TINJAUAN PUSTAKA difteri

20
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007) Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriaedan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008) Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008) Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA difteri

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA difteri

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

            Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh

kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas

bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat

menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,

selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI:

2007)

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang

disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriaedan Corynebacterium ulcerans,

ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti

oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.

(Acang: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau

mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan

ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat

menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dariCorynebacterium

diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran

pernapasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan

demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian

saluran pernapasan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)

 

Gambar 1.Corynebacterium diphteriae

Klasifikasi Difteri

Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):

-          Infeksi ringan

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA difteri

Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan

-          Infeksi sedang

Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema

ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif

-          Infeksi berat

Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi

Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis 

Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:

Difteria Tonsil Faring (fausial)

            Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.

Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup

tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan

trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis

servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak

leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan

luas memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat terjadi

paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.

Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan

neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi

penyembuhan sempurna.

Diteria Laring

            Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala

toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah

dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala

klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas

bunyi, stridor yang progresif,  suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat

terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran

yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA difteri

Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

            Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe

difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran

pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva

berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis

eksterna dan sekret purulen dan berbau.

 

 

2.2 Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak

bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru

toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman

bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan

formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih

baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa

manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang

mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite,

medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan

cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-

abu coklat.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang

dapat memproduksi toksin, yaitu:

Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis

eritrosit.

Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat

menimbulkan hemolisis eritrosit.

            Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.

Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA difteri

dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi

virulensinya berbeda.

            Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada

bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini

mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di

laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah

kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain

untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa

diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

            Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan

produksi toksin, yaitu dengan cara:

1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai

saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.

2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam,

lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil

difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,

dan Corynebacterium serosis.

Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk

koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.

Basil dapat membentuk :

o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang

terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi

dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan

jaringan saraf. Minimum lethal dose(MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml

toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah

terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA difteri

selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini

menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan

otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu

600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender

yang telah mengering.

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di

faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),

disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak

jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya

apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya,

walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan

(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

 

                        Gambar 2. pseudomembran

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti

demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher

sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003) 

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam

gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul

berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak

penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian

yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,

sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis

paralysis jaringan saraf atau nefritis.

2.4 Patofisiologi

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau

tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.

Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan

pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA difteri

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan

yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan

toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan

jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami

kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai

minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi

kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi

kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai

kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal

jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan

selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri

juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri

dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian

tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran

dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah

penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran

udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang

dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.

Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan

pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

 

2.5 Penatalaksanaan Difteri

Tindakan Umum

Tujuan :

a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum

c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul

Jenis Tindakan :

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA difteri

1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini

dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan

(terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).

3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,

stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.

4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal

5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)

6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.

7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :

· Berikan Oksigen

· Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :

I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal

II. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah

III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah

IV. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu

tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia

Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

Tindakan Spesifik

Tujuan :

a. Menetralisir Toksin

b. Eradikasi Kuman

c. Menanggulangi infeksi sekunder

Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :

1. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.

· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara

unilateral/bilateral.

· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke

uvula, palatum molle dan dinding faring.

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA difteri

· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,

komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM atau IV

Difteri faring 40.000 IM atau IV

Difteri laring 40.000 IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana

saja

80.000-120.000 IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc

NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD

merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada

pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Uji Kepekaan

· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah

pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,

maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

Tes kulit

· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20

menit.

· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

Tes Mata

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA difteri

· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata

bagian bawah

· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 –

20 menit kemudian

· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )

· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000

Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi

secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)

dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:

· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan

· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan

adrenalin 1:1000.

 

2. Antibiotik

· Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.

· Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

 

3. Kortikosteroid

· Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

· Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

· Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

 

 

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA difteri

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan

tenggorok (nasofaringeal swab)

2.  Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin

3.  Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen

4.  Enzim CPK, segera saat masuk RS

5.  Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

6.  EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan

sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa

dilakukan 2-3x seminggu.

7. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.

Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk

larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung

antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada

yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna

merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi

apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung

antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang

akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

      Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang

mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick

test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan

yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45,

hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat

suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).

(Sumarmo: 2008)

      Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap

toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA difteri

waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama

beberapa hari.

1.  Tes hapusan spesimen:

Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi

tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

DIAGNOSA BANDING

1. Difteri Hidung

Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis,

adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)

1. Difteri Fausial

Harus dibedakan dengan:

-          Tonsilitis folikularis atau lakunaris

Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita

difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu

dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi

sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak hiperemis dengan

membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada

tonsil saja.

-          Angina Plaut Vincent

Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan

langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).

-          Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan

kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.

-          Blood dyscrasia (misalnya leukimia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA difteri

1. Difteri Laring

Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan

membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan

memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.

1. Difteri  Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau

stafilokokus.

 

PENGOBATAN PENYULIT

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang

disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan

pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

 

PENGOBATAN KARIER

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi

mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin

100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

 

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan Uji Shick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar

diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu

minggu.

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA difteri

imunitas

 

 

2.7  Komplikasi

Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

1. Miokarditis

biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit

Pemerikasaan Fisik :

Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda

payah jantung.

Gambaran EKG :

 

o Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi

ventrikel dan perubahan interval QT

o Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)

o Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung

1. Kolaps perifer

2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis

3. Urogenital : dapat terjadi nefritis

4. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf

terutama sistem motorik

Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit

Tanda-tanda renjatan :

o  

TD menurun (systol ≤ 80 mmHg)

Tekanan nadi menurun

Kulit keabu-abuan dingin dan basah

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA difteri

Anak gelisah