Tugas Farmakoterapi II

25

Click here to load reader

Transcript of Tugas Farmakoterapi II

Page 1: Tugas Farmakoterapi II

TUGAS FARMAKOTERAPI II

HIPERTENSI

DI SUSUN OLEH :

RUPA LESTY G1F009059

MUHAMMAD FURQON G1F009067

PUTRI KUSUMA WARDANI G1F010001

(KELAS A)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

2013

Page 2: Tugas Farmakoterapi II

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas

masalah kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang

peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan peningkatan risiko

kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler. Analisis Kearney dkk,

memperlihatkan bahwa peningkatan angka kejadian hipertensi sungguh luar biasa: pada

tahun 2000, lebih dari 25% populasi dunia merupakan penderita hipertensi, atau sekitar 1

miliar orang, dan dua pertiga penderita hipertensi ada di negara berkembang. Bila tidak

dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun 2025 yang akan

datang, jumlah penderita hipertensi diprediksi akan meningkat menjadi 29%, atau sekitar 1,6

miliar orang di seluruh dunia.

Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15%4 dan masih banyak penderita

yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Sementara

itu, di Amerika Serikat, data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey)

memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data

NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah

penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi.

Walau upaya, tindakan sudah banyak dilakukan dan tersedia banyak obat untuk

mengatasi hipertensi, tata laksana hipertensi masih jauh dari berhasil. Data NHANES 2005-

2008 di Amerika Serikat menunjukkan dari semua penderita hipertensi, hanya 79,6% sadar

telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Dan dari

70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target.

Page 3: Tugas Farmakoterapi II

BAB II

HIPERTENSI

1. Definisi

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan

diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur dengan

sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi

lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang

paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada

orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan

derajat 2 (Yogiantoro M, 2006).

2. Epidemiologi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang

berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk

pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus

hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di tahun

2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Angka-angka prevalensi

hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan

masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Prevalensi

terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah

terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya

Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera

Barat 17,8% (Wade, 2003).

3. Etiologi

Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi

primer tidak disebabkan oleh factor tunggal dan khusus. Hipertensi sekunder disebabkan

oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu,

stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Risiko relative hipertensi tergantung pada

jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat

dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain factor genetik, umur,

Page 4: Tugas Farmakoterapi II

jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas

dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006).

4. Klasifikasi

Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau

lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Tabel Klasifikasi tekanan darah

menurut JNC VII adalah sebagai berikut:

Klasifikasi tekanan

darah

Tekanan darah sistolik

(mmHg)

Tekanan darah

diastolik (mmHg)

Normal >120 Dan < 80

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80-89

Hipertensitahap I 140 – 159 Atau 90-99

Hipertensitahap II > 160 Atau >100

5. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari

angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis

penting dalam mengatur tekanan darah. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam

menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi

hormone antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja

pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,

sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat

dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan

ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah

meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume

cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali

dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan

Page 5: Tugas Farmakoterapi II

multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah

terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah,

kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi

neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa factor meliputi faktor

genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan

gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang

kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama,

hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan

organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

Patoflow Hipertensi

6. Terapi Hipertensi

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:

1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti

diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.

2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.

3. Menghambat laju penyakit ginjal.

Page 6: Tugas Farmakoterapi II

Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti

penjelasan dibawah ini:

A. Terapi non farmakologi

Modifikasi gaya hidup penting untuk menurunkan tekanan darah

adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau

gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop

Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah

natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja.

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya

dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar

total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang

direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari.

Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari

beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Pasien

harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga

mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ

target.

Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk

penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus

dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan

oleh merokok.

Berikut merupakan table modifikasi gaya hidup untuk mengontrol

hipertensi:

Page 7: Tugas Farmakoterapi II

(Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

2006).

B. Terapi farmakologi

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta,

penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor

angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat

antihipertensi utama. Obat antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2 kriteria:

1) tingkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan

2) tingkatan risiko kardiovaskular.

Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk

mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan

keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya

diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan

yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan

klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral,

penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat

alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama (Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

Page 8: Tugas Farmakoterapi II

Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas

bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat

secara sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau

penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat

tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan

morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi.

Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah,

tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat

hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang

paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan

antagonis kalsium (CCB) (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

Guideline ESC/ ESH 2007 memberi petunjuk pemilihan golongan obat antihipertensi

sebagai terapi inisial berdasarkan karakteristik kerusakan target organ subklinis.

Page 9: Tugas Farmakoterapi II

(Tedjakusuma,2012).

JNC VII (2003) merekomendasikan pilihan jenis obat antihipertensi berdasarkan ada

tidaknya penyakit komorbid (Compelling Indications for Individual Drug Classes).

(Tedjakusuma,2012).

1. Diuretik

Page 10: Tugas Farmakoterapi II

Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien

dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah,

diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk

mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik

penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi

memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya

diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian

diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula

kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC VII melihatnya sebagai

kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Diuretik sangat efektif

menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.

Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi

dengan pemberian diuretik bersamaan.

2. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)

ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien

dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih

sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten

dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan

lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain

ACEI malah lebih efektif. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini

pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI

menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron.

3. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)

ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang

memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi,

pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormone antidiuretik dan konstriksi

arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2).

Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan,

dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB.

Page 11: Tugas Farmakoterapi II

Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target

jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh

ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan

tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis

diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis.

Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB.

Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1

x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek

dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah.

4. Penyekat beta

Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada,

tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari

penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek:

Kardioselektif (cardioselektivity)

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif;

jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma, PPOK,

penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat

beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang

lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk

reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1.

Pada dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada

umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk

mengobati hipertensi.

ISA (intrinsic sympathomimetic activity)

Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA).

Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja

secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan

kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat

ini dapat meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien dengan resiko

penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang diperlukan.

Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)

Page 12: Tugas Farmakoterapi II

Semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane (membrane-stabilising

action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila

karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan.

5. Antagonis kalsium (CCB)

CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang

membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage

channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya

menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan

perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine.

Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya

hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain.

Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung

dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil

menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung

jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau

menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga

mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.

6. Penyekat alfa-1

Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α1 selektif. Bekerja pada

pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,

menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin

adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point

stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin

dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung

koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid

superior dari doxazosin (dan barangkali α1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian

kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif

kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya.

7. Agonis α2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang

reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat

Page 13: Tugas Farmakoterapi II

vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan

dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac

output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin

sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama

untuk hipertensi pada kehamilan

8. Reserpin

Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung

saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin

juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,

dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga

dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek

antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang

cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai).

9. Vasodilator arteri langsung (direct arterial vasodilators)

Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung

otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua

obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks

baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik,

sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya

terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini

dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan (Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, 2006).

Terapi kombinasi

Data penelitian klinik hipertensi memperlihatkan bahwa mayoritas pasien hipertensi

memerlukan paling sedikit dua golongan obat untuk mencapati target tekanan darah. JNC VII

(2003) dan ESC/ ESH (2007) menganjurkan untuk langsung mulai dengan kombinasi dua

macam obat pada kelas II hipertensi (≥160/100 mmHg) atau pada kelompok hipertensi

dengan risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat tinggi. Kombinasi dengan garis solid adalah

yang bermanfaat dan evidence based, sedangkan kombinasi dengan garis putus-putus tidak

direkomendasikan (Tedjasukmana,2012).

Page 14: Tugas Farmakoterapi II

Terapi kombinasi obat herbal dan obat antihipertensi

Berdasarkan hasil review yang dilakukan Jie Wang et al (2012) ditemukan bahwa

penggunaan kombinasi terapi herbal antara Yangxue Qingnao granule (YQG) dengan obat

antihipertensi memiliki efek potensial dalam pengobatan hipertensi. Yangxue Qingnao

granule (YQG) merupakan salah satu obat paten tradisional Cina sebagai terapi pengobatan

hipertensi, yang sudah direkomendasikan oleh Newly Edited National Chinese Traditional

Patent Medicines. YQG terdiri dari sebelas tanaman herbal, diantaranya angelica sinensis,

Ligusticum chuanxiong Hort, white peony root, prepared radix rehmanniae, uncaria,

Spatholobus suberectus Dunn, Prunella vulgaris, cassia seed, pearl shell, rhizoma corydalis,

dan asarum herb.

Berdasarkan dua belas percobaan yang dilakukan secara acak yang jumlahnya 1985

partisipan, YQG yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi memiliki efek potensial

dalam menurunkan tekanan darah. Namun, bukti tersebut masih belum kuat karena

keterbatasan metode yang dilakukan. Walaupun demikian hampir semuanya menyatakan

bahwa kombinasi terapi dengan YQG memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan pemberian obat antihipertensi sebagai monoterapi dan belum pernah ada bukti yang

dipublikasikan tentang hasil negatif dari kombinasi terapi ini. Kesimpulannya, sudah ada

Page 15: Tugas Farmakoterapi II

beberapa hasil yang dapat membuktikan bahwa kombinasi terapi tersebut memiliki efek

potensial terhadap pengobatan hipertensi, sehingga harus dilakukan uji yang lebih akurat

untuk memperkuat temuan ini.

Page 16: Tugas Farmakoterapi II

BAB III

KESIMPULAN

1. Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik

lebih dari 90 mmHg. JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa terbagi

menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.

2. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi

utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Dengan

meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis),

sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.

Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali

dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.

3. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek.

Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang muncul

menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi

persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target

di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

4. Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non

farmakologi yang dilakukan adalah dengan modifikasi gaya hidup yang

penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi

berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola

makan DASH yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;

aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Terapi farmakologi

yang diberikan yaitu dengan mengkonsumsi obat antihipertensi

diantaranya adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan

antagonis kalsium (CCB). Obat tersebut dapat diberikan secara

Page 17: Tugas Farmakoterapi II

monoterapi dan kombinasi terapi baik kombinasi antar obat antihipertensi

maupun kombinasi dengan obat herbal.

DAFTAR PUSTAKA

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi,

Depkes RI, Jakarta.

Jie Wang et al, 2012, Is Yangxue Qingnao Granule Combined with Antihypertensive Drugs, a ew

Integrative Medicine Therapy, More Effective Than Antihypertensive Therapy Alone in

Treating Essential Hypertension?, Hindawi Publishing Corporation.

Tedjakusuma, Pradana, 2012, Tata Laksana Hipertensi, Departemen Kardiologi, RS Premier

Jatinegara dan RS Grha Kedoya, Jakarta.

Yogiantoro M, 2006, Hipertensi Esensial Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi keIV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FakultasKedokteran Universitas Riau, Jakarta.

Wade, A Hwheir, D N Cameron, A, 2003, Using a Problem Detection Study (PDS) to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, Jun Vol 17 Issue 6.

JNC VII (The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure), 2004. (Guidline)