kusta research

58
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER PENELITIAN Oleh Bunge Dian Mentari, S. Ked 032011101027 Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked062011101060 Ratih Justitia Kartika, S.Ked 072011101001 Diniusi Septiari, S. Ked 072011101022 Defyna Dwi Lestari, S. Ked 072011101018 Noverio Haris Setyawan, S. Ked 072011101020 Rika Ainun Tikha, S. Ked 072011101048 Rizka Arifani, S.Ked 072011101050 Wilis Nurkumala, S. Ked 072011101056 Ida Bagus Margayuso, S. Ked 072011101062 SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of kusta research

Page 1: kusta research

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA

PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER

PENELITIAN

Oleh

Bunge Dian Mentari, S. Ked 032011101027

Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked 062011101060

Ratih Justitia Kartika, S.Ked 072011101001

Diniusi Septiari, S. Ked 072011101022

Defyna Dwi Lestari, S. Ked 072011101018

Noverio Haris Setyawan, S. Ked 072011101020

Rika Ainun Tikha, S. Ked 072011101048

Rizka Arifani, S.Ked 072011101050

Wilis Nurkumala, S. Ked 072011101056

Ida Bagus Margayuso, S. Ked 072011101062

SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKATPUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2011

Page 2: kusta research

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA

PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER

PENELITIAN

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter

bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh

Bunge Dian Mentari, S. Ked 032011101027

Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked 062011101060

Ratih Justitia Kartika, S.Ked 072011101001

Diniusi Septiari, S. Ked 072011101022

Defyna Dwi Lestari, S. Ked 072011101018

Noverio Haris Setyawan, S. Ked 072011101020

Rika Ainun Tikha, S. Ked 072011101048

Rizka Arifani, S.Ked 072011101050

Wilis Nurkumala, S. Ked 072011101056

Ida Bagus Margayuso, S. Ked 072011101062

SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKATPUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2011

ii

Page 3: kusta research

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN JUDUL ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Konsep Pengetahuan 4

2.1.1 Definisi 4

2.1.2 Tingkat Pengetahuan 5

2.1.3 Macam - Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan 5

2.2 Kusta 7

2.2.1 Definisi 7

2.2.2 Epidemiologi 7

2.2.3 Gejala Klinis 8

2.2.4 Patogenesis 9

2.2.5 Klasifikasi 9

2.2.6 Pemeriksaan 11

2.2.7 Pengobatan 12

BAB 3. METODE PENELITIAN 14

3.1 Desain Penelitian 14

3.2 Populasi dan Sampel 14

3.3 Variabel Penelitian 14

3.3.1 Variabel Bebas 14

3.3.1 Variabel Terikat 14

3.4 Definisi Variabel 15

iii

Page 4: kusta research

3.4.1 Pengetahuan tentang Kusta 15

3.4.2 Prevalensi Kusta 15

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian 16

3.6 Teknik Pengumpulan Data 16

3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 16

3.7.1 Kriteria Inklusi 16

3.7.2 Kriteria Eksklusi 16

3.7 Teknis Analisis Data 16

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17

4.1 Hasil 17

4.1.1 Karakteristik Responden 17

4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden 19

4.1.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

Prevalensi Kusta 20

4.1.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

Prevalensi Kusta 22

4.2 Pembahasan 23

4.2.1 Karakteristik Responden 23

4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden 26

4.2.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

Prevalensi Kusta 26

4.2.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

Prevalensi Kusta 28

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 31

5.1 Kesimpulan 31

5.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 33

iv

Page 5: kusta research
Page 6: kusta research

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya

kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang

dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah sosial,

ekonomi, budaya, keamanan dan kesehatan nasional. Kusta merupakan penyakit

yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat. Penderita kusta bukan

menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat

sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel diwajah dan

anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang

berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan mengecilnya otot

(Djuanda, 2008).

Berdasarkan data WHO pada akhir tahun 2007 jumlah penderita kusta

berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006 berjumlah 259.017 kasus di

dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terdeteksi

diseluruh dunia terus mengalami penurunan tapi tidak untuk Indonesia. Pada

tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang penderita kusta di

dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India

sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan

jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009). Penyebaran penyakit kusta dari suatu

tempat ke tempat lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh

perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.

Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada

tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka

morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat

beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur,

Page 7: kusta research

2

Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes

RI, 2005).

Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 kasus penyakit kusta di Indonesia

mengalami penurunan yang berarti dimana pada tahun 2000 angka morbiditas

penyakit kusta sebesar 7,6 per 10.000 penduduk, turun menjadi 5,9 per 10.000

penduduk pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan

menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan hingga tahun 2003 angka morbiditas

penyakit kusta hanya sebesar 1,3 per 10.000 penduduk dan menjadi 0,9 per 10.000

penduduk (Depkes RI, 2005). Di Indonesia pengobatan dan perawatan penyakit

kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan Puskesmas. Adapun

sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun 1992 yaitu pengobatan dengan

kombinasi MDT (multi drug therapy) secara teratur sampai selesai sesuai dengan

dosis dan waktu yang ditentukan untuk semua penderita kusta tetapi tanpa

melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan data di atas, provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke-6

se-Indonesia. Hal ini menunjukkan prevalensi penderita kusta di provinsi Jawa

Timur cukup tinggi. Untuk Kabupaten Jember prevalensi penderita kusta tertinggi

ke-4 se Jawa Timur. Kecamatan Puger terutama Desa Mojomulyo merupakan

salah satu daerah yang ikut menyumbangkan angka prevalensi kusta yang cukup

tinggi.

Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi

salah pada masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai

penyakit kutukan, penyakit keturunan, akibat guna-guna, salah makan, hingga

penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Pamahaman keliru

melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Penderita kusta semakin malang.

Ketakutan masyarakat tertular, membuat mereka tega mengusir penderita kusta.

Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak menular kesulitan untuk memulai hidupnya

lagi (Anonim, 2009).

Dari uraian di atas, peneliti ingin mencari hubungan antara tingkat

pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi

penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.

Page 8: kusta research

3

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang

penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo,

Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.

1.3 Tujuan

Mengetahui hubungan antar tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta

terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan

Puger, Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat

1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan

Kabupaten Jember dalam menyusun perencanaan program pemberantasan

penyakit kusta selanjutnya.

2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam promosi kesehatan

kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan proses penyembuhannya.

3. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas

Kedokteran Universitas Jember.

4. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Page 9: kusta research

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa ,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan

telinga (Notoatmodjo,1993).

Pengetahuan terhadap kesehatan adalah pengertian dan pola pikir yang

dimiliki oleh seseorang terhadap kesehatan yang diwujudkan dalam perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan. Pengertian dan Pola pikir seseorang terhadap

kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang

kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diperoleh secara formal maupun

non formal. Secara formal, pengetahuan kesehatan dapat diperoleh dari

pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan

keagamaan dll. Sedangkan pengetahuan tentang kesehatan secara non formal

dapat diperoleh melalui media massa, media cetak, media elektronik.

Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas terhadap kesehatan

maka akan dapat memahami nilai kesehatan itu sendiri yang nantinya dapat

diwujudkan dalam perilaku yang selalu menjaga kesehatan pribadi maupun

lingkungan. Mayoritas masyarakat pedesaan kurang mendapat informasi tentang

kesehatan sehingga dalam menjaga kesehatannya masih menganut nilai-nilai

tradisional yang belum tentu benar.

Page 10: kusta research

5

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu (notoatmodjo,2003):

1. Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari semuanya.

2. Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui.

3. Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada kondisi sebenarnya.

4. Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam

komponen-komponennya.

5. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-

bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan.

6. Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

objek.

2.1.3 Macam- Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Pendidikan

Pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan secara sadar dengan

tujuan untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik.

Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa pendidikan secara umum adalah

segala upaya yang direncanakan untuk mepengaruhi orang lain baik

individu, kelompok, maupun masyarakat, sehigga mereka melakukan apa

yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 pasal 2,

jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan

yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik

serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. dan jenjang pendidikan

sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi. di Indonesia terdapat 3 bentuk pendidikan dalam

sistesm pendidikan yaitu:

Page 11: kusta research

6

1) Pendidikan formal

Pendidikan yang diadakan di sekolah / tempat tertentu secara

sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta

berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi,

berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem

pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan formal

dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu pendidikan dasar diperuntukan

bagi warga negara yang berumur 7 tahun, pendidikan menengah

dibedakan atas pendidikan menengah pertama dan menengah atas,

sedangkan perguruan tinggi dengan lama belajar 3-5 tahun bagi

penduduk yang berusia diatas 19 tahun.

2) Pendidikan non formal

Pendidikan yang diadakan dengan sengaja, tertib, dan berencana,

diluar kegiatan persekolahan. Menurut Surat Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/01975 tanggal 17 April, bidang

pendidikan non formal meliputi: pendidikan masyarakat,

keolahragaan, dan pembinaan generasi muda.

3) Pendidikan informal

Pendidikan yang diadakan oleh siapa saja, dimana saja dan baik

secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan ini terutama

berlangsung di lingkungan keluarga, tetapi dapat juga berlangsung di

lingkungan sekitar setiap hari tanpa ada batas waktu.

b. Pengalaman

Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami oleh

masyarakat dalam kehidupan, baik hal yang menyenangkan maupun

menyedihkan. Pengalaman diperoleh baik secara sadar maupun tidak sadar

yang dimulai sejak lahir sampai manusia tersebut meninggal. Pengalaman

yang diperoleh akan menambah pengetahuan seseorang yang nantinya

akan mempengaruhi tingkah laku.

Page 12: kusta research

7

2.2 Penyakit Kusta

2.2.1 Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,

sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer

Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen

(Kosasih,2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah

Mycobacterium Leprae yang intraselular obligat (Kosasih, 2003).

2.2.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai

tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang

telah terkena penyakit tersebut. Masukknya kusta ke pulau-pulau Melanesia

termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih,2003).

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,

cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan

kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia. (Sri Linuwih,

2003).

Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial

ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin

subur penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu

penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan

terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi

terhadap infeksi Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran

klinis (spektrum dan lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh

faktor genetik yang berbeda (Hiswani,2000). Kusta terdapat dimana-mana,

terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah trpopis dan subtropis, serta

masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Pada tahun 1991 World Health

Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan

Page 13: kusta research

8

masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di

bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai

Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT, 2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia

selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara

Wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang

lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat di 55 Negara atau Wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda

di 16 Negara, dan 82%-nya di 5 Negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan

Nigeria). Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997

adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di

Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000

penduduk adalah 1.57 (EKT,2000). Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan

bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal

yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh

penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :

1. Usia

2. Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

3. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

4. Ras

5. Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

6. Kesadaran social

7. Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat

sosial ekonomi rendah.

2.2.3 Gejala klinis

a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama- kelamaan

semakin melebar dan banyak

c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus

d. Adanya bintil-bintil kemerahan (Leproma, Nodul) yang tersebar pada kulit

e. Alis rambut rontok

Page 14: kusta research

9

f. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut Facies Leomina (muka

singa) (Zulkipli,2002).

2.2.4 Patogenesis

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu

ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,

kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim (Arif mansjoer,2000).

Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta

tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Arif

mansjoer, 2000). Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae, sebagian besar

(95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5%

interminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh

(Arif mansjoer,2000). Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh,

perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon

tubuh setelah masa tunas di lampaui tergantung pada system imunitas selular

(cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit

berkembang ke arah Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah

Lepromatosa (Arif mansjoer, 2000).

2.2.5 Klasifikasi

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada

penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

T I : Tuberkuloid Indefinite

BT : Borderlines Tuberculoid

BB: Mid Borderline

BL : Borderline Lepramatous

L I : Lepromatosa Indefinite

LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil.

Page 15: kusta research

10

Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya

Klasifikasi Zona spektrum Kusta

Ridley dan Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

Puskesmas Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

Sumber : Kokasih, 2003

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi

berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa

Polar, yakni Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak

mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline

atau campuran, berarti campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah

tipe campuran yang terdiri atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih

banyak Tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya.

Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik

ke arah TT maupun ke arah LL (Sulistyowaty, 2005). Multibasiler berarti

mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan Pausibasiler

berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I (Sulistyowaty, 2005).

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan

Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan

Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

Page 16: kusta research

11

Tabel 2.2 Gambaran Klinis Menurut WHO

Gambaran Klinis Tipe PB Tipe MB

Lesi Kulit (macula datar, Papul yang meninggi, Nodul)

1-5 lesi, hipopigmentasi/ eritema, distribusi tidak simetris, hilanya sensasi

yang jelas.

Lesi >5, distribusi lebih simetris, hilanya sensasi.

Kerusakan cabang saraf (menyebabkan saraf kehilangan sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh sraf yang terkena)

Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

(Sumber : WHO, 1995)

Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi

perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi

Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan

dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita

kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun (Arif mansjoer, 2000).

2.2.6. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau

mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,

antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,

bukan berarti orang tersebut tidak mengandung Mycobacterium Leprae

(Hiswani,2000).

2. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid.

Page 17: kusta research

12

Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),

ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik,

ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat

campuran unsur-unsur tersebut (Hiswani, 2000).

2.1.7. Pengobatan

Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS

(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai

sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh

Brown dan Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada tahun 1998 WHO

menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu

Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin (Kosasih,2003).

a. DDS

Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang

mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik,

Leukopenia, Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis

Epidermal Toksik, Hepatitis, Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia

(Kosasih, 2003).

b. Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi

dengan DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau

setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh

karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada

pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu

atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih,2003). Efek

samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala

gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit (Zalbawi,2005).

c. Klofazimin (lamprene)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan

Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg

selang hari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi

Page 18: kusta research

13

sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih

tinggi. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982

(Kosasih,2003). Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan

warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut

disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna dan tertimbun ditempat

tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan

masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi

dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen,

Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan

berat badan. Dapat juga tertimbun dihati. Perubahan warna tersebut akan

menghilang setelah obat dihentikan (Zalbawi, 2005).

d. Protionamid/etionamid

Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini

tidak atau jarang dipakai (Kosasih, 2003).

Page 19: kusta research

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ada dua karakteristik

dasar penelitian ini yaitu: 1) adanya analisis hubungan antar variabel, dan 2)

adanya pengamatan atau pengukuran terhadap variabel subyek penelitian menurut

keadaan ilmiah tanpa ada intervensi. Berdasarkan karakteristik tersebut maka

penelitian ini termasuk penelitian analitik observasional. Pendekatan dalam

penelitian analitik observasional yang digunakan adalah cross sectional desain

tanpa mengadakan pengukuran nilai prevalensi. Pendekatan ini digunakan karena

dalam penelitian subyek penelitian hanya diobservasi sekali tanpa upaya tindakan

berkelanjutan.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di wilayah desa

Mojomulyo kecamatan Puger.

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Mojomulyo yang

memiliki anggota keluarga yang pernah menderita Kusta.

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel bebas

Variabel yang menjadi penyebab dari hubungan antar faktor yang

dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang Kusta.

3.3.2 Variabel terikat

Variabel yang menjadi akibat dari hubungan antar faktor penyebab dalam

penelitian ini yaitu tingginya prevalensi kusta.

Page 20: kusta research

15

3.4 Definisi Variabel

3.4.1 Pengetahuan tentang Kusta

a. Definisi konseptual

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 1993).

Pengetahuan tentang Kusta adalah pengetahuan seseorang pasien

terhadap penyakit Kusta yang diderita.

b. Definisi operasional

Pengetahuan mencakup pengertian responden tentang penyakit

Kusta yang meliputi pengertian, penyebab, gejala penyakit, cara

penularan, pencegahan kecacatan, perawatan kecacatan dan pengobatan

penyakit Kusta. Pengetahuan ini diukur dengan menggunakan metode

wawancara (Gani,1998).

Untuk variabel ini terdapat 11 pertanyaan ,dimana tiap item terdapat

2 alternatif jawaban. Penilainanya yaitu:

a. Untuk pilihan jawaban yang benar mendapat nilai 1

b. Untuk pilihan jawaban yang salah mendapat nilai 0

Kemudian dari 11 pertanyaan tersebut dibuat dalam 2 kategori skor

yaitu:

Tinggi : skor ≥ 5

Rendah: skor <5

3.4.2 Prevalensi Kusta

a. Definisi konseptual

Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat

dalam satu waktu.

b. Definisi operasional

Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat

dalam satu waktu

Page 21: kusta research

16

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 dusun desa Mojomulyo Kecamatan Puger yaitu

dusun Krajan, Kalimalang dan Getem. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah

bulan Januari 2011.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data penelitian akan menggunakan metode kuesioner.

3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.7.1 Kriteria Inklusi

Karakteristik sampel yang dapat dimasukan dalam penelitian ini adalah

masyarakat desa Mojomulyo yang memiliki anggota keluarga yang pernah atau

sedang menderita Kusta.

3.7.2 Kriteria Eksklusi

a. Masyarakat yang tidak memiliki anggota keluarga yang pernah

menderita Kusta

b. Masyarakat yang menolak memberikan informed consent

3.8 Teknik Analisis Data

Data hasil pengolahan dianalisis dengan Chi Square untuk uji Independensi.

Menurut Nawi dkk (2000), Chi Square untuk uji Independensi dua faktor

bertujuan untuk menguji apakah terdapat atau tidak suatu kaitan antara dua

faktor, jika ternyata tidak ada kaitan antara dua faktor , biasanya dikatakan

bahwa faktor-faktor itu bersifat independen atau saling bebas.

Penggunaan uji tersebut untuk analisis data penelitian karena data

penelitian merupakan data diskrit atau hasil penghitungan, dan variabel atau

faktor dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa kategori tingkatan atau

golongan.

Page 22: kusta research

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 25 Januari – 29 Januari 2010 dengan

cara mengumpulkan data sekunder responden pasien kusta dan menyebarkan

kuesioner kepada responden. Responden pada penelitian ini adalah pria dan

wanita. Jumlah responden adalah 56 orang, yang terdiri dari 25 penderita kusta

dan 31 orang adalah kerabat dari penderita kusta.

4.1.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden penelitian merupakan penjelasan dari identitas yang

dimiliki oleh responden. Identitas yang dimaksud adalah ciri-ciri responden yang

digunakan sebagai sampel penelitian. Karakteristik responden perlu dijelaskan

guna mempermudah peneliti dalam menggambarkan keadaan responden secara

umum. Karakteristik responden pasien kusta dalam penelitian ini meliputi: jenis

kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Hasil selengkapnya tersaji berikut ini:

a. Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin koresponden yang dibedakan secara fisik dikategorikan

menjadi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Distribusi frekuensi jenis kelamin

responden berdasarkan data yang diperoleh tersaji dalam tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1 Distribusi tingkat pengetahuan koresponden berdasarkan jenis kelamin

No.Jenis Kelamin Koresponden

Penderita Kerabat penderita Totaln % N % N %

1. Laki-laki 12 48 11 36 23 412. Perempuan 13 52 20 64 33 59

Total 25 100.00 31 100.00 56 100.00Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

Page 23: kusta research

18

Berdasarkan sebaran data jenis kelamin pasien Kusta pada tabel 4.2 dapat

dilihat bahwa jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada penderita laki-

laki. Sebanyak 48% dari penderita kusta adalah laki-laki dan 52% dari penderita

kusta adalah perempuan. Begitu pula dengan jumlah kerabat pasien kusta.

Sebanyak 64% adalah perempuan, sedangkan kerabat penderita kusta yang laki-

laki hanya 36%.

b. Pendidikan Responden

Pendidikan responden merupakan pendidikan terakhir formal yang pernah

ditempuh. Pengkategorian tingkat pendidikan responden didasarkan pada

pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen Pendidikan Nasional RI

(2003) yaitu tingkat pendidikan rendah apabila tidak sekolah - tamat SD, tingkat

pendidikan sedang apabila tamat SMP dan tingkat pendidikan tinggi apabila tamat

SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2, D3, S1, S2, maupun S3.

Pengkategorian tingkat pendidikan responden seperti pada tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.2 Distribusi koresponden berdasarkan tingkat pendidikan

No.Tingkat Pendidikan

pasien Kusta

Penderita kusta

Kerabat penderita kusta

Total

N % N % N %1. Pendidikan Rendah 16 64 22 71 38 682. Pendidikan Sedang 7 28 5 16 12 213. Pendidikan Tinggi 2 8 4 13 6 11

Jumlah 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

Berdasarkan sebaran data tingkat pendidikan pasien Kusta pada tabel 4.2

dapat dilihat bahwa jumlah tingkat pendidikan rendah sebanyak 68% dan tingkat

pendidikan sedang 21 %, sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi 11 %.

c. Usia Responden

Usia responden adalah usia saat dilakukan penelitian terhitung setelah ulang

tahun terakhir. Distribusi frekuensi usia responden pasien kusta dapat dilihat pada

tabel 4.1 berikut ini :

Page 24: kusta research

19

Tabel 4.3 Distribusi pasien kusta berdasarkan golongan usia

No.Usia

korespondenPenderita kusta Kerabat penderita Total

n % n % N %1. < 25 9 36 5 16 14 252. 25-50 10 40 24 77 34 613. >50 6 24 2 6 8 14

Jumlah 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

Berdasarkan sebaran data usia pasien kusta pada tabel 4.1 dapat dilihat

bahwa usia koresponden < 25 mempunyai nilai distribusi 25% dan usia

koresponden 25-50 mempunyai nilai distribusi 61%, sedangkan untuk usia

koresponden >50 mempunyai nilai distribusi 14 %.

4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden

Tingkat pengetahuan responden merupakan segala sesuatu yang diketahui

atau dimengerti responden tentang penyakit kusta. Pengetahuan pasien kusta

tentang penyakit kusta diukur menggunakan kuesioner melalui tes pengetahuan.

Pengetahuan pasien Kusta dihitung berdasarkan skor yang dijawab oleh

responden atas 11 pertanyaan berkaitan dengan penyakit kusta, dimana skor

terendah dari tes pengetahuan ini adalah 0 dan skor tertinggi adalah 11. Hasil

perhitungan skor tiap responden, kemudian dikategorikan menjadi pengetahuan

rendah dan tinggi. Pengetahuan tinggi apabila responden mempunyai jumlah nilai

tes pengetahuan >5 sedangkan pengetahuan rendah jika responden memiliki skor

pengetahuan ≤5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan pasien kusta tentang

penyakit kusta dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:

Page 25: kusta research

20

Tabel 4.4 Distribusi pasien Kusta berdasarkan tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta

No. Tingkat Pengetahuan Penderita Kerabat penderita TotalN % N % N %

1. Pengetahuan tinggi 3 12 31 100 34 612. Pengetahuan rendah 22 88 0 0 22 39

Total 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Primer Terolah (2011)

Berdasarkan sebaran data tingkat pengetahuan pasien Kusta tentang

penyakit Kusta pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tinggi

mempunyai nilai distribusi 61% dan tingkat pengetahuan rendah mempunyai nilai

distribusi 39%.

4.1.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan Prevalensi

Pasien Kusta

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan Tingginya

prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo, digunakan analisis data uji Chi-Square.

Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel

tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di

Desa Mojomulyo didapatkan hasil:

a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X)

adalah sebesar 19675 Uji wald hitung (18,274) tersebut lebih kecil

daripada uji wald table (19675 (df=1; α=0,05));

b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.496 Tingkat

signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan

hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun

Kalimalang Desa Mojomulyo.

Page 26: kusta research

21

Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara

variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi

Kusta di tiap dusun Desa Mojomulyo didapatkan hasil:

1) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun

Kalimalang.

a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah

sebesar 0.873. Uji wald hitung (0.873) tersebut lebih kecil daripada uji

wald table (3,481 (df=1; α=0,05));

b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.227 Tingkat

signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan

hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun

Kalimalang Desa Mojomulyo.

2) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Krajan.

a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah

sebesar 0.852. Uji wald hitung (0.852) tersebut lebih kecil daripada uji

wald table (3,481 (df=1; α=0,05));

b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.528 Tingkat

signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan

hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun

Krajan Desa Mojomulyo.

3) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Getem.

a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah

sebesar 0.900. Uji wald hitung (0.900) tersebut lebih kecil daripada uji

wald table (3,481 (df=1; α=0,05));

Page 27: kusta research

22

b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.577 Tingkat

signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan

hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun

Getem Desa Mojomulyo.

4.1.1 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang kusta dengan

Prevalensi Kusta

Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang

Kusta dengan tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo dapat dilakukan

dengan menggunakan uji Chi-Square dengan melihat nilai Coefisien Contingensi

pada model Symmetric Measure. kuat hubungan antara variabel tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa

Mojomulyo didapatkan nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.496 atau

sebesar 49.6% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan

tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 49,6%.

Untuk mengetahui kuat hubungan antara variabel tingkat pengetahuan

tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di tiap dusun Desa

Mojomulyo didapatkan hasil:

a. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan

tingginya prevalensi Kusta di Dusun Kalimalang.

Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan

bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.227 atau sebesar 23.0% artinya

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi

Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 23.0%.

Page 28: kusta research

23

b. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan

tingginya prevalensi Kusta di Dusun Krajan.

Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan

bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.528 atau sebesar 53.0% artinya

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi

Kusta di Dusun Krajan Desa Mojomulyo adalah sebesar 53.0%.

c. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan

tingginya prevalensi Kusta di Dusun Getem.

Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan

bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.577 atau sebesar 58.0% artinya

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi

Kusta di Dusun Getem Desa Mojomulyo adalah sebesar 58.0%.

4.2 Pembahasan

Pembahasan dari penelitian ini disesuaikan dengan hasil penelitian,

sehingga pembahasan juga dikelompokkan dalam jumlah yang sama dengan hasil

penelitian, yaitu dikelompokkan menjadi empat, meliputi karakteristik responden,

tingkat pengetahuan responden, hubungan antara tingkat pengetahuan tentang

penyakit kusta dengan prevalensi kusta, serta derajat hubungan antara tingkat

pengetahuan tentang penyakit kusta dengan prevalensi kusta.

4.2.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan salah satu hal yang penting dalam

penelitian ini karena menurut De Zalduondo dalam Sedyaningsih (1999)

karakteristik individu merupakan salah satu penentu perilaku seseorang, termasuk

dalam penelitian ini berupa prevalensi kusta. Berdasarkan teori tersebut maka

peneliti berusaha mengkaji karakteristik responden di desa Mojomulyo

Kecamatan Puger Jember. Karakteristik responden pasien Kusta yang dikaji

dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.

Page 29: kusta research

24

a. Jenis Kelamin Responden

Persebaran jenis kelamin responden di tempat penelitian menunjukkan

bahwa responden penderita kusta yang perempuan lebih banyak daripada laki-

laki. Begitu pula dengan responden kerabat penderita yang perempuan lebih

banyak daripada yang laki-laki.

Hasil penelitian Supriyatno (2002) juga menyatakan tidak ada perbedaan

tentang kejadian kusta berdasarkan jenis kelamin, dimana dibuktikan dengan hasil

biakan kuman Mycobacterium leprae positif yang sama pada laki-laki dan

perempuan sebesar 1:1. Kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama

terinfeksi penyakit kusta.

b. Pendidikan Responden

Departemen Pendidikan Nasional RI (2003) mendefinisikan bahwa

pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan mulai dari usia

anak sampai dewasa, karena itu memerlukan berbagai cara dan sumber. Sistem

pendidikan dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan non formal.

Pendidikan formal yaitu pendidikan yang berstruktur dan berjenjang yang terdiri

atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan

informal yaitu pendidikan yang diperoleh lewat berbagai jalan atau program yang

dikenal dengan istilah penyuluhan, sedangakan pendidikan non formal adalah

jalur pendidikan diluar jalur pendidikan formal yang dapat dilaksanakan dengan

terstruktur dan berjenjang. Pendidikan responden yang diteliti dalam penelitian ini

hanyalah meliputi pendidikan formal responden.

Pengkategorian tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini

didasarkan pada pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen

Pendidikan Nasional RI. Menurut Departemen Pendidikan Nasional RI (2003)

terdapat tiga tingkatan pendidikan formal yaitu tingkat pendidikan rendah apabila

tidak sekolah - tamat SD, tingkat pendidikan sedang apabila tamat SMP dan

tingkat pendidikan tinggi apabila tamat SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2,

D3, S1, S2, maupun S3. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan

Page 30: kusta research

25

tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa 68% dari koresponden

mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan

hasil penelitian Depkes (2007), yang menyatakan bahwa mayoritas penderita

kusta adalah kelompok usia produktif, ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah.

Tingginya angka kesakitan kusta pada kelompok responden berpendidikan

rendah yang dihasilkan dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena

kurangnya pendidikan responden menyebabkan rendahnya pengetahuan

responden tentang Kusta, sehingga upaya pencegahan responden agar tidak

terserang kusta menjadi rendah pula. Hal ini diperkuat pendapat Notoatmodjo

(2003) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan

juga untuk meningkatkan kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut Mubarak (2007) makin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada

akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Mantra (dalam

Fatma, 2000) juga menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar,

dimana makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk

menerima informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin

banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan yang tinggi menyebabkan

pemahaman tentang penyakit menjadi tinggi sehingga upaya pencegahan penyakit

menjadi tinggi pula, sedangkan pengetahuan yang kurang menyebabkan

pemahaman tentang penyakit menjadi rendah sehingga upaya pencegahan

masyarakat menjadi rendah pula dan pada akhirnya menyebabkan mereka mudah

terserang penyakit kusta.

c. Usia Responden

Hiswani (2004) menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang selalu

diperhatikan di dalam penelitian epidemiologi. Pola kesakitan atau kematian akan

lebih mudah membacanya bila dikelompokkan berdasarkan golongan usia.

Beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan suatu keadaan kesehatan

seseorang dengan usia antara lain : perkembangan fisiologis dan imunitas tubuh.

Notoatmodjo (2003) juga mengatakan bahwa usia memiliki hubungan dengan

Page 31: kusta research

26

tingkat keterpaparan, besarnya risiko serta sifat resistensi terhadap penyakit.

Berdasarkan teori tersebut maka peneliti berusaha mengkaji usia responden di

Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember.

Persebaran usia responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa

mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif. Hal ini ditunjukkan

dengan jumlah penderita kusta di usia 25-50 tahun adalah 40%. Hasil penelitian

ini juga diperkuat dengan pendapat Hiswani (2004) yang menyatakan bahwa

penyakit kusta umumnya terjadi pada kelompok usia produktif. Faktor utama

terjadinya penyakit ini adalah keberadaan kuman di dalam tubuh seseorang.

Seseorang yang terkena penyakit kusta ini biasanya sudah terinfeksi lama sebelum

ia merasakan keluhan bercak di kulit.

4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden

Tingkat pengetahuan responden penderita kusta dikategorikan menjadi

pengetahuan tinggi dan dan rendah. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini

berdasarkan tingkat pengetahuan responden menunjukkan bahwa 88% dari

penderita kusta memiliki tingkat pengetahuan rendah. Hal ini dapat disebabkan

karena beberapa hal antara lain kurangnya informasi yang diperoleh oleh

responden tersebut. Notoatmodjo (2006) menyatakan bahwa pengetahuan

kesehatan diperoleh melalui pendidikan kesehatan dan dalam hal ini pendidikan

kesehatan tidak lepas dari proses belajar atau adanya penyuluhan dan pengalaman.

4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit Kusta dengan

Prevalensi Kusta

Pengetahuan penderita kusta mencakup pengertian responden tentang

penyakit ksta yang meliputi gejala penyakit kusta dan penyebabnya, penyakit

kusta dapat menularkan orang lain, penyakit kusta dapat membahayakan dirinya

bila tidak diobati secara teratur, penyakit kusta dapat diobati, dan tanda-tanda

kesembuhan penyakit kusta. Pengetahuan ini diperoleh oleh penderita kusta

melalui indera yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo

(2005b) yaitu pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

Page 32: kusta research

27

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba.

Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan

tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo diketahui dengan menggunakan

analisis data uji Chi-Square. Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk

mengetahui hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta

dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo menunjukkan bahwa

variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan secara

signifikan atau nyata dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo

(p=0.000). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Neisser dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku

seseorang (overt behavior). Artinya dalam penelitian ini adalah pengetahuan

pasien kusta tentang penyakit kusta merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk perilaku hidup bersih dan sehat, guna mencegah penyebaran Kusta.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sari (2008) yang

menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pengetahuan tentang penyakit kusta

dengan pengobatan kusta. Menurut Sari (2008), pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting untuk menimbulkan tindakan seseorang terutama pada orang

dewasa. Terbentuknya kesadaran (over behavior) adanya bahaya penyakit dimulai

dari pemberian informasi yang jelas dan benar melalui pemberian pengetahuan,

sehingga mempunyai peluang terhadap kepatuhan seseorang dalam pengobatan.

Tingkat pengetahuan yang rendah mempunyai peluang untuk lebih besar tidak

patuh terhadap pengobatan dibanding pengetahuan yang tinggi, sehingga tingkat

pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan dengan kepatuhan berobat pada

pasien Kusta.

Adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang

penyakit Kusta dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta juga sesuai dengan

pendapat Suyatmi (2000). Menurut Suyatmi (2000) secara teori, apabila seseorang

mengetahui tentang pentingnya penyakit yang dideritanya, maka seseorang

Page 33: kusta research

28

tersebut akan mengerti tentang rencana tindakan dan pengobatan yang akan

diberikan padanya. Adanya pengetahuan merupakan tahap awal dalam proses

perubahan perilaku, sehingga pengetahuan merupakan faktor internal yang

mempengaruhi perubahan perilaku. Menurut Sarlito dalam Fatma (2000),

pengetahuan akan membentuk sikap, dan sikap akan mempengaruhi perilaku.

Berdasarkan teori-teori tersebut dapat diketahui bahwa tinggi atau rendahnya

pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta mempengaruhi pengertian pasien

kusta tentang rencana tindakan dan pengobatan yang akan diberikan padanya

sehingga menyebabkan pasien tersebut membentuk sikap menerima atau menolak

terhadap pengobatannya. Sikap yang telah dibentuk oleh pasien kusta tersebut

akan mempengaruhi perilaku pengobatannya atau mempengaruhi keteraturan

perilakunya dalam berobat.

4.2.4 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan

Kepatuhan Berobat Pada Pasien Kusta

Hasil penelitian menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi

Kusta di Desa Mojomulyo. Sebesar 49,6%. Untuk Dusun Kalimalang kuat

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi

kusta sebesar 23%, Dusun Krajan sebesar 53%, dan Dusun Getem sebesar 58%.

Berdasarkan data dari 3 Dusun tersebut, derajat hubungan paling tinggi

pengaruhnya di Dusun Getem, sedangkan hubungan terendah pengaruhnya di

Dusun Kalimalang.

Hasil penelitian Kustin 2007, yang menunjukkan bahwa tingkat

pengetahuan tentang kusta cukup berhubungan dengan kepatuhan berobat pada

pasien Kusta, namun kepatuhan berobat pada pasien kusta juga berhubungan

dengan faktor lain selain faktor tingkat pengetahuan tentang Kusta. Faktor lain

yang mungkin berhubungan dengan prevalensi kusta diantaranya menurut

Hamzah (2009) yaitu adanya perasaan atau merasa sudah sembuh, kemiskinan,

dan kurang motivasi. Aditama (2006) mengemukakan bahwa tingkat kepatuhan

dalam pengobatan TB juga dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga seperti

Page 34: kusta research

29

pendampingan pada saat melakukan pengobatan. Dengan adanya dukungan dan

pendampingan dari keluarga secara tidak langsung akan memberikan dukungan

moral bagi penderita untuk patuh dalam melakukan pengobatan karena mengingat

penilaian masyarakat terhadap mereka yang menderita penyakit ini dianggap

sebagai kutukan dan harus dijauhi. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh

Kusnanto (2004) bahwa faktor sosial seperti dukungan keluarga berperan terhadap

patuh atau tidaknya seseorang melakukan pengobatan Kusta. Pernyataan yang

sama juga dikemukakan oleh Niven (2002) bahwa dukungan sosial dalam bentuk

dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain seperti teman, waktu dan

uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program

medis.

Faktor lain yang juga mungkin berhubungan dengan kepatuhan berobat pada

pasien Kusta adalah keseriusan pandangan pasien Kusta terhadap penyakitnya.

Lewin dalam Notoadmodjo (2006) menyatakan bahwa tindakan individu untuk

mencari pengobatan dan pencegahan penyakit didorong oleh keseriusan penyakit

tersebut terhadap individu atau masyarakat. Anderson dalam modul sistem

kesehatan juga mengemukakan mengenai karakteristik kebutuhan. Dalam

karakteristik kebutuhan ini Anderson dalam Notoatmodjo (2006) tentang faktor

predisposisi dan faktor yang memungkinkan seseorang untuk mencari pengobatan

dapat terwujud dari dalam tindakan apabila dirasakan sebagai kebutuhan. Dari

kedua teori tersebut dapat diketahui bahwa kepatuhan berobat tergantung dari

bagaimana seseorang mendukung keseriusan penyakit yang dirasakan dan

seberapa besar kebutuhan yang dirasakan terhadap suatu pengobatan. Apabila

penderita merasakan keseriusan terhadap penyakitnya dan membutuhkan

pengobatan maka penderita tersebut akan patuh dan taat dalam berobat begitu juga

sebaliknya.

Menurut Soewandi dan Surasa dalam Kusnanto (2004) menyatakan bahwa

aspek keyakinan terhadap norma subjektif penderita tentang Kusta (penyakit

Kusta adalah penyakit yang memalukan dan kutukan) juga berpengaruh terhadap

kepatuhan berobat. Priyanti dan Ratnawati dalam Kusnanto (2004) menyatakan

Page 35: kusta research

30

bahwa kepatuhan berobat penderita Kusta justru tergantung dari motivasi yang

kuat, rumit tidaknya pengobatan, serta kelupaan dan efek samping obat.

Page 36: kusta research

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

a. Ada hubungan nyata antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta

dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger.

b. Derajad hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta

dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger adalah

sebesar 49,6%.

5.2 Saran

Saran dari hasil penelitian ini adalah:

a. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai factor-faktor lain yang

mempengaruhi prevalensi kusta

b. Perlu dilakukan upaya tindak lanjut untuk menurunkan prevalensi kusta.

Page 37: kusta research

32

DAFTAR PUSTAKA

Alimul. 2003. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba

Medika.

Arif Mansjoer (dkk), 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius.

Djuanda Adhi (dkk) 2001. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI

Danim. 1997. Study Ilmu Pengetahuan.Jakarta: CV Sugeng Santoso Pamungkas

Depkes RI. 1996. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta:

Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Pemukiman

Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyaki Kulit. Jakarta:Hipokrates

Notoadmodjo. 1993. Pengetahuan Manusia. Jakarta: Inter Aksara

Poerwodarminto.1981. Apa Itu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit PT

Intan Pariwara

Sapto Harnowo & Fitri H. Susanto, 2001. Keperawatan Medikal Bedah Untuk

Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.

Anonymous (2004), http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=

2&id=106064&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=190, diakses

Februari 2011

Anonymous.2004.http://www.suarapembaruan.com/News/2003/01/17/Kesra/

kes01 .htm diakses Februari 2011

Anonymous(2004)http://www.lin.go.id/detail.asp?

idartcl=210103KEST0001&by=topic, diakses Februari 2011

Anonymous(2004), http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg03334.html

diakses Februari 2011

Anonymous (2004), http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html, diakses Februari

2011

Page 38: kusta research

33

LAMPIRAN

Daftar lampiran:

1. Format kuesioner

2. Absensi penyuluhan

3. Materi Penyuluhan

4. Jadwal Kegiatan

5. Dokumentasi Kegiatan