tugas filsafat sejarah
Transcript of tugas filsafat sejarah
FORMALISASI SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah
Dosen pengampu : Awaludin Marwan, S.H, M.H.
Disusun oleh :
Mukhlisin (252110051)
JURUSAN ADAB
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan umat Islam terbesar di dunia.
Sebagai bagian yang mayoritas di Indonesia, peran umat Islam banyak
memberikan warna dalam perjalanan bangsa ini. Dalam perjuangan untuk
menggapai kemerdekaan Indonesia, peran umat Islam tidak bisa diabaikan
meskipun dalam catatan sejarah jarang ditonjolkan. Sebagai contoh kecil
adalah resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut sangat berhasil
membangkitkan perlawanan terhadap Belanda dalam perang 10 November di
Surabaya.1
Dalam keyakinan umat Islam, agama Islam adalah sistem nilai yang
komprehensif, mencakup seluruh dimensi kehidupan. Dia sanggup memberi
solusi atas berbagai masalah vital dan berbagai kebutuhan akan berbagai
tatanan untuk mengangkat harkat kehidupan manusia.2 Oleh karena itu atas
usaha perwakilan umat Islam, dalam piagam Jakarta salah satu poinnya
dicantumkan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan kepada
ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Hal ini sebagai bagian dari bentuk penerapan ajaran Islam yang
komprehensif.
Dalam kaitan dengan masyarakat Islam Indonesia, konsep umat selalu
dihubungkan dengan pelaksanaan syariat dalam kehidupan individual dan
kehidupan kolektif mereka.3 Ahmad Syafii Maarif membagi umat Islam di
Indonesia menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok umat yang
percaya kepada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang lengkap dan
sempurna. Kedua, mereka yang tidak “hirau dengan praktik-praktik dan
1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 5, 1990, hal. 99
2 Hasan al-Banna, Majmuah ar-Rasail, hal. 35
3 Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 10
2
upacara-upacara keagamaan dan membatasi pada hal-hal yang berkaitan
dengan tahap-tahap terpenting dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan,
kematian. Golongan ini dikenal dengan sebutan nasionalis sekuler.4 Dua
kelompok inilah yang nantinya akan mewarnai corak negara Indonesia. Dan
untuk selanjutnya istilah umat akan lebih banyak ditujukan pada kelompok
yang pertama.
B. Pokok Masalah
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat diambil beberapa pokok
masalah penting yaitu:
1. Bagaimana konsep negara dalam Islam?
2. Bagaimana perjuangan formalisasi syariah Islam di Indonesia?
4 Ibid., hal.11-12
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Negara dalam Islam
Untuk memahami kenapa para tokoh dari umat Islam -yaitu yang
percaya kepada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang lengkap dan
sempurna- memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, kita
perlu mengetahui bagaimana konsep Islam tentang negara. Bagaimana
pandangan ini mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh umat Islam. Dan pada
akhirnya berpengaruh dalam merumuskan konsep dasar negara Indonesia.
Kata negara dalam kamus Bahasa Indonesia artinya adalah organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati oleh rakyat.5 Sedangkan istilah negara merupakan terjemahan dari
beberapa kata asing: state (inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat
(Perancis). Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin status atau statum
yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu
yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Dalam bahasa Inggris
pengertian status dan statum diartikan dengan standing atau station
(kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan
persekutuan hidup antar manusia yang biasa disebut dengan istilah status
civitatis atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir ini kata status
selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.6
Sedangkan secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu,
hidup dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada
5 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hal. 999
6 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, hal. 24
4
galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah,
dan pemerintahan yang berdaulat.7
Adapun menurut beberapa ahli antara lain:
1. Roger H. Soltau
Negara merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wewenang
(authority) yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan
bersama.
2. Harold J. Laski
Negara yaitu suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
3. Max Weber
Negara merupakan sebuah masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. 8
4. George Wilhelm Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari
kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
5. Aristoteles
Negara ialah perpaduan beberapa keluarga mencakup beberapa desa,
hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan
kesenangan dan kehormatan bersama.9
Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern,
tidak ditemukan rumusan yang pasti (qath’i) tentang konsep negara. Dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah secara eksplisit tidak menyebutkan model negara dalam
Islam. Akan tetapi keduanya memuat prinsip-prinsip dasar bagaimana tata
cara hidup bermasyarakat.10
7 Ibid., hal.24
8 Ibid., hal.24
9 http://maqalah.blogspot.com/2012/02/agama-dan-negara.html, jumat 8 Maret 2013, pkl
21.00
10A. Ubaedillah, op.cit., hal.25
5
Memang tidak ada rumusan konsep negara yang qath’i, akan tetapi
sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan dakwah Islam tidak bisa terlepas
dari politik. Praktik kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah
membuktikan hal tersebut. Apa yang dicontohkan Rasulullah di Madinah
membuka jalan bagi umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan
politik. Piagam Madinah merupakan konstitusi pertama yang mampu
menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian
bersama.11
Sampai hari ini wacana hubungan negara dan agama masih terdapat
perdebatan yang terus berlangsung. Dalam pemikiran politik Islam, setidaknya
ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Pertama, pradigama
bersatunya agama dan negara (integrated paradigm). Yakni, pemerintahan
negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty) karena
kedaulatan itu berada di tangan Tuhan.12
Konsep ini menegaskan kembali
bahwa dalam Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik
atau negara (dawlah).13
Paradigma ini dapat kita temui dalam pemikiran Ibn Taimiyah. Bagi
Ibn Taimiyah, syariah adalah sebuah prinsip agama yang lengkap, meliputi
kebenaran spiritual kaum sufi, kebenaran rasional filsuf, teolog dan ahli
hukum. Intinya, pemikiran Ibn Taimiyah mencita-citakan negara syariah. Di
sinilah prinsip-prinsip lain berkembang dan diciptakan sistem pengaturan
politik yang diperlukan bagi realisasi cita-cita negara syari’ah.14
Pandangan ini mendapatkan pembenarannya dalam sunnah nabi yang
menegaskan posisi nabi sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin
komunitas politik. Sejak berdirinya negara Madinah, yang memiliki konstitusi
pertama di dunia (Piagam Madinah), Nabi Muhammad saw sudah bertindak
11
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, Erlangga, hal. 26
12 Ibid., hal. 76
13 Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 39
14 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 78-79
6
sebagai kepala negara. Selain mengangkat pejabat negara, beliau juga
melaksanakan syariat Islam terhadap seluruh negara.15
Menurut konsep ini negara tidak memiliki wewenang untuk
memerintah kecuali sesuai dengan sistem Islam. Islam tidak akan terwujud
dalam kenyataan sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menegakkan
hukum-hukumnya. Islam merupakan suatu agama, sedangkan ideologi dan
sistem pemerintahan meruakan bagian dari Islam. Negara Islam adalah suatu
bentuk institusi politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan (teokrasi).16
Ahmad Syafii Maarif mengkritik pandangan integralistik ini dan
menganggapnya lemah karena dari al-Quran dan Sunnah, begitu pula piagam
Madinah, tidak ditemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pandangan
tersebut. Pandangan bahwa Islam adalah din dan daulah sering disalahpahami
dengan menempatkan daulah sejajar dengan posisi din, yang merupakan
wahyu, dan secara tidak sadar kita telah menyamakan alat dengan risalah.
Keberatan lain terhadap pandangan tersebut adalah dikarenakan din
adalah sesuatu yang immutable (tetap), sedangkan daulah adalah sesuatu yang
mutable (berubah) sesuai tuntutan ruang dan waktu. Dengan menempatkan
daulah setaraf dengan din berarti kita mengagungkan negara sebagaimana din.
Hal ini mengingatkan pada teori Hegel yang memandang negara sebagai
makhluk seperti Tuhan.17
Paradigma Integralistik ini dalam dunia modern dianut oleh kerajaan
Arab Saudi dan kelompok Syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a ini
menggunakan Istilah Imamah sebagai dimaksud dengan istilah daulah yang
banyak dirujuk dari kalangan ulama sunni.18
Kedua, paradigma simbiotik yaitu hubungan timbal balik dan saling
memerlukan. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula
15
Ibid., hal. 80-81
16 Ibid., hal. 82
17 Maarif, op.cit., hal.183
18 Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 39
7
sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu
negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.19
Paradigma ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi dan al-
Ghazali. Dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan
bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua aktivitas yang
berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua
dimensi dari misi kenabian. Menurut teorinya, institusi imamah hanyalah
mungkin manakala konsep taat melekat pada institusi itu. Al-Mawardi
mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti
diisyaratkan oleh agama dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi
kepatutan politik.20
Al-Ghazali dalam Nashihah al-Mulk mengisyaratkan hubungan antara
agama dan negara, yakni tentang paralelisme raja dan nabi. Paralelisme yang
dilakukannya menunjukkan bahwa raja atau agama memiliki hubungan yang
kuat dengan negara. Bahkan, al-Ghazali berpendapat bahwa agama dan negara
adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Begitu dekatnya hubungan
agama dan negara sampai-sampai al-Ghazali mengatakan “ agama adalah
dasar dan sultan adalah penjaganya”.21
Model pemerintahan negara Mesir dan
Indonesia dapat dikelompokkan pada paradigma ini.
Ketiga, paradigma sekularistik yang beranggapan bahwa ada
pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan
dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi.
Dari pemahaman ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang berasal dari kesepakatan manusia melalui kontrak sosial yang tidak
19
Ibid.,
20 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 86-87
21 Ibid., hal. 87-88
8
terkait sama sekali dengan hukum agama. Konsep sekularistik dapat kita
telusuri pada pendangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam
sejarah kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan nabi untuk
mendirikan negara Islam. Negara Turki sekuler kreasi Kemal Ataturk dapat
digolongkan kedalam paradigma ini.22
Gerakan-gerakan politik Islam dalam berbagai negara Muslim
menunjukkan tarik-menarik yang terkadang menimbulkan konflik akibat
perbedaan paradigma politiknya. Oleh karena itu, dalam berbagai negara
muslim, relasi agama dan negara selalu menjadi persoalan yang tidak pernah
habis diperdebatkan oleh sejumlah intelektual atau elite politiknya.23
Para pemimpin dan pemikir muslim dalam sejarah kontemporer
Indonesia tampaknya mempunyai persepsi dan pengertian yang sama tentang
syariat, yaitu aturan yang meliputi seluruh bagian kehidupan manusia. Oleh
karena itu, mereka berpandangan bahwa tanpa kekuasaan negara mustahil
sistem hukum Islam dapat dilaksanakan dan berfungsi secara wajar dalam
umat Islam.24
B. Perjuangan Formalisasi Syari’ah
Dengan segala keterbatasan yang ada, umat Islam Indonesia sudah
berusaha untuk merumuskan corak masyarakat dan cita-cita politik yang
hendak mereka ciptakan di Indonesia. Kalau ditelusuri akar kesadaran politik
umat Islam dimulai dengan bangkitnya SI (Sarekat Islam) sebelum perang
dunia I. SI adalah transformasi dari SDI (Sarekat Dagang Islam) yang
didirikan pada tahun 1911. SI adalah gerakan politik pertama dalam sejarah
modern Indonesia.25
Kemudian muncul MIAI sebagai wadah persatuan umat
Islam, yang didirikan pada 21 September 1937.26
Pada masa penjajahan
22
Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 40
23 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 90
24 Maarif, op.cit., hal. 13
25 Ibid., hal. 16
26 Ibid.,
9
Jepang MIAI dibubarkan, dan dibentuk organisasi baru bernama Masyumi
(Majlis Syura Muslimin Indonesia) sebagai gantinya.27
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, dua hari kemudian pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sebelum
proklamasi, ada banyak kelompok yang berbeda dari segi ideologi dan strategi
dalam usaha untuk mencapai kemerdekaan. Wahid Hasyim membagi
kelompok-kelompok itu menjadi tiga. Pertama, kaum nasionalis oportunis
yang menyertai Jawa Hokokai dan berusaha mendapatkan kemerdekaan lewat
Tokyo. Kedua, pemuda Indonesia yang memilih caranya sendiri untuk
mencapai kemerdekaan, meskipun harus menggunakan kekerasan untuk
mewujudkannya. Ketiga, kaum nasionalis muslim dalam Masyumi.28
Perbedaan ini nantinya akan mempengaruhi perkembangan politik Indonesia
pasca kemerdekaan.
Sebelum Jepang kalah dari sekutu, mereka menjanjikan kemerdekaan
kepada Indonesia sebagai upaya menggalang dukungan dari rakyat Indonesia.
Maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia
(dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai) oleh pemerintah pendudukan
Jepang pada tanggal 29 April 1945. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung
(K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk
menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil
ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang).
Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus
seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung
"Chuo Sangi In", yang pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut
merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga
"Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda),
dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi
di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri
(masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan
27
Ibid., hal. 22
28 Ibid., hal.23-24
10
baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan
berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk
membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta
merumuskan dasar negara Indonesia.29
Dalam membahas mengenai dasar negara Republik Indonesia, tiga
tokoh dari pergerakan nasional berpidato mengajukan pendapat tentang dasar
negara republik Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato
mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar Negara
Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.
Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato
mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar
negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar Negara
Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat
dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia,
yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2.
Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4.
Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.30
Sedangkan dari golongan Islam, yang jarang diungkap dalam buku
sejarah, Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah,
mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan
antitesis dari pendapat-pendapat di atas. Dengan adanya dua kubu yang
berbeda ini, maka dimulailah pertarungan antara pancasila dan Islam dalam
sidang-sidang BPUPKI.31
29
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemerdekaan_Indone
sia, Selasa 13 Maret 2013, pkl. 16.00
30 Ibid.,
31 Maarif, op.cit., hal. 28
11
Setelah rapat berhari-hari, soekarno menyebutnya “berkeringat-
keringat”, selama lebih kurang 21 hari akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945
suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pemikiran
yang berbeda. Sintesis ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam
persidangan itu debat berlangsung sengit. Mulai dari Presiden harus orang
Islam, dasar negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung
lama, maka disetujuilah piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 1945
yang juga mencakup Pancasila.32
Dalam Piagam tersebut pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi
urutan silanya mengalami perubahan. Sila Ketuhanan selain diletakkan
sebagai sila pertama, juga diberi anak kalimat “ dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam Jakarta
merupakan hasil rumusan dari Panitia Sembilan yang beranggotakan:
Soekarno, Mohammada Hatta, A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul
Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan
Muhammad Yamin. Dari sembilan orang terdapat satu orang Kristen moderat
dan toleran yaitu A. A. Maramis, sedangkan delapan lainnya beragama Islam,
meskipun berbeda ideologi politik. Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, dan
Yamin mewakili ideologi nasionalisme. Sedangkan Abikusno, Kahar
Muzakkir, Salim, dan Wahid Hasyim mewakili politik Islam.33
Akan tetapi umur Piagam Jakarta yang dihasilkan dari rapat berhari-
hari itu hanya bertahan selama 57 hari, dan hanya dalam sidang beberapa jam
isinya sudah diubah.34
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI bersidang untuk
menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota yang
semula 21 orang, atas usul Soekarno ditambah menjadi 27 orang. Dari jumlah
itu haya tiga orang yang berasal dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus
Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimejo. Dari fakta
32
Nuim Hidayat, “Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila”, www.insist.com, Jum’at 9
Maret 2013, pkl. 13.00
33 Maarif, op.cit., hal. 29
34 Hidayat, op.cit.,
12
ini jelas golonga nasionalis menjadi sangat dominan dalam badan tersebut.35
Dalam rapat yang berlangsung mulai pukul 11.30-13.45 dan dipimpin oleh
Soekarno ini diputuskan: pertama, kata Mukaddimah diganti dengan
pembukaan. Kedua, dalam preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat “
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syari’at-syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasr
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang
Indonesia asli dan beragam Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
Keempat, sejalan dengan perubahan kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1
menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai
pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.36
Dalam proses tersebut sebenarnya Soekarno cukup kewalahan
menghadapi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan rumusan piagam Jakarta.
Maka melalui Hatta – yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hasan, wakil
Sumatera dalam PPKI- dibujuklah Ki Bagus agar melunakkan sikapnya.
Akhirnya dalam waktu 15 menit, kalimat pengiring sila pertama itu berhasil
dihilangkan, dan sebagai gantinya dinobatkan atribut Yang Maha Esa sebagai
pengiring sila ketuhanan.37
Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante
yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan
perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat
mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut,
Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.
35
Maarif, op.cit., hal. 29-30
36 Hidayat, op.cit.,
37 Maarif, op.cit., hal. 30
13
Sehubungan rencana kembali ke UUD 1945, dua anggota DPR, yaitu
Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) mengajukan pertanyaan
yang prinsipil kepada pemerintah seputar pengakuan terhadap Piagam Jakarta.
Perdana Menteri Djuanda menyampaikan jawaban tertulis yang menegaskan
bahwa pengaruh Piagam Jakarta tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja,
tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus
menjadi dasar bagi kehidupan hukum dibidang keagamaan.
Perdana Menteri Djuanda menekankan, Ketuhanan dalam Pembukaan
UUD 1945 dapat diberikan arti Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam
untuk menjalankan syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan
perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan
dengan syariat Islam.
Dalam hubungan ini, tepat sekali Prof. Dr. Notonegoro, Guru Besar
Universitas Gadjah Mada dalam buku Pancasila Secara Ilmiah
Populer (1971) menyatakan, Adapun fungsi dan isi Piagam Jakarta ini ialah
suatu perjanjian moral yang sangat luhur seperti semula di antara golongan
agama dan golongan nasional para pendukung ideologi ketuhanan, ditambah
golongan ideologi lain yang menerima dan menyokong Undang-Undang
Dasar 1945. Belum pernah, sesudah proklamasi kemerdekaan sebelum Dekrit
5 Juli 1959, kita memiliki syarat yang begitu keramat, suci bagi pertalian
persatuan kebangsaan seperti pemulihan fungsi dan isi Piagam Jakarta bagi
proklamasi kemerdekaan sebagai perjanjian yang sangat luhur itu. Hendaknya
dalam waktu kita memerlukan persatuan dan kesatuan serta keselamatan dan
tercapainya kebahagiaan negara, nusa dan bangsa, seperti sekarang ini, kita
menjelmakan kembali, selekas mungkin, jiwa besar kita bersama seperti pada
proklamasi kemerdekaan.
Menilik hubungan agama dan negara yang bersifat substantif, misalnya
menyangkut kewajiban membayar zakat, Bung Hatta menyatakan, sekiranya
ada peraturan yang tepat untuk menampung dan menjuruskan penerimaan
uang zakat yang wajib bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam, berarti
sebagian besar dari tuntutan pasal 34 UUD 1945 sudah terlaksana.
14
Sejalan dengan pokok pikiran para pemimpin bangsa lainnya yang ikut
mendirikan negara ini, maka pembentukan perundang-undangan yang
mengatur kepentingan umat Islam dan mentransformasikan syariat Islam ke
dalam hukum positif seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah, dari
perspektif ideologis, politis dan yuridis, tidaklah menyalahi Konstitusi dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika belakangan ini muncul pandangan politik bahwa perundang-
undangan yang mengatur umat Islam saja, contohya Undang-Undang
Pengelolaan Zakat, RUU Jaminan Produk Halal, Peraturan Daerah bernuansa
syariat, dan sebagainya, dianggap diskriminatif, bertentangan dengan sistem
hukum nasional dan NKRI, serta dihubungkan dengan Piagam Jakarta,
sebaiknya mereka yang berpandangan demikian membaca pikiran-pikiran
dasar para founding fathers negara tentang hubungan agama dan negara serta
mencermati keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri
Djuanda kepada DPR-RI tahun 1959.
Sebagaimana dikatakan KH Moh Dahlan (Menteri Agama RI 1967-
1971) bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah
berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga
ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam
kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang
mendarah daging.
Apa yang dikatakan KH Moh Dahlan di atas, merupakan fakta yang
tidak dapat disembunyikan. Syariat Islam adalah living law, artinya hukum
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum
nasional kita, penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya mestilah
ditransformasikan ke dalam hukum positif, yaitu berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah.
Dalam struktur pemerintahan negara kita, sejak 3 Januari 1946
dibentuk Kementerian Agama yang semakin mempertegas bahwa negara
Republik Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi negara yang ber-
Ketuhanan. Di dalam negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
15
(pasal 29 ayat 1 UUD 1945), persoalan agama bukanlah urusan orang
perorangan semata, melainkan menjadi urusan negara. Penegasan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai dasar kehidupan bernegara dalam Undang-Undang
Dasar 1945 mengandung makna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita senantiasa memerlukan tuntunan Ilahi.38
38
http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/49-spirit-piagam-jakarta-dalam-
membangun-indonesia.html, Rabu 6 Maret 2013 pkl. 15.00
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga konsep tentang
hubungan agama dan negara:
1. Integralistik yaitu bersatunya agama dan negara. Yakni, pemerintahan
negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty)
karena kedaulatan itu berada di tangan Tuhan. Konsep ini menegaskan
kembali bahwa dalam Islam tidak mengenal pemisahan antara agama
(din) dan politik atau negara (dawlah).
2. Simbiotik yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam
konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya,
negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.
3. Sekularistik yang beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang
berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi.
Pejuangan formalisasi syari’ah di Indonesia dimulai sejak BPUPKI
dalam perumusan dasar negara. Syari’ah Islam tidak bisa dinafikan begitu saja
karena dalam sejarahnya syari’ah di Indonesia telah berabad-abad
dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan
hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam
kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang
mendarah daging.
Meskipun tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus, akan tetapi
perjuangan untuk menjadikan syari’at islam menjadi undang-undang tidak
17
pernah berhenti. Syariat Islam adalah living law, artinya hukum yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum nasional kita,
penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya mestilah ditransformasikan ke
dalam hukum positif, yaitu berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
atau Peraturan Daerah.
Adanya Kementerian Agama mempertegas bahwa negara Republik
Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi negara yang ber-Ketuhanan. Di
dalam negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1
UUD 1945), persoalan agama bukanlah urusan orang perorangan semata,
melainkan menjadi urusan negara.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani,
Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
Hasan al-Banna, Majmuah ar-Rasail
http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/49-spirit-piagam-jakarta-
dalam-membangun-indonesia.html, Rabu 6 Maret 2013 pkl. 15.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemerdekaan_I
ndonesia, Selasa 13 Maret 2013, pkl. 16.00
http://maqalah.blogspot.com/2012/02/agama-dan-negara.html, jumat 8 Maret
2013
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Erlangga
Nuim Hidayat, “Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila”, www.insist.com, Jum’at
9 Maret 2013, pkl. 13.00
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 5, 1990