Tugas Referat Patologi Anatomi

34
TUGAS REFERAT PATOLOGI ANATOMI BLOK RESPIRATORY EMFISEMA PARU Dessriya Ambar R. G1A010086 Oleh: Kelompok 35 Rasyid Luhur G1A012107 Ratna Ernita G1A012060 Regina Wahyu A. G1A012069 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

description

df

Transcript of Tugas Referat Patologi Anatomi

Page 1: Tugas Referat Patologi Anatomi

TUGAS REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK RESPIRATORY

EMFISEMA PARU

Dessriya Ambar R.

G1A010086

Oleh:

Kelompok 35

Rasyid Luhur G1A012107

Ratna Ernita G1A012060

Regina Wahyu A. G1A012069

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2014

Page 2: Tugas Referat Patologi Anatomi

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS REFERAT PATOLOGI ANATOMI

EMFISEMA PARU

BLOK RESPIRATORY

Oleh:

KelompoK 35

Rasyid Luhur G1A012107

Ratna Ernita G1A012060

Regina Wahyu A. G1A012069

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian identifikasi laboratorium

Patologi Anatomi blok Endokrin dan Metabolisme pada Jurusan Kedokteran, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Diterima dan disahkan,

Purwokerto, 24 Maret 2014

Asisten,

Dessriya Ambar R.

G1A010086

1

Page 3: Tugas Referat Patologi Anatomi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN 1

DAFTAR ISI 2

KATA PENGANTAR 3

I. PENDAHULUAN 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi 5

B. Etiologi 5

C. Epidemiologi 5

D. Faktor resiko 6

E. Tanda dan gejala 8

F. Penegakan diagnosis 8

G. Patogenesis 10

H. Patofisiologis 12

I. Gambaran histopatologis 14

J. Penatalaksanaan 14

K. Komplikasi 18

L. Prognosis 18

III. KESIMPULAN 19

DAFTAR PUSTAKA 20

2

Page 4: Tugas Referat Patologi Anatomi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mem-

berikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat

Hipoparatiroid ini.

Referat ini merupakan salah satu penunjang mata kuliah dan praktikum Patologi

Anatomi pada Blok Respiratory Jurusan Kedokteran. Di dalam referat ini disajikan

bahasan mengenai emfisema paru secara lengkap, mulai dari definisi, etiologi, pato-

genesis dan patofisiologi, tanda dan gejala, penegakan diagnosis, penatalaksanaan,

hingga komplikasi dan prognosisnya.

Penyusunan dan penyelesaian referat ini tidak terlepas dari bantuan banyak pi-

hak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu penulis

mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dosen Patologi Anatomi Jurusan Kedokteran Unsoed;

2. Asisten Praktikum dan juga Pembimbing Referat;

3. Seluruh pihak lain yang telah membantu secara langsung maupun tidak

langsung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan padareferat ini, baik dari materi

maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman

penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Purwokerto, 24 Maret 2014

Penulis

3

Page 5: Tugas Referat Patologi Anatomi

I. PENDAHULUAN

Organ-organ pernapasan merupakan organ-organ yang sangat penting bagi

manusia. Organ-organ pada sistem pernapasan terbagi menjadi sistem pernapasan atas

dan organ sistem pernapasan bawah. Organ sistem pernapsan atas terdiri dari hidung

dan faring. Sedangkan organ-organ sistem pernapasan bawah terdiri dari laring,

trakea, bronkus, bronkeolus, dan pulmo. Sistem pernapasan secara umum berfungsi

sabagai alat respirasi, ventilasi udara, keseimbangan asam basa, dan alat proteksi

tubuh melalui mukosa dan silia yang berada di sepanjang jalan pernapasan atas

khususnya. Respiratory track juga dibagi menjadi area konduktoria dan area

respiratoria. Area konduktoria merupakan area dimana tidak terjadinya pertukaran gas

antara oksigen dan karbondioksida. Area itu hanya bertugas untuk mengahatarkan

udara dari luar ke dalam paru. Yang termasuk ke dalam area konduktoria adalah

hidung, faring, laring, trakea, bronkus, sampai bronkiolus terminalis. Sedangkan area

respiratoria merupakan area dimana sudah terjadinya pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida. Yang termasuk area respiratoria adalah duktus alveolar, saccus

alveolar, dan alveoli (Sherwood, 2012).

Pada emfisema paru yang mengalami kelainan merupakan bronkiolus

terminalis dan alveolus paru dimana itu merupakan akhir area konduktoria dan area

respiratoria pada sistem pernapasan. Emfisema ini merupakan salah satu jenis

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang menyebabkan penyempitan jalan

napas sehingga mengurangi elastisitas paru. Pada emfisema terdapat pelebaran

bronkiolus terminalis bagian distal dan ruskanya dinding alveoli serta tanpa fibrosis.

Emfisema ini bersifat permanen dan ireversibel (Kamangar, 2010).

4

Page 6: Tugas Referat Patologi Anatomi

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Emfisema adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Emfisema

didefinisikan secara patologis sebagai suatu keadaan abnormal yang bersifat

permanen, dimana terdapat pembesaran pada rongga udara pada bagian distal dari

bronkiolus terminalis, disertai dengan rusaknya dinding alveoli dan tanpa fibrosis

yang jelas. Emfisema sering kali dihubungkan dengan kejadian bronchitis kronis. The

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines

mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan

yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal

pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya

(Kamangar, 2010).

B. Etiologi

Merokok sejauh ini adalah suatu faktor lingkungan sekaligus faktor resiko

penyebab emfisema. Satu dari lima orang yang merokok diketahui menderita PPOK,

dan sekitar 80-90% dari pasien PPOK mempunyai riwayat merokok. Faktor genetik

mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetik diataranya adalah atopi

yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E

(IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada

keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin. Sindrom defisiensi imun seperti

yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus(HIV) juga ditemukan

merupakan salah satu penyebab penyakit PPOK (Kamangar, 2010).

C. Epidemiologi

Penduduk di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.

Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat

menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 %

wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan

penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi

PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di

Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru (Soemantri, 2009 ; Anonim,

5

Page 7: Tugas Referat Patologi Anatomi

2011).

Tidak ada data yang akurat mengenai kekerapan PPOK di Indonesia. Pada

Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema

menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab

kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,

bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab

tersering kematian di Indonesia.

D. Faktor resiko

Faktor resiko yang emfisema paru ini diantaranya adalah:

1. Merokok

Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United

States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama

mortalitas bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1),

terjadi penurunanmendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada

intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan

intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK

seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di

kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan

pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat

akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily,

2011).

PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali

merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status

terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang

merokok mengalami penurunan pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90%

perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010).

Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi

sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan

penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak

dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak.

6

Page 8: Tugas Referat Patologi Anatomi

Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat menyebabkan

penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa gestasi.

2. Hiperesponsif saluran pernafasan

Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema

adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor

genetik dan lingkungan. Sementara British hypothesis menyatakan bahwa

asma dan PPOK merupakan dua kondisi yang berbeda; asma diakibatkan

reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang

terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon

saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa

peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan

bagi penurunan fungsi paru (Reily, 2011).

Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih

belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada

remodeling salur nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi

pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).

3. Infeksi saluran pernafasan

Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk

perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa

infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor

predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah

penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran

nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa

dibuktikan (Reily, 2011).

4. Pemaparan akibat pekerjaan

Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran

nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama

bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan perusahaan

penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk mengalami obstruksi

saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula, FEV 1,

FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital

capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini

terjadi seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan

7

Page 9: Tugas Referat Patologi Anatomi

emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas

yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah

kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, 2011).

5. Polusi udara

Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran

pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang

berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun

demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa

dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran

biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK

pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah

faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, 2011).

6. Faktor genetik

Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko

untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi

α1-antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-

antitrips in merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja

menginhibisi neutrophil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat

menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok

dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).

E. Tanda dan gejala

Pada awal penyakit emfisema tidak memberi gejala sampai 1/3 parenkim

paru tidak mampu berfungsi. Pada penyakit selanjutnya, pada awalnya ditandai oleh

sesak napas. Gejala lain adalah batuk, whezeeng, berat badan menurun. Tanda klasik

dari emfisema adalah dada seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak

napas disertai ekspirasi memanjang karena  terjadi pelebaran rongga alveoli lebih

banyak dan kapasitas difus gas rendah (Mangunnegoro,2003).

F. Penegakan diagnosis

Diagnosis emfisema adalah berdasarkan pada gejala atau keluhan yang

didapat dari anamnesis, tanda-tanda yang didapat dari pemeriksaan fisik, dan

8

Page 10: Tugas Referat Patologi Anatomi

pemeriksaan penunjang. Pada emfisema paru keluhan utama adalah sesak nafas,

batuk berdahak tidak begitu mencolok, kadang-kadang disertai sedikit sputum

mukoid.

1. Anamnesa :

a. Riwayat menghirup rokok.

b. Riwayat terpajan zat kimia.

c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi salu-

ran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

e. Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan membu-

ruk dalam beberapa tahun

f. Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak

terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya

2. Pemeriksaan Fisik :

a. Inspeksi :

1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).

2) Dada berbentuk barrel-chest.

3) Sela iga melebar.

4) Sternum menonjol.

5) Retraksi intercostal saat inspirasi.

6) Penggunaan otot bantu pernapasan.

b. Palpasi : vokal fremitus melemah.

c. Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil,

letak diafragma rendah.

d. Auskultasi :

1) Suara nafas vesikuler normal atau melemah.

2) Terdapat ronki samar-samar.

3) Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.

4) Ekspirasi memanjang.

5) Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan

terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III

9

Page 11: Tugas Referat Patologi Anatomi

3. Pemeriksan Penunjang :

a. Faal Paru

1) Spinometri (VEP, KVP).

a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF

dan VR meningkat.

b) VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk meni-

lai beratnya dan perjalanan penyakit.

2) Uji bronkodilator

a) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20

menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1

b. Darah Rutin

1) Hb

2) Ht

3) Leukosit

c. Gambaran Radiologis

Pada emfisema terlihat gambaran :

1) Diafragma letak rendah dan datar.

2) Ruang retrosternal melebar.

3) Gambaran vaskuler berkurang.

4) Jantung tampak sempit memanjang.

5) Pembuluh darah perifer mengecil

d. Pemeriksaan Analisis Gas Darah

Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alve-

oli (6).

e. Pemeriksaan EKG

Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi

pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

f. Pemeriksaan Enzimatik

Kadar alfa-1-antitripsin(AAT) rendah.

10

Page 12: Tugas Referat Patologi Anatomi

G. Patogenesis

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru, yaitu

penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang.

Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin.

Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik

yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru, dengan

demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim

proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik

elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan (Soemantri, 2009).

Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic

paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber anti elastase

yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini

menyebabkan elastase bertambah banyak, sedang aktifitas sistem anti elastase

menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti

tripsin (alfa -1 globulin), akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara

elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan

menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi

keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang

disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan

yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru (Soemantri, 2009).

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang

menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah

paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih

cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta

dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang

tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan

ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara

pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga

timbul hipoksia dan sesak nafas (Soemantri, 2009).

11

Page 13: Tugas Referat Patologi Anatomi

Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien

emfisema, yaitu (Rubin E., 2007) :

1. Hilangnya elastisitas paru-paru

Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan

saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai

akibatnya, kanntung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas

kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak

dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.

2. Hiperinflasi paru-paru

Pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali

ke posisi istirahat normal selama ekspirasi.

3. Terbentuknya bullae

Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk

membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara di antara parenkim

paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.

4. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap

Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan

positif intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.

H. Patofisiologis

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai

perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat

menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru (Brasher,

2007).

Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari

obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana

pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada

pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang

bertambah di sebelah distal dari alveolus. Pada emfisema obstruksi kongenital

bagian paru yang paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini

12

Page 14: Tugas Referat Patologi Anatomi

diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian (Brasher, 2007).

Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di

dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan

penyesuaian diri yang berlebihan. Selain itu dapat juga disebabkan stenosis

bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang.

Penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru

(Brasher, 2007).

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan

elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan

antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan

intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan

paru ke dalam yaitu elastisitas paru (Muttaqin, 2008).

Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-).

Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap

rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim

paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan

timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga

timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus (Muttaqin, 2008).

Partikel asap rokok dan polusi udara mengendap pada lapisan mukus

yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia.

Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang sehingga iritasi pada sel

epitel mukosa meningkat, hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.

Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan

iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta

pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan

pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi

saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus

yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli (Muttaqin, 2008).

13

Page 15: Tugas Referat Patologi Anatomi

I. Gambaran histopatologis

Gambar 1. Emfisema, tampak paru sangat mengembang dan rongga alveolar tampak sangat luas dengan septum yang ruptur (Takami, 2008)

Secara mikroskopik tampak rongga-rongga alveoli melebar penuh

berisi udara dan septanya ruptur atau sangat tipis, sebagian bergabung menjadi

satu gelembung yang besar. Dan pada bedah mayat akan tampak paru

mengandung gelembung/bula berisi udara (Takami, 2008).

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :

1. Non Medikamentosa

a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita

Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mence-

tuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit.

Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan (Doenges,

2006).

b. Menghindari rokok dan zat inhalasi

Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk per-

jalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu

zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari karena zat itu

menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit (Do-

enges, 2006).

14

Page 16: Tugas Referat Patologi Anatomi

c. Menghindari infeksi saluran nafas

Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena

dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit (Doenges,

2006).

d. Latihan fisik

Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan

kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas berat. Latihan fisik

yang biasa dilakukan adalah secara perlahan memutar kepala ke

kanan dan ke kiri. Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan

membungkuk ke depan lalu ke belakang. Mengayun tangan ke

depan dan ke belakang dan membungkuk. Gerakan tangan

melingkar dan gerakan menekuk tangan. Latihan dilakukan 15-30

menit selama 4-7 hari per minggu. Dapat juga dilakukan olah raga

ringan naik turun tangga (Muttaqin, 2008).

e. Rehabilitasi

Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang

cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan

rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita

melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya.

Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam

melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur (Muttaqin, 2008).

f. Fisioterapi

Penerapan fisioterapi (Muttaqin, 2008) :

1) Postural Drainase

Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat aku-

mulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai po-

sisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravi-

tasi.

15

Page 17: Tugas Referat Patologi Anatomi

Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul

dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan

meningkatkan efisiensi mekanisme batuk.

2) Breathing Exercises

Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan

mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir

dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah

tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki

ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.

Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli,

menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi

batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi

otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara

pergerakan dada.

3) Latihan Relaksasi

Secara individual penderita sering tampak cemas, takut

karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam

keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang

paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.

2. Medikamentosa

a. Bronkodilator

1) Derivat Xantin

Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada

emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase

sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat

dipertahankan pada kadar yang tinggi.

2) Gol 2 Agonis

Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta

berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting

16

Page 18: Tugas Referat Patologi Anatomi

yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan

bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif.

Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin,

metaproterenol dan albuterol.

3) Antikolinergik

Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik

sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian

pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi

terhambat. Contoh obat antikolinergik adalah Ipratropium

bromida diberikan dalam bentuk inhalasi.

4) Kortikosteroid

Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan

napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah

penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan

bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah

dexametason, prednison dan prednisolon (Djojodibroto, 2009).

b. Ekspektoran dan Mukolitik

Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan

yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru.

Ekspektoran dan mukolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin

dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.

Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek

antioksidan yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang

disebabkan oleh oksidan (Djojodibroto, 2009).

c. Antibiotik

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru

obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut

maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan

infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan

penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya

17

Page 19: Tugas Referat Patologi Anatomi

eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin,

eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari.

Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu

dilakukan pemeriksaan mikroorganisme (Djojodibroto, 2009).

d. Terapi oksigen

Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg.

Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus

menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi

beban kerja (Doenges, 2006).

K. Komplikasi

Komplikasi emfisema paru adalah sebagai berikut (Whaley, 2006) :

1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

2. Daya tahan tubuh kurang sempurna

3. Proses peradangan yang kronis di saluran napas

4. Tingkat kerusakan paru makin parah

5. Pneumonia

6. Atelektasis

7. Pneumothoraks

L. Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada

umur dan gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur kurang dari 50

tahun dengan sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.

Sesak sedang 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan

meninggal (Somantri, 2008).

18

Page 20: Tugas Referat Patologi Anatomi

III. KESIMPULAN

1. Emfisema merupakan salah satu jenis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik

yang yang menyebabkan penyempitan jalan napas sehingga mengurangi

elastisitas paru.

2. Merokok merupakan salah satu faktor resiko terbesar dari emfisema paru.

3. Tanda emfisema pada awalnya ditandai oleh sesak napas. Gejala lain adalah

batuk, whezeeng, berat badan menurun. Tanda klasik dari emfisema adalah dada

seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi

memanjang karena  terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan kapasitas

difus gas rendah.

4. Penatalaksanaan emfisema adalah dengan menghindari faktor-faktor

resiko seperti merokok, fisioterapi, dan meminum obat bronkodilator serta

mukolitik ekspektoran.

5. Emfisema dapat menyebabkan beberapa komplikasi lain di sistem

pernapasan maupun imunitas.

6. Prognosis emfisema baik jangka pendek maupun jangka panjang

tergantung pada umur dan gejala klinis saat berobat.

19

Page 21: Tugas Referat Patologi Anatomi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2011. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 3. Jakarta: FK UI.

Boat. T.F, Emfisema and Full Air Fluid, In : Behrman R.E, et.al. (ed), 2009, Nelson Textbook

of pediatrics, fourteenth edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Brasher, L. Valentina. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC.

Kamangar N, 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease, eMedicine Pulmonology.

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. (Diakses

23 Maret 2014)

Mangunnegoro H. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) di Indonesia . Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Jakarta

Muttaqin, Arif. 2008. Askep Dengan Gangguan Sistem Nafas. Jakarta : Salemba

Medika.

Reilly J.J., Jr. , Silverman E.K., Shapiro S.D., 2011. Chronic Obstructiven Pulmonary

Disease. In: Fauci et al, ed. Harisson’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed.

Volume II, Part 10, Chapter 254: p. 1635-1643.

Rubin E., Rubin M. 2007. Diffuse Obstructive Emphysema in Thoracic Disease

Emphasizing Cardiopulmonary Disease. London : W.B Saunders Company.

Soemantri. 2009. Bronkhilis Kronik dan Emfisema Paru dalam : Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan pada

Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Surya.DA. 2010. Bronkhitis Kronik dan Empisema dalam : Manual Ilmu Penyakit Paru.

Jakarta: Binarupa Aksara.

Takami, H.E., Miyabe R, Kameyama,K. 2008. Emphysema. World Journal of

Surgery. Vol: 32:688-692.

Whaley, Wong. 2006. Nursing care of infants and children. St. Louis Missouri:

MosbyYear Book.

20