Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

8
PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN Widyastuti Wibisono, Ascobat Gani 1.1 Revitalisasi Puskesmas sesuai konsep PHC Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan primer yang status dan fungsinya ditetapkan dalam PMK-75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat; yaitu (i) pembina kesehatan wilayah, (ii) pelaksana program UKM, (iii) pelaksana pelayanan pengobatan atau UKP dan (iv) penggerak upaya kesehatan oleh masyarakat. Konsep Puskesmas tersebut pada dasarnya adalah bentuk Primary Health Care yang dideklarasikan dalam WHA 1978 di Alma Ata (Rusia); yaitu target “Health for All by 2000”. Disebutkan bahwa untuk mencapai “HFA-2000”, setiap negara perlu mengembangkan (i) Sistem Kesehatan Nasional, dan (ii) pelayanan kesehatan primer sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Setelah 40 tahun, konsep PHC tersebut (Puskesmas di Indonesia) masih tetap relevan dan ditegaskan kembali dalam deklarasi Astana pada tahun 2018 yang lalu. Pengalaman empiris di Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan program KB, gizi, imunisasi dan diare pada masa pre-reformasi adalah hasil penerapan fungsi-fungsi Puskesmas tersebut diatas, didukung oleh sekitar 250.000 Posyandu. Namun beberapa laporan dan observasi mengungkapkan terjadinya reduksi fungsi Puskesmas sejak desentralisasi diterapkan, dan terutama setelah pelaksanaan JKN pada tahun 2014. Menurunnya fungsi pembina wilayah, pelaksana UKM dan penggerak peran serta masyarakat menyebabkan penurunan kinerja program promosi kesehatan, pencegahan dan skrining. Dampaknya sudah terlihat dari hasil Riskesdas 2018 dibandingkan dengan Riskesdas 2013; yaitu menurunnya cakupan imunisasi, KLB PD3I tertentu (difteri dan campak), meningkatnya anemia ibu hamil, penurunan masalah gizi pada baduta/balita yang tidak siginifikan, dan lain-lain. Kedepan, penguatan fungsi pembina kesehatan wilayah, pelaksanaan UKM dan menggerakkan peran serta masyarakat semakin penting menghadapi meningkatnya PTM. Oleh sebab itu, mengembalikan dan menerapkan fungsi Puskemas sesuai PMK-75/2014 adalah isu yang sangat strategis. Perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi kepada semua stakeholder disemua jenjang (pusat, provinsi, kebupaten/kota, kecamatan) untuk menegaskan kembali konsep Puskesmas sebagai bentuk PHC, bahwa UKP tidak bisa dipisahkan dari peran pembina wilayah, dari UKM dan peran serta masyarakat. 1.2 Disparitas kapasitas Puskesmas – khususnya di DTPK Jumlah Puskesmas pada tahun 2017 adalah 9.825 sehingga rasionya per kecamatan adalah 1,36. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.070 Puskesmas berada di DTPK. Dengan perkataan lain, sebaran Puskesmas cukup merata di Indonesia. Yang masih menjadi masalah adalah (i) tenaga Puskesmas yang belum memenuhi ketentuan dalam PMK-75/2014, (ii) ketersediaan obat dan (iii) ketersediaan anggaran tepat waktu - khususnya untuk melaksanakan UKM. 1. Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care/PHC) 1 POLICY BRIEF

Transcript of Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

Page 1: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATANWidyastuti Wibisono, Ascobat Gani

1.1 Revitalisasi Puskesmas sesuai konsep PHC

Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan primer yang status dan fungsinya ditetapkan dalam PMK-75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat; yaitu (i) pembina kesehatan wilayah, (ii) pelaksana program UKM, (iii) pelaksana pelayanan pengobatan atau UKP dan (iv) penggerak upaya kesehatan oleh masyarakat. Konsep Puskesmas tersebut pada dasarnya adalah bentuk Primary Health Care yang dideklarasikan dalam WHA 1978 di Alma Ata (Rusia); yaitu target “Health for All by 2000”. Disebutkan bahwa untuk mencapai “HFA-2000”, setiap negara perlu mengembangkan (i) Sistem Kesehatan Nasional, dan (ii) pelayanan kesehatan primer sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Setelah 40 tahun, konsep PHC tersebut (Puskesmas di Indonesia) masih tetap relevan dan ditegaskan kembali dalam deklarasi Astana pada tahun 2018 yang lalu. Pengalaman empiris di Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan program KB, gizi, imunisasi dan diare pada masa pre-reformasi adalah hasil penerapan fungsi-fungsi Puskesmas tersebut diatas, didukung oleh sekitar 250.000 Posyandu.

Namun beberapa laporan dan observasi mengungkapkan terjadinya reduksi fungsi Puskesmas sejak desentralisasi diterapkan, dan terutama setelah pelaksanaan JKN pada tahun 2014. Menurunnya fungsi pembina wilayah, pelaksana UKM dan penggerak peran serta masyarakat menyebabkan penurunan kinerja program promosi kesehatan, pencegahan dan skrining. Dampaknya sudah terlihat dari hasil Riskesdas 2018 dibandingkan dengan Riskesdas 2013; yaitu menurunnya cakupan imunisasi, KLB PD3I tertentu (difteri dan campak), meningkatnya anemia ibu hamil, penurunan masalah gizi pada baduta/balita yang tidak siginifikan, dan lain-lain. Kedepan, penguatan fungsi pembina kesehatan wilayah, pelaksanaan UKM dan menggerakkan peran serta masyarakat semakin penting menghadapi meningkatnya PTM. Oleh sebab itu, mengembalikan dan menerapkan fungsi Puskemas sesuai PMK-75/2014 adalah isu yang sangat strategis. Perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi kepada semua stakeholder disemua jenjang (pusat, provinsi, kebupaten/kota, kecamatan) untuk menegaskan kembali konsep Puskesmas sebagai bentuk PHC, bahwa UKP tidak bisa dipisahkan dari peran pembina wilayah, dari UKM dan peran serta masyarakat.

1.2 Disparitas kapasitas Puskesmas – khususnya di DTPK

Jumlah Puskesmas pada tahun 2017 adalah 9.825 sehingga rasionya per kecamatan adalah 1,36. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.070 Puskesmas berada di DTPK. Dengan perkataan lain, sebaran Puskesmas cukup merata di Indonesia. Yang masih menjadi masalah adalah (i) tenaga Puskesmas yang belum memenuhi ketentuan dalam PMK-75/2014, (ii) ketersediaan obat dan (iii) ketersediaan anggaran tepat waktu - khususnya untuk melaksanakan UKM.

1. Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care/PHC)

1

POLICY BRIEF

Page 2: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

2

Dari segi ketenagaan, jumlah dokter, bidan dan perawat sudah mencukupi di banyak daerah, tetapi tidak terdistribusi sesuai kebutuhan. Tenaga yang banyak mengalami kekosongan atau kurang adalah tenaga farmasi, kesehatan masyarakat (kesmas), sanitarian, gizi dan laboratorium medis. Tenaga-tenaga tersebut esensial untuk melaksanakan UKM, yang sangat erat kaitannya dengan target-target SDGs dan prioritas nasional (program TB, stunting, imunisasi, DBD, promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan). Untuk mengatasi masalah tenaga tersebut, pemerintah sudah melaksanakan penempatan tenaga Puskesmas melalui program Nusantara Sehat, khusus untuk Puskesmas di DTPK.

Dari segi pembiayaan, Puskesmas mendapat dana kapitasi dari BPJS untuk pelayanan UKP. Sedangkan untuk UKM, Puskesmas mendapat dana BOK yang disalurkan dari pusat melalui DAK-nonfisik. Masalahnya adalah keterlambatan realisasi BOK karena menunggu keluarnya ketetapan anggaran tahunan daerah. Hal ini menganggu jadwal kegiatan UKM (ANC-K4, imunisasi, penimbangan, dll). Selanjutnya ketersediaan obat di Puskesmas ditentukan oleh (i) kelancaran pengiriman obat program dari pusat (obat TB, vaksin, dll) dan (ii) kelancaran proses penyusunan RKO, pengadaan dan pengiriman – yang dikoordinir oleh Dinas Kesehatan. Untuk daerah terpencil dan kepulauan proses tersebut sering tidak berjalan lancar antara lain karena gangguan jaringan internet atau keterlambatan pengadaan dan pengiriman.

Atas dasar uraian diatas, untuk mengurangi disparitas kapasitas Puskesmas khususnya di DTPK - perlu diambil kebijakan afirmatif berupa satu paket bantuan pusat untuk sekitar 2.770 Puskesmas di DTPK. Paket bantuan tersebut terdiri dari (1) tenaga sesuai dengan kebijakan Nusantara Sehat, (ii) anggaran BOK yang langsung ditransfer ke Puskesmas dari pusat dan (iii) paket obat terdiri dari obat program dan obat sesuai kebutuhan yang direncanakan dalam RKO.

1.3 Penguatan UKM di Puskesmas

Kinerja UKM secara umum menurun seperti terlihat dalam perbandingan hasil Riskesdas 2018 dengan 2013. Puskesmas adalah ujung tombak dan satu-satunya unit pelayanan kesehatan yang melaksanakan UKM sekaligus UKP. Ada beberapa program UKM yang menjadi tanggung jawab Puskesmas; yaitu (i) SPM yang terdiri dari 12 pelayanan dasar, (ii) PISPK berupa kunjungan rumah untuk mencatat 12 indikator kesehatan keluarga, (iii) sejumlah program prioritas nasional yang tidak masuk dalam SPM, seperti malaria, gizi, KB, kesling, DBD, pembinaan peran serta masyarakat, dan lain-lain. Dua faktor penting yang menentukan kinerja Puskesmas melaksanakan UKM adalah (i) anggaran untuk UKM yang cukup dan tersedia tepat waktu, (ii) tersedianya tenaga pelaksana UKM dan tenaga untuk manajemen keuangan dan tenaga pengelolaan laporan.

Anggaran BOK dari tahun ke tahun mengalami kenaikan; yaitu dari Rp 226 milyar (2010) menjadi Rp 4,8 triliun (2017). Diperkirakan kebutuhan akan BOK meningkat tajam apabila kebutuhan anggaran untuk SPM, PISPK dan program UKM lain dihitung sesuai proses “perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja” seperti ditetapkan dalam Permendagri-26/2006. Dalam waktu segera semua daerah (515 kabupaten/kota) perlu diperkuat dan dilatih untuk menyusun rencana dan anggaran berbasis kinerja tersebut.

Dari diskusi di beberapa daerah terungkap bahwa daya tarik melaksanakan UKM dengan dana BOK lebih rendah dibandingkan dengan melaksanakan UKP dengan dana kapitasi, karena dalam dana kapitasi ada komponen “jasa pelayanan” (60% dari total kapitasi). Selama ini tenaga-tenaga UKM di Puskesmas juga mendapat jasa pelayanan dari dana kapitasi. Padahal sesuai peraturan perundangan (UU-40/2004 dan Perpres-72/2012); dana JKN khusus dipergunakan untuk UKP. Oleh sebab itu, perlu diadakan komponen “jasa pelayanan” dalam alokasi BOK. Jasa pelayanan tersebut dibagikan dengan indikator kinerja, sebagaimana halnya dengan dana kapitasi.

Page 3: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

3

Faktor kedua yang menentukan kinerja Puskesmas melaksanakan UKM adalah ketersediaan tenaga kesmas, sanitarian, lab-medis (untuk konfirmasi diagnosis skrining atau surveilans). Untuk Puskesmas di DTPK sudah ada kebijakan Nusantara Sehat untuk memenuhi kebutuhan tenaga Puskesmas, termasuk tenaga UKM. Untuk Puskesmas diluar DTPK, pemerintah daerah perlu didorong untuk mencari terobosan memenuhi kebutuhan tenaga UKM tersebut, misalnya mempercepat status PPK-BLUD untuk Puskesmas sehingga bisa menggunakan pendapatannya untuk mengontrak tenaga yang diperlukan. Jenis tenaga lain yang penting untuk mendukung kegiatan UKM adalah (i) tenaga D3 akuntansi untuk memgelola laporan keuangan termasuk penggunaan dana DAK-nonfisik dan (ii) tenaga IT untuk mengelola berbagai sistem informasi di Puskesmas (SIMPUS, P-care, laporan DAK-nonfisik/BOK, serta laporan khusus untuk program-proogram tertentu).

1.4 Kemampuan manajemen Puskesmas

Fungsi Puskesmas cukup beragam yaitu (i) pembina kesehatan wilayah, (ii) pelaksana UKM, (iii) pelaksana UKP, (iv) penggerak peran serta masyarakat, (v) perencanaan dan penganggaran program, (vi) manajemen sumber daya termasuk keuangan, personil dan logistik dan (vii) manajemen sistem informasi. Kemenkes sudah menyusun paket pelatihan manajemen Puskemas yang dilaksanakan secara bertahap dari daerah ke daerah. Materi pelatihan tersebut perlu di reviu untuk melihat apakah ke-7 fungsi tersebut sudah diakomodir dan apakah perlu dilakukan pemutakhiran sesuai dengan perkembangan pelayanan yang dilakukan Puskesmas (SPM, PISPK, 6 jenis UKM esensial, 8 UKM pengembangan, dan 144 jenis diagnosis penyakit, dll). Dengan banyaknya jumlah Puskesmas (9.800), perlu diperkuat peranan Bapelkes dan Dinkes provinsi untuk merencanakan dan menyelengarakan pelatihan tersebut dalam bentuk TOT (Training of Trainers).

1.5 Akreditasi

Akreditasi Puskesmas secara komprehensif mencakup semua fungsi-fungsi Puskesmas seperti ditetapkan dalam PMK-75/2014. Sampai 2018 dari sekitar 9.800 Puskesmas, 68,4% yang sudah terakreditasi. Percepatan akreditasi Puskesmas dilakukan antara lain dengan mengadakan komponen anggaran akreditasi dalam DAK-nonfisik (selain BOK). Kebijakan anggaran akreditasi tersebut perlu terus dilanjutkan mengingat masih sekitar 30% Puskesmas belum terakreditasi. Akreditasi selain diperlukan untuk legitimasi menjadi FKTP JKN/BPJS, juga untuk memacu peningkatan mutu pelayanan Puskesmas. Namun perlu dicatat bahwa akreditasi adalah bersifat “sesaat” karena dilakukan setiap 3 tahun sekali. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan mekanisme lain yang lebih bersifat “kontinyu”, yaitu (i) menetapkan RSUD sebagai pembina dan pengawas aspek teknis medis pelayanan UKP dan (ii) menetapkan Dinkes sebagai pembina dan pengawas aspek teknis UKM dan pelaksanaan manajemen oleh Puskesmas.

1.6 Puskesmas sebagai PPK-BLUD

Salah satu hambatan dalam pengelolaan pendapatan Puskesmas adalah kakunya peraturan pengelolaan keuangan pemerintah/daerah. Kegiatan untuk melakukan pembinaan kesehatan wilayah, UKM, UKP dan pemberdayaan masyarakat berlangsung dinamis yang memerlukan fleksibilitas pengelolaan keuangan tanpa melanggar akuntabilitas. Untuk itu, Puskesmas diberi peluang melaksanakan PPK-BLUD (Pola Pengelolaaan Keuangan Badan Layanan Umum). Dengan status sebagai PPK-BLUD, Puskesmas lebih mampu merespons dinamika pelaksanaan fungsi-fungsi yang disebutkan diatas.

Namun tidak mudah bagi Puskesmas mendapat status PPK-BLUD tersebut. Sampai 2017, dari 9.767 Puskesmas, baru 680 (6,9%) yang sudah menjadi PPK-BLUD. Puskesmas harus memenhi 3

Page 4: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

4

syarat untuk menjadi PPK-BLUD, yaitu (i) syarat substantif, yaitu bahwa Puskesmas adalah institusi yang menyelenggarakan pelayanan publik, (ii) syarat administratif, yaitu bahwa “pemilik” Puskesmas, dalam hal ini Kepala Daerah, mengeluarkan persetujuan agar Puskesmas tersebut menjadi PPK-BLUD dan (iii) syarat teknis, yaitu Puskesmas menyusun neraca aset (accounting balance) yang menunjukkan kelayakan keuangan untuk menjadi PPK-BLUD. Studi terhadap Puskesmas yang sudah berstatus PPK-BLUD menunjukkan perbaikan kinerja Puskesmas. Oleh sebab itu, untuk mempercepat jumlah Puskesmas mendapat status PPK-BLUD, perlu dibentuk tim asistensi PPK-BLUD di setiap provinsi untuk membantu daerah dan Puskesmas.

1.7 Jaringan FKTP (pelayanan primer) untuk JKN/BPJS

Pada tahun 2017, BPJS sudah mengontrak sekitar 21.397 FKTP, yang terdiri dari (i) 7.800 Puskesmas non-rawat inap, (ii) 2.100 Puskesmas rawat inap, (iii) 5.600 klinik pratama, (iv) 4.500 DPM (dokter praktek mandiri), (v) 1.200 dokter gigi, dan (vi) 197 klinik utama (jumlah tersebut belum termasuk apotik, laboratorium klinik dan optik). Survei Bank Dunia (2018) menemukan bahwa kesiapan sarana-prasarana peralatan diagnostik Puskesmas lebih baik dari pada fasyankes swasta. Namun, Puskesmas yang terakreditasi sampai 2018 mencapai 68,4% (Kemkes, Direktorat Mutu dan Akreditasi, 2018). Akreditasi yang dilakukan setiap 3 tahun harus diiringi dengan upaya peningkatan mutu lainnya (lisensi, pelatihan, pendidikan berkelanjutan, uji kompetensi, sertifikasi, panduan teknis UKM, UKP dan manajemen tool), serta pendampingan oleh Dinkes.

Demikian juga FKTP fasyankes swasta perlu didukung berhimpun dalam suatu asosiasi. Asosiasi fasyankes diperlukan karena UU-40 menetapkan bahwa BPJS mengadakan kontrak dengan asosiasi fasyankes. Selain itu, dalam asosiasi tersebut fasyankes bisa bersama-sama menyusun standardisasi pelayanan; termasuk berbagai inovasi untuk meningkatkan mutu pelayanannya.

2.1 Perkembangan jumlah RS dan tempat tidur

Pertambahan jumlah penduduk dan penduduk lansia disertai dengan kenaikan PTM meningkatkan kebutuhan pelayanan RS. Kemudian meningkatnya status sosial-ekonomi penduduk disertai adanya jaminan pembayaran oleh JKN/BPJS akan meningkatkan permintaan (demand) terhadap pelayanan RS. Utilisasi pelayanan RS oleh peserta JKN terus meningkat. Misalnya utilisasi rawat jalan naik dari 21,3 juta (2014) menjadi 59,6 juta (2018). Rawat inap dari 4,2 juta (2014) menjadi 8,1 juta (2018). Sekitar 75% anggaran JKN terpakai untuk membayar jasa RS.

Sejak 2014 s/d 2017 terjadi pertambahan jumlah RS maupun jumlah TT. Pertambahan jumlah tersebut terutama dari investasi swasta (bertambah 310 RS dan 29.143 TT). Sedangkan pertambahan RS milik Kemenkes, Provinsi, Kabupaten dan TNI/POLRI relatif kecil (bertambah sebanyak 33 RS dan 6.149 TT). Nampaknya jaminan pembayaran dari JKN/BPJS merupakan daya tarik bagi swasta. Namun pertumbuhan RS swasta di kawasan timur sangat kecil. Misalnya pada tahun 2017, dari total 1.767 RS swasta, hanya 40 yang berada di Sultra, Gorontalo, Sulbar, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Ada dua kebijakan umum untuk menambah RS di wilayah timur tersebut, yaitu (i) pemerintah memprioritaskan pembangunan RS di wilayah tersebut dan (ii) memberi berbagai jenis insentif/kemudahan bagi swasta membangun RS di wilayah tersebut. Bentuk insentif bisa berupa kemudahan pengadaan lahan oleh Pemda setempat. Insentif lain adalah memberikan tenaga WKDS (wajib kerja dokter spesialis) untuk RS swasta tersebut.

2. Penguatan Pelayanan Kesehatan Sekunder dan Tertier

Page 5: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

2.2 Pengembangan RS khusus dan layanan unggulan khusus merespon transisi epidemiologi

Transisi epidemiologi meningkatkan kebutuhan pelayanan untuk penyakit-penyakit tidak menular seperti jiwa, stroke, syaraf/otak, kanker dan ortopedi. Perkembangan RS khusus selama 2014 – 2017 berjalan perlahan. RS jiwa tidak bertambah baik jumlah RSJ maupun jumlah TT (50 RSJ dan 10.037 TT). Padahal menurut Riskesdas, prevalensi psikosis naik dari 1,7/1000 (2013) menjadi 7/1000 (2018). RS khusus stroke tetap 1 dengan kapasitas sebanyak 161 TT. Demikian juga RS khusus kanker tetap 2 dengan kapasitas 434 TT. Oleh sebab itu, perlu dilakukan estimasi kebutuhan RS khusus maupun layanan unggulan khusus tersebut atas dasar perkembangan epidemilogi PTM. Pertama, swasta bisa diberi insentif untuk membangun RS khusus. Kedua, RS umum yang mempunyai potensi didorong untuk mengembangkan keunggulan tertentu sesuai dengan kebutuhan PTM tersebut.

2.3 RS sebagai PPK (penyedia pelayanan kesehatan) JKN/BPJS

Sampai tahun 2017, RS yang menjadi provider JKN/BPJS berjumlah sekitar 2000 buah; dibawah jumlah semua RS (2.198 RS). BPJS hanya diperbolehkan mengadakan kontrak dengan RS yang sudah terakreditasi. Pada tahun 2017, baru 54% RS yang sudah terakreditasi. Dari 864 RS pemerintah, yang terakreditasi berjumlah 604 RS (70%) dan dari 1.334 RS swasta yang terakreditasi adalah 877 RS (66%). Selain diperlukan untuk legitimasi kontrak dengan BPJS, akreditasi adalah mekanisme untuk meningkatkan mutu layanan RS.

Namun akreditasi adalah instrumen yang bersifat “cross sectional” dan bukan proses yang bersifat terus menerus. Untuk itu, RS perlu didorong untuk melaksanakan Audit Medis secara rutin. Untuk itu TKMKB (Tim Kendali Mutu Kendali Biaya) – unit independen yang sudah dibentuk di tingkat pusat dengan cabang di semua provinsi – perlu lebih intensif mendorong dan memantau pelaksanaan Audit Medis oleh RS. Selain TKMKB, telah dibentuk BPRS (Badan Pengawas RS) di setiap provinsi yang tugasnya adalah memantau pelaksanaan “hospital governance” di setiap RS. Oleh sebab itu, ada 3 kebijakan yang perlu diambil dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan RS, yaitu (i) mendorong proses akreditasi RS baik melalui KARS dan JCI, (ii) memperkuat fungsi dan efektivitas TKMKB, dan (iii) memperkuat fungsi dan efektivitas BPRS provinsi.

2.4 Pembayaran jasa RS oleh BPJS

Dalam JKN/BPJS, rumah sakit dibayar menggunakan system INACBGs (Indonesia Case Based Group). Masalahnya, tarif INACBGs yang berlaku sekarang belum didasarkan pada (i) “clinical pathway” terstandar dan (ii) nilai perhitungan biaya (cost based). Sekarang ini RS didorong menyusun “clincal pathway” masing-masing. Seharusnya pemerintah menetapkan proses penyusunan “clinical pathway” yang terstandar, dengan melibatkan organisasi profesi. Kemudian, hasilnya ditetapkan sebagai standar “clinical pathway” nasional. Masing-masing RS boleh melakukan penyesuaian dan disetujui setelah direview oleh – misalnya BPRS dan/atau TKMKB. “Clinical pathway” sangat diperlukan untuk penghitungan biaya (costing). Hasil “costing” dipakai sebagai dasar penentuan tarif yang realistis; yaitu mengikuti “clinical pathway” terstandar dan sesuai dengan nilai ke-ekonomian (biaya) pelayanan tersebut.

Dengan berkembangnya sistem asuransi dibanyak negara, sekarang berkembang kebijakan untuk membayar provider pelayanan kesehatan (primer dan sekunder/tertier) atas dasar kinerja – yaitu

5

Page 6: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

6

yang disebut “strategic purchasing”. Untuk FKTP (Puskesmas), pembayaran kapitasi sudah dikaitkan dengan kinerja pelayanan kepada peserta JKN/BPJS. Hal yang sama perlu dikembangkan untuk RS, yaitu pembayaran berbasis kinerja. Di banyak negara, indikator kinerja yang dipakai berkaitan dengan (i) mutu pelayanan seperti infeksi nosokomial, waktu tunggu, dll dan (ii) memberikan pelayanan yang tidak diperbolehkan (seperti re-admisi, urun biaya atau “cost sharing”, up-coding, “phantom billing”, dll). Strategic purchasing semacam ini bermanfaat untuk (a) menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan RS, (ii) meningkatkan reputasi dan kredibilitas RS serta (iii) mencegah pembayaran yang tidak perlu oleh BPJS.

2.5 Tenaga dokter spesialis di RS daerah terpencil

Kekurangan dan kekosongan dokter spesialis (DSP) masih merupakan hambatan untuk melaksanakan dan meningkatkan pelayaan RS. Kebijakan WKDS (Wajib Kerja Dokter Spesialis) yang sekarang dilakukan perlu terus dilanjutkan dengan prioritas diberikan kepada RS didaerah terpencil. Seperti disampaikan dimuka, penempatan WKDS di RS swasta bisa menjadi insentif bagi pihak swasta untuk membuka RS di daerah terpencil, khususnya di wilayah timur.

2.6 RSUD dan Puskesmas sebagai UPT Dinas Kesehatan

PP-18/2017 menetapkan bahwa RSUD adalah UPT Dinas Kesehatan (Dinkes), sama halnya dengan Puskesmas. Ketentuan ini membuka hubungan baru antara RSUD dengan Puskesmas. Puskesmas bisa berfungsi sebagai “gate keeper” RSUD dalam jejaring pelayanan kesehatan untuk BPJS. Dalam hal ini, RSUD perlu mengembangkan fungsinya sebagai pembina dan pengawas (binwas) Puskesmas dalam aspek teknis medis UKP. Sedangkan pembinaan-pengawasan Puskesmas dalam pelaksanaan UKM dan aspek administratif dilakukan oleh Dinkes. Hubungan kerja seperti disampaikan diatas perlu ditetapkan mekanismenya melalui suatu peraturan.

Penataan sistem rujukan ditujukan untuk terbentuknya sistem rujukan yang efektif, serta yang memperkuat provinsi menyelesaikan kasus kesehatan penduduk di wilayahnya (khususnya penyakit jantung, kanker dan ginjal) tanpa harus dirujuk keluar daerah. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan kompetensi jejaring fasyankes di provinsi bersangkutan. Dengan demikian kebutuhan fayankes rujukan didasarkan atas disparitas kompetensi fasyankes di masing-masing 34 provinsi; dikaitkan dengan kemajuan pembangunan daerah, kondisi geografis, ketersediaan sumber daya khususnya tenaga kesehatan. Penguatan sistem rujukan saat ini dilakukan dengan membangun 7 RS rujukan nasional yang terstandar; 2 RS rujukan provinsi dan 19 RS rujukan regional. Sebaran layanan rujukan nasional mencakup layanan rujukan radioterapi kanker, layanan rujukan jantung untuk penyakit dan bedah jantung, serta layanan transplantasi ginjal.

Koneksi/kontak antara fasilitas pelayanan rujukan dengan faskes yang merujuk dilengkapi dengan sistem rujukan on-line dan berbagai aplikasinya. Sebagai upaya pelayanan yang relatif baru dikembangkan, isu yang dihadapi adalah pemantapan roadmap terwujudnya sistem pelayanan rujukan. Mengingat kondisi geografis Indonesia, disparitas pelayanan kesehatan kawasan barat dan timur Indonesia, variasi standar pelayanan kesehatan antar fasyankes, kompetensi tenaga kesehatan yang belum memadai; maka pelayanan rujukan harus terus diperkuat dengan meningkatkan kualitas rumah sakit provinsi sehingga menjadi rujukan regional sekaligus menopang jaringan rujukan nasional.

3. Penguatan Sistem Rujukan

Page 7: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

Pembiayaan yang besar perlu diimbangi dengan ketersediaan tenaga spesialis, peralatan dan teknologi unggulan baik untuk layanan kesehatan umum maupun khusus sesuai potensi wilayah. Salah satunya adalah pemanfaatan telemedicine untuk mengatasi masalah ketertinggalan dan alokasi anggaran khusus guna mengatasi hambatan komunikasi dengan daerah binaan rujukan. Pemanfaatan telemedicine harus didukung dengan tenaga yang kompeten serta kesiapan sarana prasarananya.

Daftar Pustaka

1. Data Rumah Sakit Online. 202.70.136.52/rsonline/report/report_by_catrs.php (accessed July 7, 2018). 2. Kementerian PPN/Bappenas. 2015. Lampiran Peraturan Presiden RI No. 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Buku I, II, III. 3. Kementerian PPN/Bappenas. 2018. Buku Penguatan Pelayanan Dasar di Puskesmas. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan. 2018. 4. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi. 2018. Profil Kesehatan Indonesia 2017. 5. Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2012. Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan RI. 6. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2018. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 Terbaru 2018. 7. Taher, Akmal. 2013. Penyiapan Provider Jaminan Kesehatan. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan RI. 8. USAID. 2018. Healthcare Utilization Trends under Indonesia’s National Health Insurance Scheme: 2011-2016. USAID. Health Policy Plus and National Team for the Acceleration of Poverty Reduction Indonesia. May 2018 9. World Bank Indonesia. 2018. Quantitative Service Delivery Survey (QSDS), 2018.

Ringkasan Isu Strategis dan Rekomendasi Kebijakan Penguatan Pelayanan Kesehatan

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIJAKAN INDIKATOR/TARGET Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care/PHC) Revitalisasi Puskesmas sesuai konsep PHC

• Mengembalikan dan menerapkan fungsi Puskesmas sesuai PMK-75/2014

• Sosialisasi dan advokasi kepada semua stakeholder disemua jenjang (pusat, provinsi, kebupaten/kota, kecamatan) untuk menegaskan kembali konsep Puskesmas sebagai bentuk PHC, bahwa UKP tidak bisa dipisahkan dari peran pembina wilayah, dari UKM dan peran serta masyarakat

• Terlaksananya sosialisasi dan advokasi kepada semua stakeholder terkait fungsi Puskesmas sebagai bentuk PHC

Disparitas kapasitas Puskesmas – khususnya di DTPK

• Kebijakan afirmatif berupa satu paket bantuan pusat ke Puskesmas di DTPK

• Tersedianya paket bantuan terdiri dari (1) tenaga sesuai dengan kebijakan Nusantara Sehat, (ii) anggaran BOK yang langsung ditransfer ke Puskesmas dari pusat dan (iii) paket obat terdiri dari obat program dan obat sesuai kebutuhan yang direncanakan dalam RKO

Penguatan UKM di Puskesmas

• Penguatan kabupaten/kota untuk menyusun rencana dan anggaran berbasis kinerja

• Penguatan dukungan anggaran untuk UKM

• Mempercepat status PPK-BLUD untuk Puskesmas untuk fleksibilitas penggunaan anggaran

• Penguatan tenaga kesehatan untuk UKM

• Tersedianya anggaran untuk UKM yang cukup dan tersedia tepat waktu

• Komponen “jasa pelayanan” dalam alokasi BOK

• Tersedianya tenaga pelaksana UKM • Tersedianya tenaga untuk manajemen

keuangan dan pengelolaan laporan

7

Page 8: Theme 10 POLICY BRIEF Tata kelola revNV2003

Kemampuan manajemen Puskesmas

• Penguatan peranan Bapelkes dan Dinkes provinsi untuk merencanakan dan menyelengarakan pelatihan tersebut dalam bentuk TOT (Training of Trainers)

• Terlaksananya pelatihan tersebut dalam bentuk TOT (Training of Trainers) dan pelatihan Puskesmas

Puskesmas sebagai PPK-BLUD

• Mempercepat jumlah Puskesmas mendapat status PPK-BLUD,

• Tim asistensi PPK-BLUD di setiap provinsi untuk membantu daerah dan Puskesmas

Jaringan FKTP (pelayanan primer) untuk JKN/BPJS

• Peningkatan mutu dalam bentuk penguatan lisensi, pelatihan, CPD, uji kompetensi, sertifikasi, panduan teknis UKM, UKP dan manajemen tool

• Pendampingan FKTP oleh Dinkes • Pembinaan dan dukungan untuk asosiasi

FKTP fasyankes swasta

• Jumlah FTKP yang sudah disertifikasi, keberadaan panduan teknis UKM UKP dan manajemen tools.

• Komunikasi dan koordinasi antara FKTP dan Dinkes

• Terbentuknya forum komunikasi fasyankes swasta

Penguatan Pelayanan Sekunder dan Tertier Perkembangan jumlah RS dan tempat tidur

• Memprioritaskan pembangunan RS di wilayah timur

• Kebijakan insentif/kemudahan bagi swasta membangun RS di wilayah timur

• Rasio tempat tidur dan penduduk mendekati rekomendasi WHO (1,21 per 1000 penduduk, 2015)

• Adanya regulasi dan kebijakan insentif bagi swasta membangun RS di wilayah timur

Penguatan RS Khusus dan pengembangan layanan unggulan merespons transisi epidemiologi

• Perlu dilakukan estimasi kebutuhan RS khusus dan layanan unggulan atas dasar perkembangan epidemiologi

• Kebijakan insentif untuk penguatan RS khusus

• Tersedianya layanan unggulan khusus sesuai dengan kebutuhan.

• Meningkatnya kualitas layanan di RS khusus.

RS sebagai PPK (penyedia pelayanan kesehatan) JKN/BPJS

• Mendorong proses akreditasi RS baik melalui KARS dan JCI

• Memperkuat fungsi dan efektivitas TKMKB

• Memperkuat fungsi dan efektivitas BPRS provinsi

• Jumlah RS yang terakreditasi meningkat

Pembayaran jasa RS oleh BPJS

• Strategic purchasing untuk (i) menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan RS, (ii) meningkatkan reputasi dan kredibilitas RS serta (iii) mencegah pembayaran yang tidak perlu oleh BPJS

• Tersusunnya peraturan pembayaran RS berbasis kinerja

Tenaga dokter spesialis di RS daerah terpencil

• Penempatan WKDS di RS swasta sebagai insentif bagi pihak swasta untuk membuka RS di daerah terpencil, khususnya di wilayah timur.

• Jumlah WKDS yang ditempatkan di RS swasta terutama di wilayah timur

RSUD dan Puskesmas sebagai UPT Dinas Kesehatan

• Penguatan fungsi RSUD sebagai pembina dan pengawas (binwas) Puskesmas dalam aspek teknis medis UKP

• Penguatan fungsi Dinkes untuk membina dan mengawasi Puskesmas dalam pelaksanaan UKM dan aspek administratif

• Peraturan yang mengatur mekanisme hubungan/peran RSUD dan Dinkes

Penguatan Sistem Rujukan Penguatan Sistem Rujukan • Koneksi/kontak antara fasilitas pelayanan

rujukan dengan faskes yang merujuk dilengkapi dengan sistem rujukan on-line dan berbagai aplikasinya

• Ketersediaan tenaga spesialis, peralatan dan teknologi unggulan baik untuk layanan kesehatan umum maupun khusus sesuai potensi wilayah

Pernyataan :Ringkasan kebijakan ini difasilitasi oleh BAPPENASnamun isi dan materi sepenuhnya tanggung jawab penulis.

8www.bappenas.go.id