UNIVERSITAS INDONESIA SEBARAN BIOMASSA HUTAN … Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dunia...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA SEBARAN BIOMASSA HUTAN … Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dunia...
UNIVERSITAS INDONESIA
SEBARAN BIOMASSA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) DI KECAMATAN
SINGINGI, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, RIAU
SKRIPSI
FRIDA TRI RAHAYU
0806328423
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JANUARI 2012
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
SEBARAN BIOMASSA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) DI
KECAMATAN SINGINGI, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, RIAU
SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
FRIDA TRI RAHAYU
0806328423
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JANUARI 2012
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
ii Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
iii Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur penulis ucapkan bagi ALLAH SWT, Tuhan alam semesta
atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya, serta cobaan dan kemudahan yang diberikan
kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini mampu penulis selesaikan. Shalawat serta
salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan
teladan hidup kepada semua umat manusia. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penyusunan tugas akhir
ini. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih yang ditujukan kepada:
1. Dr. Ir. Tarsoen Waryono, M.S selaku dosen pembimbing I, dan Dr. Rokhmatulloh,
M.Eng selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, masukan,
dan bantuan selama penyusunan skripsi ini,
2. Drs. Sobirin, M.Si selaku penguji 1, dan Dra. Ratna Saraswati, M.S selaku penguji II
atas saran dan koreksi yang telah diberikan,
3. Dra. Tuty Handayani, M.S selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberikan dukungan moral dan spiritual kepada penulis selama masa perkuliahan,
4. Ketua Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Dr.rer.nat Eko
Kusratmoko, MS beserta seluruh staf pengajar atas ilmu-ilmu yang diberikan selama
menjalani masa kuliah. Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dunia dan
akhirat,
5. Seluruh Guru yang pernah memberikan pendidikan kepada penulis di TK Pertiwi,
SDN 2 Prembun, SMPN 1 Rowokele, SMAN 1 Rowokele,
6. Dian Purnama selaku alumni Geografi UGM yang telah membimbing penulis dalam
survey lapang dan pengolahan data,
7. Sesa Wiguna, Satrio Nugroho sebagai rekan mahasiswa Geografi 2008 yang telah
memberikan dukungan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini,
8. Abdul Hafiz selaku ketua angkatan Geografi 2008 yang telah memberikan
dukungan, saran, dan masukan, serta nasihat yang baik bagi penulis,
9. Aulia Ayu Riandini Bulkia, Stevani Anggina, Sigit, Faeyumi, Iis Iswanto, Unaya
Fitriyanti, Nurul Farhanah, sebagai teman terbaik penulis selama masa perkuliahan
yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, dan bantuan kepada penulis,
10. Lilis Chodijah, Avrie Yustianty, Wahyuni, Wika Ristya, Hendarsono, Naufal Zul
Fahmi, Miftah Farid, yang membantu mengisi waktu luang dalam Sate Bebek 13
Naga,
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
v Universitas Indonesia
11. Sahabat Geografi FMIPA UI 2008 yang telah mengisi kebersamaan selama masa
perkuliahan,
12. Ibu Sri Mulyani selaku Ibu kos dan Bapak Wijatno selaku Bapak kos, serta
Muhammad Rizky Sri Wijatno selaku adik baru di kos yang telah memberikan
dukungan moral dan spiritual, serta berbagai bantuan ketika penulis sakit selama
tinggal di Jalan Material 25, Ar Rahman 06,
13. Hidayat Chusnul, mahasiswa Administrasi Negara 2008 selaku sahabat kost yang
baik yang selalu siap membantu ketika penulis sakit,
14. Mba Desi Hariati dan Mba Retno Dwi selaku teman kost yang telah mendukung dan
membantu penulis dengan meminjamkan laptopnya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
15. Keluarga Perhimak yang telah membawa penulis dari SMA hingga diterima di
Geografi UI, serta dukungan dan bantuan selama penulis menjalani masa kuliah,
16. Bapak Mufroil, Ibu Sukarsih, Mba Tanti Munifah, Mba Dini Savitrie, Novia Nur
Hayati, Yuli Kurniawan, Arina Rahmadani, Arini Rahmadani, Kak Ahmad Fauzan,
Mas Sukamto, Ahmad Saifal Islam, Ahmad Hubaib Safaraz, Aisyah Rahma Asy-
Syifa, dan Dian Puji Lestari selaku keluarga besar yang telah memberikan doa,
dukungan yang luar biasa kepada penulis sejak lahir,
17. Bapak Paiman, Ibu Tri Silah, Fitri Hardiyanti, dan Akhsan Nur Tri Hantoro selaku
keluarga baru yang telah memberikan dukungan kepada penulis, serta
18. The last but not the least, my lovely husband Agung Wahyu Tamtomo, teman hidup
setia penulis yang telah memberikan semangat perjuangan, dan kasih sayang yang
tulus kepada penulis sejak SMA hingga saat ini.
Akhir kata, semoga ALLAH SWT berkenan membalas dan memberikan Rahmat-
Nya kepada segala pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan pada proses
pembuatan skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Depok, November 2011
Penulis
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
vi Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
vii [Company]
ABSTRAK
Nama : Frida Tri Rahayu
Program studi : Geografi
Judul : Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kecamatan
Singingi,
Kabupaten Kuantan Singingi, Riau
Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis
tetapi juga mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya fungsi ekologis
bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu potensi Hutan Tanaman Industri adalah
biomassa. Biomassa mempunyai peran dalam perencanaan hutan dan informasi karbon.
Hutan Tanaman Industri menjadi salah satu objek yang potensial karena keberadaan
HTI di Indonesia semakin meningkat. Penelitian ini memanfaatkan Citra LANDSAT 7
ETM+ sebagai pendukung dan data suvey lapang, serta menggunakan persamaan
allometrik dan uji keterhandalan yang bertujuan untuk mengetahui sebaran HTI dan
biomassanya di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP. HTI tersebar berdasarkan
kompartemenisasi dan sistem tebangan berpola mozaik yang terdapat di berbagai Desa
dengan jenis tanaman Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan Eucalyptus dengan
didominasi umur tanaman 2 tahun sebesar 43%. Biomassa HTI di Sektor Logas Selatan,
Kecamatan Singingi memiliki korelasi sebesar 0,461 atau sebesar 21% dengan NDVI.
Biomassa HTI berkisar 0,3 – 250,68 ton/ha yang tersebar seluruh areal Tanaman Pokok
Sektor Logas Selatan. Ketinggian wilayah dan lereng tidak mempunyai peran besar
dalam besaran biomassa tanaman HTI.
Kata kunci : Biomassa, Hutan Tanaman Industri, persamaan alometrik, NDVI,
LANDSAT 7 ETM+
xv + 102 hlm; 43 gambar, 6 tabel, 13 peta
Bibiliografi : 35 (1982 – 2011)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
viii [Company]
ABSTRACT
Name : Frida Tri Rahayu
Major : Geography
Title : Biomass Distribution of Industrial Plantation Forest in Singingi
Subdistrict,
Kuantan Singingi Regency, Riau
Industrial Plantation Forest (HTI) not only giving economic benefits but also be
able to contribute in enhancing the ecological functions for the surrounding
environment. One of the potensial Timber Estate is biomass. Biomass has a role in
forest planning and carbon information. Beside that, Forest Plantation became one of
the potensial object due to presence of Industrial. This research using image of
LANDSAT 7 ETM+ as a supporter and survey data field, and using allometric
equations and detail test to knowing the distribution and biomass plantations in the
South Logas Sector, PT. RAPP, Singingi Subdistrict. Industrial Plants Forest be
distributed by basic on dividing and felling system pattern mosaic there are various in
the village with plant of species Acacia mangium, Acacia crassicarpa, and Eucalyptus
with age of 2 years was dominated by 43%. Biomass of Industrial Forest Plantations in
the South Logas Sector, Singingi Subdistrict has a correlation of 0,461 or 21% with
NDVI and value of biomass crops range from 0,3 to 250,68 tones/ha scattered
throughout the area of Principal Crops in the South Logas Sector. Nevertheles, the
height and slope areas haven’t a big role in the amount of plant biomass plantations.
Keyword: Biomass, Forest Estate, allometric equations, NDVI, LANDSAT 7 ETM+
xv+102 p. Ix; 43 image, 6 tables, 13 maps
Bibiliography: 35 (1982 – 2011)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR PETA ................................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3. Batasan Penelitian ............................................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6
2.1. Karakteristik Hutan Tanaman Industri ............................................................ 6
2.2. Pengertian Biomassa .......................................................................................10
2.3. Teknik Pengukuran Biomassa ........................................................................ 12
2.4. Karakteristik Citra Optik ............................................................................... 16
2.5. Karakteristik Citra LANDSAT ...................................................................... 21
2.4.1. Sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) ........................................ 22
2.4.2. Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) ............................. 22
2.6. Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 24
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 25
3.1. Daerah Penelitian ........................................................................................... 25
3.2. Alur Pikir Penelitian ...................................................................................... 25
3.3. Prosedur Kerja Penelitian .............................................................................. 26
3.3.1. Cara Pengumpulan Data ..................................................................... 26
3.3.2. Pengolahan Data ................................................................................. 30
3.3.3. Analisis Data ....................................................................................... 32
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
x Universitas Indonesia
BAB 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............................. 33
4.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian ................................................................. 33
4.2. Topografi ....................................................................................................... 36
4.3. Geologi dan Jenis Tanah ................................................................................ 39
4.4. Iklim .............................................................................................................. 41
4.5. Penggunaan Tanah ......................................................................................... 41
4.6. Sebaran Hutan Tanaman Industri .................................................................. 44
4.7. Luas Tanaman Hutan Tanaman Industri ....................................................... 45
4.8. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya Penduduk di Sekitar HTI ....................... 50
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 45
5.1. Nilai Indeks Vegetasi (Tingkat Kehijauan) HTI ........................................... 52
5.2. Estimasi Biomassa Melalui Metode Alometri .............................................. 57
5.2.1. Distribusi Sampel ............................................................................... 57
5.2.2. Diameter Pohon di Lokasi Sampel ...................................................... 59
5.2.3. Tinggi Pohon di Lokasi Sampel .......................................................... 60
5.2.4. Estimasi Biomassa dengan Metode Alometri ................................... 61
5.3. Hubungan Karakteristik Pohon dan Biomassa dengan
Tingkat Kehijauan ........................................................................................ 61
5.4. Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri ................................................. 62
5.4.1. Pendugaan Biomassa HTI .................................................................. 62
5.4.2. Kandungan Biomassa Acacia mangium ............................................ 64
5.4.3. Kandungan Biomassa Acacia crassicarpa ........................................ 65
5.4.4. Kandungan Biomassa Kayu Eucalyptus ............................................. 66
5.5. Sebaran Biomassa Kayu HTI Menurut Kondisi Fisik Wilayah .................... 67
5.5.1. Sebaran Biomassa Acacia mangium ................................................... 69
5.5.2. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa ............................................... 76
5.5.3. Sebaran Biomassa Eucalyptus ............................................................ 82
BAB 6 KESIMPULAN .................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 91
LAMPIRAN ....................................................................................................... 94
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nama dan Panjang Gelombang pada Landsat ETM+ ......................... 22
Tabel 3.1. Persamaan Allometrik untuk Menaksir Biomassa Tegakan HTI ........ 37
Tabel 4.1. Jenis Geologi dan Jenis Tanah Sektor Logas Selatan .......................... 39
Tabel 4.2. Luas Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan, PT. RAPP ................ 41
Tabel 5.1. Model Penduga Biomassa HTI ............................................................................. 64
Tabel 5.2. Potensi Biomassa Menurut Jenis dan Umur Tanaman HTI ............................. 64
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tipe Aliran Sistem Penginderaan Jauh Optik ................................ 18
Gambar 2.2. Plot Transmisi Atmosfer dari 0,4 – 30 cm ..................................... 18
Gambar 2.3. Karakteristik Spektrum Vegetasi Tanaman Hijau ......................... 20
Gambar 2.4. Spacecraft Landsat-7 ..................................................................... 23
Gambar 2.5. Scanner ETM+ ............................................................................... 23
Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian ...................................................................... 25
Gambar 3.2. Plot Sampel Tegakan HTI Sektor Logas Selatan .......................... 26
Gambar 3.3. Berbagai cara mengukur diameter pohon setinggi dada ............... 27
Gambar 3.4. Cara mengukur tinggi pohon ......................................................... 27
Gambar 3.5. Alur Kerja Penelitian ..................................................................... 29
Gambar 4.1. Presentase Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan .................... 43
Gambar 4.2. Presentase Luas Tanaman Pokok ................................................... 47
Gambar 4.3. Presentase Luas HTI Menurut Jenis Tanaman .............................. 47
Gambar 5.1. Presentase Luas Sebaran Biomassa HTI ....................................... 67
Gambar 5.2. Luas Sebaran Biomassa HTI ......................................................... 67
Gambar 5.3. Presentase Luas Sebaran Biomassa Acacia mangium ................... 69
Gambar 5.4. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Rendah Berdasarkan Ketinggian Wilayah .......................... 69
Gambar 5.5. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Rendah Berdasarkan Kemiringan Lereng ........................... 70
Gambar 5.6. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ........................................ 71
Gambar 5.7. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 72
Gambar 5.8. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ............... 72
Gambar 5.9. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 73
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
xiii Universitas Indonesia
Gambar 5.10. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 74
Gambar 5.11. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ................74
Gambar 5.12. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah .......................................... 75
Gambar 5.13. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa .............. 76
Gambar 5.14. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 76
Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium
Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ..............77
Gambar 5.16. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 78
Gambar 5.17. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 79
Gambar 5.18. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 79
Gambar 5.19. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 80
Gambar 5.20. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Kelas Tinggi Berdasarkan Kemiringan Lereng ............................. 81
Gambar 5.21. Presentase Sebaran Biomassa Kayu Eucalyptus ............................ 82
Gambar 5.22. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 82
Gambar 5.23. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ............. 83
Gambar 5.24. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ........................................ 84
Gambar 5.25. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 84
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
xiv Universitas Indonesia
Gambar 5.26. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng .............. 85
Gambar 5.27. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 86
Gambar 5.28. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 86
Gambar 5.29. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng .............. 87
Gambar 5.30. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 88
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
xv Universitas Indonesia
DAFTAR PETA
Peta 1 Administrasi Kecamatan Singingi ...................................................... 34
Peta 2 Estate (Blok Tanam) ........................................................................... 35
Peta 3 Wilayah Kemiringan Lereng .............................................................. 37
Peta 4 Wilayah Ketinggian ............................................................................ 38
Peta 5 Jenis Tanah ......................................................................................... 40
Peta 6 Penggunaan Tanah .............................................................................. 42
Peta 7 Jenis Tanaman HTI ............................................................................. 48
Peta 8 Umur Tanaman HTI ............................................................................ 49
Peta 9 Citra Landsat 7 ETM+, Komposit Band 321 ...................................... 53
Peta 10 Tingkat Kehijauan ............................................................................... 55
Peta 11 Tingkat Kehijauan Menurut Jenis Tanaman HTI ................................ 56
Peta 12 Sebaran Titik Sampel .......................................................................... 58
Peta 13 Sebaran Biomassa ................................................................................ 68
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tanaman menyimpan energi dalam bentuk biomassa. Biomassa yang terdapat
pada tanaman terbentuk dari hasil fotosintesis. Tanaman mengabsorpsi karbon
dioksida selama proses fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk biomassa
tanaman. Tanaman pada hutan memiliki peran yang penting dalam siklus karbon
global dan dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Penyerapan
karbon oleh tanaman terjadi melalui proses kimiawi pada aktivitas fotosintesis
yang menghasilkan oksigen dan karbohidrat, kemudian terakumulasi menjadi
selulosa dan lignin sebagai cadangan karbon. Biomassa hutan menjadi salah satu
parameter dalam pendugaan besarnya karbon pada vegetasi hutan karena 50%
biomassa tersusun atas unsur karbon.
Biomassa tanaman dapat diperkirakan besaran potensinya. Volume besaran
biomassa sangat ditentukan oleh kondisi fisik tanaman dan jenis yang
dikembangkan. Tingkat kesesuaiannya sangat dicirikan oleh besaran
monosakarida atau dalam bentuk kayu yang secara teoritis dihitung berdasarkan
massa kayu, berat kayu, dan yang paling lazim adalah bobot biomassa per satuan
luas. Heriansyah (2009) menyatakan bahwa potensi biomassa hutan tanaman
berdasarkan kondisi biologis tanaman bervariasi menurut jenis, umur, dan
kerapatan tanaman. Sedangkan Kusmana et al. (1992) menyatakan bahwa besaran
potensi biomassa tegakan berhubungan erat dengan umur tegakan. Faktor fisik
kesesuaian wilayah tempat tumbuh tanaman yang berpengaruh terhadap besaran
potensi biomassa tanaman meliputi elevasi (ketinggian wilayah), kelerengan,
iklim, jenis tanah. Semakin baik tingkat kesesuaian wilayah pertumbuhan
tanaman sesuai dengan umur keekonomisan tanaman, maka akan menunjukan
besarnya biomassa yang optimal bagi tanaman untuk bisa ditebang sebagai kayu
tebangan.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan
kayu gergajian, kayu lapis, dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan
kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan
untuk produksi kayu, dan ada 4 juta ha lagi untuk hutan tanaman industri yang
telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu pulp yang nilai PDB nya mencapai 5,5
miliar dolar. Jumlah ini hampir setengah dari nilai ekspor minyak dan gas, dan
setara dengan 10% pendapatan ekspor total (Forest Watch Indonesia, 2001).
Pasokan kayu bulat yang berasal dari sumber produksi HTI menduduki peringkat
ketiga setelah HPH dan Hutan konversi yaitu sebesar 3.779.828 m3 per tahun
(Departemen Kehutanan, 2006).
Indonesia memiliki sekitar 4 juta hektar areal hutan tanaman industri, atau
hanya 1,6% dari areal total yang diklasifikasikan sebagai hutan, sekalipun ada
subsidi untuk reforestasi dan pembangunan HTI (Barr et al., 2010). Kementerian
Kehutanan menargetkan untuk memperluas areal HTI sebanyak 5 juta hektar
sampai pada tahun 2016 (Departemen Kehutanan, 2009). Laju perkembangan
hutan tanaman berada di bawah laju yang diharapkan dan tampaknya sulit untuk
mencapai target sampai pada tahun 2016. Untuk mencapai target 5 juta hektar ini,
seharusnya lebih dari 714.000 hektar lahan sudah mengalami reforestasi setiap
tahunnya, yang berarti lebih dari 10 kali lipat kenaikan laju penanaman. Hal ini
akan meningkatkan produksi bubur kayu sampai 64 m3 setiap tahunnya pada
tahun 2025. Mengingat produksi bubur kertas (pulp) saat ini bergantung pada
pemanenan serat dari hutan alam, peningkatan semacam ini akan menyebabkan
industri bubur kertas yang ada saat ini tercukupi kebutuhan seratnya dari hutan
tanaman dan akan memungkinkan peningkatan kapasitas lebih lanjut
(Departemen Kehutanan, 2006). Dalam rangka mengantisipasi pasokan bubur
kayu oleh HTI, saat ini Kementerian Kehutanan tengah merencanakan suatu
proposal proyek untuk membangun pabrik bubur kertas yang baru, dengan
kapasitas produksi baru total mencapai 8 juta ton bubur kertas.
Rencana pembangunan tersebut menyebabkan industri pulp dan kertas
meningkat. Sejak akhir tahun 1980-an kapasitas produksi meningkat hampir
700%. Kapasitas produksi pulp tahunan indonesia melebihi 4,9 juta ton. Indonesia
menjadi produsen pulp terbesar ke-9 dan produsen kertas terbesar ke-11 di dunia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
3
Universitas Indonesia
(Forest Watch Indonesia, 2001). Pembangunan HTI dapat dilaksanakan melalui
beberapa skenario. Pembangunan HTI terutama adalah untuk produksi bubur kayu
(Departemen Kehutanan, 2009); 75% dari sejumlah ijin yang dikeluarkan untuk
konsesi hutan tanaman definitif sampai tahun 2025 adalah untuk konsesi bubur
kayu.
PT. Riau Andalan Pulp And Paper (PT. RAPP) merupakan salah perusahaan
pulp-kertas terbesar di Indonesia dengan salah satu produk andalan Paper One
yang diekspor ke 40 negara di dunia (Planning, 2011). PT. RAPP setiap tahun
menanam lebih dari 100.000 ha dengan berbagai macam jenis tanaman
monokultur yang dikembangkan seperti Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan
Eucaliptus.
Dalam perkembangannya, informasi biomassa tanaman memiliki peran
dalam mitigasi bencana iklim menjadi perhatian masyarakat dunia. Seiring
kemajuan teknologi, pengamatan biomassa telah terbantu dengan adanya
teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh optik menjadi teknologi
pendukung penelitian biomassa karena mampu merekam data permukaan bumi
dalam intensitas yang tinggi melalui pantulan vegetasi, dan dapat menjadi tolok
ukur pengestimasian nilai biomassa berdasarkan nilai NDVI (Bombelli et al.,
2009) . Penginderaan jauh optik sering digunakan untuk penerapan praktis seperti
hasil inventarisasi, klasifikasi penggunaan tanah, dan eksplorasi mineral karena
proses pengolahannya mudah. Melalui pengukuran lapang dan crop tutupan
vegetasi maka citra optik bermanfaat untuk kegiatan monitoring lahan misalnya
dalam estimasi cadangan karbon dan nilai biomassa (Thoma et al., 2004).
Estimasi biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass / AGB)
dapat diketahui dengan menguji hubungan antara biomassa hasil pengukuran
lapang dan hail estimasi biomassa berdasarkan model formula dengan nilai NDVI
hasil pengolahan dengan Citra Landsat 7 ETM+. Hubungan ini memberikan
estimasi biomassa di atas permukaan tanah yang diperlukan misalnya untuk
perencanaan REDD / Reducing Emission from Deforestation and Degradation
(Mitchard et al., 2009).
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Atas dasar itulah penelitian untuk mengetahui sebaran biomassa di atas
permukaan tanah dari tegakan HTI ingin dilakukan. Tegakan hutan tanaman yang
hasil produksinya untuk bahan baku pulp dan kertas. Penelitian ini untuk
menginformasikan sebaran biomassa kayu tegakan Hutan Tanaman Industri
berdasarkan tinggi rendahnya volume kayu yang diprediksi dan dihitung
berdasarkan Citra Landsat 7 ETM+ dan cuplikan (plot) di Sektor Logas Selatan,
areal kerja PT. RAPP, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi,
Propinsi Riau. Adapun alasan penempatan lokasi di Kabupaten Kuantan Singingi
yaitu Kabupaten Kuantan Singingi merupakan lokasi pengembangan kawasan
tumbuh yang mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan, salah satunya adalah
Perusahaan Kayu dan PT. RAPP merupakan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Tanaman Industri yang terbesar di Kabupaten Kuantan Singingi.
1.2.Rumusan Masalah
Masalah dikaji pada penelitian ini adalah:
Bagaimana karakteristik sebaran biomassa tegakan di Sektor Logas Selatan,
PT. RAPP, Kecamatan Singingi?
1.3.Batasan Penelitian
a. Biomassa merupakan massa organik benda hidup maupun benda mati
(Bombelli et al., 2009). Biomassa adalah total berat / massa kayu (volume
kayu) dalam satuan luas (m3/ha). Biomassa yang diteliti adalah biomassa di
atas permukaan tanah (Above Ground Biomass / AGB) yaitu biomassa batang
kayu tanaman HTI. Biomassa tegakan yang ditentukan adalah biomassa kayu
bulat pada tegakan Hutan Tanaman Industri;
b. Hutan Tanaman Industri yang kemudian disebut HTI adalah hutan tanaman
pada hutan produksi yang dibangun oleh pelaku usaha kehutanan dalam
rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan sistem silvikultur dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan
baku industri hasil hutan;
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
5
Universitas Indonesia
c. Tegakan hutan adalah keseluruhan pohon yang ada di dalam hutan. Jenis
tegakan yang diamati adalah Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan
Eucalyptus. Umur tegakan yang diteliti adalah umur 1 – 5 tahun berdasarkan
daur ekonomis di PT RAPP untuk melakukan penebangan kayu sebagai
bahan baku pulp-kertas.
d. Citra Landsat 7 ETM+ merupakan citra penginderaan jauh optik untuk
sumber daya bumi dengan menggunakan sensor ETM+ (Enhanced Thematic
Mapper Plus) yang didesain untuk keberlanjutan dari program Landsat 4 dan
5 yang ditambah dengan dua sistem kalibrasi untuk mengeliminasi gangguan
radiasi matahari (dual mode solar calibrator systems) dengan penambahan
lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik (Lillesand and Kiefer,
1994).
e. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan suatu nilai hasil
pengolahan dari citra satelit band infra merah dan band merah yang
menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan
kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel
(Goetz et al., 1985). NDVI dapat digunakan dalam membandingkan tingkat
kehijauan vegetasi yang berasal dari citra satelit.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
6 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Hutan Tanaman Industri
Menurut SK Menteri Kehutanan No.10.1/Kpts-II/2008 tanggal 6 November
2000 kriteria Hutan Produksi untuk Hutan Tanaman Industri adalah penutupan
vegetasi non hutan (semak belukar, padang, alang-alang, dan tanah kosong) atau
areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat
berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5
m3/ha. Berdasarkan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Peraturan
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) usaha pemanfaatan hutan tanaman
diutamakan dilaksanakan pada Hutan Produksi yang tidak produktif dalam rangka
mempertahankan hutan alam.
Kegiatan Hutan Tanaman Industri yang utama di Indonesia adalah Hutan
Tanaman Industri dengan jenis pohon akasia (A. Mangium dan A. Crassicarpa)
dan Eucalyptus, terutama untuk kebutuhan bubur kayu. Lebih dari 75% ijin HTI
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan adalah untuk Hutan Tanaman
Industri bubur kayu (Departemen Kehutanan, 2009). Hutan tanaman ini umumnya
dikelola dengan menggunakan sebuah rotasi pendek selama 6 – 7 tahun. Indonesia
memiliki sekitar 4 juta hektar areal hutan tanaman industri, atau hanya 1,6% dari
areal total yang diklasifikasikan sebagai hutan, sekalipun ada subsidi untuk
reforestasi dan pembangunan HTI (Barr et al., 2010). Departemen Kehutanan
menargetkan untuk memperluas areal HTI sebanyak 5 juta hektar sampai pada
tahun 2016 (Departemen Kehutanan, 2009).
Laju perkembangan hutan tanaman berada di bawah laju yang diharapkan dan
tampaknya sulit untuk mencapai target sampai pada tahun 2016. Untuk mencapai
target 5 juta hektar ini, seharusnya lebih dari 714.000 hektar lahan sudah
mengalami reforestasi setiap tahunnya, yang berarti lebih dari 10 kali lipat
kenaikan laju penanaman. Hal ini akan meningkatkan produksi bubur kayu
sampai 64 m3 setiap tahunnya pada tahun 2025. Mengingat produksi bubur kertas
(pulp) saat ini bergantung pada pemanenan serat dari hutan alam, peningkatan
semacam ini akan menyebabkan industri bubur kertas yang ada saat ini tercukupi
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
7
Universitas Indonesia
kebutuhan seratnya dari hutan tanaman dan akan memungkinkan peningkatan
kapasitas lebih lanjut (Departemen Kehutanan, 2009). Dalam rangka
mengantisipasi pasokan bubur kayu oleh HTI, saat ini Kementerian Kehutanan
tengah merencanakan suatu proposal proyek untuk membangun pabrik bubur
kertas yang baru, dengan kapasitas produksi baru total mencapai 8 juta ton bubur
kertas.
Pembangunan HTI dapat dilaksanakan melalui beberapa skenario.
Pembangunan HTI terutama adalah untuk produksi bubur kayu (Departemen
Kehutanan, 2009); 75% dari sejumlah ijin yang dikeluarkan untuk konsesi hutan
tanaman definitif sampai tahun 2025 adalah untuk konsesi bubur kayu.
Hutan Tanaman Industri mempunyai potensi ekonomis dan ekologis. Potensi
ekologis yang disumbangkan bagi lingkungan adalah ketika tanaman mampu
menyimpan cadangan karbon dan biomassa, serta menjadi penyerap karbon
dioksida di atmosfer, sehingga mampu mengurangi emisi karbon dioksida melalui
proses fotosintesis. Sedangkan potensi ekonomis berupa pengembangan tanaman
kayu sebagai bahan baku industri. Jenis tanaman yang dikembangkan sebagai
bahan baku pulp dan kertas adalah sebagai berikut:
a. Acasia mangium
Acasia mangium termasuk jenis legum yang tumbuh cepat, tidak memerlukan
persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya.
Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang untuk finir, perabot
rumah, serta bahan bakar (Septiani, 1998). Acasia mangium dapat beradaptasi
dengan baik pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan. Acasia mangium
dapat tumbuh cepat di lokasi tanah pada tingkat nutrisi yang rendah, bahkan pada
tanah-tanah asam dan terdegradasi. Faktor lain yang mendorong pengembangan
jenis ini adalah sifat pertumbuhan yang cepat. Pada tanah yang baik, umur 9 tahun
telah mencapai tinggi 23 meter dengan rata-rata kenaikan diameter 2 – 3 meter
dengan hasil produksi 415 m3/ha.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Jenis Acasia mangium tumbuh secara alami di hutan tropis lembab yang
persebarannya terdapat di Maluku dengan jenis Melaleuca leucadendron. Selain
itu terdapat pula di pantai Australia bagian utara, Papua bagian selatan (Fak-fak di
Aguada (Babo) dan Tomage (Rokas, Kepulauan Aru, Maluku dan Seram bagian
barat.
Acasia mangium tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dapat hidup
pada lahan miskin hara dan tidak subur. Acasia mangium dapat tumbuh baik pada
tanah peka erosi, berbatu, dan tanah aluvial serta tanah yang memiliki pH rendah
(±4,2). Tumbuh pada ketinggian antara 30 – 130 m di atas permukaan laut,
dengan curah hujan bervariasi antara 1.000 – 4.500 mm/tahun dengan rata-rata
curah hujan tahunan antara 1.446 mm dan 2.970 mm. Seperti jenis pionir yang
cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Acasia mangium sangat membutuhkan
sinar matahari untuk tumbuh dengan baik. Di habitat alaminya, suhu minimum
rata-rata berkisar 12-16oC dan suhu maksimum rata-rata berkisar 31-34
oC (Malik,
2009). Jenis ini tidak dapat tumbuh terus menerus sepanjang tahun, pertumbuhan
tampak lambat atau berhenti sebagai respon terhadap kombinasi curah hujan yang
rendah dan suhu dingin. Acasia mangium dapat mengalami kematian jika terkena
kekeringan yang parah atau musim dingin berkepanjangan. Angka kematian tinggi
pada Acasia mangium berumur 5 tahun setelah mengalami periode waktu dan
suhu rendah (sekitar 5-6oC) dengan hujan dingin yang lama.
Pohon Acasia mangium dapat digunakan sebagai pohon penaung, ornamen,
penyaring, pembatas, dan penahan angin, serta dapat ditanam pada sistem
wanatani dan pengendali erosi (Malik, 2009). Jenis ini banyak dikembangkan
untuk tujuan peningkatan kesuburan. Pohon Acasia mangium mampu
berkompetisi dengan gulma yang agresif, seperti alang-alang (Imperata
cylindrica); jenis ini juga mengatur nitrogen udara dan menghasilkan banyak
serasah yang dapat meningkatkan aktivitas biologis tanah dan merehabilitasi sifat-
sifat fisika dan kimia.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Di Indonesia sejak dicanangkan pembangunan HTI pada tahun 1984, kayu
mangium telah dipilih sebagai salah satu jenis favorit untuk ditanam di areal HTI.
Pada mulanya jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk
memenuhi kebutuhan kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan
kertas. Dengan adanya perubahan-perubahan kondisional baik yang menyangkut
kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu untuk penggunaan
lain, tidak tertutup kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu Acacia
mangium (Malik, 2009).
b. Acasia crassicarpa
Acasia crassicarpa. Ex Benth disebut juga sebagai Thick-podded Salwood.
Acasia crassicarpa merupakan tumbuhan berukuran sedang dengan tinggi antara
6 – 25 m dan diameter antara 50 – 60 cm. Batang gelap dengan alur-alur yang
cukup dalam. Tejuknya bercabang banyak dan menyebar.
Secara alami, Acasia crassicarpa tumbuh di Papua New Guinea, Irian Jaya,
dan timur laut Queensland Australia. Jenis ini ditemui mulai dari daerah hangat
hingga panas dan lembab dan sub-humid di dataran rendah tropis. Di Australia,
ditemui di daerah-daerah yang langsung berbatasan dengan pantai atau dataran
pantai (coastal plains) dan kaki bukit. Di Papua New Guinea dan Irian Jaya, jenis
ini juga ditemui di daerah dengan kemiringan lereng yang landai hingga sedang
pada tanah yang sangat asam dan berdrainase baik dan pada tanah yang
drainasenya tidak baik dan terkena dampak banjir pada musim hujan. Jenis ini
bisa tumbuh pada jenis tanah yang cukup lebar variasinya. Acasia crassicarpa
dapat tumbuh di ketinggian 0 – 200 m di atas permukaan laut. Suhu tahunan rata-
rata yang dibutuhkan adalah 15oC – 22
oC dan 31
oC – 34
oC. Curah hujan rata-rata
tahunan yang sesuai adalah berkisar 500 – 3500 mm (Irwanto, 2003).
Kayu Acasia crassicarpa dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Kayunya
dapat kering dengan cepat, dan dapat terbakar dengan baik, serta berguna sebagai
kayu bakar dan arang. Nilai energi yang dihasilkan adalah 22.600 kJ/kg. Sangat
baik untuk industri kraft pulping, dengan hasil pulp tersaring (screened pulp yield)
47%. Kayunya juga bisa dimanfaatkan untuk beragam kayu gergajian.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
10
Universitas Indonesia
c. Eucalyptus
Eucalyptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar, tingginya
berkisar 60 – 70 m. Batang utamanya berbentuk lurus dengan diameter hingga
200 cm. Permukaan pepagan licin, serat berbentuk papan catur, daun dewasa
umunya berseling kadang-kadang berhadapan, tungga, tulang tengah jelas,
pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila diremas.
Perbungaan berbentuk payung yang rapat, kadang-kadang berupa malai rata di
ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis, biji berwarna
cokelat atau hitam.
Jenis Eucalypus merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang
tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Jenis Eucalyptus termasuk jenis
yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan sinar matahari. Oleh
karena itu, jenis tanaman ini cenderung untuk selalu dikembangkan. Eucalyptus
merupakan jenis tanaman yang cepat menghasilkan biomassa.
Daerah penyebaran alami Eucalyptus berada di sebelah timur garis Walace,
mulai dari 7o LU – 43
o39’ LS sebagian besar tumbuh di Australia dan pulau-pulau
sekitarnya. Beberapa jenis tumbuh luas di Papua New Guinea dan jenis-jenis
tertentu terdapat di Sulawesi, Papua, Seram, Philipina, Nusa Tenggara Timur.
Jenis Eucalyptus sesuai pada daerah arid (iklim bermusim) dan daerah
beriklim basah dari tipe hutan tropis. Jenis Eucalyptus tidak menuntut persyaratan
yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus dapat tumbuh pada tanah
dangkal, berbatu, lembab, berawa, dan secara periodik digenangi air dengan
variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus gersang sampai pada tanah
yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai
C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai daerah pegunungan
yang tingginya per tahun sesuai bagi pertumbuhannya antara 0 – 1 bulan dan suhu
rata-rata tahunan 20oC – 32
oC.
2.2. Pengertian Biomassa
Biomassa didefinisikan sebagai massa organik benda hidup maupun benda
mati. Perubahan waktu kandungan biomassa suatu tutupan vegetasi per luasan
area (kerapatan biomassa) dapat dijadikan variable iklim yang penting karena
biomassa diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan berupa penangkapan
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
11
Universitas Indonesia
atau pelepasan karbon antara ekosistem terestrial dan atmosfer. Ketika
menggunakan istilah biomassa maka kita berbicara tentang kerapatan biomassa
pada suatu tutupan vegetasi yang dilihat dari massa kayu per satuan luas pada
tanaman hidup maupun mati. Unit pengukurannya adalah gram/ m2.
Kumpulan karbon pada ekosistem terestrial menyertakan biomassa secara
konseptual terbagi dalam biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah
permukaan tanah, tanaman mati dan serasah (Bombelli et al., 2009). Biomassa di
atas permukaan tanah merupakan semua biomassa tanaman yang hidup diatas
tanah meliputi batang, tunggul, cabang, kulit kayu, bibit, dan daun-daunan.
Sedangkan biomassa di bawah permukaan merupakan semua biomassa hidup
yang meliputi akar tanaman yang terdiri atas akar serabut (diameter < 2mm), akar
sedang (diameter 2-10 mm), dan akar besar (diameter >10mm). Benda mati (dead
mass) meliputi biomassa kayu tak hidup, namun tidak termasuk serasah, tegakan
yang lainnya, tetap berada di atas permukaan tanah atau terletak di tanah. Kayu
mati terdiri dari kayu yang terletak di atas permukaan tanah, akar mati, dan
tunggul yang lebih besar atau diameter >10 cm dan panjang lebih besar dari 1 m.
Sedangkan serasah terdiri dari biomassa tak hidup dengan diameter kurang dari
diameter minimum yang ditentukan oleh negara (misalnya 10 cm), tanaman mati
tak sempurna, pada beberapa negara misalnya pembusukkan di atas mineral
maupun tanah organik.
Biomassa pada suatu vegetasi merupakan hal yang penting dalam variabel
ekologi untuk tegakan dan potensi perubahan sistem iklim. Vegetasi biomassa
merupakan penyimpan karbon yang lebih besar dibanding atmosfer, dan
perubahan vegetasi biomassa dalam jumlah yang cukup besar berpengaruh pada
pengikatan sejumlah karbon, dan potensi yang dimilikinya untuk menangkap
karbon pada masa yang akan datang menjadi lebih besar. Tergantung pada
kuantitas biomassa dari suatu tutupan vegetasi dapat mempengaruhi secara
langsung pada tingkat lokal, regional, maupun iklim global, terutama pada
temperatur dan kelembaban udara. Oleh karena itu, penilaian global terhadap
biomassa dan dinamikanya merupakan hal yang penting sebagai masukan untuk
mengubah model pendugaan dan mitigasi serta strategi adaptasi (Bombelli et. al.,
2009).
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
12
Universitas Indonesia
2.3. Teknik Pengukuran Biomassa
Menurut Mitchard et al (2009) secara garis besar metode pendugaan
biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass/AGB) dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu:
2.2.1. Teknik Pemanenan
a. Pemanenan individu tanaman (destructive sampling) secara in situ
Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan yang
cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis yang sedikit. Nilai total
biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh
individu dalam suatu unit area contoh.
b. Metode pemanenan kuadrat
Metode ini mengharuskan memanen semua individu tumbuhan dalam suatu
unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa didapat dengan
mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit
area tertentu.
c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar
rata-rata
Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam.
Dengan metode ini, pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata
diameternya dan ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan
menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan
jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua
pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua
pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon
contoh.
2.2.2. Teknik Pendugaan Tidak Langsung
a. Teknik hubungan allometrik
Dalam metode ini, beberapa contoh pohon dengan diameter yang mewakili
kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan ditebang dan ditimbang
beratnya. Berdasarkan berat dari berbagai contoh organ tanaman, maka dibuat
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
13
Universitas Indonesia
persamaan allometrik antara berat suatu organ tanaman dengan dimensi pohon
(tinggi dan diameter). Dalam penggunaan persamaan allometrik tersebut, setiap
pohon secara keseluruhan dalam suatu unit area diduga beratnya. Nilai total
biomassanya diperoleh dengan menjumlahkan semua berat tiap pohon dalam
suatu unit areal tertentu (Bombelli et al., 2009).
b. Crop meter
Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan
elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakkan di permukaan
tanah pada suatu jarak tertentu kemudian biomassa tumbuh-tumbuhan yang
terletak antara dua elektroda dapat dipantau dengan memperhatikan electrical
capacitance yang dihasilkan pada alat tersebut (Bombelli et al., 2009).
c. Penginderaan Jauh
Pengukuran dengan penginderaan jauh dengan menggunakan sejumlah band
(gelombang mikro), gelombang optik, maupun radiasi inframerah yang
dipancarkan atau dipantulkan oleh vegetasi (Bombelli et al., 2009). Radiasi ini
dapat dihubungkan berdasarkan perbedaan tingkat biomassa dari suatu tutupan
vegetasi melalui hubungan langsung antara respon penginderaan jauh maupun
melalui hubungan tidak langsung, dengan jalan pendugaan atribut dari data
penginderaan jauh, seperti leaf area index (LAI), struktur tanaman (kanopi dan
tinggi tanaman) ataupun fraksi bayangan yang digunakan pada persamaan
pendugaan biomassa (Bombelli et al., 2009).
d. Model
Model yang berbeda-beda telah dibangun untuk memperoleh estimasi
biomassa dalam areal yang luas mengikuti data spasial (seperti elevasi dan
radiasi), data penginderaan jauh, dan sample di lapangan maupun data
inventarisasi hutan.
Persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi data sampel dan
data sample penginderaan jauh ke area yang lebih luas dan untuk mendapat
biomassa dari variabel lainnya (Bombelli et al., 2009). Persamaan ini
menghubungkan ukuran satu struktur organisme kepada struktur lainnya pada
jenis tanaman yang sama. Oleh karena itu, persamaan ini memungkinkan untuk
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
14
Universitas Indonesia
mengestimasi biomassa dari diamater, tinggi, dan umur tanaman, serta
memperluas datum ke area yang lebih luas dengan karakteristik yang sama.
Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering
dilakukan tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap
lokasi dan spesies, maka penggunaan persamaan standard ini dapat
mengakibatkan gangguan (error) yang signifikan dalam mengestimasikan
biomassa suatu vegetasi (Bombelli et al., 2009).
Pengukuran in situ merupakan analisa kritis terhadap pemantauan stok karbon
terestrial. Dikombinasikan dengan penggunaan tanah (land use) dan tutupan
vegetasi yang mengubah estimasi. Sedangkan data in situ dapat diperoleh dari
inventarisasi hutan nasional atau dari studi kasus atas sampel representatif
ekosistem hutan. Inventarisasi hutan nasional merupakan sumber yang paling
dapat dipercaya atas kualitas informasi untuk menghitung stok karbon nasional.
Pengukuran in situ, terutama jika distandarisasi dengan akurasi kebutuhan
memberikan informasi yang sangat diperlukan untuk validasi data satelit, tetapi
dalam kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan dan dampak potensial bagi
lingkungan mereka tidak dapat digunakan dalam area yang lebih luas. Padahal
yang berbeda, data penginderaan jauh memberikan sebuah tampilan ringkas suatu
area yang menarik yang mungkin bisa menilai estimasi biomassa yang mewakili
area luas tersebut.
Ketika pendekatan dengan satelit untuk mengestimasi biomassa
pemanfaatannya menjadi meningkat, mereka masih terbatas terhadap prediksi
akurasi dan jarak. Akan tetapi teknologi satelit ketika kalibrasi dengan data dasar
(ground data) boleh digunakan untuk keakurasian estimasi biomassa berdasarkan
peningkatan frequensi pengukuran biomassa. Lebih lanjut lagi, beberapa metode
satelit telah menunjukkan potensi untuk mendapatkan informasi biomassa di atas
permukaan tanah secara langsung maupun tidak langsung pada resolusi yang
tinggi (dibawah 1 km). Dengan kemajuan kemampuan kombinasi sensor
berdasarkan penelitian dan metode sebelumnya, maka diharapkan bahwa satelit
dan model dasar estimasi biomassa akan membentuk mekanisme dalam area yang
lebih luas untuk pemantauan biomassa.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbondioksida dari
atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) yang diserap untuk
tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C) akan diubah
kedalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer. Proses ini berlangsung
secara terus menerus sehingga jumlah konsentrasi karbon dioksida di atmosfer
akan selalu seimbang jika sejumlah biomassa menyerap sejumlah karbon
dioksida. Tetapi bila konsumsi energi fosil menjadi meningkat maka konsentrasi
karbon dioksida akan meningkat. Sehingga penambahan biomassa dibutuhkan
untuk menyeimbangkan kembali jumlah karbon dioksida yang diserap dan
dilepaskan.
Data biomassa sangat penting untuk mengetahui karakteristik ekosistem
hutan dalam rangka menentukan sistem pengelolaan hutan berdasarkan prinsip
kelestarian hasil (Kusmana et al., 1992). Biomassa tumbuhan bertambah karena
tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan
organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang
terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan
masing-masing. Sisa hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi
primer bersih, lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah biomasa dalam hutan adalah
hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui
respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagian-
bagian tertentu seperti kayu yang sudah diekstraksi. Mengukur biomassa vegetasi
pohon tidaklah mudah khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur
(Murdiarso et al. 1999). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti iklim, curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi laju peningkatan
biomassa pohon (Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut berdampak pada proses
pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktifitas
dekomposer (Murdiarso et al. 1999). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick
(1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa
adalah unsur kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas
tempat tumbuh.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
16
Universitas Indonesia
Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon di vegetasi hutan,
sebab 50% dari biomassa adalah karbon. Faktor 50% dari biomassa untuk
menduga karbon sudah merupakan hal yang umum digunakan oleh banyak,
seperti Delaney (1999) dan Powel (1999). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti iklim, curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi
laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut
berdampak pada proses pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan
karbon dalam aktifitas dekomposer (Murdiarso et al. 1999). Sedangkan menurut
Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi
besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan tegakan, komposisi dan
struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.
2.4. Karakteristik Citra Optik
Manusia melakukan penginderaan jauh untuk memotret permukaan bumi
dengan menggunakan instrumen tertentu, selain dengan mata telanjang yang
dimulai pada tahun 1859 oleh fotografer Gaspard Tournachon dari balon udara di
sebuah desa dekat Paris, Perancis (Goetz et al., 1985). Saat ini telah banyak yang
menggunakan citra satelit dengan memanfaatkan spektrum elektromagnetik
misalnya gelombang mikro ultraviolet. Citra yang merekam permukaan bumi baik
perairan maupun daratan dapat digunakan untuk penelitian dan penerapan pada
multi disiplin ilmu seperti eksplorasi sumber daya mineral, perubahan vegetasi,
dan estimasi produksi primer lautan.
Penginderaan jauh optik menjadi perhatian untuk penerapan praktis seperti
hasil inventarisasi, klasifikasi penggunaan tanah, dan eksplorasi mineral. Evolusi
penginderaan jauh optik dalam kurun waktu terakhir telah menyediakan informasi
tutupan permukaan bumi dalam jangkauan yang luas dan menyeluruh, beserta
informasi spektral dan temporal untuk analisis penginderaan jauh (Prasad, 2011).
Meskipun ini salah satu kemajuan dalam bidang analisis citra penginderaan jauh
optik, namun kualitas dan kuantitas data yang tersedia harus tetap ditingkatkan.
Misalnya transisi dari citra multispektral dan hiperspektral membutuhkan pola
statistik konvensional klasifikasi algoritma yang dikembangkan untuk mengutip
secara efektif informasi yang berguna dari dimensi tinggi tampilan ruang
hiperspektral.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Prasad menjelaskan bahwa citra hiperspektral mampu menyediakan banyak
respon spektral detail pada setiap piksel, algoritma konvensional dikembangkan
dan disempurnakan untuk data multispektral yang kurang optimal untuk data
hiperspektral. Dalam kondisi yang baik, citra optik membutuhkan data kerja
dalam training area untuk kegiatan analisis, sesuatu yang sering sukar untuk
diperoleh dan terlalu mahal harganya. Sebagai hasil, proses signal dan pola
pengenalan perhitungan untuk analisis data tersebut juga dikembangkan untuk
mengatasi isu dan praktik penggunaannya.
Dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti pada algoritma yang
mewakili visualisasi dan analisis data penginderaan jauh optik. Kemajuan ini
memasukkan algoritma baru untuk meringkas secara efektif data citra dimensional
untuk penyimpanan dan transmisi; dan teknik baru untuk visualisasi efektif data
penginderaan jauh; analisis baru dan teknik klasifikasi untuk analisis dan
klasifikasi data citra; dan teknik untuk menggabungkan data citra yang diperoleh
secara serempak dari cara penginderaan yang berbeda.
Penginderaan jauh optik melibatkan akuisisi dan analisis data optik radiasi
elektromagnetik yang ditangkap oleh penginderaan modalitas setelah
mencerminkan secara pasif terhadap area of interest di permukaan tanah. Akuisisi
modalitas citra optik telah hadir sejak lama dari citra fotogrametri tingkat abu-abu
sampai citra hiperspektral.
Kemajuan dalam perangkat keras pencitraan selama beberapa dekade terakhir
telah memungkinkan ketersediaan citra spasial tinggi, resolusi spektral dan
temporal untuk analis penginderaan jauh. Kemajuan ini telah menciptakan
tantangan yang unik bagi para peneliti dalam komunitas penginderaan jarak jauh
yang bekerja pada algoritma untuk representasi, eksploitasi dan analisis data
tersebut.
Sistem penginderaan jauh optik pertama kali mengandalkan sensor
multispektral, yang ditandai oleh sejumlah kecil band spektrum yang luas.
Meskipun sensor multispektral masih dipekerjakan oleh analis, dalam beberapa
tahun terakhir para penghimpun penginderaan jauh telah melihat pergeseran
untuk sensor hyperspectral, yang ditandai oleh ratusan band resolusi yang baik
sebagai teknologi penginderaan optik dominan. Data tersebut memiliki potensi
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
18
Universitas Indonesia
untuk mengungkapkan fenomenologi dasar seperti yang dijelaskan oleh
keakuratan karakteristik spektral. Ekstensi tersebut dari citra multispektral sampai
hiperspektral tidak berarti bahwa dalam pemrosesan sinyal dan teknik eksploitasi
dapat ditingkatkan untuk mengakomodasi dimensi istimewa pada data.
Gambar 2.1. Tipe Aliran Sistem Penginderaan Jauh Optik
(Sumber: Prasad, 2011)
Gambar 2.2. Plot Transmisi Atmosfer dari 0,4 – 30 cm
(Sumber: Goetz et al., 1985)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
19
Universitas Indonesia
Berikut ini merupakan prinsip di mana penginderaan jauh optik didirikan
yang meliputi spesifikasi citra optik.
a. Spektrum
Pertama adalah sumber energi. Energi elektromagnetik tersedia pada
penginderaan jauh pasif yaitu energi yang diperoleh dari matahari, pantulan sinar
matahari, atau radiasi pancaran panas. Bagian dari energi yang digunakan sebagai
gelombang terdapat dalam Gambar 2.2 yang menggambarkan bahwa keterbatasan
pengukuran penginderaan jauh optik ditentukan oleh tutupan awan.
Bagian kedua adalah efek atmosfer. Pengujian terhadap permukaan bumi
melalui emisi atau pantulan radiasi elektromagnetik sangat disulitkan karena
pengaruh atmosfer berupa tutupan awan (Vladutescu, 2008). Untuk radiometri
multispektral optik, penentuan dan koreksi untuk efek gangguan awan mungkin
menjadi prinsip untuk mengurangi gangguan awan (JianGuang et al., 2008).
Energi radiasi dan interaksi atmosfer melalui hamburan dan penyerapan, serta
jumlah energi yang dibuang ke atmosfer dari emisi atau pantulan ke permukaan
bumi dipengaruhi oleh: 1) komponen awan pada atmosfer; 2) garis edar satelit
(path length) yang memiliki fungsi sebagai sumber geometri relatif, permukaan,
dan sensor; 3) untuk tingkat dua, pantulan permukaan disekitar tempat yang
terlihat.
b. Interaksi energi elektromagnetik dengan permukaan bumi
Radiasi sinar matahari dipancarkan dari permukaan bumi atau diserap dan
dipancarkan kembali melalui spektrum panas (Goetz et al., 1985). Proses
hamburan dan penyerapan menempati layer paling atas dari permukaan bumi.
Hamburan merupakan fungsi geometrik permukaan bumi (dengan kata lain
ukuran partikel dan aspeknya) dan koefisien penyerapan. Koefisien penyerapan
merupakan fungsi gelombang yang dibawa oleh variasi fenomena fisik seperti
getaran intermolekuler dan transisi elektron pada loncatan atom. Energi emisi
balik sebagai fungsi gelombang tergantung pada suhu permukaan materi, sifat
fisik ukuran dan komposisi partikel. Oleh karena itu, penginderaan jauh spektral
memungkinkan untuk memberikan informasi tentang sifat fisik dan komposisi
tutupan permukaan bumi.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Pertama, sifat spektral untuk mineral, batuan, dan tanah. Pantulan spektral
mineral pada sinar tampak dan sinar matahari memantulkan inframerah
merupakan hasil dari fenomena yang berbeda. Tiga proses penting yang berperan
untuk pantulan spektral materi merupakan proses elektronik dari pemindahan dan
efek hablur tanah, dan proses getaran. Transfer Fe-O menempati spektrum biru
dan ultraviolet, serta besi yang tersebar. Namun demikian, pada kenyataannya
seluruh mineral dan tanah memiliki refleksi menuju panjang gelombang yang
lebih panjang pada spektrum visibel.
Kedua, spektral dan sifat hamburan pada vegetasi. Variasi refleksi spektral di
antara tipe vegetasi yang berbeda dari 2,5 µm jauh lebih kecil daripada mineral.
Tipe kurva pantulan spektral untuk tanaman yang sehat terdapat pada Gambar 2.3.
pantulan daun dikontrol pada gelombang visibel 0,7 µm oleh pigmen hijau daun,
pada klorofil yang menyerap gelombang biru dan inframerah yang dengan kuat
pada spektrum tampak. Penyerapan ini melibatkan transisi elektron pada molekul
klorofil pusat mengelilingi komponen magnesium fotoaktif. Pantulan gelombang
biru juga merupakan hasil dari transisi elektronik pada pigmen karoten dan efek
pigmen ini menjadikan lebih berat ketika kuantitas klorofil pada daun berkurang
selama berlangsung.
Gambar 2.3. Karakteristik Spektrum Vegetasi Tanaman Hijau
(Sumber: Goetz et al., 1985)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Dalam bidang pengetahuan, citra optik dapat digunakan untuk menaksir
vegetasi persediaan hutan tropis meskipun tidak dilakukan secara langsung. Untuk
menaksir potensi hutan (biomassa dan karbon) secara tidak langsung dengan citra
satelit tersebut, dilakukan pengembangan hubungan-hubungan statistik antara
pengukuran lapang dengan data indeks vegetasi yang ada pada citra satelit. Tetapi
metode ini pada umumnya menghasilkan nilai potensi yang underestimate
terutama pada hutan tropis, satelit berbasis optik tidak dapat menembus tajuk
hutan yang lebat (Wulder, 1998). Sehingga diperlukan bantuan pengukuran
lapangan dengan jumlah sampling yang cukup.
2.5. Karakteristik Citra LANDSAT
Program Landsat tanpa terkecuali untuk kencenderungan ke arah aplikasi
yang sesuai. Beberapa aplikasi nyata hanya jika program sedang berlangsung.
(Mack, 1990). Landsat memiliki keunikan tampilan, dan berpotensi untuk aplikasi
sebagian besar sumber daya di bumi dalam waktu yang panjang. Landsat
memberikan data perekaman yang terlama untuk penggunaan dan perubahan
tutupan lahan dan dampak global lingkungannya. NASA meluncurkan Landsat 1
(dengan nama Earth Resources Technology Satellite, or ERTS-1) pada 1972,
menginisiasikan lebih dari 30 tahun misi Landsat . Akhir-akhir ini, program
Landsat akan datang lebih konsist untuk kesuksesan satelit ke-7 (Landsat 6 tidak
pernah orbit, karena bermasalah dengan platform luncuran) melintasi bumi pada
orbit kutub, satelit transmisi yang mengumpulkan data dan citra seluruh
permukaan bumi.
Landsat (Land Satellites) merupakan satelit sumberdaya bumi yang paling
sering digunakan. Pada mulanya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology
Satellite). Pertama kali diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit
hanya sampai dengan tanggal 6 Januari 1978. Satelit Landsat mengorbit bumi
selaras matahari (sunsynchronous). Bersamaan dengan waktu peluncuran ERTS-B
tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration)
secara resmi mengubah program ERTS menjadi program Landsat (untuk
membedakan dengan program satelit oseanografi ”Seasat” yang telah
direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat -1 dan Landsat-2.
Peluncuran Landsat -3 dilakukan pada tanggal 5 Maret 1978.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
22
Universitas Indonesia
2.5.1. Sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM)
Sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) merupakan pengembangan dari
sensor TM (Thematic Mapper). Pengembangan tersebut antara lain berupa :
a. Penambahan saluran pankromatik dengan panjang gelombang 0,50 – 0,90
µm. Saluran pankromatik ini mempunyai resolusi spasial sebesar 15 x 15
meter.
b. Perbaikan resolusi saluran termal menjadi 60 meter. Sedangkan desain untuk 6
saluran yang lain sama seperti pada sensor TM.
Citra ETM seharusnya diperoleh dari Landsat-6, namun satelit tersebut gagal
mencapai orbit.
Tabel 2.1. Nama dan Panjang Gelombang pada Landsat ETM+
Saluran Nama Gelombang Panjang Gelombang (µm)
1 Biru 0,45 – 0,52
2 Hijau 0,52 – 0,60
3 Merah 0,63 – 0,69
4 Inframerah Dekat 0,76 – 0,90
5 Inframerah Pendek 1,55 – 1,75
6 Inframerah Termal 10,40 – 12,50
7 Inframerah Pendek 2,09 – 2,35
8 Pankromatik 0,50 – 0,90
Sumber : Lopies, 2010
2.5.2. Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+)
Desain dan operasi Landsat 7 direncanakan akan membawa dua sensor, yaitu
Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dan High Resolution Multispectral
Stereo Imager (HRMSI). ETM+ didesain untuk keberlanjutan dari program
Landsat-4 dan 5, dimana sampai saat ini datanya masih dapat diakses atau
direkam. Pola orbitnya juga dibuat sama dengan Landsat-4, 5 dan 6, yaitu dengan
lebar sapuan/liputan sebesar 185 km. Desain daripada ETM+ sama seperti ETM
pada Landsat-6 namun ditambah dengan dua sistem model kalibrasi untuk
mengeliminasi gangguan radiasi matahari (dual mode solar callibrator systems)
dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
23
Universitas Indonesia
Gambar 2.4. Spacecraft Landsat-7
(Sumber: Lopies, 2010)
Gambar 2.5. Scanner ETM+
(Sumber: Lopies, 2010)
Transmisi data ke stasiun penerima di bumi dapat dilakukan dengan 3 (tiga)
cara yaitu :
a. Dikirim menggunakan gelombang radio secara langsung ke stasiun penerima
di bumi,
b. Melalui relay satelit komunikasi TDRSS (Tracking and Data Relay Satellites
System) yang akan merekam dan kemudian mengirimkan ke stasiun penerima
di bumi,
c. Data objek permukaan bumi direkam/disimpan lebih dahulu dalam suatu
panel (storage on board) atau tipe (wideband tipe recorder), baru kemudian
dikirim ke stasiun penerima di bumi.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
24
Universitas Indonesia
Satelit Landsat-7 juga akan dilengkapi dengan fasilitas penerima sistem posisi
lokasi (Global Positioning System/GPS reciever) untuk meningkatkan ketelitian
posisi atau letak satelit di dalam jalur orbitnya.
Pada saat ini, Satelite Landsat-7 mengalami gangguan yang akan menghasilkan
celah data yang signifikan pada term yang cukup panjang dalam memonitor
permukaan bumi, berpengaruh tidak hanya pada penelitian tentang kebumian,
tetapi juga konservasi pengguna data (Leimbgruber et al., 2005).
2.6. Penelitian Terdahulu
Dahlan (2003) dalam penelitiannya mengenai kajian korelasi estimasi
biomassa untuk menentukan stok karbon dengan citra penginderaan jauh Landsat
ETM+ dan Spot 5 menyatakan bahwa model terbaik hasil verifikasi adalah
menggunakan Landsat ETM+. Hasil lain menyebutkan bahwa model penduga
biomassa dan karbon menunjukkan hubungan yang relatif rendah antara dijital
number dengan kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium
baik dengan menggunakan Landsat ETM+ maupun SPOT-5. Diperoleh nilai r
dengan menggunakan Landsat ETM+ sebesar 0,428 dan nilai r sebesar 0,442
dengan menggunakan SPOT-5. Angka tersebut baru menunjukkan keterhandalan
model untuk menduga karbon di atas permukaan tanah tegakan Acacia mangium
sebesar 18,3% dengan Landsat ETM+ band green visible dan Middle Infra Red
(MIRI).
Penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah yang dilakukan
oleh Adam et al. (2010) mengenai penggunaan sensor penginderaan jauh
multispektral dan hiperspektral pada lahan basah untuk tujuan pendugaan
biomassa. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa korelasi pendugaan biomassa
dengan data Landsat ETM+ menunjukkan korelasi terbaik dengan nilai koefisien
0,86 dan signifikansi 0,05. Hasil lain menunjukkan bahwa band inframerah dekat
dapat digunakan untuk mengestimasi biomassa pada vegetasi lahan basah
(wetland).
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
25 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Daerah Penelitian
Penelitian estimasi biomassa di atas permukaan tanah (Above-Ground
Biomass/AGB) yaitu biomassa batang kayu tegakan Hutan Tanaman Industri
dilakukan di Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Kecamatan
Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau dengan letak geografis
0o12’10” – 0
o30’01” LS dan 101
o10’51” – 101
o22’57” BT.
3.2. Alur Pikir Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian terhadap pendugaan potensi biomassa
kayu tegakan Hutan Tanaman Industri dan sebarannya berdasarkan karakteristik
fisik wilayah. Karakteristik fisik wilayah yang terdiri dari ketinggian wilayah,
kemiringan lereng, dan jenis tanah digunakan sebagai variabel spasial yang
menjadi indikator besaran biomassa tegakan Hutan Tanaman Indsutri. Sedangkan
faktor biologis tanaman berupa jenis dan umur tanaman, berpengaruh utama
dalam besaran biomassa yang terdapat dalam karakteristik vegetasi di Hutan
Tanaman Industri. Studi biomassa tegakan HTI yang dikaji berdasarkan
karakteristik fisik wilayah terdapat dalam alur penelitian pada Gambar 3.1.
berikut.
HTI PT. RAPP
Jenis
Vegetasi
Umur
Diameter setinggi dada Tinggi bebas cabang
Biomassa
Non Vegetasi
Ketinggian Lereng
Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian
Sebaran Biomassa Kayu berdasarkan Karakteristik Fisik Wilayah
Jenis Tanah
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
26
Universitas Indonesia
Alur penelitian tentang sebaran biomassa kayu Hutan Tanaman Industri
didasarkan pada faktor vegetasi berupa biofisik tanaman yang terdiri dari jenis
dan umur tanaman. Data biofisik tanaman yang diperoleh dari hasil survey
lapang digunakan sebagai penentu potensi biomassa kayu tegakan Hutan
Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper,
Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Data biofisik tanaman
yang digunakan untuk menduga potensi biomassa kayu Hutan Tanaman Industri
dengan persamaan alometri adalah tiga (3) jenis tanaman HTI dengan 5 tingkat
umur (1 – 5 tahun). Sedangkan data fisik wilayah yang digunakan untuk
mengetahui karakteristik sebaran biomassa kayu adalah ketinggian wilayah,
kemiringan lereng, dan jenis tanah.
3.3. Prosedur Kerja Penelitian
3.3.1. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang digunakan yaitu data
sekunder dan data primer. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
3.3.1.1. Data Primer
Data primer meliputi data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran di
lapangan. Data primer yang diperoleh dari hasil pengukuran lapang meliputi jenis
pohon, umur tanaman.
Penentuan sampel pohon dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling
acak stratified systematic sampling with random start. Jumlah sampel yang diambil
adalah 75 titik sampel berbentuk persegi berukuran 30 m x 30 m berdasarkan ukuran
piksel pada Citra Landsat 7ETM+, sehingga setiap titik sampel memiliki luas 900 m2.
Setiap plot terdiri dari ±120 tanaman HTI karena jarak tanam yang digunakan adalah
3m x 2,5 m sesuai ilustrasi pada Gambar 3.2. berikut ini.
Gambar 3.2. Plot sampel tegakan HTI Sektor Logas Selatan
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Diameter tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah diameter
tegakan setinggi dada yang berikutnya ditentukan sesuai aturan umum yaitu ±130
cm dari setiap sampel tegakan. Berberapa cara pengukuran diameter tegakan
tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.3 sebagai berikut:
Gambar 3.3. Berbagai cara mengukur diameter pohon setinggi dada
(Sumber: Planning, 2011)
Pengukuran lapang terhadap tinggi tegakan diukur dengan menggunakan
bantuan hypsometer yaitu alat untuk mengukur tinggi pohon. Adapun cara
pengukuran tinggi tegakan tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.4 sebagai
berikut:
Gambar 3.4. Cara mengukur tinggi pohon
(Sumber: Planning, 2011)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat
kompartemen (unit tanam terkecil). Pada kegiatan survey lapang dilakukan
pengamatan dan pengukuran terhadap tinggi dan diameter tegakan yang
sebelumnya telah dibuat plot-plot survey beserta ukuran dan luasan plot sampel
yaitu berukuran 30 m x 30 m sebanyak 75 titik sampel secara acak pada jenis
tanaman dan tingkat umur. Setiap titik sampel diambil 120 pohon contoh
berdasarkan kerapatan dan jarak tanam yaitu 3m x 2,5m untuk mendapatkan data
diameter dan tinggi pohon pada hutan tanaman industri untuk keperluan
pendugaan biomassa berdasarkan allometri setiap jenis tanaman. Pengukuran
dilakukan pada luasan tertentu disesuaikan dengan ukuran piksel pada Citra
Landsat 7 untuk tujuan keakuratan nilai NDVI pada setiap piksel sehingga
pendugaan terhadap biomassa dapat lebih akurat.
3.3.1.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur maupun sumber-
sumber pendukung seperti instansi pemerintah (Bakosurtanal, Dinas Kehutanan)
maupun dari PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari peta, citra, persamaan alometrik tiap jenis pohon,
data kondisi fisik wilayah, dan data statistik. Data sekunder yang digunakan
dijelaskan pada uraian sebagai berikut:
a. Data NDVI yang diperoleh dari Citra Landsat 7 resolusi 30 m, path 127 dan
row 60, liputan bulan Maret tahun 2011 dari PT SEAMEO BIOTROP;
b. Data elevasi dan kemiringan lereng yang diperoleh dari Aster Gdem;
c. Data administrasi wilayah penelitian dari Peta RBI Kecamatan Singingi skala
1:50.000 dari Bakosurtanal;
d. Data struktur batuan dan jenis tanah dari Peta Land System dan Land
Suitability lembar Solok (0815) Skala 1:250.000 dari Bakosurtanal;
e. Data kompartemen dan sektor tanam dari Peta Tanam Sektor Logas Selatan
Skala 1:50.000 dari PT. RAPP
f. Data penggunaan tanah dari Peta Landuse Sektor Logas Selatan Skala
1:50.000 dari PT. RAPP
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
29
Universitas Indonesia
Dari keseluruhan data primer dan data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini, proses kerja penelitian yang dilakukan, secara rinci disajikan dalam
alur kerja penelitian pada Gambar 3.5. berikut ini.
Rangkaian kerja yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan dalam gambar
alur kerja penelitian di atas yang dijelaskan lebih lanjut dalam pengolahan data.
Secara umum, data fisik wilayah disajikan dalam bentuk peta dasar yang akan
digunakan selanjutnya pada proses overlay dengan hasil biomassa kayu HTI.
Hasil pengolahan biomassa kayu HTI diperoleh dari persamaan alometri biomassa
berdasarkan jenis tanaman. Umur tanaman digunakan sebagai pembanding data
Mulai
Koreksi
Radiometrik
Koreksi
Geometrik
NDVI
Tingkat
Kehijauan
- Rendah
- Sedang
- Tinggi
Survey
Lapang
Citra
Landsat
7 ETM+
Fisik
HTI PT. RAPP
Vegetasi
Jenis Ketinggian
Lereng
Jenis Tanah
Wilayah
Ketinggian
Wilayah
Kemiringan
Lereng
Jenis Tanah
Sebaran Biomassa berdasarkan Karakteristik Fisik Wilayah
Gambar 3.5. Alur Kerja Penelitian
Selesai
Potensi Biomassa
Acacia
mangium
Acacia
crassicarpa
Eucalyptus
Diameter
setinggi dada
Tinggi
Alometri
Umur
Kelas
umur
5
tahun
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
30
Universitas Indonesia
besaran diameter dan tinggi tanaman tiap jenis pohon. Sedangkan data citra
Landsat 7 ETM+ diolah terlebih dahulu melalui proses koreksi radiometrik dan
koreksi geometrik, kemudian untuk menghasilkan nilai NDVI yang digunakan
dalam output berupa tingkat kehijauan vegetasi Hutan Tanaman Industri.
3.3.2. Pengolahan Data
Pengolahan data spasial berupa ketinggian wilayah, lereng, jenis tanah, titik
sampel, serta data Citra Landsat 7 ETM+ dilakukan dengan menggunakan
software ArcView 3.3, ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0 dan ENVI v.4.5. Sedangkan
untuk pengolahan data tabular diolah dengan menggunakan software Ms. Excel,
serta SPSS 16 untuk uji statistik. Berikut ini adalah beberapa pengolahan data
yang dilakukan dalam penelitian ini:
3.3.2.1. Perhitungan Volume Kayu Tegakan HTI
Pengukuran volume tegakan dapat dilakukan dengan menggunakan luas
bidang dasar tegakan, yaitu jumlah luas penampang melintang seluruh pohon
yang diukur atau sering disebut dengan luas bidang dasar total tegakan, rata-rata
tinggi, dan faktor bentuk tegakan (Planning, 2011).
Salah satu metode penaksiran volume tegakan adalah dengan cara sampling
titik. Dengan sampling titik ini, luas bidang dasar tegakan dapat ditaksir dengan
cepat. Parameter lain yang diperlukan untuk penaksiran volume tegakan yaitu
tinggi pohon dan angka bentuk batang. Kedua parameter ini dapat diperoleh
dengan mengukur sejumlah pohon, untuk menduga volume tegakan, digunakan
rumus sebagai berikut (Planning, 2011):
V =1
4𝜋
𝑑
100
2
. 𝑡. 𝑓
Keterangan:
V = Volume pohon bebas cabang (m3)
D = diameter setinggi dada (cm)
t = tinggi bebas cabang (m)
f = angka bentuk batang (0,7)
(3.2.)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
31
Universitas Indonesia
3.3.2.2. Perhitungan Biomassa Kayu Tegakan HTI
Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan
allometrik berikut ini
Tabel 3.1. Persamaan Allometrik untuk Menaksir Biomassa Tegakan HTI
No. Jenis Tanaman Persamaan Allometrik Peneliti
1 Acasia crassicarpa WAG = 0,165 D2,399
Onrizal, 2006
2 Acasia mangium WAG = 0,0528(D2)1,3612
Heriyansah, 2009
3 Eucalyptus WAG = 0,0678 D2,5794
Kusmana, 2011
Di mana,
D = Diameter tanaman setinggi dada (± 130 cm)
Biomassa per hektar dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Planning, 2011):
𝑊 = 𝑊𝑝𝑖 𝑥 11,1111
𝑛
𝑖=1
Di mana,
W = Total biomassa (ton/ha)
Wpi = biomassa tiap plot (ton/900m2)
n = jumlah pohon
3.3.2.3. Pendugaan Biomassa
Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian diubah menjadi
informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spketralnya menjadi
biomassa tegakan berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di lapangan untuk
tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannyadengan nilai NDVI. Hubungan
nilai NDVI setiap piksel pada citra Landsat 7 ETM+ dengan biomassa hasil
pengukuran lapang dapat digunakan sebagai penduga biomassa tanaman di Hutan
Tanaman Industri yang tidak dilakukan pengukuran lapang melalui pendugaan
tidak langsung yang diperoleh dari model persamaan hasil uji statistik sebagai
berikut.
(3.3.)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
32
Universitas Indonesia
Y = a + b X
Di mana,
Y = biomassa tiap piksel
A = konstanta
B = koefisien NDVI
X = Nilai NDVI setiap piksel
3.3.3. Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian akan dilakukan dua tahapan analisis
yaitu sebagai berikut:
Untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana karakteristik sebaran biomassa
tegakan di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP, Kecamatan Singingi?”, maka
analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisa deskriptif untuk
menjelaskan wilayah sebaran biomassa yang rendah, sedang, dan tinggi
berdasarkan hasil peta sebaran biomassa kayu HTI. Analisa spasial dengan
metode overlay digunakan untuk melihat hubungan keruangan antar variabel,
antara nilai biomassa hutan tanaman terhadap ketinggian wilayah, kemiringan
lereng, dan jenis tanah.
(3.4.)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
33 Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian
Berdasarkan Peta Administrasi yang disajikan pada Peta 2, Sektor Logas
Selatan PT. Riau Andalan Pulp and Paper masuk ke dalam wilayah Kecamatan
Singingi bagian Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Luas Sektor
Logas selatan adalah sebesar 21.085 Ha. Sedangkan luas Kecamatan Singingi
sebesar 1933,66km2
atau sekitar 25,52% dari keseluruhan luas Kabupaten
Kuantan Singingi. Sektor Logas Selatan hanya 11% dari luas Kecamatan Singingi.
Berdasarkan Peta 1, batas-batas wilayah Kecamatan Singingi adalah sebagai
berikut:
Utara : Kabupaten Kampar
Selatan : Kecamatan Kuantan Mudik dan Provinsi Sumatera Barat
Barat : Kabupaten Kampar dan Provinsi Sumatera Barat
Timur : Kecamatan Kuantan Hilir, dan Kecamatan Benai
Ibukota Kecamatan Singingi terletak di Muara Lembu yang terdiri dari 13
desa yang meliputi Desa Pangkalan Indarung, Desa Pulau Padang, Desa Muara
Lembu, Desa Logas, Desa Kebun Lado, Desa Simapang Raya, Desa Sungai
Buluh, Desa Petai, Desa Kota Baru, Desa Sumber Jaya, Desa Muara Bahan, Desa
Suka Damai, Desa Bukit Raya, Desa Sungai Paku, Desa Beringin Jaya, dan Desa
Sukamaju.
Berdasarkan Administrasi Sektor Logas Selatan yang disajikan dalam Peta 2.,
Sektor Logas Selatan terletak pada 5 wilayah administrasi desa yaitu Desa Sungai
Paku, Desa Kota Baru, Desa Petai, Desa Kebun Lado, dan Desa Pulau Padang.
Batas-batas wilayah Sektor Logas Selatan adalah sebagai berikut:
Utara : Desa Domo;
Selatan : Desa Pulau Padang, Desa Muara Lembu;
Barat : Desa Gema;
Timur : Desa Gunung Sahilan, Desa Sungai Damai, Desa Bukit Raya,
Desa Muara Bahan, Desa Sumber Jaya, Desa Sungcai Buluh,
Desa Simapang Raya, dan Desa Muara Lembu.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
36
Universitas Indonesia
4.2. Topografi
4.2.1. Lereng
Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng yang ditampilkan dalam Peta 3, Sektor
Logas Selatan terbagi dalam 5 kelas wilayah kemiringan lereng. Sektor Logas
Selatan didominasi oleh wilayah dengan kemiringan lereng 8 – 5% yang tersebar
hampir di seluruh bagian. Wilayah dengan kemiringan lereng yang cukup terjal
tersebar di Sektor Logas Selatan bagian Barat Laut. Wilayah yang hampir datar
memiliki luasan paling kecil. Berdasarkan pengolahan data Aster GDEM resolusi
30 meter, klasifikasi wilayah kemiringan lereng disusun dengan metode geometric
interval. Klasifikasi lereng di Sektor Logas Selatan disusun berdasarkan
klasifikasi:
a. Wilayah dengan kemiringan lereng 0 – 2 % dengan luas 1054 ha;
b. Wilayah dengan kemiringan lereng 2 – 8 % dengan luas 5756 ha;
c. Wilayah dengan kemiringan lereng 8 – 15 % dengan luas 7346 ha;
d. Wilayah dengan kemiringan lereng 15 – 25% dengan luas 2474 ha; dan
e. Wilayah dengan kemiringan lereng >25% dengan luas 4389 ha;
4.2.2. Ketinggian Wilayah
Berdasarkan Peta Wilayah Ketinggian yang ditampilkan dalam Peta 4, Sektor
Logas Selatan terdiri dari lahan kering yang memiliki ketinggian wilayah 4 – 388
meter di atas permukaan laut. Sektor Logas Selatan didominasi oleh wilayah
dengan kelas wilayah ketinggian 120 – 180 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan pengolahan data Aster GDEM resolusi 30 meter, klasifikasi wilayah
ketinggian adalah sebagai berikut:
a. Wilayah dengan ketinggian 0 – 60 mdpl dengan luas 1859 ha;
b. Wilayah dengan ketinggian 60 – 120 mdpl dengan luas 8024 ha;
c. Wilayah dengan ketinggian 120 – 180 mdpl dengan luas 8450 ha;
d. Wilayah dengan ketinggian 180 – 240 mdpl dengan luas 2274 ha; dan
e. Wilayah dengan ketinggian >240 mdpl dengan luas 412 ha.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
38
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
39
Universitas Indonesia
4.3. Geologi dan Jenis Tanah
Berdasarkan Peta 5 yang diperoleh dari Peta Land System and Land
Suitability lembar Solok (0815) aspek geologi Tata Lingkungan terdiri dari
morfologi dataran dan sebagian besar perbukitan bergelombang lemah hingga
kuat elevasi 3 – 80, berada pada zona batuan rapuh, patahan dengan arah
N335oBT – N340
oBT. Longsor berpotensi terjadi pada tebing jalan menuju
pekanbaru, erosi pada tebing sungai, gerakan tanah pada daerah yang memiliki
batuan rapun.
Struktur Geologi dan Tanah berdasarkan Peta Land System dan Land
Suitability lembar Solok (0815) Skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh
Bakosurtanal disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1. Jenis Geologi dan Jenis Tanah Sektor Logas Selatan
No Simbol dan Deskripsi
Geologi
(Jenis Batuan/Mineral
Doiminan
Asosiasi Tanah
1
MBI (Muara Beliti) Dataran
dataran sedimen berbatu tufa
yang berombak sampai
bergelombang
Tefra berbutir halus,
tufit, batu lumpur, batu
lanau, batu pasir,
aluvium, sungai muda,
pasir tua dan kerikil
Podsolik,
kambisol distrik,
Oksisol kromik
2
BKN (Bakunan) Dasar-dasar
lembah kecil diantara bukit-
bukit
Aluvium sungai muda
Gleisol distrik,
Aluvial gleiik,
Kambisol eutrik
3
AHK (Air Hitam Kanan)
Punggung-punggung bersisi
terjal di atas endapan bertufa
Tufit, batu lanau, batu
pasir, batu lumpur, tefra
berbutir halus
- Podsolik kromik
- Oksisol kromik
Podsolik
4
SAR (Sungai Aur) Dataran-
dataran endapan bertufa yang
berbukit
Batu lumpur, batu lanau,
batu pasir, tufit, tefra
berbutir halus
Podsolik
kromik, oksisol
kromik,
kambisol distrik
5
BYN (Bukit Ayun) Sistem-
sistem punggung endapan
bertufa yang sangat curam
Batu pasir, batu lumpur,
tufit, tefra berbutir halus,
batu lanau
Kambisol
distrik, Podsolik
humik
Sumber: Land System dan Land Suitability lembar Solok (0815),Bakosurtanal
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
41
Universitas Indonesia
4.4. Iklim
Klasifikasi iklim di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi ( wilayah
bagian barat ) berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson termasuk dalam tipe
A, yaitu curah hujan tinggi dan terjadi hampir sepanjang tahun. Curah hujan
tertinggi terjadi pada Bulan Oktober yaitu sebesar 257 mm, sedangkan surah
hujan terendah Bulan Juli yaitu sebesar 114 mm. Temperatur harian rata-rata
sebesar 25,6 oC, suhu maksimum sebesar 26,6
oC dan suhu minimum 25,6
oC. Hasil
perhitungan neraca air di wilayah ini adalah sepanjang tahun terjadi surplus
kecuali pada Bulan Juli, jumlah air yang berada di tanah yaitu sebesar 300 mm
mengalami keseimbangan (Planning, 2011).
4.5. Penggunaan Tanah
Berdasarkan data penggunaan tanah yang kemudian disajikan dalam Peta 6,
Sektor Logas Selatan memiliki luas wilayah sebesar 21.019 ha dengan rincian
penggunaan tanah yang disajikan dalam dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.2. Luas Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan, PT. RAPP
No. Penggunaan Tanah Luas (ha) Persentase
1 Rawa 173 1%
2 Areal Konflik 388 2%
3 Sarana Prasarana 528 3%
4 Areal Belum Ditanami 914 4%
5 Tanaman Kehidupan 946 4%
6 Tanaman Unggulan 1.349 6%
7 Lahan Tidak Terbangun 1.656 8%
8 Pertanian Masyarakat 1.839 9%
9 Kawasan Lindung 6.367 30%
10 Tanaman Pokok 6.859 33%
Jumlah 21.019 100%
Sumber: Peta Tanam Sektor Logas Selatan, 2011
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 4.2., tanaman pokok
memiliki luasan sebesar terbesar dari penggunaan tanah yang lainnya.
Penggunaan tanah untuk tanaman pokok ini adalah yang digunakan sebagai areal
tanam untuk jenis tanaman Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus.
Penggunaan tanah untuk tanaman pokok tidak memenuhi ketentuan umum sebesar
70% dari areal konsesi.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
42
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
43
Universitas Indonesia
Penggunaan tanah untuk Kawasan Lindung berupa wilayah yang
dikembangkan untuk keperluan konservasi. Kawasan Lindung di Sektor Logas
Selatan menjadi salah satu Kawasan Lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang
Bukit Baling. Oleh karena itu, penggunaan tanah untuk Kawasan Lindung
memiliki luasan yang cukup besar hingga mencapai 30% dari luas total areal
konsesi yaitu 6.367 ha.
Pada Tabel 4.2., tutupan lahan HTI berupa areal yang belum ditanami
menunjukkan bahwa areal ini berupa hutan bekas tebangan (Load Over Area
/LOA) yang belum ditanami kembali dengan luasan sebesar 914 ha atau 4% dari
luas total Sektor Logas Selatan.
Penggunaan tanah lainnya berupa tanaman kehidupan yaitu areal yang
digunakan untuk jenis tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi misalnya sayuran, buah-buahan, tanaman karet,
dan lainnya. Penggunaan tanah untuk tanaman unggulan terdiri dari tanaman khas
wilayah setempat yang tetap dilestarikan. Penggunaan tanah berupa sarana
prasarana terdiri dari kantor sektor dan rumah-rumah pekerja hutan. Penggunaan
tanah berupa pertanian masyarakat terdiri dari perkebunan kelapa sawit.
Penggunaan tanah berupa lahan tidak terbangun terdiri dari areal yang tidak
produktif lagi untuk ditanami tanaman HTI. Penggunaan tanah berupa areal
konflik merupakan areal yang dianggap bermasalah karena diklaim milik
masyarakat maupun overlap dengan perusahaan lain.
Gambar 4.1. Presentase Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan
Rawa
1%
Areal
Konflik
2%Sarana
Prasarana
3%
Areal Belum
Ditanami
4%
Tanaman
Kehidupan
4%Tanaman
Unggulan
6%
Lahan Tidak
Terbangun
8%
Pertanian
Masyarakat
9%
Kawasan
Lindung
30%
Tanaman
Pokok
33%
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
44
Universitas Indonesia
4.6. Sebaran Hutan Tanaman Industri
Hutan Tanaman Industri memiliki pola sebaran vegetasi yang berbeda dengan
Hutan Alam maupun Hutan Rakyat. Perbedaan tersebut meliputi: jenis tanaman
monokultur, variasi struktur vertikal dan horisontal tegakan tunggal. Selain itu,
pengaturan dan kompartemenisasi tanaman dan tebangan menyebabkan sistem
kawasan menjadi berpola mozaik.
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan tersebar di Desa Petai, Desa
Sungai Paku, Desa Kota Baru, Desa Kebun Lado, dan Desa Pulau Padang. Di
Desa Petai bagian Barat, Hutan Tanaman Industri tersebar pada wilayah
kelerengan yang cukup terjal dan ketinggian antara 140 - 388 meter di atas
permukaan laut. Tanaman yang mendominasi di daerah tersebut adalah Acasia
mangium. Hampir semua wilayah Sektor Logas Selatan didominasi oleh tanaman
Acasia mangium. Berdasarkan keterangan sebelumnya yang disajikan pada Tabel
4.3. bahwa luas seluruh tanaman pokok HTI dengan jeniis Acasia mangium yang
ada di Sektor Logas Selatan adalah sebesar 82% dari luas total tanaman pokok
yang ada. Di Desa Petai bagian barat banyak dijumpai lahan tidak terbangun yang
merupakan lahan sudah tidak produktif lagi untuk ditanami jenis tanaman HTI.
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Hutan Tanaman Industri
memiliki pola sebaran mozaik akibat dari kompartemenisasi atau pemetakan
terhadap areal tanam. Untuk jenis tanah mineral seperti yang terdapat di Sektor
Logas Selatan, Hutan Tanaman Industri diatur dalam bentuk kompartemen
sebagai unit terkecil pengelolaan yang ditentukan dan dibatasi dengan batas alam
berupa sungai, jalan, dan lereng. Hal ini disebabkan karena wilayah yang
bertanah mineral memiliki kecenderungan terletak pada wilayah yang memiliki
variasi elevasi dan kelerengan yang cukup tinggi. Selain itu, pembuatan petak-
petak tanam juga akan sulit jika dibuat berbentuk kotakan-kotakan, karena jenis
tanah mineral cenderung lebih keras daripada tanah gambut memiliki bentuk
kompartemen berupa kotakan-kotakan yang berukuran seragam.
Titik sampel pada penelitian terdiri atas 75 titik sampel pada tegakan Hutan
Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan dengan 6% titik sampel berada pada
wilayah kemiringan lereng 8 - 15%, 37% titik sampel berada pada wilayah
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
45
Universitas Indonesia
kemiringan lereng 2 - 8%, sedangkan sisanya sebanyak 56% titik sampel berada
pada wilayah kelerengan 0 - 2%.
Adapun sebaran titik sampel pada tegakan Hutan Tanaman Industri
berdasarkan wilayah ketinggian terdiri atas 6% terletak pada wilayah ketinggian 0 -
60 mdpl, 11% terletak pada wilayah ketinggian 180 - 240 mdpl, 35% terletak pada
wilayah ketinggian 60 - 120 mdpl, dan sisanya sebesar 48% terletak pada wilayah
ketinggian 120 - 180 mdpl. Pada umumnya, sebaran Hutan Tanaman Industri pada
Sektor Logas Selatan Kecamatan Singingi terletak di antara hutan alam dan
pertanian masyarakat hutan, selain itu juga terletak dengan kawasan lindung
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.
(a) (b) (c) Foto 4.1 (a) Hutan Tanaman Acasia mangium 2 tahun, (b) Hutan Tanaman
Eucalyptus umur 3 tahun, (c) Hutan Tanaman Acasia crassiacarpa umur 4 tahun Sumber: Dokumentasi 2011
Hutan Tanaman Industri yang tersebar pada wilayah ketinggian >240 meter di
atas permukaan laut memiliki luasan yang relatif sedikit daripada Hutan Tanaman
Industri yang terletak pada wilayah ketinggian < 240 meter di atas permukaan
laut. Hal ini berpengaruh terhadap pengelolaan tanaman yang lebih mudah pada
wilayah yang relatif datar.
4.7. Luas Tanaman Hutan Tanaman Industri
4.7.1. Luas Tanaman Acacia mangium
Pada Lampiran 2 yang kemudian disajikan dalam Gambar 4.4. dapat dilihat
bahwa luas total tanaman jenis Acacia mangium berdasarkan umur tanaman yang
terbagi pada umur tanaman 1 tahun yaitu seluas 1.666, 2 ha atau sebesar 24%,
umur tanaman 2 tahun seluas 2.411,2 ha atau sebesar 35%, umur tanaman 3 tahun
seluas 682,5 ha atau sebesar 10%, 4 tahun sebesar 11%, umur tanaman 5 tahun
sebesar 2% dari keseluruhan areal tanam di Sektor Logas Selatan. Hal ini
menggambarkan bahwa Acacia mangium yang berumur 2 tahun mendominasi
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
46
Universitas Indonesia
seluruh areal tanam yaitu di Estate (Blok Taman) B, C, D, E, G, H, dan I yang
tersebar di Desa Sungai Paku, Kota Baru, Petai, Kebun Lado, dan Pulau Padang.
Jenis tanaman Acacia mangium mendominasi di Sektor Logas Selatan karena
Sektor Logas Selatan memiliki jenis tanah mineral sehingga tanaman Acacia
mangium menjadi tanaman utama untuk tanaman bahan baku utama pulp dan
kertas pada jenis tanah mineral. Jenis tanaman Acacia mangium tersebar di semua
kelas wilayah ketinggian yaitu 4-388 mdpl dan kelas lereng 0 - 20% yang
terdapat di Sektor Logas Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman Acacia
mangium mampu tumbuh optimal pada hampir semua kondisi fisik tempat
tumbuh.
4.7.2. Luas Tanaman Acacia crassicarpa
Pada Lampiran 3 yang kemudian disajikan dalam Gambar 5.2 dapat diketahui
bahwa tanaman jenis Acacia crassicarpa memiliki luasan hanya sebesar 61,6 ha
dari luas seluruh tanaman pokok HTI di Sektor Logas Selatan atau hanya sebesar
2% dari total area tanam Sektor Logas Selatan.
Untuk jenis tanaman ini presentasenya tidak begitu besar karena jenis
tanaman ini hanya sebagai varian untuk jenis tanah mineral agar tidak dilakukan
monokultur terhadap jenis Acacia mangium saja. Selain itu, jenis tanaman Acacia
crassicarpa lebih diutamakan ditanam pada lahan gambut, namun kenyataannya
jenis ini dapat tumbuh optimal pada jenis tanah mineral.
4.7.3. Luas Tanaman Eucalyptus
Pada Lampiran 3 yang kemudian disajikan dalam Gambar 4.4. dapat diketahui
bahwa tanaman HTI jenis Eucalyptus mempunyai luasan sebesar 1.148,4 ha
dengan luasan terbesar pada umur tanaman 2 tahun. Tanaman HTI jenis
Eucalyptus memiliki sebaran umur tanaman dari 1 tahun seluas 246,2 ha (4%) di
Estate A (Desa Kota Baru dan Sungai Paku); umur 2 tahun seluas 555,3 ha (8%)
di Estate D (Desa Petai dan Kota Baru), Estate G (Desa Petai dan Kebun Lado),
dan Estate H (Desa Petai, Kebun Lado, dan Pulau Padang); serta umur 3 tahun
seluas 346,9 ha (5%) di Estate C dijumpai di Desa Petai dan Kota Baru (Peta 8).
Tanaman jenis Eucalyptus tersebar pada kelas ketinggian wilayah antara 4-87
meter di atas permukaan laut dan pada kelerengan wilayah tidak lebih dari 8%.
Eucalpytus tersebar di bagian Timur Sektor Logas Selatan.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
47
Universitas Indonesia
Dari hasil survey dan pengolahan data, dapat diketahui bahwa sebaran Hutan
Tanaman Industri di Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Kecamatan
Singingi sekitar 43% lokasi tanam terdapat di Desa Petai, 14% terdapat di desa
Sungai Paku, 29% terdapat di Desa Kota Baru, dan 14% terdapat di Desa Kebun
Lado.
Gambar 4.2. Presentase Luas Tanaman Pokok
Pada Gambar 4.3. di bawah ini diketahui bahwa tanaman Acacia mangium
memiliki luasan terbesar di antara ketiga jenis tanaman HTI. Sedangkan
Eucalyptus menduduki urutan kedua, dan Acacia crassicarpa memiliki presentase
luas terkecil.
Gambar 4.3. Presentase Luas HTI Menurut Jenis Tanaman
Berikut ini disajikan Peta 7 (Jenis Tanaman HTI) dan Peta 8 ( Umur Tanaman
HTI).
Acacia
crassicarpa (4
tahun)
1%
Acacia
mangium
(5 tahun)
2%
Eucalyptus
(1 tahun)
4% Eucalyptus (3
tahun)
5% Eucalyptus(2
tahun)
8%
Acacia
mangium
(3 tahun)
10%
Acacia
mangium (4
tahun)
11%
Acacia
mangium (1
tahun)
24%
Acacia
mangium (2
tahun)
35%
82%
1% 17%
Acacia mangium
Acacia crassicarpa
Eucalyptus
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
50
Universitas Indonesia
4.8. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya Penduduk di Sekitar HTI
Berdasarkan Kabupaten Kuantan Singingi Dalam Angka 2010, Kecamatan
Singingi memiliki 5.223 KK. Jumlah penduduk total Kecamatan Singingi yaitu
21.047 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 11.168 jiwa dan penduduk
perempuan berjumlah 9.879 jiwa.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk di sekitar Sektor Logas Selatan
adalah bertani, namun pada saat ini ada beberapa masyarakat yang melakukan
penebangan liar di kawasan hutan alam sedangkan lahan pertanian yang ada tidak
dimanfaatkan. Apabila penebangan pada hutan alam terus berlanjut akan
mengakibatkan rusaknya hutan alam. Oleh karena itu dilakukan Program
Pemberdayaan Masyarakat Hutan dimana program tersebut merupakan suatu
mekanisme layanan sumber daya dukung untuk membantu masyarakat agar dapat
mengentaskan dirinya sendiri. Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan ini
bertolak dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat sendiri, salah satunya adalah
alokasi Tanaman Kehidupan sebesar 5% dari luas konsesi. Tanaman Kehidupan
ini mencakup tanaman yang bernilai ekonomis seperti sayur-sayuran, durian, karet
yang dikelola masyarakat hutan yang hasilnya dapat disalurkan ke unit-unit usaha
masyarakat. Dalam bidang perokonomian, saat ini telah terdapat 18 perusahaan
dagang dan 33 KUD di Kecamatan Singingi yang dihasilkan dari program
Pemberdayaan Masyarakat. Diharapkan dengan adanya program tersebut dapat
tercipta masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
Selain pertanian, sektor peternakan dan perikanan masuk dalam program
pengembangan ekonomi kerakyatan oleh PT. RAPP. Program-program lain
seperti pengembangan kelestarian lingkungan di semua faktor, penghijauan, dan
kebersihan lingkungan.
Kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar sektor Logas Selatan berdasarkan
hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar Sektor Logas Selatan, suku-suku
yang terdapat di Kecamatan Singingi antara lain suku asli yaitu Melayu,
sedangkan suku pendatang adalah suku Minang, Batak, Jawa, Bugis, dan warga
keturunan Cina.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Adat istiadat yang menjadi ciri masyarakat secara umum dan langsung
melandasi sujud budaya penduduk sebagai anggota masyarakat atau komunitas
dalam suatu tatanan sosial adalah nilai agama dan nilai-nilai yang diwariskan oleh
nenek moyang mereka.
Tata nilai yang terdapat dalam agama dan warisan nenek moyang mereka
yang dianut oleh penduduk secara lagsung melandasi semua perilaku atau setiap
gerak hidup penduduk. Pengaruh nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai warisan
leluhur tersebut terlihat dalam hal sosialisasi penduduk tentang kehidupan,
hubungan manusia dengan manusia lain seperti dalam adat istiadat pernikahan,
hajatan-hajatan, serta upacara keagamaan yang masih sering dilaksanakan oleh
penduduk.
Di Kecamatan Singingi terdapat situs dan benda cagar budaya yaitu jenis
makam tua dan pohon sialang. Pohon Sialang adalah pohon di mana tempat
bersarangnya lebah madu yang bukan saja digunakan sebagai mata pencaharian
masyarakat setempat, tetapi juga merupakan pohon yang dikeramatkan.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
52 Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Nilai Indeks Vegetasi (Tingkat Kehijauan ) HTI
Tingkat kehijauan pada Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan,
Kecamatan Singingi berdasarkan hasil pengolahan data NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index) dari Citra Landsat 7 ETM+ komposit band 321
(Peta 9) disajikan pada Peta 10. Sedangkan tingkat kehijauan menurut jenis
tanaman disajikan dalam Peta 11.
Tingkat kehijauan tanaman di Sektor Logas Selatan terbagi menjadi tiga (3)
yaitu tingkat kehijauan yang termasuk dalam kriteria rendah, sedang, dan tinggi.
Tingkat kehijauan dengan kriteria rendah memiliki nilai -1 < NDVI < -0,08 yang
tersebar hanya di sebagian kecil Sektor Logas Selatan yaitu di bagian Barat.
Kriteria sedang memiliki nilai -0,08 < NDVI < 0,21 yang tersebar dominan di
bagian Utara. Sedangkan di bagian Barat, Tengah dan Timur hanya tersebar
sebagian saja. Tingkat kehijauan dengan kriteria tinggi memiliki rentang nilai
yaitu 0,21 < NDVI < 1 yang tersebar di bagian Tengah Sektor Logas Selatan.
Hampir seluruh tegakan Hutan Tanaman Industri memiliki kriteria tingkat
kehijauan yang tinggi karena sebagian besar nilai NDVI di atas 0,21.
Tingkat kehijauan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kesuburan vegetasi
yang dilihat dari tutupan kanopi tanaman HTI. Hasil pada penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan didominasi oleh kriteria tinggi dengan kanopi pohon yang cukup rapat.
Hal ini dipengaruhi oleh kondisi tegakan yang ada didominasi pada tingkat umur
2 tahun dimana pada umur ini tanaman sedang mengalami pertumbuhan yang
optimal sehingga membentuk tutupan vegetasi yang cukup lebat.
Hasil lain menunjukkan bahwa tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri di
Sektor Logas Selatan dibentuk oleh tingkat kerapatan tanaman yang cukup tinggi
karena pola tanam diatur berdasarkan jarak tanam yang seragam. Jarak tanam
untuk tanaman HTI di Sektor Logas Selatan yang banyak digunakan adalah
3 m x 2,5 m, sehingga dalam 1 hektar lokasi tanam dapat diperkirakan ditumbuhi
oleh ±1333 tegakan Hutan Tanaman Industri.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri menurut jenis tanaman di Sektor
Logas Selatan, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi disajikan
dalam Peta 10.
Pada tanaman Acacia mangium tingkat kehijauan tersebar pada semua
kriteria (rendah, sedang, dan tinggi). Tingkat kehijauan yang rendah terdapat di
bagian Barat dan sebagai sebaran terkecil dari kriteria yang lain. Kriteria tingkat
kehijauan yang sedang tersebar di bagian Utara dan tengah pada Acacia mangium
umur 1 dan 2 tahun. Sedangkan kriteria tinggi tersebar di bagian Tengah dan
Barat pada Acacia mangium umur 2 – 5 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Citra Landsat 7 ETM+ nilai NDVI pada Acacia mangium memiliki rentang
dari 0,07 – 0,38.
Tingkat kehijauan pada tanaman Acacia crassicarpa umur 4 tahun
seluruhnya terdapat pada kriteria yang tinggi dimana nilai NDVI >0,21.
Berdasarkan pengolahan data citra, nilai NDVI Acacia crassicarpa yang
diperoleh berkisar antara 0,27 – 0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat
kehijauan tanaman Acacia crassicarpa termasuk dalam kriteria yang tinggi. Hal
tersebut disebabkan karena tanaman Acacia crassicarpa yang ada berada pada
tingkat umur 4 tahun, sehingga memiliki tingkat kerapatan vegetasi dan tutupan
kanopi pohon yang tinggi.
Tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri yang areal tanamnya ditumbuhi
oleh tanaman Eucalyptus terdapat dalam dua (2) kriteria yaitu sedang dan tinggi.
Pada tanaman Eucalyptus tingkat kehijauan kriteria sedang tersebar di bagian
Utara yaitu pada tanaman berumur 1 tahun. Kriteria sedang juga tersebar di bagian
Tengah pada sebagian Eucalyptus umur 2 tahun. Tingkat kehijauan tanaman
Eucalyptus yang termasuk dalam kriteria tinggi tersebar di bagian Tengah Sektor
Logas Selatan yang terdiri dari tanaman berumur 2-3 tahun.
Dari ketiga jenis tanaman HTI yang ada, tingkat kehijauan memiliki nilai
NDVI tertinggi sebesar 0,38 pada Acacia mangium yang dicapai pada usia 4 dan 5
tahun. Nilai NDVI 0,38 pada Acacia crassicarpa yang dicapai pada tanaman
berumur 4 tahun, dan nilai NDVI sebesar 0,38 pada Eucalyptus dicapai pada
tanaman berumur 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada tanaman Eucalyptus
umur 2 tahun memiliki tutupan kanopi yang lebih rapat.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
57
Universitas Indonesia
5.2. Estimasi Biomassa Melalui Metode Alometri
5.2.1. Distribusi Sampel
Pendugaan biomassa HTI yang dihitung berdasarkan cuplikan data diameter
dan tinggi pohon untuk menghitung besarnya nilai NDVI (rendah, sedang, tinggi).
Pengambilan sampel berdasarkan nilai NDVI terdiri dari 3 plot sampel pada nilai
NDVI kriteria “rendah”, 12 plot sampel pada kriteria “sedang”, dan 50 plot
sampel pada kriteria “tinggi”, sehingga jumlah sampel ada 75 plot.Data-data
lapangan yang berupa tinggi bebas cabang, dan diameter batang yang kemudian
menghasilkan nilai biomassa yang dihitung dengan metode alometri. Kumpulan
dan karakteristik data-data yang diambil dalam bentuk sampel dijelaskan dalam
uraian sebagai berikut.
Sampel yang digunakan untuk pendugaan biomassa pada jenis tanaman
Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus dengan metode alometri
tersebar sebanyak 75 plot atau seluas 6,75 ha (Peta 12). Sampel yang digunakan
adalah sebesar 0,1% dari luas total tanaman Hutan Tanaman Industri di Sektor
Logas Selatan.
Pada jenis tanaman Acacia mangium, sampel yang tersebar pada tingkat
umur 1 sampai dengan 5 tahun dengan jumlah 37 plot sampel (3,33 ha). Sampel
Acacia mangium umur 1 tahun tersebar di bagian Utara dengan jumlah 8 titik
sampel, umur 2 tahun terdapat di bagian Tengah dan Timur sebanyak 8 titik
sampel, umur 3 tahun terdapat di Tengah dan Barat sebanyak 8 titik sampel, umur
4 tahun terdapat di bagian Barat sebanyak 8 titik sampel, dan pada umur 5 tahun
tersebar di bagian Barat sebanyak 5 titik sampel.
Pada jenis tanaman Acacia crassicarpa, sampel yang diambil hanya pada
tingkat umur 4 tahun sebanyak 12 titik sampel yang tersebar di bagian Selatan
Sektor Logas Selatan.
Pada jenis Eucalyptus, sampel tersebar pada tingkat umur 1 – 3 tahun
dengan jumlah 26 titik sampel. Sampel tanaman Eucalyptus umur 1 tahun tersebar
di bagian Utara Sektor Logas Selatan sebanyak 4 titik sampel, pada umur 2 tahun
sampel Eucalyptus tersebar di bagian Selatan sebanyak 9 titik sampel, dan pada
umur 3 tahun tersebar di bagian Tengah dengan jumlah sampel sebanyak 13 titik
sampel.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
58
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
59
Universitas Indonesia
5.2.2. Diameter Pohon di Lokasi Sampel
Berdasarkan cuplikan data diameter dan tinggi pohon (Lampiran 1 – 3),
hasil survey yang dilakukan pada setiap titik sampel tegakan Hutan Tanaman
Industri Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper dengan luasan
tiap titik sampel 900 m2 di Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi,
Riau diperoleh informasi bahwa pada umur tegakan yang sebagian besar terdapat
pada umur 2 tahun maka rata-rata besaran diameter yang diperoleh tidak lebih dari
19 cm. Jenis tanaman Acasia mangium berumur 2 tahun mendominasi Sektor
Logas Selatan yang memiliki rata-rata diameter batang setinggi dada sebesar 11,7
cm dengan diameter tanaman terbesar adalah 17,2 cm pada tanaman Acacia
mangium umur 5 tahun dan diameter terkecil sebesar 6,3 cm pada Acacia
mangium umur 1 tahun. Standar deviasi Acacia mangium yaitu sebesar 3,08.
Jenis tanaman Acasia crassicarpa hanya tersedia tanaman berumur 4 tahun
dengan rata-rata diameter setinggi dada 8,30 cm. Diameter Acacia crassicarpa
terbesar yaitu 15,68 cm dan diameter terkecil sebesar 12,4 cm. Standar deviasi
menunjukkan angka 2,04 untuk jenis Acacia crassicarpa 4 tahun.
Pada jenis tanaman Eucalyptus variasi umur pada 1 - 3 tahun dengan
diameter yang lebih kecil dari jenis tanaman Acasia mangium. Rata-rata diameter
setinggi dada Eucalyptus adalah sebesar 8,3 cm, dengan nilai terbesar 11,9 cm
pada Eucalyptus umur 3 tahun dan nilai rata-rata diameter terkecil 4,1 pada
Eucalyptus 1 tahun. Standar deviasi Eucalyptus adalah sebesar 2,0. Pada titik
sampel dijumpai bahwa jenis Eucalyptus berumur 3 tahun memiliki rata-rata
diameter batang setinggi dada lebih kecil dari diameter batang setinggi dada pada
jenis Acasia mangium berumur 2 tahun. Begitu pula Eucalyptus umur 2 tahun
memiliki diameter batang yang lebih kecil daripada diameter batang Acasia
mangium berumur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena Eucalyptus tumbuh pada
wilayah ketinggian 120 - 180 mdpl dan kelerengan yang cukup terjal sehingga
pertumbuhannya kurang optimal.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Berdasarkan uji korelasi Pearson Product Moment antara diameter setinggi
dada dengan nilai NDVI diperoleh hasil bahwa korelasi yang ditunjukkan dengan
nilai r sebesar 0,545 atau r2 sebesar 0,297 (29,7%) dengan signifikansi 0,000.
Korelasi yang dihasilkan menunjukkan bahwa 29,7% nilai NDVI bisa mewakili
besar kecilnya nilai diameter setinggi dada pada tanaman Hutan Tanaman
Industri.
Besaran diameter pohon sangat dipengaruhi oleh umur suatu tanaman. Hal
ini disebabkan karena akumulasi massa yang biasanya dalam bentuk biomassa
semakin lama semakin banyak sehingga bentuk ukuran batang bertambah besar.
Semakin tinggi umur suatu tanaman idealnya akan semakin tinggi pula nilai
diameter batang tanaman tersebut. Dalam pembentukkan massa tersebut,
pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari faktor fisik wilayah seperti ketinggian,
lereng, kondisi kesuburan tanah, dan kegiatan pemeliharaan terhadap suatu
tanaman.
Faktor fisik berupa ketinggian wilayah dan lereng dapat berpengaruh pada
proses transportasi air dari dalam tanah menuju ke seluruh bagian tubuh tumbuhan
khususnya pada proses fotosintesis. Semakin tinggi suatu tempat tumbuh tanaman
maka tanaman akan semakin sulit mendapatkan air. Begitu pula pada tingkat
kelerengan, semakin terjal suatu lereng maka tanaman akan sulit mendapatkan air.
5.2.3. Tinggi Pohon di Lokasi Sampel
Berdasarkan Tabel cuplikan data diameter dan tinggi pohon (Lampiran 1 –
3), tinggi tanaman pada Sektor Logas Selatan memiliki rata-rata nilai tertinggi
pada jenis Acasia mangium umur 4 tahun. Namun pada kasus tertentu dijumpai
bahwa tinggi tegakan Acasia mangium lebih rendah daripada tegakan Acasia
mangium umur 4 tahun. Hal ini dapat terjadi karena faktor fisik tempat tumbuh
tanaman misalnya kesuburan tanah, ketinggian wilayah, maupun kemiringan
lerengnya.
Jenis Acacia mangium memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 5
meter dengan nilai tertinggi 14,2 meter pada tanaman berumur 5 tahun dan nilai
terendah pada tanaman berumur 1 tahun sebesar 0,5 meter. Standar deviasi tinggi
bebas cabang untuk Acacia mangium memiliki nilai sebesar 3,25.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Jenis Acacia crassicarpa memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar
9,16 meter dengan nilai tertinggi sebesar 12,8 meter dan nilai terendah sebesar
3,2 meter. Standar deviasi tinggi bebas cabang untuk Acacia crassicarpa memiliki
nilai sebesar 2,73.
Jenis Eucalyptus memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 4,99 meter
dengan nilai tertinggi sebesar 10 meter pada tanaman berumur tahun dan nilai
terendah sebesar 0,9 meter pada tanaman berumur 1 tahun. Standar deviasi tinggi
bebas cabang untuk Acacia crassicarpa memiliki nilai sebesar 2,78.
Berdasarkan uji korelasi dengan Pearson Product Moment, korelasi
besarnya nilai tinggi bebas cabang pada ketiga jenis tanaman ini dengan nilai
NDVI diperoleh hasil bahwa korelasi yang ditunjukkan dengan bilai r sebesar
0,429, r2 sebesar 0,184 (18,4%) dengan signifikansi 0,000. Korelasi yang
dihasilkan menunjukkan bahwa 18,4% nilai NDVI bisa mewakili besar kecilnya
nilai tinggi bebas cabang pada tanaman Hutan Tanaman Industri .
5.2.4. Estimasi Biomassa dengan Metode Alometri
Pendugaan biomassa terbatas pada lokasi sampel dengan menggunakan
data-data biofisik tanaman yaitu jenis dan umur tanaman, serta tingkat kehijauan
yang kriterianya ditentukan berdasarkan tinggi rendahnya nilai nilai NDVI.
5.3. Hubungan Karakteristik Pohon dan Biomassa dengan Tingkat
Kehijauan
Karakteristik pohon dapat dilihat dari besarnya batang, tinggi pohon,
maupun kerapatan kanopinya. Karakteristik pohon inilah yang berpengaruh
terhadap besar kecilnya tingkat kehijauan suatu vegetasi maupun berpengaruh
pada besarnya nilai biomassa suatu tanaman. Hubungan antara karakteristik
pohon dengan tingkat kehijauan dan nilai biomassa dapat diketahui dengan
model yang diperoleh dari hasil korelasi nilai NDVI dengan diameter batang dan
tinggi pohon.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil pengolahan data karakteristik pohon (diameter dan tinggi
batang) dengan metode korelasi maka dapat diketahui korelasi nilai NDVI dengan
diameter batang setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tanaman HTI di
Sektor Logas Selatan menunjukkan bahwa nilai NDVI lebih berpengaruh besar
terhadap pertumbuhan batang tanaman daripada pertumbuhan tinggi tanaman.
Nilai NDVI berpengaruh sebesar 29,7% (nilai r2) terhadap besarnya diameter
batang tanaman. Hasil lain menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh hanya
sebesar 18,4% terhadap besarnya tinggi tanaman HTI. Hal ini menunjukkan
bahwa pohon yang batangnya besar menyebabkan tutupan kanopi lebih rapat
dibandingkan pohon tinggi tetapi batangnya tidak besar karena kanopinya kurang
rapat. Kanopi yang rapat ditunjukkan pada nilai NDVI yang besar.
5.4. Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri
Sebaran biomassa Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan
diperoleh dari hasil pendugaan dengan metode alometri yang selanjutnya dapat
dihasilkan model pendugaan biomassa untuk mewakili wilayah sekitarnya
berdasarkan piksel citra dengan mengkorelasikan nilai NDVI tiap piksel dengan
nilai biomassa dari hasil perhitungan metode alometri.
Sebaran biomassa Hutan Tanaman Industri menurut jenis tanaman
disajikan dalam Peta 12. Sebaran biomassa berdasarkan uji regresi linier
menunjukkan bahwa sebaran biomassa di Sektor Logas Selatan dibagi dalam tiga
(3) kelas yaitu rendah (0 – 40 ton/ha), sedang (40 – 100 ton/ha), dan tinggi
(>100ton/ha).
5.4.1. Pendugaan Biomassa HTI
Pendugaan biomassa Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan
menghasilkan model penduga biomassa yang diperoleh dengan melakukan uji
statistik menggunakan metode regresi linier dengan melihat hubungan biomassa
pada titik sampel dengan Nilai NDVI dari hasil pengolahan Citra Landsat 7
ETM+. Hasil dari uji korelasi dengan regresi linier menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara biomassa tanaman HTI dengan nilai NDVI yang ditunjukkan
pada tabel 5.1. berikut ini.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
63
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Model Penduga Biomassa HTI
Model r r2 Signifikansi
Y = -22,318 + 251,736 NDVI 0,461 0,212 0,000
Sumber: Pengolahan data, 2011
Berdasarkan model penduga biomassa HTI dapat diketahui korelasi nilai
NDVI dengan biomassa hasil metode alometri pada tanaman HTI di Sektor
Logas Selatan menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh terhadap besar nilai
biomassa . Nilai r2 menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh sebesar 21,2%
terhadap besarnya biomassa tanaman HTI di Sektor Logas Selatan. Besarnya
nilai NDVI pada setiap piksel Citra Landsat 7 ETM+ dapat mewakili sebesar
21,2% untuk pendugaan biomassa Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan.
Potensi kandungan biomassa Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan menurut jenis dan umur tanaman dari hasil pendugaan biomassa
disajikan pada Tabel 5.2. berikut ini.
Tabel 5.2. Potensi Biomassa Menurut
Jenis dan Umur Tanaman HTI
Umur
Tanaman
(Tahun)
Rata-Rata Biomassa (ton/ha)
Acacia
mangium
Acacia
crassicarpa Eucalyptus
1 20,20 - 7,90
2 48,07 - 15,59
3 80,40 - 33,95
4 88,43 166,5 -
5 111,41 - -
Sumber: Pengolahan Data, 2011
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa potensi biomassa HTI umur 1 tahun pada
tanaman Acacia mangium lebih besar dari potensi biomassa tanaman Eucalyptus
di mana nilai besaran potensinya memiliki perbedaan yang cukup besar. Begitu
pula pada Acacia mangium umur 2 dan 3 tahun memiliki potensi biomassa yang
lebih besar dari pada tanaman Eucalyptus.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Hal tersebut menunjukkam bahwa tanaman Acacia mangium jauh lebih
berpotensi besar dalam menghasilkan biomassa daripada jenis tanaman
Eucalyptus. Oleh karena pertimbangan itulah, 82% lokasi tanam di Sektor Logas
Selatan digunakan untuk mengembangkan tanaman Acacia mangium.
Hasil lain menunjukkan bahwa besaran potensi biomassa Acacia mangium
umur 4 tahun lebih rendah dari besaran potensi biomassa Acacia crassicarpa
yang berumur 4 tahun. Selain itu, besaran potensi biomassa Acacia crassicarpa
umur 4 tahun pun lebih besar dari besaran potensi biomassa Acacia mangium.
Hal ini menunjukkan bahwa Acacia crassicarpa lebih berpotensi besar dalam
menghasilkan biomassa dari jenis Acacia mangium dan Eucalyptus. Namun,
pada kondisi di lapangan tanaman Acacia crassicarpa lebih diutamakan pada jenis
tanah gambut karena dapat tumbuh jauh lebih baik dari pada di tanah mineral,
sehingga tanaman jenis ini yang dikembangkan di tanah mineral lebih sedikit.
5.4.2. Kandungan Biomassa Acacia mangium
Biomassa pada setiap titik sampel Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan, PT RAPP, Kecamatan Singingi menghasilkan nilai yang relatif berbeda
berdasarkan parameter jenis dan umur tanaman.
Estimasi besarnya nilai biomassa berdasarkan pengolahan data survey
lapang dengan metode alometri pada tanaman Acacia mangium di setiap lokasi
sampel disajikan pada Lampiran 1. Hasil yang diperoleh dari survey lapang dan
pengolahan data menunjukkan besaran biomassa tertinggi pada tanaman Acasia
mangium berumur 5 tahun dengan nilai biomassa 162,6 ton/ha. Sedangkan
biomassa dengan nilai paling rendah sebesar 10,6 ton/ha pada Acasia mangium
umur 1 tahun. Standar deviasi pendugaan nilai biomassa Acacia mangium
sebesar 41,75 dengan nilai rata-rata biomassa pada semua tingkat umur sebesar
66,3 ton/ha.
Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 1 tahun adalah
sebesar 20,20 ton/ha. Kandungan biomassa Acacia mangium pada umur 1 tahun
memiliki rentang nilai 10,56 – 30,49 ton/ha.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
65
Universitas Indonesia
Nilai rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 2 tahun adalah
sebesar 48,07 ton/ha. Kandungan biomassa yang dimiliki terdapat pada rentang
nilai 21,64 – 116,15 ton/ha. Batas bawah nilai biomassa pada umur 2 tahun
termasuk dalam rentang nilai biomassa umur 1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat tanaman Acacia mangium yang memiliki nilai biomassa yang rendah
meskipun tingkat umurnya lebih tinggi.
Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 3 tahun adalah
sebesar 80,40 ton/ha. Kandungan biomassa yang dimiliki Acacia mangium umur
3 tahun memiliki rentang nilai 20,93 – 142, 84 ton/ha. batas terendah pada tingkat
umur 3 tahun memiliki nilai yang lebih kecil dari batas bawah nilai biomassa
pada umur 2 tahun.
Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 4 tahun adalah
sebesar 88,43 ton/ha. Kandungan biomassa Acacia mangium memiliki rentang
nilai 63,84 – 126,85 ton/ha.
Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 5 tahun adalah
sebesar 111,41 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam
rentang nilai 82,41 – 162,62 ton/ha.
Secara umum, besarnya nilai biomassa yang dihasilkan dari kegiatan survey
lapang penelitian ini dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin rendah tingkat
umur suatu tanaman, maka akan semakin rendah pula nilai biomassa yang
dihasilkan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat umur suatu tanaman, maka akan
semakin tinggi nilai biomassa yang dihasilkan. Namun, tetap dijumpai bahwa
tingkat umur tanaman yang tinggi tidak selalu memiliki nilai biomassa yang lebih
besar dari tanaman pada tingkat umur yang lebih rendah.
5.4.3. Kandungan Biomassa Acacia crassicarpa
Pendugaan biomassa Acacia crassicarpa hanya dilakukan hanya pada
tanaman berumur 4 tahun. Hal tersebut dikarenakan tanaman yang ada di lokasi
tanam berada pada tingkat umur ke-4. Berdasarkan data Lampiran 2, pengukuran
nilai biomassa pada 12 sampel, Acacia crassicarpa umur 4 tahun memiliki rata-
rata sebesar 166,5 ton/ha. Nilai biomassa terbesar adalah 250,68 ton/ha dengan
besaran diameter 18,8 cm. Sedangkan nilai biomassa terkecil sebesar 92,37
ton/ha dengan ukuran diameter batang setinggi dada 12,4 cm. Berdasarkan data
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
66
Universitas Indonesia
tabel pada Lampiran 1 diketahui bahwa nilai biomassa Acacia crassicarpa pada
umur 4 tahun mencapai 250,68 ton/ha. Jika dibandingkan dengan biomassa
Acacia mangium 4 tahun maka biomassa Acacia crassicarpa memiliki tingkat
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh ukuran rata-rata diameter batang Acacia
crassicarpa berumur 4 tahun lebih besar dari ukuran rata-rata diameter Acacia
mangium berumur 4 tahun pada Estate E dan F. Hal ini dapat terjadi karena
kondisi fisik wilayah yang ada di Estate I sangat berbeda dengan kondisi fisik
wilayah di Estate E dan F yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
5.4.4. Kandungan Biomassa Eucalyptus
Pendugaan besaran biomassa Eucalyptus dilakukan pada tanaman berumur
1 sampai dengan 3 tahun. Nilai pendugaan biomassa Eucalyptus disajikan pada
data tabel Lampiran 3. Nilai rata-rata biomassa Eucalyptus dari seluruh tingkat
umur adalah sebesar 19,81 ton/ha. Nilai biomassa Eucalyptus tertinggi adalah
53,76 ton/ha pada tanaman berumur 3 tahun. Sedangkan nilai terendah terdapat
pada tanaman berumur 2 tahun dengan nilai sebesar 3,44 ton/ha.
Nilai rata-rata biomassa Eucalyptus pada tingkat umur 1 tahun adalah
sebesar 7,9 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang
nilai 3,44 – 14,19 ton/ha.
Nilai rata-rata biomassa Eucalyptus pada tingkat umur 2 tahun adalah
sebesar 15,59 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang
nilai 7,69 – 22,57 ton/ha.
Nilai rata-rata biomassa Eucalyptus pada tingkat umur 3 tahun adalah
sebesar 33,95 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang
nilai 21,22 – 53,76 ton/ha.
Dari data di atas, batas bawah nilai biomassa pada setiap tingkat umur
termasuk dalam rentang nilai biomassa pada tingkat umur dibawahnya. Nilai
biomassa yang rendah pada tingkat umur yang lebih tinggi, misalnya pada
tanaman berumur 3 tahun lebih rendah dari nilai biomassa pada tanaman berumur
2 tahun. Jika dilihat dari aspek biofisik tanaman, hal tersebut sangat nampak
terlihat dari besaran rata-rata diameter batang tanaman.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
67
Universitas Indonesia
5.5. Sebaran Biomassa HTI Menurut Kondisi Fisik Wilayah
Berdasarkan tabel hasil pengolahan data pada Lampiran 4, Sebaran biomassa
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan didominasi oleh jenis Acacia
mangium kelas sedang dengan luasan 2824,75 ha atau mencakup 50% dari luas
total biomassa semua jenis tanaman. Dari Gambar 5.1. dapat diketahui bahwa
luas sebaran biomassa terkecil terdapat pada jenis Acacia crassicarpa kelas rendah
yaitu dengan luasan hanya sebesar 4,39 ha atau presentase sebesar 8% dari seluruh
jenis tanaman yang ada. Perbedaan yang besar ini disebabkan karena jenis tanaman
yang mendominasi Sektor Logas Selatan adalah Acacia mangium yang mencapai
5.649,5 ha. Sedangkan pada jenis Acacia crassicarpa hanya 61,6 ha, serta pada
jenis Eucalyptus seluas 1.148,4 ha.
Gambar 5.1. Presentase Luas Sebaran Biomassa HTI
Gambar 5.2. Luas Sebaran Biomassa HTI
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Rendah Sedang Tinggi
Acacia mangium 1581,86 2824,75 1242,89
Acacia crassicarpa 4,93 48,05 8,62
Eucalyptus 436,39 516,45 195,23
Lu
as
(ha)
0
1000
2000
3000
4000
Rendah Sedang Tinggi
Luas (ha) 2023,18 3389,25 1446,74
Luas
(h
a)
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
68
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
69
Universitas Indonesia
5.5.1. Sebaran Biomassa Acacia mangium
Sebaran biomassa Acacia mangium dibagi menjadi 3 kelas yaitu rendah,
sedang, dan tinggi yang disajikan dalam Lampiran 4 serta pada Gambar 5.3.
berikut ini.
Gambar 5.3. Presentase Luas Sebaran Biomassa Acacia mangium
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah memiliki luasan sebesar
1581,86 ha atau berdasarkan Gambar 5.4 sebesar 28% dari luas total tanaman
Acacia mangium. Pada kelas sedang, luas sebaran biomassa Acacia mangium
memiliki luasan sebesar 2824,75 ha atau 50% dari luas total tanaman Acacia
mangium. Sedangkan sebaran biomassa kelas tinggi memiliki luasan sebesar
1242,89 ha atau 22% dari luas tanaman Acacia mangium.
a. Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha)
Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 5, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas rendah terdapat di Estate D (Desa Petai), Estate G
(Desa Petai), dan Estate H (Desa Petai). Presentase sebaran biomassa
berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.4. berikut ini.
Gambar 5.4. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah
Berdasarkan Ketinggian Wilayah
28%
50%
22% Rendah
Sedang
Tinggi
10%
20%
55%
10% 5%0 - 60 mdpl
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
70
Universitas Indonesia
Biomassa Acacia mangium kelas rendah mendominasi pada wilayah
ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 870,02
ha, presentase 55%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian > 240 meter
di atas permukaan laut dengan luasan 79,09 ha. Biomassa kelas rendah juga
tersebar pada wilayah ketinggian 0 - 6 0 meter di atas permukaan laut dengan
luasan sebesar 158,86 ha. Kondisi yang sama terletak pada wilayah ketinggian
180 - 240 meter di atas permukaan laut. Sedangkan pada wilayah ketinggian 60 -
120 meter di atas permukaan laut sebesar 316,37 ha.
Presentase biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.5. berikut ini.
Gambar 5.5. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah
Berdasarkan Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas
474,56 ha sebesar 30%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% yang hanya
memiliki luas sebesar 158,19 ha. Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah
tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 - 8% biomassa
seluas 395,47 ha, pada lereng 15 - 25% seluas 316,37 ha, dan pada lereng >25%
seluas 237,28 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Acacia mangium kelas
rendah terdapat pada kelas lereng sedang.
Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa
Acacia mangium kelas rendah adalah pada tanaman berumur 1 tahun yang terletak
di Estate D (Desa Petai). Faktor biofisik tanaman sangat berpengaruh pada
besaran biomassa tanaman karena ukuran diameter batang berbanding lurus
dengan biomassa .
10%
25%
30%
20%
15% 0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
71
Universitas Indonesia
Presentase biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan jenis tanah
disajikan dalam Gambar 5.6. berikut ini.
Gambar 5.6. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-
punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik
seluas 1107,3 ha atau mencakup 70% dari luas total biomassa kelas rendah untuk
jenis tanaman Acacia mangium. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada
mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik,
kambisol, dan oksisol seluas 348,01 ha. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan
bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 79,09 ha. Pada
mineral BKN yaitu lembah pada aluvium sungai muda dengan jenis tanah gleisol,
aluvial glenik, dan kambisol seluas 15,82 ha. Sedangkan pada mineral BYN yaitu
endapan bertufa curam yang terdiri dari batu pasir, lumpur dengan jenis tanah
kambisol distrik dan podsolik humik seluas 31,64 ha. Sebaran biomassa kelas
rendah memiliki kecenderungan pada jenis tanah podsolik pada mineral AHK.
b. Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha)
Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 5, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas sedang terdapat di Estate B bagian Selatan (Desa
Kota Baru), Estate D bagian Utara (Desa Kota Baru), Estate F (Desa Petai), Estate
G bagian Selatan (Desa Kebun Lado), Estate H bagian Selatan (Desa Petai), dan
Estate I (Desa Kebun Lado). Presentase sebaran biomassa Acacia mangium
berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.7. berikut ini.
22%
70%
5%1% 2%
MBI
AHK
SAR
BKN
BYN
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
72
Universitas Indonesia
Gambar 5.7. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas
Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Berdasarkan tabel pada Lampiran 5, biomassa Acacia mangium kelas sedang
mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut
dengan luasan sebesar 1129,9 ha, presentase 40%. Sebaran terkecil terletak pada
wilayah ketinggian > 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 84,74 ha.
Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 0-60 meter di atas
permukaan laut dengan luasan sebesar 282,48 ha. Kondisi yang berbeda terletak
pada wilayah ketinggian 180-240 meter di atas permukaan laut dengan luasan
sebesar 564,95 ha atau mencakup 20% dari luas total biomassa Acacia mangium
kelas sedang. Sedangkan pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas
permukaan laut sebesar 762,68 ha.
Presentase biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.8. berikut ini.
Gambar 5.8. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas
Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas sedang berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas
1553,61 ha atau sebesar 55% dari total luas biomassa Acacia mangium kelas
sedang. Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas
10%
40%27%
20%
3% 0 - 60 mdpl
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
10%7%
55%
25%
3%0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
73
Universitas Indonesia
sebesar 84,74 ha. Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah tersebar di
seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 0 - 2% biomassa seluas
282,48 ha, pada lereng 2 - 8% biomassa seluas 197,73 ha, dan pada lereng 15 -
25% seluas 706,19 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Acacia mangium kelas
sedang terdapat pada kelas lereng sedang.
Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa
Acacia mangium kelas sedang adalah pada tanaman berumur 2 dan 3 tahun.
Kondisi lereng pada wilayah ini cukup sedang dan tidak terlalu terjal sehingga
dengan rentang umur yang cukup pada tanaman, nilai biomassa yang berada
pada tingkat kemiringan lereng yang sedang cukup tinggi.
Presentase biomassa Acacia mangium kelas sedang berdasarkan jenis tanah
disajikan dalam Gambar 5.9. berikut ini.
Gambar 5.9. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas sedang berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-
punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik
seluas 1129,9 ha atau mencakup 40% dari luas total biomassa kelas sedang untuk
jenis tanaman Acacia mangium. Biomassa kelas sedang juga tersebar pada
mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik,
kambisol, dan oksisol seluas 847,43 ha. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan
bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 169,49 ha. Pada
mineral BKN yaitu lembah pada aluvium sungai muda dengan jenis tanah gleisol,
aluvial glenik, dan kambisol seluas 197,73 ha. Pada mineral SPK, sebaran
biomassa Acacia mangium kelas sedang memiliki luasan sebesar 112,99 ha.
33%
47%
6%4%
7% 3%
MBI
AHK
SAR
BKN
BYN
SPK
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Sedangkan pada mineral BYN yaitu endapan bertufa curam yang terdiri dari
batu pasir, lumpur dengan jenis tanah kambisol distrik dan podsolik humik seluas
84,74 ha. Sebaran biomassa kelas sedang memiliki kecenderungan pada jenis
tanah podsolik pada mineral AHK.
c. Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi (>100 ton/ha)
Presentase sebaran biomassa Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.10. berikut ini.
Gambar 5.10. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi
Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 4 dan
Peta 13, sebaran biomassa tinggi (>100 ton/ha) tersebar di seluruh Estate E (Desa
Petai), sebagian kecil Estate F (Desa Petai), Estate A (Desa Sungai Paku dan Kota
baru) dan B (Desa Kota Baru), Estate C bagian Utara (Desa Kota Baru), Estate H
bagian Timur (Desa Petai). Luas keseluruhan sebaran biomassa kelas tinggi pada
Acacia mangium adalah sebesar 1242,49 ha (22% dari luas tanaman Acacia
mangium). Sebaran biomassa kelas tinggi mendominasi di wilayah ketinggian
120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luas 559,3 ha. Sebaran biomassa
paling kecil berada pada wilayah ketinggian >240 meter di atas permukaan laut
dengan luasan 62,14 ha. Sedangkan pada wilayah ketinggian 60 -120 meter di atas
permukaan laut seluas 310,72 ha menempati urutan ke-2; pada wilayah ketinggian
4-57 meter di atas permukaan laut memiliki luas sebesar 186,43 ha menempati
urutan ke-3, dan pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut
seluas 124,29 ha menempati urutan ke-4.
Presentase sebaran biomassa Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.11. berikut ini.
15%
25%
45%
10%5% 0 - 60 mdpl
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
75
Universitas Indonesia
Gambar 5.11. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi
Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng
Berdasarkan wilayah kemiringan lereng, sebaran biomassa kelas tinggi
tersebar pada wilayah kemiringan lereng 8 - 15% seluas 435,01 ha sebagai
wilayah sebaran terluas. Pada wilayah datar ( 0 - 2%) besaran biomassa kelas
tinggi mempunyai luasan sebesar 310,72 ha sebagai urutan ke-2. Sebaran
biomassa tinggi pada wilayah kemiringan >25% memiliki luasan terkecil yaitu
sebesar 62,14 ha. Sedangkan pada wilayah kemiringan lereng 15 - 25% memiliki
luas sebesar 248,58 ha atau 20% dari luas total biomassa Acacia mangium kelas
tinggi.
Presentase sebaran biomassa Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan jenis
tanah disajikan dalam Gambar 5.12. berikut ini.
Gambar 5.12. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi
Berdasarkan Jenis Tanah
Berdasarkan jenis tanah yang ada, sebaran biomassa kelas tinggi terdapat
pada jenis tanah podsolik pada mineral MBI seluas 310,72 ha, mineral AHK
seluas 211,29 ha, mineral SAR seluas 285,86 ha, mineral BKN seluas 186,43 ha,
25%
15%
35%
20%
5%0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
25%
17%
23%
19%
15%
1%MBI
AHK
SAR
BKN
BYN
SPK
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
76
Universitas Indonesia
mineral BYN seluas 12,43 ha. Biomassa kelas tinggi mendominasi pada jenis
tanah mineral MBI (podsolik).
5.5.2. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa berdasarkan kondisi fisik wilayah
Sektor Logas Selatan disajikan pada Lampiran 4 dan presentase sebarannya
disajikan pada Gambar 5.13. berikut ini.
Gambar 5.13. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa dibagi dalam tiga kelas (3) yaitu
biomassa kelas rendah seluas 4,93 ha atau hanya sebesar 8% dari total luas
sebaran biomassa, biomassa Acacia crassicarpa; kelas sedang seluas 48,05 ha
atau 70%; dan kelas tinggi seluas 8,62 ha atau sebesar 14%. Biomassa Acacia
crassicarpa didominasi oleh biomassa kelas rendah.
a. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha)
Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 6, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas rendah terdapat di Estate I (Desa Kebun Lado).
Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.14. berikut ini.
Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah
Berdasarkan Wilayah Ketinggian
8%
78%
14%
Rendah
Sedang
Tinggi
5%
85%
10%
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel pada Lampiran 6, biomassa Acacia crassicarpa kelas
rendah mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan
laut dengan luasan sebesar 4,19 ha, presentase 85%. Sebaran terkecil terletak pada
wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan 0,25 ha.
Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di
atas permukaan laut dengan luasan sebesar 0,49 ha. Berbeda dengan kondisi kelas
biomassa yang lain, kelas biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah hanya
tersebar pada wilayah ketinggian antara 60 sampai 240 meter di atas permukaan
laut.
Presentase biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.15. berikut ini.
Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah
Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 1,43
ha atau sebesar 29% dari total luas biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah.
Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas sebesar
0,54 ha. Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah tersebar di seluruh
kelas wilayah kemiringan lereng, hanya saja luasannya tidak begitu besar. Pada
lereng 0 - 2% biomassa seluas 0,74 ha, pada lereng 2 - 8% biomassa seluas
1,23 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas 0,99 ha. Kecenderungan sebaran
biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah terdapat pada kelas lereng yang
sedang.
15%
25%
29%
20%
11% 0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa
Acacia crassicarpa adalah hanya terdapat pada tingkat umur 4 tahun, dan
luasannya hanya 61,6 ha. Kondisi ini menyebabkan sebaran biomassa tidak begitu
bervariasi berdasarkan tingkat umur, namun biomassa yang dihasilkan tetap
terbagi menjadi tiga kelas karena memiliki tingkat kehijauan yang berbeda.
Presentase biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan jenis
tanah disajikan dalam Gambar 5.16. berikut ini.
Gambar 5.16. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah
podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 1,97 ha atau 40% dari total luas biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada
mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan bersisi terjal di
atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 1,73 ha atau mencakup
35% dari luas total biomassa kelas rendah untuk jenis tanaman Acacia
crassicarpa. Sedangkan pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan
jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 1,23 ha atau sebesar 25%.
Untuk sebaran biomassa Acacia crassicarpa tidak begitu bervariasi menurut jenis
tanah karena luas tanamannya juga tidak mendominasi di Sektor Logas Selatan.
40%
35%
25%MBI
AHK
SAR
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
79
Universitas Indonesia
b. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha)
Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang
berdasarkan wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.17. berikut ini.
Gambar 5.17. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas
Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Biomassa Acacia crassicarpa tersebar hanya pada wilayah ketinggian 60 -
240 meter di atas permukaan laut. Biomassa Acacia mangium kelas sedang
mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut
dengan luasan sebesar 40,84 ha, presentase 85% dari total luas biomassa Acacia
crassicarpa. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di
atas permukaan laut dengan luasan 0,48 ha atau hanya sebesar 1%. Sedangkan
pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut memiliki luas
sebesar 6,73 ha atau sebesar 14%.
Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang
berdasarkan wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.18. berikut ini.
Gambar 5.18. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang
Berdasarkan Kemiringan Lereng
1%
85%
14%60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
3%
36%
50%
10%1%
0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 1,43
ha atau sebesar 29% dari total luas biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang.
Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas sebesar
84,74 ha. Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang tersebar di seluruh
kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 0 - 2% biomassa seluas 282,48 ha,
pada lereng 2 - 8% biomassa seluas 197,73 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas
706,19 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang
terdapat pada kelas lereng rendah.
Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.19. berikut ini.
Gambar 5.19. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah
podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 33,64 ha atau 70% dari luas total biomassa
Acacia crassicarpa kelas sedang. Pada mineral MBI yaitu dataran sedimen
berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 9,61 ha.
Sedangkan pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan
bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 4,81 ha
atau mencakup 10% dari luas total biomassa kelas sedang untuk jenis tanaman
Acacia crassicarpa.
20%
10%
70%
MBI
AHK
SAR
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
81
Universitas Indonesia
c. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Tinggi (>100 ton/ha)
Biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi tersebar hanya pada wilayah
ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut. Biomassa Acacia crassicarpa
kelas tinggi memiliki luasan sebesar 40,84 ha. Karena jumlah tanaman yang relatif
sedikit maka sebaran biomassa Acacia crassicarpa juga sedikit luasannya.
Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.20. berikut ini.
Gambar 5.20. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Tinggi
Berdasarkan Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 15 - 25% dengan
luasan sebesar 6,38 ha atau sebesar 74% dari total luas biomassa Acacia
crassicarpa kelas tinggi. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 2 - 8% yang hanya
memiliki luas sebesar 0,09 ha. Sedangkan pada wilayah dengan kemiringan
lereng 8 - 15% seluas 1,98 ha. Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas
tinggi tidak tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng karena hanya
tersebar pada wilayah kemiringan 0 - 25%.
Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah
podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 6,03 ha atau 70% dari luas total sebaran
biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi. Sisa sebarnnya terdapat pada mineral
SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan
kambisol seluas 2,59 ha atau 30% dari luas total biomassa Acacia crassicarpa
kelas sedang. Jumlah keseluruhan luas sebaran biomassa kelas tinggi pada jenis
Acacia crassicarpa adalah 8,62 ha.
2%
1%
23%
74%
0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
82
Universitas Indonesia
5.5.3. Sebaran Biomassa Eucalyptus
Sebaran biomassa Eucalyptus berdasarkan kondisi fisik dan wilayah
disajikan dalam tabel Lampiran 4 serta presentase sebarannya disajikan pada
Gambar 5.21. berikut ini.
Gambar 5.21. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah memiliki luasan sebesar 436,39
ha atau berdasarkan Gambar 5.22 sebesar 38% dari luas total tanaman Eucalyptus.
Pada kelas sedang, luas sebaran biomassa Eucalyptus memiliki luasan sebesar
516,78 ha atau 45% dari luas total tanaman Eucalyptus. Sedangkan sebaran
biomassa kelas tinggi memiliki luasan sebesar 195,23 ha atau 17% dari luas
tanaman Eucalyptus.
a. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha)
Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 7, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas rendah terdapat di Estate G (Desa Petai) dan
Estate H (Desa Petai. Presentase sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas
rendah berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.22. berikut ini.
Gambar 5.22. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah
Berdasarkan Wilayah Ketinggian
38%
45%
17% Rendah
Sedang
Tinggi
15%
65%
20% 60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
83
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel pada Lampiran 10, biomassa Eucalyptus kelas rendah
mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut
dengan luasan sebesar 283,65 ha, presentase 65%. Sebaran terkecil terletak pada
wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan 65,46 ha.
Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di
atas permukaan laut dengan luasan sebesar 87,28 ha. Kecenderungan sebaran
biomassa Eucalyptus kelas rendah terdapat pada ketinggian 60-240 meter di atas
permukaan laut.
Presentase biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.23. berikut ini.
Gambar 5.23. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah
Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah kemiringan
lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 130,92 ha
sebesar 30%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% yang hanya memiliki
luas sebesar 43,64 ha. Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah tersebar di
seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 - 8% biomassa seluas
395,47 ha, pada lereng 15 - 25% seluas 316,37 ha, dan pada lereng >25% seluas
237,28 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah terdapat
pada kelas lereng sedang.
Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa
Eucalyptus kelas rendah adalah pada tanaman berumur 1 dan 2 tahun yang
terletak di Estate G dan H (Desa Petai). Faktor biofisik tanaman sangat
berpengaruh pada besaran biomassa tanaman karena ukuran diameter batang
berbanding lurus dengan biomassa .
10%
18%
30%
25%
17%
0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
84
Universitas Indonesia
Presentase biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
disajikan dalam Gambar 5.24 berikut ini.
Gambar 5.24. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah
podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 240,01 ha. Biomassa kelas rendah juga
tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan
bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 174,56 ha
atau mencakup 70% dari luas total biomassa kelas rendah untuk jenis tanaman
Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah
podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 21,82 ha.
b. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha)
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan
ketinggian wilayah disaiikan dalam Gambar 5.25. berikut ini.
Gambar 5.25. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang
Berdasarkan Wilayah Ketinggian
20%
10%
70%
MBI
AHK
SAR
3%
40%
52%
5%
0 - 60 mdpl
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
85
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel pada Lampiran 7, biomassa Eucalyptus kelas rendah
mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut
dengan luasan 268,73 ha dan presentase sebesar 52%. Sebaran terkecil terletak
pada wilayah ketinggian 0 - 60 meter di atas permukaan laut dengan luasan 15,5
ha. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter
di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 206,71 ha, presentase 40%.
Sedangkan pada ketinggian 180-240 meter di atas permukaan laut dengan luasan
sebesar 25,84 ha dengan presentase sebesar 5%. Kecenderungan sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah terdapat pada ketinggian 0-240 meter di atas permukaan
laut, tidak melebihi ketinggian 240 meter di atas permukaan laut.
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.26. berikut ini.
Gambar 5.26. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang
Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah kemiringan
lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 232,55 ha
sebesar 45%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% dan >25% yang hanya
memiliki luas sebesar 51,68 ha, presentase 10%. Sebaran biomassa Eucalyptus
kelas rendah tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 -
8% biomassa seluas 77,52 ha, dan pada lereng 15 -25% seluas 103,36 ha.
Kecenderungan sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah terdapat pada kelas
lereng sedang.
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.27. berikut ini.
10%
15%
45%
20%
10%0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
86
Universitas Indonesia
Gambar 5.27. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang
Berdasarkan Jenis Tanah
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah
podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 284,23 ha, presentase sebesar 55%.
Biomassa kelas rendah juga tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu
punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah
podsolik seluas 180,87 ha atau mencakup 35% dari luas total biomassa kelas
rendah untuk jenis tanaman Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan
bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 25,84 ha.
Kondisi yang sama terdapat pada mineral BKN seluas 25,84 ha.
c. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi (>100 ton/ha)
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.28. berikut ini.
Gambar 5.28. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi
Berdasarkan Wilayah Ketinggian
55%35%
5% 5% MBI
AHK
SAR
BKN
10%
60%
20%
3% 7%0 - 60 mdpl
60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
87
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel pada Lampiran 7, biomassa Eucalyptus kelas tinggi
mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut
dengan luasan sebesar 117,14 ha, presentase 60%. Sebaran terkecil terletak pada
wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 5,86 ha.
Biomassa kelas tinggi juga tersebar pada wilayah ketinggian > 240 meter di atas
permukaan laut dengan luasan sebesar 13,67 ha. Pada wilayah ketinggian 120 -
180 meter memiliki luas sebesar 39,05 ha. Kecenderungan sebaran biomassa
Eucalyptus kelas tinggi terdapat pada ketinggian 60 - 240 meter di atas permukaan
laut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suatu wilayah maka nilai
biomassa nya akan cenderung kecil.
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.29. berikut ini.
Gambar 5.29. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan
Wilayah Kemiringan Lereng
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan wilayah kemiringan
lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 68,33 ha sebesar
35%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas
sebesar 29,28 ha atau hanya sebesar 15%. Sebaran biomassa Eucalyptus kelas
tinggi tidak tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 -
8% biomassa seluas 58,57 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas 39,05 ha.
Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan jenis
tanah disajikan dalam Gambar 5.30. berikut ini.
0%
30%
35%
20%
15%
0 - 2 %
2 - 8 %
8 - 15 %
15 - 25 %
>25 %
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
88
Universitas Indonesia
Gambar 5.30. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan
Jenis Tanah
Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah
podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 117,14 ha, presentase sebesar 60% dari
luas total sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi. Biomassa kelas rendah
juga tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-
punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik
seluas 19,52 ha atau mencakup 10% dari luas total biomassa kelas rendah untuk
jenis tanaman Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa
dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 48,81 ha dengan
presentase sebesar 25%. Sedangkan pada mineral BKN yaitu lembah aluvium
dengan jenis tanah gleisol, aluvial, dan kambisol memiliki luasan sebesar 9,76
sebagai presentase terkecil.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka secara umum dapat digambarkan
bahwa biomassa semua kelas menyebar hampir di seluruh kondisi fisik wilayah.
Faktor ketinggian tidak menjadi faktor utama dalam penentuan besarnya nilai
biomassa, karena faktor umur merupakan faktor utama penentu besarnya nilai
biomassa suatu tanaman. Hal ini yang menyebabkan dengan bertambahnya nilai
ketinggian suatu wilayah tidak selalu berpengaruh terhadap pertambahan nilai
biomassa. Pada wilayah ketinggian yang rendah dapat dihasilkan nilai biomassa
yang tinggi dikarenakan tingkat umur tanaman yang lebih tinggi, serta sebaliknya,
pada ketinggian wilayah yang tinggi dapat dijumpai nilai biomassa yang tinggi jika
tingkat umur tanamannya tinggi.
60%
10%
25%
5% MBI
AHK
SAR
BKN
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
89
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa berdasarkan tingkat kemiringan lereng menunjukkan
bahwa nilai biomassa tanaman lebih besar pada tingkat kelerengan yang relatif
berbukit. Hal ini tidak dipengaruhi oleh karena kerapatan tanaman, karena sistem
penanaman diatur dengan jarak yang relatif seragam. Namun, pada kondisi di
lapangan dijumpai bahwa wilayah yang relatif datar memiliki nilai kerapatan yang
tinggi sehingga berpengaruh pada jumlah tanaman dan massa yang dihasilkan.
Sedangkan pada wilayah yang sedikit curam memiliki tingkat kerapatan yang
rendah karena hambatan fisik wilayah dalam kegiatan penanaman.
Secara umum, semakin terjal nilai kelerengan maka akan semakin rendah
nilai biomassa suatu tanaman terkait dengan kerapatan vegetasi tanaman dan
penerimaan cahaya matahari yang menunjang keoptimalan pertumbuhan tanaman.
Sebaran biomassa berdasarkan jenis tanah yang terdapat di Sektor Logas Selatan
menunjukkan bahwa nilai biomassa yang rendah terdapat seluruhnya pada jenis
tanah mineral AHK dan MBI . Mineral AHK (Air Hitam Kanan) berupa
punggung-punggung bersisi terjal di atas endapan bertufa. Mineral MBI (Muara Beliti)
berupa dataran dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang. Jenis
tanahnya berupa podsolik, oksisol, dan kambisol. Jika dilihat dari bentuk medan yang ada,
maka kondisi tanah yang berpengaruh rendahnya biomassa adalah dari mudahnya tanah
mineral tererosi karena terletak pada punggung-punggung bersisi terjal dan bergelombang
sehingga akan mudah tererosi oleh aliran air. Namun, jenis mineral batuan dan tanah yang
ada di Sektor Logas Selatan tidak menjadi faktor utama bagi besar kecilnya nilai
biomassa. Hal ini dikarenakan bahwa dijumpai jenis tanah podsolik dan oksisol
menyebar pada seluruh kelas biomassa.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
90 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN
Sebaran biomassa kayu Hutan Tanaman Industri dari jenis Acacia mangium,
Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kriteria
rendah (0 – 40 ton/ha) menyebar di bagian Utara, kriteria sedang (40 – 100
ton/ha) menyebar di bagian Tengah, dan kriteria tinggi menyebar di bagian Barat.
Berdasarkan kondisi fisik wilayah Sektor Logas Selatan, sebaran biomassa kayu
berdasarkan faktor fisik berupa ketinggian wilayah dan kemiringan lereng, serta
jenis tanah menunjukkan bahwa sebaran biomassa tanaman terdapat pada
ketinggian 4 – 388 mdpl, dan pada tingkat kemiringan lereng yang landai sampai
berbukit yaitu pada 0 – 25%. Berdasarkan jenis tanah, sebagian besar pada
mineral AHK (Air Hitam Kanan) berupa punggungan-punggungan bersisi terjal di
atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol. Pada
wilayah ketinggian berlaku bahwa dengan bertambahnya nilai ketinggian suatu
wilayah tidak selalu berpengaruh terhadap pertambahan nilai biomassa. Pada
wilayah kemiringan lereng berlaku bahwa semakin terjal kemiringan lereng maka
nilai biomassa akan semakin rendah karena berpengaruh pada tingkat penyerapan
air dari dalam tanah dan intensitas penerimaan cahaya matahari. Sedangkan pada
kondisi tanah yang terdapat pada medan yang terjal dan berbukit akan cenderung
mudah tererosi.
Berdasarkan uji korelasi nilai NDVI dengan biomassa kayu HTI diperoleh
nilai r sebesar 0,461 dengan signifikansi 0,000. Nilai r2 sebesar 0,212
menunjukkan bahwa besarnya nilai NDVI pada setiap piksel Citra Landsat 7
ETM+ dapat mewakili sebesar 21,2% dalam pendugaan biomassa Hutan Tanaman
Industri.
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
91 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Adam, E., Onisimo M., & Denis R. 2010. Multispectral and Hyperspektral
Remote Sensing for Identification and Maping of Wetland Vegetation.
Journal of Wetland Ecol Manage, 18, 281 – 296
Barr, C, Dermawan, A., Purnomo H. dan Komarudin,H. 2010. Financial
governance and Indonesia's Reforestation Fund during the Soeharto and
postSoeharto periods, 1989-2009: A political economic Analysis of lessons
for REDD+. Occasional Paper 52. Bogor : CIFOR
Bombelli, Antonio, Valerio A., Heiko B. 2009. Biomass; Assesment of The Status
of The Development of The Standard For The Terrestrial Essential
Climate Variable. Rome: Global Terrestrial Observing System
Dahlan. 2003. Estimasi Karbon Tegakan Acasia mangium Menggunakan Citra
Landsat ETM+ dan SPOT-5: Studi Kasus di BPKH Parung Panjang KPH
Bogor. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB
Delaney, M. 1999. Field Test of Carbon Monitoring for Home Gardens In
Indonesia. In: Field Tests of Carbon Monitoring Methods in Forestry
Project. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International,
Airlington, VA, USA. P45-51
Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Kehutanan tahun 2006 - 2025. Jakarta: Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta:
Departemen Kehutanan
Forest Watch Indonesia. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor: FWI
Goetz, Alexander F. H., John B. W., William L. B. 1985. Optical Remote Sensing
of the Earth. USA: IEEE
Heriansyah, I. 2009. Potensi Hutan Tanaman Industri Dalam Mensequester
Karbon: Studi Kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Bogor:
Perum Perhutani
Irwanto. 2003. Budidaya Tanaman Kehutanan. Jakarta: Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
92
Universitas Indonesia
JianGuang, W., LIU Q., XIAO Q., LI X.W. 2008. Modelling the Land Surface
Reflectance for Optical Remote Sensing Data in Rugged Terrain. Beijing:
Remote Sensing Application of China Academy
Kerekes, J. P. 1989. Modeling, Simulation, and Analysis of Optical Remote
Sensing. Indiana: Purdue University
Kusmana C, Abe K, and Watanabe A. 1992. An Estimation of Above Ground Tree
Biomass of Mangrove Forest in East Sumatera. Indonesia. Tropic 1992;
vol. 1(4): 243-254
Leimgruber, P., Catherin A.C., Alison L. 2005. The Impact of Landsat Satellite
Monitoring on Conservation Biology. UK: University of Kent
Lillesand T. M. And R. W. Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image
Interpretation. New York: John Willey and Sons
Lopies, R. 2010. Karakteristik dan Spesifikasi Satelit Landsat. Jakarta:
Perencanaan Inderaja
Mack, P. E. 1990. Viewing the Earth.The Social Construction of the Landsat
Satellite System. Cambridge: MIT Press
Malik, J. 2009. Sari Hasil Penelitian Mangium.Bogor: CIFOR
Mitchard, E. T. A., S. S. Saatchi, I. H. Woodhouse, G. Nangendo, N. S. Ribeiro,
M. Williams, C. M. Ryan, S. L. Lewis, T. R. Feldpausch, and P. Meir.
2009. Using Satellite Radar Backscatter to Predict Above-Ground
Woody Biomass: A Consistent Relationship Across Four Different
Africant Landscapes. New York: Geophysical Research
Murdiarso D., Van Noordwijk, Suyanto A. 1999. Modelling Global Change
Impact on Soil Environment. Bogor: IC - SCA Report No.6 BIOTROP -
GCTE/Impact Center For Southeast Asia (IC - SCA)
Onrizal. 2006. Allometric Biomass and Carbon Stock Equation of Planted Acacia
crassicarpa in North Sumatera. Medan: USU
Planning. 2011. Deliniasi Mikro Kabupaten Kuantan Singingi. Riau: Riau Fiber,
PT. RAPP
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Powel, M.H. 1999. Effect Of Inventory Precision And Variance On The
Estimated Number Of Sample Plots And Inventory Variable Cost: The
Noel Kempff Mercado Climate Action Project. Winrock International.
Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International. Airlington,
VA, USA
Prasad, S., Lori M. B, Jocelyn C. 2011. Optical Remote Sensing. Berlin
Heidelberg: Springer
Purwanto, E. 1995. Kelestarian Hutan Tropis. Kehutanan Indonesia. Edisi No.2
1994/1995. Hal. 11-12)
Satoo T., Madgwijk HAL. 1982. Forest Biomass. Martinus Jijhoff/DRW. London:
Junk Publisher
Septiani, Y. 1998. Penanaman Pengayaan Dipterocarps untuk Kegiatan
Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar. Duta Rimba 218/XXIII/1998. Hal
10-14
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.lO.l/Kpts-II/2008 tanggal 6 November
2000 tentang Hutan Tanaman Industri
Thoma, D.P., S. C. Gupia, M. E. Baurer. 2004. Evaluation of Optical Remote
Sensing Models for Crop Residue Cover Assessment. Arizona:
Departemen of Soil, Water and Climate University of Minnesotta
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Peraturan Pembangunan Hutan
Tanaman Industri (HTI)
Vladutescu, D. V. 2008. Optical Remote Sensing of Properties and Concentration
of Atmospheric Trace constituent. New York: The City University of New
York
Whitten AJ., Damanik J., Hisyam N. 1984. The Ecological of Sumatra.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Wulder, M. 1998. Optical Remote Sensing Techniques for the Assessment of
Forest Inventory and Biophysical Parameters. Forest Research
Application Pasific Forestry Center
Zebua, A. 2008. Validasi Model Alometrik Biomassa di Atas Permukaan Tanah
Hutan Tanaman di IUPHHK PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sumatera Utara.
Medan: Skripsi Departemen Kehutanan FAPERTA USU
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
LAMPIRAN
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
94
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
Tabel 5.1. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia mangium Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Titik
Sampel
Koordinat UTM Lokasi /
Desa
Estate (Blok
Tanam) NDVI
Kelas
NDVI
Umur
(Tahun)
Rata-Rata
Diameter
Setinggi
Dada (cm)
Rata-Rata
Tinggi
Tegakan
(m)
Volume
Kayu per
Pohon
Volume
Kayu
(m3/900m2)
Volume
Kayu
(m3/ha)
Biomassa
per Pohon
Biomassa
(ton/900m2)
Biomassa
(ton/ha)
X Y
1 752865 9972944 Kota Baru A 0,30 Tinggi 1 8,1 3,3 0,012 1,43 15,86 15,70 1,88 20,93
2 752830 9973700 Kota Baru A 0,25 Tinggi 1 6,3 0,5 0,001 0,13 1,45 7,92 0,95 10,56
3 752763 9975153 Sungai Paku A 0,20 Sedang 1 6,9 0,6 0,002 0,19 2,09 10,15 1,22 13,53
4 752101 9973655 Kota Baru B 0,27 Tinggi 1 9,2 2,5 0,012 1,40 15,50 22,20 2,66 29,61
5 752130 9972915 Kota Baru B 0,07 Rendah 1 7,1 2,1 0,006 0,70 7,76 10,97 1,32 14,62
6 752140 9972233 Kota Baru B 0,29 Tinggi 1 8,0 2,3 0,008 0,97 10,78 15,18 1,82 20,24
7 751385 9971474 Kota Baru B 0,25 Tinggi 1 9,3 2,3 0,011 1,31 14,57 22,87 2,74 30,49
8 752796 9971474 Kota Baru B 0,18 Sedang 1 8,2 1,0 0,004 0,44 4,93 16,23 1,95 21,64
9 754283 9969323 Kota Baru A 0,32 Tinggi 2 9,9 3,3 0,018 2,13 23,70 27,11 3,25 36,15
10 752833 9969338 Kota Baru B 0,32 Tinggi 2 11,6 3,5 0,026 3,11 34,51 41,74 5,01 55,65
11 752833 9962073 Petai D 0,30 Tinggi 2 11,3 3,6 0,025 3,03 33,68 38,86 4,66 51,82
12 749933 9967873 Kota Baru D 0,34 Tinggi 2 8,5 3,2 0,013 1,52 16,94 17,90 2,15 23,87
13 751383 9963523 Petai D 0,34 Tinggi 2 8,2 3,1 0,011 1,37 15,27 16,23 1,95 21,64
14 751383 9964973 Petai D 0,27 Tinggi 2 11,2 2,1 0,014 1,74 19,30 37,93 4,55 50,58
15 752833 9959173 Kebun Lado G 0,36 Tinggi 2 9,1 1,2 0,005 0,66 7,28 21,55 2,59 28,74
16 755733 9959173 Petai H 0,36 Tinggi 2 15,2 4,8 0,061 7,31 81,25 87,11 10,45 116,15
17 752833 9966423 Kota Baru C 0,30 Tinggi 3 9,0 1,9 0,008 1,01 11,28 20,92 2,51 27,89
18 753568 9966413 Kota Baru C 0,36 Tinggi 3 14,8 5,8 0,070 8,38 93,08 81,01 9,72 108,02
19 753546 9965843 Petai C 0,29 Tinggi 3 16,4 3,9 0,058 6,92 76,85 107,13 12,86 142,84
20 752840 9967114 Kota Baru C 0,29 Tinggi 3 14,8 8,1 0,097 11,70 129,99 81,01 9,72 108,02
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
95
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia mangium Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot) Lanjutan
Titik
Sampel
Koordinat UTM Lokasi /
Desa
Estate (Blok
Tanam) NDVI
Kelas
NDVI
Umur
(Tahun)
Rata-Rata
Diameter
Setinggi
Dada (cm)
Rata-Rata
Tinggi
Tegakan
(m)
Volume
Kayu per
Pohon
Volume
Kayu
(m3/900m2)
Volume
Kayu
(m3/ha)
Biomassa
per Pohon
Biomassa
(ton/900m2)
Biomassa
(ton/ha) X Y
21 752075 9965843 Petai C 0,36 Tinggi 3 14,0 6,5 0,070 8,40 93,34 69,64 8,36 92,85
22 752075 9966420 Kota Baru C 0,07 Rendah 3 12,4 8,5 0,072 8,62 95,76 50,05 6,01 66,73
23 752068 9965383 Petai C 0,34 Tinggi 3 13,0 8,4 0,078 9,36 104,01 56,92 6,83 75,89
24 747865 9962008 Petai E 0,15 Sedang 3 8,1 4,5 0,016 1,95 21,63 15,70 1,88 20,93
25 750007 9962073 Petai E 0,36 Tinggi 4 12,9 10,1 0,092 11,08 123,14 55,73 6,69 74,31
26 750007 9960623 Petai F 0,34 Tinggi 4 13,9 6,7 0,071 8,54 94,84 68,29 8,20 91,06
27 750020 9961288 Petai F 0,34 Tinggi 4 13,6 7,2 0,073 8,78 97,57 64,35 7,72 85,81
28 749217 9961298 Petai F 0,36 Tinggi 4 12,7 7,7 0,068 8,19 90,99 53,41 6,41 71,21
29 750765 9962087 Petai F 0,36 Tinggi 4 15,6 5,5 0,074 8,83 98,07 93,50 11,22 124,66
30 753832 9958230 Kebun Lado G 0,32 Tinggi 4 15,7 10,6 0,144 17,23 191,43 95,14 11,42 126,85
31 754293 9958230 Kebun Lado I 0,38 Tinggi 4 12,2 2,6 0,021 2,55 28,35 47,88 5,75 63,84
32 754764 9957733 Kebun Lado I 0,30 Tinggi 4 12,6 4,0 0,035 4,19 46,53 52,27 6,27 69,70
33 749933 9964973 Petai D 0,36 Tinggi 5 13,8 9,7 0,102 12,18 135,34 66,96 8,04 89,29
34 749944 9965873 Petai D 0,30 Tinggi 5 13,4 4,7 0,046 5,56 61,83 61,81 7,42 82,41
35 750385 9965873 Petai D 0,38 Tinggi 5 15,5 14,2 0,187 22,50 249,95 91,87 11,02 122,50
36 749944 9965474 petai D 0,38 Tinggi 5 14,4 7,2 0,082 9,84 109,39 75,19 9,02 100,25
37 749483 9965484 Petai D 0,32 Tinggi 5 17,2 9,2 0,150 17,95 199,41 121,97 14,64 162,62
Jumlah 434,10 186,40 1,843 221,19 2457,67 1840,42 220,85 2453,89
Rata-rata 0,30 11,73 5,04 0,050 5,98 66,42 49,74 5,97 66,32
Maksimum 0,38 17,20 14,20 0,187 22,50 249,95 121,97 14,64 162,62
Minimum 0,07 6,30 0,50 0,001 0,13 1,45 7,92 0,95 10,56
Standar deviasi 0,08 3,08 3,25 0,046 5,54 61,55 31,31 3,76 41,75
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
96
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
Tabel 5.2. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia crassicarpa Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Titik
Sampel
Koordinat UTM Lokasi /
Desa
Estate (Blok
Tanam) NDVI
Kelas
NDVI
Umur
(Tahun)
Rata-Rata
Diameter
Setinggi
Dada (cm)
Rata-Rata
Tinggi
Tegakan
(m)
Volume
Kayu per
Pohon
Volume
Kayu
(m3/900m2)
Volume
Kayu
(m3/ha)
Biomassa
per Pohon
Biomassa
(ton/900m2)
Biomassa
(ton/ha)
X Y
1 754520 9959166 Kebun Lado I 0,36 Tinggi 4 16,4 9,4 0,139 16,67 185,23 135,49 16,26 180,65
2 754514 9959348 Kebun Lado I 0,36 Tinggi 4 18,5 11,9 0,224 26,86 298,40 180,90 21,71 241,19
3 754787 9956973 Kebun Lado I 0,38 Tinggi 4 14,5 11,5 0,133 15,94 177,15 100,83 12,10 134,44
4 754976 9957128 Kebun Lado I 0,36 Tinggi 4 12,4 8,6 0,073 8,72 96,88 69,28 8,31 92,37
5 755177 9956973 Kebun Lado I 0,36 Tinggi 4 16,1 9,4 0,134 16,07 178,52 129,62 15,55 172,82
6 754987 9956801 Kebun Lado I 0,36 Tinggi 4 16,6 10,4 0,157 18,90 209,97 139,48 16,74 185,98
7 755171 9956796 Kebun Lado I 0,27 Tinggi 4 12,8 3,2 0,029 3,46 38,41 74,76 8,97 99,68
8 755394 9956790 Kebun Lado I 0,38 Tinggi 4 13,6 6 0,061 7,32 81,31 86,47 10,38 115,29
9 755400 9956596 Pulau Padang I 0,34 Tinggi 4 16,7 9,8 0,150 18,02 200,25 141,51 16,98 188,68
10 755405 9956380 Pulau Padang I 0,32 Tinggi 4 18,8 10,3 0,200 24,01 266,72 188,01 22,56 250,68
11 755411 9956203 Pulau Padang I 0,30 Tinggi 4 16,5 12,8 0,191 22,98 255,32 137,48 16,50 183,30
12 755606 9956203 Pulau Padang I 0,29 Tinggi 4 15,3 6,6 0,085 10,19 113,20 114,70 13,76 152,93
Jumlah 1,58 189,12 2101,36 1498,52 179,82 1998,02
Rata-rata 0,34 15,68 9,16 0,24 29,10 323,29 124,88 14,99 166,50
Maksimum 0,38 18,8 12,8 1,58 189,12 2101,36 188,01 22,56 250,68
Minimum 0,27 12,4 3,2 0,03 3,46 38,41 69,28 8,31 92,37
Standar deviasi 0,04 2,04 2,73 0,40 48,57 539,63 37,74 4,53 50,32
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
97
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
Tabel 5.3. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Eucalyptus Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Titik
Sampel
Koordinat UTM Lokasi /
Desa
Estate (Blok
Tanam) NDVI
Kelas
NDVI
Umur
(Tahun)
Rata-Rata
Diameter
Setinggi
Dada (cm)
Rata-Rata
Tinggi
Tegakan
(m)
Volume
Kayu per
Pohon
Volume
Kayu
(m3/900m2)
Volume
Kayu
(m3/ha)
Biomassa
per Pohon
Biomassa
(ton/900m2)
Biomassa
(ton/ha)
X Y
1 754283 9975123 Sungai Paku A 0,15 Sedang 1 7,1 1,1 0,003 0,37 4,06 10,64 1,28 14,19
2 753475 9975140 Sungai Paku A 0,20 Sedang 1 5,9 1,4 0,003 0,32 3,57 6,60 0,79 8,80
3 755056 9975127 Kota Baru A 0,20 Sedang 1 4,1 0,9 0,001 0,10 1,11 2,58 0,31 3,44
4 755030 9975659 Sungai Paku A 0,18 Sedang 1 4,8 2 0,003 0,30 3,38 3,88 0,47 5,17
5 752833 9963523 Sungai Paku D 0,15 Sedang 2 6,7 4,3 0,011 1,27 14,14 9,16 1,10 12,22
6 752838 9963119 Petai D 0,23 Tinggi 2 7,1 5,5 0,015 1,83 20,31 10,64 1,28 14,19
7 752837 9962535 Petai D 0,18 Sedang 2 5,6 3,2 0,006 0,66 7,35 5,77 0,69 7,69
8 754283 9963523 Petai H 0,34 Tinggi 2 7,9 5,4 0,019 2,22 24,69 14,01 1,68 18,69
9 754659 9963545 Petai H 0,38 Tinggi 2 8 4,1 0,014 1,73 19,23 14,48 1,74 19,30
10 755711 9962590 Petai H 0,15 Sedang 2 7,6 2 0,006 0,76 8,46 12,68 1,52 16,91
11 754283 9957723 Kebun Lado G 0,15 Sedang 2 8,1 1,1 0,004 0,48 5,29 14,95 1,79 19,93
12 752830 9961737 Petai G 0,34 Tinggi 2 8,5 7 0,028 3,33 37,05 16,93 2,03 22,57
13 754279 9957297 Kebun Lado G 0,22 Tinggi 2 5,9 1,5 0,003 0,34 3,83 6,60 0,79 8,80
14 754283 9966423 Kota Baru C 0,36 Tinggi 3 10,1 5,8 0,033 3,90 43,35 26,41 3,17 35,21
15 752837 9964647 Petai C 0,29 Tinggi 3 11,9 10 0,078 9,34 103,75 40,32 4,84 53,76
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
98
Universitas Indonesia
Tabel 5.3. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Eucalyptus Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot) Lanjutan
Titik
Sampel
Koordinat UTM Lokasi /
Desa
Estate (Blok
Tanam) NDVI
Kelas
NDVI
Umur
(Tahun)
Rata-Rata
Diameter
Setinggi
Dada (cm)
Rata-Rata
Tinggi
Tegakan
(m)
Volume
Kayu per
Pohon
Volume
Kayu
(m3/900m2)
Volume
Kayu
(m3/ha)
Biomassa
per Pohon
Biomassa
(ton/900m2)
Biomassa
(ton/ha) X Y
16 752846 9964323 Petai C 0,34 Tinggi 3 9,2 9 0,042 5,02 55,81 20,76 2,49 27,68
17 752841 9963945 Petai C 0,20 Sedang 3 8,3 7,7 0,029 3,50 38,86 15,92 1,91 21,22
18 753540 9965000 Petai C 0,29 Tinggi 3 8,4 7,3 0,028 3,40 37,74 16,42 1,97 21,89
19 753859 9965008 Petai C 0,34 Tinggi 3 9,6 5,1 0,026 3,10 34,44 23,17 2,78 30,89
20 754144 9965012 Petai C 0,22 Tinggi 3 10,5 7,4 0,045 5,38 59,77 29,19 3,50 38,92
21 753863 9964659 Petai C 0,36 Tinggi 3 9,7 4,5 0,023 2,79 31,02 23,80 2,86 31,73
22 753540 9964667 Petai C 0,38 Tinggi 3 9,3 3,8 0,018 2,17 24,08 21,35 2,56 28,46
23 754616 9966425 Kota Baru C 0,07 Rendah 3 10,3 5,6 0,033 3,92 43,53 27,78 3,33 37,04
24 754612 9966758 Kota Baru C 0,34 Tinggi 3 11,1 9,1 0,062 7,39 82,15 33,69 4,04 44,92
25 754616 9967115 Kota Baru C 0,25 Tinggi 3 9,8 8,7 0,046 5,51 61,22 24,43 2,93 32,58
26 754281 9967119 Kota Baru C 0,27 Tinggi 3 10,3 6,2 0,036 4,34 48,19 27,78 3,33 37,04
Jumlah 0,612 73,48 816,39 459,94 55,19 613,25
Rata-rata 0,25 2,35 8,30 4,99 0,024 2,83 31,40 17,69 2,12 23,59
Maksimum 0,38 3,00 11,90 10,00 0,078 9,34 103,75 40,32 4,84 53,76
Minimum 0,07 1,00 4,10 0,90 0,001 0,10 1,11 2,58 0,31 3,44
Standar deviasi 0,09 0,75 2,00 2,78 0,020 2,36 26,27 9,71 1,17 12,95
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
99
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
Luas Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri
Jenis Tanaman Luas Total
Kelas Biomassa
Rendah Sedang Tinggi
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Acacia mangium 5649,5 1581,86 28 2824,75 50 1242,89 22
Acacia crassicarpa 61,6 4,93 8 48,05 78 8,62 14
Eucalyptus 1148,4 436,39 38 516,45 45 195,23 17
Jumlah 6859,5 2023,18 29 3389,25 49 1446,74 21
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
100
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
Sebaran Biomassa Acacia mangium
Acacia mangium - Biomassa Rendah
Acacia mangium - Biomassa Sedang
Acacia mangium - Biomassa Tinggi
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Ketinggian
(mdpl)
0 – 60 10 158,19
Ketinggian
(mdpl)
0 – 60 10 282,48
Ketinggian
(mdpl)
0 – 60 15 186,43
60 - 120 20 316,37
60 - 120 40 1129,9
60 - 120 25 310,72
120 - 180 55 870,02
120 - 180 27 762,68
120 - 180 45 559,30
180 - 240 10 158,19
180 - 240 20 564,95
180 - 240 10 124,29
>240 5 79,09
>240 3 84,74
>240 5 62,14
Jumlah 100 1581,86
Jumlah 100 2824,75
Jumlah 100 1242,89
Lereng (%)
0 - 2 10 158,19
Lereng (%)
0 - 2 10 282,48
Lereng (%)
0 - 2 25 310,72
2 - 8 25 395,47
2 - 8 7 197,73
2 - 8 15 186,43
8 - 15 30 474,56
8 - 15 55 1553,61
8 - 15 35 435,01
15 - 25 20 316,37
15 - 25 25 706,19
15 - 25 20 248,58
>25 15 237,28
>25 3 84,74
>25 5 62,14
Jumlah 100 1581,86
Jumlah 100 2824,75
Jumlah 100 1242,89
Jenis Tanah
MBI 22 348,01
Jenis Tanah
MBI 33 932,17
Jenis Tanah
MBI 25 310,72
AHK 70 1107,30
AHK 47 1327,63
AHK 17 211,29
SAR 5 79,09
SAR 6 169,49
SAR 23 285,86
BKN 1 15,82
BKN 4 112,99
BKN 19 236,15
BYN 2 31,64
BYN 7 197,73
BYN 15 186,43
Jumlah 100 1581,86
SPK 3 84,74
SPK 1 12,43
Jumlah 100 2824,75
Jumlah 100 1242,89
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
101
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 6
Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa
Acacia crassicarpa - Biomassa Rendah
Acacia crassicarpa - Biomassa Sedang
Acacia crassicarpa - Biomassa Tinggi
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Ketinggian
(mdpl)
60 - 120 5 0,25
Ketinggian
(mdpl)
60 - 120 1 0,48
Ketinggian
(mdpl)
60 - 120 0 0,00
120 - 180 85 4,19
120 - 180 85 40,84
120 - 180 100 8,62
180 - 240 10 0,49
180 - 240 14 6,73
180 - 240 0 0,00
Jumlah 100 4,93
Jumlah 100 48,05
Jumlah 100 8,62
Lereng (%)
0 - 2 15 0,74
Lereng (%)
0 - 2 3 1,44
Lereng (%)
0 - 2 2 0,17
2 - 8 25 1,23
2 - 8 36 17,30
2 - 8 1 0,09
8 - 15 29 1,43
8 - 15 50 24,03
8 - 15 23 1,98
15 - 25 20 0,99
15 - 25 10 4,81
15 - 25 74 6,38
>25 11 0,54
>25 1 0,48
>25 0 0,00
Jumlah 100 4,93
Jumlah 100 48,05
Jumlah 100 8,62
Jenis Tanah
MBI 40 1,97
Jenis Tanah
MBI 20 9,61
Jenis Tanah
MBI 70 6,03
AHK 35 1,73
AHK 10 4,81
AHK 0 0,00
SAR 25 1,23
SAR 70 33,64
SAR 30 2,59
Jumlah 100 4,93
Jumlah 100 48,05
Jumlah 100 8,62
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
102
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 7
Sebaran Biomassa Eucalyptus
Eucalyptus - Biomassa Rendah
Eucalyptus - Biomassa Sedang
Eucalyptus - Biomassa Tinggi
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Fisik Wilayah Kelas % ha
Ketinggian
(mdpl)
60 - 120 15 65,46
Ketinggian
(mdpl)
0 – 60 3 15,50
Ketinggian
(mdpl)
0 – 60 10 19,52
120 - 180 65 283,65
60 - 120 40 206,71
60 - 120 60 117,14
180 - 240 20 87,28
120 - 180 52 268,73
120 - 180 20 39,05
Jumlah 100 436,39
180 - 240 5 25,84
180 - 240 3 5,86
Lereng (%)
0 - 2 10 43,64
Jumlah 100 516,78
>240 7 13,6661
2 - 8 18 78,55
Lereng (%)
0 - 2 10 51,68
Jumlah 100 195,23
8 - 15 30 130,92
2 - 8 15 77,52
Lereng (%)
0 - 2 0 0,00
15 - 25 25 109,10
8 - 15 45 232,55
2 - 8 30 58,57
>25 17 74,19
15 - 25 20 103,36
8 - 15 35 68,33
Jumlah 100 436,39
>25 10 51,68
15 - 25 20 39,05
Jenis Tanah
MBI 20 87,28
Jumlah 100 516,78
>25 15 29,28
AHK 10 43,64
Jenis Tanah
MBI 55 284,23
Jumlah 100 195,23
SAR 70 305,47
AHK 35 180,87
Jenis Tanah
MBI 60 117,14
Jumlah 100 436,39
SAR 5 25,84
AHK 10 19,52
BKN 5 25,84
SAR 25 48,81
Jumlah 100 516,78
BKN 5 25,84
Jumlah 100 516,78
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012