Tugas Paper Psikiatri
-
Upload
wenny-ria-rumanga -
Category
Documents
-
view
28 -
download
4
description
Transcript of Tugas Paper Psikiatri
Paper
DEPRESI DAN BUNUH DIRI PADA LANSIA
Oleh :
Menthari Hartati Mokodongan
14014101249
Masa KKM : 3 Agustus – 30 Agustus 2015
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2015
i
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Depresi dan bunuh diri pada lansia 3
A. Pengertian depresi 3
B. Epidemiologi 3
C. Etiologi 4
D. Perjalanan dan awitan 6
E. Tanda dan gejala depresi pada lansia 6
F. Kriteria Diagnosis 7
2.2 Bunuh diri pada lansia 9
A. Pengertian bunuh diri 9
B. Tipe-tipe bunuh diri 10
C. Penyebab bunuh diri 12
D. Stresor pencetus 12
E. Sumber koping 12
F. Mekanisme koping 12
G. Bunuh diri dalam teori-teori psikologi 13
2.3 Terapi 15
BAB III. Kesimpulan 17
DAFTAR PUSTAKA 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan
( affectivel mood disorder ), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,
ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa.1 Depresi merupakan
masalah kesehatan mental yang paling umum pada orang tua dan dikaitkan dengan beban
yang signifikan dari penyakit yang mempengaruhi pasien, keluarga mereka, dan
masyarakat dan juga mengambil total ekonomi.2 Dampak terburuk dari depresi yang
berkepanjangan dan tidak tertangani adalah besarnya resiko bunuh diri. Parahnya, lansia
menduduki peringkat pertama untuk kasus bunuh diri.3
Bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja.
Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya usia. Kepentingan krisis dalam
kehidupan pertengahan adalah digaris bawahi oleh angka bunuh diri. Pada laki-laki,
puncak bunuh diri adalah setelah 45 tahun, pada wanita jumlah terbesar bunuh diri yang
berhasil adalah diatas usia 55 tahun.4
Lanjut usia ( lansia ) sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia sering
menimbulkan permasalahan yang membutuhkan penanganan serius. Permasalahan yang
terjadi tidak hanya ditimbulkan oleh faktor kependudukan, tetapi juga oleh faktor
biologis, psikologis, sosial budaya dan ekonomi karena secara ilmiah lansia mengalami
kemunduran fisik maupun mental yang tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, dan
ekonomi.1
Studi prevalensi menunjukkan bahwa 14% sampai 20% dari hidup tua dalam
pengalaman masyarakat gejala depresi,2 dengan tingkat lebih tinggi diantara orang tua di
rumah sakit ( 12% sampai 45% )5 dan tingkat yang lebih tinggi dalam perawatan
jangka panjang fasilitas ( sekitar 40% ).6
Pada lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan
orang muda, tetapi lebih sering berhasil. Lanjut usia berjumlah untuk 25% dari
bunuh diri, walaupun mereka hanya berjumlah 10% dari total populasi. Angka
untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih dari tiga kali dibandingkan angka
untuk orang muda.
Tingkat bunuh diri yang tinggi pada orang tua, dengan rata-rata 1,3 bunuh
diri yang dilakukan setiap hari oleh senior Kanada. Menurut laporan Statistik
1
Kanada pada tahun 2005, angka bunuh diri untuk pria lanjut usia hampir dua kali
lipat dari seluruh masyarakat.7 Perilaku efektif mematikan merugikan diri
meningkat dengan usia, dengan cara yang paling umum dari bunuh diri pada pria
yang lebih tua menjadi senjata api dan menggantung, dan pada wanita yang lebih
tua menjadi diri keracunan dan menggantung.7 Untungnya, depresi pada lansia
dapat diobati dengan sukses. Namun, perlu pertama yang mengidentifikasi dan
mendiagnosa depresi, yang dapat menantang pada populasi ini karena kesulitan
komunikasi yang disebabkan oleh gangguan atau gangguan kognitif, komorbiditas
lain dengan gejala fisik mirip dengan depresi, dan stigma yang terkait dengan
penyakit mental yang dapat membatasi diri untuk pelaporan gejala depresi.7
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEPRESI DAN BUNUH DIRI PADA LANSIA
A. Pengertian Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.8
Depresi juga merupakan salah satu dari gangguan mood. Gangguan mood
adalah keadaan emosi yang menetap selama lebih dari seminggu, yang
menunjukkan penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang. Kunci dari gejala
depresi adalah mood yang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan.8
Berdasarkan onsetnya depresi pada lansia dibagi menjadi dua yaitu, early
onset depression dan late onset depression. Early onset depression adalah depresi
yang onset pertamanya terjadi sebelum memasuki usia lanjut sedangkan late onset
depression adalah depresi yang terjadi onset pertamanya setelah memasuki usia
lanjut pada pasien geriatri yang berkembang dengan peningkatan usia.9
Lansia adalah usia 60 tahun ke atas sesuai dengan definisi World Health
Organization ( WHO ) yang terdiri dari usia lanjut ( elderly ) 60-74 tahun usia tua
( old ) 75-90 tahun dan usia lanjut ( very old ) di atas 90 tahun.10 Mengaju kepada
UU no 13 Tahun 1998 definisi usia menitik beratkan kepada usia seseorang yang
lebih dari 60 tahun.
B. Epidemiologi
Studi prevalensi menunjukkan bahwa 14% sampai 20% dari hidup tua dalam
pengalaman masyarakat gejala depresi,2 dengan tingkat lebih tinggi diantara orang tua di
rumah sakit ( 12% sampai 45% )5 dan tingkat yang lebih tinggi dalam perawatan
3
jangka panjang fasilitas ( sekitar 40% ). Prevalensi depresi pada lansia
dimasyarakat menurut penelitian-penelitian pada komunitas seluruh dunia adalah
berkisar dari 2-44%. 6
Pada lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan
orang muda, tetapi lebih sering berhasil. Lanjut usia berjumlah untuk 25% dari
bunuh diri, walaupun mereka hanya berjumlah 10% dari total populasi. Angka
untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih dari tiga kali dibandingkan angka
untuk orang muda.
Faktor sosioekonomi dan budaya tidak ditemukan korelasi antara status
sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi didaerah
pedesaan dibandingkan daerah perkotaan.
C. Etiologi
1. Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan di metabolit arnin biogenik, seperti asam
5_hydroxyindoleacetic ( 5-HIAA ), asam homovanilic ( HVA ), dan 3 methoxy-4-
hydroxyphenyl-glycol ( MHPG ) di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal
( CSF ).11
2. Faktor genetik
Penelitian dalam keluarga, genetik pertama, lebih sering 2 sampai 10 kali
mengalami depresi berat. Penelitian yang berkaitan dengan adopsi, dua atau tiga
studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara genetik. Studi
menunjukkan, anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan depresi.11
3. Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan. Peristiwa kehidupan dengan
stresful sering mendahului episode pertama, dibandingkan episode berikutnya.
Ada teori yang mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama
menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini
menyebabkan perubahan sebagai neotransmiter dan sistem sinyal intraneuron.
Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinap. Dampaknya,
4
seorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood,
sekalipun tanpa stressor dari luar. Data paling mendukung berhubungan dengan
peristiwa kehidupan yang paling sering berhubungan dengan depresi adalah
kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun. Stresor lingkungan paling sering
berhubungan dengan kejadian episode depresi adalah kehilangan pasangan. Faktor
risiko lain adalah kehilangan pekerjaan dimana orang yang keluar dari
pekerjannya berisiko tiga kali lebih besar untuk timbulnya gejala dibandingkan
yang bekerja. Kehilangan objek cinta pada masa perkembangan walaupun tidak
secara langsung menimbulkan gangguan depresi, namun berpengaruh pada
ekspresi dari penyakitnya, misalnya onset timbulnya gangguan, episode yang
lebih parah, adanya gangguan kepribadian dan keinginan untuk bunuh diri.
Biasanya bunuh diri sering terjadi pada pasien lanjut usia ( lansia ).11
4. Faktor kepribadian
Semua orang apapun pola kepribadiannya, dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi,
histrionik, dan ambang berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan
dengan gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan
distimik dan siklotimik berisiko menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa
stresful merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi. Riset
menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stresor akibat tidak adanya
kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.11
5. Faktor psikodinamik pada depresi
Faktor psikodinamik depresi yang ditemukan oleh Sigmon Freud dan
dilanjutkan dengan Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik dari depresi.
Teori tersebut termasuk empat hal utama :
- Gangguan hubungan ibu dan anak selama fase oral ( 10-18 bulan )
menjadi faktor predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi berulang.
- Depresi dapat dihubungkan dengan kenyataan atau bayangan kehilangan
objek.
- Introjeksi merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk
mengatasi penderitaan yang berkaitan dengan kehilangan objek.
5
- Akibat kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran
antara benci dan cinta, perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri.11
D. Perjalanan dan Awitan
Depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang sering
ditemui pada lanjut usia ( lansia ). Depresi pada lansia berbeda dengan depresi
pada pasien yang lebih muda karena gejala-gejala depresi sering berbaur dengan
keluhan somatik. Faktor risiko depresi pada lansia lebih banyak diderita oleh
wanita daripada pria, lansia yang memiliki status kesehatan buruk, tinggal sendiri,
disabilitas fungsional, penyakit somatik, status marital, isolasi sosial, gangguan
emosi dan kepribadian, tingkat pendidikan, kematian dan lain-lain. Sebelum
episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi berat
memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teridentifikasi
secara dini dan dapat teratasi lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala-
gejala tersebut menjadi episode depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan
depresi berat, walaupun gejala mungkin telah ada, umumnya belum menunjukkan
suatu premorbid gangguan kepribadian. Sekitar 50% pasien dengan episode
depresi pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Awitan yang terjadi setelah usia 40
tahun biasanya dihubungkan dengan tidakadanya riwayat gangguan mood dalam
keluarga, gangguan kepribadian antisosial dan penyalahgunaan alkohol.11
E. Tanda dan Gejala Depresi Pada Lansia
Berbagai penelitian melaporkan angka prevalensi birkisar antara 25-50%,
meskipun banyaknya kasus ini yang disebabkan oleh gangguan depresi berat tidak
pasti. Beberapa penelitian menunjukkan depresi pada orang tua dapat
dihubungkan dengan :
- Status ekonomi yang rendah
- Kehilangan pasangan
- Berbarengan dengan penyakit fisik
- Isolasi sosial
Penelitian lain juga menyatakan depresi pada orang tua seringkali
didiagnosis dan diterapi oleh dokter umum. Gangguan depresi pada orang tua
6
sering kali tidak terdiagnosis oleh karena gejala yang ada lebih sering tampak
sebagai keluhan somatik. Gangguan depresi ditandai oleh :11
- Rasa lelah yang berkepanjangan
- Sulit berkonsentrasi
- Gangguan tidur ( terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali
saat tidur )
- Nafsu makan berkurang
- Kehilangan berat badan
- Keluhan somatik
Pasien usia lanjut yang mengalami depresi memperlihatkan gejala yang
berbeda dibandingkan dewasa muda. Pasien usia lanjut mengalami depresi akan
lebih banyak memiliki keluhan somatik. Pasien usia lanjut juga lebih rentan
terhadap episode depresi berat dengan ciri melankolik, ditandai oleh adanya :11
- Hipokondriasis
- Harga diri yang rendah
- Perasaan tidak berharga
- Kecenderungan menyalahkan diri sendiri ( terutama tentang seks dan rasa
berdosa )
- Dengan ide paranoid
- dan bunuh diri
Gangguan kognitif juga sering terjadi pada pasien usia lanjut yang
mengalami depresi di berikan istilah sindroma demensia dari depresi
( pseudodemensia ), yang mudah dikacaukan dengan demensia yang sebenarnya
( true dementia ). Tidak terdeteksinya gangguan depresi pada usia lanjut juga
disebabkan dokter menerima gejala depresi sebagai hal yang normal pada pasien
orang tua sebagai bagian dari proses penuaan.11
F. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan depresi berat antara lain :12
7
1. Pasien mengalami mood terdepresi ( sebagai contoh, sedih atau
perasaan kosong ) atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang
waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau gejala-gejala
sebagai berikut :
- Tidur : insomnia atau hipersomnia hamper setiap hari
- Minat : menurutnya minat atau kesenangan hampir pada
semua kegiatan hampir sepanjang waktu
- Rasa bersalah : perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak
sesuai atau rasa tidak berharga hampir sepanjang waktu
- Energi : kehilangan energi atau letih hampir sepanjang
waktu
- Konsentrasi : menurunnya kemampuan untuk berpikir atau
konsentrasi, sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
- Selera makan : dapat menurun atau meningkat Psikomotor dalam
pengamatan ditemukan agitasi / retardasi
- Bunuh diri : timbul pikiran berulang tentang mati atau ingin
bunuh diri
2. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran ( episode
depresi berat dan episode manik ).
3. Gejalanya menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau
hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
4. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
( sebagai contoh : penyalahgunaan obat, atau medikasi ) atau suatu
kondisi medik umum ( sebagai contoh : hypotroidisme )
5. Gejalanya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan duka cita,
misalnya, setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap
lebih dari 2 bulan atau ditandai hendaya fungsi yang jelas, preokupasi
rasa ketidakbahagiaan yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik
atau retardasi psikomotor.
Gangguan depresi berat, episode tunggal. DSM-IV-TR mengelompokkan
kriteria diagnostik untuk gangguan depresi berat episode pertama. Perbedaan
antara pasien ini dan mereka yang mempunyai episode gangguan depresi berat ke
8
dua atau lebih disebabkan karena ketidakjelasan perjalanan penyakit pasien yang
hanya satu episode.
Gangguan depresi berat berulang. Pasien yang mengalami sedikitnya
episode ke dua dari depresi digolongkan dalam DSM-IV-TR sebagai gangguan
depresi berat rekuren. Masalah utama dengan diagnosis episode rekuren dari
gangguan depresi berat adalah menentukan kriteria untuk menemukan resolusi
dari tiap periode. DSM-IV-TR menentukan episode depresi yang berbeda berjarak
setidaknya selama 2 bulan, pasien secara bermakna bebas dari gejala depresi.
2.2 BUNUH DIRI PADA LANSIA
A. Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri adalah kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan
disengaja. Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya usia. Kepentingan
krisis dalam kehidupan pertengahan adalah digaris bawahi oleh angka bunuh diri.
Pada laki-laki, puncak bunuh diri adalah setelah 45 tahun, sedangkan pada wanita
jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas usia 55 tahun. 4
Bunuh diri pada lansia adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang
lanjut usia untuk memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan sesuatu
perkara yang di anggap tidak dapat di tangani.
Pada lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan
orang muda, tetapi lebih sering berhasil. Lanjut usia berjumlah untuk 25% dari
bunuh diri, walaupun mereka hanya berjumlah 10% dari total populasi. Angka
untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih dari tiga kali dibandingkan angka
untuk orang muda.
Tingkat bunuh diri yang tinggi pada orang tua, dengan rata-rata 1,3 bunuh
diri yang dilakukan setiap hari oleh senior Kanada. Menurut laporan Statistik
Kanada pada tahun 2005, angka bunuh diri untuk pria lanjut usia hamper dua kali
lipat dari seluruh masyarakat.7 Perilaku efektif mematikan merugikan diri
meningkat dengan usia, dengan cara yang paling umum dari bunuh diri pada pria
yang lebih tua menjadi senjata api dan menggantung, dan pada wanita yang lebih
9
tua menjadi diri keracunan dan menggantung.7 Untungnya, depresi pada lansia
dapat diobati dengan sukses. Namun, perlu pertama yang mengidentifikasi dan
mendiagnosa depresi, yang dapat menantang pada populasi ini karena kesulitan
komunikasi yang disebabkan oleh gangguan atau gangguan kognitif, komorbiditas
lain dengan gejala fisik mirip dengan depresi, dan stigma yang terkait dengan
penyakit mental yang dapat membatasi diri untuk pelaporan gejala depresi.
B. Tipe-tipe Bunuh Diri
Menurut Durkheim (dalam Lyttle, 1986 & Nevid., dkk., 1997) yang
konsen mengkaji bunuh diri dengan menggunakan perspektif sosiologi,
menyebutkan jika bunuh diri terdiri atas beberapa prinsip tipe. Beberapa prinsip
tipe tersebut adalah :12
1. Anomic Suicide. Kondisi ketidaknormalan individu berada pada posisi
yang sangat rendah, individu adalah orang yang terkatung-katung secara
sosial. Anomic suicide adalah hasil dari adanya gangguan yang nyata.
Sebagai contoh, seseorang yang tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya
yang berharga kemudian melakukan tindakan bunuh diri termasuk ke
dalam tipe ini. Anomie disebut juga kehilangan perasaan dan menjadi
kebingungan.
2. Egoistic Suicide. Kekurangan keterikatan dengan komunitas sosial atau
masyarakat, atau dengan kata lain individu kehilangan dukungan dari
lingkungan sosialnya atau masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang yang
sudah lanjut usia (elderly) yang membunuh diri mereka sendiri setelah
kehilangan kontak atau sentuhan dari teman atau keluarganya bisa
dimasukkan ke dalam kategori ini.
3. Altruistic Suicide. Pengorbanan diri (self-sacrifice) sebagai bentuk peran
serta sosial dan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, sebagai
contoh kamikaze atau seppuku di jepang. Tipe ini disebut juga “formalized
suicide”
4. Fatalistic Suicide. Merupakan bunuh diri sebagai akibat hilangnya kendali
diri dan merasa jika bisa menentukan takdir diri sendiri dan orang lain.
Bunuh diri massal yang dilakukan oleh 39 orang anggota Heaven’s Gate
10
cult adalah contoh dari tipe ini. Kehidupan 39 orang ini berada di tangan
pemimpinnya.
5. Memaparkan beberapa tipe bunuh diri yang merupakan pengembangan
atas tipe-tipe bunuh diri yang dikemukakan oleh Emile Durkheim.
6. Realistic. Bunuh diri yang dipercepat oleh tiap-tiap kondisi sebagai suatu
prospek dari rasa sakit yang mendahului suatu kesungguhan untuk mati.
7. Altruistic. Perilaku-perilaku mengabdi dari suatu individu terhadap
kelompok ethic yang memerintahkan atau mengharuskan indvidu tersebut
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
8. Inadvervent. Individu membuat sikap seolah-olah akan melakukan bunuh
diri agar bisa mempengaruhi atau memanipulasi seseorang, tetapi sebuah
kesalahan pengambilan keputusan akan membawa kekondisi fatal
(kematian) yang tidak diharapkan.
9. Spite. Hampir mirip dengan inadvervent suicide. Bunuh diri ini terfokus
pada seseorang, tetapi keinginan untuk membunuh diri sendiri adalah
sungguh-sungguh, dan hal tersebut dilakukan dengan harapan agar orang
lain atau seseorang benar-benar menderita karena adanya perasaan
bersalah.
10. Bizzare. Keinginan bunuh diri dari suatu individu adalah hasil dari adanya
halusinasi (seperti adanya suara yang memerintahkan untuk melakukan
bunuh diri) atau delusi (seperti adanya kepercayaan bila bunuh diri akan
merubah dunia).
11. Anomic. Bunuh diri yang terjadi karena adanya ketidakstabilan dalam
kondisi ekonomi dan sosial (seperti dengan tiba-tiba kehilangan
pendapatan atau pekerjaan). Secara nyata hal ini akan mengubah situasi
kehidupan individu. Ketidakmampuan untuk melakukan koping yang baik,
bisa mengakibatkan bunuh diri.
12. Negative self. Depresi yang kronis dan gangguan perasaan yang kronis
menghasilkan percobaan bunuh diri yang berulang yang pada akhirnya
menjadi faktor terdepan menuju kondisi yang fatal.
11
C. Penyebab Bunuh Diri
Cook dan Fontain (dalam Keliat, 1994) menerangkan penyebab bunuh diri
berdasarkan golongan umur. Cook dan Fontain menyebutkan bahwa penyebab
bunuh diri pada lansia sebagai berikut :13
Penyebab bunuh diri pada lanjut usia :
1. Perubahan situasi dari mandiri ketergantungan
2. Penyakit yang menurunkan kemampuan fungsi
3. Perasaan tidak berarti di masyarakat
4. Kesepian dan isolasi sosial
5. Kehilangan ganda (seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan)
6. Sumber hidup berkurang
D. Stresor Pencetus
Perilaku destruktiif diri dapat ditimbulkan oleh stress yang berlebihan
yang di alami individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian kehidupan yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan didepan umum,
kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu mengetahui
seseorang yang telah mencoba atau melakukan bunuh diri atau membaca melalui
media dapat juga membuat individu makin rentan untuk melakukan perilaku
destruktif diri.
E. Sumber Koping
Pasien dengan penyakit kronik, nyeri, atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif diri. Sering kali orang ini secara
sadar memilih untuk bunuh diri. Kualitas hidup menjadi isu yang
mengesampingkan kuantitas hidup, dilema etik mungkin timbul bagi perawat
yang menyadari pilihan pasien untuk berperilaku merusak diri, tidak ada jawaban
yang mudah mengenai bagaimana mengatasi konflik ini
F. Mekanisme Koping
12
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif
diri tak langsung adalah :
1. Denial, mekanisme koping yang paling menonjol
2. Rasionallisasi
3. Intelektualisasi
4. Regresi
Mekanisme pertahanan diri tidak seharusnya di tantang tanpa memberikan
cara koping yang alternatif. Mekanisme pertahanan ini mungkin berada di antara
individu dan bunuh diri.
Perilaku bunuh diri menunjukkan mendesaknya kegagalan mekanisme
koping. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif.
G. Bunuh Diri dalam Perspektif Teori-Teori Psikologi
Teori-teori psikologi tentang bunuh diri, fokus pada pikiran dan motivasi
dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri. Teori-teori psikologi
humanis-eksistensialis misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan persepsi
tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan
yang pasti. Bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan
oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres.
Individu yang mencoba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk
mengkomunikasikan rasa frustrasinya kepada seseorang yang dianggap penting
oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam tinjauan psikologis
dibahas dengan menggunakan pendekatan teori psikodinamik, teori kognitif-
behavior dan teori gangguan mental.
Teori Psikodinamik
Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh
seorang individu adalah merupakan masalah depresi klasik, dalam hal ini,
13
seseorang yang mempunyai agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya
sendiri. Konsep Freud tentang insting mati (death instinct), thanatos, merupakan
konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi pencetus bagi seseorang untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Teori Psikodinamik menyatakan bahwa
kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan
bunuh diri. Freud menyatakan jika depresi adalah kemarahan seseorang yang
ditujukan kepada dirinya sendiri. Secara spesifik, ego yang terdapat pada
seseorang yang berada pada kondisi seperti hal tersebut, dihadirkan kepada orang
yang telah meninggalkannya. Kemarahan akan menjadi lebih besar jika orang
yang depresi berharap untuk menghapus kesan atau sosok dari orang yang
meninggalkannya. Penghapusan atau penghilangan kesan atau gambar tersebut
dilakukan kepada dirinya sendiri dengan jalan bunuh diri.
Teori ini menyatakan jika bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi
kemarahan kepada orang lain. Teori psikodinamik menyepakati atau menghendaki
orang-orang yang bunuh diri jangan mengekspresikan kemarahannya ke dalam
catatan atau surat, karena mereka tidak akan bisa mengekspresikan emosi tersebut
dan mengembalikan perasaan tersebut kepada diri mereka.
Aliran-aliran psikodinamik terbaru yang muncul, masih terfokus pada
kemarahan pada diri sendiri sebagai inti permasalahan atau penyebab terjadinya
tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri.
Teori Kognitif-Behavior
Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap memberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh diri.
Konsistensi prediksi yang tinggi dari variabel kognitif terhadap bunuh diri adalah
kehilangan harapan (hopelessness), perasaan jika masa depan sangatlah suram dan
tidak ada jalan untuk menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik atau positif.
Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking), kekakuan dan ketidak
luwesan dalam berpikir menjadi penyebab seseorang bunuh diri. Kekakuan dan
ketidak luwesan tersebut menjadikan seseorang kesulitan dalam menemukan
alternatif penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang dirasakan
oleh orang tersebut menghilang.
14
Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab
seseorang melakukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini (impulsif), akan
semakin berisiko jika terkombinasikan dengan gangguan psikologis yang lain,
seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan potensi untuk menghasilkan
stres yang tinggi.14
2.3 TERAPI
Pertama keselamatan pasien yang harus terjamin. Kedua, kelengkapan
evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya
untuk gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan.
Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu 4 bulan dengan pengobatan yang
adekuat.14
1. Rawat inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan untuk prosedur
diagnostik, risiko untuk bunuh diri dan melakukan pembunuhan, dan
berkurangnya kemampuan pasien secara menyeluruh untuk asupan makanan dan
tempat perlindungan. Riwayat gejala berulang dan hilangnya sistem dukungan
terhadap pasien juga merupakan indikasi rawat inap.14
2. Terapi keluarga
Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer untuk
gangguan depresi berat, tetapi meningkatkan bukti klinis dapat membantu pasien
menghadapi stres dan untuk mengurangi adanya kekambuhan. Terapi keluarga
diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan jiwa pasien, perkawinan
pasien atau fungsi keluarga. Pasien dengan gangguan depresi mempunyai angka
yang tinggi untuk perceraian, dan sekitar 50% pasangan dilaporkan tidak akan
menikah atau punya anak jika mereka tahu pasien mempunyai gangguan ini.14
3. Farmakoterapi
Penanganan efektif dan spesifik, seperti obat trisiklik, untuk gangguan
depresi berat telah digunakan selama 40 tahun. Penggunaan secara spesifik
farmakoterapi diperkirakan kemungkinan sembuh dua kali lipat dalam waktu satu
bulan. Meskipun demikian, masih ada permasalahan dalam penanganan gangguan
15
depresi berat. Antidepresan membutuhkan waktu 3-4 minggu untuk memberikan
efek terapi yang signifikan. Meskipun ada yang menunjukkan efek terapi lebih
awal dan secara relatif, semua antidepresan yang tersedia menjadi toksik pada
dosis yang kelebihan dan menunjukkan efek samping.14
Antidepresan lainnya adalah Selective Serotonine Reuptake Inhibitor
( SSRI ), seperti fluxotine, paroxine ( paxil ), dan sertraline ( zololf ).
Antidepresan golongan lainnya misalnya, bupropion, venlafaxine, nefazodone,
( serzone ) dan mirtazapine ( remeron ), menunjukkan secara klinis hasil yang
sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan toleransinya lebih baik.14
Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal
penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling
sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu
menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi, dimana kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan.
Dokter juga harus menekankan kepada pasien tidak akan ketergantungan dengan
obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat akan diturunkan secara
perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi dari gejala.14
16
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan
bahwa :
Pada lansia tingkat depresi lebih meningkat dibandingkan pada usia muda.
Terutama pada keadaan depresi berat, penderita lansia akan melakukan hal yang
paling berbahaya dan merugikan diri sendiri dan orang lain yaitu bunuh diri.
Percobaan bunuh diri memang lebih dominan dilakukan oleh para anak-anak
muda yang sedang mengalami depresi, akan tetapi tingkat keberhasilan bunuh diri
lebih banyak pada penderita lansia. Faktor risiko depresi pada lansia lebih banyak
diderita oleh wanita daripada pria, lansia yang memilki status kesehatan yang
buruk, tinggal sendiri, disabilitas fungsional, penyakit somatik, status mental,
isolasi sosial, gangguan emosi dan kepribadian, tingkat pendidikan, kematian dan
lain-lain.
Bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh
ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres. Individu yang mencoba bunuh
diri adalah individu yang mencoba untuk mengkomunikasikan rasa frustrasinya
kepada seseorang yang dianggap penting oleh individu tersebut. Secara garis besar
bunuh diri dalam tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekatan
teori psikodinamik.
Penyebab bunuh diri pada lanjut usia ( lansia ) adalah, perubahan situasi
dari mandiri ketergantungan, penyakit yang meurunkan kemampuan fungsi,
perasaan tidak berarti di masyarakat, kesepian dan isolasi sosial, kehilangan ganda
( seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan ), sumber hidup yang berkurang.
17
Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal
penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling
sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu
menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi, dimana kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan.
Dokter juga harus menekankan kepada pasien tidak akan ketergantungan dengan
obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat akan diturunkan secara
perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi dari gejala.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, H. ( 2001 ). Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Blazer D, Williams CD. Epidemiology of dysphoria and depression in an
elderly population. Am J Psychiatry 1980;137;439-044.
3. Lesher EL, Berryhill JS. Validation of the Geriatric Depression Scale-Short
Form among inpatiensts. J Clin Psychol 1994;50;256;060.
4. Sadock’s and Kaplan. Comprehensive Textbook of psychiatry. In : Dimsdale,
I.R Michael, F.J Keefe & Murray B, editors. Stein. Stress and Psychiatry.
Volume II ; 2009. P. 2407, 2411-12.
5. Koenig HG, Meador KG, Cohen HJ, et al. Self-rated depression scales and
screening for major depression in the older hospitalized patient with medical
illness.
6. Ames D. depression among elderly resident of local-authority residential
homes. It nature and the efficacy of intervention. Br J Psychiatry
1990;156;667;075.
7. Heisel MJ, Grek A, Moore SL, et al. national guidelines for seniors’ mental
health : The assessment of suicide risk and prevention of suicide. Can J
Geriatry 2006;9(supp12):65-70.
8. Blazer DG, Hybels CF, Pieper CF. The association of depression and
mortality in elderly persons: A case for multiple, independent pathways. J
Gerontol A Biol Sci Med Sci 2001;56:M505-09.
9. Gill D, Hatcher S. Antidepressants for depression in people with physical
illness. Cochrane Database Syst Rev 2000;(2):CD001312.
19
10. WHO. (2012). World Health Organization. Dipetik November 2, 2013, dari
World Health Organization.
11. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statitical Manual of
Mental Disorder, 4th ed, Washington,DC; American Psychiatric Association,
1994.
12. Durkheim (dalam Lyttle, 1986 & Nevid., dkk., 1997) yang konsern mengkaji
bunuh diri dengan menggunakan perspektif sosiologi.
13. Cook dan Fontain (dalam Keliat, 1994) menerangkan penyebab bunuh diri
berdasarkan golongan.
14. Owens MJ, Nemeroff CB. Physiology and pharmacology of CRF. Pharmacol
Rev 1991;43;425-073
20