tugas filsafat sejarah

19
FORMALISASI SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah Dosen pengampu : Awaludin Marwan, S.H, M.H. Disusun oleh : Mukhlisin (252110051) JURUSAN ADAB FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2013

Transcript of tugas filsafat sejarah

Page 1: tugas filsafat sejarah

FORMALISASI SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah

Dosen pengampu : Awaludin Marwan, S.H, M.H.

Disusun oleh :

Mukhlisin (252110051)

JURUSAN ADAB

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2013

Page 2: tugas filsafat sejarah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan umat Islam terbesar di dunia.

Sebagai bagian yang mayoritas di Indonesia, peran umat Islam banyak

memberikan warna dalam perjalanan bangsa ini. Dalam perjuangan untuk

menggapai kemerdekaan Indonesia, peran umat Islam tidak bisa diabaikan

meskipun dalam catatan sejarah jarang ditonjolkan. Sebagai contoh kecil

adalah resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut sangat berhasil

membangkitkan perlawanan terhadap Belanda dalam perang 10 November di

Surabaya.1

Dalam keyakinan umat Islam, agama Islam adalah sistem nilai yang

komprehensif, mencakup seluruh dimensi kehidupan. Dia sanggup memberi

solusi atas berbagai masalah vital dan berbagai kebutuhan akan berbagai

tatanan untuk mengangkat harkat kehidupan manusia.2 Oleh karena itu atas

usaha perwakilan umat Islam, dalam piagam Jakarta salah satu poinnya

dicantumkan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan kepada

ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya. Hal ini sebagai bagian dari bentuk penerapan ajaran Islam yang

komprehensif.

Dalam kaitan dengan masyarakat Islam Indonesia, konsep umat selalu

dihubungkan dengan pelaksanaan syariat dalam kehidupan individual dan

kehidupan kolektif mereka.3 Ahmad Syafii Maarif membagi umat Islam di

Indonesia menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok umat yang

percaya kepada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang lengkap dan

sempurna. Kedua, mereka yang tidak “hirau dengan praktik-praktik dan

1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 5, 1990, hal. 99

2 Hasan al-Banna, Majmuah ar-Rasail, hal. 35

3 Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 10

Page 3: tugas filsafat sejarah

2

upacara-upacara keagamaan dan membatasi pada hal-hal yang berkaitan

dengan tahap-tahap terpenting dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan,

kematian. Golongan ini dikenal dengan sebutan nasionalis sekuler.4 Dua

kelompok inilah yang nantinya akan mewarnai corak negara Indonesia. Dan

untuk selanjutnya istilah umat akan lebih banyak ditujukan pada kelompok

yang pertama.

B. Pokok Masalah

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat diambil beberapa pokok

masalah penting yaitu:

1. Bagaimana konsep negara dalam Islam?

2. Bagaimana perjuangan formalisasi syariah Islam di Indonesia?

4 Ibid., hal.11-12

Page 4: tugas filsafat sejarah

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Negara dalam Islam

Untuk memahami kenapa para tokoh dari umat Islam -yaitu yang

percaya kepada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang lengkap dan

sempurna- memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, kita

perlu mengetahui bagaimana konsep Islam tentang negara. Bagaimana

pandangan ini mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh umat Islam. Dan pada

akhirnya berpengaruh dalam merumuskan konsep dasar negara Indonesia.

Kata negara dalam kamus Bahasa Indonesia artinya adalah organisasi

dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan

ditaati oleh rakyat.5 Sedangkan istilah negara merupakan terjemahan dari

beberapa kata asing: state (inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat

(Perancis). Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin status atau statum

yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu

yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Dalam bahasa Inggris

pengertian status dan statum diartikan dengan standing atau station

(kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan

persekutuan hidup antar manusia yang biasa disebut dengan istilah status

civitatis atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir ini kata status

selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.6

Sedangkan secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di

antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu,

hidup dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.

Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada

5 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hal. 999

6 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat

Madani, hal. 24

Page 5: tugas filsafat sejarah

4

galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah,

dan pemerintahan yang berdaulat.7

Adapun menurut beberapa ahli antara lain:

1. Roger H. Soltau

Negara merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wewenang

(authority) yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan

bersama.

2. Harold J. Laski

Negara yaitu suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai

wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada

individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.

3. Max Weber

Negara merupakan sebuah masyarakat yang mempunyai monopoli dalam

penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. 8

4. George Wilhelm Hegel

Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari

kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.

5. Aristoteles

Negara ialah perpaduan beberapa keluarga mencakup beberapa desa,

hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan

kesenangan dan kehormatan bersama.9

Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern,

tidak ditemukan rumusan yang pasti (qath’i) tentang konsep negara. Dalam al-

Qur’an dan al-Sunnah secara eksplisit tidak menyebutkan model negara dalam

Islam. Akan tetapi keduanya memuat prinsip-prinsip dasar bagaimana tata

cara hidup bermasyarakat.10

7 Ibid., hal.24

8 Ibid., hal.24

9 http://maqalah.blogspot.com/2012/02/agama-dan-negara.html, jumat 8 Maret 2013, pkl

21.00

10A. Ubaedillah, op.cit., hal.25

Page 6: tugas filsafat sejarah

5

Memang tidak ada rumusan konsep negara yang qath’i, akan tetapi

sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan dakwah Islam tidak bisa terlepas

dari politik. Praktik kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah

membuktikan hal tersebut. Apa yang dicontohkan Rasulullah di Madinah

membuka jalan bagi umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan

politik. Piagam Madinah merupakan konstitusi pertama yang mampu

menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian

bersama.11

Sampai hari ini wacana hubungan negara dan agama masih terdapat

perdebatan yang terus berlangsung. Dalam pemikiran politik Islam, setidaknya

ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Pertama, pradigama

bersatunya agama dan negara (integrated paradigm). Yakni, pemerintahan

negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty) karena

kedaulatan itu berada di tangan Tuhan.12

Konsep ini menegaskan kembali

bahwa dalam Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik

atau negara (dawlah).13

Paradigma ini dapat kita temui dalam pemikiran Ibn Taimiyah. Bagi

Ibn Taimiyah, syariah adalah sebuah prinsip agama yang lengkap, meliputi

kebenaran spiritual kaum sufi, kebenaran rasional filsuf, teolog dan ahli

hukum. Intinya, pemikiran Ibn Taimiyah mencita-citakan negara syariah. Di

sinilah prinsip-prinsip lain berkembang dan diciptakan sistem pengaturan

politik yang diperlukan bagi realisasi cita-cita negara syari’ah.14

Pandangan ini mendapatkan pembenarannya dalam sunnah nabi yang

menegaskan posisi nabi sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin

komunitas politik. Sejak berdirinya negara Madinah, yang memiliki konstitusi

pertama di dunia (Piagam Madinah), Nabi Muhammad saw sudah bertindak

11

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam, Erlangga, hal. 26

12 Ibid., hal. 76

13 Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 39

14 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 78-79

Page 7: tugas filsafat sejarah

6

sebagai kepala negara. Selain mengangkat pejabat negara, beliau juga

melaksanakan syariat Islam terhadap seluruh negara.15

Menurut konsep ini negara tidak memiliki wewenang untuk

memerintah kecuali sesuai dengan sistem Islam. Islam tidak akan terwujud

dalam kenyataan sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menegakkan

hukum-hukumnya. Islam merupakan suatu agama, sedangkan ideologi dan

sistem pemerintahan meruakan bagian dari Islam. Negara Islam adalah suatu

bentuk institusi politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan (teokrasi).16

Ahmad Syafii Maarif mengkritik pandangan integralistik ini dan

menganggapnya lemah karena dari al-Quran dan Sunnah, begitu pula piagam

Madinah, tidak ditemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pandangan

tersebut. Pandangan bahwa Islam adalah din dan daulah sering disalahpahami

dengan menempatkan daulah sejajar dengan posisi din, yang merupakan

wahyu, dan secara tidak sadar kita telah menyamakan alat dengan risalah.

Keberatan lain terhadap pandangan tersebut adalah dikarenakan din

adalah sesuatu yang immutable (tetap), sedangkan daulah adalah sesuatu yang

mutable (berubah) sesuai tuntutan ruang dan waktu. Dengan menempatkan

daulah setaraf dengan din berarti kita mengagungkan negara sebagaimana din.

Hal ini mengingatkan pada teori Hegel yang memandang negara sebagai

makhluk seperti Tuhan.17

Paradigma Integralistik ini dalam dunia modern dianut oleh kerajaan

Arab Saudi dan kelompok Syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a ini

menggunakan Istilah Imamah sebagai dimaksud dengan istilah daulah yang

banyak dirujuk dari kalangan ulama sunni.18

Kedua, paradigma simbiotik yaitu hubungan timbal balik dan saling

memerlukan. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai

instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula

15

Ibid., hal. 80-81

16 Ibid., hal. 82

17 Maarif, op.cit., hal.183

18 Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 39

Page 8: tugas filsafat sejarah

7

sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu

negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.19

Paradigma ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi dan al-

Ghazali. Dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan

bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk

meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.

Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua aktivitas yang

berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua

dimensi dari misi kenabian. Menurut teorinya, institusi imamah hanyalah

mungkin manakala konsep taat melekat pada institusi itu. Al-Mawardi

mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti

diisyaratkan oleh agama dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi

kepatutan politik.20

Al-Ghazali dalam Nashihah al-Mulk mengisyaratkan hubungan antara

agama dan negara, yakni tentang paralelisme raja dan nabi. Paralelisme yang

dilakukannya menunjukkan bahwa raja atau agama memiliki hubungan yang

kuat dengan negara. Bahkan, al-Ghazali berpendapat bahwa agama dan negara

adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Begitu dekatnya hubungan

agama dan negara sampai-sampai al-Ghazali mengatakan “ agama adalah

dasar dan sultan adalah penjaganya”.21

Model pemerintahan negara Mesir dan

Indonesia dapat dikelompokkan pada paradigma ini.

Ketiga, paradigma sekularistik yang beranggapan bahwa ada

pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan

dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing,

sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain

melakukan intervensi.

Dari pemahaman ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum

yang berasal dari kesepakatan manusia melalui kontrak sosial yang tidak

19

Ibid.,

20 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 86-87

21 Ibid., hal. 87-88

Page 9: tugas filsafat sejarah

8

terkait sama sekali dengan hukum agama. Konsep sekularistik dapat kita

telusuri pada pendangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam

sejarah kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan nabi untuk

mendirikan negara Islam. Negara Turki sekuler kreasi Kemal Ataturk dapat

digolongkan kedalam paradigma ini.22

Gerakan-gerakan politik Islam dalam berbagai negara Muslim

menunjukkan tarik-menarik yang terkadang menimbulkan konflik akibat

perbedaan paradigma politiknya. Oleh karena itu, dalam berbagai negara

muslim, relasi agama dan negara selalu menjadi persoalan yang tidak pernah

habis diperdebatkan oleh sejumlah intelektual atau elite politiknya.23

Para pemimpin dan pemikir muslim dalam sejarah kontemporer

Indonesia tampaknya mempunyai persepsi dan pengertian yang sama tentang

syariat, yaitu aturan yang meliputi seluruh bagian kehidupan manusia. Oleh

karena itu, mereka berpandangan bahwa tanpa kekuasaan negara mustahil

sistem hukum Islam dapat dilaksanakan dan berfungsi secara wajar dalam

umat Islam.24

B. Perjuangan Formalisasi Syari’ah

Dengan segala keterbatasan yang ada, umat Islam Indonesia sudah

berusaha untuk merumuskan corak masyarakat dan cita-cita politik yang

hendak mereka ciptakan di Indonesia. Kalau ditelusuri akar kesadaran politik

umat Islam dimulai dengan bangkitnya SI (Sarekat Islam) sebelum perang

dunia I. SI adalah transformasi dari SDI (Sarekat Dagang Islam) yang

didirikan pada tahun 1911. SI adalah gerakan politik pertama dalam sejarah

modern Indonesia.25

Kemudian muncul MIAI sebagai wadah persatuan umat

Islam, yang didirikan pada 21 September 1937.26

Pada masa penjajahan

22

Ubaedillah dan Razak, op.cit., hal. 40

23 Syarif dan Zada, op.cit.,hal. 90

24 Maarif, op.cit., hal. 13

25 Ibid., hal. 16

26 Ibid.,

Page 10: tugas filsafat sejarah

9

Jepang MIAI dibubarkan, dan dibentuk organisasi baru bernama Masyumi

(Majlis Syura Muslimin Indonesia) sebagai gantinya.27

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, dua hari kemudian pada

tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sebelum

proklamasi, ada banyak kelompok yang berbeda dari segi ideologi dan strategi

dalam usaha untuk mencapai kemerdekaan. Wahid Hasyim membagi

kelompok-kelompok itu menjadi tiga. Pertama, kaum nasionalis oportunis

yang menyertai Jawa Hokokai dan berusaha mendapatkan kemerdekaan lewat

Tokyo. Kedua, pemuda Indonesia yang memilih caranya sendiri untuk

mencapai kemerdekaan, meskipun harus menggunakan kekerasan untuk

mewujudkannya. Ketiga, kaum nasionalis muslim dalam Masyumi.28

Perbedaan ini nantinya akan mempengaruhi perkembangan politik Indonesia

pasca kemerdekaan.

Sebelum Jepang kalah dari sekutu, mereka menjanjikan kemerdekaan

kepada Indonesia sebagai upaya menggalang dukungan dari rakyat Indonesia.

Maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia

(dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai) oleh pemerintah pendudukan

Jepang pada tanggal 29 April 1945. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung

(K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk

menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil

ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang).

Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus

seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung

"Chuo Sangi In", yang pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut

merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga

"Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda),

dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi

di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri

(masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan

27

Ibid., hal. 22

28 Ibid., hal.23-24

Page 11: tugas filsafat sejarah

10

baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan

berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk

membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta

merumuskan dasar negara Indonesia.29

Dalam membahas mengenai dasar negara Republik Indonesia, tiga

tokoh dari pergerakan nasional berpidato mengajukan pendapat tentang dasar

negara republik Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato

mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar Negara

Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.

Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.

2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato

mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar

negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar Negara

Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat

dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.

3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan

gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia,

yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2.

Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4.

Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.30

Sedangkan dari golongan Islam, yang jarang diungkap dalam buku

sejarah, Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah,

mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan

antitesis dari pendapat-pendapat di atas. Dengan adanya dua kubu yang

berbeda ini, maka dimulailah pertarungan antara pancasila dan Islam dalam

sidang-sidang BPUPKI.31

29

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemerdekaan_Indone

sia, Selasa 13 Maret 2013, pkl. 16.00

30 Ibid.,

31 Maarif, op.cit., hal. 28

Page 12: tugas filsafat sejarah

11

Setelah rapat berhari-hari, soekarno menyebutnya “berkeringat-

keringat”, selama lebih kurang 21 hari akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945

suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pemikiran

yang berbeda. Sintesis ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam

persidangan itu debat berlangsung sengit. Mulai dari Presiden harus orang

Islam, dasar negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung

lama, maka disetujuilah piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 1945

yang juga mencakup Pancasila.32

Dalam Piagam tersebut pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi

urutan silanya mengalami perubahan. Sila Ketuhanan selain diletakkan

sebagai sila pertama, juga diberi anak kalimat “ dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam Jakarta

merupakan hasil rumusan dari Panitia Sembilan yang beranggotakan:

Soekarno, Mohammada Hatta, A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul

Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan

Muhammad Yamin. Dari sembilan orang terdapat satu orang Kristen moderat

dan toleran yaitu A. A. Maramis, sedangkan delapan lainnya beragama Islam,

meskipun berbeda ideologi politik. Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, dan

Yamin mewakili ideologi nasionalisme. Sedangkan Abikusno, Kahar

Muzakkir, Salim, dan Wahid Hasyim mewakili politik Islam.33

Akan tetapi umur Piagam Jakarta yang dihasilkan dari rapat berhari-

hari itu hanya bertahan selama 57 hari, dan hanya dalam sidang beberapa jam

isinya sudah diubah.34

Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI bersidang untuk

menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota yang

semula 21 orang, atas usul Soekarno ditambah menjadi 27 orang. Dari jumlah

itu haya tiga orang yang berasal dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus

Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimejo. Dari fakta

32

Nuim Hidayat, “Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila”, www.insist.com, Jum’at 9

Maret 2013, pkl. 13.00

33 Maarif, op.cit., hal. 29

34 Hidayat, op.cit.,

Page 13: tugas filsafat sejarah

12

ini jelas golonga nasionalis menjadi sangat dominan dalam badan tersebut.35

Dalam rapat yang berlangsung mulai pukul 11.30-13.45 dan dipimpin oleh

Soekarno ini diputuskan: pertama, kata Mukaddimah diganti dengan

pembukaan. Kedua, dalam preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat “

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan

syari’at-syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasr

atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang

Indonesia asli dan beragam Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

Keempat, sejalan dengan perubahan kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1

menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai

pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.36

Dalam proses tersebut sebenarnya Soekarno cukup kewalahan

menghadapi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan rumusan piagam Jakarta.

Maka melalui Hatta – yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hasan, wakil

Sumatera dalam PPKI- dibujuklah Ki Bagus agar melunakkan sikapnya.

Akhirnya dalam waktu 15 menit, kalimat pengiring sila pertama itu berhasil

dihilangkan, dan sebagai gantinya dinobatkan atribut Yang Maha Esa sebagai

pengiring sila ketuhanan.37

Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante

yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan

perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat

mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut,

Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam

Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.

35

Maarif, op.cit., hal. 29-30

36 Hidayat, op.cit.,

37 Maarif, op.cit., hal. 30

Page 14: tugas filsafat sejarah

13

Sehubungan rencana kembali ke UUD 1945, dua anggota DPR, yaitu

Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) mengajukan pertanyaan

yang prinsipil kepada pemerintah seputar pengakuan terhadap Piagam Jakarta.

Perdana Menteri Djuanda menyampaikan jawaban tertulis yang menegaskan

bahwa pengaruh Piagam Jakarta tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja,

tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus

menjadi dasar bagi kehidupan hukum dibidang keagamaan.

Perdana Menteri Djuanda menekankan, Ketuhanan dalam Pembukaan

UUD 1945 dapat diberikan arti Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam

untuk menjalankan syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan

perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan

dengan syariat Islam.

Dalam hubungan ini, tepat sekali Prof. Dr. Notonegoro, Guru Besar

Universitas Gadjah Mada dalam buku Pancasila Secara Ilmiah

Populer (1971) menyatakan, Adapun fungsi dan isi Piagam Jakarta ini ialah

suatu perjanjian moral yang sangat luhur seperti semula di antara golongan

agama dan golongan nasional para pendukung ideologi ketuhanan, ditambah

golongan ideologi lain yang menerima dan menyokong Undang-Undang

Dasar 1945. Belum pernah, sesudah proklamasi kemerdekaan sebelum Dekrit

5 Juli 1959, kita memiliki syarat yang begitu keramat, suci bagi pertalian

persatuan kebangsaan seperti pemulihan fungsi dan isi Piagam Jakarta bagi

proklamasi kemerdekaan sebagai perjanjian yang sangat luhur itu. Hendaknya

dalam waktu kita memerlukan persatuan dan kesatuan serta keselamatan dan

tercapainya kebahagiaan negara, nusa dan bangsa, seperti sekarang ini, kita

menjelmakan kembali, selekas mungkin, jiwa besar kita bersama seperti pada

proklamasi kemerdekaan.

Menilik hubungan agama dan negara yang bersifat substantif, misalnya

menyangkut kewajiban membayar zakat, Bung Hatta menyatakan, sekiranya

ada peraturan yang tepat untuk menampung dan menjuruskan penerimaan

uang zakat yang wajib bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam, berarti

sebagian besar dari tuntutan pasal 34 UUD 1945 sudah terlaksana.

Page 15: tugas filsafat sejarah

14

Sejalan dengan pokok pikiran para pemimpin bangsa lainnya yang ikut

mendirikan negara ini, maka pembentukan perundang-undangan yang

mengatur kepentingan umat Islam dan mentransformasikan syariat Islam ke

dalam hukum positif seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah, dari

perspektif ideologis, politis dan yuridis, tidaklah menyalahi Konstitusi dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika belakangan ini muncul pandangan politik bahwa perundang-

undangan yang mengatur umat Islam saja, contohya Undang-Undang

Pengelolaan Zakat, RUU Jaminan Produk Halal, Peraturan Daerah bernuansa

syariat, dan sebagainya, dianggap diskriminatif, bertentangan dengan sistem

hukum nasional dan NKRI, serta dihubungkan dengan Piagam Jakarta,

sebaiknya mereka yang berpandangan demikian membaca pikiran-pikiran

dasar para founding fathers negara tentang hubungan agama dan negara serta

mencermati keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri

Djuanda kepada DPR-RI tahun 1959.

Sebagaimana dikatakan KH Moh Dahlan (Menteri Agama RI 1967-

1971) bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah

berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga

ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam

kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang

mendarah daging.

Apa yang dikatakan KH Moh Dahlan di atas, merupakan fakta yang

tidak dapat disembunyikan. Syariat Islam adalah living law, artinya hukum

yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum

nasional kita, penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya mestilah

ditransformasikan ke dalam hukum positif, yaitu berupa Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah.

Dalam struktur pemerintahan negara kita, sejak 3 Januari 1946

dibentuk Kementerian Agama yang semakin mempertegas bahwa negara

Republik Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi negara yang ber-

Ketuhanan. Di dalam negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Page 16: tugas filsafat sejarah

15

(pasal 29 ayat 1 UUD 1945), persoalan agama bukanlah urusan orang

perorangan semata, melainkan menjadi urusan negara. Penegasan Ketuhanan

Yang Maha Esa sebagai dasar kehidupan bernegara dalam Undang-Undang

Dasar 1945 mengandung makna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara kita senantiasa memerlukan tuntunan Ilahi.38

38

http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/49-spirit-piagam-jakarta-dalam-

membangun-indonesia.html, Rabu 6 Maret 2013 pkl. 15.00

Page 17: tugas filsafat sejarah

16

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga konsep tentang

hubungan agama dan negara:

1. Integralistik yaitu bersatunya agama dan negara. Yakni, pemerintahan

negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty)

karena kedaulatan itu berada di tangan Tuhan. Konsep ini menegaskan

kembali bahwa dalam Islam tidak mengenal pemisahan antara agama

(din) dan politik atau negara (dawlah).

2. Simbiotik yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam

konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam

melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya,

negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara

dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.

3. Sekularistik yang beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara

agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang

berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga

keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain

melakukan intervensi.

Pejuangan formalisasi syari’ah di Indonesia dimulai sejak BPUPKI

dalam perumusan dasar negara. Syari’ah Islam tidak bisa dinafikan begitu saja

karena dalam sejarahnya syari’ah di Indonesia telah berabad-abad

dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan

hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam

kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang

mendarah daging.

Meskipun tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus, akan tetapi

perjuangan untuk menjadikan syari’at islam menjadi undang-undang tidak

Page 18: tugas filsafat sejarah

17

pernah berhenti. Syariat Islam adalah living law, artinya hukum yang hidup

dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum nasional kita,

penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya mestilah ditransformasikan ke

dalam hukum positif, yaitu berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

atau Peraturan Daerah.

Adanya Kementerian Agama mempertegas bahwa negara Republik

Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi negara yang ber-Ketuhanan. Di

dalam negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1

UUD 1945), persoalan agama bukanlah urusan orang perorangan semata,

melainkan menjadi urusan negara.

Page 19: tugas filsafat sejarah

18

DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan

Masyarakat Madani,

Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Hasan al-Banna, Majmuah ar-Rasail

http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/49-spirit-piagam-jakarta-

dalam-membangun-indonesia.html, Rabu 6 Maret 2013 pkl. 15.00

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemerdekaan_I

ndonesia, Selasa 13 Maret 2013, pkl. 16.00

http://maqalah.blogspot.com/2012/02/agama-dan-negara.html, jumat 8 Maret

2013

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran

Politik Islam, Erlangga

Nuim Hidayat, “Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila”, www.insist.com, Jum’at

9 Maret 2013, pkl. 13.00

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 5, 1990