TUGAS EKONOMI LINGKUNGAN.docx

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi bangsa Indonesia dalam hal ini, berupa kegiatan usaha individu maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan. Baik itu lingkungan alam, maupun lingkungan sosial sebagai unsur produksi. Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses lebih lanjut, guna memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan. Sebaliknya, lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam bersumber dari penggunaan sumbersumber yang terbatas jumlahnya (Hadi dan Samekto, 2007:2). Pembangunan berkelanjutan dalam konteks negera Negara Republik Indonesia secara nyata dituangkan 1

Transcript of TUGAS EKONOMI LINGKUNGAN.docx

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Pembangunan ekonomi bangsa Indonesia dalam hal ini, berupa kegiatan usaha individu maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan. Baik itu lingkungan alam, maupun lingkungan sosial sebagai unsur produksi. Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses lebih lanjut, guna memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan. Sebaliknya, lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam bersumber dari penggunaan sumbersumber yang terbatas jumlahnya (Hadi dan Samekto, 2007:2).Pembangunan berkelanjutan dalam konteks negera Negara Republik Indonesia secara nyata dituangkan berupa undang-undang yang ditujukan untuk perlindungan lingkungan hidup. Undang-undang perlindungan lingkungan yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Semangat undang-undang ini pada prinsipnya untuk mengatur hak dan kewajiban warga negaranya berkenaan dengan fungsi lingkungan hidup juga secara eksplisit mengatur kewajiban pelaku usaha untuk berperan aktif dalam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama pengembangan lingkungan hidup ini nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat. Antara lain nampak dalam peningkatan upaya swadaya masyarakat seperti tercermin dalam kegiatan nyata dan keterlibatan masyarakat umum dalam memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal, 20 tahun sebelumnya, istilah lingkungan hidup itu sendiri belum begitu dikenal.Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada Pelita V kebijaksanaan lingkungan hidup sebelumnya disempurnakan dengan mempertimbangkan keterkaitan tiga unsur, antara kependudukan, lingkungan hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila kebijaksanaan dalam menangani tiga bidang tersebut selalu dilakukan secara serasi menuju satu tujuan. Kebijaksanaan dasar yang bertumpu pada pembangunan berkelanjutan ini akan tetap menjadi pegangan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada Pelita VI dan pelita-pelita selanjutnya. Pada pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah dari bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH). Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas, dalam dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi dan era informasi dalam PJP Kedua (yang dimulai pada Pelita VI). Lintas sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diuraikan menjadi tiga babak, yakni masa tumbuhnya Arus Global 1972, munculnya Komitmen Internasional, dan Komitmen Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, serta Pasca Reformasi.B. Fokus Permasalahan: Yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini yaitu, Kajian Ekonomi Lingkungan Dalam Perspektif Sejarah dengan focus masalah seperti yang diuraikan dalam subpokok bahasan sebagai berikut:1. Konsep Pembangunan Ekonomi SDA dan Lingkungan? 2. Perekonomian Indonesia dalam Perspektif Sejarah? 3. Kajian sejarah espolitasi lingkungan hutan sebagai sumber ekonomi?4. Ekonomi Lingkungan dan Perspektif Awal Sejarah Indonesia? C. Tujuan PenulisanPenulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui:1. Konsep Pembangunan Ekonomi SDA dan Lingkungan? 2. Perekonomian Indonesia dalam Perspektif Sejarah? 3. Kajian sejarah espolitasi lingkungan hutan sebagai sumber ekonomi?4. Ekonomi Lingkungan dan Perspektif Awal Sejarah Indonesia? 5. Manfaat PenulisanPenulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu:1. Secara teoritisPenulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait ekonomi lingkungan dilihat dari perspektif sejarah.2. Secara praktisMakalah ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut tentang ekonomi lingkungan, baik kalangan akademis maupun pemerhati lingkungan. Terutama untuk pemerintah dan kementrian lingkungan hidup repoblik Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pemanfaatan Lingkungan SDA Masa PrasejarahPemanfaatan lingkungan sumberdaya alam Indonesia berawal sejak masa prasajarah. Kehidupan manusia purba berburu dan mengumpulkan makanan ketika itu, ditandai dengan cara kehidupan yang bergantung pada alam. Ketergantungan dengan alam ini, menyebabkan manusia hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainya, tergantung dari sedikit banyaknya persediaan makanan oleh alam. Apabila daerah yang disinggahi telah menipis atau bahkan habis sumber persediaan makanan, maka mereka akan segera mencari tempat yang baru lagi guna mendapatkan sumber makananya kembali. Dengan demikian pola kehidupannya akan selalu berpindah-pindah atau mengembara dari satu tempat ketempat lainya, dan tergantung dari jumlah persediaan makanan yang terdapat di dalam alam (besifat nomaden). (Hermanto, 2012:79- 89).Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, maka tingkat kehidupan ekonomi pun mengalami pergeseran. Jika, sebelumnya, kehidupan manusia purba masih berada pada tingkat pengembaraan (nomaden) untuk mencari sumber ekonomi (makanan), maka pada masa ini manusia mulai memikirkan untuk mencari tempat berteduh, dan hidup manetap serta mengembangkan ekonomi sendiri, manusia mulai mengembangkan konsep bercocok tanam, walaupun masih tingkat sederhana. Ketika manusia sudah mulai mengembangkan teknik bercocok tanam, serta sudah hidup menerap lebih lama lagi di suatu tempat, bahkan telah menetap untuk selamanya, maka lahirlah pola kehidupan yang baru, yakni sebagaimana yang disebut dengan nama masa percocok tanam atau bertani. Atau dengan kata lain cara kehidupan ekonominya sudah beralih dari hunting end food gathering ke cara hidup food producing (menghasilkan makanan). Adanya kemapuan memproduksi makanan itu, memandakan manusia sudah benar-benar menetap secara parmanenen untuk mengelolah alam, demi melangsungkan kehidupan selanjutnya. (Hermanto, 2012: 88-89). Karena itu, yang menjadi cacatan penting menurut hemat penulis yaitu pertama, untuk mempertahankan hidup, manusia ketika itu, masih mengharapkan sumber ekonomi dari lingkungannya. Kedua, ketika sumber ekonomi dari lingkungannya tidak lagi tersedia, maka manusia berpindah lagi untuk mendapatkan sumber ekonomi tersebut. Ketiga, seiring perkembangan pengetahuan, manusia mulai memanfaatkan lingkungannya untuk menciptakan sumber ekonomi (berporduksi) walaupun masih tahap sederhana. Dari fakta ini membuktikan bahwa konsep ekonomi lingkungan telah berkembang di Indonesia sejak masa paksara. Dari berbagai penelitian para ahli, ada laporan penelitian arkeologi dari C.J.H. Franses bahwa di daerah Jawa Barat orang sudah mengunakan perhiasan gelang, dan batu-batu pilihan seperti agate, kalsedon, dan jaspis berwarna putih, kuning coklat, merah, dan hijau. Von Koningswald juga menemukan gelang-gelang kulit kerang dan sejumlah manic-manik serta beliung persegi di daerah kirai dekat Surakarta. Selanjutnya M.W.F. Tweddie mengatakan bahwa perhiasan-perhiasan tersebut dikerjakan dengan cara menggurdi seperti gelang-gelang batu seperti yang dikerjakan di Malaysia dan Thailand. Sedangkan di luar Indonesia gelangang-gelangang batu seperti itu, ditemukan juga oleh Szechwan, Fogtien, Siberia, Jepang, Korea, Jekol, Vietnam, Muagthai, Malaysia, Honan, Lamma, dan Taiwan. Dengan Bukti penemuan dan alat-alat perhiasan-perhiasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa cara hidup manusia terus mengalami perubahan dan peningkatan yang tentu sangat erat kaitanya dengan perkembangan perekonomian. Masyarakat sudah menampakan tanda-tanda menetap dan mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam (R.Z. Leirissa, et.al, 2012:2-3).Menurut R.P. Suyono dalam sejarah Indonesia I (Poesponegoro, dan Notosusanto, [ed.], 1990), dengan dikenalnya kegiatan bercocok tanam, maka dapat diperoleh sedikit gambaran mengenai pola-pola tempat tinggal dan kegiatan perekonomian pada masa bercocok tanam tersebut. Ada kemungkinan telah terbentuk desa-desa kecil semacam pendudukan walauupun belum beraturan, ada keggiatan bercocok tanam dan sudah ada untuk perdagangan dengan cara barter. Demikian pula hubungan antara kelompok.Mata pencahrian hidup tingkat awal berburu, meramu, mencari ikan dan bercocok tanam, ketiga bentuk mata pencahrian tradisional ini menurut, Koenjraningrat (2003:32), seringkali disebut pula sebagai sitem ekonomi pengumpulan pangan, atau food gathering economics.Pada masa tersebut, penghidupan terpusat pada mempertahankan diri ditengah-tengah alam yang serba penuh tantangan dengan kemampuan masyarakat yang masih terbatas. Pengumpulan pangan menjadi kegiatan pokok sehari-hari. Penangkapan ikan atau perikanan sebagi unsur terpenting dikemudian hari dalam rangka ekonomi pengumpulan pangan biasanya terdapat pula suku-suku yang berdiam di pulau-pula dan berhadapan dengan pantai (Leirissa, et.al, 2012:4). Hidup menetap di suatu tempat memberi kemungkinan terjadinya perkembangan penduduk dengan pesat. Pada masa ini para wanita dan anak-anak mulai mendapatkan tempat dalam kegiatan tertentu, misalnya dalam pembuatan gerabah. Para ahli mencatat bahwa teknologi pembuatan gerabah di Indonesia pada masa bercocok tanam, tingkatanya tidak setinggi teknologi yang dikenal di Asia Tenggara seperti, Malaysia, mungthai, Cina, Taiwan, dan Jepang (Van Heekeren, dan Khuth, 1967).Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang teknologi telah meningkatkan pula kesejateraan hidup manusia. Terdapatnya suplus dalam memenuhi keperluan hidup mengakibatnya meningkatnya jumlah penduduk di mana-mana. Dalam tata kehidupan yang teratur, perburuan binatang liar masih dilakukan. Perburuan ini selain untuk menambah mata pencharian juga untuk menunjukan keberanian dan kegagahan dalam lingkungan masyarakat (Leirissa, et.al, 2012:5). Dalam perkembangan selanjutnya, tingkat ekonomi dengan memanfaatkan lingkungan, mulai dirasakan oleh manusia, sehingga bercocok tanam sebagai alternativ untuk mengembangkan dan melangsungkan kehidupan. Tak disangkal lagi dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia bahwa bercocoktanam muncul sesudah berburu. Karena itu, Ahli sejarah kebudayaan, Verre Gordon Childe, mengunkapkan penemuan kepandaian bercocok tanam merupakan suatu peristiwa sangat penting dalam proses perkembangan kebudayaan umat manusia, yang disebutnya suatu revolusi kebudayaan. Kepandaian bercocok tanam itu agaknya tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi beransur-ansur, di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Manusia pada waktu itu juga telah mengamati, bahwa biji yang terjatuh di tanah berkecambah dan kemudian tumbuh menjadi tanaman baru, dan bawah batang tanaman tertentu yang ditancapkan di tanah dapat tumbuh. Tentu perlu disadari bahwa awal dari upaya manusia untuk bercocok tanam berkaitan dengan apa yang mereka tanam (Koentjaraningrat, 2003: 52-53).Dalam perkembangan kemudian, orang mulai mengembangkan sistem berkebun/berladang. Akan tetapi menurut Koentjaraningrat berkebun yang dilakukan dengan sistem berladang itu tampaknya merupakan aktivitas Sembilan. Tanaman yang ditanami adalah ubi-ubian, keladi, pisang, tebu, papaya, beberapa macam sayur dan palawija. (Koentjaraningrat, 1997 dalam Leirissa, et.al, 2012:6).Di bidang perikanan, katakanlah masyarakat desa/dusun dibeberapa tempat di Maluku, sebut saja komunitas orang Buton yang bermukim di pesisir pantai Hoamual Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, para nelayan atau pencari ikan dilaut dengan perahu koli-koli atau perahu cadik juga berkebun. Mereka selain berprofesi sebagai nalayan, mereka juga tidak meningalkan pekerjaan pertanian, seperti berkebun ubi-ubian, berbagi jenis sayur-mayur, cengkeh, cokla, pala, dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa dalam sejarah perjalanan kehidupan mereka secara tidak sadar telah mengembangkan konsep ekonomi lingkungan dengan memanfaatkan ruang dan waktu.B. Perekonomian Indonesia dalam Perjalanan Sejarah

Dalam perspektif sejarah Indonesia, bahwa perekonomian Indonesia sebelum era kemerdekaan dikendalikan oleh:1. para bangsawan, 2. kerajaan-kerajaan lokal, dan 3. para penjajah (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang). =Ketika kolonialisme Belanda mulai menanamkan kekuasaanya di Indonesia berbagai sistem kebijakan ekonomi yang berlaku pada masa itu diantaranya :a. Membentuk Serikat Dagang Belanda (VOC), b. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan c. Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal). VOC pada masa kejayaannya 1602-1799 telah menjadi penguasa Hindia Belanda dalam hal memonopoli komoditi-komoditi ekspor unggulan seperti, rempah-rempah, kopi, dan cengkeh.Bangsa Inggris pada tahun 1811-1816, mengambil alih kekuasaan atas wilayah Indonesia dengan kebijakan ekonominya yaitu dengan menerapkan sistem baru menggantikan sistem pajak hasil bumi (contigenten), yaitu Landrent (pajak tanah) yang telah berhasil diterapkan di India. Namun kebijakan itu gagal dan Inggris meninggalkan Indonesia. Belanda kembali berkuasa dan menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) tahun 1836. (memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi). Dalam kebijakan ekonomi itu, masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya, masyarakat pribumi sangat tersiksa dengan sistem yang baru diterapkan pemerintah Belanda ini. Namun disegi positifnya adalah masyarakat pribumi mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Pemerintah Belanda berhasil menerapkan sistem barunya ini, masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka bawa masuk ke Hindia Belanda. Hal inilah yang merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada masa pasca kemerdekaan, pembangunan sistem ekonomi Indonesia banyak mengalami jatuh bangun seiring terjadinya pergolakan politik, baik dari dalam maupun dari luar, sehingga mengancam kestabilan pemerintahan dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian bangsa. Beberapa masaah yang di pemerintah yaitu :a. tingkat inflasi yang tinggi, b. pintu perdagangan luar negeri RI yang ditutup oleh Belanda, c. kas negara yang kosong, dan d. eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Pada masa demokrasi liberal, pemerintah mencari jalan keluar dari keterpurukan ekonomi yaitu dengan menyerahkan perekonomian Indonesia pada pasar. Tetapi, kenyataannya sistem ekonomi liberal ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Akhirnya setelah dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959, sistem ekonomi liberal diganti dengan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia yang menjurus pada sistem etatisme (segala-galanhya diatur oleh pemerintah). Hasilnya, Indonesia menemui kegagalan, tingkat inflasi tinggi akibat kegagalan kontrol pasca devaluasi. Selain itu pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluaranya, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, serta adanya politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.Pada masa Orde Baru Presiden Soharto, menjadikan stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah Indonesia masa orde baru ini juga belajar dari pengalaman masa lalu, dimana sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi terpimipin tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi baru, yaitu sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Dari sistem ekonomi yang baru inilah kemudian pemerintah menyusun kebijakan ekonominya yang diarahkan pada pembangunan di segala bidang, yang tercemin dalam 8 jalur pemerataan yaitu;1. Kebutuhan pokok2. Pendidikan dan kesehatan3. Pembagian pendapatan4. Kesempatan kerja5. Kesempatan berusaha6. Partisipasi wanita dan pemuda7. Penyebaran pembangunan8. PeradilanSemua kebijakan ini dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Dampak positif dari sistem ekonomi campuran di orde baru ini antara lain, seperti;a. Berhasil swasembada berasb. Penurunan angka kemiskinanc. Perbaikan indikator kesejahteraan rakyat (angka partisipasi pendidikan, penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi)d. Berhasil menyelenggarakan preventive check (program KB, usia minimum orang yang akan menikahSedangkan dampak negatifnya, seperti;a. Pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alamb. Perbedaan ekonomi antar golongan yang tajamc. Penumpukan hutang luar negerid. Timbulnya konglomerasi pembangunan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada awal reformasi pemerintah, mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih diutamakan untuk stabilitas politik, ketimbang mengatasi masalah ekonomi yang diwariskan orde baru, antara lain; KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), pemulihan ekonomi, buruknya kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. (Tulus Tambunan, tt).C. Kajian Sejarah Espolitasi Lingkungan Hutan untuk Pembangunan Ekonomi Hutan Indonesia sudah menjadi sumber daya alam yang dieksploitasi sejak jaman kerajaan. Di Jawa, eksploitasi hutan terjadi sejak tahun 800. Di salah satu dinding candi Borobudur ada lukisan kapal yang konon sudah berlayar sampai ke India dan Mesopotamia. Candi Borobudur didirikan selama 250 tahun dan rampung pada abad ke-10 (Simon 2008). Dengan ini disimpulkan bahwa penebangan kayu sudah terjadi sejak tahun 800, bahkan sebelumnya. Sementara itu, dalam cerita kronikel sejarah kerajaan Mataram abad ke-16 dan 17 yang berjudul Babad Tana Jawi, yang bisa diterjemahkan sebagai Sejarah Tanah Jawa atau Pembersihan Tanah Jawa diinterpretasi oleh beberapa kalangan sebagai proses pembukaan tata ruang pada tempat lain untuk memindahkan penduduk agar lebih mudah dikontrol oleh kerajaan. Dalam proses pembukaan tata ruang ini tentunya terjadi eksploitasi hutan (Hidayat 2008).Pembangunan ibu kota Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, dilakukan dengan membabat hutan jati. Pada tahun 1200, terdapat banyak industri kapal yang menyebabkan deforestasi hutan di Jawa. Industri kapal ini umumnya dikuasai oleh pengusaha Cina di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang terbentang mulai dari Pasuruhan di Jawa Timur sampai di Tegal Jawa Tengah. Perusahan kapal pada masa kerajaan Majapahit sangat penting untuk melakukan hubungan dagang dengan Cina, Champa, Siam, Burma, India dan Madagaskar di Afrika Timur (Simon 2008).Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa juga berperan dalam eksploitasi hutan pada masa VOC. Biasanya sebelum melakukan ekspoitasi terhadap hutan, VOC meminta izin kepada raja-raja Jawa. Pada tahun 1743, ketika Raja Mataram melepaskan wilayah pantai utara-timur Jawa (Rembang, Jepara, Waleri, Pekalongan, dan lain-lain), hutan daerah ini dieksploitasi oleh VOC. Pada tahun 1812, hutan Jipang yang didominasi hutan jati direbut VOC. Hutan bagian selatan Jipang kemudian dikuasai pada tahun 1930. Tujuan eksploitasi saat itu adalah untuk mendukung perusahaan perkapalan di Rotterdam dan Amsterdam. Selain itu, pada masa VOC, eksploitasi hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar di perusahaan gula di Jawa. Oleh karena itu, hutan di daerah seperti Bekasi, Depok, Tanggerang dan Jakarta dieksploitasi untuk mendukung perindustrian gula milik VOC (Awang 2005).Ketika VOC mendapat hak-hak konsesi hutan dari raja-raja Jawa, VOC juga merambah eksploitasi hasil hutan berupa getah, damar, kopra, biji-bijian yang menghasilkan minyak dan rotan (Hidayat 2008). Ketika VOC bangkrut pada abad ke-18, maka kekuasaan atas hutan di Indonesia diambilalih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Karena pentingnya bahan baku untuk industri kapal di Rotterdam dan Amsterdam yang sangat penting bagi ekonomi nasional, Kerajaan Belanda mengirim Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal (1808-1811). Salah satu tugas Daendels adalah membangun kembali hutan jati di Jawa (Simon 2008). Pada masa Jepang, hutan di Jawa mengalami kerusakan serius karena dieksploitasi untuk ongkos perang (Awang 2005).Pada masa Soekarno, tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di luar pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Oleh karena itu, pemerintah propinsi berwewenang untuk memberikan izin pemanfaatan sumber daya hutan dalam bentuk: (1) konsesi hutan di wilayah kerjanya maksimal 10.000 hektar dengan jangka waktu 20 tahun, (2) memberi ijin penebangan maksimal 5.000 hektar dengan jangka waktu 5 tahun, (3) ijin tebang kayu dan pemungutan hasil hutan non-kayu lainnya sampai dengan batas tertentu selama 2 tahun (Santoso 2008).Kebijakan yang desentralistis dalam sektor kehutanan pada masa Soekarno ditopang oleh kebijakan ekonomi politik yang berdasarkan pada gagasan sosialisme dan nasionalisme yang anti investasi Barat. Oleh karena itu, pada masa Soekarno, sumber daya hutan kurang dieksploitasi baik oleh pengusaha asing maupun pribumi. Banyak perusahaan Amerika dan Inggris yang terpaksa mengundurkan diri karena iklim usaha yang merugikan investor asing. Pada tahun 1957/1958, Sukarno mengumumkan sikap anti barat dan hingga tahun 1963 upaya nasionalisasi perusahaan Belanda, Inggris dan Cina, terus berlangsung. Hampir tidak ada investasi komersial dalam bidang kehutanan kecuali oleh perusahaan Jepang, seperti Mitsui yang melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1950an di Kalimantan dengan perjanjian pembagian produksi yang adil. Namun, kerja sama dengan Jepang ini dinilai kurang berhasil (Awang 2005).Pada masa Orde Baru (1968-1998), tata kelola hutan bersifat sentralistis dan kebijakan ekonomi politik menjadi pro-investasi barat dan investasi dalam negeri serta mengembangkan skenario pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunan nasional melalui IMF dan Bank Dunia (Awang 2006: 16). Kebijikan ekonomi pragmatis ini diambil untuk menyelamatkan ekonomi nasional yang gagal di era akhir era Soekarno yang ditunjukkan inflasi yang mencapai 650 persen (Awang 2005). Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar menjadi sumber devisa yang penting untuk pembangunan bangsa. Dengan dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan UU No. 11 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pintu investasi asing dan swasta untuk mendapat konsesi hutan terbuka lebar (Siahaan 2007). Sejak saat ini, para investor diberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk hutan di luar Jawa, terutama hutan di Sumatra dan Kalimantan.. Dengan dibekukannya hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah pada tahun 1970-an, HPH berkembang dengan subur tanpa hambatan perlawanan dari masyarakat adat (Awang 2006). Pada tahun 1989, 572 unit HPH menguasai 64 juta hektar hutan produksi. Hingga tahun 2000, jumlah HPH meningkat sekitar 600 unit. Dengan menjamurnya HPH, menurut FAO, antara tahun 1976-1980, 550.000 hektar hutan rusak setiap tahun (Hidayat 2008). Pada tahun 1980, laju deforestasi adalah 1 juta hektar. Pada tahun 1885, laju deforestasi sebesar antara 600-1,2 hektar per tahun. Laju deforestasi pun semakin meningkat pada tahun 1985-1997, yakni 1,7 juta hektar per tahun (Awang 2005).Pada tahun 1970an, sektor kehutanan melalui pemberian HPH menyumbangka devisa kedua terbesar setelah sektor minyak bumi. Pada tahun 1974, pendapatan devisa asing meningkat menjadi 564 juta dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan tahun 1968 yang hanya 6 juta dolar AS. Di penghujung tahun 1968, Indonesia menjadi produsen kayu log utama, lebih besar dari seluruh negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan devisa 2,1 miliar dolar AS (sekitar 40 persen saham dari pasar log global). Pada tahun 1985, ekspor log dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan untuk mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir dengan membangun Plywood. Dengan kebijakan ini, pemerintah memperoleh devisa 50 miliar dolar AS selama periode 1983-1997 (Hidayat 2008).Pada era Orde Baru, Indonesia kehilangan hutannya seluas 40 juta hektar karena dikonversi untuk lahan kelapa sawit, areal transmigrasi, konsesi HPH dan HTI, ekspansi pertanian (sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah), dan praktik illegal logging. Selain itu, kebijakan yang sentralistis pada masa Orde Baru dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha dan investor untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah seperti kredit bank, percepatan pemberian izin, serta perkawinan antara pengusaha dan penguasa juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang masif dan cepat di Indonesia (Hidayat 2008). Namun, eksploitasi hutan memberikan devisa negara yang menjadi sumber penting pendorong pembangunan ekonomi nasional. Namun, keuntungan finansial dari sektor kehutanan dinikmati oleh elit militer, penguasa dan politik (Awang 2006).Kebijakan ekonomi politik Orde Baru dalam hal mengelola hutan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang signifikan. Namun, jika dikalkulasi kontribusi sektor kehutanan untuk APBN sangat kecil karena dari tahun 1984-1989, pendapatan pemerintah pusat hanya sebesar 0,1 persen saja. Rendahnya pemasukan dari sektor kehutanan disebabkan oleh rendahnya rente ekonomi yang dikumpulkan pemerintah dari iuran lisensi, pajak PBB, royalti dan reboisasi. Dari tahun 1988 hingga 1990, rente ekonomi yang ditarik pemerintah maksimal 17 persen, sedangkan rente yang tidak dapat ditarik pemerintah minimal 83 persen yang menjadi milik perusahaan swasta. Namun, jika dilihat dari pendapat ekspor, sumbangan dari sektor kehutanan cukup besar. Dari tahun 1994-1999, kontribusi sektor kehutanan terhadap total ekspor nasional berkisar antara 13,39 persen-16,73 persen (Awang 2006).Sejak Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki era pasca Orde Baru yang diwarnai oleh krisis ekonomi moneter. Untuk mengatasi krisis ini, Indonesia kembali menggunakan resep ekonomi neo-liberalisme yakni melakukan skenario peminjaman kepada IMF dan Bank Dunia untuk memulihkan ekonomi nasional. Selain itu, pemerintah menjalankan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan negara seperti perbankan, PT. Telkom, PT Pupuk Kaltim, dan industri semen. Bersamaan dengan itu, masa pasca Orde Baru ditandai oleh perubahan sistem politik dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Namun, UU desentralisasi ini memiliki konflik kewenangan (conflict of norm) dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Namun, karena pemerintah pusat menjadi lemah, maka terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam pengelolaan hutan oleh para pejabat publik di daerah. Selain itu, masyarakat adat yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Baru menuntut pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat. Konflik masyarakat dengan pengusaha HPH terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, banyak HPH yang beroperasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Riau tidak lagi beroperasi. Di sisi lain, depertemen kehutanan juga memberhentikan operasi HPH karena tidak memperhatikan kelestarian hutan yang merupakan tanggung jawabnya (Awang 2006, Awang 2005).Namun, meskipun banyak HPH yang berhenti beroperasi. Pada masa pasca Orde Baru, tingkat deforestasi justru semakin tinggi. Pengimplementasian otonomi yang berlebihan oleh pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan kehutanan adalah salah satu penyebab meningkatnya deforestasi (Awang 2006, Awang 2005).Akibat dari kebijakan eknomi neo-liberal dan implementasi desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan, pada tahun 1990, 1,8 juta hektar hutan ditebang setiap tahun. Sejak itu, tingkat deforestasi terus meningkat dari 1,7 persen ke 2 persen setiap tahun. (Siahaan 2007). Namun, laju kerusakan hutan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pemasukan yang diterima pemerintah. Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun terakhir, sektor kehutanan hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu, sumber daya hutan di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, pembangunan sosial dan ekonomi, serta sustainabilitas lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso 2010, Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen hasil hutan oleh elit pemerintahan. Menurut laporan Clements et.al (2010), sejak tahun 1989, Dana Reboisasi (Indonesias Reforestation Fund) sebesar 5,8 miliar dolar AS digunakan untuk proyek-proyek politik yang tidak ada hubungan sama sekali dengan program restorasi hutan.Melihat sejarah tata kelola kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain (the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors). Tendensi seperti ini menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010 dalam Emilianus Yakob Sese Tolo, 2003 ).D. Pembangunan Ekonomi dan Pengelolaan SDA Berwasan Lingkungan Dilihat dari peranannya terhadap pembangunan ekonomi, sejarah mencatat bahwa masyarakat dapat mencapai kemakmuran karena berhasil memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki. Sampai sekarang masih ada orang-orang yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan suatu negara mengalami kemiskinan karena tidak cukup sumber-sumber alam yang dimilikinya. Pengelolaan SDA haruslah dilakukan secara bertanggung jawab. Artinya harus dilakukan secara bijaksana untuk melestarikan persediaan sumber daya alam tersebut, sehingga generasi sekarang dan mendatang dapat menikmatinya. Pengelolaan sumber daya alam haruslah sedemikian rupa dengan pertimbangan ekologis, sehingga sumber daya alam itu selalu dapat ditingkatkan persediaannya melalui usaha eksplorasi dan eksploitasi, peningkatan efisiensi proses produksi, peningkatan fungsi serta dengan bantuan teknologi untuk dapat meningkatkan proses daur ulang.Menurut Baldwin dan Meier, agar perkembangan ekonomi dapat berjalan seperti yang diharapkan, ada beberapa syarat yaitu adanya kekuatan dari dalam masyarakat itu sendiri, adanya mobilitas faktor produksi, akumulasi kapital, kriteria dan arah investasi yang sesuai dengan kebutuhan, penyerapan kapital dan stabilitas nilai-nilai serta lembaga-lembaga yang ada. Untuk perkembangan ekonomi suatu negara antara faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi mempunyai peranan yang seimbang, karena antara keduanya saling ketergantungan dan saling melengkapi, sebab kemakmuran ekonomi itu hanya sebagian saja dari kemakmuran sosial. Karena itu mengelolah SDA unuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional harus dengan mepertimbangkan aspek ekologis (Sitiromlah, tt).Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan SDA antara lain adalah: sumber daya alam persediaannya terbatas, lokasi dari sumber daya alam letaknya jauh dari yang memerlukan, pergeseran para pengguna dari yang semula memakai sumber daya alam yang renewable menjadi semakin tergantung pada sumber daya alam yang non renewable, pemanfaatan sumber daya alam tidak lagi bijaksana dan berpandangan jangka pendek, dan belum adanya pertimbangan lingkungan. (Sitiromlah, tt).Kerusakan lingkungan disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak seimbang dengan peningkatan kualitas atau kemampuan dalam mengelola sumberdaya dan lingkungan. Arti kata bahwa perkembangan penduduk secara kuantitas perkembangannya tidak berimbang dengan kualitas, dan perimbangan mobilitas penyebarannya dan pengurusannya. Setiap pembangunan lahan hijau atau vegetasi selalu menjadi korban. Padahal vegetasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan ekosistem. Tidak hanya di darat bahkan di laut dan badan air lainnya seperti sungai danau. dan laut. Tanah air Indonesia 70% adalah air, sekarang sudah terjadi pencemaran dimana-mana,. sumber air minumpun sudah banyak tercemar, dan membahayakan kehidupan. (Zoeraini Djamal Irwan, 2009).Menurut Prof. Zoeraini Djamal Irwan, dalam situasi sekarang ini, kebutuhan lahan akan meningkat dengan cepat dari berbagai sektor, dampak terhadap lingkungan akan menjadi lebih besar, dan sering sekali terjadi perebutan kepentingan dalam mendapatkan lahan, yang pada dasarnya masalah lingkungan itu timbul karena kegiatan manusia sendiri yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip ekologi atau ekosistem.Kecenderungan kerusakan lingkungan hidup semakin kompleks baik di pedesaan dan perkotaan. Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diakui memengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Pada gilirannya krisis lingkungan hidup secara langsung mengancam kenyamanan dan meningkatkan kerentanan kehidupan setiap warga negara. Kerusakan lingkungan hidup telah hadir di perumahan, seperti kelangkaan air bersih, pencemaran air dan udara, banjir dan kekeringan, serta energi yang semakin mahal. Individu yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup sulit dipastikan karena penyebabnya sendiri saling bertautan baik antar-sektor, antar-aktor, antar-institusi, antar-wilayah dan bahkan antar-negara (Anonim.2014).Dalam penggalian sumber-sumber alam untuk keperluan pembangunan ekonomi, harus diusahakan agar supaya: tidak merusak tata lingkungan manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, dan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang. Demikian besar peranan lingkungan dalam pembangunan ekonomi sehingga dikhawatirkan pembangunan itu sendiri akan mengalami stagnasi, karena sumber daya alam sudah tidak ada lagi yang dapat digali atau karena kondisi sumber daya alamnya sudah demikian buruk, karena menggebunya pembangunan yang dilaksanakan atau karena pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga tidak terpikirkan pelestarian dari sumber daya alam itu sendiri. Pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan suatu usaha untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat/affluent society dengan memperhatikan dan memelihara sumber daya alam atau planet bumi agar di kemudian hari tidak terjadi deteriorasi ekologis, soil depletion dan penyusunan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANLingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan bangsa. Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas setelah Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Pada tahun 2009, total luas hutan Indonesia 90,1 juta hektar (Brockhaus et.al 2012: 32). Namun, keberadan hutan Indonesia terus terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, legal logging dan illegal logging (Noordwijk et.al 2008, Tolo 2012). Sejarah mencatat bahwa ekspolitasi lingkungan hutan untuk pembangunan pengembangan ekonomi bangsa, sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdaka. Mulai dari jaman kerjaaan-kerajaan Hidu-Budah sampai munculnya kerajaan islam di tanah Jawa. Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa juga berperan dalam eksploitasi hutan pada masa VOC.Biasanya sebelum melakukan ekspoitasi terhadap hutan atas izin raja-raja Jawa yang berkuasa di wilayah tersebut.Dalam konteks kekinian pembanguan ekonomi yang berbasis lingkungan belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Karena itu butuh pemahaman sejarah dan kesadaran sejarah dalam memahi lingkungan sebagai penjedia sumber ekonomi, untuk kepentingan pembangunan bangsa ini di masa mendatang.

B. SARANDalam makalah ini penulis menyarangakan sebagia berikut:1. Bagi pemerintah dalam hal meninkatkan tarap hidup orang banyak, agar mengelolah lingkungan dan Sumberdaya Alam Indonesia, harus sesuai dengan peruntunganya, dengan memperhatikan aspek ekolosis.2. Untuk pihak swasta, terutama perusahan yang mengembangkan produk barang, baik untuk kepentingan pembangunan ekonomi bangsa ini maupun untuk kebutuhan hidup individu, mestinya juga memperhatikan aspek lingkungan. Sistem kapitalisme hutan, yang diprakatekan bangsa Asing di negara ini harus dihapuskan, sebab tidak sesuai dengan krakter masyakat Indonesia.3. Keserakahan ekonomi juga dapat menyebakan kerusakan lingkungan. Karena pada prinsipnya, Tuhan telah mengingatkan kepada manusia, bahwa kerusakan di muka Bumi akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri.4. Pemerintah bangsa ini harus dan mesti belajar dari sejarah dalam mengembangkan produk ekonomi. Karena sejarah dapat menuntun kita untuk memanfaatkan ruang dan waktu sesuai peruntunganya.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, San Afri. 2005. Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia, Wacana edisi 20, Yogyakarta: Insist Press._____________ 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Yogyakarta: Debut Press.Anonim. 2014. Sistem Pengolahan Sampah. (Online) https://sites.google.com/site/praswilkel07/studi-kasus, diakses pada tanggal 24 Maret 2015.Capra, Fritjof. 1993. Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Cet. ke-3, Yogyakarta: Bentang Budaya.Hermanto, 2012. Sejarah Indonesia Masa Praaksara. Jogyakarta: Ombak.Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Heekeren, H.R. Van., dan Egiel Khuth, 1967. Achological Excavations in Thailand Vol. I. Munksgaar, Copenhagen.Irwan, Zoeraini Djamal. 2009. Benarkah Serupa Nasib: Perempuan Dan Lingkungan? (Online) https://uwityangyoyo.wordpress.com/jurnal-lingkungan/ diaskses padat tanggal 24 Maret 2015.Imran, Andi Nur. 2015. Prilaku Masyarakat Berwawasan Lingkungan di Wilayah DAS Maros Bagian Hulu Kabubaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Negeri Makasar. Makassar, belum diterbitkan.Koenjraningrat. 2003. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Cet. Ketiga, Jakarta: Rineka Cipta.Leirissa, R.Z., et.al. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jogyakarta: Ombak.Poesponegoro, M.W., dan Notosusanto, [ed.], 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Depdigbud.Ricketts, H. Taylor. (2010). Indigenous Lands, Protected Areas, and Slowing Climate Change. PLoS Bilogy 8, e1000331.Sitiromlah, tt. Ekonomi SDA dan Lingkungan. (Online) https://sitiromlah196.wordpress.com/materi-kuliah-2/semester-3/pra-uts/ekonomi-sda-dan-lingkungan/ diakses pada tanggal 24 Maret 2015.Simon, Hasanu. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Cooperative Fores Management. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Siahaan, N. H. T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam.Santoso, Imam. 2008. Perjalanan Desentralisasi Pengurasan Sumberdaya Hutan Indonesia. Paper dipresentasikan di Seminar Internasional di bawah tema Ten Years Along: Decentralization, Land, and Natural Resources in Indonesia pada tanggal 15-16 Juli Universitas Atma Jaya Jakarta.Tambunan, Tulus. tama tahun: Perekonomian Indonesia. Referensi.Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia. Harian Indoprogress, 30 Desember 2013. (Online) http://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-indonesia/ di akses pada tanggal 24 Maret 2015.

14