Untuk orang yang aku cintai SHT - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/TINDAK PIDANA...

95
TINDAK PIDANA MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt) SKRIPSI Oleh : PRASETYO HARIBOWO NIM. E1A006080 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

Transcript of Untuk orang yang aku cintai SHT - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/TINDAK PIDANA...

TINDAK PIDANA MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt)

SKRIPSI

Oleh :

PRASETYO HARIBOWO

NIM. E1A006080

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini di Propinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten

Banyumas terdapat kecenderungan meningkatnya kasus kejahaan terhadap

pencurian kendaraan bermotor (Curanmor). Selain melukai korban kejahatannya,

pelaku juga tega untuk menghilangkan nyawa orang lain. Perhatian yang cukup

besar diberikan oleh media, baik media cetak maupum media elektronik nasional.

Pemberitaan kasus kejahatan curanmor hampr tiap hari menghiasi malahan depan

media cetak nasional maupun disiarkan dalam program khusus kriminal yang

tampil di setiap stasiun televisi nasional.

Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

tidak akan dapat terelakan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan

bermotor yang cukup tinggi di Kabupaten Banyumas. Dinas Perhubungan

Kabupaten Banyumas mengatakan bahwa laju pertumbuhan kendaraan bermotor

sudah sangat tidak sebanding dengna panjang jalan yang ada di Kabupaten

Banyumas khususnya di Kota Purwokerto, bahwa panjang jalan di Purwokerto

sudah tidak begitu edial lagi menampung volume kendaraan bermotor. Keadaan

seperti itu secara tidak langsung akan membawa dampak terhadap perkembangan

Kabupaten Banyumas khususnya kota Purwokerto. Hal ini semakin dapat

dibuktikan dengan terbatasnya lahan parkir kendaraan bermotor, sehingga orang

3

tidak lagi mengindahkan faktor keselamatan dalam memarkir kendaraan

bermotornya. Kelalaian dalam memperhatikan faktor keselamatan akan

memudahkan terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Tempat parkir

pinggir jalan, kantor, sekolah, kampus dan pusat pertokoan merupakan tempat

yang paling rawan dalam terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.

Indikasi meningkatnya kejahatan pencurian kendaraan bermotor tidak

saja disebabkan oleh laju pertumbuhan kendaraan bermotor semata, namun juga

diperhatikan dengan banyaknya laporan kehilangan kendaraan bermotor yang

diterima pihak berwajib dalam hal ini pihak Kepolisian. Laporan yang diterima

pihak Kepolisian Polres Banyumas selama tahun 2012 menyebutkan bahwa

angka kejahatan pencurian kendaraan bermotor cukup tinggi. Angka kejahatan

pencurian kendaraan bermotor di wilayah hokum Polres Banyumas selama tahun

2012 untuk satu komplotan saja telah melukan pencurian sebanyak 26 kali.

(Sumber Polres Banyumas tahun 2012).

Suatu kenyataan hidup dalam perkembangan sejarah manusia tidak ada

seorangpun yang mampu hidup menyendiri terpisah dari kelompok manusia

lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun sifatnya hanya untuk

sementara waktu. Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam

masyarakat, hanya mungkin terjadi dalam dongeng belaka. Namun dalam

kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi (CST. Kansil, 1980: 27).

Sudah menjadi kodrat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat

hidup secara sendiri-sendiri artinya dalam pergaulan hidup manusia sangat

4

tergantung pada manusia lain yaitu hasrat untuk hidup berkelompok, berkumpul,

dan berdamping-dampingan serta saling mengadakan hubungan antar sesamanya

dalam masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus

bekerjasama dan mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Adakalanya dalam hubungan antar manusia tersebut terdapat perbedaan-

perbedaan kepentingan dan tujuan, sehingga menimbulkan pertikaian-pertikaian

antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan bahkan antara

kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lainnya. Keadaan

seperti ini tentu saja dapat mengganggu keserasian hidup bersama yaitu rasa

aman, nyaman dan senantiasa harmonis dalam suatu masyarakat. Untuk itu

dibutuhkan seperangkat aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berfungsi

menciptakan dan menjaga hubungan dalam masyarakat agar selalu harmonis.

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau

larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan

dengan tindak pidana Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana,

barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987: 1).

Perbuatan dapat dikatakan menjadi suatu tindak pidana apabila

mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

a. melawan hukum;

b. merugikan masyarakat;

c. dilarang oleh aturan pidana;

d. pelakunya diancam dengan pidana (M. Sudrajat Bassar, 1982: 2).

5

Berkenaan dengan masalah tindak pidana, maka perlulah disebut tentang

hubungan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Oleh

karena hubungan antara keduanya ini sangat erat sekali, tidak mungkin ada suatu

tindak pidana tanpa perbuatannya karena timbulnya suatu tindak pidana

disebabkan oleh adanya orang yang berbuat. Kedua faktor ini penting untuk

kepentingan penjatuhan pidana, oleh karena tidak setiap orang yang melakukan

tindak pidana akan dijatuhi pidana, kecuali orang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu (M. Sudrajat Bassar, 1986: 4).

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan

tersebut, dinamakan perbuatan pidana. Perbuatan pidana menurut ujud atau

sifatnya bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,

yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum (Moeljatno, 1982: 2).

Suatu tindak pidana atau perbuatan pidana mengandung unsur-unsur.

Menurut Moeljatno unsur-unsur dalam tindak pidana adalah :

1. perbuatan (manusia);

2. yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil) dan

3. bersifat melawan hukum (syarat materiil).

Syarat formil unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan itu

memenuhi rumusan dalam undang-undang pidana. Sedangkan syarat materiil

yaitu bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak patut/tidak boleh

dilakukan masyarakat (Moeljatno, 1982: 22).

6

Dalam hukum pidana dikenal suatu azas yang merupakan dasar dari

hukum pidana yakni azas legalitas yaitu “Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali”, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 1 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut :

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu

dilakukan. (Moeljatno, 1990: 3).

Dalam tindak pidana sifat yang selalu ada adalah sifat melanggar hukum

(wederrecthtelijkeheid, onrechmatigheid). Artinya tidak ada suatu pidana tanpa

adanya sifat melanggar hukum (Prodjodikoro, 1980: 1).

Menurut Muljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan

untuk :

1. menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang,

disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut;

2. menentukan kapan dan dalam hal apa kemudian mereka yang telah

melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang diancamkan;

3. menentukan dengan cara bagaimana mengenakan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut (Bambang Poernomo, 1982 : 22).

Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”

(Keine Strafe ohne Schuld atau Geen Straf zender schuld atau Nulla Poena,

Sine culpa (Culpa di sini dalam arti luas, meliputi kesengajaan). Asas ini tidak

tercantum dalam KUHP Indonesia atau peraturan lain, namun berlakunya asas

tersebut tidak diragukan lagi. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila

7

ada orang yang dijatuhi pidana sama sekali tidak bersalah (Sudarto, 1990 : 1).

Unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri terdiri dari :

1. Kemampuan bertangung jawab si pembuat, artinya keadaan jiwa si

pembuat harus normal.

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan atau kealpaan;

3. Tidak adanya alasan pemaaf. (Sudarto, 1990 : 3).

Lebih lanjut Moeljatno mengatakan, bahwa untuk adanya kemampuan

beratanggung jawab harus ada :

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

buruk sesuai dengan hukum dan melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik buruknya tadi. (Moeljatno, 1987 : 165).

Berdasarkan definisi hukum pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa

Hukum Pidana menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan mana yang dilarang,

juga mengatur keadaan-keadaan yang memungkinkan adanya pemidanaan kepada

orang yang telah melanggar larangan dan bentuk pidana serta cara pengenaan

pidana.

Untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana, dapat

dilihat pada ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum positif) yaitu :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Peraturan-peraturan atau undang-undang yang merupakan ketentuan

hukum pidana di luar KUHP.(M. Sudrajat Bassar, 1986: 3).

8

Pidana sebagai sarana pengenaan atau nestapa terhadap pelaku tindak

pidana, Sudarto mengatakan bahwa :

Hukum Pidana sebagai sarana pertama dalam menanggulangi kejahatan di

samping sebagai kontrol sosial atau pengendalian masyarakat. Sebagai

kontrol sosial, fungsi hukum pidana adalah subsider, artinya hukum

pidana baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai. Sanksi

yang tajam dalam hukum pidana membedakan dari lapangan hukum

lainnya, sehingga hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam

mempertahankan norma yang diakui dalam hukum (Sudarto, 1990 : 10).

Dijelaskan lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa hukum pidana

mempunyai fungsi yang khusus ialah melindungi kepentingan hukum terhadap

perbuatan yang hendak memperkosanya, dengan sanksi berupa pidana (Sudarto,

1990 : 10)

Pengenaan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk

mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di

samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang

kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat.

Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas

lima macam pencurian, yaitu :

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP);

2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP);

3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP);

4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP);

5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).

9

Mengenai hal ini dalam KUHP tindak pidana pencurian selengkapnya

dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai berikut :

Pasal 362 :

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan

hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama

lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan

tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian

biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya

merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan khusus.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya

orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk

mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal

tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau

peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya

(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana

penjara paling lama lima belas tahun.

Dalam tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur “memberatkan”

sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu :

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujun tahun dihukum :

Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat

kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya,

dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan

10

jalan memakai kunci palu, perintah palsu atau pakaian jabatan

palsu.

Berkenaan dengan rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo

mengatakan :

Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau

pencurian dengan kwalifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat.

Apakah yang diartikan dengan pencurian denan pemberatan itu? Ialah

pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :

Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

”Malam” = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah (woning)=

tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk

makan, tidur dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang

malam, tidak masuk pengertian rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu

dsb yang siang malam dipergunakan sebagai kediaman, masuk sebutan

rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya ada

tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu,

pagar hidup, pagar kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga

orang tidak dapat masuk sama sekali. Disini pencuri itu harus betul-betul

masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian disitu. Apabila ia

berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau

mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang

itu, tidak masuk disini. (R. Soesilo, 1988 : 251).

Oleh karena itu dalam Putusan Perkara Pengadilan Negeri Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt terdakwa didakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5

KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Barangsiapa;

2. Mengambil sesuatu barang;

3. yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain;

4. Dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak;

5. Untukdapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai

barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.

Pada Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto No.

69/Pid.B/2012/PN.Pwt, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto telah menyatakan

11

bahwa perbuatan terdakwa Akhmad Rofik als Rofik bin M. Sobichin, telah

memenuhi rumusan delik dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Oleh karena itu

terdakwa kemudian dijatuhi keputusan berupa pidana penjara selama 1(satu)

tahun.

Terhadap perkara tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan tunggal,

yaitu perbuatan terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

meneliti dan mengkaji putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.

69/Pid.B/2012/PN.Pwt. tentang tindak pidana melakukan pencurian dengan

Pemberatan.

B. Perumusan Masalah

Atas dasar latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan unsur–unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP dalam

tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hukum Hakim dalam memutus

perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

12

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan unsur–unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP

dalam tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hukum Hakim dalam

memutus perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan

dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi

khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian

dengan pemberatan.

2. Kegunaan secara praktis

Dalam penegakan hukum diharapkan dapat sebagai sumbangan pemikiran

yang dapat dipakai para pengambilan kebijakan para penegak hukum

khususnya dalam menangani masalah tindak pidana pencurian dengan

pemberatan.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Istilah Tindak Pidana

Seperti diketahui bahwa atas dasar asas konkordansi Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu bernama Wetbook van

Stafrect voor Indonesie merupakan semacam kutipan dari WvS Nederland.

Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa

perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah

disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.

(Teguh Prasetyo, 2010 : 45).

Istilah tindak pidana adalah suatu pengertian yang mendasar dalam

hukum pidana yang ditujukan pada seseorang yang dianggap telah melakukan

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pemakaian istilah demikian, oleh

masing-masing sarjana didefinisikan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena istilah-

istilah tersebut merupakan suatu terjemahan atau alih bahasa dari kata “strafbaar

feit yang berasal dari bahasa Belanda. Strafbaar feit” diartikan secara umum

oleh masyarakat berupa “delik” atau “kajahatan” dan oleh para sarjana diartikan

berbeda-beda yaitu sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana atau tindak

pidana.

14

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan starfbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni keta

delictum.

Menurut Kartanegara istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari

“Strafbaarfeit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang

diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan

perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak

pidana. Di dalam KUHP apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak

dijelaskan secara jelas. (Satochid Kartanegara, 1990: 74).

Penggunaan istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah

Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat

dihukum (PAF. Lamintang, 1984: 72). Sedangkan Sudarto mengatakan :

Strafbaar feit dalam istilah tindak pidana di dalam perundang-undangan

negara kita dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksud juga sebagai

istilah tindak pidana, yaitu.

a. Peristiwa pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1)). b. Perbuatan pidana (UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU mengenai :

tindak sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,

kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, Pasal 5 ayat 3b).

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (UU Darurat No. 2 Tahun

1951 tentang : Perubahan Ordonantie tijdelijke by zondere

strafbepalingen S. 1948 – 17 dan UU RI (dahulu) No. 8 tahun 1948

Pasal 3.

15

d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman (UU Darurat NO. 1951, tentang

Penyelesaian perselisihan perburuhan, Pasal 19, 21, 22).

e. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan

Umum, Pasal 129).

f. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,

penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 1 dan

sebagainya).

g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tnetang

kewajiban kerja bakti dalam rangka permasyarakatan bagi terpidana

karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan, Pasal

1).(Sudarto, 1990: 23).

Dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, dapat dilihat bahwa

pembuat undang-undang pada saat itu masih memakai istilah tindak

pidana yang berbeda-beda dalam setiap undang-undang.

Mengenai istilah tindak pidana itu sendiri Sudarto berpendapat :

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum

Pidana. Tindakan Pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau

verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)

atau secara kriminologis. (Sudarto, 1990: 25).

16

Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” (dalam pidatonya yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, 1955 (Sudarto, 1990: 33). Sedangkan Satochid Kartanegara dalam kuliah-kuliahnya telah menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari Strafbaar feit” (Satochid Kartanegara, tanpa tahun: 74).

Menurut Moeljatno dalam sari Kuliah Hukum Pidana I, Utrecht memakai istilah peritiwa pidana, beliau berpendapat bahwa perbuatan itulah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, sedangkan Tirtahamidjaja (Pokok-pokok Hukum Pidana 1955) memakai istilah “pelanggaran pidana” untuk mengartikan strafbaar feit. (Moeljatno, 1983: 9).

Selanjutnya Moeljatno lebih setuju menggunakan istilah perbuatan pidana, hal ini dikatakan dalam pidato yang berjudul : “Pertanggungjawaban Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”. Beliau mengatakan sebagai berikut.:

Perbuatan itulah keadaan yang dilakukan oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukannya, yang selanjutnya dikatakan “Perbuatan ini menunjuk kepada baik akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. (Sudarto, 1990: 24).

Terhadap rumusan Moeljatno tersebut kiranya belum terdapat pengertian yang jelas (masih abstrak) mengenai tindak pidana dan masih belum tampak batasan terhadap pengertiannya. Namun menurut Bambang Poernomo istilah “Perbuatan Pidana” dari Moeljatno mengandung dua pengertian, yaitu :

1) Adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan;

2) Perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang

merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang

melakukan perbuatan pidananya. (Bambang Poernomo, 1985:

129).

Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana, yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidanan atau sanksi pidana. (Wirjono Prodjodikoro, 1980: 50).

17

Sekalipun pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana ini masih belum ada keseragaman, namun Moeljatno masih tetap mempertahankan pendapatnya dengan mengatakan :

Bahwa istilah perbuatan pidana adalah lebih utama untuk mengartikan strafbaar feit daripada tindak pidana. Bahwa tindak pidana sebagai perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1993: 11).

Dari berbagai perbedaan pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana tersebut, bukan merupakan hal yang prinsip karena yang terpenting menurut Sudarto adalah pengertian atau maksud dari tindak pidana itu sendiri, bukan dari istilahnya. (Sudarto, 1990: 12).

2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana yang merupakan pendapat para sarjana

terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya, ini dikarenakan masing-masing

sarjana memberikan definisi atau pengertian tentang tindak pidana itu

berdasarkan penggunaan sudut pandang yang berbeda-beda.

Pompe dalam bukunya Sudarto mengatakan, tindak pidana sebagai

“suatu tingkah laku yang dalam ketentuan undang-undang dirumuskan sebagai

sesuatu yang dapat dipidana”. (Sudarto, 1990: 3).

Beliau juga membedakan mengenai pengertian tindak pidana

(strafbaar feit) menjadi dua, yaitu :

1. Definisi teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

18

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar

feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-

undang dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum

(Bambang Poernomo, 1985: 91).

Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana

sebagai sanksi atas delik, seangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar

pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.

Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah

yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda

"straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti dikemukakan

oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata "straf" ini dan

istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah

merupakan istilah-istilah konvensional. (Moeljatno, 1987)..

Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan

istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata

"straf" dan diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt

gestraft". Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya

diartikan dengan hukuman-hukuman. (Sudarto, 1990: 24).

Lebih lanjut dikatakan oleh Moeljatno bahwa "dihukum" berarti

"diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman

adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas

19

dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan

hukum perdata. (Muladi & Barda Nawawi Arief, 1992: 1).

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Sudarto mengatakan bahwa

"penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan

sebagai "menetapkan hukum" atau "memutuskan tentang hukuman"

(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya

menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

(Sudarto, 1990: 68).

Di dalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara

pidana, oleh hakim disinonimkan perkataan "penghukuman" dengan

"pemidanaan" atau "pemberian/penjatuhan pidana". Menurut Sudarto dalam

hal ini "penghukuman" mempunyai makna yang sama dengan "sentence" atau

"veroordeling" misalnya dalam pengertian "sentenced conditionally atau

voorwardelyk veroordeeled" yang sama artinya dengan "dihukum pidana

bersyarat". (Sudarto, 1990: 72).

Dari pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa

perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada

pembagian pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya

yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu

dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana.

Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang

20

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu. (Sudarto, 1990: 7).

Saleh mengatakan bahwa, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini

berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada

pembuat delik itu. (Muladi, 1984: 2). Sir Rupert Cross, mengatakan bahwa

pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang

telah dipidana karena suatu kejahatan. (Muladi, 1984: 22).

Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana harus :

a) mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lailn

yang tidak menyenangkan;

b) dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka

benar melakukan tindak pidana;

c) dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar

ketentuan hukum;

d) dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan

suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

(Muladi, 1984: 22).

Sejalan dengan perumusan seperti dikemukakan tersebut di atas Ross

mengatakan, bahwa pidana adalah reaksi sosial yang :

a. Terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu

aturan hukum;

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa

sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-

konsekuensi lain yang tidak menyenangkan, dan menyatakan

pencelaan terhadap si pelanggar (Muladi, 1984: 17).

Definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan

bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :

21

1. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan

penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak

menyenangkan;

2. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan

tindak pidana menurut undang-undang. (Barda Nawawi Arief,

1992: 4).

Sedangkan PAF. Lamintang, mengatakan bahwa pidana itu

sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaaan atau suatu alat

belaka. Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan

tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Pernyataan yang

dikemukakan oleh Lamintang tersebut di atas adalah untuk

mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan

pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan

pemidanaan dengan perkataan "tujuan pidana". (PAF. Lamintang,

1984: 36-37).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam

hukum pidana. Tindak pidana . Tindak pidana adalah merupakan

suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan

jahat” atau “kejahatan” (crime atau vebrechen atau misdaad) yang

bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis)

(Sudarto, 1990: 24). Pengertian unsur tidak pidana hendakya

dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana

22

tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama

(unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya

unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa,

ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. (Sudarto, 1990: 43).

Sedangkan PAF. Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak

pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya

menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. (PAF.

Lamintang, 1984: 123). Yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah

unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan

dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu

yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur

objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan.

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih

mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana

tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa) 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

23

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut

Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di

dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a. sifat melanggar hukum

b. kualitas dari si pelaku

c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. (PAF.

Lamintang, 1984: 184).

Selanjutnya di dalam kuliah-kuliah, Kartanegara menggunakan

perkataan “unsur” sebagaimana kumpulan bagi apa yang disebut bestandel

dan element. (PAF. Lamintang, 1984: 186).Berkaitan dengan pengertian

unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada beberapa pendapat para sarjana

yaitu pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan

menurut aliran dualistis.

Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : a. Simons

Unsur-unsur Strafbaar feit adalah :

1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan.

2) diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).

3) melawan hukum (onrechtmatig).

4) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

5) oleh orang yang mempu bertanggung jawab

(teorekeningsvatbaar persoon).

Simons mengatakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif

dari stafbaar feit adalah :

1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah : perbuatan orang

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

24

3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-

perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat

“openbaar´atau “di muka umum”.

Sedangkan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah :

1. orangnya mampu bertanggung jawab;

2. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus

dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan

atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b. Van Hamel :

Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke

gedraging, onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.

Jadi unsur-unsurnya :

1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang

2. bersifat melawan hukum

3. dilakukan dengan kesalahan dan,

4. patut dipidana.

c. Mezger

Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana,

dengan demikian unsur-unsurnya adalah :

1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau

membiarkan);

2. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat

subjektif)

3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

4. diancam dengan pidana.

d. Wirjono Prodjodikoro

25

Beliau mengemukakan definisi pendek yakni : tindak pidana

berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

(Sudarto, 1990: 25)..

Dari pendapat beberapa sarjana yang beraliran monistis tersebut

dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal

act dan criminal reponsibility.

Sedangkan pandangan para sarjana yang beraliran dualistis tentang

adanya unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

a. Vos

Strafbaar feit hanya berunsurkan :

1. Kelakuan manusia dan

2. Diancam pidana dalam undang-undang

b. Pompe

Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit,

yang diancam pidan adalam ketenteuan undang-undang, jadi

perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,

dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

c. Moeljatno

Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti

tentang strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam

dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk

adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

1) perbuatan (manusia);

2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini

merupakan syarat formal dan

3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada

pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.

(Sudarto, 1990: 26).

Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan Hukum

Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada

26

suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang

berupa pidana (Sudarto, 1990: 5). Jadi pada dasarnya Hukum Pidana

berpokok kepada 2 (dua) hal, ialah :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu

dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang

memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam

itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat

perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karena dalam

perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka

persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua,

ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar

larangan itu.

b. Pidana

Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa

yang disebut tindakan tata tertib (tuchtmaatregel, Masznahme).

Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah

(adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang

dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu :

a. Pidana Pokok,

1) Pidana mati,

2) Pidana penjara,

3) Kurungan,

4) Denda

b. Pidana tambahan:

1) pencabutan hak-hak tertentu,

2) perampasan barang-barang tertentu,

3) pengumuman putusan hakim. (Sudarto, 1990: 5).

Berkaitan dengan pengertian hukum pidana, Simons memberikan

definisi bahwa :

27

1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam

dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.

2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk

penjatuhan pidana, dan;

3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk

penjatuhan dan penerapan pidana. (Sudarto, 1990: 5).

Di samping itu Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana

adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam

kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang

bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa

(penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut. Pengertian hukum

pidana tersebut disebut juga ius poenale. (Sudarto, 1990: 5).

Dari pengertian mengenai hukum pidana tersebut di atas, maka

dapat didefinisikan bahwa Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai

pidana. Kata Pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi

yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak

enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

Adanya berbagai istilah tersebut menurut Poernomo sebagai akibat

dari adanya pengaruh bahasa dari “strafbaar feit” ke dalam bahasa

Indonesia. Namun di sini belum jelas apakah alih bahasa tersebut

dimaksudkan juga untuk mengalihkan makna dari pengertiannya (Bambang

Poernomo, 1982: 125).

Berkaitan dengan fungsi Hukum Pidana, Sudarto mengatakan :

Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi, yaitu

:

28

a. Fungsi hukum pidana yang bersifat umum

Oleh karena hukum pidana merupakan sebagian dari keseluruhan

lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan

fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup

kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang

“sozialrelevent” artinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat

ia pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang

bersangkutan dengan tata susila. Demikian juga hukum pidana.

Sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang sangat tercela

dan berentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum

pidana/negara tidak turun tangan/campur tangan, karena tidak

dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang

benar-benar hidup dalam masyarakat. Di samping itu, seperti

pada lapangan hukum lainnya, hukum pidanapun tidak hanya

mengatur masyarakat begitu saja, akan tetapi juga mengaturnya

secara patut dan bermanfaat (zweckmassing). Ini sejalan dengan

anggapan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk

menuju ke policy dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Dengan demikian hukum pidana harus dapat menyelenggarakan

masyarakat yang tata tenteram kerta raharja.

b. Hukum Pidana yang Bersifat Khusus.

Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak

memperkosanya (Rechtsguterchutz) dengan sanksi yang berupa

pidana yang sifatnya ialah tajam, jika dibandingkan dengan

sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya.

Kepentingan-kepentingan hukum (benda-beda hukum) ini boleh

dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya

masyarakat, negara, dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat

mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang

nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu.

Dengan demikian hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk

menanggulangi perbuatan jahat. (Sudarto, 1990: 7).

3. Rumusan Tindak Pidana

Di dalam KUHP, juga di dalam perundang-undangan pidana yang

lain, tindak pidana dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan

bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau lec certa merupakan hal

29

yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1)

KUHP. Perumusan tindak pidana juga diharapkan sejauh mungkin memenuhi

ketentuan kepastian hukum itu, walaupun sebenarnya hal itu tidak mungkin

sepenuhnya. Untuk benar-benar tahu apa yang dimaksud di dalam pasal-pasal

itu masih diperlukan penafsiran-penafsiran. (Teguh Prasetyo, 2010 : 53-54).

Sebagaimana kita diketahui bahwa sumber hukum pidana ada yang

tertulis dan ada yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar supaya orang

dapat mengetahui bagaimana hukumannya tentnag sesuatu persoalan, maka

aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum

pidana. Permusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat dalam KUHP

dan dalam peraturan undang-undang lainnya.

Menurut Sudarto :

Syarat utama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah

adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam

undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas.

Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian,

undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus

dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang

diperintahkan. (Sudarto, 1990: 30).

Selanjutnya Sudarto mengatakan bahwa perbuatan yang

memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam undang-undang adalah

perbuatan konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifat atau ciri-ciri dari

delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang.

Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik itu. (Sudarto, 1990: 31)

30

Perumusan dari perbuatan yang dapat dipidana itu berupa suatu

larangan atau perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Perintah atau larangan itu bisa disebut norma. Atas pelanggaran norma itu si

pembuat dikenakan sanksi yang disebut pidana. Di dalam KUHP perumusan

delik itu biasanya dimulai dengan “Barang siapa” dan selanjutnya dimuat

lukisan perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang

diperintahkan oleh undang-undang. Lukisan ini merupakan suatu abstraksi

dan tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, seperti telah dikemukakan

di atas.(Sudarto, 1990: 31).

4. Jenis-jenis Tindak Pidana

Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis

tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan

kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar

apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana, (Taguh

Prasetyo, 2010 : 55).

Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan

(misdrijven) dan pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini,

tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah

dianggap demikian adanya. Dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan

31

sedangkan dalam Buku III diatur tentang Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP

tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut,

tetapi KHUP hanya memasukan dalam kelompok pertama kejahatan dan

kelompok kedua pelanggaran. (Sudarto, 1990: 50).

Di dalam ilmu pengetahuan untuk mencari secara intensif ukuran

kedua jenis tindak pidana tersebut, didapati ukuran dua jenis delik, ialah :

1. Perbedaan jenis tindak pidana yang bersifat kualitatif

a. Rechtsdelicten

ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-

undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misal :

pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut

“kejahatan”.

b. wetsdelicten

ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak

pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik,

jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan

pidana. Misal memparkir mobil di sebelah kanan jalan (mala

quita prohibita). Delik-delik semacam ini disebut

“pelanggaran”.

Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima sebab ada

kejahatan, yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum

dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera

dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan

sebaliknya ada “pelanggaran”, yang memang benar-benar

dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena

perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan, maka dicari

ukuran lain (Sudarto, 1990: 33).

Antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif.

Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang

32

dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan

daripada “kajahatan”. (Sudarto, 1990: 51).

2. Delik formil dan delik materiil

Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan

dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik

beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak

dipemasalahsalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya

hanya merupakan aksedentalia (hal yang kebetulan). Sebaliknya di

dalam delik materiil titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik

itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara

melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. (Teguh

Prasetyo, 2010 : 57).

Selanjutnya Sudarto mengatakan :

Delik formil, ialah delik yang perumusannya dititikberatkan pada

perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan

dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik,

misalnya, Pasal 160, 362 KUHP dll..

Sedangkan delik materiil, adalah delik yang permusannya

dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang).

Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu

telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada

percobaan, misal Pasal 338 KUHP. (Sudarto, 1990: 34).

3. Delik Dolus dan Delik Culpa

Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (sculd) .

a. Delik Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan

kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas.

Misalnya kata dengan sengaja,tetapi mungkin juga dengan

kata-kata lain yang senada, seperti “….diketahuinya dan

sebagainya. Contoh : Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338

KUHP.

b. Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu

unsur, misalnya : Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal

359, 360 KUHP. (Sudarto, 1990: 51).

4. Delik Commissionis, delik Ommissionis dan delik

Commissionis perommisionis commissa.

33

Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuatau sesuatu yang

dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya (to commit =

melakukan; to omit = meniadakan).

a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap

larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

penggelapan, penipuan.

b. Delik Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap

perintah, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka

pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong orang yang

memerlukan pertolongan (Pasal 531).

c. Delik Commissionis per ommissionis commissa: delik yang

berupa pelangaran larangan (dua delik commisionis), akan

tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal :

seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi

air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang

menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak

memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).(Sudarto, 1990: 52).

5. Delik tungal dan delik berganda

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan

satu kali

b. Delik berganda : delik baru yang merupakan delik, apabila

dilakukan beberapa kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHAP

(penahanan sebagai kebiasaan) (Sudarto, 1990: 52).

6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak

berlangsung terus (voortdurende en niet voortdurende

(aflopende delicten).

Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri

bahwa keadaan terlarang berlangsung terus, misalnya merampas

kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).

7. Delik aduan dan bukan delik aduan

34

Delik aduan (klachtdelic) adalah tindak pidana yang penututnya

hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang

berkepentingan atau terkena.

a. Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan

apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misal :

penghinaan (Pasal 310 dan seterusnya jo Pasal 319 KUHP),

perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (perampasan dengan

ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2)

(Sudarto, 1990: 63). b. Bukan delik aduan : delik yang penuntutannya tidak

memerlukan adanya pengaduan. (Sudarto, 1990: 53).

8. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan

bukan delik ekonomi.

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal

1 Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955, UU Darurat tentang

Tindak Pidana Ekonomi (Sudarto, 1990: 53).

9. Kejahatan Ringan

Dalam KUHP, kejahatan-kejahatan ringan antara lain : Pasal

364, 373, 375, 482, 384, 352, 302 (1), 315, 407 KUHP.

(Sudarto, 1990: 53).

B. Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam KUHP di

dalam Buku II KUHP adalah tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang

memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367,

meliputi beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut :

35

a. Pencurian biasa (Pasal 362);

b. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi

(Pasal 363);

c. Pencurian ringan (Pasal 364);

d. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365);

e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367). (R. Soesilo, 1989: 249-

255).

Rumusan tersebut adalah jenis-jenis tindak pidana pencurian

tersebut di atas yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok

adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak

pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai

dengan keadaan-keadaan khusus.

Sedangkan mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan

dalam diatur dalam Pasal 363 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut :

(1) Dincam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

Ke-1 pencurian ternak;

Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir,

gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal

karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

pemberontakan atau banyak perang.

Ke-3 pencurian di waktu malah hari dalam sebuah rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan

oleh orang yang ada di situ diketahui atau tidak diketahui

oleh yang berhak;

Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu;

Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan

kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan

salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

36

Tindak pidana pencurian ringan dalam Pasal 364 KUHP

dirumuskan sebagai berikut :

Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362, dan Pasal 363 ke-4,

begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5,

apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarnagna

tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak

lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai karena pencurian ringan,

pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

enam puluh rupiah.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan

matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan

maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau

dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan

diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai

barang yang dicurinya

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana

penjara paling lama lima belas tahun.

Unsur istimewa yang kini ditambahkan pada pencurian biasa ialah

“mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan” dengan dua macam

maksud, yaitu ke – 1 maksud untuk mempersiapkan pencurian, dan ke-2

maksud untuk mempermudah pencurian.

Maksud yang ke –1 perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan

mendahului pengambilan barang, misalnya memukul atau menembak atau

mengikat penjaga rumah. Sedangkan dalam maksud yang ke – 2 pengambilan

barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya

37

memukul si penghuni rumah atau mengikatnya atau menodong mereka agar

mereka diam saja dan tidak bergerak, sementara pencuri lain mengambil

barang-barang dalam rumah. (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 24).

Tindak pidana pencurian biasa dalam Pasal 365 KUHP dirumuskan

sebagai berikut :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan

maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,

atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan

melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

menguasai barang yang dicurinya.

(2) Dinacam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

rumahnya, di jalan umum atau dalam kereta api atau

trem yang sedang berjalan;

Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu;

Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan,

dengan merusak, atau memanjat atau dengan memakai

anak kunci palsu, atau pakaian jabatan palsu;

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana

penjara paling lama lilma belas tahun;

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun,

jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati yang

dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai

oleh salah hal yang diterangkan dalam no. 1 dan No. 3.

(Prodjodikoro, 1986 : 24 – 25)..

Tindak pidana pencurian ringan diatur dalam Pasal 367 KUHP yang

rumusannya sebagai berikut :

(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam

bab ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan,

38

dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta

kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak

mungkin diadakan tuntutan pidana;

(2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan tempat

tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga

sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis

menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya

mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang

terkena kejahatan;

(3) Jika menurut lembaga matriarlkhal, kekuasaan bapak dilakukan

oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan

tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi orang itu.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan atau

di dalam doktrin juga sering disebut gewualificeerde distal atau pencurian

berkualifikasi, yaitu pencurian dalam bentuk pokok atau pencurian biasa

ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan. Pencurian dengan

pemberatan diatur dalam pasal 363 KUHP.

Pasal 363 KUHP merumuskan :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

Ke-1. pencurian ternak;

Ke-2. pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa

bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam,

kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

pemberontakan atau bahaya perang;

Ke-3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah

atau pekarangan tertutup yang rumahnya, yang dilakukan

oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak

dikehendaki oleh yang berhak;

Ke-4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang ataulebih

dengan bersekutu;

Ke-5. pencurian yang untuk masuk ketempat

melaukankejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau

39

memanjatkan atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pekaian jabatan palsu;

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan

salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara

paling lama sembilan tahun (Moeljatno, 1996 : 129).

Unsur-unsur Pasal 363 KUHP adalah sebagai berikut :

1. Barangsiapa;

2. Mengambil suatu barang yang sebagian ataupun seluruhnya

milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan

hukum;

3. diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup

yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya

disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. yang dilakukan oleh dua oang atau lebih dengan bersekutu;

Dari unsur-unsur tesebut di atas dapat disimpulkan bahwa, yang

dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa, yang

disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :

a. Bila yang dicuri itu adalah ternak;

Menurut Pasal 101 KUHP, ternak berarti hewan yang berkuku

satu, hewan yang memakan biak dan babi.

b. Apabila pencurian dilakukan pada waktu sedang terjadi

bermacam-macam bencana, seperti kebakaran, letusan, banjir,

gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam,

kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

pemberontakan atau bahaya perang.

Menurut Soesilo, antara terjadinya mapapetaka dengan pencurian

itu harus ada hubungannya, artinya pencuri harus betul-betul

mempergunakan kesempatan itu guna melakukan pencurian (R.

Soesilo, 1984 : 1290).

40

c. Pencurian dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah

rumah atau pekarangan tertutup yang mudah ada rumahnya

dilakukan oleh orang yang ada disitu tanpa sepengetahuan atau

tanpa dikehendaki oleh yang berhak.

Menurut Pasal 98 KUHP, pengertian malam hari adalah waktu

diantara matahari terbenam dan matahari terbit.

Pengertian kediaman menurut Lamintang, mendasarkan pada

yurisprudensi dari perkataan “worning” adalah setiap tempat

yang dipergunakan oleh manusia sebagai tempat kediaman,

sehingga termasuk di dalamnya juga gerbong-gerbong kereta api

atau gubug-gubug terbuat dari kaleng-kaleng atau karton-karton

yang didiami oleh para tunawisma, kapal-kapal atau mobil-mobil

yang dipakai sebagai tempat kediaman dan lain-lainnya

(Lamintang, 1979 : 151).

Sedangkan pengertian pekarangan tertutup, ialah dataran tanah

yang ada pada sekelilingnya ada pagarnya (tembok, bambu,

pagar tumbuh-tumbuhan yang hidup) dan tanda-tanda lain yang

dianggap sebagai batas (Sughandi, 1980 : 379).

d. Jika pencurian itu dilakukan dua orang atau lebih secara

bersama-sama

Unsur bersama-sama ini dapat dihubungkan dengan perbuatan

turut serta menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Anwar, 1994 :

22).

e. Apabila untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat

mengambil barang yang akan dicuri itu, pencurian itu dilakukan

dengan jalan membongkar, memecah, memanjat atau memakai

anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian palsu.

Pengertian membongkar ialah mengadakan perusakan yang agak

besar, misalnya membongkar tembok, pintu, jendela dan

sebagainya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang rusak, pecah

dan sebagainya. Apabila pencurian hanya mengangkat daun

pintu dari engsel tidak terdapat kerusakan apa-apa, tidak dapat

diartikan memongkar (Sughandi, 1980 : 380).

Menurut Anwar, pengertian pembongkaran ditujukan terhadap

benda-benda yang besar, perusakan terhadap barang-barang yang

kecil (Anwar, 1994 : 22).

Sedangkan mengenai pengertian kunci palsu, menurut Pasal 100

KUHP adalah “dengan anak kunci palsu termasuk alat-alat yang

tidak diperuntukkan untuk membuka kunci”.

C. Pidana dan Pemidanaan

41

1. Istilah Pidana dan Pemidanaan

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang

dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan

sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu,

yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran atau

rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan

semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan

pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan

pemidanaannya itu sendiri. (Hamzah dan Rahayu, 1983: 21).

Di dalam menjatuhkan hukuman atau pidana pemerintah selalu

dihadapkan pada suatu paradoxialitas. Mengenai paradoxialitet itu, Utrecht

sebagaimana dikutip oleh Bawengan yang menyatakan :

Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga

supaya pribadi manusia (menselijke warrdigheid, persoonlijkheid) tidak

disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya,

Pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan

hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh Pemerintah Negara

sendiri diserang, misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada

satu pihak Pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia

terhadap siapapun juga, sedangkan pada pihak lain Pemerintah Negara

menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Paradoxialitet ini hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini oleh

Franz von Liszt dilukiskan sebagai "Rechtsguterschutz durch

Rechtsguterverletzung" (melindungi hak, kepentingan dan sebagainya

dengan menyerang, memperkosa hak, kepentingan, dan sebagainya).

(Bawengan, 1973: 59 - 60).

Karena adanya paradoxialitet inilah orang berusaha untuk menunjukkan,

alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan pemidanaan. Dari alasan-

42

alasan tentang dasar pembenar dari suatu pemidanaan itulah lalu timbul teori-

teori tentang tujuan pemidanaan. Kedua teori ini --dasar pembenar tujuan

pemidanaan-- sangat berkaitan, yang sering hanya disebut dengan teori-teori

pemidanaan (straftheorieen).

Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok

teori, yaitu :

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive / vergelding

theorieen)

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen)

3. Teori gabungan (verenigingstheorieen).

ad. 1. Teori Absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana

merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada

adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Menurut Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori

absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of

justice); sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah

sekunder. (Barda Nawawi Arief, 1992: 10).

43

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam

pendapat Kant di dalam bukunya "Philosophy of Law" sebagaimana dikutip

Muladi mengatakan :

" ……Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu

sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus

dikenakan hanya kaena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu

kejahatan.

Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk

menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)

pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana

mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu

dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya

menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak

boleh tetap ada pada anggota masayrakat, karena apabila tidak demikian

mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian

dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan

umum" (Arief, 1992: 11).

Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant

memandang pidana sebagai "Kategorische imperatief" yakni : seseorang harus

dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, Pidana bukan

merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan

keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).(Muladi, 1984: 10)

Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah

Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai

konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran

terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujuan dari cita-susila,

maka pidana merupakan "Negation der Nagetion" (peniadaan atau pengingkaran

terhadap pengingkaran). (Muladi, 1984: 10)

44

Kedua pendapat sarjana tersebut di atas yaitu Kant dan Hegel,

mendasarkan pada "the philosophy of vengeance" atau filsafat pembalasan di

dalam mencari dasar pembenar dari pemidanaan (Lamintang, 1986: 14).

Pengaruh filsafat pembalasan seperti diuraikan di atas pada hakikatnya

tidak saja nampak pada abad-abad yang lampau, melainkan juga sampai pada

abad sekarang ini, walaupun dengan menggunakan cara dan keterangan yang

berbeda-beda.

Seorang sarjana "pembaharu" ajaran absolut, yang menurut Utrecht

disebut sebagai pemberi baju baru kepada suatu teori hukuman yang sudah tua

sekali, ialah Leo Polak. Oleh Polak dikatakan bahwa kesamaan antara sesama

manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi

antara mereka secara nyata (Muladi, 1984: 11).

Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan

hipotetis (hypothetisch leed) yang dialami oleh tiap-tiap penduduk yang

menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan

terhadap suatu kejahatan. Menurut Polak, keuntungan yang semula diperoleh

seseorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut "teori yang

mengobjektifkan" (obyechtiverings theorie). (Barda Nawawi Arief, 1992: 14).

Dari pendapat beberapa tokoh aliran absolut --kaum retributivest-- yang

pada intinya mengatakan pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat

lain yang diharapkan lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik,

bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas

45

penjahat. Hal ini kadang-kadang menyebabkan pandangan retributif ini

dikategorikan sebagai teori pembalasan denda (the vindictive theory of

punishment). (Muladi, 1984: 50).

Menurut Walker, penganut teori retributif ini dapat dibagi dalam

beberapa golongan, yaitu :

1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivest) yang

berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

kesalahan si pembuat.

2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat

pula dibagi dalam :

a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist)

yang berpendapat "pidana tidak harus cocok/sepadan dengan

kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang

cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.

b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in

distribution), disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang

berpendapat bahwa, pidana janganlah dikenakan pada orang yang

tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan

dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan"

dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya

dalam hal "strict liability". (Arief, 1992: 12 - 13).

Dijelaskan selanjutnya oleh Walker (dalam Arief) bahwa hnaya

golongan pertama sajalah (the pure retributivist) yang mengemukakan alasan-

alasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu golongan

ini dapat disebut golongan "Punishers" (penganut aliran/teori pemidahaan)

(Arief, 1992: 14).

Sedangkan penganut golongan 2a dan 2b di atas, menurut Walker

(dalam Arief, 1992: 17) tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan

46

pidana, tetapi mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Oleh karena

itu kedua golongan ini lebih dekat dengan paham yang non-retributive.

Teori retribution ini menurut Kaplan (dalam Muladi) dibedakan lagi

menjadi dua teori, yaitu :

1. Teori pembalasan (the revengetheory), dan

2. Teori penebusan dosa (the expiation theory). (Muladi, 1984: 35).

Menurut Kaplan, kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda tergantung

dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana; yaitu apakah pidana itu

dijatuhkan karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau karena ia

berhutang sesuatu kepada kita. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si

penjahat "telah dibayarkan kembali" (the criminal is paid back); sedangkan

penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar kembali hutangnya

(the criminal pays back) (Muladi, 1984: 12).

Menurut Sudarto, sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut

ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan

suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalau masih ada penganut teori

pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan

yang modern, misalnya van Bemmelen, Pompe dan Enschede.

Pembalasan di sini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai

pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan

pidana; maka dapat dikatakan ada azas pembalasan yang negatif. Hakim

hanya menetapkan batas-batas dari pidana; pidana tidak boleh

melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Van Bemmelen

menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka

pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap

merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana

yakni memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de

vergeldings behoefte). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh

pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana

harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada

47

kehidupan masyarakat sehari-hari (prevensi special) dan di samping itu

beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak

dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Pompe yang seumur

hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini

dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam arti tak ada

manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan,

CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas pidana

dan pemidanaan (bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia

berpendapat bahwa tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu

tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan

individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-batas

pembalasan. (Muladi, 1984: 12 - 14).

Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen memberikan

karakteristik teori ini sebagai berikut :

a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung

sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

masyarakat;

c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan

kembali si pelanggar (Arief, 1992: 12-13).

ad. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana,

semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif ini tidak

melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa

pemidanaan itu sendirilah yang menjadi tujuan pemidanaan, melainkan

pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pada

pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh

48

karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).

(Bawengan, 1973: 44).

Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatum est" (karena orang berbuat

kejahatan) melainkan "ne peccetur" (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Mengenai teori relatif ini Andenaes dapat disebut sebagai teori perlindungan

masyarakat (the theory of social defence) karena salah satu tujuannya adalah

melindungi kepentingan masyarakat. (Muladi, 1984: 14)

Menurut Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reductive

(the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidan adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganut teori ini disebut

"Reducers" (Muladi, 1984, 14).

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka

teori relatif atau teori tujuan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :

a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen)

b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen)

ad. a. Teori-teori Pencegahan Umum

Tujuan pemidanaan dari teori ini adalah ingin membuat jera setiap

orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain

pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi

tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak

pidana.

49

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan Andenaes maka, Veen

berpendapat bahwa ada tiga fungsi pengaruh dalam pengertian "general

prevention", yaitu :

a. menegakan kewibawaan (gezagshandhaving);

b. menegakan norma (normhandhaving);

c. membentuk norma (normvorming). (Barda Nawawi Arief, 1992:

18).

Termasuk dalam pengertian teori-teori pencegahan umum, yaitu apa

yang disebut :

1. afschrikkingstheorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang

bertujuan untuk membuat jera warga masyarakat agar mereka itu

tidak melakukan kejahatan-kejahatan.

2. De leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai

pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anselm

von Feurbach. (Bawengan, 1973: 45).

Berkaitan dengan teori relatif (utilitarian theory) Christiansen

mengemukakan secara terperinci ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran itu

sebagai berikut :

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang

memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan;

e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat

mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun

unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat

(Barda Nawawi Arief, 1992: 17).

50

ad. 2. Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorieen)

Prevensi special dimaksudkan ada pengaruh pidana terhadap terpidana.

Dengan demikian pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana

dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan

tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu

berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan formation atau

rehabilitation theory. (Muladi, 1984 : 51).

ad. 3. Teori Gabungan

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan

seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori

ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori ini

adalah Rossi (1787 - 1884). Teori Rossi disebut teori gabungan karena

sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa

beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia

berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan

sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. (Muladi, 1984:

47).

Teori seperti ini nampaknya mempunyai kecenderungan yang sama

dengan apa yang dikatakan oleh Muladi sebagai "retributivisme teleologis"

atau aliran integratif. Menurut pandangan ini maka tujuan pemidanaan bersifat

51

plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis, misalnya

"ulititarianism" dan prinsip-prinsip "retributivist" di dalam satu kesatuan,

sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif. (Muladi,

1984: 51).

Aliran ini menganjurkan kemungkinan untuk menandaskan artikulasi

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus:

"retribution" dan bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitas

yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu

rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan

terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu diharapkan untuk

dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. (Muladi, 1984:

52).

Teori integratif ini nampaknya telah memperluas tujuan pemidanaan

yang menfokuskan pada perbaikan narapidana sebagai pelaku kejahatan / tindak

pidana di samping sebagai tujuan awalnya adalah prevensi general.

Menanggapi perkembangan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut di

atas Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung

pada :

1. anggapan-anggapan seseorang terhadap hekikat manusia;

2. informasi yang diterima seseorang sebagasi ilmu pengetahuan yang

bermanfaat;

3. macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin

dicapai;

4. penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menetapkan teori

tertentu, dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat

52

dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.

(Muladi 1984: 52).

2. Tujuan Pemidanaan

Di muka sudah disebutkan tentang pengertian pidana serta teori

pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia --

sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum-- yang erat kaitannya dengan

pelaksanaan pemidanaan --khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana--

sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum. (Muladi, 1984: 34).

Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah

dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah

KUHP. Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang sekarang masih

berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP tersebut tidak secara

jelas mencantumkan tujuan pemidanaan.

Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan tersebut

adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain maupun dari

doktrin yang berkaitan. Apabila kita telusuri KUHP lebih jauh dengan melilhat

historisnya, maka dapat diketahui bahwa KUHP kita ini adalah warisan dari

W.v.S negeri Belanda yang berdasarkan asas konkordansi. W.v.S negeri Belanda

mempunyai memori penjelasan yang disebut Memorie van Toelichting (M.v.T)

yang secara yuridis masih dapat diberlakukan di Indonesia. Dari M.v.T ini

tampaknya ada yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang menyebutkan

(terjemahan) sebagai berikut :

53

Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan

harus memperhatikan keadaan obyektif dan subjektif dari tindak pidana

yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-

hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu ? Kerugian

apakah yang ditimbulkannya ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan si

penjahat dulu ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu

langkah yang pertama ke arah jalan sesat ataukah suatu perbuatan yang

merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah

tampak ? Batas antara minimum dan maksimum harus dtetapkan seluas-

luasnya, sehingga meskipun semua pernyataan di atas itu dijawab, dengan

merugikan terdakwa, maksimum pidana yang benar itu sudah memadai.

(Sudarto, 1990: 56).

Dilihat dari M.v.T tersebut terlihat bahwa hakim dalam memutus

(memidana) cenderung melihat ke belakang, tentang apa yang telah terjadi ?

perbuatan apakah yang telah dilakukan ? siapakah orang yang telah melakukan

? Hakim tidak melihat ke arah muka (prospektif). Selain dari M.v.T tampaknya

ada suatu peraturan perundang-undangan yang mencerminkan bahwa

pemidanaan kita ini menganut teori retributif yakni dari Surat Edaran Mahkamah

Agung tanggal 3 September no. 5 Tahun 1973 yang isinya meminta hakim-hakim

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan pidana hendaknya

benar-benar setimpal dengan perbuatan dan sifat setiap kejahatan.

Dari definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa KUHP

sekarang mempunyai tujuan pemidanaan yang cenderung ke arah pembalasan

atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, karena

dalam pemidanaan tersebut cenderung melihat ke belakang dan dalam

pemidanaan tersebut tidak terkandung adanya tujuan lain misalnya kesejahteraan

masyarakat atau perbaikan narapidana. Karakteristik inilah yang dapat

54

dimasukan dalam aliran retributif. Tujuan pemidanaan tersebut di atas tampaknya

sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di Indonesia sehingga perlu dirumuskan

kembali tujuan pemidanaan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang

berdasarkan Pancasila. (Sudarto, 1990: 70-71).

Rumusan di atas oleh Moeljatno dikatakan bahwa dasar pidana kita lain

daripada yang lain. Tujuan pidana itu adalah kompleks, yang dengan singkat

dapat disimpulkan, bahwa bukan saja harus dipandang untuk mendidik si

terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya

(membimbing) tapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi

masyarakat (mengayomi). (Moeljatno, 1985: 60).

Lebih lanjut dikatakan oleh Moeljatno bahwa segi menentramkan

kembali masyarakat dari goncangan yang ditimbulkan karena perbuatan pidana,

yang sering dikatakan sebagai mengembalikan suasana "adem tentrem tata

raharjo" harus ternyata dalam tujuan pidana kita. (Moeljatno, 1985: 66 - 67).

Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980,

dalam salah satu laporannya menyatakan :

Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus

diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta

keseimbangan dankeselarasan hidup dalam masyarakat dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan

pelaku.

Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-

unsur yang bersifat :

1. kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung

tinggi harkat dan martabat seseorang.

55

2. edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang

sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia

mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha

penanggulangan kejahatan;

3. keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik

oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat. (Barda

Nawawi Arief, 1986: 148).

Definisi tersebut di atas yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan,

terlihat bahwa terdapat pergeseran tujuan pemidanaan, dari tujuan pemidanaan

seperti yang terkandung dalam KUHP. Tujuan pemidanaan yang dikehendaki

tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan lain

misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Tujuan

pemidanaan selain dilakukan dengan beroritentasi ke muka (prospektif) hal lain

terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan terpidana

dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang lebih baik

dan berguna.

Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari

"perilaku menyimpang" yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk

masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah

Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau

ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atauketeraturan

sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-

ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi

berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan di samping

56

merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial. (Sadli,

1976: 56).

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan

penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum

itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tidak ada absolutisme dalam bidang

kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan

pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan

demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahaan dengan

menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial. (Muladi,

1984: 148 - 149).

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula

yang menyebutnya sebagai "older pilosophy of crime control" (Gene Kassebaum

dalam Muladi, 1984: 149).

Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang

mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau

dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat

bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya

tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan

57

peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savege past) yang

seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan bahwa

pidana merupakan tindak perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam.

Atas dasar pendangan yang demikian, maka Smith & Hogan yang disitir

oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa teori retributive atau

teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan "a relic of barbarism")

(Muladi, 1984: 147).

Dasar pemikirannya adalah adanya paham determinisme yang

menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan

suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis

maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan

sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal.

Karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan

tidak dapat dikenakan pidana. (Muladi, 1984: 150).

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi masalah. Berkaitan dengan

hal tersebut Sudarto berpendapat bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan

hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau "social

defence planning" yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana

Pembangunan Nasional. (Sudarto, 1990: 104).

58

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif atau legal research yaitu pendekatan yang menggunakan

konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang bahwa hukum identik

dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi ini juga memandang

hukum sebagai suatu sistem normatatif yang bersifat otonom; terhadap dan

terlepas dari kehidupan masyarakat. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1982: 10).

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis yaitu. penelitian yang menggambarkan keadaan dari obyek atau

masalahnya yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu,

mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dari bahan-bahan mengenai obyek

masalahnya. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1982 : 10).

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

4. Sumber Data

59

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data

sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, buku-

buku literatur, dokumen dan arsip atau haisl penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan Putusan Pengadilan Negeri

Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

5. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundang-

undangan, buku-buku literatur, dokumen dan artsip atau hasil penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No. 69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

6. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara

sistimatis.

7. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normatif kualitatif, yaitu

dengan menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan noma-norma, teori

dan doktrin hukum pidana. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007 :

25).

60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. A. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara

Terdakwa AKHMAD ROFIK als. ROFIK bin M. Sobichin pada hari Selasa tanggal 07

Pebruari 2012 sekitar jam 23.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2012,

bertempat di Parkir Rumah Sakit Hidayat Purwokerto, Jalan Supriyadi No. 22 Purwokerto, ikut

kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, mengambil sesuatu

barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk

memiliki barang itu dengan melawan hak, dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat

mencapai barang untuk diambilnya dengan jalan membongkar memecah, atau memanjat atau

dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu yang dilakukan

terdakwa dengan cara sebagai berikut :

Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas terdakwa yang sudah berniat

melakukan aksi untuk mengambil barang orang lain berupa sepeda motor dengan bekal sebuah

kunci letter T untuk melakukan aksinya tersebut lalu terdakwa melaksanakan niatnya masuk ke

dalam area parkiran yang berada di lingkungan Parkir Rumah Sakit Hidayat Purwokerto, ikut

Kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas dengan cara membuka

yang saat itu dirantai serta dikaitkan dengan menggunakan kunci gembok, sedangkan gembok

tersebut dalam keadaan tidak terkunci, kemudian terdakwa mendekati sebuah sepeda motor

Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009, No. Pol. R-6925-NS, Noka : MH330C00291457000,

No. Sin : 30C-457046 milik saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA binti ACHMAD

FATONI selanjutnya terdakwa mengeluarkan sebuah Kunci letter T dari saku celana yang telah

dipersiapkannya, lalu dimasukkan dengan paksa ke rumah Kunci sepeda motor kemudian diputar

61

searah jarum jam sampai Kunci stang terbuka, setelah berhasil sepeda motor terdakwa bawa

keluar dari tempat parkir dan sepeda motor terdakwa naiki dengan mesin dalam keadaan mati

sampai ke sebelah timur Rumah Sakit selanjutnya setelah keadaan aman sepeda motor terdakwa

hidupkan mesinnya dan langsung dibawa pergi dan disembunyikan dalam sebuah rumah.

Akibat perbuatan terdakwa maka saksi MIRA YUU PRABANDARI als. MIRA binti

ACHMAD FATONI mengalami kerugian seluruhnya sekitar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah).

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 363 ayat (1) ke-5

KUHP.

3. Alat Bukti Saksi

Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat-

alat bukti saksi yang disebelumnya telah disumpah dan juga keterangan

terdakwa, yaitu :

a. Alat Keterangan Saksi 1) Saksi Mira Yuli Prabandari

- Saksi sebelum memberikan keterangan di persidangan telah memberikan keterangan di

hadapan penyidik, dan keterangan yang diberikan benar serta tidak ada perubahan;

- Saksi bekerja sebagai perawat di RS Hidayah Purwokerto dan pada hari Selasa tanggal 7

Pebruari 2012 bertugas piket malam dan telah kehilangan sepeda motor;

- Saksi berangkat bekerja ke RS Hidayah menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna

merah hitam No. Pol R-6923-NS milik kakak saksi, dan sampai di RS Hidayah sekitar jam

21,00 WIB lalu sepeda motor diparkir di tempat parkiran karyawan di sebelah timur RS

tersebut dalam keadaan terkunci;

- Sekitar jam 23.30 WIB sewaktu saksi akan menutup pintu gerbang, diberitahu oleh oleh saksi

Puji bahwa sepeda motor saksi tidak ada di tempat parkiran;

62

- Setelah diberitahu sepeda motor saksi tidak ada, saksi melanjutkan bekerja dan baru pagi

harinya saksi mengecek ke tempat parkiran dan ternyata benar sepeda motor yang saksi

pakai sudah tidak ada;

- Saksi selanjutnya lapor polisi yaitu pertama melalui telepon dan polisi sekitar jam 08.00 WIB

saksi datang ke kantor;

- Saksi tidak Pernah dimintai ijin oleh orang lain untuk mengambil sepeda motor tersebut;

- Harga sepeda motor tersebut sekitar Rp. 15.000.000 (lima Belas juta rupiah);

- Sepeda motor tersebut Hari itu juga sekitar jam 10.00 Wib dapat diketemukan oleh polisi dan

kondisinya sudah berubah, plat nomor dan tebeng sudah dilepas, serta stiker dan stikernya

sudah dilepas, kemudian lubang kunci kontaknya rusak;

- Sepeda motor yang diajukan di persidangan adalah benar sepeda motor yang hilang.

2) Saksi Paryono Nurokhman

- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib saksi dan saksi Danang telah

menangkap terdakwa di rumah isteri siri terdakwa di desa Dawuhan Wetan Rt. 05/03 Kel.

Dawuhan Wetan Kec. Kedungbanteng, Kab. Banyumas;

- Terdakwa ditangkap karena telah mengambil sepeda motor milik orang lain;

- Terdakwa merupakan orang yang dalam pengawasan polisi karena Pernah tersangkut kasus

curanmor;

- Pada hari selasa tanggat 7 Pebruari 2012 ada laporan pencurian sepeda motor lalu saksi

ditugaskan untuk melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku curanmor

tersebut;

- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 saksi mendapat informasi dari warga bahwa telah

melihat terdakwa membawa sepeda motor ke rumah isteri sirinya di desa Dawuhan dengan

ciri-ciri sesuai laporan, lalu saksi pergi ke desa tersebut dan melakukan penyelidikan, dan

sekitar jam 04.30 Wib saksi dan tim berhasil menangkap terdakwa. Pada saat ditangkap

63

ditemukan sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam tetapi plat nomor dan tebeng sepeda

motor tersebut sudah di lepas dan kunci letter T diatas almari;

- Terdakwa mengakui telah mengambil sepeda motor tersebut di Parkiran karyawan RS

Hidayah Purwokerto dengan cara merusak dudukan / lubang kunci kontak sepeda motor

menggunakan kunci T;

- Ternyata sepeda motor tersebut adalah milik Mira Yuli Prabandari yang diparkir di tempat

parkiran RS Hidayah Purwokerto;

- Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya;

- Barang bukti kunci T dan sepeda motor yang diajukan di persidangan adalah benar sepeda

motor yang ditemukan di rumah isteri terdakwa.

3) Saksi Danang Oktarian Isprianto

- Saksi sebelum memberikan keterangan di persidangan memberikan keterangan di

hadapan penyidik, dan keterangan yang

- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib saksi dan saksi Paryono

telah menangkap terdakwa di rumah isteri siri terdakwa di desa Dawuhan Wetan Rt.

05/03 Kel. Dawuhan Wetan Kec, Kedungbanteng, Kab. Banyumas karena telah

mengambil sepeda motor milik orang lain;

- Terdakwa merupakan orang yang dalam pengawasan polisi karena pernah tersangkut

kasus curanmor;

- Pada hari selasa tanggal 7 Pebruari 2012 ada laporan pencurian sepeda motor lalu saksi

ditugaskan untuk melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku curanmor

tersebut;

- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 saksi mendapat informasi dari warga bahwa

telah melihat terdakwa membawa sepeda motor ke rumah isteri isrinya di Desa Dawuhan

dengan ciri - ciri sesuai laporan, lalu saksi pergi ke desa tersebut dan melakukan

penyelidikan, dan sekitar jam 04.30 Wib saksi dan tim berhasil menangkap terdakwa;

64

- Saat ditangkap ditemukan sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam tetapi plat nomor

dan tebeng sepeda motor tersebut sudah di lepas dan kunci letter T diatas almari;

- Terdakwa mengakui telah mengambil sepeda motor tersebut di Parkiran karyawan RS

Hidayah Purwokerto dengan cara merusak kunci kontak sepeda motor menggunakan

kunci T;

- Ternyata sepeda motor tersebut adalah milik Mira Yuli Prabandari yang diparkir di

tempat parkiran RS Hidayah Purwokerto;

- Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya;

- Akibat dari perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar

Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah);

- Atas keterangan saksi - saksi tersebut terdakwa menyatakan benar dan tidak

berkeberatan.

Terhadap keterangan saksi NANI SUMARNI dan saksi PUJIONO als. PUJI

karena sudah dipanggil secara patut tetapi tidak hadir di persidangan, maka

atas permohonan Penuntut Umum dan dengan persetujuan terdakwa

keterangan saksi-saksi tersebut dibacakan sesuai dengan berita acara

penyidik yang menerangkan sebagai berikut:

d) Saksi Nani Sumarni

- Saksi mengetahui adanya kejadian kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna

Merah Hitam No. Pol R-6925-NS, pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam

06.30 Wib, saksi mengetahui karena diberitahu oleh saksi Puji selaku cleaning service

RS HIdayah Purwokerto;

- Sepeda motor yang hilang adalah milik teman saksi bernama MIRA perawat RSU

Hidayah Purwokerto;

- Sebelum hilang sepeda motor tersebut diparkir di tempat parkiran karyawan RSU

65

Hidayah yang terletak di sebelah timur RSU Hidayah;

- Pada saat saksi memarkir sepeda motor ditempat parkiran, gemboknya belum dikunci

namun biasanya dikunci;

- Di tempat parkiran tersebut ada sekitar 10 sepeda motor termasuk milik saksi;

- Saksi tidak tahu sepeda motor milik Mira dikunci stang atau tidak, dan saksi juga tidak

tahu siapa yang mengambil sepeda motor milik Mira tersebut;

- Akibat kejadian tersebut saksi Mira mengalami kerugian sekitar Rp. 10.000.000,-

(sepuluh juta rupiah).

e) Saksi Pujiono als. Puji

- Pada hari Selasa tanggal 7 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 Wib saksi mengetahui sepeda

motor milik saksi Mira perawat RS Hidayah yang diparkir di tempat parkiran karyawan

RS Hidayah Purwokerto sudah tidak ada, lalu saksi memberitahukan kepada saksi Mira;

- Sepeda motor yang dipakai Mira adalah Yamaha Jupiter Z warna merah hitam,

nomornya saksi tidak tahu;

- Saksi berusaha mencari kesekeliling rumah sakit tetapi tidak ketemu;

- Saksi bekerja di RS Hidayah sebagai Cleaning Service dan merangkap jaga malam

dengan tugas membersihkan ruangan rumah sakit, menutup pintu utama Rumah Sakit

Hidayah dan menutup pintu parkiran karyawan setiap harinya sekitar jam 23.00 Wib.;

- Saat itu saksi hanya menutup pintu tempat parkiran dan tidak menggemboknya karena

gemboknya rusak;

- Saksi tidak tahu siapa yang mengambil sepeda motor milik saksi Mira;

- Akibat kejadian tersebut saksi mira mengalami kerugian sekitar Rp. 10.000.000,-

(Sepuluh juta rupliah);

Atas keterangan saksi Nani Sumarni dan Pujiono als. Puji tersebut terdakwa

menyatakan tidak tahu.

66

b. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Di persidangan telah didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya

memberikan keterangan sebagai berikut :

- Pada hari Selasa tanggal 07 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 Wib terdakwa telah mengambil

sebuah sepeda motor milik orang lain di tempat parkiran karyawan Rumah Sakit Hidayah

Purwokerto.

- Sepeda motor yang diambil adalah Yamaha Jupiter 2 warna merah hitam, No pol. R-6925-NS

dalam keadaan terkunci;

- Di tempat parkiran banyak sepeda motor dan terdakwa mengambil sepeda motor tersebut

karena letaknya paling dekat dan mudah;

- Cara mengambil sepeda motor tersebut adalah terdakwa masuk ke tempat parkiran melalui

pintu yang dirantai dan ada gemboknya tetapi gemboknya tidak terkunci, setelah masuk ke

tempat parkiran terdakwa menuju ke sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam,

kemudian terdakwa mengeluarkan kunci letter T dari saku celana yang sudah dipersiapkan,

lalu terdakwa memasukkan kunci T tersebut secara paksa ke dudukan / lubang kunci kontak

sepeda motor Yamaha Jupiter Z tersebut dan diputar searah jarum jam sampai kunci stang

sepeda motor tersebut terbuka;

- Setelah kunci terbuka lalu sepeda motor tersebut di bawa keluar dari parkiran dengan dinaiki

tetapi mesin dalam keadaan mati, sampai di sebelah timur rumah sakit terdakwa

menghidupkan mesin sepeda motor dan membawa sepeda motor tersebut ke rumah isteri

terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng;

- Terdakwa kemudian melepas tebeng depan dan plat nomor sepeda motor tersebut;

- Rencananya sepeda motor tersebut akan digadaikan / dijual di Wonosobo malam itu juga,

akan tetapi karena khawatir dengan isteri yang sedang hamil, lalu terdakwa pulang ke rumah

isteri terdakwa dulu, tetapi pagi-pagi sudah ada polisi dan menangkap terdakwa;

67

- Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya;

- Sebelum mengambil sepeda motor tertakwa awalnya pergi naik angkutan umum turun di

depan Moro lalu duduk-duduk di depan Moro sampai malam, setelah Itu terdakwa jalan kaki

kearah timur dan sampai di RS Hidayah Mersi Purwokerto, lalu terdakwa masuk ke Rumah

Sakit tersebut dan duduk di depan Mushola Rumah sakit sambil melihat kearah parkiran

sepeda motor, setelah situasi aman terdakwa langsung menuju parkiran sepeda motor

karyawan dan mengambil sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam;

- Terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena sudah 2 milnggu tidak bekerja, tidak

mempunyai uang dan isteri sebentar lagi akan melahirkan;

- Kunci letter T yang dibawa oleh terdakwa adalah dibuat sendiri oleh terdakwa dengan

menggunakan grenda;

- Terdakwa Pernah dihukum 2 kali yaitu pada tahun 2008 dihukum 4 bulan karena kasus

pencurian rokok dan tahun 2010 dihukum 1 tahun 6 bulan karena kasus pencurian sepeda

motor;

- Barang bukti sepeda, tebeng dan plat nomor yang diajukan di persidangan adalah benar yang

diambil dari RS Hidayah Purwokerto dan kunci T adalah yang digunakan untuk membuka

kunci kontak;

- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi;

5. Barang Bukti

Barang bukti, bahwa didepan persidangan Penuntut Umum menunjukan

barang bukti berupa;

68

a. 1 (satu) Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun

2009 No. Pol. R-6925-NS Noka : MH330C00291457000, Nosin : 30C-

457046.

b. 2 (dua) buah tebeng sepeda motor Yamaha Jupiter warna merah.

Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi Mira Yuli Prabandari als.

Mira.

c. 1 (satu) buah kunci T, dirampas untuk dimusnahkan.

6. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Jaksa Penuntut Umum menuntut supaya majelis hakim memutuskan sebagai

berikut;

a. Menyatakan terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENCURIAN DENGAN

PEMBERATAN” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5

KUHP” ;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN

dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani masa

penahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.

c. Menyatakan barang bukti berupa :

1) 1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tahun 2009 No. Pol. R-

6925-NS Noka MH330C00291457000, Nosin : 30C-457046

2) 2 (dua) buah Tebeng sepeda Motor Yamaha Jupiter warna Merah.

Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA.

3) 1 (satu) buah Kunci T, dirampas untuk dimusnahkan.

d. Menetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu ripiah).

69

7. Pertimbangan Hukum Hakim

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan

dakwaan tunggal yaitu : melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Segala

kejadian yang terjadi di persidangan sebagaimana dalam berita acara sidang,

dan untuk menyingkat putusan ini dianggap masuk dan menjadi satu

didalamnya karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini.

Di persidangan Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti yang

telah disita menurut hukum, dan telah mendengarkan juga keterangan para saksi

dan keterangan terdakwa

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti

yang diajukan ke persidangan yang saling bersesuaian maka, didapat fakta hukum

sebagai berikut:

- Saksi Mira Yuii Prabandari pada hari Selasa tanggal 7 Pebruari 2012 saat bertugas piket malam,

telah kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-

6923-NS milik kakaknya;

- Sepeda motor diparkir di tempat parkiran karyawan RS Hidayah Kel. Mersi Kec. Purwokerto

Timur, Kab. Banyumas di sebelah timur RS tersebut dalam keadaan terkunci;

- Terdakwa mengambil sepeda motor menggunakan Kunci T secara paksa ke lubang Kunci

kontak sampai Kunci sepeda motor tersebut terbuka.

- Hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib. terdakwa telah ditangkap oleh saksi

Paryono dan saksi Danang di rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng

Banyumas;

- Tebeng depan dan plat nomor sepeda motor serta stiker telah dilepas oleh terdakwa;

- Akibat perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar Rp.

15.000.000,- (lima belas juta rupiah);

70

- Terdakwa pernah dihukum 2 kali yaitu pada tahun 2008 dihukum 4 bulan karena kasus

percurian rokok dan tahun 2010 dihukum 1 tahun 6 bulan karena kasus pencurian sepeda motor;

- Barang bukti sepeda motor, tebeng dan plat nomor yang diajukan dipersidangan adalah milik

saksi Mira Pribandari dan kunci T adalah aiat yang digunakan terdakwa untuk membuka paksa

kunci kontak sepeda motor.

Untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah melakukan perbuatan

sebagaimana didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum, maka Majelis Hakim

akan mempertimbangkan unsur-unsur pasal yang terkandung dalam dakwaan

Penuntut Umum. Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan

Tunggal yaitu melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP yang mengandung unsur-

unsur sebagai berikut:

1. Baranasiapa;

2. Mengambil sesuatu Barang ;

3. yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain;

4. Dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak;

5. Untuk dapat masuk ke tempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang diambilnya

dengan jalan membongkar.

ad. 1. Unsur barana siapa

Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa

saja orang sebagai subjek hukum yang mampu untuk bertanggung jawab atas

perbuatannya, baik sendiri-sendiri atau secara bersama-sama.

71

Di persidangan telah diajukan Terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK

Bin M. SOBICHIN dan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan

terdakwa yang membenarkan identitasnya sebagaimana terurai dalam surat

dakwaan sehingga tidak terjadi kesalahan orang (error in persona).

Unsur barang siapa hanya merupakan kata ganti orang, dimana unsur ini

baru mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya, oleh

karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan dengan unsur-unsur lain dari

perbuatan yang didakwakan.

ad. 2. Unsur mengambil sesuatu barang

Menimbang, bahwa yang dimaksud "mengambil" adalah

memindahkan barang yang bukan miliknya menjadi dalam kekuasaannya dan

barang tersebut menjadi berpindah tempat, sedangkan yang dimaksud "barang"

adalah semua benda yang berwujud/dan benda yang tidak berwujud seperti aliran

listrik yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dihubungkan

dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan telah diperoleh fakta bahwa

pada hari Selasa tanggal 07 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 WIB. saksi Mira Yuli

Prabandari telah kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam

tahun 2009 No. Pol R-6923-milik kakaknya, yang semula diletakkan di tempat

parkiran RS Hidayat Mersi Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas.

72

Menimbang, bahwa saksi Paryono Nurokhman dan saksi Oktavian Isparianto pada hari Rabu

tanggal 8 Pebruari 2012 setdtar pi 04.30. Wib. telah menangkap terdakwa dan menemukan sepeda

motor milik saksi Mira Prabandari di rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng

Kab. Banyumas.

Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa menerangkan telah mengambil sepeda motor di parkir

RS. Hidayah dan membawanya ke rumah isterinya dengan cara membuka paksa kunci kontak

dengan menggunakan kunci T yang sudah dipersiapkan terdakwa.

Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha

Jupiter Z wama merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6925-NS sudah berpindah tempat yang semula

berada di tempat parkiran RS Hidayah berpindah kedalam penguasaan terdakwa, oleh karena itu

unsur mengambil sesuatu barang telah terpenuhi.

ad. 3. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orana lain

Berdasarkan fakta hukum di persidangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z

warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS yang telah diambil oleh terdakwa dari tempat

parkir karyawan RS. Hidayah Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak

saksi Mira Yuli Prabandari yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari untuk tugas piket

malam di RS Hidayah Purwokerto. Oleh karena itu unsur yang sama sekali atau sebagian milik

orang lain telah terpenuhi.

ad. 4. Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak

Yang dimaksud dengan "melawan hak" adalah melakukan suatu perbuatan yang

bertentangan dengan hukum atau hak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bahwa yang

dimaksud “Melawan Hak" dalam perkara a quo adalah berarti sebagai suatu sikap bathin

(kesalahan) seseorang akan memiliki dengan mengambil benda milik orang lain yang bertentangan

dengan hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai (asas-asas) hukum dalam masyarakat;

Dari fakta hukum di persidangan terdakwa telah mengambil 1 (satu) unit sepeda motor

Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS milik kakak saksi Mira Yuli

73

Prabandari saksi yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari tanpa seijin pemiliknya.

Terdakwa menerangkan sepeda motor tersebut rencananya akan dijual/digadaikan di Wonosobo,

dan akibat perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar RP

15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Perbuatan terdakwa mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna

merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS dan hendak menjual/menggadaikannya adalah wujud

dari perbuatan “memiliki barang dengan melawan hak", oleh karena itu unsur memiliki barang

dengan melawan hak telah terpenuhi.

ad. 5. Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai

barang yanq diambilnya dengan jalan membongkar.

Bahwa yang dimaksud dengan "membongkar" membuka secara paksa, tidak

menggunakan cara yang lazim atau tidak sebagaimana umumnya. Berdasarkan fakta hukum

dipersidangan, terdakwa daiam mengambil 1 (satu) Unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna

merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS di tempat parkiran karyawan RS Hidayah kel. Mersi

Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas dilakukan dengan cara memasukkan kunci T secara paksa

ke lubang kunci kontak sepeda motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R-6923-NS dan diputar searah

jarum jam sampai kunci stang sepeda motor tersebut terbuka, setelah kunci terbuka kemudian

terdakwa membawa sepeda motor tersebut ke rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec.

Kedung banteng Kab. Banyumas.

Terdakwa dalam membuka sepeda motor tersebut tidak dengan cara yang lazim yaitu

merusak kunci sepeda motor dengan menggunakan kunci T, oleh karena itu unsur Untuk dapat

masuk ke tempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang dfambilnya dengan jalan

membongkar telah terpenuhi;

Oleh karena unsur-unsur selain unsur Kesatu "barang siapa" tersebut telah terbukti

dilakukan oleh Terdakwa sendiri bukan oleh orang lain, sedangkan dari hasil pemeriksaan

dipersidangan tidak diketemukan bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa tidak dapat

74

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dan tidak diketemukan alasan pengecualian

penuntutan, alasan pemaaf atau hapusnya kesalahan dengan demikian maka unsur Kesatu juga

telah terbukti.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka unsur dari Pasal 363 ayat (1) Ke-5 KUHP telah

terpenuhi oleh perbuatan terdakwa maka terdakwa harus dinyatakan salah.

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis telah

mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari bukti mana Majelis memperoleh keyakinan

bahwa terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencurian dalam keadaan memberatkan"

sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dan karena selama pemeriksaan di persidangan mejelis

tidak menemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus kesalahan

terdakwa maupun meniadakan pertanggung jawaban pidana, sehingga oleh karenanya terdakwa

dipandang mampu untuk mempertanggung jawabkan atas perbuatannya dan kepadanya harus

dijatuhi pidana setimpal dengan perbuatannya. Selama pemeriksaan perkara ini terdakwa berada

dalam tahanan, maka lamanya terdakwa ditahan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana

dijatuhkan.

Majelis Hakim tidak menemukan cukup alasan untuk mengalihkan atau menangguhkan

jenis penahanan terdakwa, maka diperintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

Mengenai barang bukti berupa :

- 1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tanpa plat nomor, tahun

2009 Noka : MH330C00291457000, Nosin : 30C457046;

- 2 (dua) buah Tebeng Yamaha Jupiter warna Merah; dan

- 2 (dua) buah Plat Nomor Polisi R-6925-NS.

oleh karena terbukti milik kakak saksi Mira Prabandari dikembalikan kepada yang berhak melalui

saksi Mira Prabandari.

- 1 (satu) buah Kunci T, oleh karena merupakan alat untuk melakukan tindak pidana maka

75

sepatutnya untuk dimusnahkan;

Oleh karena terdakwa telah dinyatakan salah dan dtjatuhi prdana maka harus dibebani

membayar biaya perkara. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan perlu diperhatikan hal-hal

yang memberatkan dan meringankan hukuman atas diri terdakwa, yaitu :

Hal-hal yang memberatkan :

- Perbuatan terdakwa merugikan saksi Mira Yuli Prabandari;

- Terdakwa Pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian;

Hal-hal yang meringankan;

- Selama proses penangkapan, penyidikan dan pemeriksaan Terdakwa berterus terang dan

kooperatif;

- Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.

Setelah Majelis Hakim memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

meringankan atas diri terdakwa, kemudian dihubungkan dengan faktor lain yaitu tujuan dari

pemidanaan itu sendiri yang semata-mata bukan bertujuan untuk memberikan pembalasan berupa

pidana kepada terdakwa, akan tetapi juga memberikan suatu pelajaran bagi terdakwa agar ia

memperbaiki kelakuannya dan dapat kembali kepada masyarakat serta secara preventif mencegah

orang tain melakukan tindak pidana yang sama.

8. Putusan Hakim

a. Menyatakan terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN tersebut diatas,

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "PENCURIAN

DALAM KEADAAN MEMBERATKAN";

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M.

SOBICHIN dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

c. Menetapkan lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan selumhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

d. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan ;

76

e. Menetapkan barang bukti berupa :

1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tahun 2009 No. Pol. R-

6925-NS Noka : MH330C00291457000, Nosin: 3OC 457046)

2 (dua) buah Tebeng sepeda motor Yamaha Jupiter warna Merah. Dikembalikan kepada

yang berhak yaitu melalui saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA.

1 (satu) buah Kunci T, dimusnahkan.

f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (Seribu

Rupiah).

Mengingat, Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, Undang-Undang 49 Tahun

2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

tentang KUHAP, serta Peraturan-Peraturan lain yang bersangkutan.

B. Pembahasan

Untuk mencapai kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-

lengkapnya pada Putusan Perkara No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt, Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Purwokerto, telah meneliti secara cermat dan seksama semua

perbuatan, kejadian atau keadaan-keadaan yang berlangsung selama persidangan

dimana fakta-fakta yang digali dari alat-alat bukti yang berupa saksi-saksi,

keterangan terdakwa dan barang bukti, ternyata bersesuaian satu sama lainnya

sehingga memperoleh keyakinan bahwa benar perbuatanya merupakan tindak

pidana membantu melakukan pencurian dengan pemberatan yaitu melanggar

Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.

1. Penerapan Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.

77

a. Unsur Barangsiapa

Menurut Sudarto pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana ialah

manusia (naturlijk personen). Pengertian barangsiapa adalah menunjukkan

pengertian seseorang sebagai subyek hukum penanggung hak dan kewajiban.

Unsur barangsiapa pada Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP adalah menunjuk

pada orang yang melakukan tindak pidana dan ini menunjukkan perbuatan

manusia. Dengan kata lain, unsur barangsiapa adalah menunjukkan bahwa

pelakunya adalah orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana oleh

karena itu unsur barangsiapa dalam hal ini tidak boleh diartikan lain kecuali

manusia. (Sudarto, 1990: 10).

Apabila dikaitkan dengan Putusan Perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt,

unsur barangsiapa dalam hal ini adalah Ahmad Rofik als Rofik bin M.

Sobichin, umur 19 tahun, kebangsaan Indonesia, agama Islam, pekerjaan

buruh, bertempat tinggal di Jalan Kober Gg. Dondong RT.03/01, Kelurahan

Kober Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Dengan demikian

unsur barangsiapa dalam putusan Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt telah

terpenuhi.

b. Unsur mengambil sesuatu barang.

Unsur-unsur pokok dari tindak pidana pencurian atau yang menurut

Prodjodikoro disebut dengan “unsur khas” dari tindak pidana pencurian

78

(diefstal) adalah mengambil barang orang lain untuk memilikinya.

(Prodjodikoro, 1986 : 13).

Perbuatan mengambil sudah dimulai pada saat seseorang berusaha

melepaskan kekuasaan atas benda dari pemiliknya (Anwar, 1982 : 17).

Sedangkan menurut Soesilo, mengambil artinya mengambil untuk

dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut

belum ada dalam kekuasaannya. Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat

dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang

baru saja memegang barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu

belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi ia baru “mencoba mencuri”.

(Soesilo, 1986 : 250).

Jika dihubungkan dengan Putusan Perkara Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt unsur mengambil terungkap dari fakta di persidangan

yaitu pada hari Selasa sekitar pukul 23.00 WIB korban telah kehilangan

motor. Berdasarkan keterangan saksi dan saksi Danang Oktavian Asparianto

telah menangkap terdakwa dan menemukan sepeda motor milik saksi korban

di rumah isteri terdakwa di Desa Dawuhan Kecamatan Kedungbanteng

Kabupaten Banyumas. Terdakwa telah mengambil dengan tanpa ijin dan

dengan maksud ingin memiliki barang milik korban, berupa satu sepeda

motor Yupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol. R-6923-NS milik

kakak korban.

79

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka unsur “mengambil sesuatu

barang” telah terpenuhi.

c. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orang lain

Segala sesuatu yang meruakan bagian dari harta kekayaan (seseorang)

yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi objek tindak pidana

pencurian. (PAF. Lamintang, 1989: 21).

Berdasarkan fakta hukum di persidangan bahwa 1 (satu) unit sepeda

motor Yamaha Yupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol. R-6925-NS

telah diambil oleh terdakwa dari tempat parker karyawan RS Hidayah

Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak saksi Mira

Yuli Prabandari.

d. Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan

hak

Salah satu unsure dari perbuatan melawan hukum adalah perbuatan

tersebut harus melanggar undang-undang yang berlaku dan merugikan orang

lain. (Munir Fuady, 2005 : 11).

Berdasarkan penelitian terhadap Putusan Perkara No.

69/Pid.B/2012/PN.Pwt. ditemukan fakta hukum di persidangan bahwa

80

terdakwa mengambil 1 unit sepeda motor sebagaimana tersebut di atas adalah

termasuk pencurian yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Sedangkan mengenai menimbulkan kerugian terhadap orang lain

adalah akibat perbuatan terdakwa saksi korban menderita kerugian sebesar

kurang lebih 15.000.000,- (lima belas jura rupiah).

e. Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahtan itu atau untuk dapat

mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.

Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan “untuk mencapai barang

yang diambilkan harus dengan jalan “membongkar” adalah sama dengan ini

berarti bahwa pembongkaran dsb itu untuk masuk ketempat tersebut kejahatan

tersebut. Atau membongkar sama dengan memaksa secara paksa, tidak

menggunakan cara yang lazim atau tidak sebagaimana umumnya. (R. Soesilo,

1988 : 45).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta hukum bahwa terdakwa

mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Yupiter tahun 2009 dilakukan

dengan cara memasukkan kkunci T secara paksa ke lubang kunci kontak

sepeda motor tersebut.

2. Dasar Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana melakukan

pencurian dengan pemberatan Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

81

Untuk keyakinan Hakim itu sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti

yang sah. Dalam system negatief wettelijk ada dua hal yang merupakan syarat

yaitu wettelijk dan negatief. Wettelijk dimaksudkan dengan alat-alat bukti yang

sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan negatief adalah dengan

alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup bagi hakim

pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya

keyakinan hakim, dengan demikian antara alat bukti dan keyakinan hakim

diharuskan adanya hubungan kausa (sebab-akibat).

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang diakui adalah :

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Rumusan tersebut di atas apabila dihubungkan dengan putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, yang dijadikan

pertimbangan yuridis oleh hakim adalah semua fakta yang terungkap

dipersidangan. Fakta yang dimaksud adalah dalam bentuk alat-alat bukti seperti

yang dikehendaki secara limitatif oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam persidangan

alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah keterangan saksi dan

keterangan terdakwa serta barang bukti..

1. Alat bukti keterangan saksi

82

Kesaksian adalah suatu keterangan dengan lisan di muka hakim

dengan sumpah tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu yang ia dengar,

lihat dan alami dan ia rasakan, ketahui dan dinyatakan di muka persidangan.

Untuk sahnya keterangan saksi menurut KUHAP adalah sebagai

berikut :

a. Pasal 160 ayat (3) KUHAP,

Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan

sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang

sebenarnya.

b. Pasal 1 butir 27 KUHAP

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang

ia dengan dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu.

Jika dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hakim

telah memeriksa 5 (lima) orang saksi yaitu saksi (1) Mira Yuli Prabandani, (2)

Paryono Nurokhman, (3) Danang Oktarian Isprianto (4) Nani Sumarni dan (5)

saksi Pujiono als Puji dengan terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama

dan kepercayaannya masing-masing.

2. Alat bukti keterangan terdakwa

Pasal 189 ayat (1) KUHAP merumuskan tentang pengertian

keterangan terdakwa yaitu sebagai berikut :

83

keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di siding

pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri

atau ia alami sendiri.

Rumusan Pasal 189 KUHAP di atas diketahui bahwa keterangan

terdakwa itu adalah sama dengan artinya pengakuan dari terdakwa. Guna

menentukan kesalahan terdakwa tidaklah cukup hanya dari pengakuan

terdakwa melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Dengan demikian keterangan terdakwa baru dapat menjadi alat bukti

apabila keterangan terdakwa itu dibarengi dengan alat-alat bukti yang lain

disamping keterangan-keterangan dari pihak si korban yang membenarkan

tentang pengakuan dari terdakwa.

Jika dihubungkan dengan kasus yang penulis teliti terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt dapat

disimpulkan bahwa keterangan terdakwa itu sama dengan arti pengakuan dari

terdakwa. Pengakuan yang dimaksud di sini adalah ucapan dan perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa, dengan suatu tuduhan atas dirinya mengenai

perbuatan dan kesalahan yang diucapkan di dalam maupun di luar sidang

pengadilan.

Keterangan terdakwa yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan

terdakwa di luar sidang ialah keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan

penyidikan, keterangan itu dicatat dalam Berita Acara yang ditandatangani

oleh penyidik dan tersangka. Dalam memberikan keteranganpun terdakwa

harus diikuti dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan saksi di samping

84

juga keterangan dari korban yang membenarkan tentang pengakuan dari si

terdakwa.

Proses peradilan dalam putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

: 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, apabila dikaitkan dengan rumusan tersebut di atas

telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP, sehingga telah mengungkap fakta-fakta hukum yang terbukti

benarnya bahwa telah terjadi tindak pidana melakukan pencurian dalam

keadaan yang memberatkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1) ke-

5 KUHP, sehingga terdakwa Akhmad Rofik als Rofik bin M, Sobichin dapat

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor :

43/Pid.B/2000/PN.Bjn juga telah mempertimbangkan terhadap hal-hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197

ayat (1) huruf f KUHAP.

Dalam hubungannya dengan majelis yang menjatuhkan pidana penjara selama

1 (satu), hal ini menurut hemat penulis telah sesuai dengan tujuan pidana dan

pemidanaan. Berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang telah diajukan dalam

perkara tersebut di atas dan ditinjau dari persesuaian antara alat bukti yang

satu dengan alat bukti yang lain, dengan mempertimbangkan nilai pembuktian

masing-masing alat bukti, di samping itu juga telah mempertimbangkan hal-

hal yang memberatkan dan meringankan para terdakwa sesuai dengan Pasal

85

27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, serta mendasarkan pada fakta di persidangan bahwa perbuatan

terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Maka

hakim berkeyakinan dan berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan telah melakukan tindak pidana melakukan pencurian dalam

keadaan yang memberatkan.

Berdasarkan pemeriksaan selama persidangan tidak ditemukan

adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada terdakwa yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap mereka, maka para

terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Oleh

karena itu hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa yaitu 1 (satu),

dikurangi masa tahanan yang telah dijalani untuk seluruhnya.

Dasar penjatuhan pidana tersebut di atas oleh hakim didasarkan pada

ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, serta mendasarkan pada tidak ditemukannya alasan

pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa serta hal-hal yang memberatkan

dan meringankan bagi terdakwa.

Dalam menjatuhkan putusan persidangan para terdakwa juga hadir,

dengan demikian pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan

dengan dihadiri oleh terdakwa. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 196 ayat (1) dan

(2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut :

86

(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali

dalam hal undang-undang ini menentukan lain.

(2) Dalam hal terdakwa lebih dari seorang terdakwa dalam satu

perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa saja.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Perkara No.

69/Pid.B/2012/PN.Pwt juga ditemukan bahwa Hakim di dalam menjatuhkan

pidana juga mendasarkan pada masalah-masalah sosial yaitu masalah korban,

masalah terdakwa dan dampak kepada masyarakat. Mengenai masalah sosial

korban menurut Moeljatno, yaitu “pidana kita bukan saja harus dipandang

untuk mendidik si terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat

yang lainnya (membimbing) tapi juga untuk melindungi dan memberi

ketenangan bagi masyarakat (mengayomi) (Moeljatno, 1985 : 60).

Tujuan pemidanaan yang dikehendaki tidak hanya sebagai pengimbalan

semata, namun terkandung adanya tujuan lain misalnya kesejahteraan masyarakat

atau perbaikan narapidana. Pemidanaan selain dilakukan dengan berorientasi ke

muka (prospektif) hal lain terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

Sebagaimana halnya dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt., hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal

yang memberatkan dan meringankan terdakwa, yang di dalamnya terdapat suatu

kepentingan para terdakwa, keadaan keluarga korban, dan juga

87

mempertimbangkan hal-hal yang memberikan perhatian dan perlindungan

terhadap masyarakat pada umumnya.

Hal-hal yang memberatkan terdakwa :

- Perbuatan terdakwa merugikan saksi Mira Yuli Prabandari;

- Terdakwa pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian..

Hal-hal yang meringankan terdakwa :

- Selama proses penangkapan, penyidikan dan pemeriksaan terdakwa berterus

teran dan kooperatif.

- Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.

88

BAB V

P E N U TU P

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang dipaparkan

di muka maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

2. Penerapan Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP

a. Unsur Barangsiapa

Pengertian barangsiapa adalah menunjukkan pengertian seseorang sebagai

subyek hukum penanggung hak dan kewajiban. Unsur barangsiapa pada

Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP adalah mennjuk pada orang yang melakukan

tindak pidana dan ini menunjukkan perbuatan manusia. Dalam Putusan

perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, unsur barangsiapa dalam hal ini

adalah Akhmad Rofik als Rofik Bin M. Sobichin.

b. Unsur mengambil sesuatu barang

Mengambil adalah memindahkan barang yang bukan miliknya menjadi

dalam kekuasaannya dan barang tersebut menjadi berpindah tempat,

Sedangkan yang dimaksud barang adalah semua benda yang berwuju dan

benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat

serta gas yang disalurkan. Dalam Putusan Perkara Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt terungkap bahwa terdakwa telah mengambil sepeda

motor No.Pol. R-6925-NS Noka: MH330COO291457000, No.Sin: 30C-

89

457046 milik saksi Mira Prabandari yang semula diletakkan di tempat

parkiran RS Hidayah Mersi Purwokerto Timur Kab. Banyumas, dengan

demikian unsur tersebut telah terpenuhi.

c. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orang lain

Unsur-unsur pokok dari tindak pidana pencurian adalah mengambil

barang orang lain untuk dimilikinya

Pada Putusan Perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt unsur sama

sekali atau sebagian milik orang lain. Dari fakta yang terungkap di

persidangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam

tahun 2009 telah diambil terdakwa dari tempat parkir Rumah Sakit Hidayah

Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak saksi Mira

Yuli Prabandari yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari.

d. Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dengan mendasarkan

pada keterangan para saksi terdakwa melakukan pencurian sepeda motor

tersebut hendak menjual/menggagaikannya adalah wujud dari perbuatan

memiliki barang dengan melawan hak, maka unsur inipun telah terpenuhi.

e. Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat

mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.

90

Pembongkaran (braak) terjadi apabila dibuatnya lubang dalam suatu

tembok-dinding suatu rumah, dan perusakan (verbreking) terjadi apabila

hanya satu rantai pengikat pintu diputuskan, atau kunci dari suatu peti.

Berdasarkan fakta di persidangan terdakwa mengambil sepeda motor

tersebut di tempat perkiran Rumah Sakit Hidayah Purwokerto dengan cara

memasukkan kunci T secara paksa ke lubang kunci kontak sepeda motor

Yamaha Yupiter Z No. Pol. R-6923-NS dan diputar ssearah jarum jam sampai

kunci stang sepeda motor tersebut terbuka.

3. Dasar pertimbangan hukum hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus

perkara tersebut adalah Pasal 363 ayat (1) ke-5, Pasal 84 KUHAP tentang dasar

mengadili dan Pasal 183 KUHAP tentang dasar memutus, dimana perbuatan

telah memenuhi rumusan Undang-undang, melawan hukum dan juga tidak ada

alasan pembenar dan pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja dan

tidak ada alasan pemaaf.

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang diakui adalah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa

91

berdasarkan Pasal tersebut, Hakim yang memeriksa, mengadili dan

memutus perkara NO. 69/Pid.B/2012/PN.Pwt mempunyai 3 (tiga) alat bukti,

yaitu:

1. Alat bukti keterangan saksi

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hakim

memeriksa 5 (lima) orang saksi yaitu saksi (1) Mira Yuli Prabandari, (2)

Paryono Nurakhman, (3) Danang Oktarian Isprianto, (4) Nani Sumarni dan

Pujiono als. Puji dengan disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

masing-masing.

2. Alat bukti keterangan terdakwa

Dalam persidangan telah didengar keterangan terdakwa hal ini sesuai

dengan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

3. Barang bukti

Dipersidangan telah diperlihatkan barang bukti berupa :

- 1 (satu) Sepeda Motor Yamaha Jupiter warna merah hitam Tahun 2009

No. Pol. R-6925-NS Noka: MH330C00291457000, Nosin: 30C-457046.

- Kunci T yang digunakan pelaku untuk mengambil motor milik korban.

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Perkara Nomor :

69/Pid.B/2012/PN.Pwt juga telah mempertimbangkan terhadap hal-hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197

ayat (1) huruf f KUHAP.

92

Adanya hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

Hal-hal yang memberatkan terdakwa:

-Perbuatan terdakwa merugikan korban.

-Terdakwa pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian.

Hal-hal yang meringankan terdakwa:

-Selama proses penangkapan, penyidikan, dan pemeriksaan , terdakwa

berterus terang dan kooperatif.

-Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.

Berdasarkan pemeriksaan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan

pembenar dan alasan pemaaf pada terdakwa Akhmad Rofik als. Rofik bin M.

Solichin yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap

terdakwa.

Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dikurangi

masa penahanan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), serta

mendasarkan pada fakta bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan

Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, maka hakim berkeyakinan dan berpendapat

bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak

pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan.

93

Saran.

Saran yang penulis berikan kepada Majeleis Hakim terkait penulisan ini

adalah Sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana hendaknya

hakim didalam mengadili harus lebih cermat dalam menjatuhkan pidana kepada

terdakwa, karena berkaitan dengan kondisi korban dan nilai-nilai yang berkembang

dalam masyarakat dan harus memenuhi rasa keadilan hukum, keadilan moral dan

keadilan masyarakat

94

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Nawawi, .Barda, tt. Hukum Pidana II. Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.

Bassar, M. S., 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Ghalia, Bandung

Kansil, C.S.T., 1980. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cetakan

ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Lamintang, PAF., 1989. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta

Kekayaan, Sinar Baru, Bandung.

Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ketiga, Bina Aksara, Jakarta.

________, 1982. Azas-azas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara, Jakarta.

________, 1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cetakan keenambelas, Bumi

Aksara, Jakarta.

Prasetyo, Teguh, 2010. Hukum Pidana, Rajawali Pers, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono., 1980. Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco,

Bandung.

Poernomo, Bambang., 1982. Asas-asas Hukum Pidana, cetakan kelima, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1986 Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Soekanto, Soerjono & Memudji, S. 1985 Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.

Saleh, R., 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Aksara, Jakarta.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.

Soesilo, R., 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor.

95