UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS EFEKTIVITAS …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20335004-T33053-Medita...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS EFEKTIVITAS …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20335004-T33053-Medita...
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA
INTERVENSI TERHADAP PENDERITA KUSTA
SETELAH SELESAI PENGOBATAN MELALUI
PENGAMATAN SEMI AKTIF DAN PENGAMATAN PASIF
(STUDI KASUS DI KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2012)
TESIS
MEDITA ERVIANTI
0906503130
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JANUARI 2013
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA
INTERVENSI TERHADAP PENDERITA KUSTA
SETELAH SELESAI PENGOBATAN MELALUI
PENGAMATAN SEMI AKTIF DAN PENGAMATAN PASIF
(STUDI KASUS DI KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2012)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyarakat
MEDITA ERVIANTI
0906503130
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
KEKHUSUSAN FARMAKOEKONOMI
DEPOK
JANUARI 2013
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
ii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
iii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan lindungannya,
sehingga tesis yang berjudul Analisis Efektivitas Biaya Intervensi terhadap
Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan melalui Pengamatan Semi Aktif dan
Pengamatan Pasif dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat dari Program Pasca Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Pada penulisan tesis ini, banyak pihak yang berperan dari awal hingga
akhir. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini khususnya kepada :
1. Dr. H. Adang Bachtiar, MPH, DSc dan Kurniasari, SKM, MSE selaku
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan
motivasi untuk penulisan tesis ini.
2. Kepala Dinas Kabupaten Pasuruan yang telah mengijinkan pelaksanaan
penelitian ini
3. Pengelola Program Kusta dan Petugas Kusta Puskesmas di Kabupaten
Pasuruan serta Pengelola Program Kusta di Provinsi Jawa Timur yang banyak
membantu penulis selama penyusunan tesis.
4. Ayahanda Syaiful Bakhri, Ibunda alm. Niniek Kusmanawaty, Ayah Mertua
Sjachrul A. Bustami, Ibu Mertua Nina Samsiah, dan suami tercinta Rizal
Ramadhani yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan selama masa
studi.
5. Dr. Christina Widaningrum, M.Kes selaku Kasubdit Pengendalian Penyakit
Kusta dan Frambusia, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.
6. Ketua dan Tim Penguji Tesis yang banyak memberikan masukan untuk
perbaikan tesis ini.
7. Seluruh teman kuliah angkatan 2009, rekan-rekan di Subdit Pengendalian
Penyakit Kusta dan Frambusia, rekan-rekan di NLR, serta teman-teman yang
terlibat dalam seminar yang telah memberikan banyak masukan dalam
penyusunan tesis ini.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
v
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak luput dari
segala kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun tetap
diharapkan.
Depok, 3 Januari 2013
Penulis
Medita Ervianti
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
vi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
vii
ABSTRAK
Medita Ervianti
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Analisis Efektivitas Biaya Intervensi terhadap Penderita Kusta Setelah
Selesai Pengobatan melalui Pengamatan Semi Aktif dan Pengamatan Pasif
Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko
kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga
selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan
untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan.
Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun
2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum
diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode
pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan
kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masing-
masing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam
pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi,
pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor
apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif
biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis
bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan
pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan
diri sebagai faktor yang mempengaruhi.
Kata Kunci : Analisis Efektivitas Biaya, Pengamatan Semi Aktif, Setelah
Pengobatan Kusta, Kecacatan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
viii
ABSTRACT
Medita Ervianti
Public Health Science
Cost-Effectiveness Analysis of Intervention for Leprosy Patients after
Release from Treatment Through Semi Active Surveillance and Passive
Surveillance
Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability
due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and
after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of
disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance
implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance
applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective.
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semi-
active surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of
disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the
cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of
factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of
leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level
of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study
design was cross-sectional.
The results showed semi active surveillance more cost-effective than
passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a
relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of
disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected
factor.
Keywords: Cost-Effectiveness Analysis, Semi Active Surveillance, Released from
Treatment of Leprosy, Disability
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 7
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 9
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 10
2.1 Pengertian dan Diagnosis Penyakit Kusta ............................................... 10
2.2 Klasifikasi Kusta ..................................................................................... 11
2.3 Pengobatan Kusta .................................................................................... 12
2.4 Selesai Pengobatan atau RFT ................................................................. 14
2.5 Relaps atau Kambuh ............................................................................... 14
2.6 Kecacatan Akibat Kusta ......................................................................... 15
2.6.1 Penyebab Kecacatan .................................................................... 15
2.6.2 Penilaian Kecacatan ..................................................................... 17
2.7 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan ............................. 18
2.7.1 Karakteristik Responden .............................................................. 20
2.7.1.1 Umur ................................................................................ 20
2.7.1.2 Tingkat Pendidikan .......................................................... 20
2.7.1.3 Pengetahuan ..................................................................... 21
2.7.1.4 Tingkat Ekonomi ............................................................. 22
2.7.2 Tipe Kusta..................................................................................... 22
2.7.3 Riwayat Reaksi ............................................................................ 23
2.7.3.1 Pengertian Reaksi ............................................................ 23
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
x
2.7.3.2 Gejala dan Klasifikasi ...................................................... 23
2.7.3.3 Hubungan Reaksi dan Kecacatan .................................... 25
2.7.4 Upaya Pencegahan Cacat Akibat Kusta ...................................... 25
2.7.4.1 Pemeriksaan Fungsi Saraf secara Rutin ........................... 28
2.7.4.2 Penangan Reaksi dan Neuritis ......................................... 28
2.7.4.3 Hubungan Upaya Pencegahan Cacat dengan Kecacatan . 31
2.7.5 Perawatan Diri ............................................................................. 31
2.7.5.1 Perawatan Diri pada Mata ............................................... 33
2.7.5.2 Perawatan Diri pada Kulit ............................................... 34
2.7.5.3 Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki ............................ 36
2.7.5.4 Hubungan Perawatan Diri dengan Kecacatan ................. 40
2.8 Program Pengawasan Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan ...... 40
2.8.1 Metode Pengamatan Aktif ............................................................. 41
2.8.2 Metode Pengawasan Pasif ............................................................. 42
2.8.3 Metode Pengamatan Semi Aktif ................................................... 44
2.8.4 Perbedaan Metode ......................................................................... 47
2.9 Evaluasi Ekonomi .................................................................................. 49
2.9.1 Pengertian Evaluasi Ekonomi ...................................................... 49
2.9.2 Metode Evaluasi Ekonomi............................................................ 49
2.10 Biaya (Cost) ............................................................................................. 51
2.10.1 Klasifikasi Biaya........................................................................... 52
2.10.1.1 Pengaruh pada Skala Produksi ...................................... 52
2.10.1.2 Lama Penggunaan .......................................................... 52
2.10.1.3 Fungsi atau Aktivitas Sumber Biaya ............................. 53
2.10.1.4 Konsep Akibat Ekstern .................................................. 53
2.10.2 Penghitungan Biaya ..................................................................... 53
2.11 Efektivitas (Outcome) ............................................................................ 54
2.12 Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) ........................ 54
3. KERANGKA KONSEP .............................................................................. 56
3.1 Kerangka Teori ........................................................................................ 56
3.2 Kerangka Konsep .................................................................................... 57
3.3 Hipotesis ................................................................................................. 58
4. DESAIN PENELITIAN .............................................................................. 59
4.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 59
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 59
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................... 59
4.4 Definisi Operasional ................................................................................ 61
4.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 78
4.6 Manajemen Data .................................................................................... 78
4.7 Analisis Data .......................................................................................... 79
4.7.1 Pencatatan dan Pemilahan ............................................................ 79
4.7.2 Analisis Univariat dan Bivariat ................................................... 79
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xi
4.7.3 Analisis Multivariat ..................................................................... 82
4.7.4 Perhitungan ICER ........................................................................ 82
5. HASIL PENELITIAN ................................................................................. 84
5.1 Gambaran Umum .................................................................................... 84
5.1.1 Metode Pengamatan Semi Aktif .................................................. 85
5.1.2 Metode Pengamatan Pasif ........................................................... 88
5.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat ... 90
5.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan, Pencegahan
Cacat dan Perawatan Diri ....................................................................... 91
5.3.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan ... 91
5.3.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat ........ 92
5.3.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri ............. 93
5.4 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat ............................. 93
5.4.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat................. 93
5.4.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 94
5.4.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat ........................................................................................... 95
5.4.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 95
5.4.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat ....... 96
5.4.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat . 97
5.4.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 98
5.4.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat .. 99
5.5 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat 99
5.6 Biaya ....................................................................................................... 102
5.7 Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat ........................... 103
5.8 Rasio Efektivitas Biaya Tambahan dalam Pengendalian Tingkat Cacat 102
6. PEMBAHASAN ........................................................................................... 104
6.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat ... 104
6.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan, Pencegahan
Cacat, dan Perawatan Diri ...................................................................... 104
6.3 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat ............................. 105
6.3.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat................. 105
6.3.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xii
...................................................................................................... 105
6.3.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat ........................................................................................... 106
6.3.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
106
6.3.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat ....... 106
6.3.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat 107
6.3.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 107
6.3.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat . 108
6.4 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat 108
6.5 Biaya ....................................................................................................... 112
6.6 Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat ........................... 113
6.7 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 113
7. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 115
7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 115
7.2 Saran ....................................................................................................... 115
7.2.1 Program ....................................................................................... 115
7.2.2 Penelitian Selanjutnya ................................................................ 116
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 117
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Prevalensi dan jumlah kasus baru kusta di 130 negara pada wilayah
WHO tahun 2010 ............................................................................ 1
Tabel 2.1 Fungsi Saraf Tepi ............................................................................ 11
Tabel 2.2 Klasifikasi Kusta berdasarkan Program Pengobatan ...................... 12
Tabel 2.3 Dosis Obat Penderita PB ................................................................. 13
Tabel 2.4 Dosis Obat Penderita MB ................................................................ 13
Tabel 2.5 Tingkat Cacat Menurut WHO yang Disesuaikan untuk Indonesia . 17
Tabel 2.6 Hasil Pemeriksaan Keadaan Cacat pada Kartu Penderita Kusta ..... 18
Tabel 2.7 Hasil Penelitian Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
.......................................................................................................... 19
Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1 ................ 24
Tabel 2.9 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 2 ................ 25
Tabel 2.10 Kerusakan Fungsi Saraf Tepi .......................................................... 28
Tabel 2.11 Pengobatan Reaksi Berat ................................................................. 29
Tabel 2.12 Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Mata .............................. 33
Tabel 2.13 Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Kulit .............................. 35
Tabel 2.14 Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki .......... 37
Tabel 2.15 Perbedaan Metode Pengamatan Setelah Selesai Pengobatan .......... 48
Tabel 2.16 Tabel Pengukuran Biaya dan Konsekuensi pada Evaluasi Ekonomi 51
Tabel 4 Definisi Operasional ........................................................................ 61
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Puskesmas di Kabupaten Pasuruan
Tahun 2012 ...................................................................................... 85
Tabel 5.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 90
Tabel 5.3 Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 91
Tabel 5.4 Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 92
Tabel 5.5 Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 93
Tabel 5.6 Hubungan antara Umur dengan Pengemdalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 94
Tabel 5.7 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 94
Tabel 5.8 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 95
Tabel 5.9 Hubungan antara Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 96
Tabel 5.10 Hubungan antara Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 96
Tabel 5.11 Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ................................................ 97
Tabel 5.12 Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 98
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xiv
Tabel 5.13 Hubungan antara Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ................................................ 99
Tabel 5.14 Model Awal Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan
dengan Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun
2012 .................................................................................................. 100
Tabel 5.15 Model Akhir Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan
dengan Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun
2012 ................................................................................................. 100
Tabel 5.16 Gambaran Biaya Program dan Penderita pada Metode Pengamatan
Semi Aktif dan Metode Pengamatan Pasif di Kabupaten Pasuruan
Tahun 2012 ...................................................................................... 102
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Proses Terjadinya Kecacatan Kusta ................................... 16
Gambar 2.2 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif ................ 43
Gambar 2.3 Alur Pertemuan Penderita dengan Petugas pada Metode Pengamatan
Semi Aktif ..................................................................................... 45
Gambar 2.4 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif ....... 47
Gambar 3.2 Kerangka Konsep .......................................................................... 57
Gambar 5.1 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif ....... 87
Gambar 5.2 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Dikunjungi oleh Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
....................................................................................................... 88
Gambar 5.3 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif ................ 89
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kartu Penderita Kusta .............................................................. 122
Lampiran 2 Form POD ............................................................................... 126
Lampiran 3 Form Evaluasi Pengobatan Reaksi Berat ................................. 127
Lampiran 4 Kuesioner Puskesmas ............................................................. 129
Lampiran 5 Kuesioner Petugas Puskesmas ................................................ 132
Lampiran 6 Kuesioner Penderita ................................................................ 137
Lampiran 7 Hasil Analisis Bivariat ............................................................ 145
Lampiran 8 Hasil Analisis Multivariat ....................................................... 181
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
xvii
DAFTAR SNGKATAN
ALERT : All Africa Leprosy, Tuberculosis and Rehabilitation Training Centre
BTA : Bakteri Tahan Asam
CEA : Cost-Effectiveness Analysis
CER : Cost-Effectiveness Ratio
DDS : Diamino Diphenyl Sulphone
ENL : Erythema Nodosum Leprosum
GDP : Gross Domestic Product
ICER : Incremental Cost-Effectiveness Ratio
ILEP : International Federation of Anti-Leprosy Associations
KPD : Kelompok Perawatan Diri
MB : Multi Basiler
MDT : Multi Drugs Therapy
NCD : New Case Detection
OR : Odds Ratio
PB : Pausi Basiler
PCC : Pengawas Cegah Cacat
POD : Prevention of Disability
RCT : Randomized Clinical Trial
RFC : Release From Control
RFT : Release From Treatment
ST : Sensory Test
UPBM : Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat
VMT : Voluntary Muscle Testing
WHO : World Health Organization
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan penyakit kronis dan menular yang telah
dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi (Depkes RI, 2007). Namun hingga
tahun 2010, masih terdapat 130 negara di wilayah Afrika, Amerika, Asia
Tenggara, Mediterania Timur, dan Pasifik Barat yang memiliki beban
penyakit kusta tinggi. Data WHO (2011) menunjukkan bahwa Asia Tenggara
memiliki penderita kusta terdaftar (prevalensi) dan jumlah kasus baru (NCD)
terbanyak dibandingkan dengan empat wilayah lainnya, seperti yang
tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel Prevalensi dan jumlah kasus baru kusta di 130 negara
pada wilayah WHO tahun 2010
Wilayah WHO
Kasus Terdaftar
(prevalensi /10.000 penduduk)
Jumlah kasus baru (angka penemuan
kasus baru /100.000 penduduk)
Afrika
Amerika
Asia Tenggara
Mediterania Timur
Pasifik Barat
27.111 (0,38)
33.953 (0,38)
113.750 (0,64)
9.046 (0,17)
8.386 (0,05)
25.345 (3,53)
37.740 (4.25)
156.254 (8,77)
4.080 (0,67)
5.055 (0,28)
Sumber : WHO, 2011
Selain besarnya jumlah kasus baru dan prevalensi, WHO (2009) juga
menyatakan bahwa lebih dari tiga juta orang di seluruh dunia diperkirakan
hidup dengan kecacatan akibat kusta. Besarnya jumlah kasus baru, prevalensi,
dan jumlah kecacatan tersebut menunjukkan tingginya beban kusta di dunia
pada tahun 2010.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia tenggara, memiliki beban
penyakit kusta yang cukup tinggi. Pada tujuh tahun terakhir, Indonesia
menempati urutan ketiga di dunia dan urutan kedua di wilayah Asia Tenggara
(WHO, 2011). Berdasarkan Kemenkes RI (2011), pada tahun 2010 jumlah
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
2
Universitas Indonesia
kasus baru kusta di Indonesia mencapai 17.012 kasus dengan kecacatan
tingkat 2 di antara penderita baru sebesar 10,71% (1822 kasus).
Kecacatan sebagai salah satu indikator beban penyakit kusta,
menimbulkan masalah yang kompleks. Kecacatan yang terjadi pada bagian
mata, tangan, atau kaki penderita seringkali tampak menyeramkan sehingga
menimbulkan ketakutan yang berlebihan terhadap kusta (leprofobia) dan
stigma di masyarakat (Wisnu dan Hadilukito, 2003). Stigma di masyarakat
menyebabkan penderita kusta dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat
walaupun penderita tersebut telah diobati dan telah dinyatakan selesai
pengobatan (Wisnu dan Gudadi, 1997). Kecacatan menjadi penyebab
timbulnya stigma yang mengakibatkan terjadinya permasalahan kompleks,
tidak hanya terbatas pada masalah medis melainkan masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan, dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2007; Universitas
Sumatera Utara, 2008).
Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru
kusta. Kecacatan dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan,
bahkan setelah selesai pengobatan dan risiko cacat tersebut menurun bertahap
setelah tiga tahun berikutnya (Rodrigues dan Lockwood, 2011; Depkes RI,
2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Laporan WHO Expert Committee
on Leprosy dari beberapa Negara menyatakan bahwa rata-rata setelah selesai
pengobatan kusta terdapat 75% penderita dengan kecacatan (Susanto, 2006).
Sedangkan hasil penelitian penilaian kecacatan terhadap 43 penderita setelah
selesai pengobatan yang dilakukan di kabupaten Subang provinsi Jawa Barat
pada tahun 2001, menunjukkan 21 % mengalami kenaikan tingkat kecacatan
(Hasibuan, 2002).
Risiko kecacatan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan di
seluruh provinsi di Indonesia selama ini dipantau dengan menggunakan
metode pengamatan pasif (passive surveillance). Metode ini dilakukan selama
2 tahun setelah selesai pengobatan untuk tipe PB (pauci-baciler) dan 5 tahun
setelah selesai pengobatan untuk tipe MB (multi-baciler) tanpa pemeriksaan
laboratorium (Depkes RI, 2007). Metode ini disebut dengan pengamatan pasif
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
3
Universitas Indonesia
karena petugas tidak akan melakukan tindakan apabila penderita tidak datang.
Metode pengamatan pasif yang direkomendasikan oleh WHO ini, lebih
mengacu pada keaktifan penderita setelah selesai pengobatan untuk datang ke
puskesmas dan berkonsultasi dengan petugas puskesmas tiap tahun atau
kapan saja jika terdapat tanda-tanda relaps atau terdapat masalah-masalah lain
seperti terjadinya reaksi atau bertambah buruknya akibat kusta yang mereka
derita (Jacobson, 1994; Gebre dan Saunderson, 2001).
Setelah diterapkan, diketahui kerugian pada metode pengamatan pasif
adalah kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis (terutama silent
neuritis) secara dini berkurang. ALERT melakukan penelitian di Ethiopia
pusat terhadap 116 penderita setelah selesai pengobatan yang dipantau oleh
metode pengamatan pasif selama 5 tahun. Hasil menunjukkan bahwa dari 116
penderita yang didorong untuk datang tiap tahun ke pelayanan kesehatan
untuk pemeriksaan fungsi saraf dan penilaian tingkat kecacatan, hanya sedikit
yang datang untuk tindak lanjut . Sebanyak 56,9% penderita tidak pernah
datang sama sekali dalam 5 tahun. Berdasarkan penelitian ini juga diperoleh
odds ratio (OR) terjadinya kondisi yang memburuk pada kecacatan (nilai
kecacatan Mata-Tangan-Kaki meningkat) apabila pengamatan aktif tidak
dilakukan adalah 1,9 (disesuaikan umur, jenis kelamin, klasifikasi) (Gebre
dan Saunderson, 2001).
Berdasarkan berkurangnya kesempatan mendeteksi reaksi secara dini
dan memburuknya kondisi kecacatan pada penderita dalam metode
pengamatan pasif, maka pada tahun 2009 dilakukan suatu proyek uji coba
pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance). Metode yang dilakukan di
Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Gorontalo ini disebut dengan
pengamatan semi aktif karena petugas puskesmas akan pasif menunggu
penderita datang ke puskesmas atau Kelompok Perawatan Diri (KPD)
berdasarkan perjanjian minimal 3 bulan sekali untuk memeriksakan diri.
Namun, petugas akan mengunjungi penderita secara aktif apabila penderita
tidak datang dan tidak dapat dihubungi dalam tempo 4 bulan dari waktu yang
dijanjikan. Saat penderita bertemu dengan petugas puskesmas atau KPD, akan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
4
Universitas Indonesia
dilakukan pemeriksaan tanda awal reaksi dan pencegahan cacat (pemeriksaan
fungsi saraf), penilaian kondisi kecacatan, pemberian informasi tentang
perawatan diri, serta identifikasi kebutuhan medis dan alat pelindung diri
yang dibutuhkan oleh penderita (Kemenkes RI, 2010)
Pengamatan semi aktif secara umum, bertujuan untuk mencegah
peningkatan tingkat kecacatan (tingkat tetap atau menurun) pada penderita
setelah selesai pengobatan dalam pengamatan selama 5 tahun. Sedangkan
tujuan khusus dari metode ini adalah penderita tetap memiliki hubungan
dengan petugas puskesmas selama penderita masih berisiko, penderita
mampu melakukan perawatan diri secara teratur tiap hari, dan penderita
mendapatkan bantuan dalam mengatasi masalah medis yang ada (Kemenkes
RI, 2010). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan (2011), perlu
dilakukan kegiatan pengamatan semi aktif untuk mengurangi beban kecacatan
penderita kusta setelah selesai pengobatan. Kecacatan dapat dikurangi dan
penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan efisien dengan
menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita kusta setelah selesai
pengobatan untuk tetap berhubungan dengan Puskesmas selama penderita
tersebut membutuhkan bimbingan untuk mengatasi kecacatan yang dialami.
Kedua metode pencegahan cacat setelah selesai pengobatan tersebut
memiliki tujuan yang sama, yaitu lebih spesifik untuk mencegah terjadinya
peningkatan tingkat cacat (timbulnya cacat baru dan kondisi cacat yang
bertambah parah). Namun dari kedua metode tersebut, belum dapat ditentukan
metode yang mana yang lebih efektif-biaya. Hal ini disebabkan karena metode
pengamatan semi aktif belum pernah dilakukan sebelumnya, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan
metode pengamatan pasif adalah penelitian yang dilakukan oleh ALERT di
daerah Ethiopia pusat, pada penelitian ini metode pengamatan pasif
dibandingkan dengan metode pengamatan aktif. Hasil penelitian menunjukkan
pada kedua metode terdapat sedikit perbedaan efektivitas (mengurangi tingkat
kecacatan) namun biaya yang dibutuhkan pada metode pengamatan aktif lebih
mahal dibandingkan metode pengamatan pasif (Gebre dan Saunderson, 2001).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Berdasarkan paparan tersebut, peneliti berpendapat bahwa diperlukan
metode yang tepat untuk dapat mengevaluasi secara menyeluruh terhadap
efektivitas dan biaya dari penerapan metode pengamatan pasif dan
pengamatan semi aktif. Peneliti akan menggunakan Analisis Efektivitas Biaya
(CEA) yaitu suatu analisis yang mencari bentuk intervensi mana yang paling
menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara membandingkan
hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dimana ukuran input diukur dalam nilai
moneter dan ukuran output-nya diukur dalam jumlah output yang
dihasilkannya (Drummond, 2001).
Input yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya biaya yang
terdiri biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan oleh program
dalam mengendalikan nilai kecacatan pada penderita, sedangkan output yang
dimaksud adalah jumlah penderita yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan
sehingga tingkat cacat yang dimiliki tetap bahkan menurun. Selanjutnya
melalui penelitian yang akan dilakukan, akan diketahui metode mana yang
memiliki efektivitas biaya yang lebih tinggi dan menjadi suatu alternatif yang
sesuai untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita setelah selesai
pengobatan. Selain itu, peneliti juga akan melihat hubungan antara
pengendalian tingkat cacat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
kecacatan seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat
ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri
(Moshioni,et.al, 2010; Universitas Negeri Semarang, 2009; Susanto, 2006;
Universitas Diponegoro, 2002).
Penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak baik orang yang pernah
mengalami kusta dan keluarga, masyarakat umum, peneliti dan bagi program
pengendalian penyakit kusta dan penelitian ini tidak merugikan masyarakat.
Harapan peneliti adalah penelitian ini dapat menghasilkan data yang akurat
yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk merencanakan dan
melaksanakan program pengendalian penyakit kusta terkait pencegahan cacat
akibat kusta pada penderita setelah selesai pengobatan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka
dibutuhkan suatu penelitian yang dapat menentukan apakah metode
pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan pengamatan
pasif dalam mengendalikan tingkat cacat.
1.2 Rumusan Masalah
Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta.
Kecacatan dapat terjadi Kecacatan dapat terjadi sebelum pengobatan, selama
pengobatan, bahkan setelah selesai pengobatan (Rodrigues dan Lockwood,
2011; Depkes RI, 2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Upaya dalam
pengendalian kecacatan pada penderita yang telah selesai pengobatan adalah
dengan menerapkan metode pengamatan. Sejak tahun 1982, telah diterapkan
metode pengamatan pasif di seluruh wilayah Indonesia. Namun pada
penerapan pengamatan pasif ini, terdapat kerugian dalam pengendalian cacat
yaitu berkurangnya kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis
(terutama silent neuritis) secara dini (Gebre dan Saunderson, 2001). Guna
mengatasi kerugian tersebut, pada tahun 2009 dilakukan suatu proyek uji
coba pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance) pada Kabupaten
Pasuruan dan Gorontalo. Namun hingga saat ini belum diketahui apakah
metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan
metode pengamatan pasif yang telah diterapkan sebelumnya dalam
mengendalikan tingkat cacat.
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian untuk melihat metode
yang lebih efektif biaya dalam pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta
setelah selesai pengobatan antara pengamatan pasif dan metode pengamatan
semi aktif. Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Pasuruan pada Mei
2012 karena Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang
melaksanakan metode pengamatan semi aktif di 10 puskesmas dan metode
pengamatan pasif di 14 puskesmas. Selain itu, Kabupaten Pasuruan terletak di
Provinsi Jawa Timur yang merupakan provinsi dengan jumlah kasus kecacatan
terbanyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Prosentase kecacatan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
7
Universitas Indonesia
tingkat 2 di antara kasus baru yang terdapat di Kabupaten Pasuruan mencapai
8,9% (Kemenkes, 2011).
1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran biaya, metode pengamatan, umur, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat
reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri, dan tingkat cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan?
b. Bagaimana hubungan metode pengamatan dengan tingkat pengetahuan,
perawatan diri, dan pencegahan cacat pada penderita kusta yang telah
selesai pengobatan?
c. Bagaimana hubungan umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan
diri dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang telah
selesai pengobatan?
d. Faktor-faktor apa yang paling dominan mempengaruhi pengendalian
tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai pengobatan?
e. Bagaimana rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif terhadap
metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat pada
penderita kusta setelah selesai pengobatan?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif
terhadap metode pengamatan pasif setelah selesai pengobatan kusta dalam
pengendalian tingkat cacat.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi biaya, metode pengamatan, umur, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
8
Universitas Indonesia
reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri, dan tingkat cacat pada
penderita kusta yang telah selesai pengobatan.
b. Mengetahui hubungan antara metode pengamatan dengan tingkat
pengetahuan, perawatan diri, dan pencegahan cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan.
c. Mengetahui hubungan antara umur, tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan
cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan.
d. Mengetahui faktor-faktor apa yang paling dominan mempengaruhi
pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan.
e. Mengetahui rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif
terhadap metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat
pada penderita kusta setelah selesai pengobatan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembuat
kebijakan dalam merumuskan alternatif terbaik dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengendalian cacat pada program pengendalian penyakit
kusta.
b. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan
penelitian tentang efektivitas biaya pada metode lain terkait pengendalian
cacat pada penyakit kusta.
c. Metodologis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai metode
atau strategi yang tepat untuk mendapatkan metode yang lebih efektif dan
efisien dalam pengendalian cacat pada penyakit kusta.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
9
Universitas Indonesia
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis efektivitas biaya intervensi terhadap
penderita kusta setelah selesai pengobatan melalui metode pengamatan pasif
dan metode pengamatan semi aktif di kabupaten Pasuruan pada bulan Mei
2012. Penelitian ini dilakukan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan
di Kabupaten karena Kabupaten Pasuruan menerapkan metode pengamatan
pasif (14 puskesmas) dan metode pengamatan semi aktif (10 puskesmas).
Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian cross sectional.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
10 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Diagnosis Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri
yang menyerang kulit dan saraf tepi (James Chin, 2009). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan ditularkan melalui
pernapasan atau kulit dengan kontak erat dan lama. Bakteri pada penyakit
kusta memiliki masa inkubasi yang cukup panjang yaitu 2 hingga 5 tahun
(Depkes RI, 2007).
Diagnosa penyakit kusta dapat dilakukan oleh petugas puskesmas
atau tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan tentang penyakit ini.
Berdasarkan Pfaltzgraff dan Ramu (1994) dan Depkes RI (2007), diagnosa
penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya salah satu tanda dari 3 tanda
utama yang umum disebut cardinal sign yaitu :
a. Lesi berwarna keputihan (hypopigentasi) atau kemerahan (erithematous)
yang mati rasa (anaesthesi).
b. Adanya penebalan saraf tepi disertai dengan adanya gangguan fungsi.
Gangguan fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan kronis pada
saraf tepi (neuritis perifer).
c. Ditemukannya bakteri Mycobacterium leprae dari hasil pemeriksaan BTA
pada kerokan kulit.
Saraf tepi yang dimaksud dalam cardinal sign berikut dengan
fungsinya dapat dilihat pada tabel 2.1.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
11
Universitas Indonesia
Tabel 2.1
Fungsi Saraf Tepi
Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
Auricularis
magnus
Mempersarafi area
belakang telinga
Mempersarafi
kelenjar
keringat,
kelenjar
minyak, dan
pembuluh
darah
Facialis Mempersarafi
kelopak mata agar
bisa menutup
Ulnaris Mempersarafi jari
manis dan jari
kelingking
Rasa raba telapak tangan
bagian jari kelingking dan
separuh jari manis
Medianus Mempersarafi ibu
jari, telunjuk, dan
jari tengah
Rasa raba telapak tangan
bagian ibu jari, telunjuk,
jari tengah, separuh jari
manis
Radialis Kekuatan
pergelangan tangan
Peroneus
communis
Kekuatan
pergelangan kaki
Tibialis
posterior
Mempersarafi jari-
jari kaki
Rasa raba telapak kaki
Sumber : Depkes RI, 2007
2.2 Klasifikasi Kusta
Menurut Amirudin, Hakim, dan Darwis (2003), klasifikasi penyakit
kusta dilakukan untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis,
komplikasi, dan perencanaan operasional. Perencanaan operasional yang
dimaksud, misalnya menentukan pasien yang mempunyai nilai epidemiologis
tinggi sebagai target utama pengobatan, identifikasi pasien yang memiliki
peluang cacat.
Klasifikasi penyakit kusta yang umum digunakan antara lain
klasifikasi Madrid (1953), klasifikasi Ridley-Jopling (1962), dan klasifikasi
WHO (1981 dan modifikasi 1988). Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi
internasional yang membagi penyakit kusta menjadi 4 tipe yaitu intermediate
(I), tuberkuloid (T), borderline – dimorphous (B), Lepromatosa (L).
Sedangkan klasifikasi Ridley-Jopling merupakan klasifikasi yang digunakan
untuk kepentingan riset yang membagi penyakit kusta menjadi tipe
tuberkuloid (TT), borderline tuberkuloid (BT), mid – borderline (BB),
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
12
Universitas Indonesia
borderline lepromatous (BL), Lepromatosa (LL). Klasifikasi berikutnya
adalah klasifikasi WHO yang digunakan untuk kepentingan program
(memudahkan pengobatan di lapangan), yaitu tipe PB (pausibasilar) dan tipe
MB (multibasilar) dengan kriteria yang dijabarkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Klasifikasi Kusta berdasarkan Program Pengobatan
Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1 – 5 Jumlah > 5
Penebalan Saraf Tepi yang
Disertai dengan Gangguan
Fungsi (mati rasa/ kelemahan
otot yang dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan)
Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
Sediaan Apusan BTA Negatif BTA Positif
Sumber : Depkes RI, 2007
2.3 Pengobatan Kusta
Pengobatan pada penderita kusta dapat membunuh bakteri
Mycobacterium leprae sehingga dapat memutus mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit pada penderita, dan mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan (Depkes
RI, 2007). Pengobatan dengan minyak chaulmoogra (hydnocarpus) dikenal
sebagai pengobatan pertama kali yang efektif untuk kusta. Kemudian pada
tahun 1945, pengobatan tersebut digantikan dengan pengobatan yang
menggunakan dapson (DDS). DDS tidak hanya mengobati penyakit kusta
pada suatu individu, namun juga mengontrol kusta pada masyarakat di daerah
endemik (McDougall, 1997). Berdasarkan Depkes RI (1993), DDS
digunakan sebagai pengobatan kusta di Indonesia sejak tahun 1951. Pada
tahun 1969, program kusta diintegrasikan di puskesmas.
Sejak tahun 1982, WHO merekomendasikan pengobatan baru untuk
penyakit kusta yaitu rejimen MDT (Multi Drugs Therapy). Pengobatan
dengan MDT diterapkan oleh program kusta di Indonesia pada tahun yang
sama (McDougall, 1997; Depkes RI, 1993). MDT diharapkan dapat
mengantisipasi terjadinya resistensi obat saat penderita kusta hanya
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
13
Universitas Indonesia
mengkonsumsi DDS dalam pengobatan penyakit kusta (Soebono dan
Suhariyanto, 2003).
MDT (Multi Drugs Therapy) merupakan kombinasi dua atau tiga obat
yang terdiri dari obat rifampisin, lampren (clofazimin), dan dapson (DDS).
Rifampisin bekerja sinergis mematikan bakteri Mycobacterium leprae,
sedangkan obat lampren dan DDS bekerja untuk melemahkan dan
menghancurkan sisa-sisa bakteri. Rincian mengenai dosis obat ditampilkan
pada tabel 2.3 untuk penderita PB dan 2.4 untuk penderita MB.
Tabel 2.3
Dosis Obat Penderita PB
Obat Umur 10-14 tahun Umur ≥15 tahun Keterangan
Rifampisin 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum hari ke 1 di
depan petugas
DDS
50 mg/bulan 100 mg/bulan Minum hari ke 1 di
depan petugas
50 mg/hari 100 mg/hari Minum hari ke 2 – 28
di rumah
Sumber : Depkes RI, 2007
Tabel 2.4
Dosis Obat Penderita MB
Obat Umur 10-14 tahun Umur ≥15 tahun Keterangan
Rifampisin 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum hari ke 1 di
depan petugas
DDS
50 mg/bulan 100 mg/bulan Minum hari ke 1 di
depan petugas
50 mg/hari 100 mg/hari Minum hari ke 2 – 28
di rumah
Lampren
150 mg/bulan 300 mg/bulan Minum hari ke 1 di
depan petugas
50 mg/ 2 hari 50 mg/hari Minum hari ke 2 – 28
di rumah
Sumber : Depkes RI, 2007
Informasi pada kedua tabel tersebut adalah rincian dosis pada paket
obat yang tersedia dalam bentuk blister, yaitu paket obat untuk orang dewasa
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
14
Universitas Indonesia
dan anak umur 10 – 14 tahun. Sedangkan untuk anak yang umurnya di bawah
10 tahun, dosis obat disesuaikan dengan berat badan sebagai berikut :
Rifampisin : 10 – 15 mg/kgBB
DDS : 1 – 2 mg/kg BB
Lampren : 1 mg/kgBB
Pada awal rejimen MDT ini direkomendasikan, jumlah obat MDT
yang diberikan pada tipe PB adalah 6 blister dalam 6 – 9 bulan, sedangkan
pada tipe MB adalah 24 blister selama 24 – 36 bulan. Kemudian pada tahun
1997, muncul rejimen MDT generasi kedua oleh WHO sebagai hasil dari
penelitian terhadap pengobatan MDT pada tipe MB. Pada rejimen MDT
kedua ini, penderita MB direkomendasikan mendapatkan jumlah obat lebih
sedikit dari sebelumnya, yaitu 12 blister obat selama 12 – 18 bulan tanpa
meningkatkan risiko berkembangnya resistensi terhadap rifampisin
(McDougall, 1997; Depkes RI, 2007).
2.4 Selesai Pengobatan atau RFT
Selesai pengobatan atau RFT (Release from Treatment) adalah istilah
untuk menyatakan penderita telah selesai pengobatan kusta. Penderita PB
yang telah minum 6 blister obat MDT dalam 6 – 9 bulan dan penderita MB
yang telah minum 12 blister obat MDT dalam 12 – 18 bulan dinyatakan telah
menyelesaikan pengobatan atau RFT oleh petugas puskesmas dan akan
memasuki masa pengamatan (Depkes RI, 2007).
2.5 Relaps atau Kambuh
Relaps adalah kembalinya penyakit kusta secara aktif pada penderita
yang telah menyelesaikan pengobatan MDT (RFT) dengan gejala meluas dan
menebalnya lesi yang telah ada atau terbentuknya lesi baru, penebalan atau
kekakuan saraf, adanya saraf baru yang mengalami penebalan disertai
gangguan fungsi, ditemukannya bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif
atau pada lesi baru (Amirudin, Hakim, dan Darwis, 2003). Menurut Depkes
RI (2007), pernyataan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang
memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
15
Universitas Indonesia
Apabila relaps terjadi, maka penderita akan diobati kembali dengan
rejimen pengobatan yang sesuai dengan tipe kusta yang diderita berdasarkan
hasil pemeriksaan cardinal sign (Depkes RI, 2007). Pada saat pengobatan
dengan DDS dilakukan, relaps sering terjadi pada penderita setelah
pengobatan (RFT). Namun sejak pengobatan MDT dilaksanakan, angka
relaps setelah selesai pengobatan (RFT) sangat kecil, berkurang hingga
kurang dari 1 % (Lockwood, 2002).
2.6 Kecacatan Akibat Kusta
2.6.1 Penyebab Kecacatan
Kecacatan pada kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama
pengobatan, bahkan setelah selesai pengobatan dan risiko cacat tersebut
menurun bertahap setelah tiga tahun berikutnya (Rodrigues dan Lockwood,
2011; Depkes RI, 2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Kecacatan
dapat terjadi pada mata, tangan, dan kaki. Skema proses terjadinya
kecacatan pada penderita penyakit kusta dapat dilihat pada gambar 2.1.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
16
Universitas Indonesia
Gambar 2.1
Skema Proses Terjadinya Kecacatan Kusta
Sumber : Depkes RI, 2007; Wisnu dan Hadilukito, 2003
Pada skema tersebut, kecacatan berdasarkan penyebabnya terbagi
atas kecacatan primer dan kecacatan sekunder. Cacat primer adalah cacat
yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, yaitu melalui infiltrasi
langsung Mycobacterium leprae ke susunan saraf tepi dan organ atau dapat
juga melalui reaksi kusta. Aktivitas penyakit ini menyebabkan kerusakan
pada fungsi sensorik, motorik, dan otonom dari saraf tepi : facialis,
auricularis magnus, medianus, radialis, ulnaris, peroneus communis, dan
tibialis posterior. Infiltrasi bakteri pada kulit, jaringan subkutan, dan
Kecacatan Primer
Kecacatan Sekunder
Tangan/
Kaki
Mati
Rasa
Kornea
Mati Rasa,
Refleks
Kedip
Berkurang
Tangan/
Kaki
Lemah/
Lumpuh
Mata
Tidak
Bisa
Kedip
Kulit Kering
dan Pecah-
pecah
Gangguan Fungsi Saraf Tepi
Sensorik Motorik Otonom
Anestesi
(Mati Rasa) Kelemahan
Gangguan Kelenjar
Keringat, Kelenjar
Minyak, Aliran Darah
Luka Infeksi
Jari-jari
bengkok/
kaku Infeksi Luka
Mutilasi/
Absorbsi Buta
Mutilasi/
Absorbsi Buta Infeksi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
17
Universitas Indonesia
jaringan lain juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tersebut
(Depkes RI, 2007).
Cacat sekunder terjadi akibat adanya cacat primer. Kerusakan fungsi
saraf sensorik di bagian tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya luka
apabila bagian tubuh tersebut mengalami trauma mekanis atau termis.
Kerusakan fungsi saraf motorik dapat menyebabkan kontraktur yang dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan. Kerusakan fungsi
saraf otonom akan mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi
infeksi sekunder (Universitas Sumatera Utara, 2008).
2.6.2 Penilaian Kecacatan
Guna menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang telah
dilakukan, seluruh penderita kusta dinilai tingkat kecacatannya sesuai
dengan petunjuk WHO. Tingkat kecacatan menurut WHO yang disesuaikan
untuk Indonesia, secara garis besar terbagi menjadi 3 tingkat. Perbedaan
tingkat kecacatan di Indonesia dengan tingkat kecacatan menurut WHO,
terletak pada adanya gangguan fungsi sensoris pada mata yang tidak
diperiksa (cacat tingkat 1 pada mata) karena keterbatasan pemeriksaan di
lapangan. Secara lengkap, penetapan tingkat kecacatan tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.5.
Tabel 2.5
Tingkat Cacat Menurut WHO yang Disesuaikan untuk Indonesia
Tingkat Mata Telapak Tangan/Kaki
0 Tidak ada kelainan pada mata
akibat kusta.
Tidak ada cacat pada tangan dan
kaki akibat kusta.
1 Anestesi, kelemahan otot pada
tangan dan kaki (tidak ada
kecacatan/ kerusakan yang
kelihatan akibat kusta).
2 Ada lagophthalmos pada
mata (kelopak mata tidak
dapat menutup sempurna)
Ada cacat/kerusakan yang
kelihatan akibat kusta, misalnya
ulkus, jari kiting, kaki semper.
Sumber : Depkes RI, 2007
Pada penilaian kecacatan ini, suatu kecacatan yang bukan merupakan
akibat kusta tidak dihitung. Mati rasa pada bercak juga tidak dihitung
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
18
Universitas Indonesia
sebagai kecacatan tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf
perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit. (Depkes RI, 2005
dan 2007).
Pemeriksaan dan penilaian kecacatan pada penderita kusta dilakukan
saat mulai pengobatan dan pada saat selesai pengobatan (RFT). Nilai
tersebut dicatat pada kartu penderita yang wajib dimiliki oleh penderita baru
seperti yang terlihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.6
Tabel Hasil Pemeriksaan Keadaan Cacat pada Kartu Penderita Kusta
WAKTU PEMERIKSAAN TANGGAL
TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2) MATA TANGAN KAKI Nilai
Tertinggi Jumlah
Nilai ka ki ka ki Ka ki
Pertama
RFT
Sumber : PLKN, 2010
Pencatatan hasil pemeriksaan pada tabel tersebut, dimulai dengan
mengisi tanggal kemudian mencatat tingkat kecacatan menurut WHO
(nilai 0–2) pada kolom mata kanan, mata kiri, tangan kanan, tangan kiri,
kaki kanan, dan kaki kiri. Kolom nilai tertinggi diisi dengan nilai kecacatan
yang paling tinggi diantara kolom mata, tangan, dan kaki baik kiri maupun
kanan. Nilai tertinggi antara 0–2, nilai ini disebut dengan tingkat kecacatan.
Jumlah nilai diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai dari kolom mata,
tangan, dan kaki. Jumlah nilai berkisar 0–12, nilai ini disebut dengan skor
kecacatan. Pada penelitian ini, nilai kecacatan yang digunakan sebagai
output adalah jumlah nilai kecacatan atau nilai kecacatan tertinggi,
tergantung pada hasil penelitian.
2.7 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
Faktor - faktor diteliti hubungannya dengan kecacatan pada beberapa
penelitian yang dapat dilihat pada tabel 2.7.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Tabel 2.7
Hasil Penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan Kecacatan
No Peneliti Tahun Variabel yang diteliti
Hasil
Variabel yang
Berhubungan
Variabel yang
Tidak
Berhubungan
1 Moshioni,et.al
2010 Umur, tipe kusta,
pendidikan, jenis
kelamin
Umur, tipe kusta,
pendidikan
Jenis kelamin
2 Saputri
(UNS)
2009 Pengetahuan penderita
tentang kecacatan,
sikap penderita
terhadap kecacatan,
perilaku pencegahan
cacat penderita kusta,
jenis kelamin,
pendapatan,
keteraturan berobat,
kelambatan berobat,
reaksi kusta, tingkat
pendidikan, jenis kusta
Pengetahuan
penderita tentang
kecacatan, sikap
penderita terhadap
kecacatan, perilaku
pencegahan cacat
penderita kusta,
jenis kelamin, status
ekonomi,
keteraturan berobat,
kelambatan berobat,
reaksi kusta
Tingkat
pendidikan,
jenis kusta
3 Susanto 2006 Umur, pendidikan, tipe
kusta, reaksi,
pengetahuan,
keteraturan berobat,
diagnosis, perawatan
diri, jenis kelamin,
lama sakit, lama kerja
Umur, pendidikan,
tipe kusta, reaksi,
pengetahuan,
keteraturan berobat,
diagnosis,
perawatan diri,
Jenis kelamin,
lama sakit, lama
kerja
4 Kurnianto
(UNDIP)
2002 Umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, tingkat
penghasilan, riwayat
reaksi, tipe kusta, lama
sakit, lokasi lesi,
keteraturan berobat,
motivasi keluarga,
pencegahan cacat,
perawatan diri
Jenis pekerjaan,
tingkat ekonomi,
riwayat reaksi, tipe
kusta, lama sakit,
lokasi lesi,
keteraturan berobat,
motivasi keluarga,
pencegahan cacat,
perawatan diri
Umur, jenis
kelamin, tingkat
pendidikan, tipe
kusta
Peneliti memilih faktor- faktor yang berhubungan berdasarkan pada
hasil penelitian yang pernah dilakukan minimal oleh dua peneliti dan
menunjukkan adanya hubungan antara variabel tersebut dengan kecacatan.
Faktor keteraturan berobat tidak diteliti sebagai faktor risiko karena populasi
yang diteliti pada penelitian ini adalah penderita yang telah menyelesaikan
pengobatan secara teratur. Faktor-faktor risiko kecacatan yang diteliti pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
20
Universitas Indonesia
2.7.1 Karakteristik Responden (Umur, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan,
Tingkat Ekonomi)
2.7.1.1 Umur
Umur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),
diartikan sebagai lama waktu hidup seorang individu sejak dilahirkan.
Menurut Smith (1992) sebagaimana pada sebagian besar penyakit,
kecacatan pada kusta meningkat seiring dengan meningkatnya umur.
Penelitian membuktikan bahwa penderita usia lebih tua banyak mengalami
cacat dan memiliki kecacatan yang lebih serius daripada penderita yang
berusia muda (Guocheng, 1993). Pada usia lanjut terjadi penurunan
kemampuan hormonal, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik
(Courtright, 2002).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur ≥15 tahun
berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Namun penelitian yang
lain menyatakan bahwa tidak hubungan antara umur dengan kecacatan
(Universitas Diponegoro, 2002).
2.7.1.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang dimaksud pada penelitian ini adalah
tingkat pendidikan formal. Pendidikan formal adalah segenap bentuk
pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan
berjenjang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus
(Depdikbud, 1990).
Menurut Moschioni, et al (2010), penderita yang telah menempuh
pendidikan formal lebih waspada terhadap apa yang mereka butuhkan
termasuk dalam perhatian mencari pelayanan kesehatan. Rendahnya
tingkat pendidikan menyebabkan lambatnya pencarian pengobatan
terhadap gejala dini kerusakan fungsi saraf yang dapat berkembang
menjadi kecacatan. Smith (1992) juga menyatakan bahwa rendahnya
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
21
Universitas Indonesia
tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan
walaupun efek atau sebab tersebut masih belum dapat dimengerti secara
jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Namun penelitian yang
lain menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kecacatan (Universitas Diponegoro, 2002; Universitas Negeri
Semarang, 2009).
2.7.1.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal
tertentu (Depdikbud, 1990). Pengetahuan berisikan aspek positif atau
aspek negatif tentang suatu hal sehingga apabila seseorang lebih melihat
aspek positif daripada aspek negatif maka akan tumbuh sikap yang positif
terhadap hal tersebut, begitu pula sebaliknya (Ancok, 1987). Pengetahuan
mengenai terjadinya kecacatan pada kusta, reaksi, upaya pencegahan cacat,
dan perawatan diri pada seorang penderita akan mendorong timbulnya
sikap dan perilaku penderita tersebut untuk mencegah terjadinya kecacatan
apabila penderita dapat melihat kerugian yang disebabkan oleh kecacatan
dan reaksi serta melihat keuntungan dalam melakukan upaya pencegahan
cacat dan perawatan diri. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan penderita tentang kecacatan berhubungan dengan kecacatan,
OR 3,339 (Universitas Negeri Semarang, 2009; Susanto, 2006).
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori,
yaitu:
a. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100% dari
seluruh petanyaan
b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75% dari
seluruh pertanyaan
c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% - 55% dari
seluruh pertanyaan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan akan dibagi menjadi 2
kategori yaitu tinggi dan rendah. Kategori tingkat pengetahuan tinggi
mencakup pengetahuan yang baik dan cukup berdasarkan tingkat
pengetahuan menurut Arikunto. Sedangkan tingkat pengetahuan rendah
sama dengan kriteria pengetahuan yang kurang.
2.7.1.4 Tingkat Ekonomi
Menurut Smith (1992), status ekonomi yang kurang diidentifikasi
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan walaupun efek atau
sebab tersebut masih belum dapat dimengerti secara jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi
berhubungan dengan kecacatan dengan OR 5,8 (Universitas Diponegoro,
2002) dan 3,995 (Universitas Negeri Semarang, 2009).
2.7.2 Tipe Kusta
Klasifikasi penyakit kusta telah dipaparkan sebelumnya pada
tinjauan pustaka sub bab 2.1.2. Pada penelitian ini, klasifikasi kusta yang
akan dikaitkan sebagai faktor risiko kecacatan adalah klasifikasi WHO (tipe
PB dan MB) karena penelitian ini berkaitan dengan program.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe kusta
berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Guocheng (1993), prosentase penderita kusta tipe MB
yang mengalami kecacatan (81,15%) lebih besar daripada prosentase
penderita kusta tipe PB yang mengalami kecacatan (53,4%). Hal ini
disebabkan banyaknya kuman kusta pada tipe MB yang dapat menginfiltrasi
langsung ke susunan saraf tepi yang dapat menyebabkan kerusakan fungsi
saraf (Depkes RI, 2007). Namun penelitian yang lain menyatakan bahwa
tidak hubungan antara tingkat penghasilan dengan kecacatan (Universitas
Diponegoro, 2002; Universitas Negeri Semarang, 2009).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
23
Universitas Indonesia
2.7.3 Riwayat Reaksi
2.7.3.1 Pengertian Reaksi
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi
antigen-antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita,
terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi
atau cacat (Depkes RI, 2007, p.90).
Reaksi oleh beberapa penulis dianggap sebagai penyakit yang
lazim dalam perjalanan penyakit kusta. Namun, dalam kondisi tertentu
reaksi dapat berlangsung serius dan merambah serta merusak organ lain
dalam tubuh. Reaksi dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak ditangani
dengan tepat (Martodihardjo dan Susanto, 2003).
Terjadinya reaksi seringkali berkaitan dengan perubahan daya
tahan tubuh penderita. Faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus
timbulnya reaksi kusta adalah stres fisik (kehamilan, masa nifas, imunisasi,
penyakit infeksi, anemia, kurang gizi, kelelahan), stres mental (malu,
takut), kelelahan, kurang gizi, anemia, penyakit infeksi, sesudah imunisasi,
kehamilan dan setelah melahirkan, dan setelah pengobatan yang intensif
(Universitas Diponegoro, 2008; Depkes RI, 2007; Martodihardjo dan
Susanto, 2003).
2.7.3.2 Gejala dan klasifikasi
Reaksi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal
Reaksi tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan
seluler secara cepat sehingga menyebabkan terjadinya respon radang
pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Apabila dilihat
dari sudut pandang penyerangan bakteri, peningkatan imun ini dapat
menguntungkan, namun radang yang terjadi pada jaringan saraf dapat
menyebabkan kerusakan/kecacatan jika tidak ditangani secara cepat dan
tepat. Reaksi tipe 1 ditandai dengan adanya lesi kulit yang memerah,
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
24
Universitas Indonesia
bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi sering
terjadi, dan kadang disertai demam. Reaksi ini biasanya terjadi segera
setelah pengobatan, baik pada penderita PB maupun penderita MB
(Depkes RI, 2007). Berdasarkan tingkat keparahannya, reaksi tipe 1
terbagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat dengan gejala seperti
yang dipaparkan pada tabel 2.8.
Tabel 2.8
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1
No Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
1 Kulit Bercak merah,
tebal, panas, nyeri
Bercak merah, tebal, panas,
nyeri yang bertambah parah
sampai pecah, dekat dengan
saraf
2 Saraf Tepi Tidak ada nyeri
pada perabaan,
tidak ada gangguan
fungsi
Nyeri pada perabaan, terdapat
gangguan fungsi
3 Keadaan
Umum
Tidak ada demam Terkadang timbul demam
4 Gangguan
pada Organ
Lain
Tidak ada Tidak ada
Sumber : Depkes RI, 2007
b. Reaksi tipe 2 atau ENL (Erythema Nodosum Leprosum)
Reaksi tipe 2 merupakan reaksi humoral ditandai dengan
kumpulan nodul kemerahan (ENL) yang lunak dan nyeri, neuritis,
gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi, dan komplikasi pada
organ tubuh lainnya seperti mata, kelenjar getah bening, sendi, ginjal,
dan testis. Reaksi ini biasanya terjadi setelah mendapat pengobatan
yang lama (lebih dari 6 bulan) dan hanya terjadi pada penderita MB
(Depkes RI, 2007; Universitas Diponegoro, 2008). Berdasarkan tingkat
keparahannya, reaksi tipe 2 terbagi menjadi reaksi ringan dan reaksi
berat dengan gejala seperti yang dipaparkan pada tabel 2.9
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Tabel 2.9
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 2
No Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
1 Kulit Nodul merah,
panas, nyeri
Nodul merah, panas, nyeri yang
bertambah parah sampai pecah
2 Saraf Tepi Tidak ada nyeri
pada perabaan,
tidak ada gangguan
fungsi
Nyeri pada perabaan, terdapat
gangguan fungsi
3 Keadaan
Umum
Terkadang timbul
demam
Timbul demam
4 Gangguan
pada Organ
Lain
Tidak ada Terjadi peradangan pada mata,
testis, ginjal, kelenjar limfe,
gangguan pada tulang, hidung,
dan tenggorokan
Sumber : Depkes RI, 2007
2.7.3.3 Hubungan Reaksi dan Kecacatan
Prosentase penderita kusta yang mengalami kecacatan dengan
riwayat reaksi lebih besar daripada proporsi penderita kusta yang
mengalami kecacatan tanpa riwayat reaksi (Universitas Diponegoro, 2002;
Susanto, 2006) . Menurut Depkes RI (2007) reaksi merupakan salah satu
penyebab terjadinya kecacatan. Reaksi dapat merusak organ dalam tubuh
dan mengakibatkan kecacatan yang mendadak (Martodihardjo dan
Susanto, 2003).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi berhubungan
dengan kecacatan dengan OR yang bervariasi 4,9 (Universitas
Diponegoro, 2002) dan 2,404 (Universitas Negeri Semarang, 2009).
Berdasarkan penelusuran peneliti, belum ada penelitian lain yang
menyatakan bahwa tidak hubungan antara reaksi dengan kecacatan.
2.7.4 Upaya Pencegahan Cacat Akibat Kusta
Upaya pencegahan cacat (prevention of disability) menurut Depkes
(2007) adalah penemuan penderita baru secara dini, pengobatan penderita
dengan MDT, deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
26
Universitas Indonesia
saraf secara rutin, penanganan reaksi, penyuluhan, perawatan diri,
penggunaan alat bantu, dan rehabilitasi.
Menurut Srinivasan (1994), terdapat empat tahap pencegahan cacat :
a. Tahap pertama yaitu mencegah terjadinya kecacatan primer yang belum
berkembang dan mencegah cacat sekunder yang berkembang dari
beberapa cacat primer. Upaya pencegahan cacat primer lebih
menekankan pada diagnosis dan terapi diantaranya diagnosis kusta secara
dini serta pengobatan secara teratur dan adekuat tanpa adanya
penundaan. Upaya pencegahan sekunder menekankan pada pendidikan
dan perawatan. Pendidikan diberikan agar penderita memahami
bagaimana kecacatan sekunder dapat terjadi dan bagaimana cara
menghindarinya. Perawatan yang dimaksud diantaranya perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka, perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang
anestesi atau mengalami kelumpuhan otot (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
b. Tahap kedua adalah tindakan pencegahan cacat permanen. Beberapa
cacat pada kusta bersifat sementara namun dapat menjadi permanen
apabila diabaikan. Tindakan untuk mencegah cacat permanen yang dapat
dilakukan adalah diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, diagnosis
dini dan penatalaksanaan reaksi. Selain itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan fungsi sensorik, motorik, dan otonom oleh petugas
kesehatan. Penderita sebaiknya melaporkan perubahan-perubahan yang
terjadi terutama pada mata, tangan, dan kaki sesegera mungkin kepada
petugas kesehatan. Perubahan-perubahan yang dilaporkan penderita
tersebut sebaiknya dicatat oleh petugas kesehatan secara rutin setiap
bulan (Srinivasan, 1994; Wisnu dan Hadilukito, 2003).
c. Tahap Ketiga adalah pencegahan yang bertujuan untuk menghapuskan
kecacatan dengan membuat penderita yang cacat sedapat mungkin seperti
kondisi semula melalui fisioterapi, pembedahan korektif, dan alat bantu
seperti alas kaki khusus, orthesa, dan prosthesa.
d. Tahap Keempat adalah mencegah terjadinya pengucilan penderita dari
keluarga dan masyarakat. Pada tahap ini diupayakan agar penderita
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
27
Universitas Indonesia
memperoleh kembali kehormatannya yang hilang, menghasilkan
kemampuan, dan berbaur kembali dengan keluarga dan masyarakatnya.
Upaya pencegahan cacat yang dimaksud sebagai faktor risiko
kecacatan pada penderita setelah selesai pengobatan adalah suatu upaya
yang dilakukan penderita sejak menyelesaikan pengobatan dalam mencegah
terjadinya kecacatan baru dan bertambah buruknya cacat yang telah ada.
Berdasarkan pada pengertian dan tahapan pencegahan yang telah
dipaparkan, upaya pencegahan cacat yang sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini adalah upaya pencegahan tahap kedua (diagnosis dini dan
penatalaksanaan neuritis melalui pemeriksaan fungsi saraf serta diagnosis
dini dan penatalaksanaan reaksi).
Upaya pencegahan cacat tahap pertama (kecuali perawatan diri),
ketiga, dan keempat tidak termasuk faktor risiko kecacatan dalam penelitian
ini. Pencegahan cacat tahap pertama berupa diagnosis dan pengobatan kusta
(pencegahan cacat primer) dilakukan untuk penderita baru kusta. Sedangkan
perawatan diri (pencegahan cacat sekunder), menjadi faktor risiko terhadap
kecacatan yang akan dibahas secara terpisah pada bagian selanjutnya.
Pencegahan cacat tahap ketiga (upaya rehabilitasi medik) dan tahap keempat
(upaya rehabilitasi sosial) tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini karena
pencegahan cacat yang ditekankan pada penelitian ini hanya sampai pada
upaya pencegahan cacat primer dan sekunder.
Upaya pencegahan cacat dilihat dari bagaimana upaya penderita
setelah selesai pengobatan untuk memeriksakan diri secara dini dan teratur
mengenai reaksi dan neuritis yang sedang diderita kepada petugas
puskesmas. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wisnu dan Hadilukito
(2003), penderita sebaiknya melaporkan perubahan-perubahan yang terjadi
terutama pada mata, tangan, dan kaki sesegera mungkin kepada petugas
kesehatan. Perubahan-perubahan yang dilaporkan penderita tersebut
sebaiknya dicatat oleh petugas secara rutin. Hasil pemeriksaan terhadap
penderita akan ditulis oleh petugas di lembar pemeriksaan atau dikenal
dengan form POD (Prevention of Disability). Contoh form POD terlampir.
Penderita yang diidentifikasi mengalami neuritis ataupun reaksi akan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
28
Universitas Indonesia
ditangani sesuai dengan pengobatan yang telah ditentukan oleh program.
Adapun penjelasan mengenai pemeriksaan fungsi saraf dan reaksi secara
rutin berikut dengan penanganannya akan diulas sebagai berikut :
2.7.4.1 Pemeriksaan Fungsi Saraf secara Rutin
Penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan fungsi saraf tepi
secara permanen, kerusakan yang dialami dipaparkan pada tabel 2.10.
Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, jika diobati prednison
dengan tepat tidak akan menyebabkan kerusakan saraf permanen. Untuk
itu, pemantauan kerusakan fungsi saraf melalui pemeriksaan fungsi saraf
secara rutin sangat penting sebagai upaya pencegahan dini cacat (Depkes
RI, 2007).
Tabel 2. 10
Kerusakan Fungsi Saraf Tepi
Sumber : Depkes RI, 2007
2.7.4.2 Penanganan Reaksi dan Neuritis
Sebelum melakukan penanganan reaksi yang dialami oleh
penderita kusta, terlebih dahulu harus mengidentifikasi tipe reaksi yang
dialami serta derajat keparahan reaksi untuk menentukan penanganan dan
Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
Facialis Kelopak mata tidak
menutup
Kekeringan dan
kulit retak akibat
kerusakan kelenjar
keringat, kelenjar
minyak, dan
pembuluh darah
Ulnaris jari manis dan jari
kelingking lemah/
lumpuh /kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian jari
kelingking dan jari
manis
Medianus Ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah lemah/
lumpuh/ kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian ibu
jari, telunjuk, dan jari
tengah
Radialis Tangan lunglai
Peroneus
communis
Kaki semper
Tibialis
posterior
Jari kaki kiting Mati rasa telapak
kaki
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
29
Universitas Indonesia
obat yang tepat. Penentuan tipe reaksi dan adanya neuritis dapat dibantu
dengan mengisi form POD.
Prinsip penanganan reaksi ringan :
a. Berobat jalan, istirahat di rumah.
b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang jika perlu.
c. Jika masih dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis yang
sama seperti sebelumnya.
d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
Sedangkan prinsip penanganan reaksi berat dan neuritis, yaitu :
a. Imobilisasi lokal/ istirahat di rumah.
b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang jika perlu.
c. Jika masih dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis yang
sama seperti sebelumnya.
d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
e. Memberikan obat anti reaksi yaitu prednison dan lamprene. Obat
thalidomid yang juga merupakan obat anti reaksi tidak digunakan dalam
program.
f. Jika terdapat indikasi rawat inap, penderita dirujuk ke rumah sakit.
Pemberian obat prednison dan lampren terhadap kondisi reaksi
berat yang berbeda, secara rinci dapat dilihat pada tabel 2.11.
Tabel 2.11
Pengobatan Reaksi Berat
Tipe Reaksi Pengobatan Keterangan
Tipe 1 dan 2
Berat
Pemberian prednison pada pagi
hari sesudah makan:
2 Minggu ke 1 = 40 mg/hari
2 Minggu ke 2 = 30 mg/hari
2 Minggu ke 3 = 20 mg/hari
2 Minggu ke 4 = 15 mg/hari
2 Minggu ke 5 = 10 mg/hari
2 Minggu ke 6 = 5 mg/hari
Setiap 2 minggu penderita
diperiksa kembali fungsi
sarafnya. Jika kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Tipe Reaksi Pengobatan Keterangan
Neuritis Mencari dosis awal prednison
yaitu dengan memberikan 40
mg/hari pada pagi hari sesudah
makan selama 1 minggu
kemudian diperiksa kembali.
Jika tidak ada perbaikan, kondisi
maka dosis dinaikkan menjadi
50 sampai 60 mg/hari. Dosis
awal ini kemudian dipertahankan
selama 2 minggu.
Setelah dosis awal
ditemukan, setiap 2 minggu
penderita diperiksa kembali
fungsi sarafnya. Jika kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.
Tipe 1 dan 2
berat pada
anak
Pada anak, dosis awal prednison
maksimal 1 mg/ kgBB.
Setiap 2 minggu penderita
diperiksa kembali fungsi
sarafnya. Jika kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya. Total lama
pengobatan maksimal 12
minggu.
ENL (tipe
2) berat
berulang
Pemberian prednison pada pagi
hari sesudah makan:
2 Minggu ke 1 = 40 mg/hari
2 Minggu ke 2 = 30 mg/hari
2 Minggu ke 3 = 20 mg/hari
2 Minggu ke 4 = 15 mg/hari
2 Minggu ke 5 = 10 mg/hari
2 Minggu ke 6 = 5 mg/hari
Pemberian prednison didampingi
dengan pemberian lamprene
dosis dewasa :
2 bulan ke 1= 3 x 100 mg/hari
2 bulan ke 2 = 2 x 100 mg/hari
2 bulan ke 3 = 1 x 100 mg/hari
Pada pemberian prednison,
setiap 2 minggu penderita
diperiksa kembali fungsi
sarafnya. Jika kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.
Sumber : Depkes RI, 2007
Menurut Depkes RI (2007), hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian prednison pada penderita reaksi dan neuritis:
a. Pemberian prednison harus dalam pengawasan dokter puskesmas atau
petugas kusta kabupaten dan harus dicatat pada form evaluasi
pengobatan reaksi berat.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
31
Universitas Indonesia
b. Sebelum memulai pengobatan dengan prednison, terlebih dahulu
memeriksa kondisi penderita yang mungkin merupakan kontra indikasi
pemberian prednison (TBC, kencing manis, tukak lambung berat). Jika
kondisi tersebut berat maka penderita harus dirujuk ke rumah sakit.
c. Prednison diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan,
kecuali dalam kondisi terpaksa prednison dapat diberikan dengan dosis
terbagi misalnya 2 x 4 tablet/hari.
d. Penderita harus mematuhi aturan pemberian prednison karena
prednison dapat menyebabkan efek samping yang serius. Prednison
tidak boleh dihentikan secara mendadak karena dapat mengakibatkan
terjadinya rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise). Sedangkan efek samping penggunaan jangka panjang adalah
gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah terinfeksi,
perdarahan pada penderita tukak lambung, osteoporosis, dan cushing
syndrome (moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut
berlebihan, timbunan lemak).
2.7.4.3 Hubungan Upaya Pencegahan Cacat dengan Kecacatan
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa upaya pencegahan
cacat berhubungan dengan kecacatan, OR 3,429 (Universitas Negeri
Semarang, 2009).
2.7.5 Perawatan Diri
Penderita kusta dalam mencegah cacat perlu dilakukan perawatan
dan penggunaan alat bantu sebagai pelindung terhadap mata, tangan, dan
kaki yang berisiko. Jika terdapat kelemahan otot maka dilakukan latihan
secara aktif, namun jika kekuatan otot sudah hilang perlu dilakukan latihan
secara pasif. Bagian kaki dan tangan yang kontraktur, harus dilakukan
latihan peregangan. Kaki dan tangan yang tidak sensitif maka dilakukan
rendam-gosok-oles dan hindari benda tajam. Alat pelindung yang digunakan
dapat berupa kaca mata, sarung tangan, sepatu (Wisnu dan Hadilukito,
2003).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
32
Universitas Indonesia
Menurut ILEP (2006), Orang yang harus mengembangkan kebiasaan
rawat diri kusta adalah orang yang menderita kerusakan saraf dan orang
yang berisiko mengalami reaksi (selama pengobatan dan selama
sekurangnya 2 tahun setelah pengobatan). Banyak orang yang menderita
kusta akan menderita kerusakan saraf permanen sehingga akan selalu
memiliki risiko mengalami kerusakan jaringan dan perubahan bentuk.
Apabila mempelajari kebiasaan rawat diri yang baik, orang yang menderita
kusta dapat melindungi dirinya dari kerusakan lebih lanjut. Walaupun
petugas kesehatan, keluarga, dan teman kadang dapat membantu,
sebenarnya untuk menjaga diri tiap hari tergantung pada orang itu sendiri.
Kebutuhan yang ditekankan pada perawatan diri adalah kesadaran, periksa
pandang, dan proteksi.
Perawatan diri perlu dilakukan pada tangan, kaki jika telah terjadi
kerusakan saraf karena seringnya bagian-bagian tubuh ini mengalami
kecacatan. Masalah terpenting dalam kerusakan saraf akibat kusta adalah
hilangnya sensabilitas atau anestesi yang membuat orang mudah terluka
dalam aktivitas sehari-hari mereka. Kusta juga dapat menyebabkan
kerusakan pada saraf yang mengendalikan otot menyebabkan kelemahan,
clawing (jari bengkok), kekakuan sendi dan perubahan bentuk.
Petugas kesehatan seharusnya dapat mendorong para penyandang
kusta untuk dapat mengatasi komplikasi penyakit mereka sebisa mungkin di
rumah, tetapi juga siap untuk memberikan informasi dan nasehat jika
diperlukan. Perawatan diri dilakukan untuk menjaga agar mata yang susah
berkedip bebas dari cedera dan gangguan penglihatan, tangan dan kaki yang
mati rasa bebas dari luka, daerah kulit yang tidak berkeringat tetap lembut
dan bebas dari keretakan, mempertahankan mobilitas sendi walaupun ada
paralisis otot tangan atau kaki, melatih otot-otot penting yang mengalami
kelemahan untuk membuatnya kuat merencanakan perubahan kegiatan
sehari-hari guna mencegah berulangnya luka, serta membuat penderita
mampu menjaga tangan dan kaki mereka.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
33
Universitas Indonesia
2.7.5.1 Perawatan diri pada Mata
Jenis kecacatan yang terjadi pada mata dan perawatan diri yang
dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.12.
Tabel 2.12
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Mata
Jenis
kecacatan
Keterangan Perawatan Diri
Lagophthalmos Kondisi mata tidak
dapat menutup dengan
sempurna karena otot
yang berfungsi
menutup mata menjadi
lemah atau lumpuh
(paralisis) akibat
terjadinya kerusakan
saraf facialis saat
reaksi kusta.
Tanda berupa
keluarnya air mata
terus-menerus,
terkadang hilangnya
sensasi kornea yang
menyebabkan
hilangnya refleks
kedip normal.
Menyebabkan kornea
mengalami risiko
rusak sehingga
warnanya menjadi
kurang jernih dan
transparan
Harus mengembangkan kebiasaan baru yang
disebut ’think blink’ atau ’pikir-kedip’
(didorong untuk melakukan ’berkedip’ yang
dipaksakan tersebut kapan saja saat orang
melihat obyek/benda yang umum di sekitar
mereka yang dilakukan cukup lama)
Mengenakan kaca mata.
Mengenakan topi atau kerudung
Menggunakan kain atau kipas untuk mengusir
lalat
Menutup kepala dengan kain atau gunakan
kelambu saat tidur
Menjaga mata tetap bersih dan lembab
(menggunakan tetes mata yang mengandung air
mata buatan yang tersedia di pasaran atau
larutan saline steril yang diteteskan sepanjang
hari ke mata)
Tidak menggosok mata (terutama dengan
tangan mati rasa yang kasar atau dengan kain
yang kotor)
Menjaga daerah sekitar mata tetap bersih
dengan menggunakan kain bersih yang
basah/lembab
Memeriksa mata secara rutin tiap hari
(menggunakan cermin atau meminta bantuan
teman untuk melihat apakah ada tanda luka,
kemerahan atau bulu mata yang bengkok
masuk ke mata),
Memeriksa ketajaman penglihatan tiap hari
dengan melihat benda tetap yang sama yang
berjarak 6 meter
Melakukan latihan aktif tiap hari (penderita
mencoba keras menutup mata dengan erat)
Jika tidak dapat melakukan latihan aktif maka
penderita dapat melakukan latihan pasif tiap
hari untuk mencegah masalah berlanjut
(mencoba keras menutup mata dengan erat
kemudian meletakkan jari-jari di sudut luar dan
perlahan tarik ke luar hingga mata tertutup)
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
34
Universitas Indonesia
Jenis
kecacatan
Keterangan Perawatan Diri
Peradangan
(inflamasi)
Tanda utama adalah
nyeri dan kemerahan
yang menetap pada
mata
Terjadi karena mata
terus terpapar debu
atau binatang kecil
Harus ditangani khusus oleh orang yang terlatih
dalam perawatan mata
Ulserasi
Kornea
Pada kornea terdapat
bintik putih dan mata
merah
Terjadi karena sensasi
pada kornea
menghilang kemudian
terpapar benda seperti
pasir, serangga, atau
bulu mata
jika tidak ditangani
secepatnya dapat
menimbulkan
kebutaan
Harus segera dirujuk ke spesialis mata
Sumber : ILEP, 2006
2.7.5.2 Perawatan Diri pada Kulit
Jenis kecacatan yang terjadi pada kulit dan perawatan diri yang
dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.13.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Tabel 2.13
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Kulit
Jenis
Kecacatan
Keterangan Perawatan Diri
Kulit
Pecah
dan
Kalus
Disebabkan oleh
kulit yang
dibiarkan menjadi
terlalu kering
akibat rusaknya
saraf yang
mengendalikan
pengeluaran
keringat
Kulit pecah
seringkali
ditemukan di
lengkungan/ lipatan
tangan, sekitar
tumit, dan lipatan
antar jari-jari kaki.
Kulit yang pecah
merupakan luka
yang tidak boleh
diabaikankarena
dapat menjadi pintu
masuknya infeksi.
Jika luka terinfeksi,
bisa dengan mudah
menyebar ke sendi
dan tulang sehingga
menyebabkan
hilangnya jari
Melakukan periksa pandang pada kulit sekurangnya
sekali sehari. Melihat apakah ada yang luka atau
pecah, daerah yang merah atau bengkak. Jika
kesulitan dapat menggunakan cermin untuk
membantu melihat. Guna mencegah terjadinya ulkus,
maka kaki dan tangan harus diistirahatkan saat
terdapat tanda awal yang ditemukan pada saat periksa
pandang
Pemeriksaan alas kaki yang dipakai juga dilakukan
tiap hari. Alas kaki diperiksa apakah ada batu atau
benda keras lain yang mungkin terperangkap di
dalamnya, atau benda tajam yang mungkin dapat
menembus sol alas kaki. Periksa bagian bawah alas
kaki, apakah ada benda tajam yang mungkin dapat
menembus sol saat alas kaki digunakan untuk berjalan
Jika kulit lembut dan elastis, maka kemungkinan
untuk retak karena tekanan (pembebanan atau
gesekan) adalah kecil. Kalus akan terbentuk pada
bagian bawah kaki yang mengalami tekanan dan akan
lebih cepat muncul jika kulit mengalami kerusakan
sehingga penderita perlu melakukan aktivitas
merendam kaki dan tangan dengan air bersih dalam
waktu 20 hingga 30 menit, menggosok kulit kaki dan
tangan yang kering dengan benda abrasif (batu apung,
sabut kelapa, tongkol jagung, amplas, dan alat kikir),
dan mengoleskan minyak dan salep pelembab pada
kulit pecah dan kalus yang telah direndam sebelum
benar-benar kering
Kulit
Pecah
dan
Kalus
Jika infeksi
menyebar ke tulang
tumit, infeksi dapat
menghancurkan
tulang tersebut.
Jika tulang tumit
hancur atau rusak
berat, ada
kemungkinan
penderitanya
kehilangan seluruh
kakinya
Apabila kalus tidak dapat hilang dengan melakukan
kegiatan merendam, menggosok, dan mengoles atau
terlalu banyak kulit bagian dalam yang retak maka
petugas harus menghilangkannya dengan skapel
Mengistirahatkan dan melindungi jari yang terluka
menggunakan bidai agar tidak bergerak (dari plastik,
pipa karet, kayu, bambu). Bidai mencegah
pemendekan jari lunak (terutama sekitar daerah sendi)
selama fase penyembuhan. Bidai melindungi luka dan
menahan jari pada posisi terbaik yang paling
menguntungkan. Bidai tersebut dipakai selama 23 jam
tiap hari, 1 jam bidai dilepas untuk memijat dan
menggerakkan sendi untuk mencegah kekakuan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
36
Universitas Indonesia
Jenis
Kecacatan
Keterangan Perawatan Diri
Kulit
melepuh
Penyebab utama
kulit melepuh :
Panas (sumber
kontak langsung
dengan cairan
/permukaan
panas/ api)
Gesekan/ friksi
(gosokan
berulang pada
kulit dengan
permukaan keras
seperti alat yang
tidak dilapisi dan
sepatu tidak pas).
Hal pertama yang dilakukan yaitu menentukan
penyebab terjadinya kulit melepuh dan meyakinkan
bahwa ada tindakan untuk mencegah berulangnya
kejadian tersebut.
Jangan membuka atau menusuk lepuhan.
Bersihkan perlahan dengan sabun yang lembut dan air
bersih mengalir tanpa memecahkan kulit, lalu
keringkan. Olesi dengan cairan iodium agar lepuh
mengering cepat. Tutup dengan pembalut tebal dari
kain atau kasa sebagai bantalan hingga sekelilingnya.
Istirahatkan bagian yang terluka. Jika lepuhan pecah
maka penanganan sama seperti luka terbuka
Luka
terbuka
(ulkus)
Seluruh luka terjadi
karena jaringan
pada bagian tubuh
mati rasa mendapat
penekanan seperti :
Cedera tiba-tiba
karena benda tajam
yang mengiris atau
menembus kulit
Tekanan berulang
dan gesekan
(seperti ulkus di
kaki karena
berjalan
Luka di tangan
akibat tidak
menggunakan
pelindung pada
peralatan yang
dipegang tangan)
Terbakar.
Luka yang bersih, cairan jernih, dan superfisial ditangani oleh petugas dan penderita bersama-sama
Luka lain (daerah luka merah, hangat, dan bengkak
dengan kelenjar limfe nyeri dan bengkak, eksudat
nanah, luka yang dalam) dapat mengalami komplikasi
akibat infeksi jaringan lunak atau tulang sehingga
harus dirawat di rumah sakit /dokter spesialis.
Hampir semua luka sembuh bila diistirahatkan dan
akan memburuk bila tidak diistirahatkan. Sepanjang
orang tersebut sehat, jaringan yang rusak akan
memperbaiki sendiri. Jika ulkus di kaki, lebih baik
berbaring di tempat tidur dengan kaki dinaikkan di
atas level jantung (tirah baring). Jika tidak dapat
sepenuhnya istirahat, sedapat mungkin
mengistirahatkan bagian yang terluka dengan bidai
atau berjalan dengan kruk/tongkat.
Lingkungan luka bebas dari benda asing (bahan
pembalut tidak berlebihan, tidak menggunakan
kapas), bebas substansi beracun (mengikis jaringan
mati dari pinggir luka), bebas mikroorganisme
berbahaya, lembab tapi tidak terlalu basah (nanah atau
cairan dari luka harus didrainase, ganti pembalut yang
kotor akibat cairan yang keluar dari luka), tidak
kering, temperatur stabil (luka dibersihkan/direndam
dalam air yang suhunya mendekati suhu tubuh).
Higiene harus terjaga sehingga tidak menjadi sumber
infeksi terhadap luka.
Sumber : ILEP, 2006
2.7.5.3 Perawatan Diri pada Tangan dan kaki
Jenis masalah atau kecacatan yang terjadi pada tangan dan kaki
serta perawatan diri yang dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.14.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Tabel 2.14
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki
Jenis
Masalah
/Kecacatan
Keterangan
Perawatan Diri
Tekanan Saat permukaan yang
keras digenggam terlalu
keras, tekanan dapat
menyebabkan luka pada
tangan.
Contoh aktivitas :
bekerja dengan sekop,
bajak, palu, atau saat
menggenggam
pegangan sepeda atau
motor.
Banyak orang tidak
mampu
mendistribusikan beban
tubuh secara merata
pada kaki sehingga area
tertentu pada kaki
mengalami tekanan
lebih berat daripada
area lain. Tekanan
tersebut dalam waktu
tertentu akan
mengakibatkan jaringan
rusak
Belajar memperhatikan dan memikirkan
aktivitasnya untuk bisa mencegah luka karena
tidak memiliki sensasi yang dapat
memperingatkan apabila ada kegiatan tertentu
yang tidak aman
Guna mencegah tekanan terjadi pada tangan,
pegangan yang keras dibungkus dengan
menggunakan kain atau material lain yang
lembut sehingga berfungsi sebagai bantalan
agar lebih lembut dipegang oleh tangan.
Guna mencegah tekanan terjadi pada kaki,
sepatu atau sandal diberi sol yang lembut pada
bagian dalamnya untuk dapat mambantu
mengurangi tekanan.
Apabila terjadi luka pada tangan dan kaki,
dapat dilakukan penanganan seperti
penanganan luka/ulkus pada kulit.
Gesekan Aktivitas dengan tangan
terus menerus meluncur
maju mundur di atas
permukaan keras dapat
menimbulkan gesekan
pada tangan sehingga
mengakibatkan lepuhan
Contoh aktivitas :
mendayung perahu,
menggiling jagung,
menumbuk tepung
Tali sandal dan bagian
atas sepatu bisa
menggesek kulit kaki
yang menyebabkan
lepuh dan dapat
menimbulkan luka
serius pada kaki yang
mati rasa dan kering
Belajar memperhatikan dan memikirkan
aktivitasnya untuk mencegah luka karena tidak
memiliki sensasi yang dapat memperingatkan
apabila ada kegiatan tertentu yang tidak aman
Guna mencegah gesekan terjadi pada tangan,
permukaan yang keras diberi bantalan agar
pegangannya kokoh dan mantap. Bantalan
karet sangat berguna untuk mencegah
slip/meluncurnya genggaman.
Guna mencegah gesekan terjadi pada kaki,
kulit dijaga senantiasa lembut dan elastis
dengan kegiatan merendam, menggosok, dan
mengoleskan minyak. Kemudian menghindari
penggunaan alas kaki yang terbuat dari bahan
yang keras yang tidak dapat membengkok
dengan mudah seperti kulit atau plastik cetak.
Apabila terjadi lepuhan pada tangan dan kaki,
dapat dilakukan penanganan seperti
penanganan pada kulit lepuh.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Jenis
Masalah
/Kecacatan
Keterangan
Perawatan Diri
Panas
/terbakar
Contoh : saat memasak,
karena makanan atau
minuman panas, duduk
di dekat api, merokok,
terkena knalpot. atau
duduk dekat mesin yang
sedang menyala.
Belajar memperhatikan dan memikirkan
aktivitasnya untuk bisa mencegah luka karena
tidak memiliki sensasi yang dapat
memperingatkan apabila ada kegiatan tertentu
yang tidak aman
Guna mencegah terbakar/ terkena panas maka
harus menemukan cara mencegah kontak kulit
dengan permukaan panas atau terlalu dekat
dengan api, contoh : menggunakan sendok
untuk makan, memakai tambahan di luar
cangkir/ gelas yang panas, menggunakan kain
tebal untuk memegang peralatan panas,
menggunakan pemegang pipa rokok, kaki
dilipat jika duduk dekat api.
Luka bakar diobati perak sulfadiazine atau
obat lain yang tersedia di puskesmas.
Luka akibat
benda tajam
Benda tajam yang kasar
seperti serpihan kayu,
kaca, duri, seng, paku,
alat tajam dapat melukai
tangan dan kaki.
Belajar memperhatikan dan memikirkan
aktivitas untuk mencegah luka karena tidak
memiliki sensasi yang dapat memperingatkan
jika ada kegiatan tertentu yang tidak aman
Guna mencegah luka akibat benda tajam pada
tangan, tangan harus diproteksi dengan sarung
tangan atau kain saat melakukan aktivitas
yang berisiko melukai tangan. Orang harus
selalu mencoba dan menyadari bahwa
tangannya dalam bahaya.
Guna melindungi kaki, dapat menggunakan
alas kaki dengan sol luar yang keras.
Jika terjadi luka, maka dilakukan penanganan
seperti penanganan luka/ulkus pada kulit.
Tangan
lumpuh atau
lemah
Tangan yang lumpuh
atau lemah diakibatkan
adanya kerusakan pada
saraf tepi pada tangan
Tangan lumpuh/ lemah harus dijaga agar
kulitnya tetap dalam kondisi baik dengan cara
merendam, menggosok, mengoleskan minyak.
Jari tangan yang lemah/ lumpuh harus dipijat
untuk mencegah kekakuan.
Latihan meluruskan jari-jari yang mulai
bengkok. Tangan yang lemah diletakkan di
atas permukaan datar dan lunak dengan
telapak menghadap ke atas. Bagian pinggir
tangan lain diletakkan kuat dan didorong
perlahan dari permulaan pergelangan tangan
hingga ke ujung jari yang lemah, tahan dalam
hitungan sepuluh. Latihan diulangi 3 kali
sehari.
Latihan ibu jari yang lemah. Letakkan tangan
yang ibu jarinya lemah di atas permukaan
datar dan lunak. Letakkan tangan yang kuat di
atas tangan yang ibu jarinya lemah. Lingkari
sekeliling ibu jari yang lemah dengan jari-jari
tangan lain, ibu jari diposisikan tegak,
kemudian tahan. Tanpa merubah posisi,
lakukan gerakan mengurut ke arah ujung ibu
jari yang lemah hingga lurus. Setelah di ujung
ibu jari tahan dalam hitungan sepuluh. Latihan
diulangi 3 kali sehari
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Jenis
Masalah
/Kecacatan
Keterangan
Perawatan Diri
Tangan
lumpuh atau
lemah
Latihan meluruskan jari secara aktif. Caranya
adalah mengepalkan tangan yang mengalami
kelemahan kemudian memaksakan untuk
membuka dan tahan pada posisi membuka
dalam hitungan sepuluh. Latihan dilakukan
sekurangnya 3 kali sehari
Meluruskan jari yang telah bengkok secara
pasif dengan bidai minimal digunakan pada
malam hari. Bidai harus diberi bantalan serta
dilepas dan diperiksa secara reguler untuk
mencegah terjadinya luka akibat tekanan.
Bidai hanya diberikan pada orang yang dapat
memahami risiko dalam menggunakannya.
Kaki semper terjadi jika saraf
poplitea lateralis
mengalami kerusakan
Jika mengalami kaki
semper, orang tidak
mampu mengangkat
atau menahannya tetap
stabil sehingga ketika
tungkai diangkat, kaki
seakan menjadi
tergantung lepas.
Kaki semper bisa
menimbulkan
serangkaian kerusakan
pada kaki jika kaki juga
kebetulan mengalami
gangguan sensasi (mati
rasa).
Menjaga kulit agar tetap dalam kondisi yang
baik dengan cara merendam, menggosok, dan
mengoleskan minyak.
Jika layanan rujukan dapat diakses, penderita
dirujuk untuk memperoleh pegas/ per atau
bidai posterior untuk kaki semper. Jika
layanan rujukan tidak dapat diakses, pegas
kaki semper dapat dibuat sendiri dengan
memasang ban dalam sepeda ke bagian
pengikat di betis sampai ke sepatu kemudian
menggunakan material yang kuat yang
dipaskan ke sekeliling sepatunya. Pegas
tersebut dapat melindungi kaki agar tidak
tergantung lepas saat berjalan.
Guna mencegah kaki tertarik melengkung ke
arah bawah karena tarikan otot di bagian
belakang kaki, maka dibutuhkan latihan. Bila
masih ada kekuatan dapat melakukan latihan
aktif. Sembari duduk, penderita mencoba
sedapat mungkin mengangkat kaki yang
lunglai. Bila masih ada kekuatan, memakai
beban dengan menggunakan kantong berisi
pasir. Latihan dilakukan 20 kali setiap latihan
pada pagi dan sore hari.
Guna menghindari pemendekan tendo achiles
pada kaki semper maka perlu dilakukan
latihan pasif. Kain dilingkarkan ke sekeliling
kaki. Kain tersebut ditarik untuk menarik kaki
ke arah atas. Kaki ditahan dalam posisi
tersebut, sementara menghitung hingga
sepuluh, kemudian baru dilemaskan. Lakukan
20 kali setiap latihan pada pagi dan sore hari.
Sumber : ILEP, 2006
Kecacatan yang telah terjadi pada kaki dapat terlindungi oleh alas
kaki dari masalah yang dapat menyebabkan memburuknya kecacatan
seperti yang dijelaskan pada tabel 2.14. Adapun alas kaki yang sesuai
untuk kaki yang mati rasa yaitu :
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
40
Universitas Indonesia
a. Bersol luar yang keras untuk mencegah penetrasi benda tajam dari
tanah
b. Sol dalam yang lembut (berguna mengurangi tekanan pada kaki saat
berjalan) dengan bahan dari karet mikroseluler (MCR) atau Ethyil
Vinyl Acetate (EVA) setebal 4 mm.
c. Kelengkungan yang cukup tinggi sekitar jari-jari kaki (terutama jika
orang tersebut memiliki jari-jari yang bengkok)
d. Jika penderitanya juga menderita kecacatan pada tangan atau mata,
disarankan untuk memilih sepatu dengan penutup berperekat (velcro) di
bagian depan kaki dan tali belakang yang menahan serta mudah
disesuaikan.
Alas kaki yang harus dihindari adalah :
a. Sepatu atau sandal dari plastik
b. Sepatu dengan paku di bagian bawahnya
c. Sepatu modis dengan tumit tinggi
d. Sandal yang tidak punya tali pengikat di bagian belakang
e. Alas kaki rusak yang telah diperbaiki lagi. Alas kaki yang diperbaiki
justru dapat berbahaya karena jahitan dan kulit yang kaku justru dapat
menyebabkan luka.
2.7.5.4. Hubungan Perawatan Diri dengan Kecacatan
Berdasarkan hasil beberapa penelitian terdapat hubungan antara
perawatan diri dengan kecacatan dengan OR 4,1 (Universitas
Diponegoro, 2002; Susanto, 2006).
2.8 Program Pengawasan Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan
Surveilans (Surveillance) berasal dari bahasa Perancis “Surveiller”
yang berarti mengamati sesuatu dengan perhatian penuh disertai dengan
kemampuan dan seringkali kecurigaan. Menurut WHO, Surveilans adalah
proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi data secara
sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
41
Universitas Indonesia
membutuhkan untuk diambil tindakan (Universitas Diponegoro, 2006b).
Surveilans yang dilakukan oleh program pengendalian penyakit kusta
terhadap penderita kusta setelah selesai pengobatan lebih dikenal dengan
istilah pengamatan atau pengawasan (Depkes RI, 1993). Pengamatan
dilakukan oleh petugas puskesmas sejak penderita dinyatakan RFT hingga
penderita dinyatakan RFC (Release from Control) untuk melihat kondisi
tertentu dari penderita kusta sesuai dengan tujuan program. RFC (Release
from Control) adalah istilah untuk menyatakan penderita telah selesai dari
masa pengawasan/pengamatan (Depkes RI, 2005). Masa pengamatan
terhadap penderita setelah selesai pengobatan dilakukan selama beberapa
tahun tergantung pada jenis pengamatan dan tujuan pengamatan.
Terdapat 3 metode pengamatan terhadap penderita setelah selesai
pengobatan yaitu metode pengamatan aktif, pasif, dan semi aktif.
2.8.1 Metode Pengamatan Aktif
Metode pengamatan aktif (Active Surveillance) adalah suatu metode
pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada penderita
setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas atau dikunjungi oleh
petugas kusta secara rutin, yaitu sekali dalam 6 bulan. Penderita yang tidak
datang ke puskesmas dalam 6 bulan akan ditelusuri dan ditemui oleh
petugas puskesmas. Pada saat datang ke puskesmas atau dikunjungi,
penderita diperiksa secara klinis maupun laboratorium. Pengamatan
dilakukan selama 4 tahun untuk penderita PB dan 5 tahun untuk penderita
MB (Depkes RI, 1984).
Metode pengamatan aktif bertujuan untuk mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya kasus relaps (kambuh) pada penderita dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik terhadap tanda
relaps dan kondisi kecacatan, serta pengobatan kembali sesuai dengan tipe
kusta jika penderita dinyatakan relaps (Gebre dan Saunderson, 2001).
Metode pengamatan aktif dihentikan pada masa penggantian
regimen DDS ke regimen MDT karena pada saat itu risiko terjadinya,
relaps sangat kecil (Srinivasan, 1995; Manjunath, 2001).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
42
Universitas Indonesia
2.8.2 Metode Pengamatan Pasif
Metode pengamatan pasif (passive surveillance) adalah suatu metode
pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada penderita
setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas minimal sekali dalam
setahun tanpa pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2007; Depkes RI,
1993 ; Srinivasan, 1995). Penderita yang tidak datang ke puskesmas dalam 1
tahun tidak akan ditelusuri oleh petugas puskesmas dan dianggap tidak
memiliki keluhan akibat kusta. Metode pengamatan pasif bertujuan untuk
mengidentifikasi terjadinya reaksi, neuritis, dan relaps pada penderita
dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap kondisi kecacatan, tanda
reaksi dan neuritis, serta tanda relaps (Jacobson, 1994). Penderita yang
datang akibat adanya keluhan reaksi dan neuritis akan ditangani dengan
pengobatan prednisone dan lamprene sesuai dengan kebijakan program
mengenai penatalaksanaan reaksi. Penderita yang teridentifikasi relaps akan
diberikan pengobatan ulang sesuai dengan tipe kusta yang diderita (Depkes
RI, 2007). Sedangkan penderita yang mengalami luka akibat kusta akan
ditangani sesuai dengan tata cara perawatan luka seperti yang dipaparkan
oleh ILEP (2006) pada sub bab 2.7.5 mengenai perawatan diri. Selain
memberikan bantuan tindakan medis, petugas puskesmas juga memberikan
informasi tanda-tanda reaksi dan pentingnya perawatan diri. Alur kegiatan
penderita setelah selesai pengobatan kusta yang datang ke puskesmas pada
metode pengamatan pasif dapat dilihat pada gambar 2.2.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Gambar 2.2
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif
Metode pengamatan pasif diberlakukan pada masa penggantian
regimen DDS ke regimen MDT. Pada saat pengobaan MDT dimulai,
kejadian relaps menjadi sangat kecil (Srinivasan, 1995). Berdasarkan
penelitian, kejadian relaps menurun hingga kurang dari 1 % (Lockwood,
2002).
Metode pengamatan pasif hingga saat ini masih digunakan sebagai
metode pengamatan pada penderita setelah selesai pengobatan. Namun
berdasarkan hasil penelitian penilaian kecacatan terhadap 43 penderita
setelah selesai pengobatan yang dilakukan di kabupaten Subang provinsi
Jawa Barat pada tahun 2001, menunjukkan 21 % penderita mengalami
kenaikan tingkat kecacatan (Hasibuan, 2002). Tingkat kecacatan yang
memburuk pada penderita tersebut merupakan dampak dari kerugian yang
Penderita
datang
Administrasi
Puskesmas
Petugas
Kusta
Membayar
administrasi
Mengambil
kartu
penderita
Mengambil kartu khusus penderita
kusta
Anamnesa
Pemeriksaan cardinal sign kusta
Pemeriksaan kecacatan dan
pengisian form POD
Penjelasan tanda-tanda reaksi dan
pentingnya perawatan diri
Penanganan reaksi/ neuritis akibat
kusta dan memberikan obat
lamprene secara langsung dan
meresepkan vitamin atau obat
prednisone untuk reaksi/ neuritis
jika dibutuhkan
Penanganan luka akibat kusta
Apotik/
Loket Obat
Penderita
pulang
Memberikan vitamin
atau obat prednisone
untuk reaksi/ neuritis
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
44
Universitas Indonesia
disebabkan oleh metode pengamatan pasif. Kerugian yang dimaksud adalah
berkurangnya kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis (terutama
silent neuritis) secara dini yang merupakan hal terpenting pada program
pengobatan yang lebih pendek dengan terapi MDT (Gebre dan Saunderson,
2001). Kesempatan deteksi berkurang karena metode ini sangat tergantung
pada kewaspadaan dan kepedulian penderita untuk melaporkan kondisi
dirinya (Manjunath, 2001).
Hasil penelitian ALERT di Ethiopia pusat (Gebre dan Saunderson,
2001) menunjukkan dalam metode pengamatan pasif, dari 116 penderita
setelah selesai pengobatan yang didorong untuk datang tiap tahun ke
pelayanan kesehatan selama 5 tahun untuk pemeriksaan VMT,ST, dan
penilaian tingkat kecacatan hanya sedikit yang datang untuk tindak lanjut
(56,9% tidak pernah datang sama sekali dalam 5 tahun). Sedikitnya
penderita yang datang pada pengamatan pasif di Ehiopia diperkirakan
karena jauhnya jarak antar rumah penderita dengan pelayanan kesehatan
terdekat. Odds ratio terjadinya kondisi yang memburuk (kerusakan) apabila
pengamatan aktif tidak dilakukan adalah 1,9 (disesuaikan umur, jenis
kelamin, klasifikasi). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, juga diketahui
bahwa pengamatan aktif mahal jika dilakukan dan hanya sedikit mengurangi
kecacatan lebih lanjut. Penulis jurnal menyarankan untuk mengupayakan
pendidikan dan dukungan kepada penderita sebelum selesai pengobatan agar
dapat memahami kerusakan yang mungkin terjadi, bagaimana
mengenalinya, dan langkah apa yang harus diambil jika hal tersebut terjadi
(Gebre dan Saunderson, 2001).
2.8.3 Metode Pengamatan Semi Aktif
Metode pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance) adalah
suatu metode pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada
penderita setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas minimal
sekali dalam 3 bulan. Penderita yang tidak datang ke puskesmas dalam 3
bulan akan ditunggu selama 1 bulan oleh petugas di puskesmas. Jika pada 1
bulan tersebut penderita tetap tidak datang ke puskesmas, petugas akan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
45
Universitas Indonesia
menelusuri dan menemui penderita. Alur metode pengamatan semi aktif
digambarkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3
Alur Pertemuan Penderita dengan Petugas
pada Metode Pengamatan Semi Aktif
Ya
Ya Ya
Tidak Tidak
Metode pengamatan semi aktif merupakan suatu proyek uji coba
yang dilakukan di kabupaten Pasuruan dan Gorontalo yang dimulai sejak
bulan Agustus 2009 dan masih berlangsung hingga saat ini. Metode ini
secara umum bertujuan untuk mencegah bertambahnya dan memburuknya
kecacatan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan dan untuk
meningkatkan kemampuan penderita untuk dapat mengontrol kecacatan
secara mandiri. Tujuan khusus dari metode ini adalah penderita tetap
memiliki hubungan dengan puskesmas selama masih memiliki risiko,
penderita mampu melakukan perawatan diri secara teratur tiap hari, dan
penderita mendapat bantuan dalam mengatasi masalah medis yang ada
(Kemenkes, 2010).
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan (2011), kecacatan
dapat dikurangi dan penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan
efisien dengan menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita
Penderita RFT datang
ke puskesmas pada 3
bulan yang dijanjikan
kepada petugas
Petugas menunggu
selama 1 bulan,
penderita datang ke
puskesmas
Penderita
diperiksa
Petugas
menelusuri
alamat dan
menemui
penderita
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
46
Universitas Indonesia
kusta setelah selesai pengobatan untuk tetap berhubungan dengan
Puskesmas selama penderita tersebut membutuhkan bimbingan untuk
mengatasi kecacatan yang dialami. Sehingga perlu dilakukan kegiatan
Pengamatan semi aktif untuk mengurangi beban kecacatan penderita kusta
setelah selesai pengobatan. Kegiatan pengamatan semi aktif mengarah pada
identifikasi terjadinya reaksi, neuritis, dan relaps serta perilaku perawatan
diri pada penderita dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap kondisi
kecacatan, tanda reaksi dan neuritis, dan tanda relaps serta perilaku
perawatan diri. Penderita yang datang akibat adanya keluhan reaksi dan
neuritis akan ditangani dengan pengobatan prednison dan lampren sesuai
dengan kebijakan program mengenai penatalaksanaan reaksi. Penderita yang
teridentifikasi relaps akan diberikan pengobatan ulang sesuai dengan tipe
kusta yang diderita. Sedangkan penderita yang mengalami luka akibat kusta
akan ditangani dan diberikan informasi perawatannya di rumah secara rutin.
Selain memberikan bantuan tindakan medis, petugas puskesmas juga
memberikan informasi tanda-tanda reaksi dan pentingnya perawatan diri,
memberikan demo perawatan diri dan memberikan alat perawatan diri yang
sesuai dengan kebutuhan penderita, bantuan konseling psikologis. Alur
kegiatan penderita setelah selesai pengobatan kusta di puskesmas pada
metode pengamatan semi aktif digambarkan pada gambar 2.4.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Gambar 2.4
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
2.8.4 Perbedaan Metode
Perbedaan mengenai 3 metode pengamatan penderita setelah selesai
pengobatan yang pernah diterapkan di Indonesia dipaparkan pada tabel 2.15.
Penderita
datang
Administrasi
Puskesmas Petugas
Kusta
Membayar
administrasi
Mengambil
kartu
penderita
Mengambil kartu khusus penderita
kusta
Anamnesa
Pemeriksaan cardinal sign kusta
Pemeriksaan kecacatan, hasil
perawatan diri, dan pengisian form
POD
Penjelasan tanda-tanda reaksi dan
pentingnya perawatan diri
Memberikan demo perawatan diri dan
memberikan alat perawatan diri yang
sesuai dengan kebutuhan penderita
Penanganan reaksi/ neuritis akibat
kusta dan memberikan obat lamprene
secara langsung dan meresepkan
vitamin atau obat prednisone untuk
reaksi/ neuritis jika dibutuhkan
Penanganan luka akibat kusta
Bantuan konseling psikologis
Apotik/
Loket Obat
Penderita
pulang
Memberikan vitamin atau
obat prednisone untuk
reaksi/ neuritis
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
48
Universitas Indonesia
Tabel 2.15
Perbedaan Metode Pengamatan Setelah Selesai Pengobatan
Keterangan Pengamatan Aktif Pengamatan Pasif Pengamatan Semi Aktif
Tahun 1945 - 1982 1982 – saat ini 2009 – saat ini
Pengobatan DDS MDT MDT
Tujuan Memantau kejadian
relaps
Memantau kejadian
relaps, neuritis, reaksi
Memantau kejadian
neuritis, reaksi,
perawatan diri
Bentuk
Kegiatan
Penderita
dikunjungi oleh
petugas
puskesmas
minimal 1 kali
dalam 6 bulan
untuk
pemeriksaan dini
terhadap relaps
(diperiksa secara
klinis dan
laboratorium)
Penderita mengunjungi
puskesmas minimal 1
kali dalam 1 tahun
untuk pemeriksaan dini
terhadap relaps,
neuritis, dan reaksi
dibantu oleh petugas
puskesmas
Petugas tidak
diwajibkan mencari dan
memeriksa penderita
jika penderita tidak
datang
Penderita mengunjungi
puskesmas minimal 1
kali dalam 3 bulan
untuk pemeriksaan dini
terhadap neuritis dan
reaksi dibantu oleh
petugas puskesmas
Petugas wajib mencari
penderita dan
memeriksa penderita
pada bulan selanjutnya
jika penderita tidak
datang hingga akhir
tribulan yang dijanjikan
Kelebihan Kondisi penderita
setelah selesai
pengobatan (saat
masa pengawasan)
dapat dipantau dan
ditangani dengan
baik
Beban kerja yang ringan
bagi petugas
Jumlah biaya yang
dikeluarkan
diperkirakan rendah
Kondisi penderita
setelah selesai
pengobatan (saat masa
pengawasan) dapat
dipantau dan ditangani
dengan baik
Jumlah biaya yang
dikeluarkan
diperkirakan tidak
terlalu tinggi
Beban kerja petugas
tidak terlalu tinggi
Penderita secara tidak
langsung didorong
untuk belajar mandiri
dan waspada terhadap
kondisi kesehatannya
Kelemahan Jumlah biaya
yang dikeluarkan
besar
Beban kerja yang
tinggi bagi
petugas
Penderita
memiliki
ketergantugan
yang tinggi
terhadap petugas
Kondisi penderita
setelah selesai
pengobatan (masa
pengawasan) sulit
dipantau bahkan tidak
dapat ditangani dengan
baik karena penderita
datang saat kondisi
kesehatannya sudah
memburuk
Berdasarkan penelitian,
masih banyak
ditemukan penderita
yang kecacatannya kian
memburuk selama masa
pengawasan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Keterangan Pengamatan Aktif Pengamatan Pasif Pengamatan Semi Aktif
Rekomendasi Dihentikan karena
jumlah kasus relaps
sedikit akibat
penggantian
regimen
pengobatan DDS
menjadi MDT
Diharapkan diganti
dengan metode yang
lebih efektif-biaya
sehingga dapat
memantau kondisi
penderita dengan baik
dengan biaya dan tenaga
yang relatif ringan
Diharapkan dapat lebih
efektif-biaya untuk
memantau kondisi
penderita akibat kusta
setelah selesai
pengobatan (dalam masa
pengawasan) termasuk
kondisi kecacatannya
2.9 Evaluasi Ekonomi
2.9.1 Pengertian Evaluasi Ekonomi
Evaluasi Ekonomi adalah penilaian dan interpretasi nilai suatu
intervensi layanan kesehatan dengan menguji hubungan antara biaya dan
outcome dari intervensi tersebut secara sistematik (Wonderling, 2005).
Sedangkan Brent (2003) menyatakan bahwa evaluasi ekonomi mencoba
menilai keinginan sosial dari suatu program relatif terhadap beberapa
alternatif lain.
Menurut Drummond (2005), evaluasi ekonomi penting dilakukan
karena tanpa analisis yang sistematik sulit untuk mengidentifikasi secara
jelas alternatif-alternatif yang sesuai. Tanpa adanya pengukuran dan
perbandingan output dan input, nilai yang dapat terlihat hanya sebatas nilai
uang yang dikeluarkan dan tidak sampai melihat keuntungan yang diperoleh
program atau alternatif-alternatif tersebut. Selain itu, melalui evaluasi
ekonomi dapat diperoleh alternatif yang sesuai dengan sudut pandang yang
diinginkan, misalnya sesuai sudut pandang masyarakat, anggaran
kementerian kesehatan yang tersedia, individu, institusi khusus, kelompok
target untuk layanan khusus.
2.9.2 Metode Evaluasi Ekonomi
Pada evaluasi ekonomi, terdapat beberapa metode analisis yang
digunakan yaitu :
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
50
Universitas Indonesia
a. Analisis Minimalisasi Biaya (Cost Minimization Analysis)
Suatu metode analisis yang digunakan untuk membandingkan
biaya bersih dari program-program yang menghasilkan outcome yang
sama (Gold, 1996).
b. Analisis Manfaat Biaya (Cost Benefit Analysis)
Suatu metode analisis untuk memperkirakan keuntungan sosial
bersih dari suatu program atau intervensi dimana keuntungan tambahan
program lebih sedikit dibandingkan tambahan biayanya, dengan seluruh
keuntungan dan biaya diukur dalam dolar (Gold, 1996).
c. Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis)
Analisis efektivitas biaya adalah suatu analisis yang mencari
bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai
suatu tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan
biayanya, dimana ukuran input diukur dalam nilai moneter dan ukuran
output-nya diukur dalam jumlah output yang dihasilkannya (Drummond,
2001). Sedangkan menurut Gold (1996), analisis efektivitas biaya
merupakan suatu metode analisis dimana biaya dan dampak dari suatu
program atau alternatif dihitung dan ditunjukkan dalam suatu rasio dari
tambahan biaya terhadap tambahan dampak yang berupa outcome
kesehatan.
d. Analisis Utilitas Biaya (Cost Utility Analysis)
Analisis Utilitas Biaya adalah suatu metode evaluasi ekonomi
yang konsekuensi intervensinya diukur dalam bentuk kuantitas dan
kualitas hidup (Coons dan Kaplan, 1996).
Perbedaan metode analisis pada evaluasi ekonomi dirangkum oleh
Drummond pada tabel 2.16.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Tabel 2.16
Tabel Pengukuran Biaya dan Konsekuensi pada Evaluasi Ekonomi
Jenis Analisis Pengukuran /
Penilaian biaya
pada seluruh
alternative
Identifikasi
konsekuensi
Pengukuran /
penilaian konsekuensi
Analisis
Minimalisasi Biaya
Nilai moneter Identifikasi
semua aspek
Tidak ada
Analisis Efektivitas
Biaya
Nilai moneter Output yang
sama pada
berbagai
alternatif tetapi
tingkatan yang
dicapai berbeda
Nilai satuan output
mengikuti hasil
(misalnya pertambahan
tahun hidup yg
diperoleh, hari
mengalami cacat yang
dapat diselamatkan,
penurunan angka
hipertensi,dan lain-lain)
Analisis Manfaat
Biaya
Nilai moneter Output sama
ataupun berbeda
dengan berbagai
tindakan
alternatif
Nilai moneter
Analisis Utilitas
Biaya
Nilai moneter Output sama
ataupun berbeda
dengan berbagai
tindakan
alternatif
Pertambahan tahun
hidup yang berkualitas
Sumber: Diterjemahkan dari Drummond, 2005
Berdasarkan uraian mengenai metode evaluasi ekonomi tersebut,
metode yang sesuai dengan penelitian adalah analisis efektivitas biaya
karena alternatif-alternatif yang dibandingkan memiliki output yang sama
namun dengan jumlah/tingkatan yang berbeda. Peneliti ingin mengetahui
alternatif mana yang lebih efektif biaya dengan melihat perbandingan
jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap output.
2.10 Biaya (Cost)
Biaya adalah nilai dari sumber daya yang biasanya diekspresikan
dalam bentuk moneter (Wonderling, Gruen, dan Black, 2005).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
52
Universitas Indonesia
2.10.1 Klasifikasi Biaya
Biaya dikelompokkan menurut beberapa kriteria yaitu berdasarkan:
2.10.1.1 Pengaruh pada skala produksi
Berdasarkan pengaruh pada skala produksi, biaya dibedakan
menjadi :
a. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Merupakan biaya yang nilainya secara relatif tidak dipengaruhi
oleh besarnya produksi (output). Biaya ini harus tetap dikeluarkan
walaupun tidak ada pelayanan.
b. Biaya variabel (Variabel Cost)
Merupakan biaya yang nilainya dipengaruhi oleh banyaknya
output (produksi).
c. Biaya Total (Total Cost)
Merupakan jumlah biaya dari biaya tetap dan biaya variabel.
2.10.1.2 Lama penggunaan
Berdasarkan pengaruh pada skala produksi, biaya terbagi menjadi 3
yaitu :
a. Biaya Investasi (Investment Cost)
Merupakan biaya yang kegunaannya dapat berlangsung dalam
waktu yang relatif lama, biasanya lebih dari 1 tahun. Biaya tersebut
dihitung dari nilai barang investasi yang disetahunkan (biaya
penyusutan).
b. Biaya Operasional (Operational Cost)
Merupakan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan dalam suatu proses produksi dan memiliki sifat habis pakai
dalam kurun waktu singkat (kurang dari satu tahun).
c. Biaya pemeliharaan (Maintenance Cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan
nilai suatu barang investasi agar tetap berfungsi.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
53
Universitas Indonesia
2.10.1.3 Fungsi atau aktivitas sumber biaya
Biaya menurut fungsi atau aktivitas sumber biaya dibedakan
menjadi :
a. Biaya Langsung (Direct Cost)
Merupakan biaya yang dibebankan pada sumber biaya yang
mempunyai fungsi atau aktivitas langsung terhadap output. Menurut
Gold (1996), biaya langsung adalah nilai dari seluruh barang, layanan,
dan sumber daya lain yang dikonsumsi dalam ketentuan dari suatu
intervensi atau dalam menangani efek samping atau konsekuensi lain
saat ini atau di masa mendatang yang terkait dengan hal tersebut.
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Merupakan biaya yang dibebankan pada sumber biaya yang
memunyai fungsi penunjang (aktivitas tidak langsung) terhadap
output.
2.10.1.4 Konsep akibat ekstern
Biaya berdasrkan konsep akibat ekstern menurut Sukirno (2002)
dibagi menjadi :
a. Biaya pribadi
Merupakan biaya yang dibelanjakan oleh produsen yang
digunakan untuk menghasilkan barang.
b. Biaya sosial
Merupakan biaya yang dibelanjakan oleh masyarakat untuk
memperoleh barang dan biaya-biaya lain yang harus dibayar oleh
masyarakat akibat dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas produsen
dalam menghasilkan barang.
2.10.2 Penghitungan Biaya
Perhitungan biaya menggunakan metode konvensional dengan
menjumlahkan kelompok biaya berdasarkan konsep akibat ekstern yaitu
biaya program atau biaya penderita pada masing-masing metode. Masing-
masing biaya diperoleh dari penjumlahan biaya langsung dan tidak
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
54
Universitas Indonesia
langsung (biaya berdasarkan aktivitas sumber biaya). Menurut Muennig
(2002), terdapat 3 langkah untuk menghitung data yaitu mengidentifikasi
sumber daya yang digunakan, mengukur sumber daya yang digunakan,
dan memberi nilai pada sumber daya yang digunakan.
2.11 Efektivitas (Outcome)
Outcome adalah perubahan status sebagai hasil dari proses suatu
sistem. Pada konteks pelayanan kesehatan adalah perubahan status
kesehatan sebagai hasil dari pelayanan (Wonderling, 2005). Pada penelitian
ini yang menjadi efektivitas adalah pengendalian tingkat cacat.
2.12 Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis)
Analisis efektivitas biaya adalah suatu metode untuk mengevaluasi
outcome dan biaya dari intervensi-intervensi yang dibuat untuk
meningkatkan kesehatan. Hasil analisis ini biasanya dirangkum dalam suatu
rasio efektivitas biaya yang menunjukkan biaya untuk mencapai satu unit
outcome kesehatan. Analisis efektivitas biaya menyediakan perkiraan
efektivitas dan biaya sehingga menunjukkan trade-off yang dilibatkan dalam
memilih di antara intervensi-intervensi atau variasi dalam suatu intervensi
(Russel et al, 1996).
Apabila intervensi yang akan diteliti lebih efektif dan biayanya lebih
sedikit daripada alternatifnya maka intervensi tersebut dinyatakan
mendominasi alternatif. Pada situasi tersebut, penghitungan rasio efektivitas
biaya tidak dibutuhkan. Analisis efektivitas biaya dilakukan pada intervensi
dengan biaya yang dikeluarkan lebih banyak dan lebih efektif daripada
alternatifnya. Pada pemahaman biaya saat ini, analisis efektivitas biaya juga
dapat memberikan informasi untuk memutuskan suatu intervensi baru mana
yang biayanya lebih sedikit tetapi sedikit kurang efektif daripada alternatif
yang ada (Garber et al, 1996).
Rasio efektivitas biaya merupakan ukuran inti yang digunakan
dalam analisis efektivitas biaya (Garber et al, 1996). Menurut Gold (1996),
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
55
Universitas Indonesia
rasio efektivitas biaya adalah biaya tambahan untuk memperoleh suatu
efek dampak kesehatan dari intervensi kesehatan, dibandingkan dengan
suatu alternatif. Rumus rasio efektivitas biaya berdasarkan McGuire
(2001) digambarkan sebagai berikut :
Average Cost Effectiveness Ratio (ACER)
Ca ACER a = (2.1)
Ea
Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)
Ca – Cb ∆ C
ICER = = (2.2)
Ea – Eb ∆ E
Intervensi dengan rasio efektivitas biaya rendah merupakan
intervensi yang baik dan akan menjadi prioritas tinggi sebagai sumber
daya (Garber et al, 1996).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
56 Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori
Analisis Efektivitas Biaya (CEA) adalah suatu analisis yang mencari
bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu
tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya,
dimana ukuran input diukur dalam nilai moneter dan ukuran output-nya diukur
dalam jumlah output yang dihasilkannya (Drummond, 2001).
Intervensi yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah metode
pengamatan semi aktif dan metode pengamatan pasif. Efektivitas biaya pada
dua intervensi tersebut diperoleh dengan membandingkan jumlah biaya
sebagai input dan jumlah penderita yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan
sebagai output yang dihasilkan dari masing-masing metode selama 2 tahun
hingga 3 tahun. Biaya diperoleh dari total biaya baik biaya langsung maupun
tidak langsung yang dikeluarkan oleh program untuk dapat menghasilkan
suatu pengendalian tingkat cacat.
Penelitian ini juga melihat hubungan antara faktor-faktor seperti umur,
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat sosial ekonomi, tipe kusta,
riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian
tingakat cacat serta mengetahui faktor-faktor mana yang paling dominan
dalam mempengaruhi pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang
telah selesai pengobatan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
57
Universitas Indonesia
3.2 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep tersebut, pengendalian tingkat cacat
berhubungan dengan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat,
perawatan diri.
Faktor tingkat pengetahuan, pencegahan cacat, dan perawatan diri
pada kelompok penderita setelah selesai pengobatan yang dipantau dengan
INTERVENSI Pengamatan Pasif
INTERVENSI Pengamatan Semi Aktif
BIAYA Biaya Program Biaya Penderita
LUARAN Pengendalian Tingkat Cacat
LUARAN Pengendalian Tingkat Cacat
ICER
BIAYA
Biaya Program Biaya Penderita
FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Umur - Tingkat Pendidikan - Tingkat Penghasilan - Tipe Kusta - Riwayat Reaksi
FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Pengetahuan - Pencegahan Cacat - Perawatan Diri
FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Umur - Tingkat Pendidikan - Pengetahuan - Tingkat Penghasilan - Tipe Kusta - Riwayat Reaksi - Pencegahan Cacat - Perawatan Diri
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
58
Universitas Indonesia
metode pengamatan semi aktif, dipengaruhi secara langsung oleh intervensi
pada metode tersebut. Pada metode pengamatan semi aktif, petugas puskesmas
akan datang jika penderita tidak datang pada waktu yang telah dijanjikan
sehingga penderita akan melakukan pengobatan atau konsultasi secara teratur.
Saat konsultasi, petugas memberikan informasi dan melakukan pemeriksaan
fungsi saraf serta tanda awal reaksi, memberikan informasi tentang perawatan
diri, mengidentifikasi kebutuhan medis dan alat pelindung diri yang
dibutuhkan oleh penderita.
3.2 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah metode pengamatan semi aktif lebih
efektif-biaya dari metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat
cacat pada penderita setelah selesai pengobatan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
59
Universitas Indonesia
BAB 4
DESAIN PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian
cross sectional. Penelitian cross sectional adalah penelitian non-eksperimental
dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko
dengan efek yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu (Pratiknya,
1996). Sedangkan menurut Gold (1996), penelitian cross sectional adalah
suatu penelitian yang melihat status seorang individu berdasarkan keberadaan
paparan dan penyakit yang dinilai pada saat yang sama. Peneliti menggunakan
desain cross sectional karena tidak terdapat data yang lengkap mengenai data
variabel independen maupun variabel dependen yang tercatat sebelumnya
sehingga data variabel independen dan dependen diambil pada saat yang sama.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Mei 2012 di Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah penderita kusta setelah selesai
pengobatan. Sampel penelitian diambil dengan teknik purposive sampling
dengan kriteria
a. Inklusi :
1. Penderita kusta semua usia dan semua jenis kelamin.
2. Penderita kusta tipe PB ataupun tipe MB yang telah menyelesaikan
terapi obat MDT (RFT/ Release From Treatment) pada bulan Mei
2009 hingga bulan April 2010.
3. Penderita yang memiliki riwayat kecacatan atau riwayat reaksi, riwayat
nodul atau infiltrat, atau hasil pemeriksaan laboratorium BTA positif.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
60
Universitas Indonesia
b. Eksklusi :
1. Penderita kusta yang masih dalam pengobatan MDT.
2. Penderita yang telah menyelesaikan terapi obat MDT (RFT/ Release
From Treatment) sebelum bulan Mei 2009 atau setelah April 2010
karena efektivitas akan dinilai dari intervensi yang dilakukan ≥ 2 tahun
hingga <3 tahun setelah selesai pengobatan.
3. Penderita yang tidak memiliki riwayat kecacatan atau riwayat reaksi,
riwayat nodul atau infiltrat, atau BTA negatif.
Jumlah sampel yang diambil adalah 43 orang per metode dari rumus :
n = { Z1-α/2 √2 P (1-P) + Z1-β √P1 (1-P1) + P2 (1-P2) }2
(P1-P2)2
Dengan :
α = 5 %
1 – β = 80 %
P1 = 0,97
P2 = 0,79
Pada penelitian ini, diperkirakan metode pengamatan semi aktif lebih
efektif-biaya dibandingkan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil evaluasi
sementara pada bulan Juni 2011 (laporan pengamatan semi aktif, 2011),
prosentase kejadian cacat yang dapat dikendalikan (menetap bahkan membaik)
mencapai 97% (P1). Sedangkan pada metode pengamatan pasif, prosentase cacat
adalah 0,79% (P2). Prosentase ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di
kabupaten Subang, Jawa Barat pada tahun 2001 (Hasibuan, 2002).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
61
Universitas Indonesia
1.4 Definisi Operasional
Tabel 4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Dependen
1 Tingkat Cacat Nilai tertinggi yang diperoleh
dari pemeriksaan fisik pada
mata, tangan, kaki penderita
kusta yang menyatakan
beratnya kondisi cacat.
Tabel Keadaan
Cacat
Pemeriksaan fisik
penderita
Tingkat 0 – 2
Rasio
2
Pengendalian
Tingkat Cacat
Menetap atau menurunnya
tingkat cacat saat
pengambilan data
dibandingkan tingkat cacat
saat penderita kusta baru
dinyatakan selesai
pengobatan.
Tabel Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita dan
kuesioner
Membandingkan
tingkat cacat pada
kartu penderita
dengan tingkat cacat
pada kuesioner
Kategori :
0. Tingkat cacat dapat
dikendalikan
(tetap/menurun)
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)
Ordinal
3 Pengendalian
Tingkat Cacat
pada Metode
Pengamatan
Pasif
Pengendalian tingkat cacat
terhadap penderita kusta yang
telah menyelesaikan
pengobatan 2 hingga kurang
dari 3 tahun yang datang ke
puskesmas minimal sekali
dalam setahun
Tabel Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita dan
kuesioner
Membandingkan
tingkat cacat pada
kartu penderita
dengan tingkat cacat
pada kuesioner
Kategori :
0. Tingkat cacat dapat
dikendalikan
(tetap/menurun)
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)
Ordinal
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
62
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
4. Pengendalian
Tingkat Cacat
pada Metode
Pengamatan
Semi Aktif
Pengendalian tingkat cacat
terhadap penderita kusta yang
telah menyelesaikan
pengobatan 2 hingga kurang
dari 3 tahun yang datang ke
puskesmas minimal sekali
dalam 3 bulan dan akan
dikunjungi oleh petugas
puskesmas jika tidak datang.
Tabel Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita dan
kuesioner
Membandingkan
tingkat cacat pada
kartu penderita
dengan tingkat cacat
pada kuesioner
Kategori :
0. Tingkat cacat dapat
dikendalikan
(tetap/menurun)
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)
Ordinal
5. Incremental
Cost
Effectiveness
Ratio (ICER)
Perbandingan selisih biaya
dan selisih jumlah penderita
yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan pada metode
pengamatan semi aktif dan
pengamatan pasif.
Perhitungan program
excel
Membandingkan
selisih biaya dengan
selisih jumlah
penderita yang tingkat
cacatnya dapat
dikendalikan
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Variabel Independen
6. Umur Waktu yang dihitung sejak
kelahiran responden sampai
saat responden dinyatakan
selesai pengobatan (RFT).
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. < 15 tahun
1. ≥ 15 tahun
Nominal
7. Tingkat
Pendidikan
Jenjang pendidikan formal
yang telah ditempuh oleh
responden saat responden
dinyatakan selesai
pengobatan (RFT).
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Tinggi (SMP, SMA,
PT)
1. Rendah (Tidak
sekolah, SD)
Ordinal
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
63
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
8. Tingkat
Pengetahuan
Pemahaman responden
tentang terjadinya cacat pada
kusta, reaksi, pencegahan
cacat, dan perawatan diri
pada saat pengambilan data
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Tinggi (skor > 55)
1. Rendah (skor ≤ 55)
Ordinal
9. Tingkat
Ekonomi
Pengeluaran rata-rata yang
diperoleh setiap anggota
rumah tangga responden
setiap bulan
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Tinggi (≥Rp 479.490)
1. Rendah(<Rp 479.490)
(BPS, 2012)
Ordinal
10. Tipe Kusta Tipe penyakit kusta
berdasarkan klasifikasi WHO
pada responden saat
responden mendapatkan
pengobatan
Kartu penderita Pemeriksaan klinis Kategori:
0. PB
1. MB
Nominal
11. Reaksi Kusta Suatu reaksi kekebalan atau
reaksi antigen-antibodi akibat
kusta yang pernah dialami
responden sejak selesai
pengobatan (RFT) hingga
saat pengambilan data. Gejala
reaksi: timbulnya bercak kulit
atau nodul yang memerah,
bengkak, panas, neuritis,
gangguan fungsi saraf, nyeri
yang bertambah parah sampai
pecah, dan demam.
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Tidak Pernah Reaksi
1. Pernah Reaksi
Nominal
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
64
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
12. Pencegahan
Cacat
Pemeriksaan fungsi saraf
minimal 1 tahun sekali serta
tata laksana reaksi atau
neuritis secara dini dan
teratur yang diperoleh
responden sejak
menyelesaikan pengobatan
(RFT) hingga saat
pengambilan data.
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Mendapat
pencegahan cacat
1. Tidak mendapat
pencegahan cacat
Nominal
13. Perawatan Diri Perawatan dan perlindungan
yang dilakukan responden
setiap hari terhadap mata,
tangan, dan kakinya yang
berisiko cacat dengan
menggunakan alat bantu yang
sesuai dan aktif mencari
bantuan ke pelayanan
kesehatan untuk menangani
kecacatan atau masalah
terkait kusta yang dialami.
Tindakan dilihat sejak
responden menyelesaikan
pengobatan (RFT) hingga
saat pengambilan data.
Kuesioner Kuesioner Kategori :
0. Melakukan
perawatan diri
1. Tidak melakukan
perawatan diri
Nominal
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
65
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
14. Biaya pada
Metode
Pengamatan
Semi Aktif
Total dari biaya yang
dikeluarkan oleh program
maupun biaya yang
dikeluarkan oleh penderita
untuk menghasilkan
efektivitas pada metode
pengamatan semi aktif
Kuesioner penderita
dan stakeholder,
dokumen terkait
penderita dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
15. Biaya pada
Metode
Pengamatan
Pasif
Total dari biaya yang
dikeluarkan oleh program
maupun biaya yang
dikeluarkan oleh penderita
untuk menghasilkan
efektivitas pada metode
pengamatan pasif
Kuesioner penderita
dan stakeholder,
dokumen terkait
penderita dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
16. Biaya Program Total dari biaya langsung
maupun biaya tidak langsung
yang dikeluarkan oleh
program meliputi biaya yang
dikeluarkan oleh pusat, NLR,
yayasan kusta, dinas
kesehatan, puskesmas,
maupun petugas dalam
mengendalikan tingkat cacat.
Kuesioner penderita
dan stakeholder,
dokumen terkait
penderita dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
66
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
17. Biaya
Langsung
Program
Biaya yang dibebankan pada
sumber biaya yang
mempunyai fungsi/aktivitas
langsung pada pengendalian
tingkat cacat yang
dikeluarkan oleh program
seperti biaya investasi, biaya
operasional, dan biaya
pemeliharaan.
Kuesioner penderita
dan stakeholder,
dokumen terkait
penderita dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
18. Biaya Investasi Biaya dari penggunaan
barang yang kegunaannya
dapat berlangsung dalam
waktu yang relatif lama,
biasanya lebih dari 1 tahun.
Biaya ini dihitung dari nilai
barang investasi yang
disetahunkan (biaya
penyusutan), pada penelitian
ini adalah biaya pemakaian
ruang kusta dan biaya
pemakaian alat medis/non
medis.
Kuesioner
puskesmas dan
daftar inventaris
ruangan kusta di
puskesmas
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan daftar
inventaris ruangan
kusta, kemudian
menjumlahkan biaya
pemakaian ruang
kusta dan biaya
pemakaian alat
medis/non medis.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
67
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
19. Biaya
Pemakaian
Ruang Kusta
Biaya pembangunan ruang
kusta untuk melayani seluruh
responden yang telah selesai
pengobatan yang datang ke
puskesmas sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya adalah nilai ruang kusta
yang disetahunkan (biaya
penyusutan).
Kuesioner
puskesmas, kartu
register penderita
Wawancara dengan
stakeholder,
menghitung biaya
pemakaian ruang
kusta berdasarkan
nilai ruang kusta yang
disetahunkan (biaya
penyusutan).
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
20. Biaya
Pemakaian
Alat
Medis/Non
Medis
Biaya pembelian alat
medis/non medis untuk
melayani seluruh responden
yang telah selesai pengobatan
yang datang ke puskesmas
sejak Juni 2009 hingga Mei
2012. Besarnya biaya adalah
nilai alat medis/non medis
yang disetahunkan (biaya
penyusutan).
Kuesioner
puskesmas, daftar
inventaris ruangan
kusta
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan daftar
inventaris ruangan
kusta, menghitung
biaya pemakaian alat
medis/non medis
berdasarkan nilai alat
medis/non medis yang
disetahunkan (biaya
penyusutan).
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
68
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
21. Biaya
Operasional
Biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan seluruh kegiatan
dalam suatu proses produksi
dan memiliki sifat habis pakai
dalam kurun waktu singkat
seperti biaya tenaga, bahan
habis pakai, obat,
transportasi, komunikasi,
listrik-air, penyediaan alat
pelindung dan perawatan diri
untuk penderita.
Kuesioner
stakeholder dan
penderita, kartu
register penderita,
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan kartu
register penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
22. Biaya Tenaga
Pelayanan
Kusta
Biaya tenaga yang
dikeluarkan petugas untuk
memberikan pelayanan pada
seluruh responden yang
selesai pengobatan (datang ke
puskesmas maupun yang
dikunjungi) sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dari proporsi
responden yang datang ke
puskesmas maupun yang
dikunjungi terhadap jumlah
waktu yang diluangkan
petugas untuk pelayanan dan
kegiatan yang mengikuti.
Kuesioner petugas
puskesmas, kartu
register penderita
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan data
kunjungan responden
dari kartu register
penderita, kemudian
menghitung biaya
tenaga berdasarkan
proporsi responden
yang datang ke
puskesmas terhadap
jumlah waktu yang
diluangkan petugas
untuk pelayanan
kepada responden.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
69
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
23. Biaya Bahan
Habis Pakai
Biaya pemakaian bahan habis
pakai oleh petugas untuk
memberikan pelayanan
kepada seluruh responden
yang telah selesai pengobatan
yang datang ke puskesmas
sejak Juni 2009 hingga Mei
2012. Besarnya biaya
diperoleh dengan menghitung
proporsi responden yang
datang ke puskesmas
terhadap jumlah bahan habis
pakai yang digunakan petugas
untuk pelayanan.
Kuesioner petugas
puskesmas, kartu
register penderita.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan data
kunjungan dari kartu
register penderita,
menghitung biaya
bahan habis pakai
berdasarkan proporsi
responden yang
datang ke puskesmas
terhadap jumlah bahan
habis pakai yang
digunakan petugas
untuk pelayanan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
24. Biaya
Pemakaian
Obat
Biaya pembelian obat untuk
diberikan kepada seluruh
responden yang telah selesai
pengobatan yang datang ke
puskesmas sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menghitung jumlah obat yang
diberikan kepada responden
saat menerima pelayanan di
puskesmas.
Kartu register
penderita.
Mengumpulkan data
kunjungan dari kartu
register penderita,
menghitung jumlah
obat yang diberikan
kepada responden saat
pelayanan di
puskesmas.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
70
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
25. Biaya
Transportasi
Petugas
Biaya yang dikeluarkan oleh
petugas untuk mengunjungi
seluruh responden sejak Juni
2009 hingga Mei 2012.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
kunjungan ke rumah
responden.
Kuesioner petugas
puskesmas dan
penderita.
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, kemudian
menghitung jumlah
kunjungan ke rumah
responden.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
26. Biaya Listrik
dan air
Biaya pemakaian listrik dan
air untuk memberikan
pelayanan kepada seluruh
responden sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menghitung proporsi
responden yang datang ke
puskesmas terhadap biaya
listrik dan air yang digunakan
untuk seluruh pelayanan di
puskesmas.
Kuesioner
puskesmas dan
petugas puskesmas,
kartu register
penderita, dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder dan
data kunjungan dari
kartu register
penderita, menghitung
biaya listrik dan air
berdasarkan proporsi
responden yang
datang ke puskesmas
terhadap biaya listrik
dan air yang
digunakan petugas di
ruang kusta untuk
pelayanan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
71
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
27. Biaya
Komunikasi
dengan
Penderita
Biaya yang dikeluarkan oleh
petugas untuk menghubungi
seluruh responden sejak Juni
2009 hingga Mei 2012.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
komunikasi dengan
responden atau pihak yang
dapat berkomunikasi
langsung dengan responden.
Kuesioner petugas
puskesmas.
Wawancara dengan
stakeholder, kemudian
menghitung jumlah
komunikasi.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
28. Biaya
Pembelian
Alat dan
Bahan
Perawatan dan
Perlindungan
Diri untuk
Penderita
Biaya yang dikeluarkan oleh
program untuk membeli alat
dan bahan perawatan dan
perlindungan diri sesuai
dengan kebutuhan seluruh
responden sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menghitung jumlah dari
masing-masing jenis alat dan
bahan yang diterima
responden.
Kuesioner penderita. Wawancara dengan
penderita, kemudian
menghitung jumlah
dari masing-masing
jenis alat dan bahan
yang diterima
responden.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
72
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
29. Biaya
Pemeliharaan
Biaya yang dikeluarkan oleh
program untuk
mempertahankan nilai barang
investasi agar tetap berfungsi,
dalam hal ini adalah ruang
kusta dan alat medis/non
medis. Besarnya biaya
diperoleh dengan
menjumlahkan biaya
pemeliharaan dari masing-
masing barang inventaris
yang digunakan dalam
pelayanan.
Dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
dari masing-masing
barang inventaris yang
digunakan dalam
pelayanan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
30. Biaya Tidak
Langsung
Program
Biaya yang dibebankan pada
sumber biaya yang
mempunyai fungsi
penunjang/aktivitas tak
langsung terhadap
pengendalian tingkat cacat
yang dikeluarkan oleh
program seperti biaya untuk
tenaga pendukung, koordinasi
Dinkes Kabupaten dengan
puskesmas, monitoring dan
evaluasi Dinkes Provinsi,
pelatihan, administrasi umum
Kuesioner dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
stakeholder dan
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
73
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
31. Biaya Tenaga
Pendukung
Program
Biaya tenaga yang
dikeluarkan pegawai dinkes
kabupaten dan provinsi untuk
melaksanakan kegiatan
terkait program dalam upaya
pengendalian tingkat cacat
penderita yang telah selesai
pengobatan kusta. Besarnya
biaya diperoleh dari proporsi
waktu yang diluangkan untuk
melakukan kegiatan terkait
program pada masing-masing
pengamatan.
Kuesioner
stakeholder dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian menghitung
proporsi waktu yang
diluangkan untuk
melakukan kegiatan
terkait program pada
masing-masing
pengamatan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
32. Biaya
Koordinasi
Dinkes
Kabupaten
dengan
Puskesmas
Biaya yang dikeluarkan oleh
dinkes kabupaten untuk
menghubungi pihak
puskesmas dalam rangka
melaksanakan kegiatan
terkait program pengendalian
tingkat cacat pada penderita
yang telah selesai
pengobatan. Besarnya biaya
diperoleh dengan
menjumlahkan biaya seluruh
kegiatan koordinasi.
Kuesioner
stakeholder dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh kegiatan
koordinasi.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
74
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
33. Biaya
Monitoring
dan Evaluasi
Kegiatan
Dinkes
Provinsi
Biaya yang dikeluarkan oleh
dinkes provinsi untuk
melakukan kegiatan
monitoring dan evaluasi
terhadap pelaksanaan
kegiatan terkait program
pengendalian tingkat cacat
pada penderita yang telah
selesai pengobatan. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menjumlahkan biaya seluruh
kegiatan monitoring dan
evaluasi.
Kuesioner
stakeholder dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh kegiatan
monitoring dan
evaluasi.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
34. Biaya
Pelatihan
Biaya yang dikeluarkan oleh
seluruh pihak untuk melatih
petugas puskesmas dan pihak
yang terlibat dalam pelayanan
penderita yang telah selesai
pengobatan dalam
pengendalian tingkat cacat.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menjumlahkan biaya
seluruh kegiatan pelatihan.
Kuesioner
stakeholder dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh kegiatan
pelatihan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
75
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
35. Biaya
Administrasi
Umum
Biaya yang dikeluarkan oleh
seluruh pihak untuk kegiatan
pendukung pelayanan
penderita yang telah selesai
pengobatan dalam
pengendalian tingkat cacat.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menjumlahkan biaya
bahan habis pakai dan biaya
pemeliharaan yang tidak
terkait langsung dengan
pelayanan.
Kuesioner
stakeholder dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
bahan habis pakai dan
biaya pemeliharaan
yang tidak terkait
langsung dengan
pelayanan
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
36. Biaya
Penderita
Total dari biaya langsung
maupun biaya tidak langsung
yang dikeluarkan oleh
penderita dalam
mengendalikan tingkat
cacatnya.
Kuesioner penderita
dan stakeholder,
dokumen terkait
penderita dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
76
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
37. Biaya
Langsung
Penderita
Biaya yang dibebankan pada
sumber biaya yang
mempunyai fungsi (aktivitas)
langsung terhadap
pengendalian tingkat cacat
yang dikeluarkan oleh
penderita pada metode
pengamatan semi aktif,
seperti biaya tindakan dan
pengobatan ke pelayanan
kesehatan dan biaya
pembelian alat pelindung dan
perawatan diri.
Kuesioner penderita,
kuesioner
stakeholder,
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.
Wawancara dengan
penderita dan
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
38. Biaya
Pengobatan
dan Tindakan
oleh Penderita
Biaya yang dikeluarkan
seluruh responden untuk
membayar pengobatan dan
tindakan yang telah diterima
saat datang ke pelayanan
kesehatan sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menghitung jumlah biaya
yang dikeluarkan saat
responden berkunjung di
pelayanan kesehatan.
Kuesioner penderita. Wawancara dengan
penderita, kemudian
menghitung jumlah
biaya yang
dikeluarkan saat
responden menerima
pelayanan di
pelayanan kesehatan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
77
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
39. Biaya
Pembelian
Alat dan
Bahan
Perawatan dan
Perlindungan
Diri oleh
Penderita
Biaya yang dikeluarkan oleh
responden untuk membeli alat
dan bahan perawatan dan
perlindungan diri sesuai
dengan kebutuhan sejak Juni
2009 hingga Mei 2012.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
dari masing-masing jenis alat
dan bahan yang dibeli oleh
responden.
Kuesioner penderita. Wawancara dengan
penderita, kemudian
menghitung jumlah
dari masing-masing
jenis alat dan bahan
yang dibeli oleh
responden.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
40. Biaya
Transportasi
Penderita
Biaya yang dikeluarkan oleh
penderita untuk menjangkau
pelayanan kesehatan sejak
Juni 2009 hingga Mei 2012
dalam rangka pengendalian
tingkat cacatnya. Besarnya
biaya diperoleh dengan
menghitung jumlah
kunjungan ke pelayanan
kesehatan.
Kuesioner penderita
dan kartu register
penderita.
Wawancara dengan
penderita,
mengumpulkan kartu
register penderita,
kemudian menghitung
jumlah kunjungan ke
pelayanan kesehatan.
Jumlah biaya dalam
rupiah
Rasio
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
78
Universitas Indonesia
4.5 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung melalui pengisian kuesioner yang dipandu dan diajukan
oleh enumerator untuk penderita. Selain itu data juga diperoleh dari kuesioner
stakeholder (puskesmas dan petugas puskesmas, petugas dinas kesehatan
kabupaten, petugas dinas kesehatan provinsi). Data sekunder diperoleh dari
beberapa data yang telah tercatat pada dokumen-dokumen tertentu untuk
informasi tambahan. Dokumen yang menjadi sumber data sekunder pada
penelitian ini adalah kartu penderita, kartu monitoring khusus penderita pada
pengamatan semi aktif, form pencegahan cacat (POD), form tatalaksana reaksi
reaksi berat, simpus penderita, rincian biaya puskesmas, rincian biaya dinkes
kabupaten dan provinsi untuk kegiatan kusta, rincian biaya dari dana yang
diberikan oleh NLR untuk pengamatan semi aktif, daftar inventaris ruangan
kusta di puskesmas, catatan penerimaan alat bantu pelindung diri.
4.6 Manajemen Data
Manajemen data terdiri atas editing, coding, entry data, dan cleaning.
Editing adalah pengecekan data yang telah terkumpul untuk melihat adanya
kemungkinan data yang masuk meragukan atau tidak sesuai. Coding adalah
pemberian kode atau tanda pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori
yang sama. Kode dibuat dalam bentuk angka atau huruf. Entry data adalah
memasukkan data yang diperoleh dalam sistem computer. Cleaning adalah
data yang telah masuk diperiksa kembali dan digunakan untuk membersihkan
data dari kesalahan-kesalahan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
79
Universitas Indonesia
4.7 Analisis Data
Berikut akan diuraikan langkah-langkah untuk mengolah data pada
penelitian ini.
4.7.1 Pencatatan dan Pemilahan
Langkah awal pengolahan data pada penelitian ini adalah pencatatan
dan pemilahan terhadap biaya, faktor-faktor yang berhubungan dengan
kecacatan sebagai variabel independen, efektivitas sebagai variabel
dependen yang diperoleh dari data primer dan sekunder. Data biaya diolah
dengan program excel, sedangkan data variabel dependen dan independen
diinput dan diolah dengan program SPSS.
4.7.2 Analisis Univariat dan Bivariat
Data variabel dianalisis univariat dan bivariat untuk melihat
distribusi dari masing-masing variabel baik variabel dan untuk mengetahui
adanya hubungan antara variabel dependen dengan independen dengan
menggunakan uji chi-square.
Penghitungan biaya dilakukan dengan metode konvensional. Seluruh
biaya dihitung dan diinput pada masing-masing komponen biaya dan
dijumlahkan sehingga diperoleh biaya untuk masing-masing metode
pengamatan. Komponen biaya dan cara memperoleh jumah biayanya pada
penelitian ini dirinci sebagai berikut :
a. Biaya Pemakaian Ruang Kusta
Biaya diperoleh dari nilai ruang kusta (yang disetahunkan). Data
diperoleh dari kuesioner petugas, kuesioner puskesmas.
b. Biaya Pemakaian Alat Medis/Non Medis
Biaya diperoleh dari nilai alat medis/non medis yang digunakan dalam
pelayanan terhadap responden (yang disetahunkan). Data diperoleh dari
daftar inventaris ruang kusta, kuesioner puskesmas.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
80
Universitas Indonesia
c. Biaya Tenaga Pelayanan Kusta
Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas maupun yang dikunjungi dikalikan proporsi jumlah waktu
yang diluangkan petugas untuk pelayanan dan kegiatan yang mengikuti
dikalikan dengan gaji petugas yang terlibat. Data diperoleh dari
kuesioner petugas puskesmas, kartu register penderita
d. Biaya Bahan Habis Pakai
Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas dikalikan dengan jumlah biaya bahan habis pakai yang
digunakan petugas untuk pelayanan. Data diperoleh dari kuesioner
petugas puskesmas, kartu register penderita.
e. Biaya Pemakaian Obat
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah obat yang diberikan kepada
responden saat menerima pelayanan di puskesmas dikalikan dengan
harga masing-masing obat dengan harga sesuai tahun yang dilakukan
confounding. Data diperoleh dari kartu register penderita.
f. Biaya Transportasi Petugas
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah kunjungan ke rumah
responden dikalikan dengan biaya transport ke rumah masing-masing
responden. Data diperoleh dari kuesioner petugas dan penderita.
g. Biaya Komunikasi dengan Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah komunikasi dengan
responden atau pihak yang dapat berkomunikasi langsung dengan
responden dikalikan dengan biaya komunikasi. Data diperoleh dari
kuesioner petugas puskesmas.
h. Biaya Pembelian Alat dan Bahan Perawatan dan Perlindungan Diri
untuk Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah dari masing-masing jenis
alat dan bahan yang diterima responden dikalikan dengan harga masing-
masing jenis alat dan bahan. Data diperoleh dari kuesioner penderita.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
81
Universitas Indonesia
i. Biaya Listrik dan Air
Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas dikalikan dengan proporsi ruang kusta dikalikan dengan
biaya listrik dan air yang digunakan untuk seluruh pelayanan di
puskesmas. Data diperoleh dari kuesioner puskesmas dan petugas
puskesmas, kartu register penderita, dokumen pengeluaran biaya
stakeholder.
j. Biaya Pemeliharaan
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya pemeliharaan dari
masing-masing barang inventaris yang digunakan dalam pelayanan.
Data diperoleh dari dokumen pengeluaran biaya stakeholder.
k. Biaya Tenaga Pendukung Program
Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi waktu yang diluangkan
pegawai dinkes kabupaten dan provinsi untuk melakukan kegiatan
terkait program pada masing-masing pengamatan. Data diperoleh dari
kuesioner stakeholder dan dokumen pengeluaran biaya stakeholder.
l. Biaya Koordinasi Dinkes Kabupaten dengan Puskesmas
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
koordinasi. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen
pengeluaran biaya stakeholder.
m. Biaya Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Dinkes Provinsi
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
monitoring dan evaluasi. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan
dokumen pengeluaran biaya stakeholder.
n. Biaya Pelatihan
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
pelatihan. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen
pengeluaran biaya stakeholder.
o. Biaya Administrasi Umum
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya bahan habis pakai
dan biaya pemeliharaan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen pengeluaran
biaya stakeholder.
p. Biaya Pengobatan dan Tindakan oleh Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan saat
responden berkunjung ke pelayanan kesehatan. Data diperoleh dari
kuesioner penderita.
q. Biaya Pembelian Alat dan Bahan Perawatan dan Perlindungan Diri oleh
Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah dari masing-masing jenis
alat dan bahan yang dibeli oleh responden dikalikan dengan harga
masing-masing jenis alat dan bahan. Data diperoleh dari kuesioner
penderita.
r. Biaya Transportasi Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah kunjungan ke pelayanan
kesehatan dikalikan biaya transport ke pelayanan kesehatan. Data
diperoleh dari kuesioner penderita dan kartu register penderita.
4.7.3 Analisis Multivariat
Seluruh variabel independen yang telah dinyatakan berhubungan
dengan variabel dependen pada analisis bivariat kemudian dimasukkan ke
dalam model dan dianalisis multivariat dengan menggunakan uji regresi
logistik ganda untuk mencari variabel independen yang paling berpengaruh
terhadap variabel dependen.
4.7.4 Perhitungan ICER
Kemudian dihitung rasio efektivitas biaya intervensi terhadap
penderita kusta setelah selesai pengobatan melalui pengamatan semi aktif
dan metode pengamatan pasif dengan membandingkan biaya pada kedua
metode dengan efektivitas berupa penderita dengan cacat yang dapat
dikendalikan pada kedua metode tersebut. Setelah diperoleh rasio efektivitas
biaya (ICER), dibandingkan dengan threshold ratio. Threshold ratio
berdasarkan WHO (2005) adalah Gross Domestic Product per capita (GDP
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
83
Universitas Indonesia
per capita) dengan tingkatan efektif biaya tinggi (kurang dari GDP per
capita), efektif biaya (antara satu hingga tiga kali GDP per capita), tidak
efektif biaya (lebih dari tiga kali GDP per capita). Berdasarkan data Bank
Dunia (World Bank) tahun 2011, current prices untuk GDP per capita untuk
Indonesia adalah US$ 3,495.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
84 Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa
Timur. Pada tahun 2011, angka penemuan kasus baru di Kabupaten Pasuruan
sebesar 16,88 per 100.000 penduduk dengan prosentase penderita MB sebesar
78 %, kasus anak 16 %, dan cacat tingkat 2 sebesar 14 %. Prevalensi hingga
akhir tahun 2011 cukup tinggi yaitu 2,4 per 10.000 penduduk. Kasus kusta
tersebar di 26 puskesmas dari 33 puskesmas yang berada di wilayah
Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Pasuruan menerapkan metode pengamatan semi aktif
sebagai suatu proyek uji coba dalam pengamatan terhadap penderita kusta
yang telah menyelesaikan pengobatan (dinyatakan RFT) sejak tahun 2009.
Metode pengamatan semi aktif ini diterapkan di 10 puskesmas, sedangkan
puskesmas lainnya masih menerapkan metode pengamatan pasif. Pada
penelitian ini akan dibandingkan efektivitas biaya pada kedua metode tersebut.
Responden yang dipilih pada penelitian ini adalah penderita kusta yang
telah menyelesaikan pengobatan (dinyatakan RFT) sejak bulan Mei tahun
2009 hingga bulan Maret tahun 2010. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh
86 responden dari 23 puskesmas yang terbagi menjadi 2 intervensi (metode
pengamatan) yaitu 43 responden pada metode pengamatan semi aktif dan 43
responden pada metode pengamatan pasif. Adapun distribusi responden di 23
puskesmas yang menjadi lokasi penelitian disajikan pada tabel 5.1.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Puskesmas
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
No Nama Puskesmas Jumlah Responden
Pengamatan Semi Aktif
Jumlah Responden
Pengamatan Pasif
1 Pohjentrek 7 -
2 Winongan 11 -
3 Pasrepan 2 -
4 Grati 8 -
5 Wonorejo 2 -
6 Gempol 2 -
7 Kedaung Wetan 3 -
8 Nguling 1 2
9 Gondang Wetan 4 -
10 Beji 3 -
11 Sukorejo - 2
12 Kejayan - 10
13 Rembang - 3
14 Kraton - 4
15 Kepulungan - 6
16 Purwosari - 1
17 Lumbang - 1
18 Lekok - 3
19 Karangrejo - 3
20 Rejoso - 2
21 Ambal-ambil - 3
22 Bangil - 1
23 Ngempit - 2
Total 43 43
5.1.1 Metode Pengamatan Semi Aktif
Responden pada metode pengamatan semi aktif adalah penderita
kusta yang telah selesai pengobatan (dinyatakan RFT) yang tersebar di
10 puskesmas di Kabupaten Pasuruan. Pada metode pengamatan semi aktif,
terdapat 37 responden yang aktif datang ke puskesmas dan terdapat 41
responden yang pernah dikunjungi oleh petugas puskesmas.
Responden yang datang ke puskesmas mendaftarkan diri dan
mengambil kartu register keluarga (family folder) di loket tanpa membayar
biaya registrasi. Setelah mendapat kartu dari petugas loket, responden
kemudian menemui petugas kusta puskesmas di ruang pelayanan. Ruang
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
86
Universitas Indonesia
pelayanan untuk kusta di setiap puskesmas berbeda. Ada puskesmas yang
memiliki ruangan khusus untuk pelayanan kusta, ada pula yang menjadi satu
dengan ruang balai pengobatan, ruang laboratorium, atau ruang unit gawat
darurat. Waktu pelayanan petugas kusta kepada responden bervariasi,
berkisar 23 hingga 130 menit tergantung pada pelayanan apa saja yang
diberikan. Setiap petugas puskesmas memberikan pelayanan berupa
anamnesa, penjelasan mengenai reaksi, penjelasan mengenai perawatan diri,
melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi sebagai
pencegahan cacat, perawatan luka, dan melakukan demo rawat diri kepada
responden. Beberapa petugas memberikan pelayanan tambahan yaitu
mengambil kartu kusta, melakukan pemeriksaan tanda utama kusta
(cardinal sign), memberikan alat untuk perawatan dan pelindung diri,
menyerahkan obat atau vitamin secara langsung, melakukan konseling, dan
memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan Diri (KPD).
Petugas kusta di tiga puskesmas dibantu oleh petugas apotik dalam
memberikan pelayanan penyerahan obat atau vitamin. Pelayanan tindakan
dan obat tidak dipungut biaya. Alur pelayanan pada metode pengamatan
semi aktif yang datang ke puskesmas dapat dilihat pada gambar 5.1.
Petugas kusta puskesmas yang akan berkunjung ke rumah responden
meluangkan waktu kurang lebih 5 hingga 15 menit untuk mempersiapkan
perlengkapan yang akan dibawa. Perlengkapan tersebut diantaranya adalah
kartu penderita, form pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi, buku
catatan, bolpoin, leaflet, kapas, gunting, plester, kasa, obat-obatan, alat
bantu/pelindung, bahan untuk perawatan diri, dan tensimeter. Hampir
seluruh petugas kusta puskesmas pada metode pengamatan semi aktif
menggunakan sepeda motor pribadi untuk mengunjungi rumah responden.
Waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 15 hingga 30 menit dengan biaya
transpor yang dikeluarkan sebesar 5.000-30.000 rupiah.
Beberapa petugas kusta puskesmas mengunjungi responden bersama
dengan mitra kerja diantaranya bidan desa, tenaga admnistrasi, atau kader.
Seluruh petugas kusta saat berkunjung ke rumah responden memberikan
pelayanan berupa anamnesa, penjelasan mengenai reaksi, penjelasan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
87
Universitas Indonesia
mengenai perawatan diri, melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan
tatalaksana reaksi sebagai pencegahan cacat, perawatan luka, dan
melakukan demo rawat diri kepada responden. Terdapat beberapa petugas
yang juga memberikan pelayanan tambahan seperti mengambil kartu
register keluarga (family folder), kartu kusta, melakukan pemeriksaan tanda
utama kusta (cardinal sign), memberikan alat untuk perawatan dan
pelindung diri, menyerahkan obat atau vitamin secara langsung, melakukan
konseling, dan memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan
Diri (KPD). Waktu yang diluangkan untuk memberikan pelayanan saat
berkunjung ke rumah responden berkisar 47 hingga 135 menit. Alur
pelayanan responden pada metode pengamatan semi aktif saat petugas
melakukan kunjungan ke rumah penderita dapat dilihat pada gambar 5.2.
Gambar 5.1
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan
Penderita
datang
Administrasi
Puskesmas Petugas
Kusta
Mengambil
kartu register
keluarga
(family folder)
Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Pemeriksaan fungsi saraf & tatalaksana reaksi
Perawatan luka akibat kusta
Demo perawatan diri
Apotik/
Loket Obat
Penderita
pulang
Memberikan
vitamin/ obat
Mengambil kartu khusus penderita kusta
Pemeriksaan tanda utama (cardinal sign) kusta
Penyerahan vitamin /obat secara langsung
Memberikan alat perawatan dan pelindung diri
Melakukan konseling
Memberikan motivasi untuk datang ke
Kelompok Perawatan Diri (KPD)
Pendaftaran
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
88
Universitas Indonesia
Gambar 5.2
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
dikunjungi oleh Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan
5.1.2 Metode Pengamatan Pasif
Responden pada metode pengamatan pasif adalah penderita kusta
yang telah selesai pengobatan (dinyatakan RFT) yang tersebar di
14 puskesmas di Kabupaten Pasuruan. Pada metode pengamatan pasif,
terdapat 7 responden yang aktif datang ke 5 puskesmas.
Responden yang datang ke puskesmas langsung ke bagian loket
untuk mendaftarkan diri dan mengambil kartu register keluarga (family
folder) tanpa membayar biaya registrasi. Setelah mendapat kartu dari
petugas loket, responden kemudian menemui petugas kusta puskesmas di
ruang pelayanan. Seluruh puskesmas memiliki ruangan khusus untuk
Persiapan
Petugas
Petugas
Datang
Petugas Kusta
di Rumah
Penderita
Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi/ neuritis
Penanganan dan perawatan luka akibat kusta
Demo perawatan diri
Petugas
Pulang
Mengambil kartu register keluarga (family folder) Mengambil kartu khusus penderita kusta
Pemeriksaan tanda utama (cardinal sign) kusta
Penyerahan vitamin atau obat secara langsung kepada penderita
Memberikan alat perawatan dan pelindung diri
Melakukan konseling
Memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan Diri
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
89
Universitas Indonesia
pelayanan kusta. Waktu pelayanan petugas kusta kepada responden
bervariasi, berkisar 47 hingga 153 menit tergantung pada pelayanan apa saja
yang diberikan. Setiap petugas puskesmas mengambil kartu kusta,
melakukan anamnesa, memberikan penjelasan mengenai reaksi, penjelasan
mengenai perawatan diri, perawatan luka, dan menyerahkan obat atau
vitamin secara langsung kepada responden. Pelayanan tindakan dan obat
tidak dipungut biaya. Beberapa petugas memberikan pelayanan tambahan
yaitu, melakukan pemeriksaan tanda utama kusta, melakukan pemeriksaan
fungsi saraf dan tatalaksana reaksi sebagai pencegahan cacat, memberikan
alat untuk perawatan dan pelindung diri, melakukan demo rawat diri, dan
melakukan konseling. Alur pelayanan responden pada metode pengamatan
pasif yang datang ke puskesmas dapat dilihat pada gambar 5.3.
Gambar 5.3
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif
Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan
Penderita
datang
Administrasi
Puskesmas
Petugas
Kusta
Pendaftaran
Mengambil
kartu register
keluarga
(family folder)
Mengambil kartu khusus penderita kusta
Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Perawatan luka akibat kusta
Memberikan vitamin/ obat secara langsung
kepada penderita
Penderita
pulang
Pemeriksaan tanda utama kusta
Pemeriksaan fungsi saraf & tatalaksana reaksi
Demo perawatan diri
Memberikan alat perawatan & pelindung diri
Melakukan konseling
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Pada metode pengamatan pasif tidak ada responden yang mendapat
kunjungan dari petugas kusta puskesmas. Hal ini sesuai dengan deskripsi
pengamatan pasif bahwa petugas tidak diwajibkan melakukan kunjungan ke
rumah penderita apabila penderita kusta yang telah menyelesaikan
pengobatan dan masih dalam masa pengamatan tidak datang ke puskesmas
untuk memeriksakan diri secara dini.
5.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.2
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Pengendalian Tingkat Cacat
Total
OR
(95%CI)
p
Value Ya Tidak
n % n % n %
Metode Pengamatan
Semi Aktif
42
97,7
1
2,3
43
100
9,6
(1,145-
80,517)
0,030
Metode Pengamatan
Pasif
35
81,4
8
18,6
43
100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Tabel 5.2 menyajikan data distribusi dan hubungan metode
pengamatan dengan pengendalian tingkat cacat. Berdasarkan tabel tersebut,
dapat dilihat bahwa pada metode pengamatan semi aktif hanya ada 1
responden (2,3%) dari 43 responden yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan. Sedangkan pada metode pengamatan pasif, dari 43 responden
masih terdapat 8 responden (18,6%) yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
p=0,030 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan pengendalian tingkat
cacat antara metode pengamatan semi aktif dengan metode pengamatan
pasif. Hasil uji juga menunjukkan nilai OR=9,6 yang berarti bahwa
penderita pada metode pengamatan pasif memiliki peluang 9,6 kali untuk
tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita
pada metode pengamatan semi aktif.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
91
Universitas Indonesia
5.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan,
Pencegahan Cacat, dan Perawatan Diri
5.3.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan
Tabel 5.3
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Tingkat Pengetahuan
Total
OR (95% CI)
p
Value Tinggi Rendah
n % n % n %
Metode Pengamatan
Semi Aktif
35
81,4
8
18,6
43
100
3,804
(1,436-10,078)
0,011
Metode Pengamatan
Pasif
23
53,5
20 46,5
43
100
Jumlah 58 67,4 28 32,6 86 100
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa responden pada metode
pengamatan semi aktif lebih banyak yang memiliki tingkat pengetahuan
tinggi mengenai kecacatan pada kusta yaitu sebanyak 35 orang (81,4%).
Pada metode pengamatan pasif, jumlah responden yang memiliki
pengetahuan tinggi mengenai kecacatan pada kusta (23 orang) tidak jauh
berbeda dengan jumlah responden yang memiliki pengetahuan rendah (20
orang).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh α < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara tingkat pengetahuan
responden pada metode pengamatan semi aktif dengan tingkat pengetahuan
responden pada metode pengamatan pasif. Nilai OR=3,804 menyatakan
bahwa penderita pada metode pengamatan pasif memiliki peluang 3,8 kali
lebih rendah pengetahuannya daripada penderita pada metode pengamatan
semi aktif.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
92
Universitas Indonesia
5.3.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat
Tabel 5.4
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Pencegahan Cacat
Total
OR (95% CI)
p
Value Ya Tidak
n % n % n %
Metode Pengamatan
Semi Aktif
41 95,3 2 4,7 43 100 420
(56,467-
3127,686)
0,000
Metode Pengamatan
Pasif
2 4,7 41 95,3 43 100
Jumlah 43 50 43 50 86 100
Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada metode pengamatan
semi aktif, responden yang mendapat pencegahan cacat mencapai 95,3 %
(41 responden). Jumlah tersebut jauh lebih besar daripada jumlah responden
yang tidak mendapat pencegahan cacat (2 responden). Sebaliknya, pada
metode pengamatan pasif jumlah responden yang mendapat pencegahan
cacat hanya 4,7% (2 responden) dan responden yang tidak mendapat
pencegahan cacat sebanyak 95,3 % (41 responden).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh α
< 0,05 yaitu terdapat perbedaan perilaku pencegahan cacat antara metode
pengamatan semi aktif dengan metode pengamatan pasif. Nilai OR=420,250
menyatakan bahwa penderita pada metode pengamatan pasif memiliki
peluang 420 kali untuk tidak mendapat pencegahan cacat dibandingkan
penderita pada metode pengamatan semi aktif.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
93
Universitas Indonesia
5.3.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri
Tabel 5.5
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Perawatan Diri
Total
OR (95% CI)
p
Value Ya Tidak
n % n % n %
Metode Pengamatan
Semi Aktif
42 97,7 1 2,3 43 100 36,522
(4,601-
289,926)
0,000
Metode Pengamatan
Pasif
23 53,5 20 46,5 43 100
Jumlah 65 75,6 21 24,4 86 100
Berdasarkan tabel, responden pada metode pengamatan semi aktif
lebih banyak yang melakukan perawatan diri yaitu sebanyak 42 orang
(97,7%). Sedangkan pada metode pengamatan pasif, jumlah responden yang
melakukan perawatan diri (23 orang) tidak jauh berbeda dengan jumlah
responden yang tidak melakukan perawatan diri (20 orang).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, dapat dilihat
p value yang dihasilkan adalah 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan perilaku perawatan diri antara metode pengamatan semi
aktif dengan metode pengamatan pasif. Nilai OR yang dihasilkan adalah
36,522. Nilai tersebut menyatakan bahwa penderita pada metode
pengamatan pasif memiliki peluang 36 kali untuk tidak melakukan
perawatan diri dibandingkan dengan penderita pada metode pengamatan
semi aktif.
5.4 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
5.4.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Umur responden pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu kelompok umur < 15 tahun dan kelompok umur ≥ 15 tahun.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
94
Universitas Indonesia
Distribusi dan hubungan antara umur dengan pengendalian tingkat cacat
disajikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Hubungan antara Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Kelompok
Umur
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
< 15 Tahun 3 100 0 0 3 100 - 1,000
≥ 15 Tahun 74 89,2 9 10,8 83 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Berdasarkan tabel tersebut, jumlah responden berumur < 15 tahun
yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan adalah 3 orang (100%) dan tidak
ada responden yang cacatnya tidak dapat dikendalikan. Sedangkan pada
responden yang berumur ≥ 15 tahun, terdapat 74 responden (89,2%) yang
cacatnya dapat dikendalikan dan 9 responden (10,8%) yang cacatnya tidak
dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
α > 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
umur dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.7
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Tingkat
pendidikan
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
Tinggi 18 90,0 2 10 20 100 - 1,000
Rendah 59 89,4 7 10,6 66 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Tabel tersebut menunjukkan bahwa 90% responden berpendidikan
tinggi (18 orang) dapat dikendalikan tingkat cacatnya dan terdapat 2
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
95
Universitas Indonesia
responden (10%) yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan. Pada
responden dengan tingkat pendidikan rendah, sebagian besar responden
(89,4%) dapat dikendalikan tingkat cacatnya dan hanya 7 orang (10,6%)
yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis, p value yang diperoleh adalah 1,000.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.8
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Tingkat
Pengetahuan
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
Tinggi 50 86,2 8 13,8 58 100 - 0,260
Rendah 27 96,4 1 3,6 28 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Pada Tabel 5.8 dapat dilihat pada responden dengan tingkat
pengetahuan tinggi mengenai kecacatan pada kusta, lebih banyak responden
yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan (86%). Begitu pula dengan
responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah, jumlah responden
yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan (27 orang) lebih banyak daripada
jumlah responden yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan (27
orang). Berdasarkan hasil analisis diperoleh p=0,260, artinya tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tingkat ekonomi responden pada penelitian ini diukur dari
besarnya biaya yang dikeluarkan rumah tangga responden per bulan per
orang. Pada tabel berikut, disajikan distribusi dan hubungan antara tingkat
ekonomi dengan pengendalian tingkat cacat.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
96
Universitas Indonesia
Tabel 5.9
Hubungan antara Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Tingkat Sosial
Ekonomi
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
Tinggi 7 100 0 0 7 100 - 1,000
Rendah 70 88,6 9 11,4 79 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Pada tabel dapat dilihat bahwa jumlah responden dengan tingkat
sosial ekonomi tinggi adalah 7 responden dan ternyata tingkat cacat dari
seluruh responden dapat dikendalikan. Sedangkan pada responden dengan
tingkat ekonomi rendah, jumlah responden yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan adalah 70 orang (88,6%) dan 9 orang lainnya (11,4%) tidak
dapat dikendalikan tingkat cacatnya.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
α > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
ekonomi dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.10
Hubungan antara Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Tipe Kusta
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
PB 2 100 0 0 2 100 - 1,000
MB 75 89,3 9 10,7 84 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Tabel 5.10 menggambarkan bahwa seluruh responden dengan tipe
PB (2 orang) dapat dikendalikan tingkat cacatnya. Pada penderita kusta tipe
MB, jumlah responden dengan tingkat cacat yang dapat dikendalikan (75
orang) lebih besar dibandingkan jumlah responden dengan tingkat cacat
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
97
Universitas Indonesia
tidak dapat dikendalikan (9 orang). Berdasarkan hasil uji statistik
menggunakan uji chi-square, diperoleh p value sebesar 1,000. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tipe kusta dengan
pengendalian tingkat cacat.
5.4.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.11
Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Riwayat Reaksi
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value Ya Tidak
n % N % n %
Tidak 56 87,5 8 12,5 64 100 - 0,437
Ya 21 95,5 1 4,5 22 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Pada responden yang tidak memiliki riwayat reaksi, jumlah
responden dengan tingkat cacat dapat dikendalikan lebih besar daripada
responden dengan tingkat cacat tidak dapat dikendalikan yaitu masing-
masing sebanyak 56 responden dan 8 responden. Pada responden yang
memiliki riwayat reaksi, jumlah responden dengan tingkat cacat dapat
dikendalikan juga lebih besar yaitu sebanyak 21 responden (95,5%) dan
hanya ada 1 responden saja (4,5%) yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis, p value yang diperoleh sebesar 0,437
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat reaksi
dengan tingkat cacat yang dapat dikendalikan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
98
Universitas Indonesia
5.4.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.12
Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pencegahan
Cacat
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p
Value Ya Tidak
n % N % n %
Ya 42 97,7 1 2,3 43 100 9,6
(1,145-80,517)
0,030
Tidak 35 81,4 8 18,6 43 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Pada Tabel 5.12 dapat dilihat bahwa pada responden yang mendapat
pencegahan cacat, terdapat 42 responden (97,7%) yang tingkat cacatnya
dapat dikendalikan dan hanya 1 responden (2,3%) yang tingkat cacatnya
tidak dapat dikendalikan. Pada responden yang tidak mendapat pencegahan,
terdapat 35 responden (81,4%) dengan tingkat cacat dapat dikendalikan dan
8 responden (18,6%) dengan tingkat cacat tidak dapat dikendalikan.
responden yang tidak mendapat pencegahan cacat sebanyak 95,3 % (41
responden).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
p=0,030 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
pengendalian tingkat cacat antara penderita yang mendapat pencegahan
cacat dengan penderita yang tidak mendapat pencegahan cacat. Nilai
OR=9,6 menyatakan bahwa penderita yang tidak mendapat pencegahan
cacat memiliki peluang 9,6 kali untuk tidak dapat dikendalikan tingkat
cacatnya dibandingkan dengan penderita yang mendapat pencegahan cacat.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
99
Universitas Indonesia
5.4.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.13
Hubungan antara Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Perawatan
Diri
Pengendalian Tingkat
Cacat
Total
OR
(95% CI)
p Value
Ya Tidak
n % N % n %
Ya 64 98,5 1 1,5 65 100 39,385
(4,530-342,424)
0,000
Tidak 13 61,9 8 38,1 21 100
Jumlah 77 89,5 9 10,5 86 100
Pada tabel dapat dilihat bahwa pada responden yang melakukan
perawatan diri, lebih banyak responden yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan (64 orang) dibandingkan dengan responden yang tingkat
cacatnya tidak dapat dikendalikan (1 orang). Sedangkan pada responden
yang tidak melakukan perawatan diri, jumlah responden dengan tingkat
cacat dapat dikendalikan sebanyak 13 responden dan 8 responden yang
tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, dapat dilihat
p value yang dihasilkan adalah 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara pengendalian nilai cacat dengan perawatan diri. Nilai
OR yang dihasilkan adalah 39,385. Nilai tersebut menyatakan bahwa
penderita yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali
untuk tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan
penderita yang melakukan perawatan diri.
5.5 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat
Sebelum melakukan analisis multivariat, faktor-faktor yang diprediksi
berhubungan telah dilakukan seleksi dengan analisis bivariat. Faktor-faktor
tersebut yang masuk pada model multivariat adalah faktor yang dari hasil uji
bivariatnya diperoleh p value ≤ 0,25. Tabel 5.14 menyajikan data mengenai
faktor yang berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat yang masuk pada
model awal multivariat yaitu variabel perawatan diri dan pencegahan cacat.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
100
Universitas Indonesia
Tabel 5.14
Model Awal Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan dengan
Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Cgh_cct .060 1.490 .002 1 .968 1.062 .057 19.704
Rwt_diri 3.638 1.407 6.685 1 .010 38.005 2.411 598.993
Constant -4.181 1.147 13.289 1 .000 .015
Setelah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi
logistik ganda, diperoleh model terakhir yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5.15
Model Akhir Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan dengan
Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Rwt_diri 3.673 1.103 11.083 1 .001 39.385 4.530 342.424
Constant -4.159 1.008 17.030 1 .000 .016
Berdasarkan tabel 5.15, dapat dilihat bahwa hanya terdapat 1 faktor
yang berhubungan signifikan dengan pengendalian tingkat cacat dari hasil
uji multivariat yaitu faktor perawatan diri dan tidak terdapat variabel
interaksi maupun variabel perancu (confounding). Nilai OR yang dihasilkan
adalah 39,385. Nilai tersebut menyatakan bahwa penderita yang tidak
melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali untuk tidak dapat
dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita yang
melakukan perawatan diri.
Hasil analisis hubungan bivariat dan multivariat, memperlihatkan
hubungan antara metode pengamatan dengan perawatan diri dan hubungan
anatara perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Hubungan
tersebut berikut proporsinya dapat disajikan pada Pohon Keputusan
(Decision Tree) gambar 5.4.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Gambar 5.4
Pohon Keputusan (Decision Tree) Probabilitas
Penderita
Kusta Setelah
Selesai
Pengobatan
Pengamatan
Pasif
Pengamatan
Semi Aktif
Melakukan
Perawatan
Diri
Tidak
Melakukan
Perawatan Diri
Melakukan
Perawatan
Diri
Cacat Dapat
Dikendalikan
Cacat Dapat
Dikendalikan
Cacat Dapat
Dikendalikan
Cacat Dapat
Dikendalikan
Cacat Tidak Dapat
Dikendalikan
Cacat Tidak Dapat
Dikendalikan
Cacat Tidak Dapat
Dikendalikan
Cacat Tidak Dapat
Dikendalikan
Tidak
Melakukan
Perawatan Diri
N=43
N=43
N=43 (0,54)
N=43 (0,46)
N=23 (1,0)
N=23 (0)
N=20 (0,6)
N=20 (0,4)
N=43 (0,98)
N=42 (0,98)
N=42 (0,02)
N=43 (0,02)
N=1 (1,0)
N=1 (0)
0,54
0
0,276
0,184
0,96
0,02
0,02
0
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
102
Universitas Indonesia
5.6 Biaya
Biaya metode pengamatan semi aktif dan pengamatan pasif pada
penelitian ini digambarkan pada tabel 5.16.
Tabel 5.16
Gambaran Biaya Program dan Penderita pada metode Pengamatan Semi Aktif
dan Metode Pengamatan Pasif di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Biaya Pengamatan
Semi Aktif
Pengamatan
Pasif
I. Biaya Program 360.872.024,63 65.123.361,49
A Biaya Langsung 250.657.161,85 56.669.438,95
1 Biaya Investasi 126.546.736,10 49.650.866,30
a Biaya Pemakaian Ruang Kusta 75.503.874,85 28.394.554,15
b
Biaya Pemakaian Alat Medis/ Non
Medis 51.042.861,26 21.256.312,15
2 Biaya Operasional 117.897.262,86 2.032.202,49
a Biaya Tenaga Pelayanan Kusta 22.557. 166,36 1.093.655,48
b Biaya Bahan Habis Pakai 965.579,52 150.938,10
c Biaya Pemakaian Obat 87.372.305,00 184.603,10
d Biaya Transportasi Petugas 4.825.000,00 -
e Biaya Komunikasi dengan Penderita 366.615,59 140.463,81
f Biaya Listrik dan Air 80.630,00 6.542,00
g Biaya Pembelian Alat dan Bahan
Perawatan dan Perlindungan Diri
untuk penderita 1.729.966,39 456.000,00
3 Biaya Pemeliharaan 6.213.162,89 4.986.370,16
B. Biaya Tidak Langsung 110.214.862,77 8.453.922,54
1 Biaya Tenaga (SDM Non Ptgs Kusta
Puskesmas, Dinkes atau Pusat) 667.840,05 839.468,00
2 Biaya Koordinasi Dinkes Kab dengan
Puskesmas 4.293.636,36 5.581.727,27
3 Biaya Monitoring dan Evaluasi kegiatan
Dinkes Prov 83.223.750,00 -
4 Biaya Pelatihan 20.988.727,27 1.654.545,45
5 Biaya Administrasi Umum 1.040.909,09 378.181,82
II Biaya Penderita 2.696.000,00 942.000,00
Biaya Langsung 2.696.000,00 942.000,00
1 Biaya Pengobatan dan Tindakan 116.000,00 75.000,00
2 Biaya Pembelian Alat dan Bahan
Perawatan dan Perlindungan Diri 945.000,00 367.000,00
3 Biaya Transportasi Penderita 1.635.000,00 500.000,00
Total Biaya 363.568.024,63 66.065.361,49
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
103
Universitas Indonesia
5.7 Rasio Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat
Rasio efektivitas biaya tambahan dalam pengendalian tingkat cacat
pada metode pengamatan semi aktif dengan pengamatan pasif adalah :
∆ C (Rp 363.568.024,63 - Rp 66.065.361,49)
ICER = =
∆ E (41-23)
Rp 297.502.663,14
= = Rp 16.527.926
18
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rasio
efektivitas biaya untuk mengendalikan tingkat cacat pada seorang penderita
yang telah selesai pengobatan pada metode pengamatan semi aktif adalah
sebesar Rp 16.527.926. Biaya tersebut apabila dibandingkan dengan
threshold ratio berdasarkan WHO (GDP per capita = US$ 3,495), diperoleh
hasil bahwa rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif kurang dari
satu kali GDP per capita. Metode pengamatan semi aktif merupakan
intervensi yang efektif biayanya tinggi terhadap pengamatan pasif dalam
mengendalikan tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
104 Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Hasil analisis bivariat terhadap metode pengamatan dengan
pengendalian tingkat cacat pada penelitian ini menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan dengan nilai OR sebesar 9,6. Hasil analisis ini
sesuai dengan tujuan pengamatan semi aktif menurut Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasuruan (2011), yaitu menurunkan kejadian kecacatan atau
bertambah buruknya kecacatan pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan. Pengamatan semi aktif perlu dilakukan untuk mengurangi beban
kecacatan penderita kusta setelah selesai pengobatan. Kecacatan dapat
dikurangi dan penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan efisien
dengan menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita kusta setelah
selesai pengobatan untuk tetap berhubungan dengan Puskesmas selama
penderita tersebut membutuhkan bimbingan untuk mengatasi kecacatan yang
dialami.
6.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan,
Pencegahan Cacat, dan Perawatan Diri
Berdasarkan hasil analisis bivariat terhadap variabel metode
pengamatan dengan variabel tingkat pengetahuan, pencegahan cacat, dan
perawatan diri diperoleh hubungan yang signifikan antara metode
pengamatan dengan 3 variabel tersebut. Responden pada pengamatan pasif
memiliki peluang untuk tidak melakukan perawatan diri, tidak mendapatkan
pencegahan cacat, dan lebih rendah tingkat pengetahuannya apabila
dibandingkan dengan metode pengamatan semi aktif. Metode pengamatan
semi aktif bertujuan agar penderita tetap memiliki hubungan dengan petugas
puskesmas selama penderita masih berisiko, penderita mampu melakukan
perawatan diri secara teratur tiap hari, dan penderita mendapatkan bantuan
dalam mengatasi masalah medis yang ada (Kemenkes RI, 2010).
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
105
Universitas Indonesia
Kepedulian petugas puskesmas untuk melakukan kunjungan ke rumah
penderita apabila penderita tidak datang ke puskesmas cukup mendukung
peningkatan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan pencegahan cacat.
Pada pengamatan semi aktif, petugas selalu melakukan pemeriksaan fungsi
saraf dan tata laksana reaksi serta memberikan demo perawatan diri kepada
penderita yang telah selesai pengobatan, baik di puskesmas maupun di rumah
penderita sebagaimana telah dijelaskan pada gambaran metode pengamatan
semi aktif (sub bab 5.1.1).
6.3 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
6.3.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Analisis bivariat terhadap hubungan umur dengan pengendalian
tingkat cacat membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna.
Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kurnianto (2002), namun bertentangan dengan Susanto (2006) dan
Moshioni (2010) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara umur dengan tingkat cacat.
Hubungan yang tidak bermakna pada penelitian ini mungkin
disebabkan adanya distribusi umur yang tidak normal. Jumlah responden
usia < 15 tahun sangat sedikit yaitu hanya 3 orang dari 86 responden yang
diteliti, sehingga tidak dapat mewakili kelompok umur yang diteliti.
6.3.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Berdasarkan hasil uji chi-square pada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan pengendalian tingkat cacat disimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan. Hal ini bertentangan dengan penelitian Susanto
(2006) dan Moshioni (2010) yang menyatakan pendidikan sebagai faktor
yang berhubungan dengan tingkat cacat. Perbedaan hasil analisis mungkin
terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengelompokkan tingkat
pendidikan.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
106
Universitas Indonesia
6.3.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2009) menunjukkan bahwa
pengetahuan penderita tentang kecacatan berhubungan dengan kecacatan.
Namun hal ini tidak terbukti pada hasil analisis hubungan tingkat
pengetahuan dengan tingkat cacat pada penelitian ini karena p value yang
diperoleh adalah 0,260.
Hubungan yang tidak bermakna secara statistik antara tingkat
pengetahuan dengan pengendalian tingkat cacat dimungkinkan karena
tingkat pengetahuan responden tidak selalu mendorong timbulnya sikap dan
perilaku penderita dalam mencegah terjadinya cacat baru atau cacat yang
memburuk, dalam hal ini peran keluarga juga mempengaruhi (Universitas
Diponegoro, 2002).
6.3.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Menurut Smith (1992), status ekonomi yang kurang diidentifikasi
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan. Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2009) dan Kurnianto (2002).
Pernyataan mengenai hubungan tingkat ekonomi dengan tingkat cacat tidak
terbukti pada penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh α
> 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan
pengendalian tingkat cacat. Hal ini mungkin disebabkan jumlah responden
yang memiliki tingkat ekonomi tinggi hanya 7 orang dari 86 orang yang
diteliti. Selain itu itu penentuan kriteria dalam pengelompokkan tingkat
ekonomi juga mempengaruhi perbedaan hasil analisis.
6.3.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tipe kusta menjadi salah satu faktor yang dibuktikan berhubungan
dengan kecacatan pada penelitian Susanto (2006). Banyaknya kuman kusta
pada penderita tipe MB menyebabkan terjadinya infiltrasi langsung ke
susunan saraf tepi yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi saraf (Depkes
RI, 2007). Namun adanya hubungan signifikan tersebut tidak dapat
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
107
Universitas Indonesia
dibuktikan pada penelitian ini. Nilai p value (1,000) yang dihasilkan dari
analisis bivariat menggunakan uji chi-square menyatakan tidak ada
hubungan antara tipe kusta pada penderita dengan pengendalian tingkat
cacat. Hal ini dikarenakan jumlah responden kusta tipe PB dalam penelitian
ini sangat sedikit (2 orang) dibandingkan jumlah responden kusta tipe MB
(84 orang).
6.3.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Hasil analisis bivariat antara riwayat reaksi dengan pengendalian
tingkat cacat pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang
menyatakan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara riwayat
reaksi dengan kecacatan (Universitas Diponegoro, 2002; Susanto, 2006;
Universitas Negeri Semarang, 2009).
Perbedaan hasil penelitian mungkin disebabkan reaksi yang terjadi
terhadap responden pada penelitian ini tidak berlangsung serius sampai
menimbulkan kecacatan. Sebagaimana dinyatakan oleh Martodihardjo dan
Susanto (2003), reaksi dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak ditangani
dengan tepat. Pada penelitian ini, sebagian besar reaksi yang terjadi pada
responden telah ditangani dengan tepat.
6.3.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Pada hasil penelitiannya, Saputri (2009) dan Kurnianto (2002)
menyatakan adanya hubungan antara pencegahan cacat dengan kecacatan
yang terjadi. Penelitian ini juga membuktikan bahwa hubungan antara
pencegahan cacat dengan pengendalian tingkat cacat adalah bermakna
secara statistik, dengan OR sebesar 9,6. Responden yang tidak mendapatkan
pencegahan cacat memiliki peluang 9,6 kali untuk tidak dapat dikendalikan
tingkat cacatnya.
Menurut Srinivasan (1994), beberapa cacat pada kusta bersifat
sementara namun dapat menjadi permanen apabila diabaikan. Oleh karena
itu, diagnosis dini dan tatalaksana reaksi atau neuritis serta pemeriksaan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
108
Universitas Indonesia
fungsi saraf yang dilakukan oleh petugas sebagai bentuk pencegahan cacat
merupakan hal yang penting.
6.3.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Perawatan diri merupakan salah satu faktor pada penelitian ini yang
dinyatakan memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan
pengendalian tingkat cacat. OR yang diperoleh dari uji chi-square adalah
39,385, yang artinya penderita yang tidak melakukan perawatan diri
memiliki peluang 39 kali untuk tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya.
Hasil dari penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Susanto (2006) dan Kurnianto (2002).
ILEP (2006) menyatakan bahwa orang yang menderita kusta dapat
melindungi dirinya dari kerusakan lebih lanjut apabila memiliki kebiasaan
rawat diri yang baik. Kebutuhan yang ditekankan pada perawatan diri
adalah kesadaran, periksa pandang, dan proteksi.
6.4 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh 2 variabel yang
berhubungan secara bermakna dengan pengendalian tingkat cacat, yaitu
variabel pencegahan cacat dan perawatan diri. Namun setelah diuji
multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda, hasilnya menyatakan
bahwa hanya perawatan diri yang memiliki pengaruh terhadap pengendalian
tingkat cacat tanpa adanya variabel interaksi maupun variabel perancu
(confounding) dengan OR =39,385.
Variabel metode pengamatan berhubungan dengan pengendalian
tingkat cacat namun tidak mempengaruhi pengendalian tingkat cacat secara
langsung. Hasil analisis bivariat metode pengamatan dengan perawatan diri
diperoleh adanya hubungan yang signifikan (sub bab 5.3.3). Perbedaan
metode pengamatan mendorong perbedaan terjadinya perawatan diri yang
merupakan faktor tunggal yang mempengaruhi pengendalian tingkat cacat.
Pada metode pengamatan semi aktif, petugas tidak hanya memberikan
informasi mengenai pentingnya perawatan diri saat penderita datang ke
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
109
Universitas Indonesia
puskesmas tetapi juga memberikan contoh cara melakukan perawatan diri
(Gambar 5.1). Petugas juga melakukan kunjungan ke rumah untuk melihat
kondisi penderita apabila penderita tidak datang ke puskesmas pada waktu
yang telah dijanjikan. Hal tersebut menyebabkan penderita pada pengamatan
semi aktif lebih banyak yang melakukan perawatan diri.
Variabel pencegahan cacat juga dinyatakan berhubungan dengan
pengendalian tingkat cacat namun tidak berpengaruh saat dianalisis bersama-
sama dengan variabel perawatan diri. Hal ini kemungkinan karena adanya
hubungan antara perawatan diri dengan pencegahan cacat. Hasil analisis
bivariat menggunakan chi-square terhadap hubungan perawatan diri dengan
pencegahan cacat diperoleh p value=0,000 dengan OR = 36,522. Pada
penderita yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 36 kali
untuk tidak mendapat pencegahan cacat.
Adanya kesempatan untuk mendapat pencegahan cacat dari petugas
sangat tergantung dari ada atau tidaknya pertemuan antara penderita dengan
petugas. Responden yang melakukan perawatan diri biasanya menemui
petugas kusta saat mereka tidak mampu mengatasi komplikasi penyakit di
rumah dan meminta informasi dari petugas. Pada saat itulah petugas akan
memberikan pencegahan cacat sesuai dengan kebutuhan penderita.
Menurut ILEP (2006), orang yang harus mengembangkan kebiasaan
rawat diri kusta adalah orang yang menderita kerusakan saraf dan orang yang
berisiko mengalami reaksi (selama pengobatan dan selama sekurangnya 2
tahun setelah pengobatan). Penderita kusta akan selalu memiliki risiko
kerusakan jaringan dan perubahan bentuk. Apabila memiliki kebiasaan rawat
diri yang baik, orang yang menderita kusta dapat melindungi dirinya dari
kerusakan lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian, perawatan diri pada penderita yang telah
menyelesaikan pengobatan merupakan faktor yang paling penting untuk
ditingkatkan dan menjadi suatu kebutuhan bagi penderita agar dapat
mengendalikan tingkat cacat selama hidupnya. Guna mewujudkan hal
tersebut, penderita tidak mungkin dapat menggantungkan pencegahan cacat
selama hidupnya kepada petugas kusta atau tenaga medis lainnya. Perlu
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
110
Universitas Indonesia
dilakukan suatu inovasi yang efektif biaya untuk mendorong perilaku
perawatan diri pada penderita yang telah selesai pengobatan agar dapat
mengendalikan tingkat cacat secara mandiri.
Selain meningkatkan perawatan diri melalui metode pengamatan semi
aktif dan melalui Kelompok Perawatan Diri (KPD), perawatan diri di rumah
(home care) merupakan salah satu cara yang relatif murah. Namun untuk
meningkat efektivitasnya cara ini perlu dimodifikasi karena seringkali
penderita kurang termotivasi untuk melakukan perawatan diri di rumah.
Modifikasi perawatan diri dapat dilakukan dengan pemberdayaan dalam
bentuk Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat (UPBM). Upaya Perawatan
Berbasis Masyarakat (UPBM) menekankan pada pemberian informasi,
pemberian kapasitas terhadap individu, dan kemandirian individu. Adapun
Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat meliputi :
a. Informasi Risiko Kecacatan
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan kecacatan, tanda-
tanda dini reaksi/neuritis atau luka yang dapat menyebabkan kecacatan,
dan bentuk kecatatan yang dapat dialami. Selain memberikan informasi
secara lisan, hendaknya terdapat poster yang dilengkapi dengan gambar
dan keterangan singkat yang mudah diingat oleh penderita. Dengan
demikian, penderita lebih waspada terhadap ancaman kecacatan.
b. Informasi Cara Perawatan Diri dan Pemberian Paket Perlengkapan
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai cara-cara perawatan diri yang sesuai dengan kecacatan
yang diderita atau sesuai dengan risiko kecacatan pada anggota tubuhnya.
Informasi diperkuat dengan memberikan contoh secara langsung,
memberikan paket lengkap alat dan perlengkapan perawatan diri untuk di
rumah, dan lembar balik tentang cara perawatan diri dan perlindungan diri.
Dengan demikian, penderita dapat melakukan perawatan diri secara
mandiri di rumah.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
111
Universitas Indonesia
c. Pembentukan Pengawas Cegah Cacat (PCC)
Membentuk Pengawas Cegah Cacat (PCC) dari pihak keluarga atau orang
terdekat dengan penderita yang bertugas membantu penderita untuk
mengenali faktor-faktor yang dapat menimbulkan kecacatan, tanda-tanda
dini reaksi/neuritis atau luka yang dapat menyebabkan kecacatan, dan
bentuk kecatatan yang dapat dialami penderita serta cara-cara perawatan
diri yang dapat dilakukan oleh penderita untuk mencegah hilangnya fungsi
anggota tubuh atau mengembalikan sebanyak mungkin fungsi anggota
tubuh. Sebaiknya Pengawas Cegah Cacat (PCC) ikut ke pelayanan
kesehatan saat penderita akan dinyatakan selesai pengobatan (RFT) dan
mendapatkan informasi langsung dari petugas kusta puskesmas. Pengawas
Cegah Cacat (PCC) tidak hanya berfungsi mengingatkan namun juga
memberikan motivasi bagi penderita.
d. Informasi Kontak Pertolongan Pencegahan Cacat
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai siapa yang harus dihubungi dan kemana mereka harus
datang apabila terdapat masalah terkait kecacatan yang tidak dapat mereka
tangani sendiri. Perlu adanya klinik-klinik khusus untuk perawatan luka
ataupun kecacatan yang menjadi bidang dari bagian keperawatan. Klinik
tidak hanya dapat menangani perawatan pada penderita kusta namun juga
dapat diintegrasikan untuk penanganan kasus kecelakaan umum,
kecelakaan akibat kerja, perawatan luka pada penderita diabetes, dan kasus
lain yang memerlukan perawatan secara intensif. Klinik sejenis ini telah
ada di wilayah pulau bali.
e. Pemantauan Terintegrasi
Petugas dapat juga memantau kondisi penderita yang telah selesai
pengobatan secara umum pada saat melakukan survei kontak untuk
mencari kasus baru. Integrasi kegiatan pemantauan dengan kegiatan
pencarian kasus baru dapat meminimalkan biaya pemantauan terhadap
penderita yang telah selesai pengobatan yang dapat digunakan untuk
kepentingan program.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
112
Universitas Indonesia
6.5 Biaya
Berdasarkan gambaran biaya yang dikeluarkan oleh kedua metode
pada tabel 5.16 pada Bab 5, biaya yang dikeluarkan oleh metode pengamatan
semi aktif relatif lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh
metode pengamatan pasif. Komponen biaya yang paling besar adalah biaya
pemakaian obat (Rp 87.372.305,00) pada pengamatan semi aktif. Besarnya
biaya diakibatkan karena penderita pada pengamatan semi aktif lebih aktif
datang ke puskesmas untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat.
Apabila obat yang harus diminum telah habis, penderita akan kembali ke
puskesmas untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat jika masih
dibutuhkan.
Biaya yang paling besar setelah biaya pemakaian obat adalah biaya
monitoring dan evaluasi kegiatan dinas kesehatan provinsi pada pengamatan
semi aktif (Rp 83.223.750,00). Hal ini disebabkan karena pengamatan semi
aktif masih merupakan suatu uji coba sehingga kegiatannya masih dipantau
oleh dinas kesehatan provinsi.
Besarnya biaya pada kedua komponen tersebut mempengaruhi
besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengendalian kecacatan pada
penderita kusta yang telah selesai pengobatan. Perlu dilakukan analisis
sensitivitas untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya apabila kedua
biaya tersebut dapat ditekan atau dihilangkan. Biaya obat pada pengamatan
semi aktif dapat diturunkan dengan memberikan jumlah obat dan jenis obat
sesuai kebutuhan penderita. Sedangkan biaya monitoring dan evaluasi
kegiatan dinas kesehatan provinsi pada pengamatan semi aktif dapat
dihilangkan apabila metode pengamatan semi aktif bukan merupakan suatu
uji coba sehingga hanya dinas kesehatan kabupaten yang bertanggung jawab
atas monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan metode ini. Namun,
walaupun pada penelitian ini tidak dilakukan analisis sensitivitas dan jumlah
biaya seperti yang dipaparkan pada tabel 5.16, metode pengamatan semi aktif
masih dinyatakan memiliki efektivitas biaya tinggi yang dibahas lebih lanjut
pada sub bab 5.7.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
113
Universitas Indonesia
6.6 Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat
Tingginya efektivitas biaya pada metode pengamatan semi aktif
terhadap pengamatan pasif menunjukkan bahwa efektivitas pada metode
pengamatan semi aktif sepadan dengan biaya yang dikeluarkan peda metode
tersebut dibandingkan dengan pengamatan pasif. Pengamatan semi aktif
meningkatkan pengetahuan, mendorong timbulnya perilaku perawatan diri,
dan meningkatkan pencegahan cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan. Penderita lebih aktif datang ke puskesmas dan aktif melakukan
perawatan diri.
Keaktifan penderita pada pengamatan semi aktif menyebabkan
tingginya biaya operasional (Rp 117.897.262,86) hingga mencapai 58 kali
lipat dibandingkan biaya operasional pada pengamatan pasif. Selain itu,
keaktifan penderita datang ke puskesmas menyebabkan biaya transpor yang
dikeluarkan penderita pada pengamatan semi aktif secara kumulatif (Rp
1.635.000,00) tiga kali lebih besar dibandingkan biaya transpor penderita
pada pengamatan pasif (Rp 500.000,00). Keaktifan penderita dalam merawat
tubuhnya menyebabkan biaya untuk membeli alat dan bahan perawatan dan
perlindungan diri (Rp 945.000,00) hampir tiga kali lebih besar dibandingkan
biaya transpor penderita pada pengamatan pasif (Rp 367.000,00). Namun
besarnya biaya tersebut tidak menyebabkan metode pengamatan semi aktif
menjadi tidak efektif biaya. Rasio efektivitas biaya yang dihasilkan
(Rp 16.527.926) kurang dari 1 kali GDP per capita (US$ 3,495)sehingga
metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan metode
pengamatan pasif untuk mengendalikan tingkat cacat pada seorang penderita
yang telah selesai pengobatan di kabupaten Pasuruan.
6.7 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data primer dan sekunder.
Pada pengambilan data primer terdapat keterbatasan dalam merekam data
biaya yang dikeluarkan oleh penderita. Peneliti mengandalkan ingatan
penderita terhadap aktivitas penderita terkait pengendalian tingkat cacat
dalam 2-3 tahun sebelum pengambilan data sehingga ada kemungkinan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
114
Universitas Indonesia
kesalahan nominal biaya atau biaya yang dicatat tidak lengkap. Selain itu,
biaya pembangunan gedung pada penelitian ini tidak diketahui nilai pada saat
gedung tersebut dibangun karena keterbatasan dokumen pendukung sehingga
nilai yang diambil adalah nilai saat ini tanpa penyusutan.
Sampel pada penelitian tidak sesuai dengan yang diperkirakan
sebelumnya karena pada saat pengambilan data, ditemukan adanya responden
yang pindah tempat tinggal dan sudah meninggal.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
115 Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Metode pengamatan semi aktif adalah intervensi yang efektif biaya tinggi
dibandingkan pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat pada
penderita kusta yang telah selesai pengobatan dengan rasio efektivitas
biaya kurang dari satu kali GDP per capita yaitu sebesar Rp. 16.527.926.
2. Faktor yang berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat penderita
yang telah selesai pengobatan adalah metode pengamatan, pencegahan
cacat, dan perawatan diri.
3. Faktor yang paling mempengaruhi pengendalian tingkat cacat pada
penderita yang telah selesai pengobatan adalah perawatan diri. Penderita
yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali untuk tidak
dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita yang
melakukan perawatan diri.
4. Metode pengamatan berhubungan dengan pengetahuan, pencegahan cacat,
dan perawatan diri.
7.2 Saran
7.2.1 Program
1. Metode pengamatan semi aktif direkomendasikan sebagai metode untuk
mengendalikan tingkat cacat penderita yang telah selesai pengobatan
karena terbukti sebagai intervensi dengan efektif biaya tinggi
dibandingkan dengan metode pengamatan pasif.
2. Program harus melakukan analisis dampak anggaran (Budget Impact
Analysis) apabila metode pengamatan semi aktif akan diterapkan di
seluruh Indonesia.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
116
Universitas Indonesia
3. Perlu dilakukan suatu inovasi yang efektif biaya untuk mendorong
perilaku perawatan diri pada penderita yang telah selesai pengobatan agar
dapat mengendalikan tingkat cacat yaitu Upaya Perawatan Berbasis
Masyarakat (UPBM). Upaya ini meliputi pemberian informasi risiko
kecacatan dengan alat bantu poster, pemberian informasi cara perawatan
diri dengan alat bantu lembar balik, pemberian paket perlengkapan untuk
perawatan diri, pembentukan Pengawas Cegah Cacat (PCC) dari pihak
keluarga atau orang terdekat, pemberian informasi kontak klinik khusus
perawatan yang dapat memberikan pertolongan pencegahan cacat saat
penderita tidak mampu menangani, dan pemantauan terintegrasi.
7.2.2 Penelitian Selanjutnya
1. Penelitian selanjutnya diharapkan juga meneliti tentang faktor jenis
kelamin, pekerjaan, serta motivasi keluarga sebagai faktor yang
berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta
yang telah selesai pengobatan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengendalian tingkat
cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan dengan desain kohort
dengan Randomized Clinical Trial (RCT) agar dapat mengontrol faktor-
faktor yang berhubungan dengan kecacatan dan lebih mudah merekam
biaya yang dikeluarkan oleh program dan terutama oleh penderita untuk
menghindari recall bias.
3. Melakukan analisis sensitivitas terhadap biaya yang tidak berhubungan
secara langsung atau yang dapat dihemat dalam penerapan metode
pengamatan semi aktif.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
117
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin. (1987). Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta : Pusat
Penelitian Kependudukan UGM.
Amirudin, MD, Hakim, Zainal, dan Darwis, Emil. (2003). Diagnosis Penyakit Kusta.
Dalam E.S.S. Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 12-32,). Jakarta : FKUI.
Arianto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi
VI. Dalam Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi. KTI Tingkat Pengetahuan
Remaja Putri dalam Menggunakan Cairan Pembersih Genetalia di SMA Negeri 1
Glenmore Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi. 12 Desember 2011. http://bejocommunity.blogspot.com/2010/05/kti-tingkat-pengetahuan-remaja-putri.html
BPS Provinsi Jawa Timur. (2012). Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2012. 5 Mei
2012. http://jatim.bps.go.id/e-pub/2012/statda2012/index.html
Brent, Robert J. (2003). Cost-Benefit Analysis and Health Care Evaluations.
Massachusetts : Edward Elgar Publishing Limited.
Chin, James. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : CV.
Infomedika.
Coons, Stephen Joel, dan Kaplan, Robert M. (2005). Cost-Utility Analysis. Dalam J.L
Bootman, R.J. Townsend, dan W.F. McGhan (Ed). Principles of
Pharmacoeconomics (3rd ed, pp. 117-148). Cincinnati : Harvey Whitney Books
Company.
Courtright, P. (2002, September). Eye disease in multibacillary leprosy patients at the
time of their leprosy diagnosis: findings from the Longitudinal Study of Ocular
Leprosy (LOSOL) in India, the Philippines and Ethiopia. Leprosy Review, 73 (3),
225-238.
Depdikbud RI. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Depkes RI. (1984). Petunjuk Kusta untuk Petugas Balai Pengobatan Umum dan Pusat
Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (1993). Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2005). Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
118
Depkes RI. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Pasuruan. (2011, Mei) Pilot Project Semi Active Surveilance (SAS)
Kabupaten Pasuruan. 16 November 2011.
http://dinkes.pasuruankab.go.id/media.php?module=detailberita&id=45
Drummond, F.M., et al. (2005). Methods for the Economic Evaluation of Health Care
Programmes (3rd Edition). New York : Oxford University Press.
Garber, A.M, et al. (1996). Theoretical Foundations of Cost-Effectiveness Analysis.
Dalam Marthe R. Gold, et al (Ed). Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp.
25-50). New York : Oxford University Press.
Gebre, Alemu, dan Saunderson, Paul. (2001). Comparative Value of Active and Passive
Surveillance Over Time in Treated Leprosy Patients, in The prevention of Further
Disability. Leprosy Review, 72, 221-223. 12 Desember 2011.
http://www.leprahealthinaction.org/ir/june01/lep221_223.pdf.
Gold, M.R., et al. (1996). Indentifying and Valuing Outcomes. Dalam Marthe R. Gold,
et al (Ed). Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp. 82-134). New York :
Oxford University Press.
Guoceng, Zhang, et al. (1993, June). An Epidemiological Survey of Deformities and
Disabilities among 14.257 Cases of Leprosy in 11 Countries. Leprosy Review, 64
(2), 143-149.
Hasibuan, Yamin. (2002, December). Problems Related to Physical Rehabilitation
Amongst PALS After Release From Treatment. International Journal of Leprosy ,
70 (4), 316A-317A.
ILEP.(2006). How to Prevent Disabilities in Leprosy. London : ILEP.
Jacobson, R.R. (1994). Treatment of Leprosy. Dalam Hastings, Robert C. Lerosy (2nd
ed, pp. 317-352). London : Churchil Livingstone.
Lockwood, Diana N.J. (2002, June). Chemotherapy. Leprosy Review, 73 (Supplement),
S27-S34.
Manjunath, R., et al. (2001, March). Modified Active Surveillance System(MASS); a
Novel Clinicopathological Evaluation of PB Leprosy Patients after RFT, in
Mangalore, India. Leprosy Review, 72 (1), 50-56.
Martodihardjo, Sunarko dan Susanto, R.S.D. (2003). Reaksi Kusta dan Penanganannya.
Dalam E.S.S.Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi kedua, hal.75-82). Jakarta : FKUI.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
119
McDougall, A.C. (1997, December). Recent Developments in The Chemotherapy of
Leprosy. Leprosy Review, 68 (4), 294-298.
McGuire, Alistair. (2001). Theoretical Concepts in The Economic Evaluation of Health
Care. Dalam M.F. Drummond dan A. McGuire (Ed). Economic Evaluation in
Health Care : Merging Theory with practice (pp. 1-21). New York : Oxford
University Press.
Ministry of Health Ethiopia. (1997, August). National Tuberculosis and Leprosy
Control Programme (First Edition). Ethiopia : Ministry of Health Ethiopia.
Moshioni, Cristiane, et.al. (2010, Jan/Feb). Risk factors for physical disability at
diagnosis of 19,283 new cases of leprosy. Revista da Sociedade Brasileira de
Medicina Tropical 43 (1). 27 November 2011.
http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0037-
86822010000100005&script=sci_arttext
Muennig, Peter. (2002). Designing and Conducting Cost-Effectiveness Analysis in
Medicine and Health Care. San Fransisco : Jossey-Bass a Willey Company.
Pfaltzgraff, R.E. dan Ramu, Gopal. (1994). Clinical Leprosy. Dalam Robert C. Hastings
(Ed). Lerosy (2nd ed, pp. 237-290). London : Churchil Livingstone.
Pratiknya, A.W. (1996). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta: Rajawali.
Pusat Pelatihan Kusta Nasional. (2010). Modul 5 : Pencatatan dan Pelaporan.
Makassar: Pusat Pelatihan Kusta Nasional.
Rodrigues, Laura C., dan Lockwood, Diana N. (2011, June). Leprosy Now :
Epidemiology, Progress, Challenges, and Research Gaps. The Lancet, 11, 464-470.
27 November 2011. http://www.thelancet.com/infection.
Russel, L.B., et al. (1996). Cost-Effectiveness Analysis as a Guide to Resource
Allocation in Health : Roles and Limitations. Dalam Marthe R. Gold, et al (Ed).
Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp. 3-24). New York : Oxford
University Press.
Smith, W.C.S. (1992, September). The Epidemiology of Disability in Leprosy Including
Risk Factors. Leprosy Review, 63 (Supplement 1), 23s-30s.
Soebono, Hardyanto dan Suhariyanto, Bambang. (2003). Pengobatan Penyakit Kusta
Dalam E.S.S. Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 66-74,). Jakarta : FKUI.
Srinivasan, H. (1995, September). Deformities and Disabilities : Unfinished Agenda in
Leprosy Work. Leprosy Review, 66 (3), 193-200.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
120
Srinivasan, H. (1994). Disability, deformity, rehabilitation. Dalam Robert C. Hastings
(Ed). Lerosy (2nd ed, pp. 411-448). London : Churchil Livingstone.
Sukirno, S. (1988). Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. Dalam Rifmi Utami,
dkk. Analisis Efektivitas Upaya Penderita Kusta Baru Secara Aktif dan Pasif
Menggunakan Metode Cost Effectiveness Analysis. Surabaya : Yayasan Sumber
Daya Manusia Bidang Kesehatan.
Susanto, Nugroho. (2006). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecacatan
Penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo). 27 November 2011. Universitas
Gajah Mada. http://nugrohosusantoborneo.files.wordpress.com/2010/02/150-nugroho-susanto-04-naspub.pdf.
Universitas Diponegoro. (2002). Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kecacatan Penderita Kusta di Kabupaten Tegal. 4 Desember 2011.
http://eprints.undip.ac.id/14286/1/2002MIKM1809.pdf
Universitas Diponegoro. (2006). Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Tingkat
Kecacatan Kusta di Kabupaten Brebes Tahun 2005. 27 November 2011.
http://eprints.undip.ac.id/4257/1/2873.pdf
Universitas Diponegoro. (2008). Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Brebes).
27 November 2011. http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf
Universitas Negeri Semarang. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Cacat Tingkat 2 (Studi Di Kampung Rehabilitasi Rumah Sakit Kusta Donorojo Jepara
tahun 2008). 27 November 2011. http://lib.unnes.ac.id/5561/1/4413A.pdf
Universitas Sumatera Utara. (2008). Pencegahan Kecacatan pada Tangan Penderita
Kusta. 29 Oktober 2011.
http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/3430/3/08E00072.pdf.txt
WHO. (2005). Cost-Effectiveness Thresholds. 4 Januari 2013.
http://www.who.int/choice/costs/CER_thresholds/en/index.html
WHO. (2009). Enhanced Global Strategy for Futher Reducing the Disease Burden Due
to Leprosy. New Delhi : WHO
WHO (2011, 2 September). Weekly Epidemiological Record. 25 November 2011.
www.who.int/wer/2011/wer8636.pdf
Wisnu, I.M. dan Gudadi, (1997). Pencegahan Cacat Kusta. Dalam Adi Djuanda, dkk
(Ed). Kusta, Diagnosis, dan Penatalaksanaan. Jakarta : FKUI.
Wisnu, I.M. dan Hadilukito, Gudadi. (2003). Pencegahan Cacat Kusta. Dalam E.S.S.
Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 83-93,). Jakarta : FKUI.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
121
Wonderling, David, Gruen, Reinhold, dan Black, Nick. (2005). Introduction to Health
Economics. England : Open University Press.
World Bank. (2011). GDP Per Capita (Current US$). 4 Januari 2013.
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
122
Lampiran 1 : Kartu Penderita Kusta
KARTU PENDERITA
PROPINSI : …………………………… KLASIFIKASI KABUPATEN/KOTA : ……………….. MB KECAMATAN : ………………………. PB PUSKESMAS : …………………………. MDT MULAI TGL. : ………………………… TERDAFTAR TGL : ………………………… DINYATAKAN RFT TGL. : ………………… NOMOR TERDAFTAR : …………………… MENINGGAL TGL. : ………………………. DEFAULT TGL. : …………………….. DIPINDAHKAN TGL. : ……………………
KETERANGAN TENTANG SI SAKIT
NAMA : …………………………………….. ALAMAT : ………………………. (RT. …./RW….. )
JENIS KELAMIN : L / P DESA : …………………………… …. …… UMUR : ……………………………………. KECAMATAN : …………………………….. TEMPAT LAHIR : ………………………… KABUPATEN/KOTA : …………………….. SUKU : ……………………………………. Pekerjaan : ………………………………….
CARA PENEMUAN
PEMBERITAHUAN SUKARELA KAMBUH SURVAI KONTAK PINDAH DARI SURVAI ANAK SEKOLAH LAIN-LAIN CHASE SURVAI SURVAI LAIN
RIWAYAT PENYAKIT
PERNAH BERGAUL DENGAN PENDERITA : YA / TIDAK *) SUDAH PERNAH BEROBAT SEBELUMNYA : YA / TIDAK *) BILA YA BERI KETERANGAN : ………………………………………………. …………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
123
KEADAAN SEKARANG (TGL 7/1/99 PEMERIKSAAN KULIT DAN URAT SYARAF
LUKISLAH KELAINAN-KELAINAN PADA GAMBAR TUBUH DENGAN TANDA GAMBAR DI BAWAH INI
Di kerjakan oleh : ………………………………………………………
SIMBOL (TANDA GAMBAR) KELAINAN PADA KUSTA 1. Hipopigmentasi
10. x Hidung plana
2. Hipo/Anestesi (mati rasa) 11. c Kontraktur lemas 3. Tanda 1 + 2 dengan batas tidak tegas 12. s Kontraktur kaku 4. Tanda 1 + 2 dengan batas tegas 13. Mutilasi (hilang sebagian)
5. Infiltrat 14. Ulkus
6. Plaque (penebalan kulit yang lebar 15. Drop (lunglai) 7. Nodulus 16. . . Ginekomasti 8. Penebalan syaraf 17. E Eritema
9. Madarosis (alis rontok) 18. Lo Lagopthalmos
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
124
KEADAAN CACAT WAKTU
PEMERIKSAAN
TANGGAL TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2)
MATA TANGAN KAKI Nilai Tertinggi
Jumlah Nilai
ka ki ka ki Ka ki
Pertama
RFT
PENGOBATAN MDT
PEMBERIAN OBAT TIAP BULAN
BULAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 TH………….
TANGGAL
TH. ………..
TH. …………….
PEMERIKSAAN KONTAK SERUMAH
No
Nama Kontak
U m u r
L Pemeriksaan 2000 200… 200… 200… 200…
Keterangan P Tgl Hasil Tgl Hasil Tgl Hasil Tgl Hasil Tgl Hasil
Penjelasan Tulislah pada kolom hasil bila : - Ternyata kusta dengan : PB atau MB. - Suspek kusta dengan : S. - Bukan kusta dengan : -
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
125
KONFIRMASI DIAGNOSIS OLEH : Kepala Puskesmas/Wasor :
Tanggal/Bulan/Tahun :…………………….. Tanda Tangan :
Catatan : TGL. ……………. Tahun …………. TGL. ……………. Tahun …………. TGL. ……………. Tahun …………. TGL. ……………. Tahun …………. TGL. ……………. Tahun …………. TGL. ……………. Tahun ………….
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
126
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
127
Lampiran 3 : Form Evaluasi Pengobatan Reaksi Berat
FORM EVALUASI PENGOBATAN REAKSI BERAT
Petunjuk cara mengisi
Kolom 2 : berapa mm celah Kolom 2 – 13 : hanya diisi kelainan yang ada Kolom 3,9 10 : (++) bila nyeri spontan atau Kolom 4,5,6,11 : diisi K ( kuat ), S ( sedang ) bila diraba sangat nyeri L ( lumpuh ) (+) bila digulirkan nyeri Kolom 14 : diisi jenis obat, dosis & lama(hari) pemberian Kolom 7,8,12,13 : beri tanda X pada titik yang mati rasa Kolom 15 : diisi kelainan organ kulit yang ada
Tanggal
Mata Lagoph thal mos
Tangan Kaki Dosis Obat dan lama nya
Ket
Nyeri
saraf
ulnar
Kekuatan Otot
Gangguan Rasa Raba (titik)
Nyeri saraf Ke
Kua
tan
otot Gangguan Rasa
Raba (titik)
Jari 5
Ibu jari
pergel
P e r o n e u s
T i b i a l i s Pos
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Kanan Kiri Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Kanan Kiri
Kesimpulan pemeriksaan: 1. Adakah bercak yang pecah / nodul yang pecah ? 2. Adakah nyeri tekan pada saraf ? 3. Apakah kekuatan otot atau rasa raba
berkurang dalam waktu < dari 6 bulan terakhir?
4. Apakah ada lagophthalmos yang baru terjadi dalam waktu < dari 6 bulan terakhir ?
5. Apakah ada bercak aktif di dekat saraf tepi ?
Ya / tidak Ya / tidak Ya / tidak
Ya / tidak
Ya / tidak
Pemberian prednison : ( dosis tunggal)
- 40 mg selama 2 Minggu - 30 mg selama 2 Minggu - 20 mg selama 2 Minggu - 15 mg selama 2 Minggu - 10 mg selama 2 Minggu - 5 mg selama 2 Minggu
Perawatan diri baru diberikan bila keadaan
penderita sudah membaik
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
128
Tanggal
Mata Lagoph thal mos
Tangan
Kaki Dosis Obat dan lama nya
Ket
Nyeri
saraf
ulnar
Kekuatan Otot
Gangguan Rasa Raba (titik)
Nyeri saraf Ke
Kua
tan
otot
Gangguan Rasa Raba (titik)
Jari 5
Ibu jar
pergel
Peroneus
Tib. Pos
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Kanan Kiri Ka Ki
Ka Ki
Ka Ki
Kanan Kiri
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
129
Lampiran 4 : Kuesioner Puskesmas
Kuesioner Puskesmas
No : Tanggal : …../….../………
Pengisi Kuesioner :
I. Identitas Puskesmas
1. Puskesmas :
2. Alamat :
3. No Telp :
4. Lama berdiri : ……tahun……bulan (sejak …../……..)
5. Luas bangunan puskesmas : m2
6. Sumber air yang digunakan :
a. PAM c. Mata Air b. Sumur tanah d. Lainnya, sebutkan …………
II. Ruang Pemeriksaan Penderita Kusta di Puskesmas
7. Saat penderita yang telah RFT datang ke puskesmas, di ruang manakah
penderita menemui petugas kusta?
a. Di ruang khusus pemeriksaan petugas kusta
b. Di tempat pemeriksaan yang menjadi satu dengan balai pengobatan
c. Lainnya, sebutkan ……
8. Berapa luas ruangan tersebut ? m2
9. Apakah di ruangan tersebut terdapat :
No Jenis Barang Pilihan Ukuran Jumlah Lama Penggunaan
1) Meja a.Ya b. Tidak ..…..x.…...x…... ….. buah ……. tahun
2) Kursi a.Ya b. Tidak …….x…....x…... ….. buah ……. tahun
3) Lemari a.Ya b. Tidak …….x…....x…... ….. buah ……. tahun
4) Kipas Angin a.Ya b. Tidak Besar/sedang/kecil ….. buah ……. tahun
5) Tempat Tidur a.Ya b. Tidak ...….x.…...x.….. ….. buah ……. tahun
6) Gunting a.Ya b. Tidak Besar/sedang/kecil ….. buah ……. tahun
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
130
10. Apakah saat penderita kusta yang telah RFT menemui petugas kusta,
menggunakan barang habis pakai /jasa :
III. Pembiayaan Puskesmas
11. Jumlah biaya untuk penggunaan listrik selama 1 bulan : Rp ...............
(Rata-rata tagihan bulanan listrik dalam 3 bulan terakhir)
12. Apakah dalam 3 tahun terakhir puskesmas mendapatkan dana operasional
khusus untuk penanganan penderita yang telah RFT dari :
No Instansi Pilihan Jumlah Dana Waktu
Penerimaan
1) Dinas Kesehatan a. Ya b.Tidak Rp ……………
2) BOK Puskesmas a. Ya b.Tidak Rp ……………
3) Lainnya, sebutkan ………. a. Ya b.Tidak Rp ……………
4) Lainnya, sebutkan……….. a. Ya b.Tidak Rp ……………
5) Lainnya, sebutkan ……….. a. Ya b.Tidak Rp ……………
No Nama Barang Pilihan Keterangan Biaya per bulan
1) Kertas/buku a.Ya b. Tidak Administrasi Rp …………..
2) Bolpoin/Alat tulis lain
a.Ya b. Tidak Administrasi Rp …………..
3) Fotokopi/print a.Ya b. Tidak Administrasi Rp …………..
4) Perban/plester a.Ya b. Tidak Tindakan Rp …………..
5) Kapas a.Ya b. Tidak Pemeriksaan Rp …………..
6) Minyak goreng
a.Ya b. Tidak Demo perawatan diri
Rp …………..
7) Batu Apung a.Ya b. Tidak Demo perawatan diri
Rp …………..
8) Ember/Bak a.Ya b. Tidak Demo perawatan diri
Rp …………..
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
131
13. Apakah dalam 3 tahun terakhir terdapat dana operasional yang diterima
puskesmas yang dialokasikan untuk :
No Instansi Pilihan Jumlah Dana Sumber Dana
1) Transpor mengunjungi rumah penderita yang telah RFT
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
2) Transpor mengunjungi KPD dalam pelayanan kepada penderita yang telah RFT
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
3) Biaya menghubungi penderita yang telah RFT yang belum datang ke puskesmas
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
4) Biaya pembelian vitamin/obat untuk penderita
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
5) Biaya pembelian alat perawatan diri dan alat bantu untuk penderita
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
6) Membantu meningkatkan ekonomi penderita
a. Ya b.Tidak
Rp ……………
7) Lainnya, sebutkan ……….. a. Ya b.Tidak Rp ……………
8) Lainnya, sebutkan ……….. a. Ya b.Tidak Rp ……………
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
132
Lampiran 5 : Kuesioner Petugas Puskesmas
Kuesioner Petugas Kusta Puskesmas
No : Tanggal : …../….../………
I. Identitas Tenaga Kesehatan
1. Nama : .....................................................................................................................
2. No Telp/ HP : ......................................................................................................................
3. Umur : ......................................................................................................................
4. Jabatan : ......................................................................................................................
(Jika petugas mengelola program kesehatan lebih dari 1, mohon ditulis dengan lengkap)
5. Puskesmas : ......................................................................................................................
6. Lama bekerja di Puskesmas : …… tahun …… bulan (sejak bulan…… tahun …….. )
II. Pembiayaan Tenaga Kesehatan
7. Sebagai seorang tenaga kesehatan di puskesmas, Saudara memiliki :
1) Jumlah gaji : Rp ……………. per bulan
2) Jumlah hari kerja : ……. hari per minggu
3) Jumlah jam kerja : Senin – kamis = …… jam per hari
: Jumat = …… jam per hari
: Sabtu = …… jam per hari
4) Jumlah pasien umum yang ditangani sendiri : ……..... orang
per bulan
5) Jumlah penderita Kusta yang ditangani sendiri : ……..... orang
per bulan
6) Jumlah penderita kusta telah RFT yang ditangani sendiri : ……..... orang
per bulan
7) Waktu rata-rata untuk melayani 1 orang penderita kusta
yang telah RFT : ………. jam / menit
8) Waktu untuk melayani penderita kusta yang RFT di luar
jam kerja puskesmas : ………. jam
per bulan
9) Insentif yang diberikan untuk petugas dalam melayani
penderita kusta yang telah RFT : Rp …………. per bulan
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
133
8. Selain Saudara, tenaga kesehatan di wilayah kerja puskesmas yang rutin
membantu Saudara menangani penderita kusta yang telah RFT :
No Jenis Tenaga
Kesehatan
Pilihan
Jumlah
Jumlah Jam Kerja dalam
1 Minggu
Jumlah Jam pelayanan penderita
kusta yang RFT dalam 1 Minggu
1) Petugas Puskesmas
a. Ya b. Tidak …… orang …. jam …. jam
2) Bidan Desa a. Ya b. Tidak …… orang …. jam …. jam
3) Kader a. Ya b. Tidak …… orang …. jam …. jam
4) Lainnya, ………
a. Ya b. Tidak …… orang …. jam …. jam
9. Apakah Saudara pernah menghubungi penderita kusta yang telah RFT untuk
mengingatkan agar datang ke puskesmas?
a. Ya b. Tidak
(Jika Jawaban “Tidak”, langsung ke pertanyaan no.11)
10. Bagaimana cara Saudara menghubungi penderita kusta yang telah RFT ?
No Cara menghubungi Pilihan Biaya 1) Titip pesan kepada sanak
saudara atau tetangga penderita b. Ya b. Tidak Rp ………... per
bulan
2) Menghubungi via sms b. Ya b. Tidak Rp ………... per
bulan
3) Menghubungi via telp b. Ya b. Tidak Rp ………... per
bulan
4) Lainnya, Sebutkan …………. b. Ya b. Tidak Rp ………... per
bulan
11. Apakah Saudara pernah mengeluarkan dana pribadi untuk kegiatan pelayanan
penderita kusta yang telah RFT?
a. Ya b. Tidak
(Jika Jawaban “Tidak”, langsung ke pertanyaan no.13 )
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
134
12. Dana pribadi tersebut apakah Saudara untuk kegiatan/kebutuhan apa saja ?
No Cara menghubungi Pilihan Biaya 1) Transpor mengunjungi penderita
yang telah RFT ke rumah a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
2) Transpor mengunjungi penderita yang telah RFT ke KPD
a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
3) Membeli vitamin/obat untuk penderita
a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
4) Membeli alat perawatan diri dan alat bantu untuk penderita
a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
5) Memberi bantuan ekonomi pada penderita
a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
6) Lainnya, Sebutkan …………. a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
7) Lainnya, Sebutkan …………. a. Ya b. Tidak Rp ………… per bulan
III. Proses Penderita setelah RFT yang berkunjung
13. Saat penderita kusta yang telah RFT datang berkunjung ke puskesmas, apakah
penderita :
No Kegiatan Pilihan Waktu berlangsung
Ruangan / Tempat
Petugas yang bertugas
1) Melakukan pendaftaran a. Ya b. Tidak ……. menit
2) Melakukan pembayaran biaya administrasi awal
a. Ya b. Tidak ……. menit
3) Melakukan pengambilan Family folder (kartu riwayat kesehatan keluarga)
a. Ya b. Tidak ……. menit
4) Melakukan pengambilan kartu penderita khusus kusta
a. Ya b. Tidak ……. menit
5) Dilakukan anamnesa a. Ya b. Tidak ……. menit
6) Mendapat pemeriksaan cardinal sign kusta
a. Ya b. Tidak ……. menit
7) Medapat pemeriksaan kecacatan, hasil perawatan diri, dan pengisian form POD
a. Ya b. Tidak ……. menit
8) Mendapat penjelasan tanda-tanda reaksi
a. Ya b. Tidak ……. menit
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
135
9) Mendapat penjelasan pentingnya perawatan diri
a. Ya b. Tidak ……. menit
10) Mendapat demo perawatan diri
a. Ya b. Tidak ……. menit
11) Mendapat tindakan perawatan luka akibat kusta bagi penderita yang memerlukan
a. Ya b. Tidak ……. menit
12) Melakukan pembayaran biaya tindakan
a. Ya b. Tidak ……. menit
13) Mendapat alat perawatan diri yang sesuai dengan kebutuhan penderita
a. Ya b. Tidak ……. menit
14) Mendapat penanganan reaksi/ neuritis akibat kusta dan mendapat resep obat
a. Ya b. Tidak ……. menit
15) Mendapatkan obat lamprene /vitamin/prednisone jika dibutuhkan
a. Ya b. Tidak ……. menit
16) Melakukan pembayaran biaya obat/vitamin
a. Ya b. Tidak ……. menit
17) Mendapat bantuan konseling psikologis
a. Ya b. Tidak ……. menit
18) Mendapat motivasi untuk datang ke KPD
a. Ya b. Tidak ……. menit
IV. Proses petugas berkunjung ke rumah penderita yang telah RFT
14. Apakah Saudara pernah mengunjungi penderita kusta yang telah RFT di:
No Tempat Pilihan Waktu Kunjungan Kunjungan bersama dengan Mitra Kerja
1) Rumah Penderita
a. Ya
b. Tidak
a. Di dalam jam kerja
b. Di luar jam kerja
a. Ya, sebutkan………….
b. Tidak
2) KPD a. Ya
b. Tidak
a. Di dalam jam kerja
b. Di luar jam kerja
a. Ya, sebutkan………….
b. Tidak
15. Apa saja yang Saudara bawa jika akan mengunjungi penderita kusta yang telah
RFT ?
..................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................
16. Berapa lama Saudara mempersiapkan barang – barang tersebut ? …….. menit
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
136
17. Saat Saudara mengunjungi rumah penderita yang telah RFT :
No Tempat
Kendaraan yang
Digunakan
Biaya Transpor
Rata-rata Waktu Tempuh Puskesmas –
Rumah Penderita
1) Rumah Penderita
Rp ……………
………….menit
2) KPD Rp ……………
………….menit
18. Kegiatan apa saja yang dilakukan petugas kusta pada penderita yang telah RFT :
No Kegiatan Pilihan Waktu berlangsung
1) Melakukan pengambilan Family folder (kartu riwayat kesehatan keluarga)
a. Ya b. Tidak ……. menit
2) Melakukan pengambilan kartu penderita khusus kusta a. Ya b. Tidak ……. menit
3) Dianamnesa a. Ya b. Tidak ……. menit
4) Mendapat pemeriksaan cardinal sign kusta a. Ya b. Tidak ……. menit
5) Medapat pemeriksaan kecacatan, hasil perawatan diri, dan pengisian form POD
a. Ya b. Tidak ……. menit
6) Mendapat penjelasan tanda-tanda reaksi a. Ya b. Tidak ……. menit
7) Mendapat penjelasan pentingnya perawatan diri a. Ya b. Tidak ……. menit
8) Mendapat demo perawatan diri a. Ya b. Tidak ……. menit
9) Mendapat tindakan perawatan luka akibat kusta bagi penderita yang memerlukan
a. Ya b. Tidak ……. menit
10) Melakukan pembayaran biaya tindakan a. Ya b. Tidak ……. menit
11) Mendapat alat perawatan diri yang sesuai dengan kebutuhan penderita
a. Ya b. Tidak ……. menit
12) Mendapat penanganan reaksi/ neuritis akibat kusta
dan mendapat resep obat a. Ya b. Tidak ……. menit
13) Mendapatkan obat lamprene /vitamin/prednisone jika dibutuhkan
a. Ya b. Tidak ……. menit
14) Melakukan pembayaran biaya obat/vitamin a. Ya b. Tidak ……. menit
15) Mendapat bantuan konseling psikologis a. Ya b. Tidak ……. menit
16) Mendapat motivasi untuk datang ke KPD a. Ya b. Tidak ……. menit
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
137
Lampiran 6 : Kuesioner Penderita
Kuesioner Penderita
Pewawancara :............................... Puskesmas : ...............................
Kode Responden :............................... Tanggal : ..............................
I. Identitas dan Karakteristik Responden
1. Nama :................................................... Jenis Kelamin : L / P
2. Umur : …... tahun (lahir .…/..../………) Tipe Kusta : PB/MB
3. Alamat : ................................................. No Telp/HP : .............................
4. Pendidikan :
a. Tidak sekolah d. Tamat atau tidak tamat SMA/sederajat
b. Tamat atau tidak tamatSD/sederajat e. Tamat atau tidak tamat akademi/PT/sederajat
c. Tamat atau tidak tamatSMP/sederajat
5. Jumlah penghasilan anggota keluargadalam 1 tahun :
No Nama
Anggota
Keluarga
(a)
Hubungan
dengan
Responden
(b)
Bekerja
(c)
Penghasilan Tetap Penghasilan Tambahan
Jumlah
(d)
Periode
(e)
Jumlah
(f)
Periode
(g)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
…….......
…….......
…….......
…….......
…….......
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
………...
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a.Ya b. Tidak
a.Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a.Ya b. Tidak
a.Ya b. Tidak
a.Ya b. Tidak
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp …………
Rp ………....
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Per ………..
Catatan :
- Pada kolom (a) ditulis nama anggota keluarga yang berada dalam satu rumah
- Pada kolom (b) diisi dengan pilihan : Istri/Suami, Anak, Orang Tua, Mertua, Kakak, Adik,
Ipar, Keponakan, Lainnya (sebutkan)
- Pada kolom (e) dan (g) diisi dengan pilihan : hari, minggu, bulan, atau tahun
- Kolom (f) untuk mencatat jumlah penghasilan di luar penghasilan tetap seperti :
tunjangan hari raya, insentif/ bonus dari tempat bekerja, hasil menyewakan rumah
/kendaraan/tanah, menerima bantuan atau sumbangan dari kerabat/orang lain
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
138
II. Pengetahuan Responden
6. Menurut Saudara, apakah penderita yang selesai pengobatan seperti Saudara
masih mendapat kemungkinan untuk menjadi cacat?
a. Ya b. Tidak
7. Apa yang menyebabkan penderita kusta dapat menjadi cacat?
............................................................................................................................................
8. Apakah kecacatan akibat kusta dapat dicegah?
a. Ya b. Tidak
9. Cara pencegahan apa saja yang dapat dilakukan agar seorang penderita kusta
tidak menjadi cacat ?
............................................................................................................................................
10. Menurut Saudara,apakahpenderita kusta yang telah selesai pengobatan perlu
menemui petugas kusta puskesmas ?
a. Ya, karena ………………..
b. Tidak
11. Menurut Saudara, apa yang harus dilakukan seorang penderita kusta jika
mengalami gejala reaksi seperti bercak/benjolan kecil pada kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, nyeri dangangguan fungsi pada saraf ?
............................................................................................................................................
III. Tindakan Pencegahan Cacat
12. Setelah selesai pengobatanpada bulan….tahun..., apakah Saudara pernah menemui
petugas kusta untuk memeriksakan diri terkait dengan penyakit kusta di :
No Tempat Pilihan Intensitas
1)
2)
3)
4)
Puskesmas
KPD
Rumah (dikunjungi oleh
petugas)
Lainnya, sebutkan …….
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
…..kali tiap bulan/tahun
…..kali tiap bulan/tahun
…..kali tiap bulan/tahun
…..kali tiap bulan/tahun
Jika jawaban responden pada no 1) - no 4) adalah “Tidak”, langsung ke
pertanyaan no.14
13. Kapan Terakhir kali Saudara menemui petugas kusta tersebut?
Bulan……….. Tahun 20..…
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
139
IV. Reaksi Kusta
14. Sejak Saudara selesai pengobatan MDT hingga saat ini,apakah Saudara pernah
mengalami gejala reaksi seperti bercak/ benjolan kecil pada kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, nyeri pada saraf, gangguan fungsi saraf, dan
demam ?
a. Ya b. Tidak
Jika jawaban responden “Tidak”, langsung ke pertanyaan no.19
15. Berapa kali Saudara mengalami gejala tersebut? …… kali
16. Apa yang Saudara lakukan saat mengalami gejalatersebut ?
Tindakan Pilihan Intensitas Biaya
Transpor
Biaya
Obat/Vitamin
1) Dibiarkan saja
2) Istirahat/mengurangi kerja
3) Mengobatisendiri
4) Memeriksakan diri ke petugas
kusta dipuskesmas/KPD
5) Memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan lainnya
6) Lainnya, sebutkan …….
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
…….kali
…….kali
…….kali
…….kali
…….kali
…….kali
-
-
Rp ……...
Rp ……...
Rp ……...
Rp ……...
-
-
Rp ……...
Rp ……...
Rp ……...
Rp ……...
Jika responden hanyamelakukan tindakan no 1) dan 2), langsung ke pertanyaan no. 19
17. Selain biaya transpor dan biaya obat, apakah terdapat biaya lain yang Saudara
keluarkan?
a. Ya b. Tidak
Jika jawaban responden “Tidak”, langsung ke pertanyaan no. 19
18. Apakah Saudara membayar :
No Jenis Biaya Pilihan Jumlah Biaya
1) Biaya Pendaftaran/Administrasi awal a. Ya b. Tidak Rp …………….
2)
Biaya Tindakan :
-Tindakan ………………
-Tindakan ………………
a. Ya b. Tidak
Rp …………….
Rp …………….
3) Biaya lainnya, sebutkan ……….. a. Ya b. Tidak Rp …………….
4) Biaya lainnya, sebutkan ……….. a. Ya b. Tidak Rp …………….
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
140
V. Perawatan Diri
19. Sejak Saudara selesai pengobatan MDT hingga saat ini, apakah Saudara pernah
mengalami kecacatan/kelainan pada :
N
o
Bagian
Tubuh
(a)
Jenis Kelainan/
Kecacatan
(b)
Pilihan
(c)
Waktu
(d)
Tindakan Perawatan Diri Kusta yang
Dilakukan
(e)
Keterangan
(f)
Biaya
(g)
1 Mata Lagophthalmos
(mata tidak
dapat menutup
sempurna)
a. Ya
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Latihan menutup mata dan berpikir
kedip
b. Membersihkan mata dengan kain basah
c. Memeriksa mata dengan cermin /oleh
keluarga
d. Memeriksa ketajaman mata
e. Memberikan obat tetes mata
f. Menggunakan kain atau kipas untuk
mengusir lalat
g. Mengenakan kaca mata dan topi
h. Mengenakan tutup kepala atau kelambu
saat tidur
i. Tidak ada tindakan
j. Lainnya, sebutkan ……..
Peradangan /
Ulserasi kornea
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Memberi salep mata antibiotik dari
puskesmas dan bebat mata
b. Berobat ke dokter spesialis mata
c. Tidak ada tindakan
d. Lainnya, sebutkan ………
2
Tangan
Kulit pecah dan
kalus
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Periksa pandang
b. Merendam, menggosok, mengoleskan
minyak
c. Mengeringkan dengan kain
d. Menggunakan bidai (spalk)
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan………
Luka bakar
/Kulit melepuh
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Membersihkan dengan sabun
b. Memberi obat dari puskesmas
c. Membalut dengan kain atau kasa
d. Memberi obat dari pelayanan kesehatan
lain
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan………...
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
141
N
o
Bagian
Tubuh
(a)
Jenis Kelainan/
Kecacatan
(b)
Pilihan
(c)
Waktu
(d)
Tindakan Perawatan Diri Kusta yang
Dilakukan
(e)
Keterangan
(f)
Biaya
(g)
2
Tangan
Luka terbuka
(ulkus)
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Istirahat
b. Lindungi luka dengan pembalut/perban
c. Menjaga hygiene (kebersihan diri)
d. luka dibersihkan, jaringan yang mati
dikikis, dan perban diganti secara teratur
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan ……..
Lumpuh atau
lemah
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Menjaga kulit (merendam, menggosok,
mengoleskan minyak)
b. Jari tangan dipijat agar tidak kaku
c. Latihan meluruskan jari-jari yang mulai
bengkok
d. Latihan terhadap ibu jari yang lemah
e. Latihan meluruskan jari secara aktif
f. Latihan meluruskan jari secara pasif
yang sudah bengkok
g. Tidak ada tindakan
h. Lainnya, sebutkan……….
3 Kaki Kulit pecah dan
kalus
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Periksa pandang
b. Merendam, menggosok, mengoleskan
minyak
c. Mengeringkan dengan kain
d. Menggunakan bidai (spalk)
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan ………
Luka bakar/
Kulit melepuh
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Membersihkan dengan sabun
b. Memberi obat dari puskesmas
c. Membalut dengan kain atau kasa
d. Memberi obat dari pelayanan kesehatan
lain
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan………...
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
142
Catatan :
- Lingkari jawaban “Ya” pada kolom (c) jika terjadi kelainan atau kecacatan sesuai dengan
kolom (b)
- Pada kolom (d) ditulis bulan dan tahun kelainan/kecacatan tersebut terjadi
- Lingkari jawaban yang sesuai pada kolom (e), jawaban boleh lebih dari satu
- Pada kolom (f) dituliskan nama barang yang digunakan dalam perawatan diri tersebut
(minyak goreng/sayur/kelapa, batu apung, ember, perban, plester, kacamata, kain bersih, alat
bantu lainnya), nama obat yang digunakan, atau nama dari jenis pelayanan/jasa lain yang
digunakan untuk membantu responden dalam melakukan tindakan perawatan diri tersebut
- Pada kolom (g) dituliskan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh penderita untuk membeli
barang/obat/jasa serta biaya transpor untuk pembelian obat atau bahan tersebut (sesuai
dengan kolom (f)).
20. Apakah Saudara pernah mendapat bantuan alat bantu dan alat perawatan diri
kusta ?
a. Ya b. Tidak
Jika jawaban responden “Tidak”, langsung ke pertanyaan no.22
N
o
Bagian
Tubuh
(a)
Jenis Kelainan/
Kecacatan
(b)
Pilihan
(c)
Waktu
(d)
Tindakan Perawatan Diri Kusta yang
Dilakukan
(e)
Keterangan
(f)
Biaya
(g)
3 Kaki Luka terbuka
(ulkus)
a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Istirahat
b. Lindungi luka dengan pembalut/perban
c. Menjaga hygiene (kebersihan diri)
d. luka dibersihkan, jaringan yang mati
dikikis, dan perban diganti secara teratur
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan ……..
Kaki semper a. Y
a
b. Tdk
…/20…
(…bulan
yang
lalu)
a. Menjaga kulit (merendam,
menggosok, mengoleskan minyak)
b. Jari tangan dipijat agar tidak kaku dan
latihan terhadap ibu jari yang lemah
c. Latihan meluruskan jari-jari yang
mulai bengkok
e. Latihan meluruskan jari secara aktif
f. Latihan meluruskan jari secara pasif
yang sudah bengkok
g. Tidak ada tindakan
h. Lainnya, sebutkan……….
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
143
21. Bantuan alat bantu dan alat perawatan diri kusta apa yang Saudara terima :
N
o
Bentuk Bantuan Pilihan Jumlah Pihak yang
Memberi
1)
2)
3)
4)
5)
Minyak goreng
Batu Apung
Ember
Lainnya, sebutkan ……..
Lainnya, sebutkan ……..
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
……. buah
……. buah
……. buah
……. buah
……. buah
……………
……………
……………
……………
……………
Catatan : pada kolom “pihak yang memberi” dapat diisi dengan Petugas kusta,
Puskesmas, KPD, Dinas Kesehatan, Pemerintah Daerah, LSM, Lainnya (sebutkan)
22. Apakah Saudara pernah mendapatkan bantuan ekonomi ?
a. Ya b. Tidak
Jika jawaban responden “Tidak”, langsung ke pertanyaan no 24
23. Bantuan ekonomi apa yang Saudara terima :
N
o
Bentuk Bantuan Pilihan Jumlah dalam
rupiah
Pihak yang
Memberi
1)
2)
3)
4)
Uang
Sembako
Pinjaman dana usaha
Lainnya, sebutkan ……..
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
Rp ………….
Rp ………….
Rp ………….
Rp ………….
……………
……………
……………
……………
Catatan : pada kolom “pihak yang memberi” dapat diisi dengan Petugas kusta,
Puskesmas, KPD, Dinas Kesehatan, Pemerintah Daerah, LSM, Lainnya (sebutkan)
24. Jumlah pengeluaran keluarga dalam 1 tahun terakhir :
No Pengeluaran Keluarga Jumlah Pengeluaran Periode
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Belanja bahan makanan
Membeli makanan dan minuman jadi
Membeli rokok, sirih
Membeli pakaian, sepatu/sandal, topi, aksesoris, kosmetik
Membeli perabot rumah tangga (TV,kulkas, kipas angin,
lemari, radio, HP, komputer, meja, kursi, dll)
Membayar biaya pendidikan (iuran/sumbangan sekolah,
kursus, ekstra kurikuler, alat tulis dan buku pelajaran,
uang ujian)
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
144
No Pengeluaran Keluarga Jumlah Pengeluaran Periode
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
15)
16)
17)
Biaya Kesehatan (membeli obat/vitamin, membayar jasa
dokter/tenaga kesehatan/dukun, persalinan, imunisasi,
KB)
Membeli minyak tanah, gas, bensin/solar, bahan bakar lain
Membeli barang berharga (perhiasan, surat berharga)
Membayar pajak, iuran warga, premi asuransi, arisan,
menabung
Memberikan sumbangan/bantuan, hibah, hadiah
Membayar sewa rumah, tanah, properti lain, kendaraan
Membeli rumah, tanah, properti lain, kendaraan
Membayar biaya listrik, air, telp rumah, pulsa HP
Membiayai pesta atau upacara dari salah satu anggota
keluarga (perkawinan, khitanan, ulang tahun, perayaan
hari raya, upacara adat, naik haji)
Biaya lain, sebutkan …………
Biaya lain, sebutkan …………
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Rp ……………..
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Per ……….
Catatan :
- Pada kolom “periode” diisi dengan pilihan : hari, minggu, bulan, atau tahun
- Uang saku anak termasuk dalam poin “membeli makanan dan minuman jadi”
VI. Nilai Kecacatan
25. Jika Saudara tidak keberatan, kami akan melakukan pemeriksaan kondisi fisik Saudara
Tabel Penilaian Kondisi Kecacatan
Catatan :
- pengisian kondisi kecacatan saat RFT diambil dari data kartu penderita
- hasil penilaian kondisi kecacatan diisikan pada baris “saat pengambilan data”
Waktu
Pemeriksaan
Tanggal
TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2)
MATA TANGAN KAKI Nilai
Tertinggi
Jumlah
Nilai Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
RFT …. /….20…
Saat Pengabilan
Data
…. /….20…
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
145
Lampiran 7 : Hasil Analisis Bivariat
Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan tingkat
cacat yang dapat dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 15-Oct-2012 16:28:15
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated
as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all
the cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.031
Elapsed Time 00:00:00.016
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
146
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * tingkat cacat responden
dapat dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * tingkat cacat responden dapat dikendalikan
Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
Kelompok
pemantauan
terhadap penderita
yang telah RFT
kelompok SAS Count 42 1 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
97.7% 2.3% 100.0%
Kelompok PS Count 35 8 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
81.4% 18.6% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
147
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.081a 1 .014
Continuity Correctionb 4.468 1 .035
Likelihood Ratio 6.835 1 .009
Fisher's Exact Test .030 .015
Linear-by-Linear Association 6.010 1 .014
N of Valid Casesb 86
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
(kelompok SAS / Kelompok
PS)
9.600 1.145 80.517
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan
= Ya
1.200 1.033 1.394
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan
= Tidak
.125 .016 .957
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
148
Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan
pengetahuan
Crosstabs
Notes
Output Created 11-Nov-2012 16:26:07
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Tk_pnget
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.016
Elapsed Time 00:00:00.045
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
149
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan
faktor risiko
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * tingkat pengetahuan responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan faktor risiko Crosstabulation
tingkat pengetahuan responden
tentang penyakit kusta terhadap
kecacatan dan faktor risiko
Total tinggi rendah
Kelompok
pemantauan
terhadap
penderita
yang telah
RFT
kelompok SAS Count 35 8 43
% within Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT
81.4% 18.6% 100.0%
Kelompok PS Count 23 20 43
% within Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT
53.5% 46.5% 100.0%
Total Count 58 28 86
% within Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT
67.4% 32.6% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
150
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.626a 1 .006
Continuity Correctionb 6.408 1 .011
Likelihood Ratio 7.814 1 .005
Fisher's Exact Test .011 .005
Linear-by-Linear Association 7.537 1 .006
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok
pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS
/ Kelompok PS)
3.804 1.436 10.078
For cohort tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan
faktor risiko = tinggi
1.522 1.113 2.081
For cohort tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan
faktor risiko = rendah
.400 .198 .808
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
151
Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan
pencegahan cacat
Crosstabs
Notes
Output Created 12-Jan-2013 13:53:11
Comments
Input Data E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Cgh_cct
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.031
Elapsed Time 00:00:00.031
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
152
[DataSet1] E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * perilaku pencegahan cacat yang dilakukan
responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data Crosstabulation
perilaku pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
Total Ya Tidak
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang
telah RFT
kelompok SAS Count 41 2 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
95.3% 4.7% 100.0%
Kelompok PS Count 2 41 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
4.7% 95.3% 100.0%
Total Count 43 43 86
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
50.0% 50.0% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
153
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 70.744a 1 .000
Continuity Correctionb 67.163 1 .000
Likelihood Ratio 86.866 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 69.922 1 .000
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok
pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS
/ Kelompok PS)
420.250 56.467 3127.686
For cohort perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Ya
20.500 5.288 79.466
For cohort perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Tidak
.049 .013 .189
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
154
Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan
perawatan diri
Crosstabs
Notes
Output Created 12-Jan-2013 13:55:59
Comments
Input Data E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Rwt_diri
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
155
[DataSet1] E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * perilaku perawatan diri
yang dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * perilaku perawatan diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data Crosstabulation
perilaku perawatan diri yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
Total Ya Tidak
Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang
telah RFT
kelompok SAS Count 42 1 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
97.7% 2.3% 100.0%
Kelompok PS Count 23 20 43
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
53.5% 46.5% 100.0%
Total Count 65 21 86
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
75.6% 24.4% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
156
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 22.744a 1 .000
Continuity Correctionb 20.413 1 .000
Likelihood Ratio 26.707 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 22.480 1 .000
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok
pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS
/ Kelompok PS)
36.522 4.601 289.926
For cohort perilaku perawatan
diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Ya
1.826 1.377 2.422
For cohort perilaku perawatan
diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Tidak
.050 .007 .356
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
157
Hubungan antara Umur dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 11-Nov-2012 17:33:55
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Umur_olh BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.032
Elapsed Time 00:00:00.017
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
158
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kelompok Umur responden saat
RFT * tingkat cacat responden
dapat dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
kelompok Umur responden saat RFT * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
kelompok Umur
responden saat
RFT
<15 Count 3 0 3
% within kelompok Umur
responden saat RFT 100.0% .0% 100.0%
>=15 Count 74 9 83
% within kelompok Umur
responden saat RFT 89.2% 10.8% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within kelompok Umur
responden saat RFT 89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
159
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .363a 1 .547
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .676 1 .411
Fisher's Exact Test 1.000 .715
Linear-by-Linear Association .359 1 .549
N of Valid Casesb 86
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,31.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.122 1.041 1.209
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
160
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 11-Nov-2012 17:40:13
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Tk_didik BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.031
Elapsed Time 00:00:00.014
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
161
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
tingkat pendidikan * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
tingkat pendidikan * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
tingkat pendidikan tinggi Count 18 2 20
% within tingkat pendidikan 90.0% 10.0% 100.0%
rendah Count 59 7 66
% within tingkat pendidikan 89.4% 10.6% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within tingkat pendidikan 89.5% 10.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .006a 1 .938
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .006 1 .938
Fisher's Exact Test 1.000 .652
Linear-by-Linear Association .006 1 .939
N of Valid Casesb 86
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,09.
b. Computed only for a 2x2 table
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
162
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for tingkat
pendidikan (tinggi / rendah) 1.068 .203 5.603
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.007 .851 1.191
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
.943 .213 4.182
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
163
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 17-Dec-2012 22:17:48
Comments
Input Data F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Tk_pnget BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.063
Elapsed Time 00:00:00.046
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
164
[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
tingkat pengetahuan responden
tentang penyakit kusta terhadap
kecacatan dan faktor risiko *
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
tingkat pengetahuan responden tentang penyakit kusta terhadap kecacatan dan faktor risiko * tingkat cacat
responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan
dan faktor risiko
tinggi Count 50 8 58
% within tingkat
pengetahuan responden
tentang penyakit kusta
terhadap kecacatan dan
faktor risiko
86.2% 13.8% 100.0%
rendah Count 27 1 28
% within tingkat
pengetahuan responden
tentang penyakit kusta
terhadap kecacatan dan
faktor risiko
96.4% 3.6% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within tingkat
pengetahuan responden
tentang penyakit kusta
terhadap kecacatan dan
faktor risiko
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
165
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.106a 1 .147
Continuity Correctionb 1.156 1 .282
Likelihood Ratio 2.485 1 .115
Fisher's Exact Test .260 .140
Linear-by-Linear Association 2.081 1 .149
N of Valid Casesb 86
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,93.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for tingkat
pengetahuan responden tentang
penyakit kusta terhadap
kecacatan dan faktor risiko
(tinggi / rendah)
.231 .027 1.950
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
.894 .789 1.013
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
3.862 .508 29.387
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
166
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 17-Dec-2012 22:20:40
Comments
Input Data F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Tk_keluar BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
167
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Tingkat pengeluaran rumah
tangga responden * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Tingkat pengeluaran rumah tangga responden * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
Tingkat pengeluaran rumah
tangga responden
tinggi Count 7 0 7
% within Tingkat pengeluaran
rumah tangga responden 100.0% .0% 100.0%
rendah Count 70 9 79
% within Tingkat pengeluaran
rumah tangga responden 88.6% 11.4% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within Tingkat pengeluaran
rumah tangga responden 89.5% 10.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .891a 1 .345
Continuity Correctionb .090 1 .764
Likelihood Ratio 1.618 1 .203
Fisher's Exact Test 1.000 .448
Linear-by-Linear Association .880 1 .348
N of Valid Casesb 86
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,73.
b. Computed only for a 2x2 table
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
168
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.129 1.043 1.221
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
169
Hubungan antara Tipe Kusta dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 11-Nov-2012 17:43:26
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Tipe_kus BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.032
Elapsed Time 00:00:00.015
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
170
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Tipe kusta berdasarkan program
yang diderita responden saat
menerima pengobatan * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Tipe kusta berdasarkan program yang diderita responden saat menerima pengobatan * tingkat cacat
responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
Tipe kusta berdasarkan
program yang diderita
responden saat
menerima pengobatan
PB Count 2 0 2
% within Tipe kusta
berdasarkan program yang
diderita responden saat
menerima pengobatan
100.0% .0% 100.0%
MB Count 75 9 84
% within Tipe kusta
berdasarkan program yang
diderita responden saat
menerima pengobatan
89.3% 10.7% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within Tipe kusta
berdasarkan program yang
diderita responden saat
menerima pengobatan
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
171
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .239a 1 .625
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .448 1 .503
Fisher's Exact Test 1.000 .801
Linear-by-Linear Association .237 1 .627
N of Valid Casesb 86
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,21.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.120 1.040 1.206
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
172
Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 11-Nov-2012 17:48:52
Comments
Input Data H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil
Olahan\Data Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Reaksi BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
173
[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kejadian reaksi dari responden
yang pernah dialami sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
kejadian reaksi dari responden yang pernah dialami sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data
Tidak Count 56 8 64
% within kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data
87.5% 12.5% 100.0%
Ya Count 21 1 22
% within kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data
95.5% 4.5% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
174
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.106a 1 .293
Continuity Correctionb .420 1 .517
Likelihood Ratio 1.289 1 .256
Fisher's Exact Test .437 .272
Linear-by-Linear Association 1.093 1 .296
N of Valid Casesb 86
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,30.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kejadian reaksi
dari responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data
(Tidak / Ya)
.333 .039 2.829
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
.917 .805 1.044
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
2.750 .364 20.764
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
175
Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 17-Dec-2012 22:25:45
Comments
Input Data F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Cgh_cct BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
176
[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
perilaku pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
perilaku pencegahan cacat yang dilakukan responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data *
tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
perilaku pencegahan cacat
yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga
saat pengambilan data
Ya Count 42 1 43
% within perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
97.7% 2.3% 100.0%
Tidak Count 35 8 43
% within perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
81.4% 18.6% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
177
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.081a 1 .014
Continuity Correctionb 4.468 1 .035
Likelihood Ratio 6.835 1 .009
Fisher's Exact Test .030 .015
Linear-by-Linear Association 6.010 1 .014
N of Valid Casesb 86
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data (Ya / Tidak)
9.600 1.145 80.517
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.200 1.033 1.394
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
.125 .016 .957
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
178
Hubungan antara Perawatan Diri dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan
Crosstabs
Notes
Output Created 17-Dec-2012 22:23:58
Comments
Input Data F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Rwt_diri BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
179
[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
perilaku perawatan diri yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat
dikendalikan
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
perilaku perawatan diri yang dilakukan responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Total Ya Tidak
perilaku perawatan diri yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
Ya Count 64 1 65
% within perilaku perawatan
diri yang dilakukan
responden sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data
98.5% 1.5% 100.0%
Tidak Count 13 8 21
% within perilaku perawatan
diri yang dilakukan
responden sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data
61.9% 38.1% 100.0%
Total Count 77 9 86
% within perilaku perawatan
diri yang dilakukan
responden sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data
89.5% 10.5% 100.0%
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
180
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 22.638a 1 .000
Continuity Correctionb 18.904 1 .000
Likelihood Ratio 19.408 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 22.375 1 .000
N of Valid Casesb 86
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,20.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for perilaku
perawatan diri yang dilakukan
responden sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data
(Ya / Tidak)
39.385 4.530 342.424
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
1.591 1.136 2.228
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
.040 .005 .304
N of Valid Cases 86
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
181
Lampiran 8 : Hasil Analisis Multivariat
Logistic Regression
Notes
Output Created 21-Dec-2012 11:01:40
Comments
Input Data F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing
Syntax LOGISTIC REGRESSION VARIABLES
kndl_TkC
/METHOD=ENTER Cgh_cct Rwt_diri
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10)
ITERATE(20) CUT(0.5).
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
[DataSet1] F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 86 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 86 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 86 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
182
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
Ya 0
Tidak 1
Block 1: Method = Enter
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 38.242a .202 .414
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter
estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan Percentage
Correct Ya Tidak
Step 1 tingkat cacat responden
dapat dikendalikan
Ya 77 0 100.0
Tidak 9 0 .0
Overall Percentage 89.5
a. The cut value is ,500
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 19.410 2 .000
Block 19.410 2 .000
Model 19.410 2 .000
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
183
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Cgh_cct .060 1.490 .002 1 .968 1.062 .057 19.704
Rwt_diri 3.638 1.407 6.685 1 .010 38.005 2.411 598.993
Constant -4.181 1.147 13.289 1 .000 .015
a. Variable(s) entered on step 1: Cgh_cct, Rwt_diri.
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan Percentage
Correct Ya Tidak
Step 0 tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya 77 0 100.0
Tidak 9 0 .0
Overall Percentage 89.5
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -2.147 .352 37.130 1 .000 .117
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Cgh_cct 6.081 1 .014
Rwt_diri 22.638 1 .000
Overall Statistics 22.638 2 .000
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
184
Analisis :
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Cgh_cct .060 1.490 .002 1 .968 1.062 .057 19.704
Rwt_diri 3.638 1.407 6.685 1 .010 38.005 2.411 598.993
Constant -4.181 1.147 13.289 1 .000 .015
a. Variable(s) entered on step 1: Cgh_cct, Rwt_diri.
Berdasarkan tabel akan dikeluarkan variabel yang nilai p value > 0,25 sehingga variabel
cegah cacat akan dikeluarkan terlebih dahulu.
Tabel Perubahan OR :
Variabel OR awal OR Perubahan OR
Cgh cct 1,062
Rwt diri 38,005
Setelah variabel cegah cacat dikeluarkan :
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
185
Logistic Regression
Notes
Output Created 21-Dec-2012 11:23:16
Comments
Input Data F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data
Penderita.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 86
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing
Syntax LOGISTIC REGRESSION VARIABLES
kndl_TkC
/METHOD=ENTER Rwt_diri
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10)
ITERATE(20) CUT(0.5).
Resources Processor Time 00:00:00.000
Elapsed Time 00:00:00.000
[DataSet1] F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 86 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 86 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 86 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
186
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
Ya 0
Tidak 1
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 19.408 1 .000
Block 19.408 1 .000
Model 19.408 1 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 38.244a .202 .414
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter
estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan Percentage
Correct Ya Tidak
Step 1 tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya 77 0 100.0
Tidak 9 0 .0
Overall Percentage 89.5
a. The cut value is ,500
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
187
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Rwt_diri 3.673 1.103 11.083 1 .001 39.385 4.530 342.424
Constant -4.159 1.008 17.030 1 .000 .016
a. Variable(s) entered on step 1: Rwt_diri.
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan Percentage
Correct Ya Tidak
Step 0 tingkat cacat responden
dapat dikendalikan
Ya 77 0 100.0
Tidak 9 0 .0
Overall Percentage 89.5
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -2.147 .352 37.130 1 .000 .117
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Rwt_diri 22.638 1 .000
Overall Statistics 22.638 1 .000
Analisis :
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013
188
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Rwt_diri 3.673 1.103 11.083 1 .001 39.385 4.530 342.424
Constant -4.159 1.008 17.030 1 .000 .016
a. Variable(s) entered on step 1: Rwt_diri.
Setelah variabel cgh cct dikeluarkan, perubahan OR :
Variabel OR saat Cegah
Cacat ada
OR saat Cegah
Cacat tdk ada
Perubahan OR
Cgh cct 1,032 -
Rwt diri 37,956 39,385 3,7 %
Setelah variabel cgh cct dikeluarkan, terlihat bahwa tidak ada perubahan OR > 10 % sehingga
variabel cgh cct tersebut dikeluarkan.
Tidak ada variabel confounding dan sepenuhnya variabel perawatan diri yang mempengaruhi
pengendalian terhadap cacat.
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013