Tugas Ujian Dr. Ae
-
Upload
randy-anindito -
Category
Documents
-
view
44 -
download
0
description
Transcript of Tugas Ujian Dr. Ae
BAB II
MARASMUS KWASHIORKOR
2.1 DEFINISI
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang
gejala klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan
oleh kurangnya asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh
kurangnya asupan protein sehingga gejalanya disertai edema.1
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi sebagai
"ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh
untuk menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi-fungsi khusus." Malnutrisi
protein-energi (KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan yang berhubungan seperti
marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Istilah marasmus berasal dari
kata Yunani “marasmos”, yang berarti layu atau kurang tenaga. Marasmus
berhubungan dengan asupan yang tidak memadai protein dan kalori dan ditandai oleh
kekurusan. Istilah kwashiorkor ini diambil dari bahasa Ga dari Ghana dan berarti
"penyakit dari penyapihan." Williams pertama kali menggunakan istilah pada tahun
1933, dan mengacu pada asupan protein yang tidak memadai dengan asupan kalori
dan energi yang wajar. Edema adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada
dalam marasmus.3
Studi menunjukkan bahwa marasmus merupakan respon adaptif/penyesuaian
terhadap kelaparan, sedangkan kwashiorkor merupakan respon maladaptive terhadap
kelaparan. Anak-anak mungkin datang dengan gambaran beragam antara marasmus
dan kwashiorkor, dan anak-anak dapat datang dengan bentuk yang lebih ringan dari
malnutrisi. Untuk alasan ini, Jelliffe menyarankan istilah malnutrisi protein-kalori
(energi) untuk menyatukan istilah dari keduanya.3
1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami
gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk
sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di
beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara
Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi
Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei
tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB gizi buruk di
propinsi NTB.4
2.3 ETIOLOGI
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa
faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain
faktor diet, faktor social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.2
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang
protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan
diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan
menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam penelitian yang
dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang
kurang-lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor,
sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus.
Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang
penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulknya gejala tersebut.2
B. Peranan faktor sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-
temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya
2
pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang
merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu didasarkan pada
keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut
berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan
dilakukan terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial
lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah2 :
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai
banyak anak dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah
tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak,
sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat member cukup
makan pada anggota keluarganya yang besar itu;
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya pada musim panen mereka pergi memotong padi para
pemilik sawah yang letak sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu
tersebut. Anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh
sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan
semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga
harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian,
bayi tersebut tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI
maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya.
C. Peranan kepadatan penduduk
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa
meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan
sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk merupakan
akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi
baik di samping kuantitasnya. 2
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah
yang banyak jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan
3
hygiene yang buruk, misalnya, di kota-kota dengan kemungkinan pertambahan
penduduk yang sangat cepat; sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam
jumlah yang banyak di desa-desa dengan penduduk yang mempunyai
kebiasaan untuk member makanan tambahan berupa tepung, terutama pada
anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 2
D. Peranan infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Indeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih
ringan, mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya
mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. 2
E. Peranan kemiskinan
Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama
merupakan problema bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara
tersebut. Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory
Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan
merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang terjadi bahwa petani miskin
harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,
lalu ia menjadi penggarap yang menurunkan lagi penghasilannya, atau ia
meninggalkan desa untuk mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan
yang tetap rendah, ketidakmampuan menanam bahan makanan sendiri,
ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan
tempat tinggal seperti telah diutarakan tadi, timbulnya gejala KEP lebih
dipercepat.2
2.4. PATOFISIOLOGI
Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada
kurangnya asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang kurang,
maka dilakukannya pengurangan energi dan aktifitas. Namun, meskipun ini
respon penyesuaian, deposit lemak dimoilisasi untuk memenuhi kebutuhan
4
energi yang sedang berlangsung meskipun rendah. Setelah deposit lemk habis,
katabolisme protein harus menyediakan substrat yang berkelanjutan untuk
menjaga metabolisme basal.
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak
mengalami edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak ada
faktor spesifik yang ditemukan, beberapa kemungkinan dapat dipikirkan.
Salah satu pemikiran adalah variabilitas antara bayi yang satu dengan yang
lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan komposisi cairan tubuh saat kekurangan
asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa pemberian
karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous KEP
membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah, sehingga
deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun,
sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver juga berkembang
secara sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih
dan mengurangi sintesis apoliprotein. Penyebab lain KEP edematous adalah
keracunan aflatoksin serta diare, gangguan fungsi ginjal dan penurunan
aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan radikal bebas telah diusulkan
sebagai faktor penting dalam munculnya KEP edematous. Kejadian ini
didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah akan metionin, suatu
precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis dari faktor antioksidan
major, glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh tingkat yang lebih
rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan
dibandingkan dengan non-edematous KEP. 1
2.5 KLASIFIKASI
1. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Jika tujuannya untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah, maka yang
diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan
persentasi gizi-kurang dan berat di daerah tersebut. Dengan demikian
pemerintah dapat menentukan prioritas tindakan yang harus diambilnya untuk
menurunkan insidensi KEP. Klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah
sebagai berikut :2
5
A. Klasifikasi menurut Gomez (1956)
Klasifikasi tersebut didasarkan atas berat badan individu dibandingkan
dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Sebagai
baku patokan dipakai persentil 50 baku Harvard (Stuart dan
Stevenson,1954). Gomez mengelompokkan KEP dalam KEP-ringan,
sedang, dan berat. Tabel di bawah memperlihatkan cara yang dilakukan
oleh Gomez.2
Klasifikasi KEP menurut Gomez
Derajat KEP Berat badan % dari baku*
0 (normal) ≥90%
1 (ringan) 89-75%
2 (sedang) 74-60%
3 (berat) <60%
*Baku = persentil 50 Harvard
B. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I.
Demi keseragaman dalam membuat rencana dan mengevaluasi
program-program pangan dan gizi serta kesehatan di Indonesia, maka
Lokakarya Antropometri Gizi Departemen Kesehatan R.I. yang diadakan
pada tahun 1975 membuat keputusan yang merupakan modifikasi
klasifikasi Gomez. Berbeda dengan penggolongan yang ditetapkan oleh
Gomez, lokakarya mengklasifikasikan status gizi dalam gizi lebih, gizi
baik, gizi kurang, dan gizi buruk. Tabel di bawah memperlihatkan batas-
batasnya :2
Klasifikasi KEP menurut Dep.kes. (1975)
Derajat KEP Berat badan % dari baku*
0 = normal
1 = gizi kurang
2 = gizi buruk
= / > 80 %
60 – 79 %
< 60 %
*Sebagai baku patokan dipakai persentik 50 Harvard
2. Klasifikasi menurut tipe (klasifikasi kualitatif)
6
Klasifikasi ini menggolongkan KEP dalam kelompok menurut tipenya : gizi –
kurang, marasmus, kwashiorkor, dan kwashiorkor marasmik.
A. Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust (FAO/WHO
Exp.Comm.,1971)
Cara Wellcome Trust dapat dipraktekkan dengan mudah, tidak diperlukan
penentuan gejala klinis maupun laboratoris, dan dapat dilakukan oleh
tenaga para medis setelah diberi latihan seperlunya. Untuk survei lapangan
guna menentukan prevalensi tipe-tipe KEP banyak gunanya. Akan tetapi
jika cara Wellcome Trust diterapkan pada penderita yang sudah beberapa
hari dirawat dan dapat pengobatan diet, maka adakalanya dapat dibuat
diagnosa yang salah. Seorang penderita dengan edema, kelainan kulit,
kelainan rambut, dan perubahan-perubahan lain yang khas bagi
kwashiorkor dengan berat badan lebih dari 60%, jika dirawat selama 1
minggu akan kehilangan edemanya dan beratnya dapat menurun dibawah
60% walaupun gejala klinisnya masih ada. Dengan berat dibawah 60% dan
tidak terdapatnya edema, penderita tersebut dengan klasifikasi Wellcome
Trust didiagnosia sebagai penderita marasmus. Tabel di bawah
menunjukkan klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust :2
Klasifikasi kualitatif KEP menurut Wellcome Trust
Berat badan % dari
baku*
Edema
Tidak ada Ada
> 60 % Gizi kurang Kwashiorkor
< 60 % Marasmus Kwashiorkor marasmic
* Baku = persentil 50 Harvard
B. Klasifikasi kualitatif menurut McLaren,dkk (1967)
McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut
tipenya. Gejala klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis,
perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama
dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Cara demikian
7
dikenal dengan scoring system McLaren dan tabel di bawah memperlihatkan
cara pemberian angka
Cara pemberian angka menurut McLaren
Gejala klinis/laboratoris Angka
Edema
Dermatosis
Edema disertai dermatosis
Perubahan pada rambut
Hepatomegali
3
2
6
1
1
7
6
5
4
3
2
1
0
Albumin seru atau protein total serum/g%
< 1.00 < 3.25
1.00 – 1.49 3.25 – 3.99
1.50 – 1.99 4.00 – 4.74
2.00 – 2.49 4.75 – 5.49
2.50 – 2.99 5.50 – 6.24
3.00 – 3.49 6.25 – 6.99
3.50 – 3.99 7.00 – 7.74
> 4.00 > 7.75
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap
penderita:
0-3 angka = marasmus
4-8 angka = marasmic-kwashiorkor
9-15 angka = kwashiorkor
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan
cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan
bantuan laboratorium.2
C. Klasifikasi KEP Menurut Waterlow (1973)
Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun.
Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan
gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering).
8
Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi
yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan
terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.2
Klasifikasi KEP menurut Waterlow
Derajat gangguan Stunting
(tinggi menurut umur)
Wasting
(berat terhadap tinggi)
0
1
2
3
> 95%
95 – 90 %
89 – 85 %
< 85 %
> 90 %
90 – 80 %
80 – 70 %
< 70 %
Lokakarya Antropometri Dep.Kes.R.I pada tahun 1975 memutuskan untuk
mengambil baku Harvard persentil 50 sebagai patokan dan
menggolongkannya sebagai berikut :
Bagi tinggi menurut umur
Tinggi normal : diatas 85 % Harvard persentil 50
Tinggi kurang : 70 – 84 % Harvard persentil 50
Tinggi sangat kurang : dibawah 0 % Harvard persentil 50
Bagi berat terhadap tinggi
Gizi baik : 90 % atau lebih dari Harvard persentil 50
Gizi kurang dan buruk : di bawah 90 % Harvard persentil 50
Beberapa cara membuat klasifikasi direncanakan sedemikian, hingga hanya
memerlukan alat-alat yang sederhana, tidak diperlukan untuk menkalkulir
hasilnya, tidak perlu mengetahui umur yang akan diperiksa, hingga dapat
dilakukan oleh tenaga paramedik atau sukarelawan setelah mendapat petunjuk
seperlunya.2
2.6. MANIFESTASI KLINIS
GEJALA KLINIS KEP
9
Gejala klinis KEP berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya
kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan yang
ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang, seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat. Keadaan KEP yang berat memberi gejala
yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya, fluktuasi musim,
keadaan sanitasi, kepadatan penduduk, dan sebagainya.2
A. Gejala klinis Kwashiorkor
10
Gambar 1. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor
Penampilan
11
Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby) bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di
bagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi.2
Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku Harvard
persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya
terutama jika KEP sudah berlangsung lama. 2
Perubahan Mental
Perubahan mental sangat mencolok. Pada umummnya mereka banyak
menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan
kelainan mental tersebut menandakan suksesnya pengobatan. 2
Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar
penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. 2
12
Gambar 2. Edema dan kelainan kulit pada kwashiorkor
Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring
terus-menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah
dapat berjalan. 2
Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia
yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga
adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung.
Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair dan
mengandung banyak asam laktak karena mengurangnya produksi lactase
dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula
oleh cacing dan parasit lain. 2
Perubahan rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture)
maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah rambut
yang mudah dicabut. Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat
terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang, dan berubah
warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat, kelabu,
maupun putih. Rambut alispun menunjukkan perubahan demikian, akan
tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru memanjang. 2
Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang
melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement
dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit
kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
13
menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang lambat-laun
menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagian-
bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag masih hitam. Bagian
tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan
yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan predileksi crazy
pavement dermatosis,seperti di punggung, pantat, sekitar vulva, dan
sebagainya. Perubahan kulit lainnya seperti kulit kering dengan garis
kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi.
Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechiae tanpa
trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita. 2
Pembesaran hati
Termasuk gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang batas hati
terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat diraba
dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaan yang lici dan pinggir
yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop
menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada
kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di
segi taga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hati yang
terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat perlemakan
terdapat pada hamper semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya
fibrosis dan nekrosis hati. 2
Anemia
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana
kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka
dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada kwashiorkor
bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik hipokrom,
makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada
kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang
mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folat, vitamin B12,
vitamin C, tembaga, insufisiensi hormone, dan sebagainya. Macam
anemia yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada
14
pemeriksaan sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel system
eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan
terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun. 2
Kelainan biokimiawi darah
Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak
dapat beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh
kekurangan protein maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan
biokimiawi dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor, misalnya:
o Albumin serum
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering
dianggap spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini, maka
McLarena member angka (skor) untuk membedakan kwashiorkor
dan marasmus. Lebih rendah kadar albumin serum, lebih tinggi
pemberian angkanya. 2
o Globulin serum
Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi
tidak sebanyak menurunnya albumin serum, hingga pada
kwashiorkor terdapat rasio albumin/globulin yang biasanya 2
menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang berat
ditemukan rasio yang terbalik. 2
o Kadar kolesterol serum
Pada penderita kwashiorkor, terutama yang berat, kadar kolesterol
darahnya rendah. Mungkin saja rendahnya kolesterol darah
disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang terdiri dari sayuran
hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya gangguan dalam
pembentukan kolesterol dalam tubuh. 2
o Tes thymol turbidity(derajat kekeruhan)
15
Merupakan tes fungsi hati. Penentuan terhadap 109 penderita
kwashiorkor member hasil sebagai berikut : pada 73 penderita
meninggi, sedangkan pada selebihnya tidak. Tidak ditemukan
korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan hati
maupun tingginya angka kematian, maka tes tersebut tidak
mempunyai nilai diagnosis maupun prognosis. 2
B. Gejala klinis Marasmus
Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai
pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan
penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat
berbagai penyakit lain, seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan
atau jantung, malabsorbsi, gangguan metabolic, penyakit ginjal menahun,
dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian ibu dan pengasuh yang
berlebihan sehingga anak dipaksa menghabiskan makanan yang disediakan,
walaupun jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan
anak kehilangan nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau
formula yang akan diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak
segala macam makanan hingga pertumbuhannya terganggu. 2
16
Gambar 3. Manifestasi klinis marasmus
Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua.
Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian
besar lemak dan otot-ototnya. 2
Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa
lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita
marasmus yang berat. 2
Kelainan pada kulit tubuh
Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan
banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya. 2
Kelainan pada rambut kepala
Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya
tampak rambut kering, tipis dan mudah rontok. 2
Lemak dibawah kulit
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. 2
Otot-otot
Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. 2
Saluran pencernaan
Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 2
Jantung
17
Tidak jarang terdapat bradikardi. 2
Tekanan darah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan
dengan anak sehat seumur. 2
Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan mengurang. 2
Sistem darah
Pada umummnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. 2
C. Gejala klinis Marasmus-Kwashiorkor
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, disamping menurunnya berat badan di bawah 60% dari
normal memperlihatkan gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. 2
18
Gambar 4. Manifestasi klinis Marasmus-Kwashiorkor
2.7. DIAGNOSIS
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada
kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau ada
gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor).
Walaupun kondisi klinis pada kwashiorkor, marasmus, dan marasmus
kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama.5,6
A. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor :
BB/TB > -3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB < -3SD)
19
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema. 5,6
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin
anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu
tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali jika ditemukan
penyakit lain yang berat. 5,6
B. Penilaian awal anak gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah
dan diare (encer/darah/lendir)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 5,6
Anamnesis lanjutan
Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratna ditangani:
Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
20
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit camapat dalam 3 bulang terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
Diketahi atau tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan fisik
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk)
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat,
nadi lemah dan cepat) kesadaran menurun.
Demam (suku aksilar ≥ 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)
Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
21
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites,
atau adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal
splash)
Tanda defisiensi vitamin A pada mata :
Gambar 5. Bercak Bitot pada mata
o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
Ulkus pada mulut
Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit
Lesi kulit pada kwashiorkor :
o Hipo- atau hiper- pigmentasi
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
22
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali dengan
infkesi sekunder (termasuk jamur)
Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)
Tanda dan gejala HIV
Catatan :
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk
memeriksa mata dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
Pemeriksaan laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan
anak sangat pucat5,6.
2.8. DIAGNOSIS BANDING
KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu
kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor sehingga perlu
dibedakan dari masing-masing gejala yang telah dijelaskan sebelumnya di
atas.
2.9. PENATALAKSANAAN
23
Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk
Pada saat masuk rumah sakit
Anak dipisahkan dari pasien infeksi
Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-30oC, bebas dari angin)
Dipantau secara rutin
Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera
keringkan.
Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:
Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)
Timbangan badan yang akurat
Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar
24
Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan
selama perawatan dapat dievaluasi
Keterlibatan orang tua
Gambar 7. Alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas
perawatan
Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana syok
pada anak dengan gizi buruk :
25
Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis
atau idak sadar.
Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda
syok.
Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus diberikan
Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat
darurat)
Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%) atau
Ringer Laktat atau Garam Normal – pastikan aliran infus berjalan
lancer. Bila gula darah tinggi maka berikan Ringer Laktat (tanpa
dekstrose) atau Garam Normal.
Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali
pemberian cairan dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill >3 detik):
o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit
o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):
o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal
10ml/kgBB/jam hingga 10 jam
o Mulai berikan anak makanan dengan F-75 (resep formula
modifikasi)
26
Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan rumatan
4ml/kgBB/jam dan pertimbangkan penyebab lain selain hipovolemik
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata
yang signifikan dan darah tersedia)
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih
tinggi.
Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak
meningkat 5 kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus
karena cairan infus dapar memperburuk kondisi anak. Alihkan ke terapi
oral atau menggunakan pipa nasogastrik dengan ReSoMal, 10
ml/kgBB/jam hingga 10 jam.6
Catatan pada saat memberikan penanganan gawat-darurat pada
anak dengan gizi buruk6
Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan diidentifikasi
sebagai anak dengan tanda prioritas, artinya mereka memerlukan
pemeriksaan dan penanganan segera.
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi
buruk dengan tanda kegawatdaruratan.
27
Gambar 8. Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan
Hal – hal penting yang harus diperhatikan :7
1. Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada fase
stabilisasi)
2. Jangan berikan cairan intravena kecuali syok atau dehidrasi berat.
3. Jangan berikan protein terlalu tinggi pada fase stabilisasi.
4. Jangan berikan diuretic pada penderita kwashiorkor.
Anak dengan tanda dehidrasi berat tapi tidak mengalami syok tidak
boleh dilakukan rehidrasi dengan infus. Hal ini karena diagnosis
dehidrasi berat pada anak dengan gizi buruk sulit dilakukan dan
sering terjadi salah diagnosis. Bila diinfus berarti menempatkan anak
ini dalam resiko over-hidrasi dan kematian karena gagal jantung.
Dengan demikian, anak ini harus diberi perawatan rehidrasi secara
oral (melalui mulut) dengan larutan rehidrasi khusus untuk gizi buruk
(ReSoMal). 6
28
Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau
tidak sadar). Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang biasa
terjadi pada anak syok mungkin timbul walaupun anak tidak
mengalami syok.
o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat dan
berikan cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.
o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan
berikan glukosa 10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa
nasogastrik dan lakukan segera penilaian menyeluruh dan
pengobatan lebih lanjut. 6
Catatan : ketika memberikan cairan infus untuk anak syok,
pemberian cairan infus tersebut berbeda dengan anak yang dalam
kondisi gizi baik. Syok yang terjadi karena dehidrasi dan sepsis
mungkin dapat terjadi secara bersamaan dan hal ini sulit untuk
dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan dehidrasi
memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infus (napas
dan denyut nadi lebih lambat, capillary refill lebih cepat). Anak yang
mengalami syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan memberikan
reaksi. Jumlah cairan yang diberikan harus melihat reaksi anak.
Hindari terjadi over-hidrasi. Pantau denyut nadi dan pernapasan pada
saat infus dimulai dari tiap 5-10 menit untuk melihat kondisi anak
mengalami perbaikan atau tidak. Ingat bahwa jumlah dan kecepatan
aliran cairan infus berbeda pada gizi buruk. 6
Semua anak dengan gizi buruk membutuhkan penilaian dan
pengobatan segera untuk mengatasi masalah serius seperti
hipoglikemi, hipotermi, infeksi berat, anemia berat dan kemungkinan
besar kebutaan pada mata. Penting juga melakukan pencegahan
timbulnya maslah tersebut bila belum terjadi pada saat anak dibawa
ke rumah sakit. 6
29
Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat
berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang
dilakukan berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting,
yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:7
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :
5ml/kgBB setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III,
dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
5ml/kgBB setiap pemberian
30
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
dengan berat badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7
31
Gambar 9. Bagan Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk7
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang
harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14),
32
faserehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26).
Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7
Gambar 10. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk7
A. Prinsip Dasar Pengobatan Gizi Buruk (10 Langkah utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Tanda-tanda hipoglikemi8 :
1. Hipoglikemi adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah yang
sangat rendah.
2. Anak gizi buruk, dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3
mmol/liter atau <54 mg/dl.
3. Hipoglikemia biasanya juga terjadi bersamaan dengan hipotermia.
33
4. Tanda lain hipoglikemia adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan
kesadaran.
5. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat dan pucat, sangat jarang
dijumpai pada anak gizi buruk.
6. Kematian karena hipoglikemia pada anak gizi buruk, kadang-kadang
hanya didahului dengan tanda seperti mengantuk saja.
7. Di unit pelayanan kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar
glukosa darah, setiap anak gizi buruk yang dating harus dianggap
mengalami hipoglikemia. Oleh jarena itu harus segera mendapatkan
perawatan dan penanganan sebagai penderita hipoglikemia.
Cara mengatasi hipoglikemia:8
1. Sadar (tidak letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%* secara
oral atau NGT (bolus) sebanyak 50ml
2. Tidak sadar (letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus) sebanyak 5
ml/kgBB
Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%
secara oral atau NGT (bolus) sebanyak 50 ml.
3. Renjatan(syok)
Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan
Dextrose/Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%)
sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam pertama atau 5 tetes/menit/kgBB
Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv) (bolus)
sebanyak 5ml/kgBB
*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml
Pemantauan6 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
34
Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
larutan glukosa atau gula 10%.
Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar
gula darah dan tangani sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).
Pencegahan6 :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika
perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-
3 jam siang malam.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Hipotermia8 :
1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <360C
2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan kejadian
hipoglikemia.
3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya merupakan
tanda dari adanya infeksi sistemik yang serius.
4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat pengobatan
untuk mengatasi hipoglikemia dan infeksi.
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu
memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan
menutup tubuhnya dengan penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat
penggunaan cadangan energi pada anak tersebut.
Suhu tubuh 36-370C 8
Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada
hiponatremia, cara untuk mempertahankan (pencegahan) agar tidak
hipotermia adalah :
1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
35
2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan
3. Petahankan suhu ruangan sekitar 25-300C.
4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan
pemeriksaan dan penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak
gizi buruk dalam keadaan hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air
kencing atau keringat atau sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera keringkan
dengan sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini untuk
menghindari ibu anak/pengasuh lupa membungkus botol dengan kain
akan menyebabkan kulit anak terbakar.
Suhu tubuh <360C (hipotermia)8
Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami hipotermia
adalah:
1. Bila suhu <360C harus dilakukan tindakan menghangati untuk
mengembalikan kembali suhu tubuh anak.
2. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara
“kanguru”, yaitu dengan mengadakan kontak langsung kulit ibu dan
kulit anak untuk memindahkan panas tubuh ibu kepada tubuh anak dan
anak digendong serta diselimuti seluruh tubuhnya.
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan
lampu. Lampu harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan bahwa
suhu tubuh anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.
Pemantauan6 :
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi
36,50C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah
jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,50C.
2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari.
36
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Diagnosis6
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada
anak dengan gizi buruk hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak
gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap
dehidrasi ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana6
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi berat
dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10
jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume
tinja yang keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan
yang lebih tepat adalah ReSoMal.
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia <1th:
50-100ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 thL 100-200ml setiap
buang air besar.
Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
37
Bahan Jumlah
Oralit WHO*
Gula pasir
Larutan mineral-mix**
Ditambah air sampai menjadi
1 sachet (200ml)
10 gr
8 ml
400
*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g glukosa
dalam 1L
**Lihat resep larutan mineral mix
Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat
dibuat larutan sebagai berikut:
Bahan Jumlah
Oralit
Gula pasir
Bubuk Kcl
Ditambah air sampai menjadi
1 sachet (200ml)
10 g
0,8 g
400 ml
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka
dapat diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat
pula diberikan MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml.kgBB,
maksimum 2 ml/hari.
Larutan Mineral-mix
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan dengan
menggunakan bahan berikut ini :
Bahan Jumlah (g)
Kalium klorida (KCL)
Tripotassium citrate
Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O)
Seng asetat (Zn asetat, 2H2O)
Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O)
Air tambahkan menjadi
89,5
32,4
30,5
3,3
0,56
1000 ml
38
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam
berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat
berbahaya dan bias mengakibatkan gagal jantung dan kematian.6
Periksalah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
Frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan
fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda
membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak
memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian
cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.6
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering
terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.9
39
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema
(jangan obati edema dengan pemberian diuretikum)9
Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg
KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2
/kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut
pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran
6 untuk cara pembuatan larutan).9
Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya
infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.9
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah
diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan
gizi anak menjadi baik.9
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7
hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat
perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan
infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.9
40
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Bila tanpa komplikasi:
Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5 hari
(2,5 ml bila berat badan < 4 Kg)
Atau Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
o Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari,
dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8
jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50
mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.
Dan
Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan
kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk
malaria positif.9
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.
Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk
lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah
vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.9
Langkah Ke-6: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),
tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik
(biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat
memperburuk keadaan infeksinya.9
Berikan setiap hari:
41
- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah
mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala
defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi. 9
Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar
tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan ≥ 50
g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan
untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang
dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak.9
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari
formula khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per
100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9
gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan
keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein
yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi:
• frekwensi nafas
• frekwensi denyut nadi
42
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit
dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian
formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.9
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.9
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Evaluasi kenaikan BB setiap minggu
Bila kenaikan BB:
- kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :
cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat
diatasi.
- Baik (≥ 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan
Resep formula WHO F-75 dan F-1006
Bahan makanan Per 1000 ml F-75F-75
(=sereal)F-100
Susu krim bubuk
Gula pasir
Tepung beras/maizena
Minyak sayur
Larutan elektrolit
Tambahan air s/d
gram
gram
gram
gram
ml
ml
25
100
-
27
20
1000
25
70
35
27
20
1000
85
50
-
60
20
1000
Nilai gizi/1000ml
Energi Kkal 750 750 1000
43
Protein
Laktosa
Kalium
Natrium
Magnesium
Seng
Tembaga
% energi protein
% energi lemak
Osmolaritas
gram
gram
mmol
mmol
mmol
mg
mg
-
-
mOsm/l
9
13
40
6
4.3
20
2.5
5
32
413
11
13
42
6
4.6
20
2.5
6
32
334
29
42
63
19
7.3
23
2.5
12
53
419
Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.9
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan
dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk
memenuhi metabolisme basal.9
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip
44
tersebut di atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan
cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.9
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1
hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80
Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri
makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.9
Pantau dan catat :
- Jumlah yang diberikan dan sisanya
- Muntah
- Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja
- BB (harian)
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan
dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.9
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan:9
Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U,
dapat dikatakan anak sembuh.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan
dirumah setelah penderita dipulangkan.9
45
Peragakan kepada orangtua :
- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien
yang padat
- terapi bermain terstruktur.
Sarankan:
- Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
Þ bulan I : 1x/minggu
Þ bulan II : 1x/2 minggu
Þ bulan III : 1x/bulan
- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.
B. Pengobatan Penyakit Penyerta
1. Masalah pada mata
Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal
seperti di bawah ini6 :
Gejala Tindakan
Hanya bercak
Bitot saja (tidak
ada gejala mata
yang lain)
Tidak memerlukan obat tetes mata
Nanah atau
peradangan
Beri tetes mata kloramfenikol atau tetrasiklin
(1%)
Kekeruhan pada
kornea
Ulkus pada
kornea
Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau
tetes tetrasiklin (1%); 1 tetes, 4x sehari,
selama 7-10 hari
Tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x sehari,
46
selama 3-5 hari.
Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata tersebut
dapat diberikan secara bersamaan
Jangan menggunakan sediaan yang berbentuk salep.
Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi larutan garam
normal.
Gantilah kasa setiap hari.
Beri vitamin A
Umur Dosis
< 6 bulan
6 – 12 bulan
1-5 tahun
50.000 (1/2 kapsul biru)
100.000 ( 1 kapsul biru)
200.000 (1 kapsul merah)
Bila ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit
campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis
sesuai umur pada hari ke 1,2, dan 15.6
Catatan :
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga
selalu menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata dengan
hati-hati untuk menghindari rupture kornea.6
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan jika:
Hb < 4 g/dl
Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda
gagal jantung.
Pada anak gizi burukm transfuse harus diberikan secara lebih
lambat dan dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri :
Darah utuk (whole blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama
3 jam,
Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.
Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah
merah (packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor
47
mengalami redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang
nyata dan tidak membutuhkan transfuse. Hentikan semua
pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak ditransfusi.5,6
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama
transfuse. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat
5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat transfuse.5,6
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfuse, jangan ulangi
transfuse dalam 4 hari. 5,6
3. Lesi kulit pada kwashiorkor
Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan kwashiorkor
dan kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian
suplementasi seng. 5,6
Sebagai tambahan:
Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganate
PK; KMnO4) 0,01% selama 10menit/hari.
Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada
daerah yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia,
salep nistatin) pada lesi kulit yang pecah-pecah.
Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum
tetap kering. 5,6
4. Diare persisten
Tatalaksana
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas specimen
feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri
Metronidazol 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana
intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini
menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75
sudah merupakan formula rendah laktosa. 5,6
48
Pada kasus tertentu :
Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa.
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu
diberikan kembali secara bertahap.
Diare osmotic
Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada
pemberian F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika
kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. 5,6
Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia
dengan osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.
5. Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6
Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)
Foto thoraks, bila mungkin
Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan TB
pada anak
C. Pemulangan dan tindak lanjut
Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak
telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak
berperwakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus
tetap dilanjutkan di rumah.5,6
Berikan contoh kepada orang tua: 5,6
Menu dan cara membuat makanan kaya energia dan padat dizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
Sarankan:
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
Mengikuti program pemberian vitamin A
Pemulangan sebelum sembuh total
49
Anak-anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.
Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan
lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk
mencegah kekambuhan. 5,6
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil :
Anak seharusnya : 5,6
Telah menyelesaikan pengobatan antibiotic
Mempunyai nafsu makan yang baik
Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang
Ibu atau pengasuh seharusnya : 5,6
Mempunyai waktu untuk mengasuh anak
Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,
jumlah dan frekuensi)
Mempunyai sumber daya untuk member makan anak. Jika tidak mungkin,
nasihati tentang dukungan yang tersedia.
Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah. Hal
ini mencakup: 5,6
Pemberian makanan seimbang dengan bahan local yang terjangkau.
Pemberian maknan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan
(snacks) tinggi kalori di antara waktu makan (misalnya susu,pisang,roti,
biscuit).
Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.
Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat
dicek.
Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.
ASI diteruskan sebagai tambahan.
Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebeblum sembuh
Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai
anak sembuh:
Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local
untuk melakukan supervise dan pendampingan.
50
Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit. 5,6
2.9. KOMPLIKASI
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki
komplikasi-komplikasi yaitu :
Perkembangan mental
Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa
dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan
akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya
otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan
sintesis protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal
namun dengan ukuran yang lebih kecil. Dari hasil penelitian Karyadi
(1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita KEP bahwa terdapat
deifisit IQ pada anak-anak tersebut, deficit tersebut meningkat pada
penderita KEP lebih dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang
abnormal mencapai 30 persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu
meningkat hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2
Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut
yang bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan dagu,
biasanya disertai nekrosis sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan
lokasi noma tersebut. Noma merupakan salah satu penyakit yang
menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang menurun, noma timbul
umumnya pada tipe kwashiorkor. 2
Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat
defisiensi dari vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun dapat
juga terjadi pada marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada penderita
KEP berat karena ditakutkan akan mengalami kebutaan.2
51
Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya
penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa
paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula
ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat dimengerti
mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya tahan tubuh pada
penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai dengan infeksi,
sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.2
2.10. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi
KEP dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan tetapi tujuan
yang lebih luas dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik
dan perkembangan mental anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan
manusia Indonesia yang dapat bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang
cukup. Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk
mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KEP (Austin, 1981),
yaitu :2
Meningkatkan hasil produksi pertanian, agar persediaan bahan makanan
menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan
rakyat.
Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi
energi untuk anak-anak yang disapih.
Memperbaiki infrastruktur pemasarna.
Subsidi harga bahan makanan.
Pemberian makanan suplementer.
Pendidikan gizi yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat untuk mengubah
kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara
menghidangkan makanan agar menghasilkan makanan yang bermutu.
Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
52
o Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ke
Pusksesmas, Posyandu.
o Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang
memiliki prevalensi yang tinggi.
o Memperbaikin higienitas lingkungan.
o Mendidik rakyat untuk mengunjungi Puskesmas secepatnya jika
kesehatan terganggu.
o Menganjurkan keluarga berencana.
2.11. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari
penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi
prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara tepat
dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit
infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan
terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan
malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan
psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut
umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya
akan cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna
dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan
penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak
yang pernah mengalami kondisi marasmus in cenderung lebih lambat,
terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan
pertambahanan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi
anak berada dalam batas yang normal.
53
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
54
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
55
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2
didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi
tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali
seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk :
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia
Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
OAT sisipan • HRZE
Kategori anak • 2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu
selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6 bulan
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru TB Paru BTA Positif.
56
• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif
• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap
hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama
pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati,
yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3. OAT Sisipan (HRZE)1
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1
atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak
masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg: 1 tablet
Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500mg, 3 tablet
Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1
dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
Obat Dosis (mg/Kg
Dosis yg dianjurkan DosisMaks
Dosis mg/KgBB
Harian Intermitte <40 40-60 >60
57
BB/hr)
(mg/KgBB/hr)
n (mg/KgBB/kali) (mg)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 35 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000Sesuai
BB750 1000
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini pada
dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi
2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-
FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk
kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap
dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan
meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa
memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannyadan lebih
murah pembiayaannya.3
Tabel 3. Jenis OAT FDC2
Fase Intensif Fase Intensif
2 bulan 4 bulanBB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE150/75/400/275
RHZ150/75/400
RHZ150/150/500
RH150/75
RH150/150
30-37 2 2 2 2 258
38-5455-70>71
345
345
345
345
345
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas
yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva
pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan
sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit sekali
mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu
denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi
misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga, BTA
BTA (+)
59
tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan
/keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk (BB/U <
60%)
Demam tanpa
sebab jelas
> 2 minggu
(jelas)
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
coli, aksila,
inginal,
> 1cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
Ada
pembengkakan
Foto toraks Normal / tidak
jelas
Kesan TB
Catatan:
Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter
Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat pasien datang
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
60
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis sebagai TB
anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :
Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan
serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.
Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan CT-
Scan.
Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada
tahap intensif diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat
H dan R. Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Isoniazid (H) 5-15* 300
Rifampisisn ** (R) 10-20 600
61
Pyrazinamide (z) 15-40 2000
Streptomisin (S) 15-40 1000
Catatan:
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik
melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam
setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu
tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan pirazinamid 150 mg.
Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R75 4 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah (chewable), atau
dilarutkan dalam air (dispersable).
62
2.2 Efek Samping OAT : 5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT
dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis
dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadi lupus
ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling
sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati
(hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat
dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang
disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas 63
terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera
dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis hepatoselular.
Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun,
sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun,
dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada
pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa pascapersalinan.
Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian
obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar
dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar sebesar
300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien dengan
keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia.
Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi
piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis
serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi
hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap
piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi
piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan metabolisme
fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin1, 3, 6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata
dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
64
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat
menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering menyebabkan
proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu, rifampin
menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia
dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt
menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4)
yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin,
beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase
nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua
obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan
demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan
nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik
ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),
General
65
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua
penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat
mencetuskan artritis pirai akut.
Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan dengan
dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk mual, muntah
dan anoreksia juga telah dilaporkan.
Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi dari
eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini.
Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas termasuk
ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat,
fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol 4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering
terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan
buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis
25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang,
gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur
sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif
dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman
penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Ocular
66
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan
(termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau
retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6
Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat
reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara 18%
pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per
hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan
pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang dilaporkan, dengan
toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak
berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval
antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan.
Manifestasi gangguan setelah 12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi.
Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien
yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan
penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan
ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman penglihatan
dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15
mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan
pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari
nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan
pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor predisposisi termasuk
67
penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat
penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat
reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang
irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan
renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi dari terjadinya
gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66% pasien yang menerima terapi
dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout
arthritis setelah 1 sampai 2 bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak
obat dihentikan.
Hepatic
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan asimptomatik dari
LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT,
biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan
ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat
dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol
Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi
hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif),
lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis. Reaksi hipersensitifitas
ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia.
Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan
terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.
Hematology
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.
Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa
eosinofilia
68
Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa
berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan
terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek
samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta kesemutan pada
ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi
gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial
nephritis.
5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas
lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih
tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara
bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba
laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat
memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas dapat
bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya menimbulkan
tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan
hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam
69
serum atau penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas
seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin,
kanamisin dan amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan
gentamisin paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling
bersifat nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip
kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis
tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan segera)
atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas
terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang lama dengan obat ini,
baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis)
maupun pada petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang
berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling
serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa vertigo dan
hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung
dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular
dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah.
Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada kasus
ini relatif dikontraindikasikan.
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2
Efek Samping Kemungkinan Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin Obat diminum malam
sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
70
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan ObatGatal dan kemerahan
pada kulitSemua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketatTuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang
dan boleh diberikanhepatoprotektor
Muntah dan confusion(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan
purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada sebagian
pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT.
Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat,
pasien perlu dirujuk.
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek samping
obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
71
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai prinsip dechallenge-rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang
dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi
hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi
tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling
ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka
pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin dapat
mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan rifampisin dapat
mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis.
Sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat
regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
72
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB,
semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB sangat berat dan
diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB, regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal dan
gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin obat anti-
TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya
2 minggu setelah menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum
memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah
parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu.
Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir
yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan
rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan
hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap pemberian kembali
dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.
Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan 2
bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan
ethambutol
Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide dan
ethambutol dapat dipertimbangkan.
73
Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total terapi
dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total
18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal, terutama
jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB menggunakan tablet FDC yang
terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan
diatas. Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara
terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas
telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik
tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan
isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis menghilang, ulangi
kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan
2 bulan dari permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase
lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang,
ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi lanjutan.
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th
Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-232.
2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.
3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 25 November 2012 dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a0101
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
5. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management of the Child
with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for Care at the First-Refferal
Level in Developing Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.
Hal : 80-91.
6. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman
Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan
WHO. 2009. Hal : 193-221.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2011.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2011.
9. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 30 November 2012 dari :
http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml
10. DEPKES RI, 2010, Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.Jakarta
11. WHO,2010,Guidelines for the treatment of Tuberculosis Fourth edition.Geneva
75
12. Dahlan, Z. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan. Cermin
Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
13. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal.
14. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik Edisi 4. EGC. Jakarta.
15. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article. Hong Kong Med J Vol
12 No 1 February 2006.
16. DEPKES RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi.
76