Tugas Paper

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit paru kerja yang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat yang lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri. Penilain dampak paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan seperti sumber paparan/ jenis pabrik, lamanya paparan, paparan dari sumber yang lain, pola aktivitas sehari-hari serta penilaian terhadap faktor- faktor penyerta yang potensial berpengaruh misalnya umur, gender, etnis, kebiasaan merokok dan faktor alergen. Pabrik tekstil yang memakai kapas sebagai bahan dasar memberi risiko paparan debu kapas pada saluran nafas pekerja. Salah satu bahaya kesehatan yang 3

Transcript of Tugas Paper

Page 1: Tugas Paper

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit

paru kerja yang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun

angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit

utama penyebab cacat yang lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai

cukup banyak orang, khususnya di negara-negara yang sedang giat

mengembangkan industri.

Penilain dampak paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan

seperti sumber paparan/ jenis pabrik, lamanya paparan, paparan dari sumber yang

lain, pola aktivitas sehari-hari serta penilaian terhadap faktor-faktor penyerta yang

potensial berpengaruh misalnya umur, gender, etnis, kebiasaan merokok dan

faktor alergen.

Pabrik tekstil yang memakai kapas sebagai bahan dasar memberi risiko

paparan debu kapas pada saluran nafas pekerja. Salah satu bahaya kesehatan yang

ditimbulkan oleh karena penghisapan debu kapas, hemp atau flax sebagai bahan

dasar tekstil adalah Bisinosis.

1.2 Rumusan Masalah

2. Apakah yang dimaksud dengan Bisinosis?

3. Klasifikasi Bisinosis?

4. Apa penyebab terjadinya Bisinosis?

5. Bagaimana patogenesis terjadinya Bisinosis?

6. Apa saja gejala klinis Bisinosis?

3

Page 2: Tugas Paper

7. Bagaimana cara mendiagnosis Bisinosis?

8. Bagaimana penatalaksanaan pasien Bisinosis?

9. Bagaimana pencegahan Bisinosis ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang

Bisinosis yang meliputi definisi, jenis, etiologi, patogenesis, gejala klinis,

diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah

1. Menambah wawasan ilmu kedokteran, khususnya bisinosis

2. Sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran khususnya bisinosis

3. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti

kepanitraan klinik senior dibagian ilmu paru Rumah Sakit Haji Medan.

4

Page 3: Tugas Paper

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kata bisinosis berasal dari perkataan Yunani byssos yang berarti fine flax

atau fine linnen yang dihasilkan tanaman flax. Penyakit Bisinosis adalah

penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu napas atau

serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas

atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik

tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau tempat kerja lain

yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur,

pembuatan jok kursi dan lain sebagainya.(1) Dalam literature lain juga dikatakan

Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi penyakit saluran

pernafasan akut atau kronis yang dijumpai pada pekerja pengolahan kapas, rami halus,

dan rami.(2). Umumnya penyakit paru lingkungan berlangsung kronis menetap

kadang-kadang sulit diketahui kapan mulainya, terpapar oleh polutan jenis apa

atau saat pekerja bekerja di bagian mana dari tempat kerjanya mendapatkan paparan.

Lebih-lebih kalau pekerja juga seorang perokok. Pasien umumnya mengeluh sesak

napas, batuk-batuk, mengi, batuk mengeluarkan dahak. Pasien penyakit paru kerja

umumnya mengeluh sesak nafas yang timbul makin berat apabila si pasien berada

di tempat kerja dan berkurang lagi apabila keluar dari tempat tersebut.

2.2 Prevalensi

Prevalensi asma akibat kerja berbeda antara satu bangsa dengan

yang lain dan bergantung pada lingkungan pekerjaan. Menurut perkiraan,

2% dari semua asma adalah asma akibat kerja. Di Jepang diduga bahwa 15%

dari semua asma pada pria disebabkan akibat kerja dan di Amerika 4% dari

populasi, yaitu sekitar 9 juta orang menderita asma akibat kerja. Schilling

pernah melaporkan adanya bisinosis yaitu suatu jenis asma akibat debu

5

Page 4: Tugas Paper

kapas pada sekitar 20-80% karyawan pemintalan, sedang di Mesir hal

yang mama pernah dilaporkan pada 90% karyawan terpajan. Di

Indonesia, Kemenkes melaporkan bisinosis pada 30% karyawan

peminta lan dan 19,25% karyawan pertenunan. Kemajuan industri telah

menimbulkan kecenderungan kenaikan prevalensi asma di banyak

negara. Di Jepang prevalensi asma pada anak di kota industri lebih tinggi

dibanding dengan kota yang bukan industri. (4)

2.3 Epidemiologi

Pekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang

mengolah kapas sejak penguraian kapas, pembersihan, pemintalan dan penenunan,

semuanya termasuk mempunyai risiko timbulnya byssinosis. Diketahui bahwa di

masing-masing bagian tersebut kadar/konsentrasi debu kapas tidak sama, maka

besarnya risiko juga berbeda-beda. Studi klinis sebelumnya melaporkan bahwa

angka kejadian bronkitis kronis pada para pekerja pabrik tekstil sekitar 4,5-26%.

Pekerja yang bekerja pada bagian pembersihan kapas untuk dipintal,

pembersihan mesin-mesin tersebut mempunyai risiko paling tinggi terjadinya

bissinosis.(3)

2.4 Etiologi

Penyebab yang sebenarnya tidak diketahui tapi secara umum diterima bahwa penyakit

ini disebabkan pajanan terhadap kapas, rami halus, dan rami. Pekerja kapas yang paling

berisiko adalah mereka yang berada di kamar peniup dan penyisir tempat pajanan

terhadap debu kapas mentah paling tinggi. Pekerja yang bertanggung jawab untuk

membersihkan mesin peniup, misalnya pembersih dan penggiling memiliki risiko

yang paling tinggi.(2)

2.5 Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Sistem pernafasan merupakan tempat keluar masuknya udara dari dan ke

paruparu yaitu tempat pertukaran O2 dan CO2 udara dan darah. Fungsi dari

6

Page 5: Tugas Paper

sistem pernafasan secara langsung tergantung dari baik tidaknya fungsi dari

sistem sirkulasi.

2.5.1 Anatomi

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri

akanbercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini

berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai

akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung

alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.

Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos

sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini

disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke

tempat pertukaran gas terjadi ( Wilson LM, 2006).

Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari

paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus

alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki

diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea

sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di

dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang

memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun

jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas

satu lapangan tenis ( Wilson LM, 2006).

7

Page 6: Tugas Paper

Gambar 1.

Anatomi

saluran napas.

Alveolus

pada hakikatnya

merupakan

gelembung

yang dikelilingi

oleh kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu

tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan

cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai

lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat

inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh

sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim

biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat

serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta

mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi

elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya

(Wilson LM, 2006)

Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra

dan bronchus sinistra:

Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan

letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan

dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda

asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan

masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos

melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di

sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang

(bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan

8

Page 7: Tugas Paper

lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di

sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus

yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal

a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut

mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo (Luhulima JW,

2004).

Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya

lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae,

menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis.

Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah

dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang

menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis.

Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus

tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal)

terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh

vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n.

Recurrens, dan truncus sympathicus (Luhulima JW, 2004).

2.5.2 Fisiologi

2.5.2.1 Struktur dan fungsi saluran napas normal

2.5.2.1.1 Sel epitel permukaan

Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk

oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi

subtipe berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan

serous ). Selain musin, sel sekretori juga melepaskan beberapa molekul

antikmikroba (sebagai contaoh defensin, lisosim, dan IgA), molekul

immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul pelindung (protein

trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam mukus.

9

Page 8: Tugas Paper

2.5.2.1.2 Kelenjar submukosa

Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa

berkontribusi pada sekresi musin (Gambar 2). Kelenjar dihubungan dengan

lumen saluran napas oleh duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar

dan duktus kolektus nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara

otot polos dan kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous

yang berlokasi didistal, membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi

proyeoglikan dan protein antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar

submukosa dapat meningkat melebihi volume normal.

2.5.2.1.3 Lapisan mukosa (lapisan lendir)

Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya

adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah

97% air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris).

Gambar

2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal.

2.5.2.2 Mekanisme klirens saluran napas

Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia,

yang akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan

10

Page 9: Tugas Paper

bahan-bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara

terus-menerus disintesis dan disekresikan untuk melapisi lapisan mukosa.

Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan kecepatan 1mm/menit

untuk membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance

meningkat dalam keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat

oleh aktivitas purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin,

serta bahan iritan kimia.

Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus dengan refleks

batuk. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa penyakit paru yang

disebabkan oleh kerusakan fungsi silia tidak terlalu berat dibandingkan dengan

yang disebabkan dehidrasi, yang menghalangi kedua mekanisme klirens saluran

napas. Meskipun batuk berkontribusi dalam membersikan mukus pada penyakit

dengan peningkatan produksi mukus atau gangguan fungsi silia, ini dapat

menyulitkan gejala (Fahy JV, Dickey BF, 2010).

2.6 Patofisiologi

Pada saat debu inorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada

permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respira-torius, duktus alveolaris dan

alveolus).

Pada awalnya paru memberikan respons berupa inflamasi dan fagositosis

terhadap debu tadi oleh makrofag alveolus. Makrofag akan memfagositosis debu

dan membawa partikel debu ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerak mukosiliar

debu diusahakan keluar dari paru.. Bila paparan debu banyak, di mana gerak

mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka debu/partikel tersebut akan tertumpuk

di permukaan mukosa saluran napas, akibatnya partikel debu akan tersusun

membentuk anyaman kolagen dan fibrin dan akibatnya paru (saluran napas) menjadi

kaku sehingga compliance paru menurun. Penyakit paru akibat tertimbunnya

debu/partikel di paru atau saluran napas disebut pneumoconiosis. Sesudah terjadi

pneumokoniosis, misalnya paparan debu sudah berhenti, maka fibrosis paru yang

telah terjadi tidak dapat hilang.(2)

11

Page 10: Tugas Paper

Kelainan paru pada pasien byssinosis berupa bronkitis kronis, yang kadang-

kadang disertai wheezing, diduga erat hubungannya dengan adanya endotoksin

(suatu lipopolisakarida) yang dikeluarkan oleh bakteri yang mengkontaminasi

partikel debu dan kapas. Endotoksin inilah yang diduga sebagai penyebab timbulnya

kelainan paru tadi. Para ahli telah yakin bahwa endotoksin ini adalah sebagai

penyebabnya dikuatkan oleh percobaan-percobaan simulasi yang telah

dikerjakan pada pekerja atau hewan coba di laboratorium (3)

2.7 Klasifikasi

Menurut WHO, derajat bisinosis dibagi 2, yaitu:

- Derajat B1: rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama

kembali bekerja

- Derajat B2: rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama

kembali bekerja dan pada hari-hari bekerja selanjutnya.

Schilling pada tahun 1955 membagi bisinosis secara klinis yang ditandai

dengan huruf C dalam derajat Cl dan C2. Kemudian Schilling dan Watford pada tahun

1963 menambahkan derajat C1/2 dan C3, sehingga derajat bisinosis dewasa ini dibagi

dalam empat derajat sebagai berikut:

Derajat C1/2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang

timbul pada hari Senin.

Derajat Cl : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin.

Derajat C2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan

hari kerja lainnya.

Derajat C3 : derajat C2 disertai sesak napas yang menetap. (5)

Tingkatan derajat bisinosis digolongkan menurut tingkat penyakit sebagai

berikut:

Tingkat Gejala

a. Tingkat 0 : Tidak ada gejala

12

Page 11: Tugas Paper

b. Tingkat ½ : Kadang-kadang berat di dada (chest tightness) dan pendek

nafas (shortness of breath) pada hari Senin atau rangsangan pada alat-alat

pernafasan pada hari-hari Senin (hari pertama bekerja sesudah tidak bekerja 2

hari)

c. Tingkat 1 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin hampir

pada setiap minggu

d. Tingkat 2 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin dan hari-

hari lainnya pada setiap minggu

e. Tingkat 3 : Bisinosis dengan cacat paru. (8)

2.8 Gejala Klinik

Penyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak. Gejala paling nyata dialami

pada hari pertama hari kerja seminggu ("Sesak pada senin pagi"). Mungkin disertai batuk

yang lama-kelamaan menjadi basah berdahak. Pengukuran fungsi paru (sebelum dan sesudah

giliran tugas) dapat menghasilkan penurunan FEV1. Pada sebagian besar individu, temuan

ini akan berkurang atau hilang pada hari kedua bekerja. Dengan pajanan yang

berkepanjangan, baik gejala maupun perubahan fungsi akan menjadi lebih berat dan

mungkin akan menetap selama seminggu kerja. Pada pekerja yang sudah lama terpajan

selama bertahun-tahun, adanya riwayat dispnoe saat melakukan kegiatan adalah temuan

yang biasa. Tidak ditemukan tanda yang khas atau ciri tertentu pada pemeriksaan fisik.

Efek kronis memiliki ciri obstruksi jalan napas dan secara klinis tidak bisa dibedakan

dengan bronkitis kronis dan emfisema. (2)

Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun.

Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada

dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu).

Secara psikis setiap hari Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis

merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat adanya

kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala awal

bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya

juga diikuti dengan penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan

13

Page 12: Tugas Paper

emphysema.(1)

2.9 Diagnosis

Diagnosis bisinosis ditegakkan atas dasar gejala subjektif. Dalam bentuk

dini bisinosis berupa dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari kerja

pertama sesudah hari libur akhir minggu (hari Senin). Gejala khas yang hanya

ditemukan pada bisinosis itu disebut Monday feeling, Monday fever, Monday

morning fever, Monday morning chest tightness atau Monday morning asthma

yang dapat menghilang bila karyawan meninggalkan lingkungan tempat kerjanya.

Keluhan bisinosis tersebut diduga disebabkan oleh karena obstruksi saluran napas.

Obstruksi yang terjadi setelah karyawan terpapar pada hari Senin disebut

obstruksi akut. Bila karyawan tidak disingkirkan dari lingkungan kerjanya yang

berdebu, obstruksi akut yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap.

Obstruksi demikian disebut obstruksi kronik. (5)

Pendekatan diagnosis pada pasien dengan penyakit paru lingkungan

maupun penyakit paru kerja memerlukan aktivitas proses diagnosis yang lazim, yaitu

meliputi anamnesis secara sistematik, lengkap dan terarah, pemeriksaan fisis dan

beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

2.9.1 Anamnesis

Dalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru

kerja, maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan

suatu alat yang amat berguna dalam menentukan apakah suatu problem respirasi ada

hubungannya dengan suatu paparan debu tertentu. Pertanyaan pada anamnesis hams

sistematis, lengkap (detil), kronologis.

Anamnesis rneliputi pertanyaan tentang :

· Riwayat penyakit lain dan kesehatan umum Adanya keluhan : sesak

napas, batuk batuk, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), kesulitan napas.

· Adanya riwayat merokok, jenis rokok, jumlah rokok yang dikonsumsi rerata

tiap hari.

14

Page 13: Tugas Paper

· Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi.

· Bagi pekerja apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya.

· Kapan keluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan dengan

pekerjaan.

· Riwayat penyakit dahulu apakah sebelumnya menderita : asma, atopi,

penyakit . kardiorespirasi.

· Paparan bahan-bahan yang pemah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi,

zat-zat kimiawi, asbes dan sebagainya.

Riwayat pekerjaan

· Daftar pekerjaan yang pernah dialami sejak awal (kronologis).

· Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas).

· Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.

· Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarong tangan, baju pelindung

kerja dan sebagainya).

· Kecukupan ventilasi ruang kerja.

· Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan

berefek pada kesehatannya.

· Tugas tambahan lain yang dialami.

· Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja

· Penyakit-penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada hubungannya

dengan paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.

2.9.2 Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisik biasanya dalam batas normal :

Kepala : Dalam batas normal

Leher : Dalam batas normal

15

Page 14: Tugas Paper

Thorax  : Bentuk dan gerak simetris / asimetris BJ 1-2 murni regular Sonor,

suara vesikuler normal , ronkhi (-) / (+), whezing (-) / (+), dispnoe

(-) / (+)

Abdomen  : datar lembut Hepar lien tidak teraba, BU (+) normal

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks.

Pada pekerja dengan gejala yang akut, di dapatkan foto thorak yang normal. Pada pasien dengan gejala yang akut, gambaran foto thorak nya dapat menyerupai dengan pasien yang emfisema dan bronkitis kronik.

Computed Tomography (CT) Scanning.

Penggunaan tes diagnostik ini sekarang meningakt utamanya untuk deteksi

asbestosis. Hal ini karena hasil deteksi adanya asbestosis dengna foto toraks

16

Page 15: Tugas Paper

konvensional kurang sensitif, kesalahan sekitar 10-15%. Lebih tepat lagi hasilnya

apabila menggunakan High-resolution computed tomographic (HRCT)

Scanning, dapat lebih baik dalam mengevaluasi kelainan pada pleura maupun

parenkim paru.

Tes Fungsi Paru.

Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi),

merupakan tes diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru

pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada proses interstitial. Meskipun

hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru kerja, tetapi

amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe

restriktif atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes

fungsi paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas

(adanya hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi memakai

paparan bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya). Tes

provokasi untuk menentukan diagnosa asma kerja mengunakan paparan bahan yang

dicurigai sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma kerja. Uji

latih jantung paru dapat dilakukan untuk menilai gangguan fungsi dan progresivitas

penyakit pada pasien dengan penyakit paru kerja tertentu. Selain itu juga dapat

dipakai untuk menentukan penyebab sesak napas. Apakah dari paru, jantung atau

penyebab lainnya.

Bronkoskopi.

Yang dilakukan adalah bronkoskopi dengan transbronkial biopsi atau lavage

bronkoalveolar dapat membantu dalam diagnosis penyakit paru kerja. Biopsi

transbronkial untuk mengambil spesimen untuk diagnosis pneumonitis atau

fibrosis interstitial, proses granulomatosa interstitial (sarkoidosis, beriliosis,

pneumonitis hipersensitif, proses keganasan dan sebagainya). Bahan dari

lavase bronko-alveolar dapat dipakai untuk mendeteksi (jenis) partikel debu

penyebab penyakit paru kerja. (4)

17

Page 16: Tugas Paper

2.10 Penanganan

Bisinosis ringan atau dini kemungkinan masih reversibel sedangkan penyakit yang

berat dan kronis tidak. Pasien dengan gejala khas clan menunjukkan penurunan FEV1

10% atau lebih harus dipindahkan ke daerah yang tidak terpajan. Pasien dengan

penyumbatan jalan napas sedang atau berat, misalnya FEV1 lebih rendah dari 60% dari

nilai yang diperkirakan, juga harus baik tidak terpajan lebih lanjut. (2)

Pengobatan terpenting bagi pasien bisinosis adalah menyingkirkannya dari

lingkungan kerja yang potensial risiko tinggi. Dalam pelaksanaannya biasanya

para pekerja dilakukan putar kerja. Uji faal paru serial perlu dilakukan untuk

mengetahui perubahan faal paru masing- masing pekerja pada akhir waktu

tertentu. Tidak ada obat spesifik untuk bissinosis dan bila ada tanda-tanda

obstruksi bronkus dapat diberikan bronkodilator. (6)

2.11 Pencegahan

Kontrol kadar debu dalam lingkungan

Pemantauan medis agar bisinosis dan obstruksi saluran nafas dapat ditemukan

dan dicegah sedini mungkin

Menggunakan alat pelindung diri

kontrol kesehatan rutin.(7)

BAB III

18

Page 17: Tugas Paper

KESIMPULAN

1. Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh

pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke

dalam paru-paru.

2. Pekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang mengolah

kapas semuanya termasuk mempunyai risiko timbulnya bissinosis.

3. Secara umum penyebab yang dapat diterima bahwa penyakit ini disebabkan pajanan

terhadap kapas.

4. Diperkirakan pathogenesis penyakit ini yaitu sesudah debu inorganik dan bahan

pertikel terinhalasi akan melekat pada permukaan mukosa saluran napas

(bronkiolus respira-torius, duktus alveolaris dan alveolus) karena tempat tersebut

basah sehingga mudah ditempeli debu.

5. Derajat-derajat bisinosis dibagi dalam Derajat C1/2, Derajat Cl, Derajat C2 dan

Derajat C3.

6. Gejala klinik Penyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak. Gejala paling nyata

dialami pada hari pertama hari kerja seminggu ("Sesak pada senin pagi").

7. Pendekatan diagnosis pada pasien dengan penyakit paru lingkungan maupun

penyakit paru kerja memerlukan aktivitas proses diagnosis yang lazim, yaitu

meliputi anamnesis secara sistetnatik, lengkap dan terarah, pemeriksaan fisis dan

beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

8. Pengobatan terpenting bagi pasien bissinosis adalah menyingkirkannya dari

lingkungan kerja yang potensial risiko tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 18: Tugas Paper

1. Hand out, teknologi pengelolaan kesehatan masyarakat, dalam;

www.medicastore-files.com

2. Suryadi, dr. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

3. Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrta, MK; Setiati, S; 2006.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

4. Baratwidjaja, GK; Harjono, KT;2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

jilid II, ed. Ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

5. Baratawidjaja, GK. 2010. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi

akut: penelitian pada karyawan perusahaan tekstil di Jakarta dan

sekitarnya. Dalam http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.

jsp?id=83630&lokasi=lokal. Jakarta.

6. Darmanto, D; 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

7. Susanto, DA. 2010. Bisinosis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta.

8. Suma’mur, dr; Sagung Seto P.K.,MSc; 2009. Higiene Perusahaan Dan

Kesehatan Kerja. Jakarta.

20