Pretreatment Biomassa Lignoselulosa.pdf

download Pretreatment Biomassa Lignoselulosa.pdf

of 30

Transcript of Pretreatment Biomassa Lignoselulosa.pdf

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 1

    1.1.Pretreatment Biomassa Lignoselulosa

    Isroi, SSi., MSi.

    http://isroi.wordpress.com

    Pretreatment (perlakuan pendahuluan) biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk

    mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan teknologi biokonversi

    lignoselulosa dalam skala komersial (Mosier et al. 2005). Perlakuan pendahuluan merupakan

    tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses.

    Sebagai contoh perlakuan pendahuluan yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang

    digunakan dalam proses hidrolisis (Wyman et al. 2005). Perlakuan pendahuluan juga dapat

    meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa perlakuan pendahuluan

    kurang dari 20%, sedangkan dengan perlakuan pendahuluan dapat meningkat menjadi 90% dari

    hasil teoritis (Hamelinck et al. 2005). Tujuan dari perlakuan pendahuluan adalah untuk membuka

    struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah

    polymer polisakarida menjadi monomer gula.

    Tabel 4. Perlakuan pendahuluan biomassa lignoselulosa untuk produksi bioetanol

    Perlakuan

    pendahuluan

    Proses Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    Perlakuan

    pendahuluan

    mekanik atau

    fisik

    Milling:

    - ball milling

    - two-rol milling

    - hammer milling

    - mengurangi

    ukuran partikel

    - meningkatkan

    luas permukaan

    yang kontak

    (Taherzadeh &

    Karimi, 2008)

    (Sun & Cheng,

    2002)

    (Zhu, et al.,, 2005)

    Tulisan ini disarikan dari:

    Isroi, Millati R, Syamsiah S, Niklasson C, Cahyanto MN, Lundquist K, Taherzadeh MJ.

    2011. Biological pretreatment of lignocelluloses with white-rot fungi and its

    applications: A review. BioResources 6: 5224-5259.

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 2

    Perlakuan

    pendahuluan

    Proses Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    - colloid milling

    - vibrotory ball

    milling

    Irradiation:

    - gamma-ray

    - electron beam

    - microwave

    Lainnya:

    - hydrothermal

    - uap bertekanan

    tinggi

    - expansi

    - extrusi

    - pirolisis

    - air panas

    dengan enzim

    - mengurangi

    kristalisasi

    selulosa

    (Thomsen et al.,

    2008)

    (Ahring et al.,,

    1996)

    (Hendriks &

    Zeeman, 2009)

    (Eggeman &

    Elander, 2005)

    (Ohgren et al.,,

    2006)

    (Kabel et al.,,

    2007)

    Perlakuan

    pendahuluan

    kimia dan

    fisiko-kimia

    Explosion:

    - eksplosi uap

    panas

    - ammonia fiber

    explotion

    (AFEX)

    - eksplosi CO2

    - eksplosi SO2

    - meningkatkan

    area pemukaan

    yang mudah

    diakses

    - delignifikasi

    sebagian atau

    hampir

    keseluruhan

    - menurunkan

    (Sun & Cheng,

    2002)

    (Taherzadeh &

    Karimi, 2008)

    (Eggeman &

    Elander, 2005)

    (Eklund et al.,

    1995)

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 3

    Perlakuan

    pendahuluan

    Proses Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    Alkali:

    - sodium

    hidroksida

    - ammonia

    - ammonium sulfat

    - ammonia recycle

    percolation

    (ARP)

    - kapur (lime)

    Asam:

    - asam sulfat

    - asam fosfat

    - asam hidroklorat

    - asam parasetat

    Gas:

    - Clorin dioksida

    - Nitrogen

    dioksida

    - Sulfur dioksida

    Agen Oksidasi:

    - Hidrogen

    peroksida

    - oksidasi basah

    kristalisasi

    selulosa

    - menurunkan

    derajat

    polimerisasi

    - hidrolisis

    hemiselulosa

    sebagian atau

    keseluruhan

    (Negro et al.,

    2003)

    (Bower et al.,

    2008)

    (Cara et al., 2008)

    (Kim & Hong,

    2001)

    (Mosier, et al.,

    2005)

    (Saha & Cotta,

    2008)

    (Shimizu et al.,

    1998)

    (Sun & Chen,

    2008)

    (Sun & Chen,

    2008b)

    (Sun & Cheng,

    2005)

    (Zhang et al.,

    2008)

    (Kim & Lee, 2002)

    (Zhao et al., 2008)

    (Lloyd &

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 4

    Perlakuan

    pendahuluan

    Proses Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    - Ozone

    Pelarut untuk

    ekstraksi lignin:

    - ekstrasi etanol-

    air

    - ekstrasi benzene-

    air

    - ekstraksi etilen

    glikol

    - ekstraksi

    butanol-air

    - agen pemekar

    (swelling)

    Wayman, 2005)

    (Ahring et al.,

    1996)

    (Silverstein et al.,

    2007)

    Biologi - Jamur Pelapuk

    Putih

    - Aktinomicetes

    (Taniguchi et al.,

    2005)

    (Shi et al., 2008)

    (Keller et al.,

    2003)

    (Kirk & Chang,

    1981)

    Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik perlakuan pendahuluan telah dipelajari

    melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Perlakuan pendahuluan sebaiknya bisa memenuhi

    kebutuhan berikut ini: 1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 5

    pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) menghindari degradasi atau kehilangan

    karbohidrat; 3) menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses

    hidrolisis dan fermentasi, 4) biaya yang dibutuhkan ekonomis (Sun and Cheng 2002). Ringkasan

    berbagai teknik perlakuan pendahuluan yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel 4 di bawah

    ini. Teknik perlakuan pendahuluan yang telah dikembangkan lebih banyak dilakukan secara

    mekanik atau fisiko-kimia. Perbandingan berbagai metode perlakuan pendahuluan telah diulas

    secara mendalam oleh beberapa peneliti (Alvira et al. 2010, Hendriks and Zeeman 2009, Mosier

    et al. 2005, Taherzadeh and Karimi 2008).

    1.2.Pretreatment (Perlakuan pendahuluan) Biologi Biomassa Lignoselulosa

    Pemanfaatan JPP untuk pretreament biomassa lignocellulosa sudah dimulai sejak akhir

    tahun 1970-an. Perlakuan pendahuluan biologi telah dimanfaatkan untuk hidrolisis enzimatik

    lignosellulosa sejak awal tahun 1980-an, namun tidak banyak laporan setelah itu. Selanjutnya

    perlakuan pendahuluan biologi diteliti secara intensif dan banyak dimanfaatkan untuk pakan

    ternak dan pembuatan pulp (biopulping). Beberapa tahun terakhir pemanfaatan JPP untuk

    perlakuan pendahuluan kembali diteliti dan dilaporkan, seiring dengan maraknya penelitian

    biomassa lignosellulosa sebagai bahan baku bioetanol.

    Pretreament biologi biomassa lignoselulosa memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

    dengan perlakuan pendahuluan fisik/mekanik, kimia, atau fisiko-kimia, yaitu: a) lebih spesifik

    terhadap substrat maupun reaksinya, 2) membutuhkan energi yang lebih rendah, 3) hasil yang

    lebih tinggi terhadap produk yang diinginkan, 4) peluang transformasi yang tidak bisa dilakukan

    oleh reagen kimia (Kirk T.Kent and Chang 1981). Salah satu kelemahan perlakuan pendahuluan

    biologi adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, hingga beberapa minggu (Taniguchi et al.

    2005), sedangkan perlakuan pendahuluan fisik/kimia hanya beberapa menit atau jam saja

    (Taherzadeh and Karimi 2008). Pengaruh perlakuan pendahuluan biologi pada perubahan

    biomassa lignoselulosa antara lain adalah: penurunan kandungan lignin, penurunan derjat

    polimerisasi selulosa, dan penurunan derajat kristalisasi selulosa. Perlakuan pendahuluan

    biomassa lignoselulosa secara biologi kurang mendapatkan perhatian, khususnya untuk produksi

    bioetanol dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan secara fisika/mekanik, kimia atau fisiko-

    kimia (Hendriks and Zeeman 2009).

    Jamur Pelapuk Putih (JPP) merupakan kelompok mikroba yang paling banyak

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 6

    dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan biomassa lignoselulosa (Sun and Cheng 2002). JPP

    adalah satu-satunya mikroba yang dapat mendegradasi lignin secara sempurnya menjadi CO2.

    JPP menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), versatile

    peroksidase (VP) dan lakase (Lac) yang berperan di dalam degradasi lignin (Hammel and Cullen

    2008).

    Hatakka (1983) mempelajari perlakuan pendahuluan jerami gandung (wheat straw) oleh

    19 JPP dan menemukan bahwa 35% jerami diubah menjadi gula pereduksi oleh Pleurotus

    ostreatus dalam lima minggu. Hasil yang sama diperoleh pada perlakuan pendahuluan dengan

    Phanerochaete sordid 37 dan Pycnoporus cinnaboarinus 115 dalam waktu empat minggu.

    Taniguchi et al. (2005) mengevaluasi perlakuan pendahuluan biologi jerami padi dengan empat

    spesies JPP (Phanerochaeta chrysosporium, Tremetes versicolor, Ceriporiopsis subvermispro,

    dan Pleorotus ostreatus) untuk hidrolisis enzimatik. Perlakuan pendahuluan dengan Pleorotus

    ostreatus lebih banyak mendegradasi lignin daripada komponen holoselulosa, dan meningkatkan

    hasil hidrolisis enzimatik.

    Di Korea Lee et al. (2007) melakukan perlakuan pendahuluan biologi terhadap kayu

    dengan tiga jenis JPP, yaitu: Ceriporia lacerata, Stereum hirsutum, dan Polyporus brumalis,

    selama delapan minggu. Perlakuan kayu dengan S. hirsutum dapat meningkatkan hasil gula

    hingga 21,01% daripada kayu yang tidak di-perlakuan pendahuluan. Shi et al. (2008)

    memperlakukan sisa batang kapas (cotton stalk) dengan P. chysosporium. Fermentasi kultur

    padat batang kapas dengan kandungan air 75% tanpa penambahan garam mineral selama 14 hari

    dapat menurunkan kandungan lignin hingga 27,6%, sisa padatan yang diperoleh sebanyak

    71,1%, 41,6% karbohidrat tersedia.

    Ceriporiopsis subvermispora banyak dimanfaatkan untuk pembuatan pulp. Akhtar et al.

    (1992) memanfaatkan C subvermispora untuk membuat biomekanikal pulping. Perlakuan chip

    kayu dengan C. subvermispora selama 4 minggu dapat menurunkan sebesar 47% energi yang

    diperlukan untuk pembuatan pulp dan menurunkan 30% ekstrak resin dibandingkan dengan

    kontrol. (Blanchette & Burnes, 1988) menganalisa enam JPP (Coriolus versicolor, Dichomitus

    squalens, Phellinus pini, Phlebia tremellosus, Poria medulla-panis, dan Scytinostroma

    galactinum) untuk pembuatan biopulp. Jenis JPP dan tipe kayu sangat berpengaruh terhadap

    degradasi lignin dan selektivitas penghilangan lignin. Ditemukan pula variasi aktivitas enzim

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 7

    lignolitik dari strain JPP dari spesies yang sama. Mosai et al. (1999) memanfaatkan C.

    subvermispora untuk pembuatan biosulfite pulp. Inkubasi chip kayu selama 5 hari

    mengahasilkan: 5% penurunan kappa number, 11% peningkatan kecerahan (brightness) tanpa

    penurunan rendemen pulp. Chen et al. (2002) memanfaatkan P. chrysosporium untuk pembuatan

    biopulp dari jerami yang telah diperlakukan dengan uap panas (steam-exploded). Kandungan

    lignin berkurang hingga 60% pada hari ke-5 inkubasi dengan P. chrysosporium dan jerami

    langsung dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pulp. Yaghoubi et al. (2008) menemukan bahwa

    perlakuan pendahuluan jerami dengan C. subvermispora dalam pembuatan biochemical pulp

    memberikan kualitas pulp yang sangat baik, terutama pada daya tarik (tensile strength) dan burst

    factor.

    Perlakuan pendahuluan biologi biomassa dengan JPP juga dimanfaatkan untuk produksi

    biogas maupun pembuatan pakan ternak. Muller & Trosch (1986) menyeleksi 32 spesies JPP

    untuk perlakuan pendahuluan jerami gandum dalam produksi biogas. Perlakuan jerami dengan

    Pleurotus ostreatus memberikan penurunan lignin tercepat. Produksi biogas dari jerami yang

    telah diperlakukan dengan JPP lebih besar dua kali dibandingkan dengan jerami yang tidak

    diperlakukan. Karunanandaa & Varga (1996). memperlakukan jerami dengan 4 JPP (Cyuthus

    stercoreus (Cd), Phanerochaete chrysosporium (PC) and Pleurotus sajorcaju) yang

    dimanfaatkan untuk pakan ternak. Perlakuan jerami denga JPP secara signifikan meningkatkan

    uji pencernaan in vitro melalui peningkatan ketersediaan selulosa untuk pencernaan mikroba

    rumen.

    1.3.Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    Jamur yang terlibat dalam biodegradasi biomassa lignoselulosa dapat dibagi menjadi tiga

    kelompok utama, yaitu: jamur pelapuk putih (white-rot fungi), jamur pelapuk coklat (brown-rot

    fungi), dan jamur pelapuk lunak (soft-rot fungi), tergantung dengan tipe pelapukan yang

    disebabkan oleh jamur tersebut. Jamur pelapuk putih (JPP) dan jamur pelapuk coklat (JPC)

    termasuk di dalam kelompok basidiomycetes, sedangkan jamur pelapuk lunak (JPL) termasuk di

    dalam kelompok ascomycetes, dan aktivitasnya seringkali terkait dengan tinggi rendahnya

    kelembaban kayu (Blanchette R.A 1995). JPC lebih mendegradasi poliskarida di dalam biomassa

    lignoselulosa dan hanya sedikit melarutkan lignin. JPP adalah mikroba yang paling efisien dalam

    mendegradasi lignin menjadi CO2 (Hammel and Cullen 2008). Ligninolitik berhubungan dengan

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 8

    produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh JPP.

    1.3.1. Degradasi Biomassa Lignoselulosa oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    1.3.1.1. Enzim Ligninolitik dan Degradasi Lignin

    JPP menghadapi tiga tantangan utama dalam kemampuannya mendegradasi lignin.

    Pertama, polimer lignin berukuran besar oleh karena itu sistem ligninolitik harus ekstraseluler.

    Kedua, struktur lignin tidak memiliki ikatan yang dapat dihidrolisis, oleh karena itu mekanisme

    degradasi harus oksidatif bukan hidrolisis. Ketiga, karena struktur polimer yang stereoirreguler,

    enzim ligninolitik harus kurang sepesifik daripada enzim-enzim lainnya (Kirk T. Kent and Cullen

    1998).

    Perombakan lignin oleh JPP melibatkan aktivitas ligninolitik enzim yang diringkaskan

    pada Tabel 6. Enzim ekstraseluler utama yang terlibat dalam perombakan lignin adalah lignin

    peroksidase yang mengandung heme (Ligninase, LiP, E.C 1.11.1.14), mangan peroksidase (MnP,

    EC 1.11.1.13) dan lakase yang mengandung tembaga (Cu; benzenediol:oxygen oxidoreductase,

    EC 1.10.3.2)(Hatakka Annele 2001). Kelopok baru dari lignin peroksidase, mengkombinasikan

    sifat struktural dan fungsional dari LiP dan MnP, adalah versatile peroxidase (VP) (Hammel and

    Cullen 2008). VP dapat mengoksidasi Mn2+

    dan senyawa phenolik, seperti halnya dapat

    mengoksidasi senyawa aromatic nonphenolik seperti veratryl alcohol. Beberapa enzim aksesori

    tambahan juga terlibat dalam produksi hydrogen peroksidase. Glyoxal oxidase (GLOX) dan aryl

    alcohol oxidase (AAO; EC 1.1.3.7) termasuk dalam kelompok ini.

    Tabel 5. Enzim dan reaksinya yang terlibat di dalam degradasi lignin (Hatakka Annele 2001)

    Aktivitas enzim,

    singkatan

    Kofaktor atau

    substrat, Mediator

    Pengaruh utama atau reaksi

    Lignin peroksidase, LiP H2O2, veratryl

    alkohol

    Oksidasi cincin aromatic

    menjadi radikal kation

    Mangan peroksidase,

    MnP

    H2O2, Mn, asam

    organik sebagai agen

    pengkelat, thiol,

    lemak tak larut

    Okisasi Mn(II) menjadi

    Mn(III), mengkelat senyawa

    phenolik Mn(III) teroksidasi

    menjadi radikal phenolik;

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 9

    Aktivitas enzim,

    singkatan

    Kofaktor atau

    substrat, Mediator

    Pengaruh utama atau reaksi

    reaksi lain di dalam kehadiran

    senyawa lain

    Lakase, Lacc O2, mediator,

    misalnya:

    hydroxybenzotiazole

    atau ABTS

    Phenol dioksidasi menjadi

    radikal phenolik; reaksi lain di

    dalam kehadiran mediator

    Glyoxal oxidase, GLOX Glyoxal, methyl

    glyoxal

    Glyoxal dioksidasi menjadi

    asam glyoxylic; produksi H2O2

    Aryl alcohol oksidase,

    AAO

    Aromatic alcohol

    (anisyl, veratyl

    alcohol)

    Alcohol aromatic diokisasi

    menjadi aldehida; produksi

    H2O2

    Enzym lain yang

    memproduksi H2O2

    Beberapa senyawa

    organik

    O2 direduksi menjadi H2O2

    Gambar 12. -O-4 dari

    lignin dan reaksi pemecahan C C

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 10

    oleh LiP dari veratryl alcohol (Hammel and Cullen 2008).

    Lignin Peroksidase (LiP). Lignin Peroksidase (LiP) pertama kali ditemukan di media

    Phanerochaete chrysosporium dalam kondisi pertumbuhan kurang nitrogen. LiP adalah

    homoprotein monomerik dengan bobot molekul antara 40 kDa. Seperti enzim peroksidase

    lainnya, LiP memiliki siklus katalitik yang dinamakan reaksi ping-pong. Reaksi yang terjadi

    adalah H2O2 mengoksidasi enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron

    membentuk senyawa intermediat I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi substrat aromatik

    dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa intermediat II dan produk radikal

    bebas. Senyawa intermediat II yang dihasilkan dapat kembali mengoksidasi substrat lainnya

    sehingga terbentuk enzim awal dan produk radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas secara

    spontan atau bertahap inilah yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa

    inti pada cincin aromatik (Hammel and Cullen 2008).

    Mangan Peroksidase (MnP). Beberapa JPP yang tidak menghasilkan LiP diketahui

    dapat mendegradasi lignin, penelitian berikutnya mengungkapkan bahwa eznim yang berperan

    adalah mangan peroksidase (MnP) (Hammel and Cullen 2008). Beberapa kelompok JPP

    menghasilkan mangan peroksidase (MnP) dan kemudian diketahui bahwa MnP terdistribusi

    secara luas (Higuchi 2004). MnP juga merupakan oksidator kuat dan dapat mengoksidasi struktur

    phenolik tetapi tidak dapat mengoksidasi struktur nonphenolik lignin secara langsung, karena

    ketiadaan residu invariant tryptophan yang diperlukan untuk transfer elektron ke subtrat

    aromatik.

    Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+

    membentuk Mn3+

    dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang oleh adanya asam organik yang

    berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan Mn3+

    . Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan

    awal dioksidasi oleh H2O2 membentuk senyawa MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+

    dan senyawa fenol membentuk senyawa MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi

    kembali oleh Mn2+

    tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk. Adanya

    Mn2+

    bebas sangat penting untuk menghasilkan siklus katalitik yang sempurna.

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 11

    MnP + H2O2 -senyawa I + H2O

    MnP-senyawa I + Mn2+

    -senyawa II + Mn3+

    MnP- -senyawa II + A+ + H+

    MnP-senyawa II + Mn2+

    3+

    Lakase (Lac). Lakase (E.C.1.103.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian besar

    merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga dengan bobot molekul

    antara 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup terkecil enzim yang dinamakan oksidase

    tembaga biru (Thurston 1994). Sebagian besar molekul monomerik lakase mengandung empat

    molekul tembaga (Cu) di dalam strukturnya yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok

    menggunakan UV/visible dan spektrometer electron paramagnetic resonance (EPR). Tembaga

    tipe I (T1) bertanggung jawab untuk intensitas warna biru dari enzime pada 600 nm dan dapat

    dideteksi dengan EPR, tembaga tipe II (T2) tidak berwarna, tetapi tetap dapat dideteksi dengan

    EPR, dan tembaga tipe III (T3) mengandung pasangan atom tembaga yang memberikan sedikit

    absorbansi dekat spectrum UV tetapi tidak terdeteksi dengan EPR. Sisi tembaga T2 dan T3

    saling berdekatan dan membentuk pusat tiga inti (trinuclear) yang terlibat dalam mekanisme

    katalitik dari enzim.

    Lakase hanya menyerang sub unit phenolik dari lignin, diawali dengan oksidasi C,

    pemecahan C- juga dapat mengurangi satu

    molekul dioxygen menjadi dua molekul air bersamaan dengan pembentukan satu-elektron

    oksidasi dari sebagian besar senyawa aromatic, di mana melibatkan polyphenol (Bourbonnais

    and Paice 1996), methoxyl-subsituted monophenol dan amina aromatic (Archibald F. and Roy

    1992). Oksidasi ini terjadi di dalam radikal bebas terpusat-oksigen (oxygen-centred free

    radical), di mana kemudian dapat diubah oleh reaksi yang dikatalis oleh enzim kedua menjadi

    quinone. Quinone dan radikal bebas kemudian dapat melanjutkan polymerasi (Thurston 1994).

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 12

    Gambar 13. Oksidasi unit phenolik oleh lakase (Archibald F. and Roy 1992).

    Lakase mirip dengan enzim pengoksidasi-phenol yang lain, dimana lebih mempolimerasi

    lignin dengan meng-couple radikal phenoxy yang diproduksi dari oksidasi gugus phenolik lignin

    (Bourbonnais et al. 1995). Oleh karena spesifitas lakase untuk subunit phenolik dari lignin dan

    keterbatasan akses pada lignin di dalam dinding serat, lakase hanya memberikan sedikit efek

    pada pemutihan pulp (Bourbonnais and Paice 1996). Jangkauan subtrat lakase dapat diperluas ke

    subunit non-phenolik dengan penambahan mediator seperti 2.2-azinobis-(3-ethylbenzthiazoline-

    6-sulfonate; ABTS) (Gambar 14).

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 13

    Gambar 14. Oksidasi subunit non-phenolik oleh lakase dan ABTS (Archibald F.S. et al. 1997).

    Versatil Peroksidase (VP). Versatil Peroksidase (VP). merupakan salah satu tipe enzim

    baru dari kelompok ligninolitik peroksidase (Hammel and Cullen 2008, Higuchi 2004, Wong

    2009). VP ditemukan pada berbagai spesies Pleurotus dan Bjerkandera, namun P chrysosporium

    sepertinya tidak menghasilkan VP. VP dapat mengoksidasi Mn2+

    sama baiknya pada senyawa

    aromatik phenolik maupun non-phenolik. VP mengoksidasi Mn2+

    menjadi Mn3+

    , memecahkan

    model lignin non-phenolik vertatryl-glycerol- -guaiacyl ether menghasilkan veratryl aldehida,

    serta mengoksidasi I dan p-dimethoxybenxene menjadi versatryl aldehida dan p-benzoquinone

    seperti halnya reaksi yang dikatalis oleh LiP.

    1.3.1.2. Degradasi Selulosa dan Hemiselulosa

    Degradasi Selulosa. Degradasi selulosa kristal oleh JPP P. chrysospoerium mirip pada

    selulase-selulase jamur lainnya, yaitu dilakukan oleh komplek enzim multikomponen di mana

    tiap-tiap komponen berinteraksi secara sinergi untuk mendegradasi selulosa menjadi glukosa.

    Endoglukanase (EGs) berkerja secara acak pada permukaan luar mikrofibril selulosa, yaitu

    membuka ujung non-reduksi yang kemudian oleh cellobiohidrolase (CBHs) dihirolisis dan

    -glukosidase menghasilkan

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 14

    glukosa (Eriksson 1981).

    Degradasi hemiselulosa. Hemiselulosa secara struktur lebih komplek dibandingkan

    selulosa, yang mengandung hanya ikatan 1,4- -glikosidik. Hemiselulosa adalah sebuah grup

    homopolimer dan heteropolimer yang mengandung sebagian besar ikatan-ikatan utama anhidro-

    -xylopyranosa, mannopiranosa, glukopiranosa dan galaktopiranosa. Enzim-enzim yang

    mendegradasi hemiselulosa juga komplek yang umum disebut hemiselulase. Hemiselulase

    menunjukkan sebagai agen bleaching yang menjanjikan dalam produksi pulp dan kertas.

    Degradasi hemiselulosa oleh JPP kemudian dianalogikan secara kasar dengan selulosa, tetapi

    mekanisme serangannya telah dipelajari secara lebih detail oleh Kirk dan Cowling (1984). Ikatan

    hemiselulosa diserang pertamakali oleh endoenzim-endoenzim (mannanase dan xilanase) yang

    menghasilkan secara intensif ikatan-ikatan pendek yang dihirdolisis menjadi gula sederhana oleh

    glukosidase (mannosidase, xilosidase, dan glukosidase). Seperti halnya dengan selulase, gula-

    gula sederhana membatasi produksi sebagian besar enzim-enzim pendegradasi selulosa oleh JPP.

    Selulosa diduga menjadi sumber karbon penting untuk mendorong terbentuknya enzim-enzim

    pendegradasi hemiselulosa oleh jamur.

    1.4. Pretreatment Biologi oleh Jampur Pelapuk Putih (JPP) dengan Fermentasi Kulur

    Padat (FKP)

    Perlakuan pendahuluan biologi biomassa lignoselulosa dengan JPP umumnya dilakukan

    dengan fermentasi kultur padat (Taniguchi et al., 2005; Zhang et al., 2007; Shi et al., 2008; Wan

    & Li, 2010). Fermentasi kultur padat merupakan salah satu metode fermentasi paling kuno dan

    didefinisikan sebagai kultivasi mikroba pada media padat yang basah, baik substrat yang inert

    maupun tidak larut, dan dapat pula sebagai sumber karbon atau energi (Hlke et al., 2004;

    Rahardjo et al., 2006). Fujian et al., (2001) menyatakan bahwa produksi enzim ligninolitik oleh

    P. chrysosporium lebih tinggi dilakukan dengan FKP daripada dengan fermentasi kultur

    terendam (submerged fermentation). Penelitian yang dilakukan oleh Elisashvili et al., (2008)

    pernyataan di atas bahwa produksi enzim MnP oleh isolat Lentinus endones dan Pleurotus sp

    lebih baik menggunakan FKP daripada fermentasi terendam.

    Fermentasi kultur padat (FKP) memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan

    metode fermentasi yang lain, antara lain: sedikit membutuhkan air, konsentrasi tinggi dari hasil

    yang diinginkan, represi katabolit tidak terjadi, sedikit atau tidak memerlukan sterilisasi, solid-

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 15

    support untuk pertumbuhan mikroba, dapat dilakukan dalam skala yang besar, energi yang

    dibutuhkan relatif sedikit, tidak memerlukan bahan kimia anti-foaming. Beberapa tantangan yang

    dihadapi dalam up-scale fermentasi kultur padat antara lain adalah pengendalian temperatur, pH,

    kelembaban, oksigen; penanganan substrat, dan pemenuhan kebutuhan inokulum (Hlker &

    Lenz, 2005). Beberapa kekurangan perlakuan pendahuluan dengan FKP terutama kesulitan untuk

    mengatur gradien parameter (seperti: suhu, pH, kelembaban, konsentrasi substrat atau okigen)

    yang sulit dikontrol pada kondisi sedikit air (Hlke et al., 2004).

    1.4.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pretreatment Biologi Menggunakan Jamur

    Pelapuk Putih

    Produksi dan aktivitas enzim ligninolitik JPP dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:

    strain jamur, konsentrasi dan sumber nitrogen (N), penambahan Mn2+

    dan Cu2+

    , temperatur, pH

    awal, dan aerasi. Faktor nutrisi kemungkinan berperan pada tipe serangan, dan dengan demikian

    jamur dapat secara selektif mendegradasi lignoselluosa (Eaton 1985) (Rayner & Boddy 1988;

    Eaton & Hele 1993). Beberapa parameter kultur yang mempengaruhi degradasi lignin oleh P.

    chrysospoerium telah dipelajari sejak lama (Kirk T. Kent et al. 1976, Kirk T. K. et al. 1978).

    Mereka menemukan bahwa degradasi lignin dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen, konsentrasi

    O2, pH, dan vitamin. Sangat penting untuk mengoptimalisasi kondisi FKP oleh JPP untuk

    mendapatkan produksi dan akitivitas enzime ligninolitik yang tinggi, dan degradasi lignin yang

    tinggi.

    1.4.1.1. Strain Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    Terdapat variasi yang luas dari strain JPP dan memiliki kemampuan yang berbeda-beda

    dalam mendegradasi lignin maupun menghasilkan enzim ligninolitik. Beberapa JPP

    menghasilkan ketiga-tiga enzim ligninilitik, sebagian hanya dua, atau satu dari enzim ligninolitik

    (Elisashvili et al. 2008, Kirk T. Kent and Cullen 1998). Perbedaan ini menyebabkan JPP

    memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi biomassa lignoselulosa. Sebagai

    contoh, Pleurotus sajor-caju, strain P1-27, dan Lentinus endodes, strain LS54, menghasilkan

    MnP dan Lac, tetapi tidak LiP ketika ditumbuhkan pada media tertentu yang hanya mengadung

    glukosa sebagai sumber karbon (Buswell et al. 1995, Fu et al. 1997), P chrysospoerium

    menghasilkan LiP, MnP, dan Lac (Rivela et al. 2000) (Rodrguez et al., 1997; Rivela et al.,

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 16

    2000).

    Pemilihan JPP yang tepat untuk perlakuan pendahuluan biologi merupakan tahapan awal

    yang penting (Blanchette Robert A. et al. 1988, Hatakka A.I. 1983, Muller and Trosch 1986).

    Beberapa parameter yang digunakan untuk memilih JPP antara lain adalah: kemampuan tumbuh

    dengan substrat biomassa lignoselulusa, kemampuan tinggi dalam menurunkan kandungan lignin

    tetapi sedikit mendegradasi holoselulosa, rendemen (yield) gula yang dihasilkan pada hidrolisis

    enzimatik, dan kemudahan untuk dikultur dalam skala besar.

    1.4.1.2. Aerasi

    Aerasi merupakan salah satu parameter penting yang sulit dikontrol pada FKP. Aerasi

    memiliki beberapa fungsi, antara lain: oksigenasi, menghilangkan CO2, pengaturan panas,

    distribusi uap air, distribusi senyawa volatil yang dihasilkan selama fermentasi. Aerasi

    dipengaruhi oleh porositas subatrat; pO2 dan pCO2 sebaiknya dioptimasi untuk setiap tipe

    medium, mikroorganisme, dan proses yang diterapkan (Graminha et al. 2008). Produksi,

    aktivitas enzim, dan degradasi lignin dipengaruhi oleh aerasi. Sebuah penelitian klasik

    menemukan bahwa aerasi diperlukan untuk pertumbuhan dan delignifikasi biomassa

    lignoselulosa oleh JPP (Duncan 1961). Aerasi ditambahkan pada pembuatan biomechanical pulp

    skala laboratorium maupun skala 50 ton (Akhtar et al. 1998). Penambahan aerasi sangat

    berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dan kualitas biomechanical pulp yang dihasilkan.

    Beberapa Hasil penelitian mendukung pernyataan bahwa aerasi merupakan faktor yang paling

    berpengaruh nyata pada perlakuan pendahuluan dengan P. chrysospoerium (Chen et al. 2002).

    Perlakuan pendahuluan yang dilakukan tanpa aerasi umumnya dilakukan dalam skala kecil,

    seperti dengan menggunakan cawan petri atau Erlenmeyer. Dalam skala kecil penambahan aerasi

    relatif kurang diperlukan dan JPP dapat tumbuh dengan baik.

    1.4.1.3. Sumber dan Konsentrasi Nitrogen

    Konsentrasi nitrogen di dalam media kultur memainkan peranan penting di dalam

    produksi dan aktivitas enzim ligninolitik, baik pada FKP maupun fermentasi cair, tetapi pengaruh

    nitrogen bervariasi di antara spesies dan strain JPP. Penelitian pengaruh nitrogen juga dilakukan

    pada degradasi senyawa xenobiotik dan dekolorisasi pewarna oleh JPP (Hatvani and Mcs 2002,

    Kotterman et al. 1996, Leung and Pointing 2002). Konsentrasi nitrogen sangat penting untuk

    degradasi lignin oleh P. chrysospoerium Burds, tetapi sumber nitrogen hanya berpengaruh kecil

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 17

    (Kirk T. K. et al. 1978). Aktivitas enzim ligninilitik oleh Pleurotus ostreatus menurun dengan

    penambahan nitrogen anorganik pada medium. Konsentrasi nitrogen yang rendah dari nitrogen

    organik (peptone dan casein) memberikan efek positif pada aktivitas enzim (Mikiashivili et al.

    2006).

    1.4.1.4. Penambahan Mn2+

    dan Cu2+

    Beberapa sumber kation, seperti Mn2+

    , Ca2+

    , dan Cu2+

    , dilaporkan memberikan pengaruh

    terhadap degradasi lignin oleh JPP (Jeffries et al. 1981, Tychanowicz et al. 2006). Media yang

    rendah-nitrogen dan konsentrasi Mn2+

    di dalam kultur media memainkan perandan dalam

    mengatur aktivitas MnP dan LiP pada beberapa JPP (Bonnarme and Jeffries 1990). Dalam

    kondisi ketiadaan Mn2+

    , produksi enzim LiP mendominasi; sedangkan dalam kondisi ada Mn2+

    ,

    produksi enzim MnP mendominasi. Efek pengaturan Mn2+

    ini juga ditemukan pada lima strain P

    chrysosporium, dua spesies lain Phanerochaete sp, tiga spesies Phlebia, Lentinus endodes, dan

    Phellinus pini. Aktivitas LiP ditemukan dalam kondisi konsentrasi Mn2+

    yang rendah. Ditemukan

    bahwa mineralisasi lignin sintetik meningkat dengan penambahan Mn2+

    pada Pleurotus ostreatus

    (Kerem and Hadar 1995). Hasil penelitian lain memperkuat pernyataan tersebut, bahwa

    penambahan Mn2+

    di dalam media kultur meningkatkan hingga 125% mineralisasi lignin oleh

    Pleurotus pulmonarius (Camarero et al. 1996).

    Selain Mn2+

    , penambahan Cu2+

    juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas enzim

    ligninolitik. Penambahan Cu2+

    di dalam medium berpengaruh kuat pada produksi enzim

    ligninolitik dan mempercepat dekolorisasi pewarna Poly R-478 oleh Tremetes trogii (Levin et al.

    2002). Hasil ini juga diperkuat oleh hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa penambahan

    Cu2+

    juga meningkatkan aktivitas Lac oleh Pleurotus pulmonarius dan Rhizoctonia praticola

    (Janusz et al. 2006, Tychanowicz et al. 2006).

    1.4.1.5. Kadar Air

    Kadar air awal lignoselulosa mempengaruhi pertumbuhan JPP. Umumnya JPP

    menghendaki kadar air awal yang cukup tinggi sekitar 60-85%. Kandungan air juga berpengaruh

    terhadap distribusi okigen (aerasi). Dalam kondisi kandungan air tinggi pori-pori lignoselulosa

    akan terisi oleh air dan menghalangi areasi. Kandungan air secara signifikan mempengaruhi

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 18

    degradasi lignin oleh P. chrysosporium dan kandungan air terbaik adalah 75% (Shi et al. 2008).

    Namun, hasil yang berbeda dilaporkan lain bahwa rasio solid/liquid yang rendah lebih

    menguntungkan untuk produksi MnP dan LiP (Fujian et al. 2001). FKP jerami dengan JPP

    optimum pada kandungan air 75ml/25g substrat (Zadrail F. and Brunnert 1981). Dalam kondisi

    basah (kadar air tinggi) pertumbuhan miselia terlihat lebih dominan.

    1.4.1.6. Keasaman (pH) dan Temperatur

    Produksi enzim ligninolitik dipengaruhi oleh kondisi keasaman (pH) pada FKP.

    Dilaporkan bahwa pH awal media yang baik untuk produksi enzim LiP dan MnP oleh P.

    chrysospoerium adalah antara 4.0 5.5 (Fujian et al. 2001), sedangkan pH substrat menurun

    selama FKP (Agosin et al. 1985).

    Berbagai temperatur yang optimal pada FKP untuk produksi enzim ligninolitik telah

    dilaporkan. Dilaporkan bahwa temperatur yang optimal untuk produksi enzim oleh P.

    chrysospoerium adalah pada suhu 39oC (Fujian et al. 2001). Laporan lain menyebutkan bahwa

    suhu 37oC adalah optimal pertumbuhan miselia, sedangkan suhu 30

    oC untuk produksi enzim

    (Asther et al. 1988). Degradasi lignin oleh Ganoderma applanatum, Pleurotus ostreatus, dan

    Pleurotus serotinus lebih rendah pada 30oC daripada pada 22

    oC (Zadrail F. and Brunnert 1981).

    Hanya Tremetes hirsuta yang meningkat dengan peningkatan suhu hingga 30oC. Perbedaan

    temperatur yang goptimal pada JPP kemungkinan disebabkan karena perbedaan fisologis, strain,

    dan tipe subatrat.

    1.4.2. Pengaruh Pretreatment Biologi terhadap Karakteristik Biomassa Lignoselulosa

    Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa menggunakan JPP merubah karakteristik

    biokimia dan fisika dari biomassa (Gambar 2). Degradasi lignin oleh JPP menjadi perhatian

    utama dalam beberapa penelitian pretreatment biologi. Sebagai contoh, degradasi lignin dari

    jerami jagung naik menjadi 54,6% setelah 30 hari diperlakukan dengan T. versicolor (Yu et al.

    2010b), batang bambu menjadi < 20% setelah diperlakukan selama 4 minggu

    dengan Echinodontium taxodii 2538 dan T. versicolor G20 (Zhang Xiaoyu et al. 2007b), dan

    jerami gandum menurun menjadi 39,7% setelah diperlakukan dengan P. ostreatus (Puniya et al.

    1994). Degradasi lignin oleh JPP adalah proses non-spesifik oksidatif yang akhirnya

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 19

    menghasilkan degradasi lengkap lignin.

    Gambar. 15. Skema diagram pretreatment biologis lignoselulosa. Jamur Pelapuk Putih

    menurunkan kadar lignin dan mengubah struktur kimia dan fisika lignoselulosa

    yang membuat biokonversi lignoselulosa menjadi lebih efisien (Isroi et al. 2011).

    JPP memiliki kemampuan unik untuk memutuskan polimer (depolymerise), memecah

    ikatan karbon-karbon, dan ikatan mineral dengan lignin oleh enzim ligninolitik. Studi

    dengan lignin berlabel 14

    C menunjukkan bahwa lignin terdegradasi menjadi 14

    CO 2 (Agosin et

    al. 1985, Hofrichter et al. 1999, Lundquist et al. 1977, Prez and Jeffries 1990). Pleurotus

    ostreatus dan B. adusta adalah memecah lignin yang sangat spesifik berdasarkan penelitian

    menggunakan lignin berlabel 14

    C (Agosin et al. 1985). Perubahan rasio antara p-

    hidroksifenil (H), guaiacyl (G), dan (S) syringyl lignin unit dianalisis menggunakan kromatografi

    gas pirolisis--spektrometri massa. Penelitian ini menunjukkan bahwa 10 U peroksidase per mg

    jerami dapat menurunkan proporsi unit H fenolik dari 31% pada kontrol menjadi 3% pada jerami

    yang diperlakukan, unit G 40-4%, dan sejumlah kecil fenolik unit S yang ada di dalam jerami

    gandum terdegradasi penuh (Camarero et al. 2001). Beberapa penelitian mengusulkan bahwa

    urutan kerentanan unit lignin adalah sebagai berikut: S> G> H. Secara umum, biomassa dengan

    S-kaya lignin lebih rentan terhadap degradasi JPP dibandingkan unit lignin lainnya (Valmaseda

    et al. 1991).

    Hemiselulosa lebih mudah untuk terdegradasi oleh JPP dibandingkan komponen lain

    dalam biomassa lignoselulosa. JPP seperti P. chrysosporium (Kirk T. Kent and Cullen

    1998), Phlebia floridensis (Sharma and Arora 2010), C. subvermispora (Mendona et al.

    2008), Pleurotus ostreatus (Baldrian et al. 2005), dan Pleurotus dryinus (Kachlishvili et al. 2005)

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 20

    menghasilkan endoxylanases yang dapat menghidrolisis hemiselulase. Analisis terhadap

    komposisi kandungan tongkol jagung menunjukkan bahwa selama perlakuan selama hari 30

    dengan JPP hemiselulosa terdegradasi sebesar 24,4-34,9% (Yang Xuewei et al. 2010). Tonglol

    jagung yang diperlakukan menggunakanC. subvermispora selama 18 hari mengalami penurunan

    kandungan hemiselulosa hingga 22,5%, dan Kayu Willow Cina yang diperlakukan

    menggunakan Echinodontium taxodii 2.538 selama 120 hari kandungan hemiselulosa berkurang

    sebesar 54,8% (Yu et al. 2009). Degradasi hemiselulosa dan degradasi lignin dapat menurunkan

    recalcitration dari lignoselulosa terhadap hidrolisis enzimatik, tapi degradasi xilan meningkatkan

    risiko menurunkan kandungan gula yang dapat dikonversi dari biomassa lignoselulosa (Yu et al.

    2010a).

    JPP menghasilkan enzim selulase dengan kekhususan dan karakteristik yang

    berbeda. Selulase menghidrolisis -1,4-glikosidik selulosa. JPP dikelompokkan menjadi dua

    kelompok berdasarkan selektifitasnya mendegradasi komponen lignoselulosa, yaitu: non-selektif

    dan selektif. JPP non-selektif dapat mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah

    yang sama, termasuk selulosa. Sedangkan JPP selektif mendegradasi selulosa dalam jumlah lebih

    sedikit (Blanchette R.A 1995), dan sesuai untuk pretreatment biologi. Pretreatment biologi

    menyebabkan perubahan mikrostruktur selulosa. Analisis XRD menunjukkan penurunan

    kristalinitas selulosa setelah pretreatment biologi. Indeks kristalinitas jerami padi menurun dari

    44% pada jerami yang tidak diperlakukan menjadi 15% pada jerami yang diperlakukan

    menggunakan P. chrysosprorium (Zeng et al. 2011). Sebaliknya, indeks kristalinitas jerami padi

    sedikit berkurang setelah diperlakukan menggunakan D. squelens (Bak et al. 2010). Pretreatment

    Biologi pinus merah Jepang (Pinus densiflora) telah terbukti mengurangi kristalinitas selulosa

    dan meningkatkan jumlah pori-pori yang memiliki ukuran lebih dari 120 nm (Lee et al. 2007).

    Morfologi permukaan biomassa lignoselulosa telah diperiksa oleh analisis mikroskop

    elektron (SEM). Hasil analisa SEM menunjukkan beberapa perubahan fisik di permukaan

    biomassa setelah pretreatments biologis. Pretreatment biologi biomassa mengakibatkan lubang

    tidak teratur pada permukaan jerami jagung (Yu et al. 2010b). Hasil ini menunjukkan bahwa

    pretreatment biologi meningkatkan luas dan porositas permukaan substrat. Pretreatment Biologi

    tongkol jagung dengan Irpex lacteus signifikan meningkatkan volume pori dan ukuran pori (Xu

    et al. 2010). Jerami gandum yang diperlakukan menggunakan P. chrysosporium memiliki luas

    permukaan yang lebih luas, hal ini menunjukkan degradasi agresif atau modifikasi lignin dan

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 21

    membuat permukaan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih terbuka (Zeng et al.

    2011). Permukaan jerami padi menunjukkan permukaan yang kasar dan secara parsial rusak

    setelah pretreatment biologi menggunakan D. squalens (Bak et al. 2010).

    1.4.3. Aplikasi Pretreatment Biologi Menggunakan Jamur Pelapuk Putih

    Gambar 16. Beberapa alternatif pretreatment biologi biomassa lignoselulosa dengan jamur

    pelapuk putih (JPP) dan alur pengolahannya (Isroi et al. 2011).

    Kombinasi teknologi fermentasi kultur padat (FKP) dengan kemampuan JPP untuk

    menurunkan lignin secara selektif membuat kemungkinan aplikasi skala industry pretreatment

    biologi. Beberapa alternative aplikasi pretreatment biologi biomassa lignoselulosa diperlihatkan

    pada Gambar 16.

    Sebuah ulasan mendalam yang meliputi kelebihan dan kelemahan dari FPK (Holker et al.

    2004), menunjukkan bahwa FPK sebagai teknologi yang kuat yang melebihi teknologi

    fermentasi konvensional karena memenuhi persyaratan kesederhanaan, efektivitas biaya, dan

    pemeliharaan. Keunggulan ini membuat FPK menjadi teknologi yang menarik untuk mengatasi

    masalah lingkungan, di mana uang dan orang berpendidikan tinggi terbatas (Bhatnagar et al.

    2008, Rivela et al. 2000). Potensi aplikasi bioteknologi pretreatment biologi menggunakan JPP

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 22

    akan dijelaskan di dalam sub bab ini. Beberapa spesies JPP yang telah dimanfaatkan untuk

    perlakuan pendahuluan biomassa lignoselulosa disarikan di dalam Tabel 6.

    Tabel 6. Pemanfaatan Jamur Pelapuk Putih (JPP) untuk perlakuan pendahuluan biologi

    biomassa lignoselulosa

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    Bjerkandera adusta Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.

    2008)

    Ceriporia lacerata kayu Bioetanol (Lee et al. 2007)

    Ceriporiopsis

    subvermisproa,

    Jerami padi

    Kayu

    Limbah pertanian

    bioetanol

    Biomekanikal

    pulping

    Biopulping

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Akhtar et al. 1998)

    (Yaghoubi et al.

    2008)

    (Mosai et al. 1999)

    Cyanthus

    stercoreus

    Corn stover bioetanol (Keller et al. 2003)

    Cyanthus

    stercoreus

    Jerami

    Daun-daunan

    Pakan ternak (Karunanandaa and

    Varga 1996)

    Fomes fomentarius Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.

    2008)

    Panus conchatus Jerami padi biopulping (Yu et al. 1994)

    Phanerochaete

    chrysosporium

    Batang kapas,

    Corn stover,

    Jerami padi,

    bioetanol

    Biopulp

    Biobleaching

    (Shi et al. 2008)

    (Keller et al. 2003)

    (Taniguchi et al.

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 23

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    Pulp

    Daun-daunan

    Pakan ternak 2005)

    (Chen et al. 2002)

    (Yang Qifeng et al.

    2007)

    (de Jong et al. 1997)

    (Karunanandaa and

    Varga 1996)

    Phellinus pini Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Phlebia tremellosus Bagase

    Kayu

    bioetanol

    Biopulping

    (Mes-Hartree et al.,

    1987)

    (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Phlebiopsis

    gigantea

    Kayu Pulp (Behrendt and

    Blanchette 1997)

    Plebia tremellosus Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Pleorotus ostreatus Jerami padi

    Jerami gandum

    bioetanol

    Biogas

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Muller and Trosch

    1986)

    Pleurotus sajorcaju Jerami Pakan ternak (Karunanandaa and

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 24

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    Daun-daunan Varga 1996)

    Polyporus brumalis kayu bioetanol (Lee et al. 2007)

    Poria medullpanis Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Scytinostroma

    galactinum

    Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Stereum hirsutum kayu bioetanol (Lee et al. 2007)

    Trametes hirsute pulp Biopulp (Yang Qifeng et al.

    2007)

    Tremetes versicolor Jerami padi

    Jerami gandum

    bioetanol

    Pakan Ternak

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Rodrigues et al.

    2008)

    1.4.3.1. Hidrolisis Enzimatis

    Polisakarida dalam biomassa lignoselulosa, termasuk selulosa dan hemicellu-kalah, dapat

    dihidrolisis menjadi monomer gula seperti glukosa dan xylose, yang selanjutnya dapat digunakan

    untuk produksi etanol, xylitol, asam organik, dan bahan kimia lainnya. Polimer selulosa dalam

    dinding sel secara langsung berhubungan dengan gugus lignin dan hemiselulosa membentuk

    struktur fisik dan morfologi yang lebih kompleks dan menghambat hidrolisis enzimatik. Faktor-

    faktor pembatas yang mempengaruhi hidrolisis enzimatik biomassa secara tradisional dibagi

    menjadi dua kelompok: (a) struktur biomassa dan (b) mekanisme enzimatik. Secara

    konvensional, hambatan struktur telah dibagi menjadi dua kelompok dan diklasifikasikan sebagai

    fisika atau kimia. Stuktur kimia adalah komposisi selulosa, hemiselulosa, lignin, dan kelompok

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 25

    asetil terikat hemiselulosa. Struktur fisika terdiri dari luas permukaan yang dapat diakses,

    kristalinitas, distribusi fisik lignin dalam matriks biomassa, tingkat polimerisasi, volume pori,

    dan ukuran partikel biomassa. Proses pretreatment adalah mutlak untuk meningkatkan laju

    hidrolisis enzimatik dan untuk meningkatkan hasil gula yang dapat difermentasi,. Pretreatment

    diperlukan untuk mengubah struktur dan komposisi kimia dari biomassa lignoselulosa untuk

    memfasilitasi hidrolisis yang cepat dan efisien dari karbohidrat menjadi gula difermentasi

    (Chang and Holtzapple 2000). Fokus utama dari kebanyakan studi berurusan dengan konversi

    biomassa lignoselulosa telah untuk memaksimalkan ketersediaan selulosa untuk selulase.

    Pretreatment lignoselulosa dengan JPP untuk hidrolisis enzimatik telah lama dipelajari

    (Hatakka A.I. 1983). Spesies yang berbeda dari JPP telah digunakan dengan biomassa

    lignoselulosa berbagai hidrolisis enzimatik (lihat Tabel 6). Pretreatment biologi lignoselulosa

    dapat meningkatkan aksesibilitas biomassa terhadap enzim dan meningkatkan gula hasil. Sebuah

    studi pretreatment biologis jerami gandum menggunakan sembilan belas JPP dan dilanjutkan

    dengan hidrolisis enzimatik (Hatakka 1983), menunjukkan bahwa setelah pretreatment dengan

    Pycnoporus cinnabarinus selama lima minggu, sebanyak 54,6% dari residu biomassa dapat

    dikonversi menjadi gula pereduksi dengan hidrolisis enzimatik. Sebuah jurnal baru (Dias et al.

    2010) mengungkapkan bahwa jerami gandum dipretreatment biologi dengan dua JPP (EUC-1

    dan I. Lacteus) dapat meningkatkan hasil hidrolisis kurang lebih empat dan tiga kali

    dibandingkan dengan jerami yang tidak diperlakukan. Selain itu, pretreatment biologi tongkol

    jagung menggunakan P. chrysosporium meningkatkan hidrolisis enzimatik tiga sampai lima kali

    lipat dibandingkan dengan yang tidak diperlakukan tongkol jagung dan mengurangi kebutuhan

    energi untuk penggilingan nya (Keller et al. 2003). Hasil yang sama ditunjukkan oleh

    pretreatment biologis pada jerami padi menggunakan empat JPP P. chrysosporium, T. versicolor,

    C. subvermispora, dan Pleurotus ostreatus (Taniguchi et al. 2005). Peningkatan hasil hidrolisis

    enzimatik jerami diamati sebagai akibat dari penurunan kandungan Klason lignin. Pretreatment

    biologi bambu menggunakan JPP Coriolus versicolor B1 bawah kondisi yang berbeda dan

    dilanjutkan dengan sakarifikasi juga telah dilaporkan (Zhang Xiaoyu et al. 2007a). Studi mereka

    menunjukkan bahwa sakarifikasi meningkat secara signifikan dan tingkat sakarifikasi maksimum

    sebesar 37,0% dicapai setelah pretreatment.

    1.4.3.2. Biofuel: Bioetanol, Biogas dan Pirolisis

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 26

    Bioetanol dapat diproduksi dari biomassa lignoselulosa setelah komponen hidrolisis

    polisakarida (hemiselulosa dan selulosa) menjadi monosakarida. Peningkatan gula hasil

    hidrolisis enzimatik setelah pretreatment biologi menunjukkan produksi bioethanol yang lebih

    tinggi. Pretreatment Biologi tongkol jagung menggunakan C. subvermispora selama 35 hari

    mampu meningkatkan hasil etanol keseluruhan hingga 57,8% (Wan and Li 2010). Hasil serupa

    diperoleh pada jerami padi yang dipretreatment biologi menggunakan D. squalens. Produksi dan

    produktivitas etanol masing-masing adalah 54,2% dari maksimum teoritis dan 0,39 g / L / jam

    setelah fermentasi 24 jam (Bak et al. 2010). Hasil etanol mencapai 0,192 g / g bahan kering dari

    eceng gondok saat pra-perawatan dengan kombinasi pretreatment asam biologi dan ringan (Ma et

    al. 2010).

    Pretreatment biologi telah digunakan untuk produksi biogas. Produksi biogas dari jerami

    gandum dipretreatment biologi meningkat dari 0,293 L/g (tidak dipretreatment) menjadi 0,343

    L/g (dipretreatemen) menggunakan Pleurotus ostreatus (Muller and Trosch 1986). Namun,

    pretreatment biologi dari jerami jagung menggunakan Pleurotus florida menghasilkan biogas

    16,58% kurang dari sampel yang dipretreatment kimia (Zhong et al. 2011).

    Pretreatment biologi telah digunakan sebelum pirolisis biomassa untuk memproduksi

    bahan bakar. Pretreatment biologi tongkol jagung dapat mengoptimalkan dekomposisi termal,

    menurunkan temperatur reaksi dan mengurangi kontaminasi gas (SOx), membuat pirolisis

    biomassa lebih efisien dan ramah lingkungan (Yang Xuewei et al. 2010). Pretreatment biologis

    dapat menurunkan energi aktivasi dan suhu reaksi dari pirolisis hemiselulosa dan selulosa

    (hingga 36 o C), memperpendek rentang suhu pirolisis aktif (sampai 14 o C), dan meningkatkan

    laju dekomposisi termal.

    1.4.3.3. Biopulping dan Biobleaching

    Biopulping adalah proses SSF di mana serpihan kayu diperlakukan dengan warna

    JPPuntuk meningkatkan proses delignifikasi. Pulping biologis memiliki potensi untuk

    mengurangi biaya energi dan dampak lingkungan relatif terhadap operasi pengupas tradisional

    (Scott et al. 2002). Manfaat biopulping ditunjukkan (Scott et al. 2002) dengan menggunakan 50-

    ton percobaan skala. The tarik, air mata, dan meledak indeks dari makalah yang dihasilkan

    meningkat, menunjukkan tingkat yang lebih tinggi konservasi selulosa selama proses pulping.

    Selain itu, kecerahan pulp juga meningkat, mengindikasikan penghapusan lignin ditingkatkan.

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 27

    Selain itu, penghematan energi meningkat dari 33% untuk pulping termomekanis (TMP)

    dilaporkan. Pretreatment biologi dari jerami gandum menggunakan P. chrysosporium ME466

    bisa mengubah degradasi ekstraktif lipofilik dan hidrofilik. Jelas, pretreatment biologis jerami

    gandum adalah menguntungkan untuk pitch kontrol dalam proses pembuatan kertas dan

    pengupas, mengingat degradasi zat yang lebih lipofilik (van Beek et al. 2007). Optimasi variabel

    biopulping residu pertanian menggunakan C. subvermispora juga diselidiki (Yaghoubi et al.

    2008). Pretreatment Biologi dapat meningkatkan sifat fisik (kappa nomor, kekuatan tarik, dan

    faktor meledak) dan kualitas pulp dari jerami barley.

    Produksi biopulp dengan P. chrysosporium menggunakan uap-meledak jerami gandum

    sebagai substrat dianggap (Chen et al. 2002). Hemiselulosa nya adalah sebagian rusak dan

    menjadi sebagian larut dalam air gula selama proses ledakan uap. Gula ini dapat digunakan

    sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan jamur. Dibandingkan dengan non-diperlakukan

    jerami gandum, degradasi selulosa menurun dan degradasi lignin meningkat untuk jerami uap

    meledak gandum dibudidayakan dengan P. chrysosporium. Jerami fermentasi dapat digunakan

    secara langsung sebagai bahan untuk pembuatan pulp.

    Beberapa peneliti telah meneliti penggunaan white-membusuk jamur untuk pemutihan

    pulp. Bubur pretreated dengan JPPbisa meningkatkan kecerahan dan sifat kekuatan pulp (de Jong

    et al, 1997;. Bajpai 2004). Selain penggunaan langsung dari jamur di pretreatment biologis untuk

    pemutihan pulp, aplikasi enzim ligninolitik juga telah diteliti secara intensif. Enzim ligninolitik,

    terutama Mangan peroxi-Dase (MNP) adalah enzim kunci untuk pemutihan pulp. Berbagai

    percobaan skrining telah menunjukkan bahwa kegiatan MNP dan produksi berkorelasi dengan

    pemutihan pulp. Semi-dimurnikan MNP juga dapat delignify pulp dan meningkatkan kecerahan

    pulp (Kondo et al. 1994). Selain itu, penerapan Lac di benar-benar-bebas klor (TCF) proses

    urutan menggunakan sistem lakase-mediator dapat meningkatkan kecerahan hingga kecerahan

    ISO 82% (dibandingkan dengan 37% di awal dan bubur 60% dalam kontrol peroksida-

    dikelantang ) dan menghasilkan bilangan kappa sangat rendah (Camarero et al. 2004). Lac telah

    digunakan secara komersial sebagai agen pemutihan untuk pulp dan telah baik ditinjau (Call dan

    Mucke 1997).

    1.4.3.4. Pakan Ruminansia

    Penggunaan langsung residu lignoselulosa sebagai pakan ternak ruminansia, atau sebagai

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 28

    komponen feed tersebut, merupakan salah satu aplikasi tertua dan paling luas dari biomassa. Ide

    untuk menggunakan JPPuntuk meningkatkan kecernaan limbah lignoselulosa untuk ternak

    ruminansia pertama kali dikembangkan pada tahun 1902 oleh Falck (Cohen 2002), yang

    menyarankan penggunaan jamur untuk peningkatan limbah lignoselulosa. Sejak saat itu, cukup

    banyak pekerjaan telah dilakukan pada peningkatan materi lignoselulosa untuk memberi makan

    menggunakan putih-membusuk jamur. Konsep delignifikasi preferensial limbah lignoselulosa

    dengan warna JPPtelah diterapkan untuk meningkatkan nilai gizi hijauan (Agosin dan Odier

    1985, Zadrail dan Puniya 1995;. Okano et al 2009). Berbagai macam biomassa lignoselulosa

    telah pra-perawatan dengan JPPdan digunakan sebagai pakan ternak ruminansia (Lihat Tabel 1).

    Pretreatment Biologi lignoselulosa dapat meningkatkan nilai gizi (Okano et al. 2009) dan

    kecernaan in vitro (Zadrail dan Puniya 1995), ketersediaan biologi peningkatan nutrisi, dan

    mengurangi anti-nutrisi faktor (Mandebvu et al. 1999).

    1.4.3.5. Produksi Enzim

    Kemampuan enzim ligninolitik untuk mengoksidasi baik senyawa fenolik dan lignin non-

    fenolik pada senyawa-senyawa polutan membuat enzim ini sangat berguna untuk aplikasi proses

    bioteknologi lingkungan (Mayer dan Staples 2002, Minussi et al 2002;. Regalado et al 2004,.

    Couto dan Herrera 2006). Produksi dan aplikasi Lac telah diteliti secara lebih intensif

    dibandingkan enzim ligninolitik lainnya selama beberapa dekade terakhir, dan beberapa ulasan

    yang membahasnya secara lenglap (Call dan Mcke 1997,. Leonowicz et al 2001). Lac dapat

    diimplementasikan dalam industri pulp, kertas, makanan, dan tekstil (Couto dan Herrera 2006,

    Call dan Mcke 1997, Riva 2006, Caas dan Camarero 2010). FKP untuk produksi enzim

    memiliki keuntungan lebih dari fermentasi kultur terendam. Beberapa penelitian menunjukkan

    hasil produk yang tinggi dan pengolahan hilir yang lebih sederhana dibandingkan dengan

    fermentasi kultur terendam (Holker dan Lenz 2005; Couto dan Sanroman 2006). Limbah

    lignoselulosa umumnya digunakan sebagai substrat untuk produksi enzim (lihat Tabel 6).

    1.4.3.6. Aplikasi Lainnya

    Jamur pelapuk putih (JPP) P. chrysosporium dikombinasikan dengan mikroorganisme

    lainnya dapat digunakan sebagai inokulan kompos untuk bahan kompos limbah lignoselulosa

    (Zeng et al 2010;.. Taccari et al 2009). JPP yang diinokulasi selama tahap fermentasi kedua, P.

    chrysosporium menginduksi perubahan signifikan pada semua parameter kematangan kompos

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 29

    kecuali C/N ratio. Metode pengomposan menggunakan JPP juga telah digunakan untuk

    degradasi polutan (Zeng et al. 2007). Inokulasi P. chrysosporium pada tanah terkontaminasi

    benzo [a] pyrene dengan system kompos meningkatkan laju pembentukan residu terikat karbon.

    Pembentukan ikatan residu ini ditemukan menjadi mekanisme transformasi utama untuk benzo

    [a] pyrene dalam sistem kompos mikroba aktif, berdasarkan perhitungan hampir 100% dari

    benzo [a] pyrene terdegradasi (McFarland dan Qiu 1995).

    1.4.4. Kombinasi Pretreatment Biologi dengan Metode Pretreatment Lain

    Kelemahan utama dari pretreatment biologi adalah potensi hilangnya polisakarida

    (hemiselulosa dan selulosa) dan durasi pretreatment yang lebih lama dari pretreatment

    kimia/fisika. Pretreatment biologi dapat dikombinasikan dengan pretreatment kimia/fisika untuk

    mengurangi waktu pretreatment, kehilangan polisakarida, dan untuk meningkatkan hasil gula

    yang dapat difermentasi. Kombinasi metode pretreatment antara biologi dengan pretreatment

    kimia/fisika dapat meningkatkan kinerja pretreatment dibandingkan dengan metode pretreatment

    tunggal. Pretreatment kimia/fisik sebelum pretreatment biologis memungkinkan substrat akan

    mudah untuk diakses jamur dalam menurunkan kandungan lignin (Reid 1989). Optimalisasi

    kombinasi pretreatment diarahkan ke hasil gula yang maksimum dan untuk mengurangi biaya

    keseluruhan pretreatment, yaitu waktu inkubasi, konsentrasi asam, dan/atau energi yang

    digunakan. Metode-metode kombinasi secara signifikan bisa mengurangi waktu pretreatment

    biologis dan meningkatkan hasil gula setelah hidrolisa enzimatik. Jerami padi yang diperlakukan

    dengan ledakan uap (steam explotion) sebelum pretreatment biologi menggunakan Pleurotus

    ostreatus dapat mengurangi waktu berkurang dari 60 hari menjadi 36 hari dan mendapatkan

    glukosa 33% (Taniguchi et al. 2010). Jerami padi yang dipretreatment dengan H2O2 (2%, 48

    jam), waktu pretrettment berkurang dari 60 hari menjadi 18 hari dengan hasil gula yang

    sebanding (Yu et al. 2010b). Pengurangan waktu pretreatment dimungkin karena degradasi

    parsial lignin dan polisakarida, serta kerusakan parsial dari struktur lignoselulosa selama

    pretreatment biologis.

    Kombinasi pretreatment eceng gondok (Eichhornia crassipes) dengan JPP E. taxodii (10

    hari) dan 0,25% H2SO4 terbukti lebih efektif daripada metode pretreatment asam saja. Hasil

    gula pereduksi dari hidrolisis enzimatik meningkat dengan faktor 1,13-2,11 dibandingkan dengan

    pengobatan asam di bawah kondisi yang sama (Ma et al. 2010). Pretreatment Biologi serpihan

  • Isroi http://isroi.wordpress.com | 30

    kayu beech sebelum pretreatment organosolv bisa meningkatkan hasil etanol sebesar 1,6 kali

    lebih banyak daripada tanpa pretreatment biologi (Itoh et al. 2003). JPC dikombinasikan dengan

    pretreatment organosolv juga telah digunakan (Monrroy et al. 2010). Pretreatment biologis

    serpihan kayu Pinus radiata sebelum pretreatment organosolv meningkatkan asesibilitas enzyme.

    Pretreatment biologi jerami jagung selama 15 hari menggunakan E. taxodii diikuti oleh

    pretreatment alkali/oksidatif dapat menyebabkan peningkatan 50,7% dalam mengurangi gula

    dibandingkan dengan pretreatment alkali/oksidatif saja (Yu et al. 2010b). Pretreatment Biologi

    batang jagung diikuti oleh pretreatment alkali ringan dengan I. lacteus dapat meningkatkan

    kecernaan selulosa. Degradasi lignin pada pretreatment biologi meningkat dan hidrolisis glukosa

    meningkat signifikan ketika dikombinasikan dengan pretreatment alkali (Yu et al. 2010a).