Tugas PR Ujian Akhir Anestesi LINA PRATIWI 03009136

18
TUGAS UJIAN AKHIR ANESTESI Dokter Pembimbing : Dr. Triseno Dirasutisna, SpAn Disusun oleh : Lina Pratiwi NIM 03009136 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI RSAL DR. MINTOHARDJO PERIODE 13 JANUARI 2014 – 14 FEBRUARI 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

description

v

Transcript of Tugas PR Ujian Akhir Anestesi LINA PRATIWI 03009136

TUGAS UJIAN AKHIR ANESTESI

Dokter Pembimbing :

Dr. Triseno Dirasutisna, SpAn

Disusun oleh :

Lina Pratiwi

NIM 03009136

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI RSAL DR. MINTOHARDJO

PERIODE 13 JANUARI 2014 – 14 FEBRUARI 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1. Salah satu komplikasi Anestesi Spinal atau Subarakhnoid Block adalah retensio urin.

Mengapa bisa terjadi retensio urin dan bagaimana cara penanganannya?

Jawab :

Retensio urin dapat terjadi diakibatkan adanya blok pada saraf ototnom simpatis dan juga

parasimpatis pada segmen lumbal dan sakral pada anestesi spinal yang berfungsi untuk

mengkontraksikan otot detrusor dalam proses berkemih. Mengingat anatomi persarafan

utama kandung kemih adalah nervus pelvikus, yang berhubungan denga medulla spinalis

melalui pleksus sacralis, terutama berhubungan dengan medulla spinalis segmen S-2 dan

S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat sensorik dan saraf motoriks. Saraf

sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan

dari uretra  posterior bersifat sang kuat dan terutama bertanggung jawab untuk

mencetuskan reflek yang menyebabkan pengosongan kandung kemih. Saraf motorik yang

menjalar dalam nervus pervikus adalah saraf parasimpatis serat ini berakhir pada sel

ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih. Saraf post ganglion pendek

kemudian persarafi otot detrusor dengan merangsang kontrakinya untuk pengosongan

kandung kemih. Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting

untuk fungsi kandung kemih. Yang terpenting adalah saraf otot lurik yang berjalan melalui

nervus pudenda menuju spinter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik

yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfingter, juga kandung kemih

menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama

berhubungan pada sekmen L-2 medulla spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama

merangsang pembukuh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih.

Beberapa serat saraf sensoris juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting

dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa keadaan rasa nyeri.

Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari vesika urinaria. (Kapita

Selekta Kedokteran). Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam akndung kemih,

dapat terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes 1995). Retensio urine

adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau

dorongan terhadap hal tersebut.

Tatalaksana Retensio Urin dalam hal ini antara lain bisa dilakukan dengan tindakan

pembedahan antara lain dengan kateterisasi uretra ataupun dengan drainage suprapubik.

Selain itu, pasien harus diilatih untuk berusaha sendiri dan dilatih untuk bangun dan

berdiri untuk berkemih setelah tindakan anestesi spinal. Tatalakna farmakologi diantarnya

dengan alpha 1 adrenergic receptor blocking agent, yang telah digunakan untuk retensi

urin baik organik maupun fungsional.Selain itu, penting untuk memastikan bahwa

kandung kemih pasien kosong setelah periode post operatif, khususnya pada pasien yang

mendapatkan analgesia opioid ataupun setelah anestesia spinal dan epidural.

2. Salah satu komplikasi Anestesi Spinal atau Subarakhnoid Block adalah Post Spinal

Headache. Apa yang dimaksud Post Spinal Headache dan bagaimana

tatalaksananya?

Definisi

Post Spinal Headache merupakan nyeri kepala yang terjadi setelah dilakukannya tindakan

pungsi lumbar ataupun penusukan pada anestesia regional spinal ataupun epidural.

Menurut Headache Classification Committee of the International Headache

Society, merupakan nyeri kepala yang timbul setelah pungsi lumbar yang terjadi bilateral

yang berkembang dalam 7 hari pertama setelah pungsi lumbar dan menghilang dalam 14

hari. Nyeri kpala memberat dalam 15 menit setelah posisi tegak dan menhilang dalam 30

menit setelah berbaring telentang.

Etiologi

Meskipun diketahui oungsi dura menyebabkan bocornya LCS melalui lubang dura akibat

jarum sehingga terjadi oenurunan tekanan, namun mekanisme terjadinya masih belum

jelas. Beberapa faktor resiko yang telah diketahui, adalah wanita usia muda, dengan jenis

dan ukuran jarum sebagai faktor penting. Dari penelitian didapatkan bahwa insiden < 1%

dengan menggunakan jarum spinal pencil point ukuran 25 G dengan derajat PPDH ringan

dan sembuh spotan. Penusukan dira berulang juga meningkatkan resiko.

Gejala

Karakteristik PPDH (Post Durah Headache) adalah nyeri kepala daerah oksipito-frontal,

yang dieksaserbasi pleh perubahan posisi (dari tidur ke duduk) dan membaik dengan

berbaring, muncul pada 3 hari pertama sampai seminggu setelah pungsi dura. Hal ini dapat

berlangsung 24 jam, daoat disertai fotofobia, kekakuan leher, tinitus dan mual. Sebagian

besar pasien sembuh spontan setelah 5-10 hari.

Tatatalaksana

Gejala ringan sampai sedang dapat diterapi dengan tirah baring, hidrasi, analgesia dan

kafein. Namun gelaja yang berat diperlukan epidural blood patch.

3. Bagaimana langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA 2010?

Definisi

Resusitasi jantung paru adalah tindakan atau pertolongan untuk mengembalikan fungsi

pernapasan dan fungsi jantung yang berguna melangsungkan hidup penderita.

Bantuan Hidup Dasar adalah tindakan pertolongan medis sederhana yang dilakukan pada

pasien yang mengalami henti jantung seblum diberikan tindakan pertolongan medis

lanjutan.

Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar

Urutan sekuens pelaksanaan bantuan hidup dasar yang benar akan memperbaiki tingkat

keberhasilan. Berdasarkan panduan bantuan hidup dasar yang terbaru yang dikeluarkan

oleh American Heart Association (AHA 2010) dan European Spociety of Rescucitation,

pelaksanaan bantuan hidup dasar dimulai dari penilaian kesadaran penderita, aktivasi

layanan gawat darurat dan diteruskan dengan tindakan pertolongan yang diawali dengan

CABD (Circulation-Airway-Breathing-Defibrilator)

Penilaian Respons

Penilaian respons dilakukan setelah pebolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk

melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan cara menepuk-nepuk dan

menggoyangkn penderita sambil berteriak memanggil penderita.

Hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respons penderita :

1. Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respons yang diberikan, maka

usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti saat ditemukan atau usahakan

pasien diposisikan ke dalam posisi mantap; sambil terus melakukan pemantauan

terhadap tanda-tanda vital penderita tersebut secara terus menerus sampai bantuan

datang

2. Bila penderita tidak memberikan respons serta tidak bernapas atau bernapas tidak

normal (gasping), maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan sistem

layanan gawat darurat.

Pengaktifan Sistem Layanan Gawat Darurat

Penolong meminta bantuan orang terdekat untuk menelepon sistem layanan gawat darurat

(atau sistem kode biru bila di rumah sakit), bila tidak ada orang di dekat penolong, dilakukan

sendiri. Saat melaksanakan percakapan dengan petugas layanan gawat darurat, hendaknya

dijelaskan lokasi pasien, kondisi pasien, serta bantuan yang sudah diberikan kepada pasien.

Kompresi Jantung (Circulation)

Kompresi jantung merupakan tindakan yang dilakukan untuk menciptakan aliran darah

melalui peningkatan tekanan intratorakal untuk menekan jantung secara tidak langsung.

Dilakukan secara kuat dan berirama di bagian setengah bawah sternum. Tekannan terssebut

diharapkan menciptakan aliran darah serta menghantarkan oksigen terutama untuk otot

miokardium serta otak. Denyut nadi tidak merupakan tanda utamahenti jantung, henti jantung

adalah gambaran klinis berhentinya sirkulasi darah.

Pelaksanaan Kompresi Dada

Kompresi dada terdiri dari oemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah

dinding sternum. Komponen yang perlu diperhatikan saat melakuakn kompresi dada:

1. Letakkan korban telentang pada alas yang keras

2. Penolong di samping korban

3. Letakkan pangkal sebelah tangan penolong di atas tepat pada pertengahan bawah

sternum korban (2 jari cefalad)

4. Tangan penolong yang lain berada di atas tangan yang satunya

5. Jari-jari terkunci, lengan lurus, kedua bahu tepat di atas sternum korban

6. Penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah 4-5 cm

7. Setelah kompresi ada relaksasi tetapi, kedua tangan penolong tidak diangkat. Lama

kompresi sama dengan lama relaksasi.

8. Satu penolong: 30 kali kompresi (80-100 kali permenit) dan 2 kali ventilasi

9. Dua penolong: 5 kali kompresi dan 1 kali ventilasi

10. Kompresi halus dan berirama, tidak boleh terputus lebih dari 5 detik

11. Setelah 4 kali seri kompresi lakukan evaluasi pasien, bila denyut arteri karotis tidak

teraba, teruskan

12. Periksa pernapasan bila ada pantau pernapasan dan nadi dengan ketat.

Airway dan Breathing (Ventilasi)

Perubahan yang terjadi pada alur bantuan hidup dasar ini sesuai dengan panduan yang

terbaru dari AHA 2010, bahwa penderita yang mengalami henti jantung umumnya

memiliki penyebab primer gangguan jantung. Sehingga kompresi dada secepatnya harus

dilakukan daripada menghabiskan waktu untuk mencari sumbatan benda asing pada jalan

napas. Setelah melakukan tindakan kompresi 30 kali dan maka dilanjutkan dengan

pemberian bantuan napas 2 kali yang diawali dengan membuka jalan napas. Hal yang

diperhatikan dalam ventilasi:

1. Berikan napas batuan 2 kali dalam 1 detik setiap tiupan

2. Berikan bantuan napas sesuai dengan kapasitas volume tidal yang cukup untuk

memperlihatkan pengangkatan dada

3. Berikan bantuan napas bersesuaian dengan kompresi dengan perbandingan 2 kali

bantuan napas setiap 30 kali kompresi

Buka Jalan Napas

Pada penderita tidak sadarkan diri, maka tonus otot tubuh akan melemah termasuk otot

rahang dan lehe. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lidah dan epiglotis terjatuh ke

belakang dan menyumbat jalan napas. Jalan napas dapat dibuka oleh penolong dengan

metode:

1. Head tilt chil lift manuver (dorong kepala ke belakang sambil mengangkat dagu).

Tindakan ini aman dilakukan bila penderita tidak dicurigai mengalami gangguan

trauma leher.

2. Bila penderita dicurigai mengalami gangguan/ trauma leher, maka tindakan untuk

membuka jalan napas dilakuan dengan cara menekan rahang bawah ke arah belakang

(posterior) disebut Jaw Trust.

3. Setelah dilakukan tindakan membuka jalan napas, lanhkah selanjutnya adalah dengan

pemberian napas bantuan. Tindakan pembersihan jalan napas, serta manuver look,

listen and feel (lihat, dengar dan rasakan) tidak dikerjakan lagi keculali jika tindakan

pemberian nafas bantuan tidak menyebabkan paru terkembang secara baik.

Breathing (Ventulasi)

Jalan napas spontan terbuka: nilai spontan/ tidak, kalau tidak segera lakukan napas buatan.

Ventilasi dari mulut ke mulut, metode ini merupakan yang paling mudah dan cepat.

Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan oleh penolong. Cara melakukan

:

1. Posisi penolong dan posisi korban

2. Pencet lubang hidung/ tutup lubang hidung dengan pipi penolong

3. Melalui mulut ke mulut berikan 2 kali ventilasi kemudian raba nadi karotis/ femoris

4. Bila tetap henti napas tapi denyut nadi ada berikan ventilasi dengan 800-1200 ml

setiap 5 detik

5. Bila tetap henti napas dan nadi tidak teraba lakukan: 2 kali ventilasi dan 30 kali

kompresi bila dilakukan oleh 1 orang penolong, sedangkan bila oleh 2 orang penolong

1 kali ventilasi dan 5 kali kompresi

6. Tanda-tanda ventilasi buatan adekuat:

a. Dada korban naik turun

b. Amplitudo cukup

c. Ada udara keluar dari hidung

d. Penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban

7. Bila ventilasi dari mulut ke mulut/ mulut ke hidung tidak berhasil walau jalan napas

terbuka periksa faring korban, bila ada sumbatan bebaskan dengan :

a. Tindakan menyapu jari

b. Hentakan abdoimen/ gerak Heimlich

c. Hentakan dada

8. Bila triple manuver dan pembersihan mulut masih ada sumbatan dan oro/nasofaringeal

tube masih belum berhasil juga lakukan tindakan intubasi/ krikotirotomi.

9. Bila masih ada sumbatan lakukan tindakan pengeluaran benda asing/ teraspirasi/

bronkospasnme berikan adrenalin/ aminofilin kemudian bronkoskopi.

Dengan sungkup, kantung pernapasan dan sumber oksigen.

Alat ini terdiri dari kantung yang berbentuk balon dan katup satu arah yang menempel

pada sungkup muka. Volume darti kantung napas ini 1600 ml. Alat ini bisa digunakan

untuk pemberian napas buatan dengan atau disambungkan dengan sumber oksigen. Bila

alat tersebut disambungakn dengan sumber oksigen, maka kecepatan aliran oksigen bisa

sampai 12 L/ menit. Penolong hanya memompa sekitar 400-600 ml (6-7 ml/kgBB) dalam

1 detik ke pasien, bila tanpa okdigen dipompa 10 ml/ kgBB pasien dalam 1 detik.

4. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan untuk mengukur Jugular Venous

Pressure (JVP)?

Tekanan vena jugularis atau Jugular venous pressure (JVP) dalam bahasa Inggris,

adalah tekanan sistem vena yang diamati secara tidak langsung (indirek). Secara langsung

(direk), tekanan sistem vena diukur dengan memasukkan kateter yang dihubungkan dengan

sphygmomanometer melalui vena subclavia dextra yang diteruskan hingga ke vena centralis

(vena cava superior). Karena cara tersebut invasif, digunakanlah vena jugularis (externa

dexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik nol (zero point) di tengah atrium

kanan. Titik ini kira-kira berada pada perpotongan antara garis tegak lurus dari angulus

Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua linea midaxillaris. Mengukur JVP penting dan

berguna, memberikan informasi perihal status volume cairan penderita dan fungsi jantung.

JVP merupakan refleksi tekanan pada atrium kanan (RA) atau tekanan vena central (CVP)

dan dapat diperiksa dengan melihat pulsasi V. jugularis interna dekstra. Langkah untuk

memeriksa JVP:

1. Atur pasien pada posisi supine dan relaks.

2. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan 30 derajat

3. Gunakan bantal untuk menopang kepala pasien dan hindari fleksi leher yang tajam.

4. Pasien diminta untuk menengok ke sebelah kiri menjauhi pemeriksa (posisi pemeriksa

beada di sebelak kanan pasien)

5. Lepaskan pakaian yang sempit atau menekan leher atau thorak bagian atas

6. Bila diperlukan, gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan

(shadows) vena jugularis. Identifikasi pulsasi vena jugular interna (bedakan denyutan

ini dengan denyutan dari arteri karotis interna di sebelahnya), jika tidak tampak

gunakan vena jugularis eksterna.

7. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna atau eksterna yang dapat

dilihat (Meniscus).

8. Apabila tidak terlihat pulsasi vena, dapat dilakukan pembendungan. Membendung

dengan menggunakan jari pada daerah supra clavicula agar vena jugularis tampak

dengan jelas kemudian diurut keatas sampai menekan pada bagian ujung proksimal

vena jugularis (dekat angulus mandibulae) sambil melepaskan bendungan pada supra

clavicula. Selain itu dapat pula dilakukan perasat hepatojugular refluks. Pada

penderita yang dicurigai gagal jantung kanan dengan CVP normal pada keadaan

istirahat, tes abdominojugular reflux bermanfaat. Telapak tangan pemeriksa

diletakkan diatas abdomen tepatnya dipermukaan bawah hepar, tekan ke atas selama

10 detik atau lebih. Apabila fungsi jantung kanan tidak baik, permukaan darah dalam

vena akan meningkat dan terlihat pulsasinya pada leher (vena jugularis)

9. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai tempat untuk mengukur tinggi

pulsasi vena. Titik ini ± 4 – 5 cm di atas pusat dari atrium kanan. 

10. Gunakan penggaris.

a. Penggaris ke-1 diletakan secara tegak/ vertikal (apabila menggunakan metode

dua penggaris), dimana salah satu ujungnya menempel pada sudut sternum

(anglulus sternalis, yaitu sudut antara manubrium sterni dan corpus sternum)

b. Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal), dimana ujung yang satu tepat

di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus), sementara ujung lainnya ditempelkan

pada penggaris ke-1.

c. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi

vena (meniscus).

Apabila menggunakan metode tiga penggaris, maka penggaris pertama diletakkan horizontal

pada sudut sternum (angulus sternalis ludovici), penggaris kedua diletakkan pada titik pulsasi

vena, sedangkan penggaris ketiga digunakan untuk mengukur jarak antara kedua penggaris.

Menentukan/ menghitung hasil pengukuran:

Tulis jarak bendungan darah  diatas atau dibawah dari bidang horizontal.

JVP = 5 – ….. cm H2O (bila dibawah bidang horizontal).

        = 5 + …...cm H2O (bila diatas bidang horizontal).

Bila permukaan bendungan darah tepat pada bidang horizontal, maka hasil pengukuran : JVP

= 5 + 0 cm H2O.

Angka 5 berasal dari jarak atrium kanan ke titikAngulus ludovici yaitu kira-kira 5 cm. Nilai

normal JVP = 5 ± 2 cm H2O.

5. Sebutkan obat-obatan ajuvan yang dapat diberikan pada Anestesi Spinal.

Penggunaan ajuvan digunakan untuk :

1. Meningkatkan kualitas analgesia

2. Mengurangui dosis anestesi lokal

3. Mengurangi insiden keparahan efek samping obat utama

Obat Golongan Opioid:

o Fentanyl dapat diberikan Fentanyl 12,5 microgram dengan 2 mg Bupivacaine

o Sulfentanyl

Epinefrin dapat diberikan Epinefrin 1 : 200.000 atau 1 : 100.000 atau 1 : 50.000

dengan 0,5 % Bupivacaine

Clonidin dapat diberikan Clonidin 15 mcg dengan 6 mg bupivacaine

Neotgigmin Glycopyrollate dapat diberikan 7,5 mg dengan 6,25 atau 12,5 atau 50miu

gram neostigmin dalam dekstrosa 5 %

Lainnya, seperti :

Ketamin 7,5 mg atau 10 mg bupivacaine dengan 25 mg ketamin

Midazolam 3 ml 0,5 % bupivcacaine dengan 0,4 ml (2 mg) midazolam

Tramadol 3 ml 0,5 % bupivacaine dnegan 0,2 ml (20 mg) tramadol.

6. Pada pelaksanaan teknik anestesi umum, apakah dapat diberikan gas N2O dan O2

dengan perbandingan N2O 40 % : O2 60 % ?

Jawab : Pada prinsipnya bisa diberikan gas N2O dan O2 dengan perbandingan N2O 40

% : O2 60 %, namun perbandingan dalam anestesia umumnya diapkai kombinasi N2O :

O2 = 60% : 40%, 70% : 30%, 50% : 50%, 2 : 1. Dapat diberikan perbandingan N2O 40 :

60 karena pada prinsipnya yang penting adalah bila diberikan gas N2O, harus diberikan

bersamaan dengan pemakaian O2 minimal dengan kadar 20-30 % (25 %) untuk mncegah

kejadian yang disebut hipoksia difusi, dimana N2O bersifat mendesak oksigen dalam

tubuh. Selain itu, N2O mempunyai sifat 15 kali lebih mudah larut dalam plasma

dibandingkan oksigen. Telah diketahui bahwa pemberian N2O pada anestesia umum

adalah sebagai zat anestestika yang lemah dan dapat menimbulkan efek analgesia kuat

serta hipnotik lemah, sebagai konsekuensinya apabila diberikan N2O dan O2 40 : 60

dimana kadar N2O lebih sedikit, maka dibutuhkan kadar gas anestesi inhalasi ataupun

obat parenteral lainnya sebagai campuran dengan kadar lebih banyak untuk

menimbulkan efek serta stadium analgesia dan hipnotik yang diinginkan.