Transformasi DNA Dan Teknik PCR

28
Transformasi DNA dan Teknik PCR Molekul DNA dapat masuk ke dalam sel melalui selaput membran sel. Terdapat tiga cara molekul DNA masuk ke dalam sel, yaitu konjugasi, transformasi dan transfeksi. Transformasi adalah cara yang paling umum digunakan untuk memanipulasi DNA bakteri agar diperoleh sifat yang diinginkan. Namun, proses transformasi tidak dapat dilakukan oleh semua spesies bakteri, hanya terdapat beberapa bakteri seperti Bacillus dan Streptococcus. Pada percobaan ini digunakan bakteri E. coli yang telah dimanipulasi agar dapat menyerap molekul DNA yang berada di lingkungannya. Sel ini disebut dengan sel kompeten. Sel bakteri dapat dibuat menjadi kompeten dengan perlakuan TB (transformation buffer) yang mengandung CaCl 2 atau MnCl 2 yang merupakan garam. Mekanisme pembuatan sel kompeten belum diketahui secara pasti tetapi pelakuan dengan garam tersebut diduga meningkatkan permeabilitas membran sel dan meningkatkan porositas membran. Hal ini memungkinkan DNA bebas dapat masuk ke dalam sel (Brown 1997). Transformasi sel kompeten E. coli dengan metode CaCl 2 pertama kali diperkenalkan oleh Mandel dan Higa (1970). Metode ini cukup efisien dan tidak membutuhkan alat khusus. Dagert dan Ehrlich (1974) memodifikasi metode ini dengan meningkatkan lama paparan sel terhadap CaCl 2 . Sementara itu, Kushner (1978) berusaha meningkatkan efisiensinya dengan menggantikan kalsium dengan kation lainnya, sedangkan Hanahan (1983) menambahkan beberapa senyawa lain untuk meningkatkan efisiensinya.

Transcript of Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Page 1: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Transformasi DNA dan Teknik PCR

Molekul DNA dapat masuk ke dalam sel melalui selaput membran sel. Terdapat tiga cara

molekul DNA masuk ke dalam sel, yaitu konjugasi, transformasi dan transfeksi. Transformasi

adalah cara yang paling umum digunakan untuk memanipulasi DNA bakteri agar diperoleh

sifat yang diinginkan. Namun, proses transformasi tidak dapat dilakukan oleh semua spesies

bakteri, hanya terdapat beberapa bakteri seperti Bacillus dan Streptococcus. Pada percobaan

ini digunakan bakteri E. coli yang telah dimanipulasi agar dapat menyerap molekul DNA

yang berada di lingkungannya. Sel ini disebut dengan sel kompeten. Sel bakteri dapat dibuat

menjadi kompeten dengan perlakuan TB (transformation buffer) yang mengandung CaCl2

atau MnCl2 yang merupakan garam. Mekanisme pembuatan sel kompeten belum diketahui

secara pasti tetapi pelakuan dengan garam tersebut diduga meningkatkan permeabilitas

membran sel dan meningkatkan porositas membran. Hal ini memungkinkan DNA bebas

dapat masuk ke dalam sel (Brown 1997).

Transformasi sel kompeten E. coli dengan metode CaCl2 pertama kali diperkenalkan oleh

Mandel dan Higa (1970). Metode ini cukup efisien dan tidak membutuhkan alat khusus.

Dagert dan Ehrlich (1974) memodifikasi metode ini dengan meningkatkan lama paparan sel

terhadap CaCl2. Sementara itu, Kushner (1978) berusaha meningkatkan efisiensinya dengan

menggantikan kalsium dengan kation lainnya, sedangkan Hanahan (1983) menambahkan

beberapa senyawa lain untuk meningkatkan efisiensinya.

Transformasi DNA ke dalam sel bakteri dilakukan dengan metode kejut panas. Perlakuan ini

dimaksudkan untuk membuka pori membran sel dan mengaktifkan protein Hsp (heat shock

protein). Suhu yang digunakan untuk proses kejut panas adalah 42oC. Perlakuan heatshock

tidak dilakukan terlalu lama yaitu maksimal 90 detik agar sel yang sudah terbuka tidak

membuka terus sehingga sel tidak menjadi lisis. Sebelum diberi suhu 42oC sel tersebut

diinkubasi dalam es selama 20 menit. Selanjutnya untuk mengetahui DNA insert yang

digunakan telah masuk ke dalam sel, maka sel ditumbuhkan dalam media LB padat  yang

mengandung ampisilin, LA, xgaL, dan IPTG, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC.

Ampisilin yang ditambahkan bertujuan untuk menyeleksi sel transforman karena plasmid

yang terinsersi memiliki gen penanda resistensi ampisilin.

Page 2: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Hasil yang didapatkan dari pengamatan adalah terjadi pertumbuhan bakteri baik pada kontrol

negatif maupun sampel (Gambar 2 & 3). Secara teori, bakteri yang ditumbuhkan pada cawan

kontrol negatif adalah bakteri yang bukan transforman sehingga tidak boleh ada

pertumbuhan. Adanya koloni bakteri yang dapat tumbuh menandakan terjadinya kontaminasi

bakteri transforman pada cawan kontrol negatif. Sementara pada cawan sampel terjadi

pertumbuhan bakteri E.coli transforman yang telah membentuk koloni tunggal. Transformasi

antara sel yang kompeten dapat terjadi saat bakteri ditumbuhkan dalam media dan dapat

menyebabkan kesalahan pada perhitungan laju transformasi. Hal ini dapat diperbaiki dengan

penambahan EDTA pada media seleksi (Brown TA 1997).

Sel E. coli secara alami memiliki kemampuan transformasi yang rendah. Peningkatan

kemampuan transformasi secara alami dilakukan dengan memanen sel pada fase stasioner

dan penumbuhan kembali pada media. Sel yang kompeten diperoleh pada fase lag dan

menghilang pada fase log (eksponensial). Laju transformasi meningkat seiring dengan jumlah

plasmid hingga mencapai fase plateau (Tsen et al. 2002).

LacZ akan ditranskripsi secara normal dan dapat membentuk α-complementaion menjadi β-

galaktosidase yang dapat memecah X-gal menjadi galaktosa dan turunan indoksil. Turunan

tersebut selanjutnya akan dioksidasi sehingga membentuk turunan dibromo-dikloro yang

menyebabkan berubahnya warna koloni menjadi biru saat ditumbuhkan pada media agar

yang mengandung X-gal. Akan terdapat tambahan gen insert yang ikut ditranskripsi oleh

RNA polimerase. Hal tersebut menyebabkan gen lacZ tersebut tidak dapat membentuk enzim

β-galaktosidase yang fungsional dan X-gal tidak akan dipecah sehingga koloni yang

dihasilkan tetap berwarna putih.

Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang

berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah

denaturasi cetakan DNA (DNA template), yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas

tunggal. Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur yang memungkinkan terjadinya

penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal

cetakan DNA. Tahap yang terakhir adalah tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu

pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur

pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu

siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap

utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya.

Page 3: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Hasil PCR divisualisasikan melalui elektroforesis dengan lampu UV. Hasil elektroforesis

menunjukan pita-pita DNA hasil PCR. Pita-pita ini menunjukan hasil PCR berhasil dilkukan.

Hasil PCR dapat dilihat pada Gambar 6 hasil pengamatan.

Transformasi DNA

Koloni Pneumococcus pada percobaan transformasi DNA pertama

Transformasi DNA merupakan salah satu metode untuk memasukkan DNA ke dalam sel

bakteri.[1] Metode transformasi ini pertama kali dikembangkan untuk memindahkan sifat-sifat

genetika yang membawa kenyataan bahwa DNA adalah bahan genetika. [1] Meskipun

transformasi telah dieksploitasi untuk mempelajari pautan gen pada berbagai organisme,

metode ini sekarang secara luas dipakai untuk mentransfer plasmid-plasmid kecil dari satu

galur bakteri ke galur lainnya.[2] Prinsip dari transformasi adalah dengan ekstraksi DNA dari

sel donor, kemudian dicampur dengan sel resipien yang telah dibuat rentan terhadap

masuknya molekul DNA melalui pori atau saluran dalam dinding dan membran sel.[1] Bila

molekul DNA yang masuk berupa plasmid, maka replikasi plasmid dapat dimungkinkan

dengan genom inang yang baru selama transformasi.[1]

BAB VIII Dasar-dasar Teknologi DNA   Rekombinan

Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta tahapan-

tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom dan DNA

vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi, pembentukan molekul DNA

rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul DNA rekombinan. Setelah mempelajari

pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. pengertian teknologi DNA rekombinan,

Page 4: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan,

3. tahapan-tahapan kloning gen,

4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan

5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok bahasan

ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat-sifat asam nukleat seperti yang telah dibahas

pada Bab II.

Pengertian Teknologi DNA Rekombinan

Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme

ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk memurnikannya

dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu teknologi yang dapat

diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan

manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau

pembentukan suatu produk.

Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang lebih

populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu

sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Banyak

definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah

satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA

rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan

molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan

mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.

Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan

mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme

kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam

waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.

Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi

DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1). Tahapan-tahapan

tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul

Page 5: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan

fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi

sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari

sel inang, dan analisis DNA rekombinan.

Isolasi DNA

Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat

dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun

dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-

bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium bufer

nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen

yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot

langkah ini harus disertai dengan perusakan membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis,

remukan-remukan sel harus dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan

sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti

kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan

proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur

dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA.

Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan

amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl (lihat

Bab II).

Gambar 9.1. Skema tahapan kloning gen

Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA

vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang

akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada

dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed

circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan

mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid

jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh

karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA

kromosom.

Page 6: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna DNA

yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA plasmid

akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA

kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium

bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA

plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.

Enzim Restriksi

Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik maupun

plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem

restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau

bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K

dan C.  Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian

digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih

kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,

dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.  Namun, jika l

yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya

10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan.

Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika

direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem

restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.

Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul

DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi

lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga

mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah

urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim

restriksi tersebut.

DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada siklus

infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap enzim

restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir

putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan dari strain K ke

strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi.

Page 7: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA. Berlangsungnya

metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil

replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.

Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini

dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I. 

Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.

Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke dalam

kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim

tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih

dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang

telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.

Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai berikut:

1.      mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam

molekul DNA

2.      memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat

pengenalannya

3.      menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.

Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal yang

mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim restriksi

beserta tempat pengenalannya.

Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama

adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan

ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber

tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi

digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.

Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa pasang basa.

Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-

Page 8: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing untai tunggalnya menjadi tidak

sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah disambungkan

satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end)

atau ujung kohesif.

Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat pemotongan

DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5’

yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-fragmen

DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan. Biasanya

diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung tumpul,

misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim

deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.

Ligasi Molekul – molekul DNA

Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus

menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA

genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah

berbentuk linier.

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in vitro.

Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan

DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut

sebagai enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi

ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada

ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian

enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.

Dengan untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya

dapat diligasi menggunakan DNA ligase.

Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan

hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil

dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut.  Oleh karena itu, ligasi

biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang

diperpanjang (sering kali hingga semalam).

Page 9: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya

plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah

dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan

menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa

cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml),

perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’

pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor,

atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal

homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.

Transformasi Sel Inang

Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik dan

DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik

elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen

DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul

DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat

diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain

terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA

plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke

dalam sel inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami

perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.

Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A.

Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa

spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis

telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah

dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium

minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan

preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan

menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi

E.coli. 

Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid

(CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada

Page 10: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan

dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan

diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC.

Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan

setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi

transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah

efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil.

Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya

transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel

bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya

sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan

membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel.

Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.

Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan

Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan,

maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa

DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA

rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya

membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.

Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat

Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi

dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal,

(2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki

vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk

membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi

pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan

bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara

kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika

sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat

dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.

Page 11: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari

fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan

secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain

reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII.

Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan

hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon,

dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal

tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan

pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan

posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan

koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.

BAB X Vektor   Kloning

Bab ini akan membahas pengertian dan macam-macam vektor kloning, baik yang digunakan

pada sel inang prokariot maupun eukariot. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab

ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. pengertian vektor kloning,

2. ciri-ciri plasmid,

3. ciri-ciri kosmid,

4. ciri-ciri bakteriofag, dan

5. ciri-ciri vektor kloning pada khamir dan eukariot tingkat tinggi.

Untuk dapat mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini dengan lebih baik mahasiswa

disarankan telah memahami pokok bahasan tentang dasar-dasar teknologi DNA rekombinan

dan konstruksi perpustakaan gen, yang masing-masing telah diberikan pada Bab IX dan X.

Pengertian dan Macam-macam Vektor Kloning

Pada Bab IX antara lain telah dibicarakan bahwa transformasi sel inang dilakukan

menggunakan perantara vektor. Jadi, vektor adalah molekul DNA yang berfungsi sebagai

wahana atau kendaraan yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke dalam sel inang

dan memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi fragmen DNA asing tersebut. Vektor

Page 12: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

yang dapat digunakan pada sel inang prokariot, khususnya E. coli, adalah plasmid,

bakteriofag, kosmid, dan fasmid. Sementara itu, vektor YACs dan YEps dapat digunakan

pada khamir. Plasmid Ti, baculovirus, SV40, dan retrovirus merupakan vektor-vektor yang

dapat digunakan pada sel eukariot tingkat tinggi.

Plasmid

Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA sirkuler untai ganda di luar

kromosom yang dapat melakukan replikasi sendiri. Plasmid tersebar luas di antara organisme

prokariot dengan ukuran yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga lebih dari 250 kb (1 kb =

1000 pb).

Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus memenuhi syarat-syarat berikut

ini:

1. mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding sel inang

sehingga dapat dengan mudah melintasinya,

2. mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai masuk

tidaknya plasmid ke dalam sel inang,

3. mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam salah satu

marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA, dan

4. mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi di dalam sel

inang.

Salah satu contoh plasmid buatan yang banyak digunakan dalam kloning gen adalah pBR322.

Plasmid ini dikonstruksi oleh F. Bolivar dan kawan-kawanya pada tahun 1977. Urutan basa

lengkapnya telah ditentukan sehingga baik tempat marker maupun pengenalan restriksinya

juga telah diketahui. Sayangnya, tempat pengenalan EcoR I, salah satu enzim restriksi yang

sangat umum digunakan, terletak di luar marker. Oleh karena salah satu marker akan menjadi

tempat penyisipan fragmen DNA asing, maka EcoR I tidak dapat digunakan untuk memotong

pBR322 di tempat penyisipan tersebut. Namun, saat ini telah dikonstruksi derivat-derivat

pBR322 yang mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam marker, misalnya plasmid

pBR324 dan pBR325 yang masing-masing mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam

gen struktural kolisin dan di dalam gen resisten kloramfenikol.

Page 13: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Gambar 11.1. Plasmid pBR322

ampR = marker resisten ampisilin

tetR = marker resisten tetrasiklin

Misalnya saja kita menyisipkan suatu fragmen DNA pada daerah marker resisten ampisilin

dengan memotong daerah ini menggunakan enzim restriksi tertentu selain EcoR I (mengapa

harus selain EcoR I?). Plasmid pBR322 yang tersisipi oleh fragmen DNA akan kehilangan

sifat resistensinya terhadap ampisilin, tetapi masih mempunyai sifat resistensi terhadap

tetrasiklin. Oleh karena itu, ketika plasmid pBR322 rekombinan ini dimasukkan ke dalam sel

inangnya, yakni E. coli, bakteri transforman ini tidak mampu tumbuh pada medium yang

mengandung ampisilin, tetapi tumbuh pada medium tetrasiklin. Secara alami E. coli tidak

mampu tumbuh baik pada medium ampisilin maupun tetrasiklin sehingga sel transforman

dapat dengan mudah dibedakan dengan sel nontransforman yang tidak mengandung pBR322

sama sekali. Sementara itu, E. coli transforman yang membawa plasmid pBR322 utuh

(religasi) mampu tumbuh pada kedua medium antibiotik tersebut. Jadi, untuk memperoleh sel

E. coli transforman yang membawa DNA rekombinan dicari koloni yang hidup di tetrasiklin

tetapi mati di ampisilin. Secara teknis pekerjaan ini dilakukan menggunakan transfer koloni

atau replica plating (lihat Bab X).

Plasmid yang digunakan pada bakteri gram negatif seperti halnya pBR322 tidak dapat

digunakan pada bakteri gram positif. Namun, saat ini telah tersedia plasmid untuk kloning

pada bakteri gram positif, misalnya pT127 dan pC194, yang dikonstruksi oleh S.D. Erlich

pada tahun 1977 dari bakteri Staphylococcus aureus. Demikian juga, telah ditemukan plasmid

untuk kloning pada eukariot, khususnya pada khamir, misalnya yeast integrating plasmids

(YIps), yeast episomal plasmids (YEps), yeast replicating plasmids (YRps), dan yeast

centromere plasmid (YCps).

Bakteriofag

Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan daur hidupnya yang

bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat digunakan sebagai vektor kloning pada sel

inang bakteri. Ada beberapa macam bakteriofag yang biasa digunakan sebagai vektor

kloning. Dua di antaranya akan dijelaskan berikut ini.

Bakteriofag l

Bakteriofag atau fag l merupakan virus kompleks yang menginfeksi bakteri E. coli. Berkat

pengetahuan yang memadai tentang fag ini, kita dapat memanfaatkannya sebagai vektor

kloning semenjak masa-masa awal perkembangan rekayasa genetika. DNA l yang diisolasi

Page 14: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

dari partikel fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda dengan panjang 48,5 kb.

Namun, masing-masing ujung fosfatnya berupa untai tunggal sepanjang 12 pb yang

komplementer satu sama lain sehingga memungkinkan DNA l untuk berubah konformasinya

menjadi sirkuler. Dalam bentuk sirkuler, tempat bergabungnya kedua untai tunggal sepanjang

12 pb tersebut dinamakan kos.

Seluruh urutan basa DNA l telah diketahui. Secara alami terdapat lebih dari satu tempat

pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi yang biasa digunakan. Oleh karena itu, DNA

l tipe alami tidak cocok untuk digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi, saat ini telah

banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA l yang memenuhi syarat sebagai vektor kloning.

Ada dua macam vektor kloning yang berasal dari DNA l, yaitu

vektor insersional, yang dengan mudah dapat disisipi oleh fragmen DNA asing, vektor

substitusi, yang untuk membawa fragmen DNA asing harus membuang sebagian atau seluruh

urutan basanya yang terdapat di daerah nonesensial dan menggantinya dengan urutan basa

fragmen DNA asing tersebut.

Di antara kedua macam vektor l tersebut, vektor substitusi lebih banyak digunakan karena

kemampuannya untuk membawa fragmen DNA asing hingga 23 kb. Salah satu contohnya

adalah vektor WES, yang mempunyai mutasi pada tiga gen esensial, yaitu gen W, E, dan S.

Vektor ini hanya dapat digunakan pada sel inang yang dapat menekan mutasi tersebut.

Cara substitusi fragmen DNA asing pada daerah nonesensial membutuhkan dua tempat

pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi. Jika suatu enzim restrisksi memotong

daerah nonesensial di dua tempat berbeda, maka segmen DNA l di antara kedua tempat

tersebut akan dibuang untuk selanjutnya digantikan oleh fragmen DNA asing. Jika

pembuangan segmen DNA l tidak diikuti oleh substitusi fragmen DNA asing, maka akan

terjadi religasi vektor DNA l yang kehilangan sebagian segmen pada daerah nonesensial.

Vektor religasi semacam ini tidak akan mampu bertahan di dalam sel inang. Dengan

demikian, ada suatu mekanisme seleksi automatis yang dapat membedakan antara sel inang

dengan vektor rekombinan dan sel inang dengan vektor religasi.

 

Gambar 11.2. DNA bakteriofag l

konformasi linier (di luar sel inang)

konformasi sirkuler (di dalam sel inang)

Page 15: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Bakteriofag l mempunyai dua fase daur hidup, yaitu fase litik dan fase lisogenik. Pada fase

litik, transfeksi sel inang (istilah transformasi untuk DNA fag) dimulai dengan masuknya

DNA l yang berubah konformasinya menjadi sirkuler dan mengalami replikasi secara

independen atau tidak bergantung kepada kromosom sel inang. Setelah replikasi

menghasilkan sejumlah salinan DNA l sirkuler, masing-masing DNA ini akan melakukan

transkripsi dan translasi membentuk protein kapsid (kepala). Selanjutnya, tiap DNA akan

dikemas (packaged) dalam kapsid sehingga dihasilkan partikel l baru yang akan keluar dari

sel inang untuk menginfeksi sel inang lainnya. Sementara itu, pada fase lisogenik DNA l akan

terintegrasi ke dalam kromosom sel inang sehingga replikasinya bergantung kepada

kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak menimbulkan lisis pada sel inang.

Di dalam medium kultur, sel inang yang mengalami lisis akan membentuk plak (plaque)

berupa daerah bening di antara koloni-koloni sel inang yang tumbuh. Oleh karena itu, seleksi

vektor rekombinan dapat dilakukan dengan melihat terbentuknya plak tersebut.

Bakteriofag M13

Ada jenis bakteriofag lainnya yang dapat menginfeksi E. coli. Berbeda dengan l yang

mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag jenis kedua ini mempunyai struktur berupa

filamen. Contoh yang paling penting adalah M13, yang mempunyai genom berupa untai

tunggal DNA sirkuler sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung melalui

pili, suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma.

Ketika berada di dalam sel inang genom M13 berubah menjadi untai ganda sirkuler yang

dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan. Salinan-salinan ini

membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak ke permukaan sel inang.

Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh membran dan keluar dari sel inang

menjadi partikel fag yang infektif tanpa menyebabkan lisis. Oleh karena fag M13

terselubungi dengan cara pembentukan kuncup pada membran sel inang, maka tidak ada

batas ukuran DNA asing yang dapat disisipkan kepadanya. Inilah salah satu keuntungan

penggunaan M13 sebagai vektor kloning bila dibandingkan dengan plasmid dan l.

Keuntungan lainnya adalah bahwa M13 dapat digunakan untuk sekuensing (penentuan urutan

basa) DNA dan mutagenesis tapak terarah (site directed mutagenesis) karena untai tunggal

DNA M13 dapat dijadikan cetakan (templat) di dalam kedua proses tersebut.

Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah pada DNAnya yang dapat

disisipi oleh DNA asing. Di samping itu, tempat pengenalan restriksinya pun sangat sedikit.

Namun, sejumlah derivat M13 telah dikonstruksi untuk mengatasi masalah tersebut.

Kosmid

Page 16: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggabungkan kos dari DNA l dengan

plasmid. Kemampuannya untuk membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb

menjadikan kosmid lebih menguntungkan daripada fag l dan plasmid.

Fasmid

Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetis yang merupakan gabungan antara plasmid dan

fag l. Vektor yang dinamakan fasmid ini membawa segmen DNA l yang berisi tempat att.

Tempat att digunakan oleh DNA l untuk berintegrasi dengan kromosom sel inang pada fase

lisogenik.

Vektor YACs

Seperti halnya kosmid, YACs (yeast artifisial chromosomes atau kromosom buatan dari

khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan antara DNA plasmid dan segmen tertentu DNA

kromosom khamir. Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri atas sekuens telomir,

sentromir, dan titik awal replikasi.

YACs dapat membawa fragmen DNA genomik sepanjang lebih dari 1 Mb. Oleh karena itu,

YACs dapat digunakan untuk mengklon gen utuh manusia, misalnya gen penyandi cystic

fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan kemampuannya itu YACs sangat berguna dalam

pemetaan genom manusia seperti yang dilakukan pada Proyek Genom Manusia.

Vektor YEps

Vektor-vektor untuk keperluan kloning dan ekspresi gen pada Saccharomyces cerevisiae

dirancang atas dasar plasmid alami berukuran 2 μm, yang selanjutnya dikenal dengan nama

plasmid 2 mikron. Plasmid ini memiliki sekuens DNA sepanjang 6 kb, yang mencakup titik

awal replikasi dan dua gen yang terlibat dalam replikasi.

Vektor-vektor yang dirancang atas dasar plasmid 2 mikron disebut YEps (yeast episomal

plasmids). Segmen plasmid 2 mikronnya membawa titik awal replikasi, sedangkan segmen

kromosom khamirnya membawa suatu gen yang berfungsi sebagai penanda seleksi, misalnya

gen LEU2 yang terlibat dalam biosintesis leusin. Meskipun biasanya bereplikasi seperti

plasmid pada umumnya, YEps dapat terintegrasi ke dalam kromosom khamir inangnya.

Plasmid Ti Agrobacterium tumefaciens

Sel-sel tumbuhan tidak mengandung plasmid alami yang dapat digunakan sebagai vektor

kloning. Akan tetapi, ada suatu bakteri, yaitu Agrobacterium tumefaciens, yang membawa

plasmid berukuran 200 kb dan disebut plasmid Ti (tumor inducing atau penyebab tumor).

Bakteri A. tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotil seperti tomat dan tembakau serta

tanaman monokotil, khususnya padi. Ketika infeksi berlangsung bagian tertentu plasmid Ti,

yang disebut T-DNA, akan terintegrasi ke dalam DNA kromosom tanaman, mengakibatkan

Page 17: Transformasi DNA Dan Teknik PCR

terjadinya pertumbuhan sel-sel tanaman yang tidak terkendali. Akibatnya, akan terbentuk

tumor atau crown gall.

Plasmid Ti rekombinan dengan suatu gen target yang disisipkan pada daerah T-DNA dapat

mengintegrasikan gen tersebut ke dalam DNA tanaman. Gen target ini selanjutnya akan

dieskpresikan menggunakan sistem DNA tanaman.

Dalam prakteknya, ukuran plasmid Ti yang begitu besar sangat sulit untuk dimanipulasi.

Namun, ternyata apabila bagian T-DNA dipisahkan dari bagian-bagian lain plasmid Ti,

integrasi dengan DNA tanaman masih dapat terjadi asalkan T-DNA dan bagian lainnya

tersebut masih berada di dalam satu sel bakteri A. tumefaciens. Dengan demikian, manipulasi

atau penyisipan fragmen DNA asing hanya dilakukan pada T-DNA dengan cara seperti

halnya yang dilakukan pada plasmid E.coli. Selanjutnya, plasmid T-DNA rekombinan yang

dihasilkan ditransformasikan ke dalam sel A. tumefaciens yang membawa plasmid Ti tanpa

bagian T-DNA. Perbaikan prosedur berikutnya adalah pembuangan gen-gen pembentuk

tumor yang terdapat pada T-DNA.

Baculovirus

Baculovirus merupakan virus yang menginfeksi serangga. Salah satu protein penting yang

disandi oleh genom virus ini adalah polihedrin, yang akan terakumulasi dalam jumlah sangat

besar di dalam nuklei sel-sel serangga yang diinfeksi karena gen tersebut mempunyai

promoter yang sangat aktif. Promoter ini dapat digunakan untuk memacu overekspresi gen-

gen asing yang diklon ke dalam genom bacilovirus sehingga akan diperoleh produk protein

yang sangat banyak jumlahnya di dalam kultur sel-sel serangga yang terinfeksi.

Vektor Kloning pada Mamalia

Vektor untuk melakukan kloning pada sel-sel mamalia juga dikonstruksi atas dasar genom

virus. Salah satu di antaranya yang telah cukup lama dikenal adalah SV40, yang menginfeksi

berbagai spesies mamalia. Genom SV40 panjangnya hanya 5,2 kb. Genom ini mengalami

kesulitan dalam pengepakan (packaging) sehingga pemanfaatan SV40 untuk mentransfer

fragmen–fragmen berukuran besar menjadi terbatas.

Retrovirus mempunyai genom berupa RNA untai tunggal yang ditranskripsi balik menjadi

DNA untai ganda setelah terjadi infeksi. DNA ini kemudian terintegrasi dengan stabil ke

dalam genom sel mamalia inang sehingga retrovirus telah digunakan sebagai vektor dalam

terapi gen. Retrovirus mempunyai beberapa promoter yang kuat.

Page 18: Transformasi DNA Dan Teknik PCR