah:

a. Edukasi pada pasien untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang

penyakit yang dialami.

b. Menyadarkan pasien akan pentingnya mengenali faktor pencetus dan

tindakan yang dapat dilakukan apabila terjadi reaksi alergi terutama

anafilaksis.

c. Memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan pasien dengan

memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik.

4.2 DAFTAR PERMASALAHAN

Adapun permasalahan yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam

menghadapi penyakitnya, yaitu:

1. Pasien masih kurang mengerti mengenai penyakitnya, terutama mengenai

perjalanan penyakit, faktor risiko, gejala, komplikasi yang mungkin timbul,

serta penanganannya.

2. Pasien belum bisa mengenali dengan jelas hal-hal apa saja yang dapat

memicu timbulnya reaksi alergi.

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN

4.3.1 Kebutuhan fisik-biomedis

Pemenuhan nutrisi harian pasien ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Page 16: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Pola Makan Pasien beserta Jadwalnya

Jenis Jumlah Jadwal/Hari Jadwal/Minggu

Karbohidrat

Nasi

Roti

Mie

Lainnya

3/4 gelas

-

-

-

3 kali

-

-

-

21 kali

-

-

-

Protein

Hewani

Nabati

1 potong

2 potong

2 kali

2 kali

14 kali

7 kali

Sayur 1 gelas 2 kali 14 kali

Buah 1 buah 1 kali 2 kali

Susu - - -

Menurut pengakuan dari pasien, sehari-harinya pasien makan dengan

frekuensi 2-3 kali per hari. Komposisi makanan setiap kali makan dikatakan

tidak selalu sama, bergantung pada makanan yang tersedia ketika itu.

Adapun gambaran umum menu untuk masing-masing jadwal makan pasien,

sebagai berikut:

Makan pagi : Nasi, tahu, tempe, sayur, dan daging

Makan siang : Nasi, tahu/tempe, sayur, dan daging

Makan malam : Nasi, sayur, dan daging

Sesekali di antara waktu makan, pasien gemar mengonsumsi buah-buahan,

seperti pepaya dan semangka. Setelah pasien mengalami alergi terhadap

daging babi, ia menghindari dan menolak untuk mengkonsumsi daging babi,

sehingga kini ia hanya mengkonsumsi daging ayam.

Analisis kebutuhan kalori

Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan rumus Broca

dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal pasien, sebagai berikut:

Berat badan ideal (BBI) = (tinggi badan (cm) - 100) x 1 kg ± 10%

= (163 - 100) x 1 kg ± 10%

= 56-69 kg

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien,

diperoleh bahwa berat badan pasien saat ini adalah 52 kg dan termasuk

dalam rentang berat badan kurang. Selanjutknya dilakukan penghitungan

Page 17: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

total kebutuhan kalori pasien per hari yang didasarkan atas kebutuhan kalori

basal dan koreksi sesuai dengan kondisi pasien.

1. Kebutuhan kalori basal (jenis kelamin: pria)

= berat badan (kg) x 30 kalori/kgBB

= 56 kg x 30 kalori/kg

= 1680 kkal

2. Koreksi

a. Tingkat aktivitas ringan, sehingga ditambah 20% dari kebutuhan

basal

= 20% x 1680 kkal

= 336 kkal

b. Usia >70 tahun, sehingga dikurangi 20% dari kebutuhan basal

= 20% x 1680 kkal

= 336 kkal

Total kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu:

= kebutuhan basal + koreksi tingkat aktivitas – Koreksi usia

= 1680 kkal + 336 kkal - 336 kkal

= 1680 kkal

Distribusi makanan

Total kebutuhan kalori pasien per harinya dibagi dalam 3 posi makan utama

dan 2 porsi makanan selingan, sebagai berikut:

a. Makan pagi : 20% x 1680 kkal = 336 kkal

b. Makan siang : 30% x 1680 kkal = 504 kkal

c. Makan malam : 25% x 1680 kkal = 420 kkal

d. Selingan makan pagi dan siang : 15% x 1680 kkal = 252 kkal

e. Selingan makan siang dan malam : 10% x 1680 kkal = 168 kkal

Adapun distribusi makanan berdasarkan komponen makanan, sebagai

berikut:

Page 18: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Distribusi Makanan Berdasarkan Komponen Makanan

Waktu

Makan Jumlah

Karbohidrat

(50%)

Protein

(20%)

Lemak

(30%)

Pagi 336 kkal 168 kkal 67,2 kkal 100,8 kkal

Siang 504 kkal 252 kkal 100,8 kkal 151.6 kkal

Malam 420 kkal 210 kkal 84 kkal 126 kkal

Selingan 1 252 kkal 126 kkal 50.4 kkal 75.6 kkal

Selingan 2 168 kkal 84 kkal 33.6 kkal 50.4 kkal

TOTAL 840 kkal 336 kkal 504 kkal

Pemilihan Jenis Makanan

Dengan penghitungan tersebut, maka dicoba untuk memberikan suatu

gambaran pola makanan yang mencakup jenis makanan dan jumlah

makanan. Pemilihan jenis makanan disesuaikan dengan makanan yang

tersedia dan terjangkau bagi pasien serta disesuaikan dengan kondisi

hipersensitivitas pasien yakni menghindari makanan olahan babi dimana hal

tersebut diduga sebagai penyebab reaksi alergi.

Jenis Pilihan Makanan

Waktu

Makan Karbohidrat Protein Lemak

Makan Pagi Roti putih tawar: 2

iris

Nasi putih: ¾ gelas

Singkong: 1

potong

Mi basah : 1,5

gelas

Biskuit: 3 buah

besar

+

Jeruk manis 1 buah

Protein hewani

Ayam tanpa kulit ¾

potong besar

Putih telur ayam 1,5

btr

Protein Nabati

Kacang hijau 1 sdm

Kacang tanah 1 sdm

Tahu 1 potong besar

Tempe 1 potong

sedang

Telur ayam 1,5

butir

Telur bebek asin 1

butir

Hati ayam ½ buah

sedang

Bebek ½ potong

sedang

Daging ayam

dengan kulit ½

ptng sedang

Selingan 1 Biskuit 3 buah besar

Kentang 1,5 buah sedang

Roti putih 2 iris

Susu sapi 1 gelas + biskuit 1 buah besar

Makan siang Nasi putih 1 gelas

Roti tawar 3,5 iris

Mi basah 2,5 gelas

Protein hewani

Ayam tanpa kulit 1,5

potong sedang

Putih telur ayam 3 btr

Protein Nabati

Kacang hijau 2 sdm

Telur ayam 1,5

butir

Telur bebek asin 1,5

butir

Hati ayam 1,5 buah

sedang

Bebek ½ potong

Page 19: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

Akses pelayanan kesehatan

Pasien tinggal di Jalan Letda Made Putra No. 19 Denpasar dengan akses ke

pelayanan kesehatan yang cukup terjangkau karena dekat dengan beberapa

rumah sakit. Selain itu, pasien juga memiliki anggota keluarga yang dapat

mengantarkannya ke pusat layanan kesehatan apabila ia sakit.

Lingkungan

Pasien tinggal sekeluarga yang beralamat di Jalan Letda Made Putra No. 19

Denpasar, dimana lokasi tersebut termasuk lingkungan yang padat

penduduk. Rumah pasien merupakan bangunan permanen dengan luas

sekitar 5 are. Dalam lingkungan rumah pasien terdapat 3 kamar tidur, 1

ruang tamu, 1 kamar mandi, 1 tempat sembahyang, dan 1 ruang kerja yang

berupa bengkel. Keadaan rumah sedikit tidak tertata, hal tersebut dikatakan

karena banyaknya barang yang dimiliki namun tidak ada tempat untuk

menata secara rapi. Air yang digunakan berasal dari sumur, dan sudah

terdapat akses listrik dari PLN.

Kacang tanah 2 sdm

Tahu 1,5 potong

besar

Tempe 2 potong

sedang

sedang

Daging ayam

dengan kulit ½ ptng

sedang

Selingan 2 Biskuit 3 buah besar ½ potong besar pepaya

Roti putih 2 sisir + 1,5 buah jeruk

Singkong 1 potong ½ buah mangga besar

Makan

Malam

Nasi putih ¾ gelas

Roti tawar 3 iris

Mi basah 2 gelas

+

Pepaya ½ potong

besar

Jeruk manis ¾

buah

Protein hewani

Ayam tanpa kulit 1

potong sedang

Putih telur ayam 2 btr

Protein Nabati

Kacang hijau 1½ sdm

Kacang tanah 1½sdm

Tahu 1 potong besar

Tempe 1½ potong

sedang

Telur ayam 1 butir

Telur bebek asin 1

butir

Hati ayam 1 buah

sedang

Bebek ½ potong

sedang

Daging ayam

dengan kulit 1 ptng

sedang

Page 20: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

4.3.2 Kebutuhan bio-psiko-sosial

Lingkungan biologis

Dalam keseharian, pasien dikatakan cukup memperhatikan kebersihan dan

kondisi tubuhnya. Pasien mandi sekitar dua hingga tiga kali dalam sehari,

dan selalu mengganti pakaiannya apabila dirasa sudah kotor. Kecukupan

gizi pasien tergolong gizi sedang, dimana pola makan perlu diperhatikan

dan tetap menghindari segala bentuk olahan babi.

Lingkungan psikososial

Pasien sudah tidak memiliki tanggung jawab sebagai pencari nafkah. Ia

sudah tidak bekerja kurang lebih sejak 10tahun yang lalu, kini pasien dan

istrinya menghabiskan waktunya di area tempat tinggalnya saja. Pasien

mengaku dari pendapatan anak dan menantunya sudah cukup untuk

memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Seluruh anggota keluarga terutama yang tinggal bersama pasien sudah

memahami bahwa daging babi yang diduga sebagai pencetus reaksi alergi

sebelumnya harus dihindari agar reaksi alergi tidak muncul kembali.

Apabila reaksi alergi muncul dikemudian hari, pasien dan keluarga sudah

paham pentingnya mencari akses layanan kesehatan untuk menghindari

berkembangnya reaksi menjadi lebih berat.

4.4 SARAN DAN KIE

Adapun edukasi yang diberikan kepada pasien saat melakukan kunjungan ke

tempat tinggalnya antara lain:

1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang ia derita.

a. Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi imunitas yang patologik yang

terjadi akibat respon tubuh yang berlebihan sehingga menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh. Respon ini dapat dipicu oleh berbagai jenis

alergen yang berbeda-beda pada setiap individu.

b. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi 4 macam, tipe I adalah reaksi

yang sangat cepat (anafilaktik), tipe II, tipe III dan tipe IV yang terjadi

sangat lama (Delayed Type Hypersensitivity), sehingga harus diwaspadai

Page 21: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

rentang waktu setelah paparan alergen hingga terjadinya reaksi

hipersensitivitas tersebut.

c. Penatalaksanaan terbaik dari hipersensitivitas adalah dengan menghindari

alergen karena bila terpapar kemudian terjadi reaksi, terutama syok

anafilaktik maka pertolongan harus segera diberikan karena mengancam

nyawa pasien.

2. Pada pasien, reaksi alergi atau reaksi anafilaksis yang muncul dicurigai

dicetuskan oleh konsumsi makanan yang berasal dari olahan babi. Oleh sebab

itu pasien harus menghindari mengkonsumsinya agar tidak terjadi reaksi

hipersensitivitas. Selain itu pasien juga mengatakan alergi terhadap Penicilin

sehingga perlu juga menghindari obat tersebut.

3. Pasien disarankan untuk mengenali hal-hal lain yang dapat memicu timbulnya

reaksi alergi.

4. Pasien disarankan untuk memberitahukan kepada keluarga tentang alergi yang

ia miliki sehingga selain dari diri sendiri, keluarga juga dapat membantu

pasien untuk menghindari paparan alergen yang dapat memicu alergi pada

pasien ini.

Page 22: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

BAB V

SIMPULAN

Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis

merupakan salah kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada

definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan

untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.

Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang

dimiliki seorang pasien. Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang

dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, pada sepertiga kasus anafilaksis tidak

ditemukan adanya pencetus. Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup

beberapa organ, dimana diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada

tanda klinis dan gejala yang timbul menurut kriteria Sampson.

Tatalaksana dari anafilaksis mencakup airway, breathing, dan ciculation, dan juga

pemberian epinephine. Diphehydramine dan methylprednisolone juga dapat

diberikan untuk penanganan gejala dan juga pencegahan fase bifasik.

Pada kasus ini pasien datang dengan reaksi alergi setelah mengkonsumsi nasi

bungkus yang berisi olahan babi dimana kriteria Sampson sudah terpenuhi,

sehingga ditegakkan diagnosa anafilaksis. Penanganan yang diberikan sudah

sesuai dengan teori, dimana diberikan epinephrine, diphenhydramine dan juga

methylprednisolone. Observasi minimal 72jam juga dilakukan dengan

diberikannya anjuran untuk dirawat di rumahsakit selama kurang lebih 3 hari

untuk menghindari adanya gejala anafilaksis yang berkepanjangan dan juga

munculnya fase bifasik.

Kunjungan rumah dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini dari pasien dan

memberikan edukasi lebih jauh mengenai penyakitnya. Dari hasil kunjungan

didapatkan kondisi pasien baik dan ia sudah berusaha untuk menghindari

konsumsi segala bentuk olahan babi dimana hal tersebut diduga menjadi pencetus

munculnya reaksi alergi. Edukasi terhadap keluarga juga dilakukan untuk

menghindari terulangnya reaksi alergi.

Page 23: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson H, Munoz FA, Campbell R. Second Sympsosium on the

Definition and Management of Anaphylaxis-Second National Institute of

Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network

Symposium. Annals of Emergency Medicine. 2006; 47(4): hal.373-80.

2. Kemp S, Lockey R. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms.

Journal of Allergy Clinical Immunology. 2002; 110(3): hal. 341-8.

3. McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the

evidence? British Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.

4. Sheikh A, Shehata Y, Simons F. Adrenaline for the Treatment of

Anaphylaxis with or without Shock. Cochrane Database of Systematic

Review. 2006.

5. Anonim. The Food Allergy and Anaphylaxis. Common Food Allergens.

Diunduh dari http://www.foodallergy.org/allergens/index.html. (10

September 2015).

6. Corrigan C.Allergy: The Unmet Need-A Blueprint for Better Care. Royal

College of Physicians. 2003

7. Lieberman P. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of The American

College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of

Anaphylaxis Working Group. Annals of Allergy, Asthma and

Immunology. 2006; 97(5): hal.596-02.

8. Winberry S, Lieberman P. Histamines and Antihistamines in Anaphylaxis.

Clinical Allergy and Immunology. 2002; 17: hal.287.

9. Bohlke K, Davis R, DeStefano F, Marcy S. Epidemiology of Anaphylaxis

among Children and Adolescents Enrolled in A Health Maintenance

Orgaization. Journal of Allergy Clinical Immunology. 2004; 113(3):

hal.536-42.

10. Brown A, McKinnon D, Chu K. Emergency Department Anaphylaxis: A

Review of 142 Patients in A Single Year. Journal of Allergy Clinical

Immunology. 2000; 108(5): hal.861-6.

Page 24: REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD

11. Yocum M, Butterfield J, Klein J. Epidemiology of anaphylaxis in Olmsted

Country: A Population-Based Study. Journal of Allergy and Clinical

Immunology. 1999; 104(2): hal.452-6.

12. Sadana A, O’Donnell C, Hunt M, Gavalas M. Managing Acute

Anaphylaxis: Intravenous Adrenaline Should be Considered Because of

The Urgency of The Condition. British Medical Journal. 2000; 320(7239):

hal.937.

13. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Imunologi: Imunologi Dasar. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.237-43.

14. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Kegawatan Medik di

Bidang Ilmu Penyakit Dalam: Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Penyakit

Dalam edisi V. 2009. hal.193-5.

15. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic

Reaction-Guidelines for Healthcare Providers. Journal of Resuscitation.

2008; 77: hal.157-69.

16. Rengganis I, Yunikastuti E. Alergi Imunologi: Alergi Makanan. Buku Ajar

Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.265-7.

17. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma, and Clinical

Immunology. 2011; 7(1).

18. Sampson HA, Furlong AM, Campbel RL dkk. Second Symposium on The

Definition and Management of Anaphylaxis: Summary Report-Second

National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and

Anaphylaxis Network Symposium. Journal of Allergy and Clinical

Immunollogy. 2006; 117; hal.391-7.

19. Tang AW. A Practical Guide to Anaphylaxis. American Family Physician.

2003; 68(7): hal.1325-33.