SKRIPSI - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/CHANDRA SIMANJUNTAK... ·...

123
PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERBARENGAN PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.159/Pid.B/2012/PN.PWT) SKRIPSI Oleh: CHANDRA SIMANJUNTAK E1A008135 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Transcript of SKRIPSI - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/CHANDRA SIMANJUNTAK... ·...

PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERBARENGAN PENCURIAN

DALAM KEADAAN MEMBERATKAN YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK

(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

No.159/Pid.B/2012/PN.PWT)

SKRIPSI

Oleh:

CHANDRA SIMANJUNTAK

E1A008135

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERBARENGAN PENCURIAN

DALAM KEADAAN MEMBERATKAN YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK

(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

No.159/Pid.B/2012/PN.PWT)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

CHANDRA SIMANJUNTAK

E1A008135

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

iv

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Yesus Kristus atas kasih sayangnya dan

penyertaan serta campur tanganNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi dengan judul “ Pertimbangan Hakim Pada Perbarengan Pencurian

Dalam Keadaan Memberatkan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan

Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

159/Pid.B./2012/PN.Pwt)” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Selama proses pembuatan hingga selesainya skripsi ini penulis banyak

memperoleh bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman untuk kepemimpinan dan kebijakannya.

2. Bapak Pranoto, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan

sabar membimbing dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Handri Wirastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

dengan sabar membimbing dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji, atas setiap

evaluasi serta kesabarannya dalam membimbig dalam penyusunan skripsi

ini.

5. Ibu Sarsiti, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

menjadi orantua penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum.

v

6. Segenap Dosen Fakultas Hukum yang telah bersedia membagikan ilmunya

kepada penulis selama ini.

7. Kedua orang tua, atas kasih sayang, dukungan doa serta materinya selama

ini. Serta kepada seluruh keluarga besar Simanjuntak dan Girsang,

terimakasih atas nasehat dan dukungannya selama masa perkuliahan di

Fakultas Hukum.

8. Desianna Simanjuntak dan Irvan Manumpak Simanjuntak untuk setiap

dukungan dan doanya.

9. Sartika Elfrina Sitorus, atas setiap dukungan doanya selama perkuliahan.

10. Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristiani Fakultas Hukum

UNSOED tempat penilus bertumbuh, berkembang dan saling melayani

dalam persekutuan, persaudaraan, dan cinta kasih bersama dengan-Nya.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan

saran yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari pula bahwa skripsi ini masih memerlukan

penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis harapkan demi

kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca dan bagi yang membutuhkan.

Purwokerto, November 2013

Penulis

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………. ii

HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………. iii

PRAKATA……………………………………………………………... iv

DAFTAR ISI…………………………………………………………… vi

ABSTRAKSI…………………………………………………………… viii

ABSTRACT……………………………………………………………. ix

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………….. 1

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Perumusan Masalah……………………………………... 5

C. Tujuan Penelitian………………………………………… 5

D. Kegunaan Penelitian…………………………………….. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 7

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana…………… 7

B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana………………………... 17

C. Pembuktian……………………………………………… 23

1. Pengertian Pembuktian………………………………. 23

2. Alat Bukti dalam KUHAP…………………………… 25

vii

3. Jenis-Jenis Pembuktian………………………………. 46

D. Tindak Pidana…………………………………………… 53

1. Pengertian Tindak Pidana Pencuria………………….. 53

2. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan………. 59

E. Perlindungan Anak……………………………………… 65

1. Pengertian Anak……………………………………… 65

2. Pengaturan Tindak Pidana Anak…………………….. 66

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………….. 71

A. Metode Pendekatan……………………………………... 71

B. Spesifikasi Penelitian……………………………………. 72

C. Sumber Data…………………………………………….. 72

D. Metode Pengumpulan Data……………………………… 73

E. Metode Penyajian Data………………………………….. 73

F. Metode Analisis Data……………………………………. 73

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… 74

A. Hasil Penelitian…………………………………………… 74

B. Pembahasan………………………………………………. 97

BAB V. PENUTUP……………………………………………………… 110

Kesimpulan……………………………………………….. 110

DAFTAR PUSTAKA

viii

ABSTRAKSI

PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERBARENGAN PENCURIAN

DALAM KEADAAN MEMBERATKAN YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

No.159/Pid.B/2012/PN.PWT)

OLEH

CHANDRA SIMANJUNTAK

E1A008135

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

menentukan batas minimum anak yang masuk kategori anak nakal ketika

melakukan tindak pidana adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan

belas) tahun”. Dalam Undang-Undang ini seorang anak yang melakukan tindak

pidana disebut sebagai anak nakal, dalam hal pemberian hukuman terhadap anak

nakal, sanksi yang dijatuhkan sebagai akibat dari perbuatannya berbeda dengan

sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang telah dewasa.

Dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

sanksi yang dapat diberikan kepada anak nakal terdiri dari sanksi pidana dan

sanksi tindakan. Sanksi tindakan diatur dalam Pasal 24 Undang- Undang Nomor 3

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang terdiri dari tindakan di kembalikan

kepada orang tua, diserahkan kepada negara, dan diserahkan kepada departemen

sosial.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan

spesifikasi penelitian preskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

No.159/Pid.B/2012/PN.PWT dapat diketahui bahwa seorang anak yang

melakukan tindak pidana perbarengan pencurian dalam keadaan memberatkan

telah diberikan sanksi tindakan oleh hakim.

Kata kunci : Pengadilan Anak, Anak Nakal, Sanksi Tindakan.

ix

ABSTRACT

THE JUDGE CONSIDERATION TO THE THEFT AS

TOGETHER IN THE AGGRAVATING CIRCUMSTANCE THAT

WAS CONDUCTED BY CHILDREN (Juridical Review in the

Public Court Decision in Purwokerto No.159/Pid.B/2012/PN.PWT)

By:

CHANDRA SIMANJUNTAK

E1A008135

The ordinance Number 3 in 1997 About the Juvenile Justice

decides the minimum limit for the children that are categorized as the

naughty children when conduct the criminal act it is 8 (eight) years

old and maximum is 18 (eighteen) years old”. In this ordinance, a child

who conducts the criminal act it is called as the naughty child, in the

giving of punishment to the naughty child, the sanction that is taken as

the consequence from their act is difference with the sanction that is

given to the criminal act for adult people.

In the Ordinance Number 3 in 1997 About the Juvenile Justice

which the sanction that can be given to the naughty child consist of

punishment sanction and action sanction. Action sanction is regulated in

the Article 24 Ordinance Number 3 in 1997 about the Juvenile Justice,

that is consisted of the action to bring back to their parent, given to the

government, and given to the social department.

This research uses the method of normative juridical with the

specification of prescriptive research. Data in this research uses the

secondary data. Based on the result of research in the Public Court

Decision Purwokerto No.159/Pid.B/2012/PN.PWT can be known that a

child who conduct the criminal act as together with theft in the

aggregating circumstance has been given the action sanction by judge.

Keywords: Juvenile Justice , naughty Child, Action Sanction

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

hidup manusia dan keberlangsungan suatu Bangsa dan Negara. Kedudukan anak

sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon

pemimpin bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi

terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan sosial.1

Pembicaraan tentang anak dan pe rlindungannya tidak akan pernah berhenti

sepanjang sejarah kehidupan, perlindungan anak Indonesia be rarti melindungi

potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya,

menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan peran anak yang sangat penting

tersebut, maka Negara Indonesia menjamin hak anak secara tegas yang dinyatakan

dalam konstitusi, tepatnya pada Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia, yang dirumuskan sebagai berikut:

“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

1 Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia). Bandung: Refika Aditama. Hal 33

2

Selain telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, dalam melindungi anak-anak Indonesia pemerintah Indonesia juga

telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights

of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak), juga menerbitkan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan yang paling

baru dan merupakan langkah maju adalah ditetapkannya Undang-U ndang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Semua instrument hukum nasional

ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara

lebih kuat ketika mereka berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses

peradilan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

tepatnya pada Pasal 1 angka 1 dirumuskan bahwa:

“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Peningkatan kenakalan anak setiap tahunnya perlu diberikan perhatian

khusus oleh pemerintah, yaitu dengan melakukan upaya pencegahan dan

penanggulangan kenakalan anak. Salah satu upaya pencegahan dan

penanggulangan kenakalan anak saat ini dapat dilakukan melalalui

penyelengaraan peradilan anak, dimana anak yang melakukan tindak pidana yang

3

diajukan ke pengadilan akan diadili dengan menggunakan ketentuan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 2

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

menentukan batas minimum anak yang masuk kategori anak nakal ketika

melakukan tindak pidana adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan

belas) tahun”. Dalam undang-undang ini seorang anak yang melakukan tindak

pidana disebut sebagai anak nakal, dalam hal pemberian hukuman terhadap anak

nakal, sanksi yang dijatuhkan sebagai akibat dari perbuatannya berbeda dengan

sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang telah dewasa.

Pentingnya peranan seorang anak sebagai generasi muda yang kelak akan

melanjutkan pembangunan bangsa maka seorang hakim dalam memutus suatu

perkara yang dimana terdakwanya adalah seorang anak harus penuh dengan

pertimbangan dan dengan yakin benar bahwa putusan yang diambil akan menjadi

salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju

masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang

bertanggungjawab bagi kehidupan keluarga, Bangsa, dan Negara.

Sanksi yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada kebenaran, keadilan,

dan kesejahteraan anak. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu

tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi anak. Hakim

wajib mempertimbangkan keadaan anak, keadaan ruma h, keadaan lingkungan dan

laporan pembimbing kemasyarakatan.

2 Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Hal 1

4

Pertimbangan hakim yang baik dan benar akan memberikan yang terbaik

kepada anak nakal pelaku tindak pidana, tetapi yang menjadi masalah saat ini

adalah banyaknya ketidak adilan yang terjadi dalam setiap putusan yang diberikan

oleh hakim.

Oleh sebab itu maka sangat menarik untuk mencermati isi putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No. 159/ Pid.B/ 2012/ PN.Pwt yang memeriksa

perkara pada tingkat Pertama dengan terdakwa P alias P Bin S yang telah terbukti

bersalah melakukan tindak pidana Perbarengan Pencurian dalam Keadaan

Memberatkan terhadap harta benda berupa sepeda motor milik saksi korban N bin

S dan saksi korban S bin M. Terdakwa P alias P Bin S yang berusia 16 Tahun

dijatuhi putusan dengan menyerahkan Terdakwa kepada Negara untuk mengikuti

pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak

Kutoarjo Kabupaten Purworejo.

Latar belakang di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian

hukum yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul :

Pertimbangan Hakim Pada Perbarengan Pencurian Dalam Keadaan

Memberatkan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No.159/Pid.B/2012/PN.Pwt).

5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Mengapa hakim menjatuhkan sanksi tindakan dalam kasus perbarengan

pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto No. 159/Pid.B/2012/PN.Pwt?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

anak sebagai pelaku tindak pidana perbarengan pencurian dengan pemberatan

pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.159/Pid.B/2012/PN.Pwt?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dasar hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi tindakan

terhadap kasus perbarengan pencurian dalam keadaan memberatkan yang

dilakukan oleh anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.

159/Pid.B/2012/PN.Pwt.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perbarengan pencurian dalam

keadaan memberatkan pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.

159/Pid.B/2012/PN.Pwt.

6

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Akademis/Teoritis

Hasil penelitan ini diharapkan dapat menambah wacana dan pengetahuan

hukum dalam bidang hukum acara pidana terutama masalah yang menyangkut

tindak pidana perbarengan pencurian dengan pemberatan yang di lakukan oleh

anak.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan wacana bagi para

praktisi pengambil kebijakan atau akademisi dalam menelaah suatu permasalahan

dibidang hukum acara pidana dan dapat pula digunakan untuk memberikan

wacana ataupun pengetahuan baru tentang hukum acara pidana bagi akademisi

dan/atau masyarakat pada umumnya.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana

Perkembangan mengenai hukum acara di Indonesia semakin lama semakin

berkembang mengikuti arah kemajuan zaman. Dahulu orang berselisih karena

pertentangan kepentingan dan mengganggu orang lain, sering melakukan

pembalasan sendiri dan akibatnya tidak hanya merugikan orang yang mengganggu

kepentingannya saja akan tetapi juga merugikan dirinya sendiri karena nantinya

orang yang dibalas akan membalasnya kembali dan begitu seterusnya tidak ada

hentinya untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu pemerintah sebagai

pengatur kehidupan rakyatnya dan Indonesia sebagai negara rechtstaat perlu

mengatur proses beracara antara dua pihak atau lebih agar perselisihan itu tidak

berkelanjutan dan bersifat obyektif, adil dan tidak memihak.

Menurut ajaran Montesquieu3,

“kekuasaan untuk memertahankan peraturan perundangan atau kekuasaan peradilan (kekuasaan yudikatif) berada ditangan Badan Peradilan yang terlepas dan bebas dari campur tangan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan itu tidak ditaati oleh masyarakat. Adapun bidang hukum yang demikian itu dinamakan Hukum Acara atau Hukum formil, yakni rangkaian kaidah hukum yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara -cara hakim memberikan putus an, dapat juga dikatakan, suatu rangkaian

3 C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka. Hal 329

8

peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.” Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia tidak ketinggalan untuk

menegakkan hukum pidana materiil yaitu dengan mengadakan hukum pidana

formil, dimana dapat dilihat sejarah perkembangan hukum acara pidana (hukum

pidana formil) di Indonesia. Hukum acara pidana di Indonesia mulai tampak

ketika pengaruh Hindu yang membawa seni bangunan, pemerintahan dan hukum

sekitar abad ke-7 dan ke-8. Dugaan ini diperkuat dengan adanya pejabat

“adhyaksa” yang mengepalai urusan ketenteraan dan agama termasuk pengadilan

dan hukum atas nama raja.4 Pada zaman penjajahan Belanda muncul Inland

Reglement (Reglemen Indonesia) yang disingkat menjadi I.R yang berlaku bagi

orang Indonesia asli dan bangsa timur asing, sedangkan yang berlaku bagi orang

Eropa dan yang disamakan dengan menggunakan Reglement Recht Vondering

dalam hukum acara perdatanya, sedangkan dalam acara pidananya menggunakan

Reglement op de Strafvordering. Kemudian terjadi pembaharuan dengan

dikeluarkannya Staatblad 1941-44 dengan bentuk HIR (Herziene Inlandsch

Reglement) staatblad Tahun 1941 Nomor 44 yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 yang berlaku bagi masyarakat Jawa

dan Madura yang berisi proses beracara pidana maupun perdata. Pada akhirnya di

tahun 1981 Indonesia untuk pertama kalinya mampu membuat kodifikasi tentang

hukum acara pidana yang dianggap sebagai karya agung (master piece) bangsa

Indonesia yaitu tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4 Bambang, Poernomo. 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta:

Amarta Buku. Hal 5.

9

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) tidak menjelaskan mengenai pengertian hukum acara pidana, KUHAP

hanya menjelaskan mengenai batasan-batasan mengenai beberapa bagian hukum

acara pidana serta tatacara peradilan dalam tingkat peradilan umum pada semua

tingkat peradilan. KUHAP juga memberikan definisi-definisi beberapa bagian

hukum acara pidana, seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,

putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan,

penahanan, dan lain-lain. 5

Pengertian hukum acara pidana dapat dilihat dari pendapat para ahli

hukum, antara lain:

1. C.S.T Kansil6, memberikan pengertian hukum acara pidana yaitu :

“hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan perkara pidana ke depan pengadilan, dan cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi dapat juga disebut rangkaian kaedah-kaedah hukum tentang cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil”.

2. Simons7, memberikan definisi mengenai hukum acara pidana sebagai berikut:

“Hukum acara pidana bertugas mengatur bagaimana cara-cara nega ra melalui alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.”

Pengertian yang dikemukakan oleh C.S.T Kansil dan juga S imons tersebut

diatas lebih mengedepankan bagaimana Negara melalui alat perlengkapannya

dapat menegakkan hukum materiil dengan melaksanakan hukum formil.

5 Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana (Dalam Teori dan Praktek). Bogor:

Ghalia Indonesia. Hal 1 6 C.S.T. Kansil, Op., Cit. Hal.330 7 Makarao dan Suhasril, Loc., Cit.

10

3. Van Bemellen8, memberikan penjelasan mengenai hukum acara

pidana sebagai berikut:

Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut: a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran b. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si

pembuat dan kalau perlu menahannya d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut

e. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib

f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan

tata tertib.

Pengertian diatas lebih mengedepankan adanya tahapan-tahapan dalam

beracara pidana. Poin satu sampai empat menunjukkan tahap penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan sehingga batas antara penyidikan dan penuntutan

menjadi kabur, yang jelas terpisah adalah pada poin kelima menunjukkan adanya

pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya hukum yang dapat

ditempuh pada poin enam dan ke tujuh merupakan eksekusi dari putusan hakim

yang dilaksanakan oleh jaksa. 9

4. Definisi hukum acara pidana dari Wirjono Prodjodikoro 10 adalah

sebagai berikut:

8 Ibid.,Hal 3 9 Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Hal 6 10 Wirjono Prodjodikoro. 1977. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur

Bandung. Hal.15.

11

“Jika suatu perbuatan dari seseorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi jika ternyata ada hak Badan Pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan dapat suatu keputusan Pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman pidana, harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan Hukum Acara Pidana.”

Definisi ini menunjukkan adanya kewenangan pemerintah untuk

melaksanakan tugasnya untuk melakukan tindakan hukum bagi orang yang

melanggar ketertiban di masyarakat dari proses hingga pengadilan yang

menjatuhkan putusannya. Hukum acara pidana dalam hal ini berhubungan erat

dengan hukum pidana dimana hukum pidana mengatur mengenai orang yang

melakukan pelanggaran ataupun kejahatan (materiil) dan hukum acara pidana

adalah tentang cara menegakkan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian, Kejaksaaan, dan Pengadilan agar tercipta ketertiban dimasyarakat.

Susunan peradilan mengandung pengertian bahwa untuk menyelesaikan

jenis perkara yang beraneka ragam, terdapat lebih dari satu lembaga atau badan

peradilan. Hal ini berkaitan dengan pemisahan wewenang pengadilan yang

dikenal dengan kompetensi absolute dan relative dalam satu atau lebih lembaga

peradilan. Saat ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman ada empat badan peradilan, yaitu:

1. Peradilan Umum 2. Peradilan Militer 3. Peradilan Tata Usaha Negara 4. Peradilan Agama.

12

Materi pokok hukum acara pidana adalah:

1. Penyelesaian soal yang timbul dalam kehidupan masyarakat umum

sejak terjadinya dugaan kasus sampai dengan selesai melaksanakan

hukuman;

2. Acaranya dirangkai tersistem menurut prosedur tetap, yang ditentukan

sebagai hukum dalam bentuk tertulis, tetapi juga dengan

mengindahkan norma kebiasaan baik yang lazim berlaku sebagai

hukum tak tertulis;

3. Subjek pelaksananya adalah pejabat umum yang ditentukan oleh

hukum secara spesifik, yakni para pejabat selaku penyidik, penyelidik,

pendakwa, penuntut, hakim pemeriksa di persidangan dan advokat

sebagai pembela atau penasihat hukum;

4. Di tingkat pertama sampai tingkat akhir eksekutor dan pelaksana

putusan hukum terhadap orang yang bersalah;

5. Sampai si tersalah dan si terpidana itu selesai menjalani hukumannya,

dan dia dikembalikan ke kehidupan masyarakat umum yang normal.11

Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan tertentu

yang akan dicapai. Hukum dan undang-undang yang tidak memiliki tujuan akan

tidak memiliki kegunaan, semakin realistis sesuatu tujuan yang hendak dicapai

maka semakin bernilai dan dekat pula tujuan yang diperoleh anggota masyrakat

sebagai pencari keadilan. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang

dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat dalam

11 Nikolas, Simanjuntak. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Bogor:

Ghalia Indonesia. Hal. 18

13

Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman

sebagai berikut:

“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.

Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari kebenaran

materiil yang dapat diperoleh dengan berbagaimacam alat bukti yang dihadirkan

dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari penasehat hukum

terdakwa. Pemeriksaan dipengadilan yang ditekankan pada pembuktian yang

dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga menimbulkan keyakinan hakim

akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah dengan alat bukti tersebut.

Menurut Van Bemellen12, hukum acara pidana mempunyai tiga fungsi

yaitu:

1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim 3. Pelaksanaan keputusan

Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan

kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan

kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan

sampai kepada putusan (yang adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh

jaksa.

12 Andi hamzah, Op., Cit. hal 8

14

Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama dan

cenderung dicampur adukkan karena pada prinsipnya sama untuk mencari

kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari

kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat

menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah

perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan yang

dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu sendiri

dengan prins ip keadilan.

Menurut Romli Artasasmita13, KUHAP memiliki 5 tujuan yaitu:

1. Perlindungan atas hak dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa)

2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan 3. Kualifikasi dan unifikasi hukum acara pidana 4. Mencapai persatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum 5. Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.

Pendapat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan hukum

acara pidana selain untuk mencari kebenaran materiil juga memberikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia baik terhadap tersangka atau terdakwa

dan korban kejahatan dihadapan persidangan. Bagaimanapun kedudukan manusia

itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia sesuai

dengan Pancasila yang ada dalam sila ke dua yaitu kemanusian yang adil dan

beradab dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang menegaskankan

mengenai perlindungan atas Hak Asasi manusia di Indonesia.

Menurut Bambang Poernomo14, tujuan hukum acara pidana adalah :

13 Romli Artasasmita. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta: Bina Cipta

Hal.27.

15

“Tujuan hukum acara pidana adalah mempelajari hukum untuk tujuan kedamaian yang meliputi ketertiban, ketenangan, memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum. Selain tugas hukum acara pidana secara umum juga mempunyai sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat”

Tujuan hukum acara pidana menurut R. Soesilo15, dalam bukunya Hukum

Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi

Penegak Hukum) berpendapat bahwa :

“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasar hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.

Pengertian tersebut terkesan menyoroti bahwa tujuan hukum untuk

mencari kebenaran dibutuhkan penegak hukum yang sumber daya manusia yang

unggul berakhlak baik, cerdas dan berani. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa

penegakan hukum yang baik bisa dilaksanakan jika penegaknya itu baik, karena

berdasarkan filosofi dalam hukum jika untuk mewujudkan hukum yang baik maka

penegaknya juga harus baik walaupun peraturan atau undang-undangnya itu jelek.

Tujuan acara pidana secara yuridis juga tercantum dalam KUHAP yang

merupakan kodifikasi Undang-undang beracara pidana sehingga dapat pula

14 Bambang Poernomo. 1988. Pola Dasar dan Asas Umum Hukum Acara Pidana.

Yokyakarta: Liberty. Hal.29. 15 R. Soesilo. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum. Bogor: Politeia Hal.19 .

16

dimasukkan dalam tujuan acara pidana. Tujuan yang hendak dicapai oleh KUHAP

dapat ditelaah dalam huruf c konsiderans, yang berbunyi :

“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang msing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.”

Menurut M. Yahya Harahap 16, landasan tujuan KUHAP dapat di

jabarkan menjadi bebarapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu :

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

b. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum

Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan : - Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum

sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing - Peningkatan pembinaan profesionalisme - Pembinaan peningkatan sikap mental

c. Tegaknya hukum dan keadilan

Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP

d. Melindungi harkat martabat manusia

16 Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi II.

Jakarta: Sinar Grafika. Hal 58-80

17

Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hak-hak asasi yang melekat pada tiap diri manusia.

e. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum

Kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar.

B. Asas -Asas Hukum Acara Pidana

Asas-asas hukum merupakan suatu ungkapan hukum yang bersifat lebih

umum, oleh karenanya bersumber dar i kesadaran dan keyakinan hukum kelompok

manusia. Dari asas-asas hukum tersebutlah selanjutnya dibentuk hukum. Dengan

demikian hukum atau undang-undang yang baik, harus sesuai dengan asas -asas

hukum pembentuknya.

Menurut pendapat Bambang Poernomo 17,

“Apabila ada peraturan perundang-undangan yang tidak dapat dukungan oleh suatu asas hukum maka peraturan itu kehilangan diri dari sifat hukumnya. Idealisme hukum mendorong para ahli hukum untuk selalu meninjau aspek hukum yang memperluas atau membatasi atau membangun kembali agar bangunan hukum yang berlaku serupa dengan yang dicita-citakan. Setelah itu lalu mempergunakan asas-asas hukum untuk mengukur peraturan lama, mengadakan ketentuan-ketentuan baru, dan mencari keleluasaan untuk menerapkan peraturan apabila ada pertentangan dalam menghadapi situasi-situasi baru”.

Asas-asas hukum acara pidana adalah dasar hukum yang melandasi

KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas-asas tersebut akan menjadi

17 Bambang Poernomo. 1984. Op.Cit., Hal 5.

18

pedoman setiap orang termasuk penegak hukum dan orang-orang yang sedang

berkepentingan dengan hukum acara pidana.

Asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana antara lain :

1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,

sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada

tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas

ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 e KUHAP yang

merumuskan:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara kensekuen dalam seluruh tingkat peradilan”. Menurut Bambang Poernomo 18: Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan

menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural, agar

tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan samapi

dengan pelaksanaan keputusan akhir dapat selesai dalam waktu

relative singkat.

Proses perkara pidana yang sederhana diartikan penyelenggaraan

administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara dari

masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan,

yang tidak member peluang saluran (circuit court), bekerja secara

berbelit-belit dan dalam berkas tersebut terungkap pertimbangan serta

18 Bambang Poernomo. 1988. Op.Cit., Hal 65-66

19

kesimpulan penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak

yang berkepentingan.

Proses perkara pidana dengan biaya ringan, diartikan menghindarkan

sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas

yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau

masyarakat yang tidak sebanding karena biaya yang dikeluarkan lebih

besar dan hasil yang diharapkan kecil”.

2. Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum

(Equality Before the Law)

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

merumuskan:

“pengadila n mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” Penjelasan umum butir 3 a KUHAP merumuskan:

“perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) di jumpai

dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman jo Penjelasan Umum butir 3 huruf c KUHAP,

yang dirumuskan sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

20

Menurut M. Yahya Harahap 19, asas praduga tak bersalah dit injau dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding membuka siding dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini

mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum seperti telah

dirumuskan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP

Pengecualian untuk asas ini adalah terhadap kesusilaan dan anak-

anak, dimana alasannya karena kesusilaan dianggap sebagai masalah

yang sangat pribadi, tidak patut dungkapkan dan dipaparkan secara

terbuka dihadapan umum. Begitu juga apabila tindak pidana yang

dilakukan oleh anak, yang diaman melakukan kejahatan ka rena

kenakalan.

Walaupun asas persidangan menganut asas terbuka untuk umum, akan

tetapi banyak hal yang harus dijaga dalam mengikuti persidangan.

Seperti yang diatur dalam Pasal 218 KUHAP yang rumusannya

sebagai berikut :

19 Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hal 3-4

21

a. Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan;

b. Siapapun yang disidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tat tertib setelah mendapatkan peringatan dari hakim ketua siding, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang;

c. Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadapnya.

5. Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.

Asas ini diatur dalam Pasal 69-74 KUHAP, dimana tersangka atau

terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas.

Kebebasan-kebebasan itu antara lain:

a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

c. Penasihat hukum dapat menhubungi tersangka/terdakwa pada

semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

d. Pembicaraan antar penasihat hukum dan tersangka tidak didengar

oleh penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang

menyangkut keamanan negara.

e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat

hukum guna kepentingan pembelaan.

f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari

tersangka atau terdakwa.

22

Andi Hamzah20, memberikan pendapat bahwa ada pembatasan yang

dilakukan terhadap asas ini, dimana pembatasan-pembatasan hanya

dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya

tersebut.

6. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan (Pemeriksaan dengan

Hadirnya Terdakwa)

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan

pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara

hakim dan terdakwa.

Ketentuan mengenai hal tersebut diatas diatur dalam Pasal 154, 155

KUHAP. Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah

kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu

putusan in absentia. Tetapi hal tersebut hanya merupakan

pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu

lintas jalan.

7. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

Asas ini diatur dalam Pasal 95-97 KUHAP, dimana tentang ganti

kerugian diatur dalam Pasal 95 dan 96 KUHAP, sedangkan tentang

rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 KUHAP.

Kerugian dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP adalah:

“kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan

20 Andi Hamzah, Op., Cit. Hal 24

23

tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada putusan yang dijatuhkan”. Rehabilitasi diatur dalam Pasal 11 butir 23 KUHAP, yang dirumuskan

sebagai berikut:

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang ini”

C. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan salah satu proses yang mendapat peranan yang

sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian

merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh

dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Hakim dalam pemeriksaaan persidangan terutama dalam kasus yang sulit

harus bekerja secara aktif untuk menemukan kebenaran tentang peristiwa yang

terjadi untuk menjadi dasar keyakinan menentukan hukum dan keputusannya.

Sekalipun dalam hal upaya pembuktian tetap menggantungkan alat-alat bukti yang

disajikan oleh penuntut umum, terdakwa atau pembelanya, tidak mengurangi

24

wewenang hakim untuk berusaha melengkapi alat-alat bukti yang diperlukan

dengan mengacu pada tata cara yang diatur dalam undang-undang.

Darwan Prints 21, mengemukakan bahwa:

“Dalam proses pembuktian Hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.ke pentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus dipelakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Atau kalau memang bersalah, hukuman yang dijatuhkan harus seimbang dengan kesalahannya.” Nikolas Simanjuntak22, juga memberikan pendapatnya sebagai berikut :

Pembuktian dalam perkara pidana menganut prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil. Oleh karena itu setiap kejadian dan fakta dalam perkara pidana harus dapat dibenarkan apa adanya berdasarkan 2 prinsip yaitu:

a. Material objektif, artinya bahwa kebenaran bukan sekedar bentuk-bentuk peristiwa itu saja secara formal. Dalam perkara pidana, harus dapat diungkapkan juga mengenai kebenaran substansi, isi, hakikat, nature, dan sifat dari peristiwa atau kejadian itu.

b. Material impersonal, artinya isi kebenaran itu tidak tergantung kepada siapa/orang yang mengungkapkannya. Kebenaran itu mencul dan ditemukan setelah peristiwa diketahui terbukti. Bukan sebaliknya, kebenaran itu sudah dirumuskan lebih dahulu dalam pikiran menurut imajinasi perumus, lalu untuk itu dibentuk premis-premis yang membuktikan pikiran si perumus itu tersebut.

Berkaitan dengan pembuktian dalam persidangan, Moch. Faisal Salam 23,

menyebutkan hal yang harus dibuktikan oleh hakim di dalam suatu persidangan

adalah :

a. Apakah betul suatu peristiwa pidana itu telah terjadi;

21 Darwan Prints. 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.

Hal 105 22 Nikolas Simanjuntak, Op., Cit. hal 238 23 M. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar

Maju. Hal 295.

25

b. Kalau peristiwa itu telah terjadi, maka harus dibuktikan bahwa peristiwa pidana yang telah terjadi itu merupakan suatu tindak pidana;

c. Hakim harus membuktikan pula apa yang menjadi alasan atau yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut;

d. Dalam peristiwa yang telah terjadi, harus diketahui pula siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.

2. Alat Bukti dalam KUHAP

Setiap pemeriksaan proses beracara pidana diperlukan ketentuan-ketentuan

dalam KUHAP yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan

sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar dan

pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa-rekayasa para pelaksana

persidangan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembuktian

dalam persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil ataupun kebenaran

yang sebenar-benarnya.

Untuk menemukan suatu kebenaran yang sebenar-benarnya diperlukan

suatu pembuktian yang obyektif yang dimana salah satunya dengan menggunakan

alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan alat bukti yang sah

untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti itu antara lain:

a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa.

Dari alat bukti diatas hakim dapat memperoleh kebenaran materiil dari

kejadian yang terjadi dan pembuktian dengan menggunakan alat bukti tersebut

digunakan tergantung keadaan, tergantung alat bukti yang disediakan oleh jaksa

26

penuntut umum dan penasehat hukum, selain itu hakim juga dapat menentukan

alat bukti apa yang perlu dihadirkan di persidangan yang bersangkutan.

Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. 24

Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat(2)

KUHAP yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally

known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui, hal-hal yang

bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu

dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap

manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan

sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP diterapkan :

a. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;

b. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan

24 Yahya Harahap. 2009. Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.285.

27

tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh. 25

Berikut penjelasan mengenai alat-alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP:

a) Keterangan Saksi

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, yang dimaksud dengan saksi

adalah:

“orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” Sedangkan pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27

KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Pengertian saksi dan keterangan saksi sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP tersebut diatas, dijabarkan lebih lanjut dalam

Pasal 185 ayat (1) KUHAP sampai dengan ayat (7) KUHAP

Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari

seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja

tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-

benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus

testis).

25 Ibid, Hal.276.

28

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan

yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu,

telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni

keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini

dapat disimpulkan bahwa persya ratan yang dikehe ndaki Pasal 185 ayat (2) adalah:

a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi;

b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.26

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP untuk menilai

kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar

mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam

Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam

setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya

masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi

26 Ibid, Hal.288.

29

akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang

sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam

persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau

janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan

Pasal 160 ayat (4) KUHAP. Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena

permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah

karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan

dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai

tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak

dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat

diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan

perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan

diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat

dipertanggung jawabkan.

Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan

saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut

dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang paling

lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).

Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,

berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi

adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri,

dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium de auditu atau lebih dikenal

30

dengan keterangan yang diperoleh sebagai hasil mendengar dari orang lain tidak

mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dikarena kan tujuan acara pidana adalah

mencari kebenaran materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain

tidak menjamin kebenaran keterangannya. Meskipun demikian testimonium de

auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari

dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan.

Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena

ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena

mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai

obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang be rsama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang.

Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak

disumpah yaitu :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum

berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,

31

sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut

psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna

dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam

memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai

petunjuk saja.

b) Keterangan Ahli

Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam KUHAP terdapat

dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186

KUHAP. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak

yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan

dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan

ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan

ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP

menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pada Pasal 184 (1) KUHAP pembentuk undang-undang meletakkan

keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan

perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi

telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak

hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang

memerlukan pengetahuan, dan keahlian.

32

Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pe ndapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan. 27

Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan

yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini disumpah dalam persidangan

agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika

dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan

keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang

sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.

Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

Pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Penjelasan :

- Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

- Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki

27 R. Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum

acara pidana. Bandung : Mandar Maju, Hal. 3.

33

masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setipa orang yang

memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau 4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang

suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.28

Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 KUHAP

yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah

jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik

bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya.

Akan tetapi dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat

yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan

keterangan yang diminta.

Ahli dalam Pasal 133 KUHAP menekankan kepada ahli dalam kedokteran

forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang

diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan

tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia

forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam

mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka

ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan

28 Ibid, hal.72-73.

34

oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggungjawab

berdasarkan sumpah ja batan dan profesi yang diembannya.

Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180 (2),(3), dan (4) KUHAP.29 Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam

kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang

berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 KUHAP

bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli

dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum

dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat

diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam

masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan

ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari

keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadan tertentu atau suatu hal dan belum

menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara

tindak pidana yang bersangkutan.

Hal yang dapat diperoleh dari Pasal 1 angka 28 KUHAP, dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP , agar keterangan ahli

dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :

1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

29 I Ketut Martika & Djoko Prakoso. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,

Rineka Cipta, Hal. 66

35

2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. 30

Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap

penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam

Pasal 133 KUHAP dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan

berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari

laporan atau visum et repertum yaitu :

1. Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;

2. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.31

Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman

adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan

diberikan ka rena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas

dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat

bukti tersebut atau malah akan menolaknya.

Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda

dengan ke terangan saksi yaitu :

1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij

bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan

menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya.

30 Yahya Harahap. 2009. Op.Cit., Hal.299. 31 Ibid, hal. 303 .

36

2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat

bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau

bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat

digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus

disertai dengan alat bukti yang lain.

Dalam suatu kasus maka akan sering terdapat dua keterangan ahli yang

digunakan yaitu keterangn ahli yang berasal dari laporan dan juga berasal dari

keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut

menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu

alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berasal dari laporan dan juga

dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang

berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya

maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti

keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi

batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP

c). Surat

Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menurut

ketentuan ini surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut

undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang

dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu

segala sesuatu yang mengandung tanda -tanda baca yang dapat dimengerti,

dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 32

32 Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 276.

37

Berdasarkan bunyi Pasal 187 KUHAP: “Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.

Rumusan dalam Pasal 187 huruf d KUHAP berbeda dengan ketentuan

Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Hal ini karena dalam huruf d menunjukkan

surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang

pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan

selanjutnya juga menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus

mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain agar mempunyai kekuatan

pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh.

Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika

isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya

masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat

pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan

dinilai sebagai alat bukti surat.33

33 Yahya Harahap, Op.cit , Hal.309

38

Berdasarkan Pasal diatas KUHAP tidak mengatur tentang kekuatan

pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya

mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti

surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat

bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain

sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi

alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu

dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi

dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan.

Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat

itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat

itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi

yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP berbentuk berita acara, akte, surat

keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang

diadili.

Pasal 187 KUHAP dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai

wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap

sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap

mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan

sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan.

Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari

kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat

kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati

39

kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi

hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti

mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang

bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwalah yang telah melakukan

tindak pidana yang dituntutkan kepadanya.

Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap34 , jika dinilai

dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam KUHAP

dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya be ntuk dan isi surat tersebut :

i. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

ii. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya;

iii. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

iv. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.

2. Ditinjau dari segi materiil

Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain :

1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran

34 Ibid, Hal.309-312.

40

dan kesempurnaan formal dapat disingkrkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.

2) Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus be rdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati.

3) Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.

d). Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) KUHAP.

Didalam ayat (1) petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan

yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.

Dari rumusan Pasal 188 ayat (1) KUHAP ditemui kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa just ru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan

41

bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.35

Pasal 188 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara

ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara

perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau

tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa

ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu

merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus

melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya.

Pasal 188 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Bunyi pasal 188 ayat (3) KUHAP sangat berpengaruh dalam setiap

penggunaan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian kesalahan

terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai

seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar

penjauhan hukuman. Dalam praktek penggunaan alat bukti petunjuk dalam

persidangan sangat dihindari bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya

kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti

35 I Ketut Martika, SH & Djoko Prakoso, SH., Op.cit, Hal.44.

42

petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk

digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum

pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP.

Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat

bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai

proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber

dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang

lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang

sebenarnya. Pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk

mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari :

- Keterangan saksi - Surat - Keterangan terdakwa

Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan

ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang

bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini

kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan,

latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu

membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.

Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga

sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain

alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika jika alat bukti lain. Nilai kekuatan

pembuktian petunjuk dilihat dari :

43

- Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian,

- Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. 36

e). Keterangan terdakwa

Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193

KUHAP, dalam Pasal 189 ayat (1) mengartikan mengenai keterangan terdakwa :

“keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”

Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada

dalam HIR. Akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang

merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan

atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan

pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang

menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang

menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat

bukti.

Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti

tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa

hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun

pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim

36 Yahya Harahap, Op.cit , Hal.317.

44

mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian

menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan

pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut.

- Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan - Mengaku ia bersalah. 37

Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas

dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini

lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga

hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.

Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus

mengandung beberapa asas, yaitu :

- Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. Keterangan

terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang

pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan

sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan

kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik

yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga

keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti

pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat

digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan

keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal

yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP) dan

keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal

37 Andi Hamzah, Op.cit, Hal.278.

45

yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang diberikan

haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita acara

penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa;

- Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau

yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

- Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri

sendiri.

Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat

bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi

Pasal 183 KUHAP yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum

pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4)

KUHAP juga menjelaskan:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”

Paling tidak da lam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus

ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil

putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak

pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan

padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka

dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan

terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena

segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim.

46

Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP tersebut dapat dihadirkan

oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh

terdakwa biasanya terkait untuk meringa nkan hukuman terdakwa yang sering

disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa

terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak

pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai

wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat

dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Selain itu dengan alat bukti

tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan

tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat

bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut

tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak

pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar

kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain

yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya

fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.

3. Jenis-Jenis Sistem Pembuktian

Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dunia

ada berbagai macam, antara negara yang satu dengan yang lain berbeda-beda

terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut Belanda, Perancis, dan

di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian pembuktian ada ditangan

hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika

47

Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa

sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.38

Pengertian pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

proses, perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya

si terdakwa dalam sidang pengadilan.

Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo 39, mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana,acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalu: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.

Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian di dunia antara

lain :

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang -Undang

Secara Positif (Formele Bewijstheorie)

Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang

melulu, artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-

38 Yahya Harahap, Op.cit , Hal.273. 39 Martiman Prodjohamidjojo Op.,Cit, hal. 12.

48

alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim

tidak diperlukan sama sekali.40

Menurut D. Simons41, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.

Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim

hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai

dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini

adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-

benar menerapkan mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah

atau tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat

bukti yang telah ditentukan undang-undang.

b. Sistem atau Teori Pembuktian Semata-mata Berdasarkan

Keyakinan Hakim (Convictim in Time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang

terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.

Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.

Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak

menjadi masalah dalam sistem ini keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang

pengadilan. Sistem ini mempunyai kelemahan, karena hakim dapat saja

40 Makarao dan Suhasril, Op., Cit. Hal 104 41 Andi Hamzah, Op.cit, Hal.251.

49

menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar

keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti, dan sebaliknya, hakim

leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya

walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti

yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.42

Wirjono Prodjodikoro43, di Indonesia sistem ini pernah dianut pada masa pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Dijelaskan lagi bahwa pada sistem ini bahkan dimungkinkan seorang hakim untuk menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya dalam memutuskan kesalahan dan hukuman kepada terdakwa. Termasuk bisa digunakan juga cara dengan medium (alat atau orang yang sakti) dan perdukunan.

c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

atas Alasan yang Logis (Convictim Raisonee)

Yahya Harahap44, dalam sistem ini dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, namun dalam sistem ini faktor keyakinan hakim “dibatasi. Jika dalam sistem Convictim in Time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem convictim – raisonee, keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alas an yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata -mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alas an yang masuk akal.

d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang -Undang

secara Negatif (Negatief wettelijk)

Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem

pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan

salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang

42 Makarao dan Suhasril. Op.,Cit Hal 103 43 Nikolas Simanjuntak. Op.,Cit. Hal 241 44 Makarao dan Suhasril. Op.,Cit Hal 104

50

didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.45

Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus

didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti

tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.

Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif (negatief wettelijk). Dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang

isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”

Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah

atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,

harus :

- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

45 Yahya Harahap, Op.cit , Hal.279.

51

- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersala h melakukannya. 46

Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya

fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis

terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang

berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana

sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya

berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.

Menurut M. Yahya Harahap 47, Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Dengan ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut

apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar -benar terbukti melakukan apa

yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak benar terjadi (Pasal 183

KUHAP). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada KUHAP yaitu alat bukti

yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Arti pembuktian ditinjau dari

segi hukum acara pidana merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan

dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, jaksa, dan

terdakwa ataupun penasehat hukum semua terikat dalam ketentuan mengenai tata

cara dan penilaian alat bukti yang telah dite ntukan. Karena sesuai dengan aturan

46 Ibid, hal. 280 . 47 Ibid , Hal.252.

52

kalau semua tata cara dalam beracara di acara pidana diatur seluruhnya dalam

KUHAP, dan tidak boleh menyimpanginya.

Penjelasan dalam Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Menurut Dr Simons bahwa berdasarkan undang-undang pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa , tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang tidak bersa lah hanya kadang-kadang memaksa dibebaskannya orang bersalah. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif dipertahankan dengan alasan bahwa memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalaha n terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sedangkan yang kedua berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 48

Setiap pembuktian baik oleh polisi, jaksa dan hakim harus memperhatikan

prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia, dan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban

masyarakat dan tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata karena akan

menjadikan pembuktian yang dilakukan menjadi tidak obyektif seperti apa yang

tercermin dalam KUHAP. Dalam KUHAP sekarang mengandung sistem akusatur

(accusatiry procedure) yang berbeda dengan HIR yang menggunakan sistem

inkisitur yang lebih mengedepankan pengakuan. Accusatoir menurut pengertian

kamus hukum adalah menuduh, penuduhan, pemeriksaan si terdakwa di depan

sidang pengadilan adalah merupakan perlawanan antara jaksa sebagai penuduh

merupakan satu pihak, sedangkan sedangkan terdakwa diberikan kesempatan

mengakui, atau memungkiri tuduhan itu dimana Hakim berfungsi mengadili

48 Andi Hamzah, Op.cit, Hal.276-257.

53

setelah mendengar, memeriksa dan mempertimbangkan kesalahan si terdakwa

berdasarkan bukti-bukti yang ada. Pemeriksaan didepan siterdakwa di depan

sidang pengadilan adalah bersifat accusatoir.

Sistem akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam

setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan

karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam

kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri, sedangkan

yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindak

pidana), yang dilakukan tersangka atau tedakwa. Dalam hal ini KUHAP

menerapkan asas praduga tidak bersalah sehingga setiap tersangka/terdakwa yang

disangka, ditangkap, ditahan dituntut dan dihadapkan dimuka sidang pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

mengatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam

penyidikan dan penyelidikan pun digunakan sistem yang bersifat alamiah atau

scientific crime detection dimana pembuktian ini menekankan pada kejadian atau

fakta-fakta yang alamiah dialami oleh pelaku yang melihat pada bukti-bukti

permulaan yang cukup.

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik, yang mengenai

tugas melaksankan ius puniendi, yang mewakili kepentingan masyarakat atau

persekutuan hukum. Tugas dari hukum pidana adalah untuk memungkinkan

terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, tatkala persoalannya adalah

54

benturan kepentingan anatara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan

umum.

Perkataan straafbaarfeit dalam bahasa Belanda terdapat dua unsur

pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda

diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum,

sehingga secara harfiah perkataan straafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan

yang dapat dihukum49.

Menurut Simons yang dikutip dalam bukunya Evi Hartanti50,

merumuskan perkataan straafbaar feit sebagai berikut :

“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” Menurut Pompe yang juga dikutip dari bukunya Evi Hartanti 51,

menjelaskan bahwa:

“perkataan straafbaarfeit secara teoritis dirumuskan sebagai berikut : pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Salah satu tindak pidana yang diatur dalam Buku II KUHP adalah tindak

pidana pencurian. Pencurian adalah kejahatan yang ditujukan terhadap kekayaan

orang, bahwa dengan tindakan tersebut ada seseorang yang merasa kekayaannnya

dirugikan. Secara khusus tindak pidana pencurian diatur dalam Bab XXII, mulai

49 Evi hartanti. 2007. Tindak pidana korupsi (edisi kedua) . Jakarta: Sinar grafika. Hal 5 50 Loc., cit 51 Ibid

55

dari Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHP, dan secara umum tindak pidana

pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak sembilan ratus rupiah”. Lamintang52, merumuskan tindak pidana pencurian seperti yang diatur

dalam Pasal 362 KUHP tersebut diatas terdiri dari unsur subjektif dan unsur

objektif, sebagai berikut:

a. Unsur Subjektif : dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

b. Unsur Objektif : 1). Barang siapa; 2). Mengambil; 3). Sesuatu benda; 4).Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan

orang lain.

Unsur Subjektif dari tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP

ialah, unsur dengan maksud untuk menguasai barang tersbeut secara melawan

hukum. Disini pelaku harus mengetahui, bahwa barang yang diambil itu baik

secara keseluruhan maupun sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Moch. Anwar 53, memberikan pendapatnya mengenai unsur Subjektif

tindak pidana pencutian yang diuraikan sebagai berikut:

“Unsur dengan maksud untuk memiliki barang bagi diri sendiri secara melawan hukum terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum diartikan sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari pelaku. Pelaku harus sadar bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain, sedangkan memiliki bagi diri sendiri

52 P.A.F, Lamintang. 1997. Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya

Bhakti. hal 1-2 53 Moch. Anwar. 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I. Alumni.

Bandung. Hal 16

56

adalah penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barng itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukan pemiliknya.”

Sedangkan mengenai unsur objektif, Lamintang54, merumuskan unsur

objektif yang pertama dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362

KUHP itu ialah “Barang siapa”. Yang diuraikan sebagai berikut:

“Kata “Barangsiapa” menunjukkan orang, apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, maka karena bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atua denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.

Selanjutnya menurut pendapat Lamintang yang dikutip dalam bukunya

Sudrajat Bassar55, juga memberikan penjelasan mengenai unsur objektif yang

kedua sebagai berikut:

“Unsur objektif kedua dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan “mengambil”. Kata mengambil di dalama arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya dan mengalihkannya ke tempat lain. Perbuatan mengambil tidak ada, apabila barangnya oleh yang berhak diserahkan kepada si pelaku”. Unsur mengambil ini merupakan unsur terpenting atau unsur yang

terutama dalam tindak pidana pencurian, Moch Anwar 56, memberikan penjelasan

bahwa:

“unsur mengambil berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat mengambil semula diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan mengambil berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi hal ini

54 P.A.F. Lamintang. 1988. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru: Bandung.

Hal 8 55 Sudrajat Bassar. 1986. Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP. Remaja Karya: Bandung.

Hal 63 56 Moch Anwar. 1988 . Hukum Pidana Khusus . Bandung : Alumni. Hal 17

57

tidak selalu demikian, hingga tidak perlu disertai akibat dilepaskan dari kekuasaan pemilik: Lamintang57, kembali memberikan penjelasan mengenai unsur Objektif

yang ketiga dari tindak pidana pencurian sebagai berikut:

“Unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu adalah “suatu benda”. Kata benda itu oleh para pembentuk KUHP yang berlaku di Indonesia dewasa ini ternyata bukan hanya dipakai di dalam rumusan Pasal 362 KUHP saja, melainkan juga dipakai dalam rumusan pidana pemerasan, penggelapan, penipuan, perusakan, dan lain-lain, sedang untuk maksud yang sama para pembentuk KUHP tersebut telah memakai kata Voortiwerrp dalam rumusan tindak pidana penadahan dalam Pasal 480 KUHP”.

Unsur yang keempat yaitu bahwa barang tersebut adalah sebagian atau

seluruhnya kepunyaan orang lain. Tentang unsur Objektif yang keempat ini,

Moch. Anwar58, berpendapat sebagai berikut :

“pengertian barang tealah mengalami perkembangan. Dari arti barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang yang berwujud dan dapat dipindahkan, tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap sebagian dari harta seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Barang harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya, sedangkan sebagian dari barang saja dapat menjadi obyek pencurian. Jadi sebagian lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang dalam keadaan res nullus, dan res derelictae.”

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Buku II BAB XXII terdiri atas

beberapa bentuk sebagai berikut:

a. Pencurian dalam bentuk pokok

57 Ibid Hal 16 58 Moch Anwar. , O p.cit

58

Pencurian dalam bentuk pokok di dalam KUHP diatur dalam Pasal

362 KUHP yang perumusannya sebagai berikut:

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak sembilan ratus rupiah”

b. Pencurian dalam bentuk pencurian dengan pemberatan

(gequalifiseerd)

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan (gequalifiseerd) diatur

dalam Pasal 363 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut:

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

Ke-1 Pencurian Ternak; Ke-2 Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa

bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan, atau bahaya perang;

Ke-3 Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

Ke-4 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

Ke-5 Pencurian yang untuk masuk ketempat orang melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian palsu.

c. Pencurian dalam bentuk pencurian ringan (Geprivileggezrd)

Pencurian dalam bentuk Geprivileggezrd atau pencurian ringan diatur

dalam Pasal 364 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut:

“perbuatan yang dituangkan dalam Pasal 362 dan 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke -5 apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

59

rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah dikenai pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”

d. Pencurian dengan kekerasan

Pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP yang

dirumuskan sebagai berikut:

“diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, pencurian yang iddahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”

e. Pencurian dalam keluarga

Tindak pidana pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367

KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) “Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatn dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana”.

(2) “Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan”.

(3) “Jika menurut lembaga matrialkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung, maka ketentuan ayat diatas, berlaku juga bagi orang itu”.

2. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Gequalificeerdediestal)

Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan ataupun yang

di dalam doktrin juga disebut Gequalificeerdediestal atau pencurian dengan

60

kualifikasi oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 363

KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling tujuh tahun: 1. Pencurian ternak; 2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi,

atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan, atau bahya perang;

3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

5. Pencurian yang untuk masuk ketempat orang melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencuri yang dirumuskan dalam angka 3 itu disertai dengan salah satu keadaan seperti yang dimaksudkan dalam angka 4 dang angka 5, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Unsur pertama yang memberatkan dalam Pasal 363 (1) KUHP adalah

ternak. Wirjono Prodjodikoro59, berpendapat bahwa :

“pencurian ternak merupakan pencurian berat, karena ternak merupakan kekayaan penting. Hal ini sesuai dengan istilah Jawa “rodjo koyo” bagi ternak, yang artinya “kekayaan besar”. Ternak sebdiri menurut Pasal 101 KUHP berarti hewan yang berkaki empat, pemamah biak seperti : kuda, sapi atau kerbau dan babi, sedangkan ayam, bebek, dan lain -lain sebagainya tidak termasuk di dalam nya”.

Unsur kedua yang memberatkan dalam Pasal 363 KUHP adalah karena

tindak pencurian itu dilakukan pada waktu sedang terjadi bermacam-macam

bencana seperti kebakaran, banjir, gempa bumi dan sebagainya, yang diatur dalam

Pasal 363 ayat (1) ke -2 KUHP.

59 Moch. Anwar.. Op., Cit Hal 20

61

R. Soesilo 60, memberikan penjelasan mengenai pencurian yang terjadi

pada saat terjadinya bermacam-macam bencana, yang diuraikan sebagai berikut:

“pencurian ini diancam hukuman berat karena pada waktu terjadi peristiwa-peristiwa tersebut orang-orang semua rebut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sedang orang yang mempergunakan saat orang lain mendapat celaka ini utntuk berbuat kejahatan adalah orang yang rendah. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahw ajarak antara terjadinya malapetaka dengan pencurian itu harus ada hubungannya, artinya pencuri betul-betul mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri”.

Unsur ketiga dalam Pasal 363 KUHP yang memberatkan adalah pencurian

di waktu malam hari pada sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tanpa setahu atau bertentangan

dengan kehendak yang punya atau berhak yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1)

ke-3 KUHP.

R. Soesilo 61, juga memberikan pendapatnya mengenai pengertian rumah

sebagai berikut:

“Rumah adalah tempat yang digunakan untuk berdiam siang dan malam, artinya untuk maka, tidur dan lain sebgainya. Dengan demikian suatu gubuk, kereta, perahu dan lain sebagainya yang digunakan sebagai tempat kediaman siang dan malam termasuk rumah. Sedangkan pengertian pekarangan tertutup adalah suatu pekarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dan lain sebagainya. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali”.

Wirjono Projodikoro 62, memberikan penjelasan mengenai unsur tindak

pidana pencurian dengan pemberatan yang keempat sebagai berikut:

60 R. Soesilo, Op., cit , hal 251 61 Ibid, hal 252 62 Wirjono Prodjodikoro, Op., Cit. hal 23

62

“unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang keempat dalam Pasal 363 KUHP apabila pencurian itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang diatur oleh Pasal 563 ayat (1) ke-4 KUHP. Unsur ini menunjukkan pada dua orang atau lebih yang bekerjasama dalam melakukan tindak pidana pencurian, dalam hal ini tidak perlu ada rancangan bersama yang mendahului pencurian, tetapi tidak cukup, apabila mereka secara kebetulan pada persamaan waktu mengambil barang-barang”.

Selanjutnya mengenai perumusan untuk tindak pidana pencurian yang

kelima, Lamintang63, juga memberikan penjelasan sebagai berikut:

“unsur yang kelima dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam Pasal 363 KUHP adalah karena telah memperoleh jalam masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mencapai benda yang akan diambilnya itu, pelaku melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatan atau pelaku memakai kunci-kunci palsu atau pakai jabatan palsu”.

Menurut R. Soesilo 64,

“membongkar adalah merusak barang yang agak besar seperti membongkar tembok, pintu jendela. Disini harus ada barang yang rusak, putus atau pecah. Pencuri yang mengangkat pintu dari engselnya, sedang engsel itu tidak ada kerusakan sama sekali, tidak masuk pengertian membongkar”.

Pengertian memanjat diatur dalam Pasal 99 KUHP dirumuskan sebagai

berikut:

“yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk, atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali, begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup”.

Berdasarkan uraian tersebut, maka tindak pidana pencurian yang memiliki

unsur subjektif dan objektif harus dibuktikan dalam proses hukumnya, tidak

63 Ibid, hal 45 64 R. Soesilo., Op.Cit Hal 252

63

terpenuhinya salah satu unsur tersebut menyebabkan tidak diterimanya suatu

dakwaan.

Selain tindak pidana yang memberatkan, KUHP masih mengatur mengenai

perbarengan tindak pidana (concursus delicten). Delik perbarengan perbuatan

merupakan perbuatan pidana yang berbentuk khusus, karena beberapa perbuatan

pidana yang terjadi hakekatnya hanya dilakukan oleh satu orang (sameloop van

strafbare feiten ). Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidnaa oleh

satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi

pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana yang

berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Pengertian perbarengan ini

membedakannya dengan pengertian pengulangan. Dalam pengulangan tindak

pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan

memidana pelaku bahkan telah dijalani baik sebagian atau seluruhnya.

Sehubungan dengan hal tersebut Utrecht65, mengatakan tentang tiga

kemungkinan yang terjadi. Pertama, dikatakan terjadi perbarengan, dalam hal

apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan

satu pidana karena tindak pidana yang paling awal diantara kedua tindak pidana

itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa

dalam satu perkara dan kepada pelaku akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh

karenanya, tidak ada pemberatan pidana dalam kenteks ini. Yang terjadi justru

peringanan pidana karena dari beberapa tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-

sendiri dan menjadi suatu jumlah total pidana yang besar, tetapi cukup dengan

65 E.Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II . Bandung: Penerbitan

Universitas. Hal 197

64

satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana dari masing-masing tindak

pidana.

Kedua, apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan

memidana pelaku dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka disini

terjadi pengulangan, sehingga pemberatan pidana diberlakukan dalam kasus ini.

Ketiga, dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan

pidana pada pelakunya, na mun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum

tetap, maka disini tidak terjadi perbarengan atau pengulangan, melainkan tiap-tiap

tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum dari

masing-masing pasal yang dilanggar.

Perbarenga n perbuatan (concurcus realis) adalah perbarengan perbuatan

yang terjadi jika seseorang melakukan dua atau lebih kejahatan sehingga oleh

karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan

pidana, atua dengan kata lain, seseorang melakukan beberapa perbuatan yang

tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing-masing perbuatan itu

merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. 66 Perbarengan perbuatan diatur di

dalam Pasal 65 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut:

(1). Dalam hal perbarengan perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana. (2). Maksimum pidana yang dijatuhkan adalah jumlah pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

66 Wirjono Prodjodikoro. 1996. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia . Eresco. Bandung.

Hal 132

65

E. Perlindungan Anak

1. Pengertian Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Dalam

keadaan demikian, anak memiliki peranan strategis cirri dan sifat khusus. Oleh

karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan

dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh, seras i, selaras dan

seimbang.

Beberapa definisi pengertian yang dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan, antara lain:

a. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak, di dalam Pasal 1 angka 2 merumuskan

pengertian tentang a nak :

“Anak adalah yang belum mencapai umur dua puluh satu thaun dan belum kawin”.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,

di dalam Pasal 1 Angka 1 merumuskan bahwa :

“ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah”.

c. Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manuasia, menjelaskan bahwa pengertian Anak adalah :

“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

66

d. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, menjelaskan bahwa:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Jadi pengertian anak dibatasi dengan umur 8 tahun sampai 18 (delapan

belas) tahun, sedangkan syarat ke dua anak be lum pernah kawin, maksudnya tidak

sedang terikat perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila

anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena

perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum

genap 18 (delapan belas) tahun. Sehingga jelas bahwa menurut Undang-Undang

Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana tetapi belum

berumur 8 tahun maka anak tersebut belum dapat diajukan ke sidang pengadilan

anak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan psikologis bahwa

seorang anak yang belum mencapai umur 8 tahun itu belum dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya, walaupun perbuatan merupakan tindak

pidana. Akan tetapi bila anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur

8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun maka tetap dapat diajukan ke Pengadilan

Anak.

2. Pengaturan Tindak Pidana Anak

KUHP tidak terdapat secara khusus istilah tindak pidana anak, yang ada

adalah istilah pidana yang merupakan terjemahan “strafbaar feit”, para ahli

hukum Indonesia menerjemahkan “strafbaar feit”, dengan istilah tindak pidana,

67

juga menerjemahkan dengan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, serta

delik. Untuk menjelaskan mengenai pengertian tindak pidana anak dapat

dijelaskan dengan menguraikan satu per satu secara harfiah dari istilah tindak

pidana dan istilah anak. Definisi perbuatan Pidana menurut Moeljatno67 adalah

sebagai berikut :

“ Perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa yang melanggar tersebut” Pengertian anak menurut batasan berbagai hukum positif di Indonesia

(KUH Pidana, KUH Perdata, Undang-Undang Pengadilan Anak). Mereka yang

belum dewasa dan belum mencapai umur 21 tahun serta belum pernah kawin yang

sering disebut belum cukup umur atau dibawah umur.

Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana anak da pat diartikan sebagai

perbuatan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau belum mnecapai

umur 21 tahun (dibawah umur dan belum cukup umur) serta belum pernah kawin,

dimana perbuatan itu dilarang dan diancam pidana, sedangkan dalam hal

penuntutan berdasarkan Pasal 45 KUHP, anak pada waktu melakukan tindak

pidana belum mencapai umur 16 Tahun.

Pasal 45 KUHP merumuskan sebagai berikut:

“dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran Pasal-pasal 489, 490, 492, 497, 503, 505, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas,

67 Moeljatno. 1980. Asas -asas Hukum Pidana . Ghalia Indonesia : Yogyakarta, hal 37

68

dan putusannnya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”. Selanjutnya dalam Pasal 46 KUHP, dirumuskan: “ (1). Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan nega ra supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau kemudian hari dengan cara lain, atua diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tangungan pemerintah, dengan ca ra lain dalam kedua hal diatas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang-undang. Sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan dalam KUHP tersebut,

pemerintah mengadakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, ketentuan mengenai penuntutan terhadap pelaku tindak pidana

yang belum dewasa (anak nakal), ditentukan berdasarka n perbedaan umur anak,

yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun

hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya,

ditempatkan kepada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan

terhadap anak yang telah mencapai umur diatas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan

belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. 68

Masalah kenakalan anak atau tindak pidana yang dilakukan seorang anak

atau sering disebut sebagai tindak pidana anak merupakan masalah yang potensial

dapat mengancam perkembangan kehidupan dan penghidupan pribadi si anak, dan

68 Endang Sumiarni. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Hukum Pidana.

Yogyakarta: Univ Atma Jaya. Yogyakarta, hal 467

69

merupakan racun bagi pertumbuhan jiwa anak serta generasi muda pada

umumnya. Oleh karena itu penanggulangan terhadap masalah tindak pidana anak

harus segera diadakan baik secara preventif maupun represif. Namun sebelum

usaha -usaha penanggulangan tersebut dilaksanakan sangat diperlukan keterangan-

keterangan atau data lengkap tentang apakah yang menjadi latar belakang atau

penyebab dan faktor-faktor kondisional anak melakukan tindak pidana.

Masalah-masalah yang terjadi menjadi faktor penyebab terjadinya tindak

pidana anak berkaitan erat dengan unsur-unsur, gejala-gejala dan juga akibat-

akibat yang ditimbukan dari tindak pidana anak. Yang menjadi unsur-unsur tindak

pidana anak adalah :

1. Adanya suatu tindakan atau perbuatan

2. Tindakan atau perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan hukum

3. Dan dirasakan serta ditafsirkan

Ad.1 adanya suatu t indakan atau perbuatan

Dalam hal ini maksudnya adalah tindakan atau perbuatan seseorang yang

dalam istilah asingnya adalah “gedraging” oleh karena mencakup pengertian

kelakuan yang pasif dan kejadian-kejadian yang ditimbulkan olehnya, jadi dengan

singkat dikatakan: perbuatan adalah kelakuan ditambah akibat.

Ad.2 Tindakan atau perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan hukum

(wearrechtlejik )

Dalam hal ini bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum tidak

tertulis, sehingga sifat melawan hukum disini harus ditafsirkan sebagai sifat

70

melawan hukum yang materiil. Bahwa tiap-tiap perbuatan yang dilarang itu sudah

sewajarnya harus bersifat melawan hukum.

Ad.3 Dirasakan serta Ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang

tercela.

Mengenai hal ini ada 2 macam, yaitu:

a. Perbuatan yang dirasakan tercela berhubung menurut pendapat

masyarakat merusak sendi-sendi dan tata-tata yang bangkit di

dalam masyarakat itu sendiri, dan menghambat terwujudnya atau

pembinaan suatau tata yang baik di dalam masyarakat.

b. Perbuatan ini ditafsirkan tercela atau keliru berhubung segala

sesuatu penafsiran mengenai buruknya tindakan seseorang adalah

mengikuti penilaian di masyarakat waktu itu.

71

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan adalah me tode penelitian yuridis

normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini,

hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai

sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem

hukum dengan sistem lainnya. 69

Peneliti akan menggunakan beberapa pendekatan masalah meliputi

pendekatan kasus (Case Approach) dan pendekatan perundang-undangan (Statute

Approach).

1. Pendekatan kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normative

bertujuan untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum

yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam penelitian normative,

suatu kasus dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak

dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum,

serta menggunakan hasil analisanya sebagai bahan masukan (input)

dalam eksplanasi hukum70. Dalam penelitian ini peneliti menelaah pen

69 Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Banyumedia Publishing. Hal 57 70 Johny Ibrahim, Tahun 2005, hal 120-121

72

erapan orma-norma atau kaidah hukum mengenai penerapan pasal 24

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

2. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan

hukum yang diteliti.71 Dalam penelitian ini menelaah peratura-

peraturan yang berkaitan dengan konsep penerapan sanksi bagi anak

nakal.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif, yaitu apabila

suatu penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang

harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 72

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian inio diperoleh melalui data sekunder. Data

sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah

berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang

ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat

para sarjana, dan kasus-kasus hukum.73 Penulisan ini data sekunder yang

digunakan yaitu putusan Pengadilan Negeri, buku literatur, dan dokumen-

dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan.

71 Peter Mahmud arzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. Hal 92 72 Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta. UI Press. Hal 10. 73 Ibid, hal 143

73

D. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundang-

undangan, putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

159/Pid.B/2012/PN.PWT, buku-buku literatur, dan dokumen-dokumen lain yang

berkaitan dengan permasalahan untuk selanjutnya dipelajari sebagai pedoman

untuk penyusunan data.

E. Metode Penyajian data

Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam

bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan

rasional. Dalam arti keseluruhan bahan yang diperoleh akah dihubungkan satu

dengan yang lainnya dengan pokok permasla han yang diteliti sehingga merupakan

satu kesatuan yang utuh.

F. Metode Analisis Data

Analisi bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

normative kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan

mendasarkan pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin yang

berkaitan dengan pokkok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis

mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta -fakta yang relevan (legas facts)

yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh

kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian. 74

74 Johny Ibrahim, Op., Cit. , Hal 393

74

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Perkara Pidana Pengadilan

Negeri Purwokerto No. 159/Pid.B/2012/PN.PWT tentang pemberian sanksi

tindakan terhadap pelaku tindak pidana perbarengan pencurian dalam keadaan

memberatkan yang dilakukan oleh anak yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) Ke 5

KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP yang diadili dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

1. Duduk Perkara

Terdakwa yang bernama P alias P bin S berusia 16 Tahun, bertempat

tinggal di Grumbul I Desa Limpakuwus RT. 07/04 Kecamatan Sumbang,

Kabupaten Banyumas dan berkeba ngsaan Indonesia. Terdakwa P didakwa oleh

Jaksa Penuntut Umum telah melakukan perbarengan pencurian sepeda motor,

dikatakan perbarengan karena terdakwa P melakukan pencurian sepeda motor

sebanyak dua kali, sebelum terdakwa tertangkap oleh pihak kepolisian. Kejadian

pertama pada hari Minggu, 26 Agustus 2012 sekitar pukul 10.10 WIB, bertempat

di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading turut Desa Karangtengah

Kec. Baturaden Kab. Banyumas. Ketika sedang berjalan terdakwa P melihat

sepeda motor berwarna hitam dengan nomor polisi R-5016-KH yang sedang

diparkir, sepeda motor tersebut merupakan milik saksi S bin M. Saat itu keadaan

sepeda motor sedang dikunci stang, lalu terdakwa P merusak sepeda motor

75

tersebut dan membawa pergi sepeda motor tersebut hingga ke tempat yang dirasa

aman. Ketika sepeda motor tersebut sudah berada di tempat aman, maka terdakwa

P memprotoli sepeda motor tersebut dan menjual beberapa bagian sepeda motor

kepada saksi M alias I seharga Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu) dan hasilnya

digunakan untuk membeli bensin dan cat pilok.

Selanjutnya kejadian kedua terjadi pada tanggal 7 September 2012 sekitar

pukul 10.30.WIB di rumah kosong tepi jalan raya turut Desa Karangtengah Kec. .

Baturaden Kab. Banyumas. Ketika sedang berjalan terdakwa P melihat sepeda

motor Honda Supra warna hitam dengan nomor polisi R-5718-GH, dimana sepeda

motor tersebut merupakan milik saksi N bin S. Sama seperti kejadian pertama

diatas, awalnya terdakwa P melihat situasi hingga aman, ketika telah aman

terdakwa mengambil sepeda motor tersebut dengan paksa yaitu dengan cara

merusak stang sepeda motor, dan selanjutnya membawa pergi ketempat yang

aman. Terdakwa juga memprotoli sepeda motor tersebut dan menjual sebagian

dari sepeda motor tersebut kepada saksi I bin S seharga Rp. 40.000,- (empat puluh

ribu rupiah) dan hasilnya digunakan untuk membeli cat pilok dan bensin.

Pada hari Rabu, 19 September 2012 sekitar pukul 08.00 WIB terdakwa P

ditangkap dan diamankan pihak Polsek Baturaden untuk diproses sesuai hukum

yang berlaku.

2. Dakwaan

Pada persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa didakwa

melakukan perbarengan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan,

76

perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5

KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

3. Pembuktian

a. Alat-Alat Bukti di Persidangan

1) Keterangan Saksi

Untuk membuktikan kebenaran surat dakwaan dari penuntut umum,

penuntut umum telah mengajukan saksi-saksi dipersidangan yang

telah disumpah berdasarkan keyakinannya masing-masing yaitu :

a) Keterangan Saksi S bin M

Saksi S bin M menjelaskan bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tetap tidak ada perubahan, dan pada hari Minggu tanggal 26

Agustus 2012 sekira pukul 10.10 WIB, saksi telah kehilangan satu

unit sepeda motor Honda Supra warna hitam NoPol R -5016-KH tahun

2002 yang diparkir disebelah utara bekas rumah makan Kelapa

Gading turut Desa Karangtengah Kec. Baturaden Kab. Banyumas.

Waktu kejadian, saksi ada disawah sedang menyemprot, jarak antara

saksi menyemprot sekitar 200 meter dari tempat sepeda motor

diparkir, dan sepeda motor waktu itu dalam posisi dikunci stang. Saksi

mengetahui sepeda motornya hilang karena diberitahu oleh K.

Keadaan sepeda motor saksi sekarang dalam keadaan protolan karena

diprotoli oleh terdakwa. Harga sepeda motor Honda Supra milik saksi

yang diambil oleh terdakwa Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah), dan

77

benar kerugian saksi Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Atas

keterangan saksi terdakwa menerangkan bahwa keterangan saksi

benar.

b) Saksi N Bin S

Saksi N bin S menjelaskan bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tidak ada perubahan dan pada hari Jum’at tanggal 7 September

2012 sekitar pukul 10.30 WIB saksi telah kehilangan satu unit sepeda

motor supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 yang saksi

parkir disebelah rumah kosong te pi jalan raya turut desa Karangtengah

Kec. Baturaden Kab. Banyumas. Waktu kejadian saksi ada di sawah

sedang mencangkul yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempat

sepeda motor diparkir. Sepeda motor waktu itu dalam posisi kunci

stang dan sepeda motor saksi hilang saksi diberitahu oleh anak saksi

bernama F. Waktu itu F akan disuruh mengambil wedang untuk orang

yang bekerja disawah tetapi ternyata melihat sepeda motor supra

sudah tidak ada kemudian ia memberitahu kepada saksi. Harga sepeda

motor Honda supra milik saksi yang diambil oleh terdakwa Rp.

5.000.000 (lima juta rupiah), dan benar kerugian saksi . 5.000.000

(lima juta rupiah). Atas keterangan saksi terdakwa menerangkan

bahwa keterangan saksi benar.

c) Saksi F Bin N

Saksi F bin N menjelaskan, bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tidak ada perubahan, dan pada hari Jum’at tanggal 7 September

78

2012 sekira pukul 10.30 WIB, orang tua saksi telah kehilangan satu

unit sepeda motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun

2001 yang saksi parkir disebelah rumah kosong tepi jalan raya turut

Desa Karangtengah kec. Baturaden Kab. Banyumas. Waktu kejadian

saksi ada disawah membantu orang tua saksi yang sedang mencangkul

yang jaraknya 200 meter dari tempat sepda motor diparkir. Sepeda

motor waktu itu dalam posisi dikunci stang dan sepeda motor saksi

hilang saksi melihat sendiri. Waktu itu saksi disuruh mengambil

wedang/air minum untuk orang yang bekerja disawah tetapi ternyata

melihat sepeda motor Honda supra sudah tidak ada kemudian ia

memberitahu kepada orang tua saksi bernama N bin S. Bahwa

kemudian sepeda motor saksi sekarang dalam keadaan protolan karena

diprotoli oleh terdakwa. Atas keterangan saksi terdakwa menerangkan

bahwa keterangan saksi tersebut benar.

d) Saksi S Bin S

Saksi S bin S menjelaskan bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tidak ada perubahan. Pada hari Sabtu tanggal 01 September 2012

sekira pukul 07.30 WIB, terdakwa main kerumah saksi di Bantarwani

membawa protolan sepeda motor Honda supra warna hitam lagi

terdakwa pergi lagi esok harinya terdakwa datang lagi dan sewaktu

saksi tidak ada terdakwa ambil accu milik saksi lalu dikemblaikan lagi

dan di hari ketiga terdakwa jalan lagi dikerumuni orang katanya ia

ambil sepeda motor Desa Karangtengah Kec. Baturaden Kab.

79

Banyumas. Saksi tahu terdakwa mengambil dua sepeda motor waktu

dikantor polisi. Bahwa keadaan sepeda motor saksi sekarang dalam

keadaan protolan karena diprotoli oleh terdakwa. Atas keterangan

saksi terdakwa menernagkan bahwa keterangan saksi tersebut benar.

e) Saksi M als I Bin T

Saksi M als I bin T menjelasakan bahwa benar keterangan saksi di

penyidik dan tidak ada perubahan. Suatu hari dibulan September 2012

sekira pukul 08.00 WIB, terdakwa main kebengkel saksi di kelurahan

Pabuaran membawa protolan sepeda motor Honda supra warna hitam

yanitu tebeng kanan dan kiri, jok warna hitam, slebor belakang bagian

tengah warna hitam, slebor belakang bagian belakang warna hitam,

tutup rantai, ketangkas, lampu belakang ada 14 macam. Saksi beli

dengan harga Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah). Saksi tahu

terdakwa mengambil dua sepeda motor waktu dikantor polisi, dan

keadaan sepeda motor saksi sekarang dalam keadaan protolan karena

diprotoli oleh terdakwa. Atas keterangan saksi terdakwa menerangkan

bahwa keterangan saksi tersebut benar.

f) Saksi I Bin S

Saksi I Bin S menjelaskan bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tidak ada perubahan, dan suatu hari dibulan September 2012

sekira pukul 08.00 WIB, terdakwa main kebengkel saksi di kelurahan

Pabuaran membawa protolan sepeda motor Honda supra warna hitam

yanitu tebeng kanan dan kiri, jok warna hitam, slebor belakang bagian

80

tengah warna hitam, slebor belakang bagian belakang warna hitam,

tutup rantai, ketangkas, lampu belakang ada 13 macam. Saksi beli

dengan harga Rp. 40.000 (dua puluh lima ribu rupiah). Bahwa saksi

tahu terdakwa mengambil dua sepeda motor waktu dikantor polisidan

keadaan sepeda motor saksi sekarang dalam keadaan protolan karena

diprotoli oleh terdakwa. Atas keterangan saksi terdakwa menerangkan

bahwa keterangan saksi tersebut benar.

g) Saksi UJIONO, SH Bin SUPARDI

Saksi Ujiono menjelaskan bahwa benar keterangan saksi di penyidik

dan tidak ada perubahan, dan saksi adalah polisi di Polsek Baturaden

suatu hari ada laporan kehilangan. Pada hari Rabu tanggal 19

September 2012 sekira pukul 09.00 WIB, di Desa Banjarsari Wetah

saksi menangkap terdakwa mengambil dua sepeda motor Honda supra

warna hitam masing-masing Nopol R-5718-GH dan R-5016-KH.

Kemudian terdakwa di bawa ke kantor Polsek Baturaden dan

terdakwa mengaku terus terang mengambil dua sepeda motor Honda

Supra warna hitam. Keadaan sepeda motor saksi sekarang dalam

keadaan protolan karena diprotoli terdakwa. Atas keterangan saksi

terdakwa menerangkan bahwa keterangan saksi tersebut benar.

2) Barang Bukti

a) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Supra tanpa plat nomor polisi, tanpa

jok, tanpa totok body/kelengkapan body, tanpa tebeng, tanpa batok

81

lampu depan belakang, tanpa kelengkapan lampu depan dan belakang,

tanpa leksil tengah, tanpa standard dua, tanpa kabel body, tanpa

knalpot, dengan tutup blok mesin bagian kanan dan kiri berwarna

silver metalik, pelek bagian depan dan belakang berwarna silver

metalik, kedua shockbekker bagian belakang warna silver, selebor

depan warna biru, tangki warna hitam, besi body rangka bagian

belakang yang sudah diptong berwarna silver metalik, sapit urang

sebelah kanan dan sebelah kiri berwarna silver, kedua shockbekker

depan berwarna silver metalik, dengan nomor rangka

MHIKEV3101K132266, nomor mesin KEV3E-1132197.

b) 1 (satu) Lembar STNK Honda Supra warna hitam nopol R-5718-GH

Tahun 2001 Atas nama NASRUDIN alamat Desa Karangtengah RT

3/8 Kec Baturaden Kab. Banyumas

c) 2 (dua) buah kunci masing-masing kunci Honda seri B72 dan kunci

BMB dengan bandul tali kain warna hijau kuning, 2 (dua) buah spion,

1 (satu) buah dudukan jok tanpa busa warna hitam, 1 (satu) set totok

body bagian kanan kir warna silver, 1 (satu) buah slebor belakang

warna biru, 1 (satu) buah totok depan bagian plat nomor depan warna

biru, 1 (satu) buah tutup/totok lampu bagian belakang warna biru, 1

(satu) buah batok lampu depan bagian depan Honda beat warna biru, 1

(satu) knalpot bobokan, 1 (satu) set tebeng bagian kanan dan kiri

warna hitam, 1 (satu) set tutup accu bagian kanan dan kiri warna

hitam, 1 (satu) buah tutup rantai/katengkas warna hitam, 1 (satu) buah

82

speedometer, 1 (satu) buah porstep bagian kiri warna silver, 1 (satu)

buah tempat kunci begasi warna hitam, 1 (satu) buah begel/besi

stainless bagian belakang, 1 (satu) buah knalpot asli sepeda motor

Honda Supra, 1 (sa tu) buah slebor belakang bagian depan warna

hitam, 1 (satu) set shockbekker asli bagian belakang sepeda motor

Honda supra.

3) Pemeriksaan Terdakwa

Setelah saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum telah selesai

diperiksa maka sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa,

yang pada pokoknya terdakwa menerangkan sebagai berikut, bahwa

benar keterangan terdakwa di penyidik dan tidak ada perubahan. Pada

hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekitar pukul 10.10 WIB dan

pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekita r pukul 10.30 WIB,

terdakwa telah mengambil dua sepeda motor supra warna hitam Nopol

R-5718-GH tahun 2001 dan R-5016-KH Nopol R-5016-KH di Desa

Karangtengah Kec. Baturaden Kab. Banyumas. Kemudian kedua

motor tersebut terdakwa protoli untuk dijual. Terdakwa juga

menerangkan bahwa terdakwa pernah bekerja dibengkel jadi tahu

tentang sepeda motor dan waktu melepas kunci stang dengan SPM

dinaiki lalu kedua kaki di stang kemudian dating dijejak dengan kaki

akhirnya lepas dan kabel dicongkel pakai pisau belati lalu sepeda

motor tersebut dibawa pergi ke selatan. Keadaan sepeda motor saksi

korban sekarang dalam keadaan protolan karena diprotoli terdakwa,

83

dan uang hasil menjual protolan sebesar Rp. 65.000 (enam puluh lima

ribu rupiah) sudah habis dipakai untuk membeli cat pilok dan membeli

bensin. Harga satu sepeda motor Honda Supra yang diambil oleh

terdakwa sekitar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah), dan terdakwa

menyesal sekali dan orang tua terdakwa Slamet Hartono masih ada.

4. Tuntutan Penuntut Umum

Penuntut Umum dalam perkara ini telah mengajukan tuntutan yang pada

pokoknya supaya Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan

mengadili perkara tersebut menjatuhkan putusan sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa P telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana PENCURIAN DALAM

KEADAAN MEMBERATKAN sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP Jo. Pasal 65 (1) KUHP.

b. Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa P dengan menyerahkan

Terdakwa kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja dalam LP anak Kutoarjo Kabupaten Purworejo dan

memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.

c. Menyatakan barang bukti berupa:

a) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Supra tanpa plat nomor polisi, tanpa

jok, tanpa totok body/kelengkapan body, tanpa tebeng, tanpa batok

lampu depan belakang, tanpa kelengkapan lampu depan dan belakang,

tanpa leksil tengah, tanpa satandard dua, tanpa kabel body, tanpa

84

knalpot, dengan tutup blok mesin bagian kanan dan kiri berwarna

silver metalik, pelek bagian depan dan belakang berwarna silver

metalik, kedua shockbekker bagian belakang warna silver, selebor

depan warna biru, tangki warna hitam, besi body rangka bagian

belakang yang sudah diptong berwarna silver metalik, sapit urang

sebelah kanan dan sebelah kiri berwarna silver, kedua shockbekker

depan berwarna silver metalik, dengan nomor rangka

MHIKEV3101K132266, nomor mesin KEV3E-1132197.

b) 1 (satu) Lembar STNK Honda Supra warna hitam nopol R-5718-GH

Tahun 2001 Atas nama NASRUDIN alamat Desa Karangtengah RT

3/8 Kec Baturaden Kab. Banyumas

c) 2 (dua) buah kunci masing-masing kunci Honda seri B72 dan kunci

BMB dengan bandul tali kain warna hijau kuning, 2 (dua) buah spion,

1 (satu) buah dudukan jok tanpa busa warna hitam, 1 (satu) set totok

body bagian kanan kir warna silver, 1 (satu) buah slebor belakang

warna biru, 1 (satu) buah totok depan bagian plat nomor depan warna

biru, 1 (satu) buah tutup/totok lampu bagian belakang warna biru, 1

(satu) buah batok lampu depan bagian depan Honda beat warna biru, 1

(satu) knalpot bobokan, 1 (satu) set tebeng bagian kanan dan kiri

warna hitam, 1 (satu) set tutup accu bagian kanan dan kiri warna

hitam, 1 (satu) buah tutup ranta i/katengkas warna hitam, 1 (satu) buah

speedometer, 1 (satu) buah porstep bagian kiri warna silver, 1 (satu)

buah tempat kunci begasi warna hitam, 1 (satu) buah begel/besi

85

stainless bagian belakang, 1 (satu) buah knalpot asli sepeda motor

Honda Supra, 1 (satu) buah slebor belakang bagian depan warna

hitam, 1 (satu) set shockbekker asli bagian belakang sepeda motor

Honda supra.

Dikembalikan kepada saksi korban NASRUDIN bin SANURYA.

a) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Supra tanpa plat nomor polisi, tanpa

jok, ta npa totok body/kelengkapan body, tanpa tebeng, tanpa batok

lampu depan belakang, tanpa kelengkapan lampu depan dan belakang,

tanpa leksil tengah, tanpa satandard dua, tanpa kabel body, tanpa

knalpot, dengan tutup blok mesin bagian kanan dan kiri berwarna biru,

pelek depan dan belakang berwarna biru, kedua shockbekker bagian

belakang warna biru, selebor depan warna biru, tangki warna biru,

besi body rangka bagian belakang sebelah atasnya saja warna biru,

handel rem sebelah kanan warna biru, stang dengan model di tekuk

kebawah dan bagian rangka besi bagian belakang warna merah, sapit

urang sebelah kanan dan sebelah kiri berwarna merah, kedua

shockbekker depan berwarna merah, porsneleng warna merah,

standard satu warna merah dan bagian blok mesin berwarna merah

serta knlapot yang terpotong berwarna merah, dengan nomor rangka

MHIKEV7182k87878, nomor mesin KEV3E-1087483

b) 1 (satu) Lembar STNK Honda Supra warna hitam nopol R-5016-KH

Tahun 2002 atas nama SUTARNO alamat Desa Karangtengah RT 1/7

kec. Batureden Kab. Banyumas

86

c) 2 (dua) buah kunci masing-masing kunci Honda seri B19 dan kunci

BMB dengan bandul tali biru, 1 (satu) bilah pisau belati pramuka

gagang kayu warna coklat panjang 22cm., 1 (satu) buah jok warna

hitam, 1 (satu) set tebeng bagian kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu)

buah batok lampu depan bagian belakang warna hitam, 1 (satu) leksil

tengah warna merah, 1 (satu) set tutup accu bagian kanan warna

merah, 1 (satu) set totok body bagian kanan kiri warna silver, 1 (satu)

buah slebor belakang warna biru, 1 (satu) buah totok depan bagian

plat nomor depan warna biru, 1 (satu) buah tutup/totok lampu bagian

belakang warna biru, 1 (satu) buah batok lampu depan bagian depan

Honda beat warna biru, 1 (satu) knalpot bobokan, 1 (satu) set tebeng

bagian kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu) set tutup accu bagian

kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu) buah tutup rantai/katengkas

warna hitam, 1 (satu) buah speedometer, 1 (satu) buah porstep bagian

kiri warna silver, 1 (satu) buah tempat kunci begasi warna hitam, 1

(satu) buah begel/besi stainless bagian belakang, 1 (satu) buah knalpot

asli sepeda motor Honda Supra, 1 (satu) buah slebor belakang bagian

depan warna hitam, 1 (satu) set shockbekker asli bagian belakang

sepeda motor Honda supra.

Dikembalikan kepada saksi korban SUTARNO

a) 1 (satu) buah pisau belati pramuka dengan gagang kayu warna coklat

panjang 22cm

87

b) 1 (satu) buah drei gepeng bergagang plastik ebonite warna kuning

dengan panjang 24cm

Dirampas untuk dimusnahkan.

d. menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp. 1000 (seribu rupiah)

5. Putusan Pengadilan Negeri

a. Dasar Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan

dakwaan yang disusun secara tunggal yaitu melanggar Pasal 363 ayat (1)

ke 5 KUHP yang unsur -unsurnya sebagai berikut:

1) Barang siapa 2) Mengambil sesuatu barang 3) Yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain 4) Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum 5) Beberapa perbuatan berdiri sendiri

Ad.1. Unsur Barang Siapa:

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap

orang sebagai subjek hukum yang dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya.

Dipersidangan telah dihadapkan seorang laki-laki sebagai terdakwa yang

bernama P alias P Bin S yang identitasnya sama dengan identitas sebagaimana

yang tercantum dalam surat dakwaan sehingga tidak terdapat kesalahan terhadap

orang yang diajukan di persidangan (error in persona).

88

Terdakwa telah membenarkan identitasnya dan terdakwa dalam keadaan

sehat jasmani dan rohani, sehingga terhadap terdakwa dapat dipertanggung

jawabkan terhadap tindak pidana tersebut. Dengan demikian unsur barang siapa

telah terpenuhi.

Ad.2. Unsur Mengambil Sesuatu Barang

Mengambil adalah mengambil untuk dikuasai dan sebelumnya barang

tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Bahwa pengambilan baru dikatakan

selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat, apabila orang baru

memegang saja barang itu, belum dapat dikatakan selesai, tetapi baru melakukan

percobaan mengambil.

Sedangkan yang dimaksud dengan sesuatu barang adalah segala sesuatu

benda berwujud misalnya uang, baju, sepeda motor dan lain sebagainya.

Sesuai fakta berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan

dikaitkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan dapat diketahui

bahwa terdakwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00

WIB bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

89

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002 dengan cara membobol lubang

kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berpa drei gepeng.

Dari fakta diatas dapat diketahui terdakwa telah mengambil barang berupa

2 unit sepeda motor Honda Supra dan sepeda motor yang diambil oleh Terdakwa

adalah milik orang lain sehingga dalam unsur ini terpenuhi.

Ad.3. Unsur yang Sama Sekali atau Sebagian Termasuk Kepunyaan Orang Lain.

Sesuai fakta berdasarkan saksi-saksi, ketera ngan terdakwa dan dikaitkan

dengan barang bukti yang diajukan yang di persidangan dapat diketahui bahwa

sepeda motor yang diambil oleh Terdakwa berupa 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam Nopopl R-5718-GH tahun 2001 alah milik saksi N Bin S dan 1

unit sepeda motor Honda Supra warna hitam Nopol R-5016-KH tahun 2002

adalah milik saksi S Bin M sehingga dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.

Ad.4. Unsur Dengan Maksud dimiliki Secara Melawan Hukum.

Sesuai fakta berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan

diakaitkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan dapat diketahui

bahwa terdakwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00

WIB bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

90

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002.

Tindakan terdakwa mengambil 2 unit sepeda motor Honda Supra yaitu 1

unit sepeda motor milik S Bin M dan 1 unit sepeda motor milik N Bin S adalah

dilakukan tanpa sepengetahuan dari pemiliknya dan pada saat mengambil kedua

sepeda motor tersebut terdakwa terlebih dahulu melakukan perusakan stang

motor. Sepeda motor tersebut beberapa bagian perlengkapannya kemudian

diprotoli oleh terdakwa dan protolannya dijual kepada Miroj dengan harga Rp.

25.000 dan kepada saksi I dengan harga Rp. 40.000

Dengan fakta-fakta hukum dan pertimbangan diatas maka hakim menilai

unsur ini terpenuhi.

Ad.5. Unsur Beberapa Perbuatan yang Berdiri Sendiri.

Berdasarkan fakta hukum keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa

dan dikaitkan dengan barang bukti di persidangan dapat diketahui bahwa

terdakwa pada hari minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00 WIB

bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002, kemudian beberapa bagian

91

perlengkapannya diprotoli dan protolannya dijual kepada saksi M dengan harga

Rp. 25.000 dan kepada Ikun dengan harga Rp. 40.000.

Dengan fakta-fakta hukum dan pertimbangan diatas maka hakim menilai

unsur ini terpenuhi.

Oleh karena semua unsur dari dakwaan penuntut umum telah terbukti dan

selama persidangan tidak ditemukan alasan yang dapat menghapuskan kesalahan

terdakwa maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana sesuai

kesalahan terdakwa.

Status barang bukti perkara ini akan ditetapkan pada amar putusan.

Sebelum majelis menjatuhkan pidana kepada terdakwa perlu kiranya

majelis mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan hukuman

bagi terdakwa tersebut.

Hal yang memberatkan:

a) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat

b) Perbuatan terdakwa merugikan orang lain.

Hal yang meringankan:

a) Terdakwa menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya

b) Terdakwa masih anak-anak

c) Terdakwa belum pernah dihukum

d) Terdakwa menyesali perbuatannya.

Oleh karena terdakwa masih anak-anak maka hakim sangat

memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

92

Terdakwa ditahan dan selama persidangan tidak ada alasan untuk

mengalihkan penahanan terdakwa, maka cukup be ralasan bila terdakwa

dinyatakan untuk tetap ditahan.

Terkait dengan penjatuhan pidana atau tindakan bagi terdakwa maka

penghukuman yang tepat bagi terdakwa adalah dengan menyerahkan terdakwa

kepada negara untuk mengikuti pembinaan dengan berpedoman pada ketentuan

Pasal 24 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang

berbunyi:

Tindakan yang dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh b. menyerahkan keapda negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Menimbang, bentuk tindakan ini adalah sesuai dengan hasil Litmas dari

Petugas Bapas Purwokerto yang menyarankan agar terdakwa diserahkan kepada

negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan di LP anak Kutoarjo

Kab. Purworejo dan tuntutan dari Penuntut Umum.

Menimbang, bahwa berdasarkan evaluasi mengenai perbuatan terdakwa

yang ditemukan di persidangan maka hakim berpendapat bentuk tindakan berupa

menyerahkan terdakwa kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja adalah tepat untuk dijatuhkan terhadap terdakwa karena maksud

tindakan ini adalah untuk penyadaran dan bekal masa depan agar terdakwa setelah

menjalani penindakan tersebut kemudian menjadi anak baik dan mempunyai bekal

untuk bekerja secara mandiri.

b. Amar Putusan Hakim

93

Mengingat Pasal 363 ayat (1) ke-5 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 serta perundangan yang berhubungan, dengan

perkara tersebut, maka Hakim memutuskan Mengadili:

1) Menyatakan terdakwa P alias P Bin S telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbarengan

Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan”

2) Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa P alias P Bin S dengan

menyerahkan terdakwa kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak

Kutoarjo Kabupaten Purworejo

3) Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.

4) Menyatakan barang bukti berupa:

a) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Supra tanpa plat nomor polisi, tanpa

jok, tanpa totok body/kelengkapan body, tanpa tebeng, tanpa batok

lampu depan belakang, tanpa kelengkapan lampu depan dan belakang,

tanpa leksil tengah, tanpa satandard dua, tanpa kabel body, tanpa

knalpot, dengan tutup blok mesin bagian kanan dan kiri berwarna

silver metalik, pelek bagian depan dan belakang berwarna silver

metalik, kedua shockbekker bagian belakang warna silver, selebor

depan warna biru, tangki warna hitam, besi body rangka bagian

belakang yang sudah diptong berwarna silver metalik, sapit urang

sebelah kanan dan sebelah kiri berwarna silver, kedua shockbekker

94

depan berwarna silver metalik, dengan nomor rangka

MHIKEV3101K132266, nomor mesin KEV3E-1132197.

b) 1 (satu) Lembar STNK Honda Supra warna hitam nopol R-5718-GH

Tahun 2001 Atas nama NASRUDIN alamat Desa Karangtengah RT

3/8 Kec Baturaden Kab. Banyumas.

c) 2 (dua) buah kunci masing-masing kunci Honda seri B72 dan kunci

BMB dengan bandul tali kain warna hijau kuning, 2 (dua) buah spion,

1 (satu) buah dudukan jok tanpa busa warna hitam, 1 (satu) set totok

body bagian kanan kir warna silver, 1 (satu) buah slebor belakang

warna biru, 1 (satu) buah totok depan bagian plat nomor depan warna

biru, 1 (satu) buah tutup/totok lampu bagian belakang warna biru, 1

(satu) buah batok lampu depan bagian depan Honda beat warna biru, 1

(satu) knalpot bobokan, 1 (satu) set tebeng bagian kanan dan kiri

warna hitam, 1 (satu) set tutup accu bagian kanan dan kiri warna

hitam, 1 (satu) buah tutup rantai/katengkas warna hitam, 1 (satu) buah

speedometer, 1 (satu) buah porstep bagian kiri warna silver, 1 (satu)

buah tempat kunci begasi warna hitam, 1 (satu) buah begel/besi

stainless bagian belakang, 1 (satu) buah knalpot asli sepeda motor

Honda Supra, 1 (satu) buah slebor belakang bagian depan warna

hitam, 1 (satu) set shockbekker asli ba gian belakang sepeda motor

Honda supra.

Dikembalikan kepada saksi korban NASRUDIN bin SANURYA.

95

a) 1 (satu) unit sepeda motor Honda Supra tanpa plat nomor polisi, tanpa

jok, tanpa totok body/kelengkapan body, tanpa tebeng, tanpa batok

lampu depan belakang, tanpa kelengkapan lampu depan dan belakang,

tanpa leksil tengah, tanpa satandard dua, tanpa kabel body, tanpa

knalpot, dengan tutup blok mesin bagian kanan dan kiri berwarna biru,

pelek depan dan belakang berwarna biru, kedua shockbekker bagian

belakang warna biru, selebor depan warna biru, tangki warna biru,

besi body rangka bagian belakang sebelah atasnya saja warna biru,

handel rem sebelah kanan warna biru, stang dengan model di tekuk

kebawah dan bagian rangka besi bagian belakang warna merah, sapit

urang sebelah kanan dan sebelah kiri berwarna merah, kedua

shockbekker depan berwarna merah, porsneleng warna merah,

standard satu warna merah dan bagian blok mesin berwarna merah

serta knlapot yang terpotong berwarna merah, dengan nomor rangka

MHIKEV7182k87878, nomor mesin KEV3E-1087483

b) 1 (satu) Lembar STNK Honda Supra warna hitam nopol R-5016-KH

Tahun 2002 atas nama SUTARNO alamat Desa Karangtengah RT 1/7

kec. Batureden Kab. Banyumas

c) 2 (dua) buah kunci masing-masing kunci Honda seri B19 dan kunci

BMB dengan bandul tali biru, 1 (satu) bilah pisau belati pramuka

gagang kayu warna coklat panjang 22cm, 1 (satu) buah jok warna

hitam, 1 (satu) set tebeng bagian kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu)

buah batok lampu depan bagian belakang warna hitam, 1 (satu) leksil

96

tengah warna merah, 1 (satu) set tutup accu bagian kanan warna

merah, 1 (satu) set totok body bagian kanan kiri warna silver, 1 (satu)

buah slebor belakang warna biru, 1 (satu) buah totok depan bagian

plat nomor depan warna biru, 1 (satu) buah tutup/totok lampu bagian

belakang warna biru, 1 (satu) buah batok lampu depan bagian depan

Honda beat warna biru, 1 (satu) knalpot bobokan, 1 (satu) set tebeng

bagian kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu) set tutup accu bagian

kanan dan kiri warna hitam, 1 (satu) buah tutup rantai/katengkas

warna hitam, 1 (satu) buah speedometer, 1 (satu) buah porstep bagian

kiri warna silver, 1 (satu) buah tempat kunci begasi warna hitam, 1

(satu) buah begel/besi stainless bagian belakang, 1 (satu) buah knalpot

asli sepeda motor Honda Supra, 1 (satu) buah slebor belakang bagian

depan warna hitam, 1 (satu) set shockbekker asli bagian belakang

sepeda motor Honda supra.

Dikembalikan kepada saksi korban SUTARNO

a) 1 (satu) buah pisau belati pramuka dengan gagang kayu warna coklat

panjang 22cm

b) 1 (satu) buah drei gepeng bergagang plastik ebonite warna kuning

dengan panjang 24cm

Dirampas untuk dimusnahkan.

5). menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp. 1000 (seribu rupiah)

97

B. PEMBAHASAN

1. Alasan Hakim Memberikan Sanksi Tindakan Terhadap Perbarengan

Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan Yang Dilakukan Oleh Anak

Dalam Putusan Nomor: 159/ Pid.B/2012/PN.PWT

Seorang anak yang menghadapai permasalahan hukum tidak dihadapkan

dipersidangan layaknya persidangan orang dewasa, akan tetapi seorang anak yang

melakukan tindak pidana akan disidangkan melalui pengadilan anak. Semangat

yang melandasi pengadilan khusus anak ini adalah jangan sampai anak dipisahkan

dari orangtua dan bila terpaksa dipisahkan maka harus dilakukan dengan satu

tujuan yaitu semata-mata demi perkembangan dan pertumbuhan yang lebih baik

bagi si anak. 75

Dalam Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut:

“Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi

anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus tehadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang

tua atau keluarga; dan g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk

menghindari labelisasi.

75 Hibnu Nugroho. 2011. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal 33

98

Penjabaran kepentingan diatas telah diakomodir dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana

undang-undang ini diadakan untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak

yang berhadapan dengan hukum. Seperti yang dirumuskan dalam konsideran

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak:

“bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.” Dalam -Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak terdapat

beberapa perbedaan dalam ketentuan tentang penanganan kejahatan yang

dilakukan oleh anak, yaitu perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana,

diantaranya:

a. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat hukum dan petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

b. Sidang dilakukan secara tertutup. c. Hakim sidang anak adalah hakim khusus. d. Perkara anak diputus oleh hakim tunggal. e. Adanya peranan pembimbing pemasyarakatan dalam sidang perkara

anak. f. Penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik khusus g. Penyidik wajib memeriksa dalam suasana kekeluargaan dan wajib

dirahasiakan. h. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh

mempertimbangkan kepentingan anak. i. Penempatan tahanan anak diruang khusus anak. j. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak

harus dipenuhi. k. Setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat

bantuan hukum. 76

76 Marlina. Op.,Cit Hal 9

99

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

tepatnya pada BAB III mengenai PIDANA dan TINDAKAN pada Pasal 22

dirumuskan bahwa :

“terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan ditentukan dalam pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Melihat perumusan pasal tersebut diatas, dalam sistem peradilan anak,

maka seorang hakim dalam menjatuhkan putusannya akan dihadapkan kepada

kedua pilihan diatas, antara menjatuhkan putusan pidana atau putusan tindakan,

dalam hal ini maka seorang hakim harus mampu menjatuhkan sebuah putusan

yang lebih menguntungkan bagi terdakwa anak, yang dapat menjamin

keberlangsungan masa depan terdakwa anak.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak dirumuskan :

(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh; b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja;atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.

Berikut penjelasan mengenai tindakan yang dapat diberikan kepada

terdakwa anak seperti yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1):

a) Dikembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh

100

Hal ini dilakukan apabila menurut penilaian Hakim anak masih dapat

dibina dilingkungan orantua/wali/orangtua asuh. Anak tersebut berada

dibawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.

b) Diserahkan kepada negara.

Apabila menurut penilaian hakim, pendidikan, dan pembinaan

terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan dilingkungan keluarga

(Pasal 24 ayat (1) huruf b), maka anak tersebut diserahkan kepada

negara. Ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib

mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya untuk

member bekal keterampilan kepada anak, berupa keterampilan di

bidang pertukangan, pertanian, perbengkelan, dan lain-lain. Selesai

menjalani tindakan itu anak diharapkan mampu hidup mandiri.

c) Diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan.

Tindakan lain yang dapat dijatuhkan hakim kepada anak nakal adalah

menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja untuk dididik dan dibina. Departemen Sosial atau

Organisasi Sosial Kemasyarakatan ini seperti pesantren, panti sosial,

dan lembaga sosial lainnya. Anak yang diserahkan kepada organisasi

sosial kemasyrakatan harus diperhatikan agama anak yang

bersangkutan.77

77 Maidin Gultom, Op.,Cit Hal 131

101

Selanjutnya di dalam ayat (2) Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak mengenai tindakan yang disertai teguran dan

syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim berupa peringatan baik secara

langsung kepada anak atau melalui orangtua, wali, orangtua asuh yang bertujuan

agar anak tidak mengulangi perbuatannya, dan juga syarat kewajiban untuk

melapor.78

Dalam Putusan perkara Nomor 159/Pid.B/2012/PN.Pwt, hakim

menjadikan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak menjadi dasar hukum dalam menentukan putusannya, yaitu dengan

menjatuhkan sanksi tindakan menyerahkan terdakwa kepada negara untuk

mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dalam Lembaga

Pemasyarakatan Anak Kutoarjo Kabupaten Purworejo. Hal tersebut dijadikan

menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memberikan putusan.

2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perbarengan Pencurian

Dalam Keadaan Memberatkan Yang Dilakukan Oleh Anak

Dalam perkara tindak pidana perbarengan pencurian dalam keadaan

memberatkan yang dilakukan oleh anak dengan Nomor Putusan

159/Pid.B/2012/PN.Pwt, jaksa penuntut umum menuntut P alias P bin S dengan

dakwaan melanggar Pasal 363 ayat (1) Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Atas dakwaan tersebut, terdakwa memberikan keterangan yang isinya

mengakui semua dakwaan yang telah didakwakan kepadanya dan membenarkan

78 Ibid. Hal 132

102

keterangan para saksi. Dari fakta -fakta yang terungkap di persidangan, yaitu

berdasarkan keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta dihubungkan

dengan barang bukti yang diajukan dimuka persidangan, hakim berpendapat dan

memberikan pertimbangan, bahwa tindakan terdakwa telah memenuhi unsur-

unsur dalam dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) Jo. Pasal 65

ayat (1) KUHP tentang perbarengan pencurian dengan pemberatan, dengan unsur

sebagai berikut:

a. Unsur Barang Siapa:

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap

orang sebagai subjek hukum yang dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya.

Dipersidangan telah dihadapkan seorang laki-laki sebagai terdakwa yang

bernama P alias P Bin S yang identitasnya sama dengan identitas sebagaimana

yang tercantum dalam surat dakwaan sehingga tidak terdapat kesalahan terhadap

orang yang diajukan di persidangan (error in persona).

Terdakwa telah membenarkan identitasnya dan terdakwa dalam keadaan

sehat jasmani dan rohani, sehingga terhadap terdakwa dapat dipertanggung

jawabkan terhadap tindak pidana tersebut. Dengan demikian unsur barang siapa

telah terpenuhi.

b. Unsur Mengambil Sesuatu Barang

Mengambil adalah mengambil untuk dikuasai dan sebelumnya barang

tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Bahwa pengambilan baru dikatakan

selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat, apabila orang baru

103

memegang saja barang itu, belum dapat dikatakan selesai, tetapi baru melakukan

percobaan mengambil.

Sedangkan yang dimaksud dengan sesuatu barang adalah segala sesuatu

benda berwujud misalnya uang, baju, sepeda motor dan lain sebagainya.

Sesuai fakta berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan

dikaitkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan dapat diketahui

bahwa terdakwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00

WIB bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002 dengan cara membobol lu bang

kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa drei gepeng.

Dari fakta diatas dapat diketahui terdakwa telah mengambil barang berupa

2 unit sepeda motor Honda Supra dan sepeda motor yang diambil oleh Terdakwa

adalah milik orang lain sehingga dalam unsur ini terpenuhi.

c. Unsur yang Sama Sekali atau Sebagian Termasuk Kepunyaan Orang Lain.

Sesuai fakta berdasarkan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan dikaitkan

dengan barang bukti yang diajukan yang di persidangan dapat diketahui bahwa

sepeda motor yang diambil oleh Terdakwa berupa 1 unit sepeda motor Honda

104

Supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 alah milik saksi N Bin S dan 1

unit sepeda motor Honda Supra warna hitam Nopol R-5016-KH tahun 2002

adalah milik saksi S Bin M sehingga dengan demikia n unsur ini telah terpenuhi.

d. Unsur Dengan Maksud dimiliki Secara Melawan Hukum.

Sesuai fakta berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan

diakaitkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan dapat diketahui

bahwa terdakwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00

WIB bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002.

Tindakan terdakwa mengambil 2 unit sepeda motor Honda Supra yaitu 1

unit sepeda motor milik S Bin M dan 1 unit sepeda motor milik N Bin S adalah

dilakukan tanpa sepengetahuan dari pemiliknya dan pada saat mengambil kedua

sepeda motor tersebut terdakwa terlebih dahulu melakukan perusakan stang

motor. Sepeda motor tersebut beberapa bagian perlengkapannya kemudian

diprotoli oleh terdakwa dan protolannya dijual kepada Miroj dengan harga Rp.

25.000 dan kepada saksi I dengan harga Rp. 40.000

105

Dengan fakta-fakta hukum dan pertimbangan diatas maka hakim menilai

unsur ini terpenuhi.

e. Unsur Beberapa Perbuatan yang Berdiri Sendiri.

Berdasarkan fakta hukum keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa

dan dikaitkan dengan barang bukti di persidangan dapat diketahui bahwa

terdakwa pada hari minggu tanggal 26 Agustus 2012 sekira jam 10.00 WIB

bertempat di sebelah utara bekas rumah makan Kelapa Gading di Desa

Karangtengah, Kec. Baturaden Kab. Banyumas telah mengambil 1 unit sepeda

motor Honda supra warna hitam Nopol R-5718-GH tahun 2001 dengan cara

membobol lobang kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan alat berupa

pisau pramuka dan pada hari Jum’at tanggal 7 September 2012 sekira pukul 10.30

WIB bertempat di lorong bagian tengah rumah kosong di Desa Karang Tengah,

Kec. Baturaden, Kab. Banyumas, telah mengambil 1 unit sepeda motor Honda

Supra warna hitam nopol R-5016-KH tahun 2002, kemudian beberapa bagian

perlengkapannya diprotoli dan protolannya dijual kepada saksi M dengan harga

Rp. 25.000 dan kepada Ikun dengan harga Rp. 40.000.

Dengan fakta-fakta hukum dan pertimbangan diatas maka hakim menilai

unsur ini terpenuhi.

Hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 183

KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Sistem pembuktian secara negatif menggabungkan dua unsur dalam menentukan

salah atau tidaknya terdakwa. Kedua unsur tersebut adalah:

106

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang disahkan oleh undang-undang.

2. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

Hal tersebut sesuai Pasal 183 KUHAP merumuskan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya”. Menurut M.Yahya Harahap79, untuk menentukan bahwa salah atau

tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang

terdakwa harus:

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

2. Dan dengan keterbuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah.

Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai

berikut:

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa

Menurut pendapat Darwan Prints80,

“alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi

79 Yahya Harahap. Op.,Cit. Hal.280 80 Darwan Prints. Op.,Cit Hal. 107

107

hakim akan kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa”. Dari data Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

159/Pid.B/2012/PN.Pwt, kesalahan terdakwa dibuktikan dengan menggunakan

alat bukti berupa keterangan saksi, alat bukti petunjuk yang diuraikan sebagai

berikut:

1. Alat Bukti saksi

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, saksi-saksi yang diajukan

kehadapan persidangan antara lain, saksi S bin M, saksi N bin S, saksi F bin N,

saksi S bin S, saksi M alias I bin T, saksi I Bin S, saksi Ujiono, SH bin Supardi.

Keterangan yang diberikan para saksi yang telah disebutkan mempunyai nilai

sebagai alat bukti, karena telah memenuhi syarat yaitu saksi harus mengucapkan

sumpah atau janji, keterangan diberikan di sidang pengadilan, keternagan

beberapa saksi berdiri sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2),

keterangan saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk

pembuktian kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis”.

2. Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang

merumuskan:

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa yang terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”

108

Dalam perkara dengan Putusan Nomor 159/Pid.B/2012/PN.Pwt, alat bukti

petunjuk diperoleh hakim melalui keterangan terdakwa anak yang masih dibawah

umur, yaitu pada saat persidangan masih berusia 16 (enam belas) tahun. Dalam

hal ini terdakwa Piratno alias Piran Bin Samini berdasarkan fakta dipersidangan

telah mengakui perbuatan yang didakwakan kepadanya serta membenarkan

keterangan yang sudah disampaikan oleh para saksi-saksi yang diajukan penuntut

umum dipersidangan.

Selain dengan alat bukti yang dijelaskan diatas Hakim dalam Putusan

Nomor 159/Pid.B/2012/PN.Pwt juga mempertimbangkan bahwa ada hal yang

memberatkan dan meringankan hukuman bagi terdakwa tersebut.

Hal yang memberatkan.

a) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat

b) Perbuatan terdakwa merugikan orang lain.

Hal yang meringankan.

a) Terdakwa menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya

b) Terdakwa masih anak-anak

c) Terdakwa belum pernah dihukum

d) Terdakwa menyesali perbuatannya.

Dari uraian tersebut, dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

159/Pid.B/2012/PN.Pwt, apabila dihubungkan dengan Pasal 183 dan Pasal 184

KUHAP maka diketahui bahwa putusan tersebut telah memenuhi asas minimum

pembuktian, yaitu dengan adanya paling sedikit dua alat bukti yang sah menurut

undang-undang yang saling bersesuaian dan saling menguatkan satu dengan

109

lainnya, sudah dapat dinilai cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa

sehingga mampu membentuk keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan

kepada terdakwa.

Selain pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan diatas, hakim

juga mempertimbangkan bahwa terdakwa masih anak-anak, sehingga hakim

sangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

110

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan dan hasil penelitian maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Dalam perkara perbarengan pencurian dalam keadaan memberatkan yang

dilakukan oleh anak pada Putusan Nomor 159/Pid.B/2012/PN.Pwt, hakim

menjadikan sanksi tindakan karena berpedoman pada Pasal 24 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, ataupun pasal

yang mengatur mengenai pemberian tindakan terhadap terdakwa anak.

Dimana hakim lebih memilih untuk menjatuhkan sanksi tindakan daripada

sanksi pidana, hal ini dikarenakan pertimbangan-pertimbangan hakim yang

diperoleh dalam persidangan dan juga dikarenakan terdakwa masih

dibawah umur, sehingga hakim lebih mengutamakan kepentingan

terdakwa anak tersebut.

2. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto 159/Pid.B/2012/PN.Pwt, telah

sesuai dengan asas pembuktian yang dianut oleh Pasal 183 KUHAP

berdasarkan prinsip pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Hakim dalam membuktikan setiap unsur-unsur yang didakwakan kepada

terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang dihadapkan kedalam

persidangan disertai keyakinan hakim. Dalam Putusan Nomor

159/Pid.B/2012/PN.Pwt hakim telah memeriksa tujuh orang saksi dan alat

111

bukti petunjuk sehingga hakim memperoleh suatu keyakinan bahwa

terdakwa P alias P bin S terbukti bersalah melakukan tindak pidana

perbarengan pencurian dalam keadaan memberatkan yang diatur dalam

Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP jo Pasal 65 KUHP. Hal ini menjadi

pertimbangan yuridis hakim, selain alasan yuridis tersebut hakim juga

mempunyai pertimbangan non yuridis didasarkan alasan-alasan yang

sifatnya sosiologis, yaitu yang dapat dijadikan pedoman bagi Hakim untuk

memberatkan dan meringankan hukuman yang dijatuhkan kepada

terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika

Abidin, Zainal. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.

Gultom , Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia). Bandung: Refika Aditama.

Hamzah, Andi .2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, Yahya. 2007. Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Hartanti , Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika

Ibrahim, Jhony. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia

Kansil. C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka. Lamintang. 2009. Delik -Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan.

Jakarta: Sinar Grafika. Makarao dan Suhasril. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.

Jakarta: Ghalia Indonesia. Makarao, dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga. Jakarta: Rineka Cipta

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice). Bandung: Refika Aditama.

Marpaung, Laden. 1994. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta: Sinar Grafika

Moeljatno. 1982. Azas-azas Hukum Acara Pidana.

Moeliono, Anton. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Nugroho, Hibnu. 2011. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Prodjodikoro, Wirjono. 1977. Hukum Acara Pidana di Indonesia . Bandung: Sumur Bandung.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia

Soekanto, Soerjono. 2011. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).

Jakarta: Rajawali Pers Sugandhi, R. 1980. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. Sumpramono,Gatot. 2000. Hukum Acara Pengadilan Anak . Jakarta :

Djambatan.

Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 Tentang

Hukum Pidana

, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

, Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Anak

, Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

SUMBER LAIN

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 159/Pid.B/2012/PN.Pwt

Website : http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2011/12/asas-asas-hukum-

acara-pidana.html, diakses pada 12 April 2013