Policy Brief - Dewan Guru Besar

108

Transcript of Policy Brief - Dewan Guru Besar

Page 1: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 2: Policy Brief - Dewan Guru Besar

Policy Brief

Pembangunan SaguTerpadu dan Berkelanjutan

2020

Page 3: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 4: Policy Brief - Dewan Guru Besar

Penyusun:

Tajuddin Bantacut | M H Bintoro | Ervizal A M ZuhudEvy Damayanthi | Hadi Susilo Arifin | Widanarni

Andes Ismayana

Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor

Policy Brief

Pembangunan SaguTerpadu dan Berkelanjutan

2020

Page 5: Policy Brief - Dewan Guru Besar

Judul Buku:Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Penyusun:Tajuddin Bantacut | M H Bintoro | Ervizal A M ZuhudEvy Damayanthi | Hadi Susilo Arifin | WidanarniAndes Ismayana

Pendukung Teknis:Imam Busyra Abdillah | Fitri Amalia Rizki

Desain Sampul:Alfyandi

Sumber Ilustrasi Sampul:M H Bintoro

Penata Isi:Alfyandi | Muhammar Alwedy

Jumlah Halaman: 96 + 10 halaman romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, September 2020

Dewan Guru Besar Institut Pertanian BogorSekretariat DGB IPB Gedung Rektorat Andi Hakim Nasoetion (AHN), Lt. 6 Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680

ISBN: 978-623-256-283-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANGDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 6: Policy Brief - Dewan Guru Besar

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas selesainya penulisan Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan. Policy Brief tentang Sagu ini sangat ditunggu-tunggu, karena selain sangat dibutuhkan juga cakupannya yang sangat komprehensif. Policy Brief ini dikeluarkan oleh Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (DGB IPB). DGB IPB adalah salah satu organ IPB yang bermartabat, berwibawa, dan menjadi pelopor dalam mewujudkan visi Institut Pertanian Bogor. DGB IPB yang beranggotakan 235 orang Guru Besar, memiliki tugas untuk mampu memberikan pemikiran solusi untuk memecahkan persoalan tidak hanya untuk IPB, namun juga terutama untuk mampu memberikan pemikiran solusi dalam memecahkan persoalan bangsa.

Sejak awal adanya Pandemi Covid-19, DGB IPB telah ikut aktif memberikan pemikiran tentang kemungkinan adanya permasalahan pangan dan energi pada saat berlangsungnya pandemi ini, atau bahkan sesudah terjadinya Pandemi Covid-19 (beyond Pandemy Covid-19), yaitu terutama dalam menghadapi dampak pemanasan global terhadap produktivitas tanaman pangan. Dalam suatu publikasi terbaru di Roma tahun 2020 oleh berbagai lembaga dunia, seperti FAO, WHO, Unicef, yaitu: The State of Food Security and Nutrition in the world, dinyatakan bahwa dalam upaya untuk menjaga ketahanan pangan dan status gizi di dunia, maka diperlukan perubahan sistem pangan agar dapat menyediakan makanan yang sehat secara berkelanjutan.

Hampir 690 juta orang di dunia ini mengalami kekurangan gizi pada tahun 2019, dan diperkirakan jumlahnya akan lebih dari 840 juta pada tahun 2030. Adanya pandemi Covid-19 ini, maka pada tahun 2020 jumlah orang yang kekurangan gizi di dunia akan bertambah sebanyak 83-132 juta orang. Hutan dan Kebun Sagu Indonesia mempunyai keunggulan yang paling adaptif terhadap dampak pemanasan global dan berpotensi besar sebagai cadangan pangan Indonesia dan bahkan dunia di masa mendatang.

Oleh karena itu DGB IPB memberi amanah kepada Komisi B, Komisi Pengembangan Keilmuan dan Pemikiran Strategis untuk membentuk Panitia Ad-Hoc (PAH) untuk melaksanakan seminar on-line sagu secara berseri. Rangkaian seminar secara on-line (webinar) dalam delapan (8) seri dengan Judul “Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan (Pangan, Industri dan Energi) telah dilaksanakan pada periode mulai 19 Mei 2020 sampai dengan 18 Agustus 2020. Hasil kajian dan pembahasan-pembahasannya telah berhasil dikemas menjadi Policy Brief: Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan. Policy Brief ini bertujuan untuk memberi masukan dan mudah-mudahan juga bisa menjadi acuan bagi pembuat kebijakan/keputusan terkait tentang urgensi komoditas sagu sebagai sumber pangan, industri dan energi. Dari isu yang diusung tentang pembangunan industri berbasis sagu terpadu dan berkelanjutan, maka nampak bahwa betapa perlunya dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah pangan, industri dan energi tersebut.

Page 7: Policy Brief - Dewan Guru Besar

vi

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Dalam pelaksanaan delapan serial webinar, DGB IPB telah mendapat dukungan dari berbagai ragam stakeholders, yaitu : Universitas (akademisi), peneliti, pelaku bisnis/praktisi industri sagu, instansi pemerintah (Kementerian yang terkait: BAPPENAS, KEMENKO Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kementerian Perindustrian dan BULOG), politikus (DPR), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mahasiswa, maupun masyarakat petani, LSM dan lain-lain. Telah banyak memberikan dan menyampaikan pemikiran, gagasan, serta solusi untuk merumuskan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dan perlu dituangkan menjadi kebijakan pemerintah dalam pembangunan sagu terpadu dan berkelanjutan. DGB IPB sangat menghargai kontribusi dari peserta seminar yang datang dari Ujung Aceh (Sabang) hingga ujung Papua (Merauke), serta berasal dari berbagai kalangan usia, pekerjaan dan pendidikan.

Selanjutnya telah disusun 8 Sektoral Policy Brief, sebagai berikut:

1 : Penguatan Infrastruktur dan Logistik Industri Tepung Sagu

2 : Preposisi Politik Pangan Berbasis Tepung Sagu

3 : Pengembangan Industri Pangan Berbasis Tepung Sagu

4 : Pengembangan Industri Hilir Sagu

5 : Kebijakan dan Pengembangan Infrastruktur Industri Berbasis Sagu

6 : Pertanian Sagu Terpadu Berkelanjutan

7 : Kelembagaan Pengembangan Industri Sagu Modern

8 : Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan Sagu

Ucapan terimakasih tidak terhingga disampaikan kepada para pihak yang telah berkontribusi sebagai nara-sumber dalam delapan serial Webinar Sagu, yaitu:

Serial 1 : Prof. Dr. MH Bintoro (IPB), Drs. Wibisono Poespitohadi MSc, MSi (Han) (Direktur Pengadaan Perum BULOG), Drs. H. Irwan, MSi (Bupati Kepulauan Meranti), dan Fakri Karim (Direktur PT Austindo Nusantara Jaya Tbk.)

Serial 2 : Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS (IPB), Ir. Moh. Ichsan Firdaus, M.Si (Komisi 4 DPR), Ir. Musdhalifah Machmud, MT (Deputi II Menko Perekonomian), dan Dr. Ir. Kasdi Subagiono, M.Sc (Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian)

Serial 3 : Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS (IPB), Ir. Enny Ratnaningtyas, MS. (Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Kementerian Perindustrian), dan Dr. Saptarining Wulan (Pengusaha pangan sagu olahan, Jakarta)

Serial 4 : Dr. Titi Chandra Sunarti (IPB), Srie Agustina (Plt. Dirjen Daglu – Kemendag), dan Adhi Lukman (Ketua Umum GAPMMI)

Serial 5 : Prof. Dr. Elias (IPB), Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc. (Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, BAPPENAS), dan Ir. Hadi Sucahyono, MPP, Ph.D (Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah, Kementerian PUPR)

Page 8: Policy Brief - Dewan Guru Besar

vii

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Serial 6 : Prof. MH. Bintoro (IPB), Dr. Ir. Bambang Hendroyono, MM (Sekjen/ Plt. Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari - Kementerian LHK), dan Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc. (Ketua Umum APHI) dan Ir. Rahardjo Benyamin (Wakil Ketua Umum I APHI).

Serial 7 : Prof. Dr. Sumardjo (IPB), Dr. Apolo (Rektor Universitas Cenderawasih), Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN/Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan Dr. Wardis Girsang (Universitas Patimura)

Serial 8 : Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti (IPB), AY Dias (Sonny) – PT Green Energy, dan Dr. Ichsan Achmad (IPB)

Secara khusus kami sampaikan ucapan terimakasih kepada Ketua dan Sekretaris Komisi B DGB yaitu Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin dan Prof. Dr. Widanarni; Tim PAH yang sangat kompak yang diketuai oleh Prof. Dr. Tajuddin Bantacut, sekretaris yaitu Dr. Andes Ismayana dan anggota Prof. Dr. MH.Bintoro, Prof. Dr. Ervizal A.M. Zuhud; pembahas seri 1 hingga 8 yaitu Prof. Dr. Tajuddin Bantacut, serta kepada para moderator seminar yaitu Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin, Prof. Dr. Widanarni, Prof. Dr. Erliza Noor, Prof. Dr. Tineke Mandang, Prof. Dr. Y. Aris Purwanto, Prof. Dr. Dewi Apri Astuti, dan Prof. Dr. Sandra A. Aziz. Juga kepada staf pendukung yang tidak kenal lelah: Imam Busyra Abdillah, S.Hut., M.Si., Fitri Amalia Rizki, S.KPm., Toyibatun, SE., Tri Wahyu, Cecep Ading Syaefudin dan Sofar Jamil.

Terakhir Policy Brief “Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan” ini disusun secara sistematik yang terdiri dari Executive Policy Brief; Rangkuman Policy Brief; dan Sectoral Policy Brief. Besar harapan kami sesuai dengan tujuannya, semoga Policy Brief ini dapat dijadikan acuan dan masukan serta dapat ditindak-lanjuti oleh pembuat kebijakan terkait tentang urgensi pembangunan sagu secara terpadu dan berkelanjutan untuk pangan, energi dan industri yang strategis di masa mendatang. Semoga.

Bogor, 22 September 2020

Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S.Plt. Ketua Dewan Guru Besar IPB.

Page 9: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 10: Policy Brief - Dewan Guru Besar

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .v

DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix

EXECUTIVE POLICY BRIEF PEMBANGUNAN SAGU TERPADU DAN BERKELANJUTAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

RANGKUMAN POLICY BRIEF PEMBANGUNAN SAGU TERPADU DAN BERKELANJUTAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

SECTORAL POLICY BRIEF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15

POLICY BRIEF 1 PENGUATAN INFRASTRUKTUR DAN LOGISTIK INDUSTRI TEPUNG SAGU . . . . . . . 17

POLICY BRIEF 2 PREPOSISI POLITIK PANGAN BERBASIS TEPUNG SAGU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27

POLICY BRIEF 3 PENGEMBANGAN INDUSTRI PANGAN BERBASIS TEPUNG SAGU . . . . . . . . . . . . . . . . 37

POLICY BRIEF 4 PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR SAGU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47

POLICY BRIEF 5 KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR INDUSTRI BERBASIS SAGU. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57

POLICY BRIEF 6 PERTANIAN SAGU TERPADU BERKELANJUTAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 67

POLICY BRIEF 7 KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAGU MODERN . . . . . . . . . . . . . . . . . . 77

POLICY BRIEF 8 PEMANFAATAN HASIL SAMPING PENGOLAHAN SAGU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 87

Page 11: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 12: Policy Brief - Dewan Guru Besar

EXECUTIVE POLICY BRIEF

PEMBANGUNAN SAGU TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Oleh : Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor

Memahami dan merespon kehendak Bapak Presiden untuk membangun ketahanan pangan yang tangguh, berdaulat dan merdeka, Dewan Guru Besar IPB University (DGB IPB), bersama ini menyampaikan rekomendasi langkah-langkah dan program penguatan yang sebaiknya dilaksanakan. Perubahan iklim yang sedang dan akan terus berlangsung dapat menurunkan produksi pangan secara tiba-tiba yang berakibat terjadinya kelaparan massal. Hal ini terjadi karena tanaman yang menjadi andalan pangan Indonesia dan dunia yakni padi, jagung, dan gandum rentan terhadap perubahan iklim. Berbeda dengan tanaman tersebut, sagu adalah tanaman yang relatif tidak terganggu oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, DGB IPB mengajukan sagu sebagai salah satu bahan pangan pokok nasional bersama dengan atau pengganti dari beras dan tanaman pangan lainnya.

DGB IPB telah melakukan 8 Seri Webinar tentang Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan (Pangan, Industri dan Energi) sebagai salah satu upaya untuk mengidentifikasi masalah, mengumpulkan pemikiran, dan merumuskan penyelesaian masalah ketahanan pangan Indonesia. Narasumber berasal dari akademisi, praktisi, politisi, birokrat dan masyarakat dengan peserta dari berbagai instansi, lembaga, perguruan tinggi, dan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Dari rangkaian webinar tersebut telah diidentifikasi berbagai pokok pikiran sebagai berikut:

Perubahan iklim global yang sedang dan akan terus berlangsung dalam waktu yang lama dapat 1. menimbulkan periode kekeringan yang panjang. Perubahan tersebut dapat berakibat pemutusan produksi pertanian khususnya tanaman pangan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan ketersediaan air.

Pemenuhan kebutuhan beras Indonesia, menurut perhitungan IPB, sebagian masih bergantung 2. pada impor yang pada tahun berjalan diperlukan sekitar 2,4 juta ton sementara negara eksportir (seperti Vietnam) belum memastikan untuk ekspor berasnya.

Sagu adalah sumberdaya karbohidrat yang melimpah dan relatif tahan terhadap perubahan iklim. 3. Indonesia memiliki kawasan (hutan) sagu seluas 5,5 juta ha tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sebagian besar (95%) terdapat di Papua dan Papua Barat (Kabupaten terluas adalah Merauke, Mappi, dan Asmat). Potensi yang sangat besar ini belum dimanfaatkan dengan baik.

Page 13: Policy Brief - Dewan Guru Besar

2

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Tepung sagu mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga sangat baik untuk bahan pangan 4. pokok secara tunggal maupun bersamaan dengan beras, singkong dan lain-lain. Selain itu, tepung sagu memiliki indeks glikemik rendah, bebas gluten dan mengandung cukup gizi, juga dapat menjadi bahan baku industri pangan, non-pangan (perekat, farmasi) dan energi.

Pengembangan industri berbasis tepung sagu dapat menjadi penguat ketahanan pangan untuk 5. menopang kedaulatan pangan nasional, baik untuk jangka pendek terlebih lagi jangka panjang dalam mengatasi kekurangan (produksi) pangan pada masa kekeringan panjang.

Keterbatasan infrastruktur dan sarana logistik, konsumsi yang masih rendah dan industri hilir 6. masih terkendala dengan pasokan menyebabkan tingkat pemanfaatan sagu masih relatif rendah dibandingkan potensi yang besar sehingga banyak pati yang terbuang percuma sepanjang tahun karena tidak dipanen.

Pengembangan sagu sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri perlu dilakukan melalui

langkah-langkah sebagai berikut:

Pemanfaatan Pohon Sagu Siap Panen: 1. Untuk antisipasi kekurangan pasokan pangan (2,4 juta ton beras) dapat diganti dengan sagu dari luasan sekitar 120.000 ha hutan/kebun sagu. Hutan sagu yang segera dapat dimanfaatkan tersebar di beberapa kabupaten seperti Merauke, Timika, Jayapura, Nabire, Sorong Selatan, Sorong, Seram Barat, Luwu Utara, Konawe, Sambas, Pontianak, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, Mamasa, Kolaka, Kendari, Bangka, Bangka Tengah, Bangka Barat, Belitung dan Belitung Timur. Untuk penyebaran dan memudahkan distribusi dapat membuka luasan sekitar 10.000 ha untuk masing-masing kabupaten.

Penetapan Sagu sebagai Pangan Pokok Penting dan Strategis: 2. Pemerintah perlu menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok melalui Peraturan Presiden sehingga perlakuannya dapat setara atau sama dengan beras, jagung dan kedelai (Pajale).

International Year of Sago3. : Sagu hanya terdapat di beberapa wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Pasific, Indonesia memiliki terluas (sekitar 85%). Potensi yang besar dapat mencukupi, setidaknya, menopang sebagian kebutuhan pangan dan karbohidrat dunia. Oleh karena itu, sagu selayaknya memiliki hari dalam kalender internasional. Masyarakat Papua merayakan hari sagu setiap 21 Juni yang dikaitkan dengan Festival Danau Sentani.

Pembangunan Jalan Akses dan Penguatan Infrastruktur: 4. Kawasan/hutan sagu yang secara natural terisolasi memerlukan jalan akses dan jalan produksi serta infrastruktur logistik dan distribusi. Pembangunan infrastruktur hulu dan hilir (pengolahan dan distribusi) harus dibangun melibatkan lintas sektor dan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam perencanaan, pembangunan dan pembiayaan.

Pembangunan Pelabuhan Ekspor-Impor: 5. Sagu adalah komoditas multiguna baik sebagai pangan dan bahan baku industri. Orientasi pasar berada di luar kawasan baik antar pulau maupun antar negara. Penanganan dan pergerakan barang harus berlangsung cepat dan efisien yang dapat diperkuat dengan adanya pelabuhan sebagai punca dari jaringan rantai pasok (supply chain).

Page 14: Policy Brief - Dewan Guru Besar

3

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Kebijakan Pendukung Insentif (Pajak dan Subsidi): 6. Industri yang berbasis sumberdaya alam berada di kawasan yang relatif terpencil dihadapkan pada defisiensi biaya akibat dari biaya logistik dan pengolahan yang tinggi, sehingga efektivitas biaya rendah. Penetapan sagu sebagai bahan pangan pokok memungkinkan penerapan skenario keringanan pajak serta subsidi pada petani, pengusaha dan atau konsumen.

Peningkatan Konsumsi Rumah Tangga dan Industri Hilir: 7. Penyuluhan atau bahkan pendidikan pangan (food education and extension) perlu dilakukan secara intensif dan masif sehingga masyarakat mengetahui sagu sebagai bahan pangan pokok, cara pengolahannya dan aspek kesehatan. Untuk masyarakat di sekitar kawasan sagu, bantuan pangan yang diberikan adalah tepung sastra (sagu sejahtera) sebagai pengganti rastra (beras sejahtera). Dengan demikian industri dan bisnis sagu akan berkembang dengan baik pada skala teknis dan ekonomis (technical and economics of scale) serta lingkungan bisnis (business environment) yang akan berkembang.

8. Penguatan Peran Perum BULOG: Pangan adalah bahan yang paradoks yakni produksi musiman dan berfluktuasi berhadapan dengan konsumsi rutin dan tumbuh. Stabilisasi antara fluktuasi pasokan dengan pertumbuhan konsumsi diselaraskan oleh stok (buffer stock) baik yang bersifat statis (dalam gudang) atau dinamis (perputaran di pasar). Dengan menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok maka sagu dapat diperlakukan seperti beras yang dapat dikelola oleh Perum BULOG sebagai cadangan pangan pemerintah (CBP) atau pangan bagi rakyat sejahtera (pastra). Perum BULOG diposisikan sebagai lembaga pengendali stok dan distribusi pangan pemerintah.

Pembentukan Kluster Riset, Inovasi dan Pengembangan: 9. Penelitian, inovasi dan pengembangan pangan sagu sepatutnya dilakukan untuk teknik budidaya, inovasi teknologi panen, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil untuk mengembangkan produk pangan olahan berbasis sagu, peningkatan nilai tambah, pengembangan bisnis pangan, dan pengayaan komposisi kandungan gizi pangan yang aman dikonsumsi, menciptakan produk sagu yang mudah diolah untuk susbsitusi pangan pokok (beras dan tepung terigu) dengan memperhatikan kesesuaian kandungan protein, vitamin dan zat lain di dalamnya. Diversifikasi pangan berbasis sagu mencakup tradisional yang sudah populer serta pengembangan beras analog, mie sagu, dan lain-lain. Sagu juga berpotensi untuk pengganti karbohidrat sebagai bahan baku industri seperti bioplastik, bahan bantu kertas, bioetanol, lem, kosmetik, farmasi, pakan, dan lain-lain.

Keterlibatan Masyarakat10. : Sebagian (besar) kawasan sagu berada dalam penguasaan masyarakat adat sebagai penopang kehidupan (pangan dan ekonomi), kegiatan sosial dan adat, dan kepercayaan. Sagu telah menjadi sumber dan dasar pembentukan kearifan lokal yang telah berlangsung lama. Pemerintah perlu membangun kekuatan petani dalam pengelolaan kawasan sagu melalui bantuan edukasi, pendampingan, pembiayaan, penyuluhan, dan sarana produksi, sehingga mereka dapat bekerjasama pada posisi yang sejajar dengan pengusaha.

Pembuatan 11. Grand Design Kawasan Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu: Rancangan ini bersifat multi sektor, multi tingkat dan multi pemangku kepentingan. Setiap sektor mengambil peran secara proporsional dengan program dan waktu yang tepat sehingga

Page 15: Policy Brief - Dewan Guru Besar

4

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

terjadi sinergi dengan sektor lainnya. Sarana yang penting untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan terlibat secara sinergis adalah berbasis rencana yang menunjukkan jenis program dan waktu pelaksanaan. Rencana yang bersifat multi sektor, multi kegiatan, dan multi tahun harus dibuat secara komprehensif melibatkan semua pihak dapat diwujudkan melalui penerapan konsep Food Estate. Dalam perspektif inilah diperlukan Grand Design berbasis kawasan sebagai acuan pembangunan terpadu dan berkelanjutan.

Rekomendasi dari DGB IPB untuk menjadi bahan pertimbangan Presiden Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan dan program pembangunan ketahanan, kemandirian dan kemerdekaan pangan Indonesia baik untuk saat ini maupun untuk antisipasi perubahan iklim di masa yang akan datang.

Rekomendasi ini dilengkapi dengan:

Rangkuman 1. Policy Brief Delapan Seri Webinar: Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan (Pangan, Industri dan Energi),

Policy Brief 2. masing-masing Seri dari Webinar tersebut, dan

Kumpulan bahan presentasi dari narasumber dan penguatan dari pembahas.3.

Terima kasih atas perhatian Bapak, semoga ketahanan pangan Indonesia semakin baik dan dapat menjadi penopang pangan dunia.

Plt. Ketua,

Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS.

Page 16: Policy Brief - Dewan Guru Besar

5

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

“ Sodara - sodara, soal persediaan makanan rakjat ini, bagi kita

adalah soal hidoep ataoe mati. Tjamkan, sekali

lagi tjamkan, kalaoe kita tidak “ampakkan”

soal makanan rakjat ini setjara besar - besaran,

setjara radikal dan revoloesioner, kita akan

mengalami tjelaka...”

Ir. Soekarno (Presiden RI)

Peletakan Batu Pertama Pembangunan Kampus IPB, 1952

Page 17: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 18: Policy Brief - Dewan Guru Besar

RANGKUMAN POLICY BRIEF

PEMBANGUNAN SAGU TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Oleh : Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor

Pendahuluan1. Implementasi kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan sagu nasional yakni menjadikan sagu sebagai komoditas pangan penting serta bahan baku industri strategis maka perlu dituangkan ke dalam Program Aksi. Rangkaian program disusun untuk menjadi acuan praktis bagi semua pemangku kepentingan dalam menyusun program dan proyek sehingga terjadi sinergis lintas sektor baik secara horizontal maupun vertikal. Program Aksi mensinergikan dan atau memperkuat tautan antar Program Inti (Core Program), Program Pendukung (Support Program), dan Program Terkait (Related Program). Sinergi antar program akan meningkatkan efektivitas pencapaian dan efisiensi penggunaan sumber daya (Gambar 1).

Gambar 1. Rencana aksi dan percepatan pengembangan industri tepung sagu

Fokus (central node) program aksi adalah penumbuhkembangan industri tepung (pati) sagu untuk mendayagunakan potensi yang (sangat) besar. Keberadaan industri tepung sagu adalah penentu (triger) keberhasilan program hulu (pemanenan dan penanaman), tumbuhnya konsumsi primer (rumah tangga) dan berkembangnya industri hilir (pengolahan lanjut dari tepung/pati sagu). Pertumbuhan (skala) dan pertambahan (satuan usaha) tidak akan terjadi dengan sendirinya karena berbagai kendala yang dihadapi bersamaan dengan peluang yang tersedia.

Page 19: Policy Brief - Dewan Guru Besar

8

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Penumbuhan industri tepung sagu akan meningkatkan permintaan bahan baku (batang sagu) yang berarti akan “memicu” pemanenan yang mengharuskan pengembangan penanaman (budidaya) dalam bentuk kawasan (perkebunan) sagu. Penyediaan bahan baku harus dipastikan pada tingkat keberlanjutan (sustainable rate) sehingga kapasitas maksimum (sustainable capacity) industri tepung sagu juga dapat ditetapkan. Industri ini tidak akan tumbuh tanpa serapan produknya (tepung) baik melalui konsumsi langsung (rumah tangga) dan sebagai bahan baku industri tepung komposit maupun industri hilir. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa pengembangan industri berbasis sagu harus dikembangkan secara terpadu dengan penguatan intensif industri hulu dan hilir.

Program Utama: Pembangunan Pengolahan 2. Tepung Sagu Berskala Besar

Tepung adalah komoditas yang memiliki persaingan yang ketat karena banyak pilihan (komplementer) tetapi masing-masing mempunyai keunggulan. Terigu masih menjadi pilihan utama dan konsumsinya tertinggi karena kandungan gluten yang membentuk sifat fungsionalnya (mengembang) sangat baik. Sifat ini tidak dimiliki oleh tepung yang lain termasuk sagu. Modifikasi, termasuk pembuatan tepung komposit, dapat dilakukan untuk menghasilkan tepung yang memiliki sifat mirip terigu atau menonjolkan keunggulannya sehingga memperbaiki daya saing. Gluten juga memiliki efek samping terhadap kesehatan bagi kalangan tertentu, tetapi berdampak baik bagi kalangan yang lain.

Dalam situasi yang bersaing, maka efisiensi melaui perbaikan produktivitas menjadi bagian yang penting yang semuanya berpangkal pada skala produksi. Volume dan harga selalu saling terkait, harga optimal hanya dapat diperoleh melalui skala produksi yang optimal juga. Begitupun, modifikasi pati dan pengembangan produk turunan (termasuk tepung komposit) hanya dapat dilakukan dalam skala yang besar. Oleh karena itu, pengembangan sagu harus memenuhi skala teknis dan ekonomis. Untuk menerapkan usaha dengan skala yang layak diperlukan beberapa program aksi sebagai berikut:

Penetapan Ketersediaan Bahan Baku2.1. Luas dan sebaran hutan (kebun) sagu sudah diketahui dengan relatif baik. Namun, pemetaan ulang perlu dilakukan untuk memastikan luasan yang ada pada saat ini. Dari total kawasan tersebut ditetapkan luasan yang dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan kawasan konservasi dan pelesatarian plasma nuftah. Dengan demikian, luasan kawasan produksi dapat ditetapkan sebagai basis maksimum “eksploitasi” untuk memenuhi bahan baku industri untuk produksi tepung (pati) sagu. Berdasarkan lahan (hutan) produksi sagu ini ditetapkan luas panen (hektare per tahun) yang berkelanjutan yang menjadi basis perhitungan ketersediaan empulur (batang) per tahun.

Mengacu pada produktivitas batang berkelanjutan (batang/tahun) maka dapat ditetapkan ketersediaan bahan baku sebagai dasar penentuan kapasitas pengolahan tepung berkelanjutan yang dapat dibangun. Penetapan ini untuk memastikan (menjamin) ketersediaan bahan baku bagi industri produksi tepung sagu. Batasan kapasitas ini menjadi rujukan perizinan pendirian pabrik pengolahan batang sagu menjadi tepung (pati) sagu secara nasional.

Page 20: Policy Brief - Dewan Guru Besar

9

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Penetapan Kawasan Industri dan Kawasan Kebun Produksi 2.2. Tepung Sagu

Kapasitas maksimum berkelanjutan terdistribusi menurut potensi siap tebang kawasan hutan (kebun) sagu. Berdasarkan daya dukung kawasan ditetapkan kapasitas maksimum berkelanjutan masing-masing yang menjadi rujukan pemberian izin. Pembatasan ini untuk memastikan industri yang akan dibangun mendapat bahan baku yang mencukupi. Dari berbagai kajian telah diketahui sebaran kawasan hutan (kebun) sagu yang perlu diterjemahkan menjadi kapasitas maksimum berkelanjutan industri pengolahan sagu di masing-masing kawasan. Dengan hasil pemetaan ulang kawasan hutan (kebun) sagu kemudian dapat ditetapkan jumlah satuan usaha (industri) untuk setiap kawasan dengan mempertimbangkan skala teknis dan ekonomis.

Secara umum, tidak akan dipengaruhi oleh hasil pemetaan ulang, Papua dan Papua Barat mencakup 95% dari hutan (potensi) sagu nasional sehingga dapat ditetapkan sebagai episentrum pengembangan sagu nasional. Rancangan kegiatan industri terkait dan penunjang perlu dipetakan dalam kawasan sagu Papua dan Papua Barat.

Sebagian kawasan sagu berada dalam hutan lindung sehingga terhambat oleh ketentuan yang berlaku dalam pemanfaatannya. Sagu adalah tanaman yang mempunyai siklus yakni tumbuh, besar, dewasa, matang, lewat matang dan mati. Dari sudut pemanenan, pemanfaatan sagu tidak akan mengganggu kelestarian hutan karena waktu panen (penebangan) sagu tertentu, lebih cepat atau lebih lambat tidak optimal. Pengaturan pemanfaatan kawasan sagu dalam hutan lindung secara produktif terbatas berkelanjutan perlu mendapat perhatian khusus.

Penetapan Jumlah Industri untuk Setiap Kawasan2.3. Bahan baku, meskipun banyak, tetap terbatas daya dukungnya sehingga perlu pembatasan tingkat eksploitasinya. Pengendalian dilakukan melalui pembatasan pada kapasitas industrinya sehingga eksploitasi terkendali karena serapannya terbatas. Praktik yang menekankan pada mekanisme pasar yakni daya tahan industri ditentukan oleh pangsa pasar akan mendorong persaingan yang tidak sehat yang dapat menyebabkan eksploitasi berlebihan. Oleh karena itu, setiap wilayah perlu memiliki peta sebaran potensi dan rencana penempatan industri pengolah sesuai dengan ketersediaan bahan baku. Penetapan lokasi dan jumlah sebelum industri dibangun memberikan banyak manfaat dan dapat disesuaikan dengan tata ruang dan kawasan. Jumlah ini menjadi panduan para pemangku kepentingan untuk memberikan izin, pelayanan dan dukungan infrastruktur.

Peningkatan Konsumsi Rumah Tangga2.4. Produksi bahan pangan pokok nasional, beras, sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Swasembada yang pernah dicapai bersifat jangka pendek, sementara pertumbuhan konsumsi masih meningkat. Kekurangan beras masih akan sering terjadi baik akibat turunnya produksi dalam negeri atau bahkan terbatasnya stok internasional. Jika kedua situasi ini terjadi bersamaan akan berakibat pada kelaparan yang meluas atau massal. Dalam perspektif ini, swasembada pangan yang bergantung (hanya) pada beras harus beralih secara bertahap pada bahan pangan pokok yang semakin beragam (diversifikasi).

Page 21: Policy Brief - Dewan Guru Besar

10

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Sagu mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya, termasuk beras, meskipun ada kekurangannya (terutama kandungan protein). Sebagai sumber kalori, maka sagu sama baiknya dibandingkan dengan beras. Oleh karena itu, kampanye massal untuk diversifikasi bahan pangan pokok dengan sagu perlu digalakkan. Daerah yang sudah terbiasa makan sagu sebelum berganti ke beras perlu penyuluhan dan pendidikan pangan rumah tangga secara masif sehingga secara bertahap kembali lagi makan sagu. Begitupun daerah lain, penyuluhan yang sama perlu dilakukan untuk meningkatkan diversifikasi. Kenaikan permintaan rumah tangga akan menjadi pasar yang pasti bagi tepung (pati) sagu.

Program Pendukung3. Tidak ada program pembangunan yang dapat berdiri dan berjalan sendiri, tetapi selalu terkait secara langsung atau tidak dengan kegiatan lain baik secara vertikal (lintas jenjang pemerintahan) dan horizontal (lintas sektor dan lintas kegiatan). Program pendukung adalah prasyarat (wajib dipenuhi) sehingga semua program dapat berjalan (diimplementasikan) dengan baik sesuai tujuan. Kebijakan adalah salah satu prasyarat yang menentukan arah, sifat, dukungan dan bentuk kegiatan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan pembangunan. Lingkup kebijakan mencakup pengaturan investasi, insentif, dukungan infrastruktur, jaminan pasar, pembiayaan, pelibatan masyarakat (community involvement), dan promosi.

Kebijakan Pemerintah3.1. Investasi, operasi usaha, pemasaran, pembiayaan, eksploitasi sumberdaya alam dan lain-lain harus diatur melalui kebijakan dan peraturan pemerintah. Aturan yang terlalu ketat membatasi ruang gerak usaha sehingga sulit bertumbuh. Sebaliknya, aturan yang terlalu longgar membuka kompetisi yang tidak sehat, cenderung over capacity, eksploitasi berlebihan, menurunkan daya saing dan tumbuh lambat. Kebijakan yang sehat adalah untuk memfasilitasi pertumbuhan yang sehat berkelanjutan dalam koridor bisnis model yang rasional menguntungkan. Oleh karena itu, kebijakan pendukung diperlukan secara mutlak, mencakup kebijakan nasional dan kebijakan daerah.

Kebijakan/Program Aksi Pemerintah Pusat3.1.1.

Prinsip-prinsip untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia, yaitu: (1) pangan diperuntukan bagi masyarakat sebagai hak, kelebihannya untuk ekspor; (2) penguatan petani sebagai penyedia pangan, (3) membangun sistem pangan lokal sebagai kekuatan utama (4) membangun lokal kontrol, (5) meningkatkan pengetahuan, teknologi dan keterampilan masyarakat lokal yang tepat guna, efisien dan efektif, (6) bekerja sesuai kaidah lingkungan spesifik lokal, teknologi adaptif dengan memanfaat fungsi ekosistem dan sosio-budaya lokal, pertanian dengan rendah input.

Indonesia masih kekurangan karbohidrat dalam jumlah yang besar baik untuk kebutuhan pangan pokok, industri pengolahan makanan, dan industri lainnya (termasuk farmasi). Sebagian besar penduduk mengandalkan bahan pangan pokok pada beras yang produksinya sangat berfluktuatif dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Program swasembada tidak selalu dapat dicapai sehingga beras menjadi komoditas politik sekaligus perdagangan. Pemerintah memberikan perhatian dan

Page 22: Policy Brief - Dewan Guru Besar

11

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

dukungan yang sangat besar terhadap usaha tani padi mulai dari bibit, pestisida, pupuk, pengairan dan penyuluhan dengan tingkat subsidi yang sangat besar. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena banyak kendala, antara lain keterbatasan lahan, gangguan iklim, gangguan hama, skala usaha kecil, kekeringan dan lain-lain.

Perhatian tersebut telah berdampak pada pembiayaan pertanian padi (subsidi) dalam jumlah yang sangat besar. Pemerintah melakukan banyak program dan bantuan untuk mencapai swasembada beras melalui produksi pertanian sendiri. Hasil dari upaya tersebut belum optimal bahkan ada kemungkinan kegagalan di masa yang akan datang akibat kekeringan, hama dan banjir. Potensi sagu yang besar belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah. Untuk mendayagunakan sagu sebagai bahan pangan dan industri maka diperlukan kebijakan pemerintah yang serupa dengan beras. Dengan demikian, pembangunan sagu dapat mengokohkan ketahanan pangan nasional secara mandiri. Untuk itu pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang menetapkan bahwa sagu adalah komoditas pangan pokok sehingga Perum BULOG dapat ikut serta dalam penguatan industri sagu nasional. Kebijakan/program yang diperlukan adalah sebagai berikut:

Menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok yang diperlakukan sama dengan beras.a.

Menyediakan pembiayaan melalui APBN untuk membangun infrastruktur dasar seperti jalan b. akses (produksi), pelabuhan, gudang dan sarana logistik lainnya.

Menugaskan kepada Perum BULOG sebagai pemegang stok sagu untuk kebutuhan bahan pangan c. pokok dan perdagangan, terutama bagi daerah yang sudah biasa konsumsi sagu.

Menyediakan skema pembiayaan khusus untuk petani, investasi, dan pembiayaan produksi tepung d. (pati) sagu.

Memberikan paket insentif untuk pembangunan industri tepung sagu secara terpadu.e.

Mengembangkan tepung komposit berbasis tepung sagu dan terigu.f.

Kebijakan/Program Aksi Pemerintah Daerah3.1.2.

Pemerintah Daerah berkepentingan dalam pendayagunaan sumberdaya lokal untuk penguatan ekonomi, pangan lokal, kesempatan kerja dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya yang tidak dimanfaatkan tidak memberikan faedah. Pendayagunaan akan terjadi jika investasi menghasilkan pengembalian yang, secara finansial, layak. Oleh karena itu, investasi yang terkait dengan sektor publik seperti jalan akses dan jaringan listrik harus dilakukan oleh pemerintah (daerah) atau bersama dengan swasta. Pemerintah Daerah mendapatkan kemanfaatan dari pajak, pelabuhan, kesempatan kerja dan sektor ekonomi lain yang tumbuh sebagai akibat adanya agglomeration force. Program aksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk membuat Grand Design kawasan produksi dan pengolahan sagu mencakup:

Merencanakan jaringan jalan dan logistik di kawasan produksi sagua.

Menghitung anggaran untuk pembangunan infrastruktur pendukungb.

Menetapkan kawasan produksi saguc.

Menjadikan sagu komoditas unggulan (pangan) lokal.d.

Membangun infrastruktur dasar sesuai kapasitas anggaran daerahe.

Page 23: Policy Brief - Dewan Guru Besar

12

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Skema Pembiayaan Infrastruktur dan Industri Tepung Sagu3.2. Investasi di daerah terpencil memerlukan volume pekerjaan yang besar, membuka akses, melengkapi infrastruktur, menyiapkan kelembagaan, dan membangun jejaring usaha. Semua pekerjaan ini berbanding langsung dengan nilai investasi yang tidak secara langsung menambah penerimaan. Pembiayaan investasi publik memerlukan insentif yang besar jika melibatkan pihak ketiga (swasta). Pembiayaan dapat berasal dari APBN/APBD, Swasta atau BUMN. Pelibatan swasta/BUMN dalam investasi publik perlu didukung dengan insentif yang memadai. Pembangunan infrastruktur dapat dilakukan melaui:

Membiayai pembangunan bersama antara Pemerintah Pusat (APBN) dan Pemerintah Daerah a. (APBD)

Memberikan konsesi lahan dan kapasitas serta insentif pajak kepada swasta sebagai insentif b. partisipasi dalam pembangunan infrastruktur.

Membiayai BUMN dengan penugasan pengelolaan tepung sagu sebagai bahan pangan.c.

Pelibatan Masyarakat (Desa) Sagu3.3. Secara tradisional masyarakat pesisir di berbagai daerah sudah memanen sagu sebagai bahan pangan pokok dan mempunyai kearifan lokal. Sagu juga telah membentuk satuan budaya (cultural affinity, membentuk ciri budaya hidup bermasyarakat) yang kaya maka pendayagunaannya harus melibatkan masyarakat setempat. Selain itu, prinsip pembangunan lokal yakni pemanfaatan sumberdaya lokal harus menguntungkan masyarakat sekitar perlu dikukuhkan. Keberlanjutan sagu lebih terjamin dengan pengawasan langsung dari masyarakat sebagai sumberdaya kehidupan. Oleh karena itu, masyarakat sagu harus dilibatkan dalam:

Mengelola konsesi lahan (hutan) sagu,a.

Memasok bahan baku baik empulur sagu atau pati basah, b.

Mengembangkan perkebunan sagu berbasis masyarakat, danc.

Menetapkan kelembagaan kerja sama antara masyarakat (dusun) sagu dengan perusahaan tepung d. sagu.

Dengan demikian, program aksi untuk pelibatan masyarakat yang diperlukan adalah:

Menetapkan hak kelola sebagian hutan (kebun) sagu kepada masyarakat lokal,a.

Melatih penanaman dan pemanenan sagu secara baikb.

Memberikan bantuan peralatan dan modal kepada masyarakat (dusun) saguc.

Merancang dan mentapkan kelembagaan industri tepung sagu berbasis masyarakat.d.

Page 24: Policy Brief - Dewan Guru Besar

13

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Program Aksi Terkait4. Promosi Pangan dari Sagu4.1.

Karbohidrat adalah senyawa dasar pangan pokok yang dapat dikonsumsi melalui penyiapan sederhana seperti pepeda (Papua dan Maluku), kapurung (Sulawesi Selatan), buburnee (Maluku), bagea (Maluku dan Sulawesi), ongol-ongol (Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa Barat), sinonggi (Sulawesi Tenggara) dan lain-lain. Pengolahan yang relatif modern juga sudah berkembang seperti roti, cake, bihun, mutiara sagu, dll. Semua bentuk makanan ini mengandung kalori yang memadai untuk memenuhi kebutuhan harian secara terus-menerus. Promosi melalui media massa baik elektronik (termasuk sosial media) maupun cetak serta penyuluhan perlu dilakukan sehingga masyarakat mengenal dan mengonsumsi sagu dalam jumlah yang memadai sebagai variasi sumber karbohidrat.

Pendidikan pangan melalui penyuluhan pada kawasan yang masyarakatnya telah terbiasa atau pernah mengonsumsi sagu sebagai bahan pokok perlu digalakkan agar dapat beralih atau setidaknya menjadikan sagu sebagai menu penting dalam komposisi makanannya. Langkah-langkah berasnisasi yang dahulu pernah dilakukan di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan daerah lainnya perlu ditempuh untuk mengembalikan masyarakat pada sagu. Pemerintah (hendaknya) membuat program sagunisasi pangan nasional. Jadikanlah sagu sebagai komoditas pangan primadona melalui sosialisasi yang masif dan luas. Menu kantor pemerintah, BUMN, dan Swasta hendaknya memasukkan sagu sebagai bagian dari variasi menu.

Pengembangan Tepung Komposit Berbasis Sagu4.2. Setiap tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang melekat pada komoditas penghasilnya. Sebagian mempunyai sifat yang baik pada kimianya tetapi kurang pada fisiknya. Modifikasi sifat yang paling sederhana dapat dilakukan melalui pencampuran beberapa jenis tepung dengan komposisi tertentu. Tepung komposit dapat dibuat dari campuran tepung palma (sagu, aren), umbi (singkong, ubi jalar), dengan atau tanpa penambahan tepung tinggi protein (tepung kedelai, tepung kacang), dengan atau tanpa penambahan tepung serealia (beras, tepung sorgum, maizena), dengan atau tanpa penambahan terigu. Dengan demikian akan dihasilkan tepung komposit sesuai komposisi dan produk olahan yang akan dihasilkan.

Pengembangan tepung komposit dapat mengurangi konsumsi terigu yang seluruhnya impor. Penambahan tepung sagu ke dalam terigu dapat dilakukan untuk makanan seperti bolu, cake dan sejenisnya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah untuk menciptakan kondisi lingkungan (enabling environment) untuk meningkatan efisiensi produksi dan produktivitas tepung sagu dan industri tepung komposit yang mencakup:

kebijakan makro ekonomi yang mendukung a. (economic enable), melalui kebijakan moneter dan perdagangan yang bersifat melindungi petani pangan lokal;

kebijakan pemerintah yang mampu mendorong investasi industri tepung komposit; b.

kebijakan penelitian dan pengembangan teknologi spesifik komoditas bahan pangan lokal; dan c.

kebijakan pengembangan kelembagaan agribisnis dan kemitraan usaha agribisnis bahan pangan d. lokal.

Page 25: Policy Brief - Dewan Guru Besar

14

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Pengembangan Industri Berbasis Sagu4.3. Karbohidrat dapat diolah menjadi banyak produk turunan seperti bioetanol (energi), pemanis (sorbitol, glukosas, fruktosa), maltodekstrin (untuk industri makanan), siklodekstrin (untuk industri tekstil, kosmetik, pestisida, perekat), pati teroksidasi (untuk pelapis pada industri kertas), pati dialdehid (industri kertas), etil dan ester (industri farmasi), dan asam organik (untuk industri kimia). Potensi yang besar ini perlu dimanfaatkan melalui kebijakan substitusi impor, dukungan investasi, dan pengembangan ekspor,

Mengembangkan substitusi terigu dengan sagua.

Mengganti bahan perekat industri kayu dengan sagub.

Mensubstitusi bahan pemanis berbasis pati dengan saguc.

Memberikan insentif investasi dan pajak kepada industri pengolah sagu.d.

Penyusunan 4.4. Grand Design Pengembangan Industri Berbasis Sagu Berkelanjutan

Pembangunan bersifat multisektor, multitingkat dan multipemangku kepentingan. Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah partisipasi aktif para pemangku kepentingan. Setiap sektor harus mengambil peran tersebut dengan program dan waktu yang tepat sehingga terjadi sinergi dengan sektor lainnya. Sarana yang penting untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan terlibat secara sinergis adalah berbasis rencana yang menunjukkan jenis program dan waktu pelaksanaan. Rencana yang bersifat multisektor, multikegiatan, dan multitahun harus dibuat secara komprehensif melibatkan semua pihak. Dalam perspektif inilah diperlukan Grand Design berbasis kawasan sebagai acuan pembangunan terpadu dan berkelanjutan.

Page 26: Policy Brief - Dewan Guru Besar

SECTORAL POLICY BRIEF

PEMBANGUNAN SAGU TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Page 27: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 28: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 1

PENGUATAN INFRASTRUKTUR DAN LOGISTIK INDUSTRI TEPUNG SAGU

Pokok PikiranSagu adalah sumberdaya karbohidrat yang melimpah tetapi belum mendapatkan perhatian yang 1. memadai. Total luas lahan (hutan) sagu adalah 5.5 juta ha tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sebagian besar (95%) terdapat di Papua dan Papua Barat sehingga kawasan ini dapat menjadi episentrum pembangunan industri berbasis sagu modern dan berskala besar, di Indonesia dan sekaligus di dunia.

Keterbatasan infrastruktur, konsumsi dan industri menyebabkan tingkat pemanfaatan sagu masih 2. relatif rendah dibandingkan potensi yang besarnya sehingga banyak pati yang terbuang percuma sepanjang tahun karena tidak dipanen.

Pemerintah Daerah telah menggerakkan pemanfaatan sagu secara sporadis karena keterbatasan 3. anggaran untuk membangun infrastruktur dan logistik untuk mendorong pertumbuhan industri berbasis sagu.

Ancaman kekurangan bahan pangan yang sangat nyata di masa yang akan datang, baik akibat 4. wabah dan perubahan iklim seharusnya dapat diatasi melalui pemanfaatan potensi sagu yang sangat tinggi sebagai pangan. Para pemangku kepentingan masih tidak leluasa karena sagu belum masuk ke dalam politik pangan pokok yang diatur oleh pemerintah.

Perum BULOG yang memiliki infrastruktur logistik dasar belum memiliki akun untuk pengadaan, 5. penyimpanan, perdagangan dan distribusi tepung sagu dalam skala besar, padahal fasilitas terpasang yang dimilikinya sudah cukup memadai untuk mulai menanganinya.

Permintaan sagu sebagai bahan pangan belum berkembang akibat keterbatasan pengetahuan 6. masyarakat tentang sagu sebagai pangan. Begitu pun industri hilir lainnya belum berkembang menggunakan bahan baku tepung sagu, akibat lemahnya produksi tepung sagu.

Pengembangan industri berbasis tepung sagu dapat menjadi penguat ketahanan pangan nasional 7. yang berbasis sumberdaya lokal sehingga dapat menopang kedaulatan pangan nasional, seperti yang dimandatkan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

RingkasanWabah Covid 19 mengakibatkan penurunan produksi pertanian secara umum, khususnya komoditas pangan seperti beras, jagung dan gandum. Pasokan internasional untuk perdagangan komoditas tersebut berkurang akibat pembatasan bahkan penghentian ekspor dari negara-negara surplus untuk memperkuat cadangan pangan dalam negeri masing-masing. Negara yang bergantung sebagian atau semua bahan

Page 29: Policy Brief - Dewan Guru Besar

18

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

pangan pada impor akan mengalami kesulitan yang dapat menimbulkan kelaparan massal. Wabah bersifat sementara, tetapi fenomena kelangkaan atau fluktuasi pasokan sudah dan akan terus berlanjut akibat dari perubahan iklim global. Kenaikan suhu telah mengubah pola hujan yang mengganggu ketersediaan air untuk pertanian yang diperkirakan akan semakin sering terjadi (berulang) di masa mendatang. Ancaman kelaparan akibat gangguan produksi seperti gagal panen akibat kekeringan dan banjir sudah semakin nyata. Indonesia yang berada pada bentang khatulistiwa dengan penyinaran sepanjang tahun dianugerahi berbagai tanaman penghasil karbohidrat yang relatif tahan terhadap gangguan iklim. Sagu adalah satu sumberdaya yang dapat diandalkan untuk menopang ketahanan pangan – bahkan energi sekaligus menumbuhkan ekonomi wilayah dan nasional. Pengembangan sagu sebagai bahan pangan dan industri harus dimulai dari pembangunan industri tepung sagu. Kendala yang dihadapai adalah keterbatasan infrastruktur dan logistik serta rendahnya politik-kebijakan pemerintah dan pengetahuan masyarakat tentang sagu sebagai bahan pangan pokok.

PendahuluanWabah Covid 19 menyebabkan terhentinya perputaran perekonomian global, mengurangi produksi pertanian, mengurangi (bahkan menghentikan) produksi industri, transportasi dan memutus perdagangan antara negera. Akibatnya, negara-negara produsen bahan pangan pokok seperti beras, jagung dan gandum mengurangi bahkan menghentikan ekspor untuk penguatan cadangan yang menjamin ketersediaan pangan dalam negeri masing-masing. Mereka menutup perbatasan sehingga keluar masuknya barang menjadi terhambat (Amanta dan Aprilianti 2020).

Penggunaan surplus produksi untuk mencukupi kebutuhan sendiri sebagai pilihan bijak menghindari kekurangan pangan (kelaparan). Sebaliknya, negara yang tidak memiliki produksi sendiri dan/atau cadangan pangan terbatas akan menghadapi kesulitan bahkan dapat menimbulkan bencana kelaparan massal. Kejadian seperti ini dapat berulang setiap saat tanpa peringatan sehingga menjadi pembelajaran penting bagi setiap negara untuk semampu mungkin memproduksi bahan pangan secara mandiri. Berdaulat dengan bergantung pada kemampuan sendiri dapat menghindari bencana kelaparan pada masa sulit yang dapat terjadi setiap saat.

Wabah Covid19 bersifat sementara, tetapi ada ancaman yang bersifat jangka panjang yakni perubahan iklim, pemanasan global, dan hujan asam. Gangguan iklim telah menggeser secara signifikan dan langgeng pola distribusi cuaca selama beberapa dekade yang lalu hingga jutaan tahun ke depan. Dalam konteks produksi pertanian, perubahan iklim berhubungan dengan curah hujan yang tidak menentu sehingga (lebih) sering terjadi banjir pada musim hujan lebat atau kekeringan yang panjang pada musim kemarau. Kondisi cuaca tidak dapat diprediksi dan distribusinya tidak stabil serta frekuensi cuaca ekstrem semakin sering terjadi (Combalicer dkk. 2010).

Perubahan kondisi cuaca berdampak nyata terhadap produksi pertanian, mempengaruhi ketersediaan air, mengganggu sistem air dan daerah aliran sungai, dan menimbulkan masalah sosial (Wario dkk. 2012). Situasi yang tidak menentu ini mengakibatkan produksi pertanian sangat terganggu, sehingga pasokan makanan di masa depan tidak aman (Immerzeel dkk. 2010). Banyak pendekatan yang radikal telah diusulkan, seperti investasi masif dalam langkah-langkah pertanian adaptif, pembentukan sistem

Page 30: Policy Brief - Dewan Guru Besar

19

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

peringatan dini dan penciptaan program pembangunan yang lebih efektif (Cazares dkk. 2010). Namun, semua upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil – bahkan tertinggal dari perubahan lingkungan yang cepat (Mittler dan Blumwald 2010).

Indonesia, negara beriklim tropis dengan penyinaran yang panjang setiap tahun, memiliki keragaman hayati dan plasma nuftah bahan pangan yang beragam, seharusnya menjadi salah satu negara yang kuat dan mandiri dalam bidang pangan, bahkan sangat berpotensi menjadi penopang dan pemasok pangan bagi negara lain. Salah satu tanaman pangan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang kurang diperhatikan adalah sagu yang relatif tidak terganggu oleh perubahan iklim karena sifat dan syarat tumbuhnya yang spesifik. Tanaman ini, sudah tersedia untuk dipanen di alam, digunakan dan ditanam kembali (termasuk pengembangan varietas). Sagu menempati posisi yang sangat strategis dalam sejarah pangan Indonesia terutama bagi penduduk daerah pantai atau dataran rendah. Oleh karena itu, sagu sudah selayaknya menjadi andalan pangan nasional karena potensinya yang besar dan tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Dalam rangka memastikan potensi dan memahami permasalahan dengan rinci untuk menghasilkan penyelesaian masalah yang tepat sehingga dapat menumbuhkan industri (berbasis) tepung sagu, Dewan Guru Besar IPB University telah melaksanakan Webinar dengan menghadirkan pembicara akademisi (untuk potensi dan pendayagunaan), kepala daerah (untuk upaya dan kendala yang dihadapi di lapangan), perusahaan (untuk tingkat pemanfaatan dan prospek serat kendala usaha tepung sagu), dan Perum BULOG (infrastruktur pendukung logistik tepung sagu). Masalah dan rekomendasi yang diperoleh dalam Webinar tersebut menjadi acuan utama usulan kebijakan.

Potensi dan SebaranPotensi sagu Indonesia sangat besar sekitar 85% dari luas sagu dunia yang tersebar di Sumatera, Maluku, Sulawesi dan Papua (termasuk Papua Barat). Total luas hutan (termasuk kebun) sagu di Indonesia sekitar 5.5 juta hektare dan 5.2 juta hektare di antaranya berada di Papua (4.75 juta ha) dan Papua Barat (510.213 ha). Sagu adalah tanaman penghasil karbohidrat paling produktif dapat mencapai 300 kg tepung kering per batang atau sekitar 25ton pati/ha-tahun. Produktivitas ini 2–3 kali lebih tinggi dibandingkan padi, jagung dan gandum (Karim dkk. 2008). Produktivitas sagu yang sangat tinggi dapat mengurangi kebutuhan lahan untuk tanaman pangan. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan 270 juta penduduk dibutuhkan lahan 4,945,000 ha sawah (dua kali panen setahun), atau 1,840,000 ha tanaman singkong (satu kali panen per tahun), atau hanya 1,350,000 ha sagu (panen 40 batang/ha per tahun) (Bantacut 2014). Sagu dapat menjadi andalan untuk mengatasi ancaman kelaparan baik jangka pendek maupun jangka panjang (Konuma 2018).

Potensi yang besar ini mengindikasikan bahwa sagu dapat menjadi penopang bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Pati sagu bersifat multiguna untuk berbagai keperluan, kecuali untuk keperluan yang amat khusus, dapat mensubstitusi pati lain seperti gandum, pati jagung, pati ubikayu dan kentang. Jika dibadingkan dengan terigu, pati sagu memiliki kadar amilopektin dan amilosa yang realtif sama. Perbedaan hanya pada titk glatinisasi dan daya mengembang yang lebih tinggi (Cecil dkk. 1982). Banyak produk pangan yang dapat dihasilkan dari pati sagu. Pangan pokok yang sudah

Page 31: Policy Brief - Dewan Guru Besar

20

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

biasa dikosumsi sejak lama adalah Papeda (Maluku dan Papua), Kapurung (Sulawesi Selatan), Sagu Lempeng (Papua dan Maluku), Buburnee (Maluku), Bagea (Maluku dan Sulawesi), dan Ongol-ongol (Maluku, Papua, Sulawesi, dan Jawa Barat). Kadungan kalori tepung sagu setara dengan beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang dan terigu sehingga makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan kalori harian dengan baik. Makanan olahan dari sagu antara lain soun (bihun), penyalut, mutiara sagu, roti dan biskuit dan produk industri lainnya (Tirta dkk. 2012).

Produk turunan pangan dan non-pangan dari sagu, seperti halnya pati yang lain, sangat beragam mulai olahan primer sampai tersier. Produk yang mempunyai pasar besar baik sebagai substitusi impor maupun ekspor adalah bioetanol (energi), pemanis (sorbitol, glukosas, fruktosa), maltodekstrin (untuk industri makanan), siklodekstrin (untuk industri tekstil, kosmetik, pestisida, perekat), pati teroksidasi (untuk pelapis pada industri kertas), pati dialdehid (industri kertas), etil dan ester (industri farmasi), dan asam organik (untuk industri kimia) (Bantacut 2011). Potensi yang besar ini perlu dimanfaatkan melalui politik kebijakan substitusi impor, dukungan investasi, dan pengembangan ekspor.

Semua produk olahan dan turunan tersebut dapat dihasilkan dari tepung (pati) sagu. Oleh karena itu, permulaan pendayagunaan sagu diawali dari pembangunan industri penghasil tepung sagu. Lokasi yang sangat potensial untuk memulai pembangunan adalah Papua sekaligus sebagai episentrum industri berbasis sagu dan pati sagu, seperti Distrik Ykiwa, Arso, Mappi dan sekitarnya. Kawasan ini, juga daerah lainnya, banyak kehilangan sagu karena tidak dipanen sehingga lewat umur dan mati. Secara nasional kehilangan pati sagu mencapai 3-4 juta ton per tahun, jumlah ini jauh lebih besar dari impor beras tertinggi (Santoso 2017).

Tingkat pemanfaatan sagu Indonesia masih sangat rendah yang dikelola oleh tiga perusahaan besar dengan total produksi menggunakan pengolahan modern sekitar 80,000–90,000 ton tepung sagu kering setiap tahun (Jong 2018). Selain itu ada pengolahan secara tradisonal untuk kebutuhan dan pasar lokal. Pada tingkat pemanfaatan dan produksi tersebut maka sagu tidak memberikan dampak ekonomi dan ketahanan pangan yang berarti. Demikian juga dengan dampak multiplier ke sektor hulu dan hilir juga tidak nyata. Perluasan kawasan dan peningkatan kapasitas perlu dilakukan sehingga mampu menggerakkan perekonomian kawasan sekaligus menguatkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan industri hilir dan pengembangan perkebunan seperti varitas umur pendek tinggi kandungan pati.

Kendala dan PermasalahanPerusahaan yang bergerak dalam pengolahan sagu menjadi tepung memerlukan investasi infrastruktur yang relatif besar, karena bahan baku berada dalam kawasan yang relatif terpencil. Oleh karena itu, perusahaan tersebut memerlukan waktu pengembalian modal (cost recovery) yang relatif lama. Pengalaman ini menyebabkan sedikit pemodal yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Permasalahan ini bertambah dengan kurangnya konektivitas logistik yang terbatas, terbatasnya penelitian integratif karena pelaku usaha terbatas, dan belum berkembangnya konsumsi rumah tangga akibat terbatasnya pengetahuan masyarakat dan/atau belum adanya akses masyarakat untuk membeli tepung sagu dengan mudah.

Page 32: Policy Brief - Dewan Guru Besar

21

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Kabupaten Meranti adalah salah satu daerah yang sudah mengembangkan pengolahan tepung sagu secara modern dan berbasis budidaya. Namun demikian, perkembangannya sangat lambat karena banyak kendala yang dihadapi antara lain akses jalan terbatas, infrastruktur pengangkutan empulur sagu masih kurang, pelabuhan ekspor dan impor belum ada, jaringan listrik sebagai penggerak industri masih sangat terbatas, jaringan komunikasi terbatas dan banyak faktor isolasi penyebab biaya tinggi lainnya. Kemampuan Pemerintah Daerah sangat terbatas untuk membangun infrastrukur tersebut, meskipun tekad yang kuat dengan menjadikan sagu sebagai ikon daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur pendukung sagu harus melibatkan pemerintah pusat dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

Penguatan Infrastruktur dan Logistik Tepung SaguSagu adalah bahan pangan dan bahan baku industri yang potensial untuk menumbuhkembangkan ketahanan dan kemandirian pangan, industri dan ekonomi regional (nasional) berbasis sumberdaya sendiri. Potensi besar ini harus dikelola dengan dengan integratif, hulu-hilir dan lintas sektor melibatkan semua pemangku kepentingan. Setiap potensi selalu disertai dengan pembatas, pilihan cerdas adalah memanfaatkan potensi tersebut untuk mengatasi masalah dalam perspektif berjangka panjang. Perspektif infrastruktur dan logistik perlu diterbitkan kebijakan dan program sebagai berikut:

Pembukaan Akses Jalan dan Penguatan Infrastruktur

Permasalahan pokok pengembangan industri tepung sagu membentang dari hulu hingga hilir. Kawasan produksi yang secara natural terisolasi memerlukan jalan akses dan produksi serta infrastruktur perdagangan dan distribusi. Artinya, permasalahan bersifat lintas sektor dan lintas jenjang pemerintahan. Oleh karena itu, masalah inftrastruktur hulu dan hilir (pengolahan dan perdagangan) harus diselesaikan lintas sektoral dengan melibatkan menteri kordinator bersama dengan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) dalam perencanaan, pembangunan dan pembiayaan.

Pembangunan infrastruktur menghubungkan kegiatan produksi di hulu (pemuliaan dan penanaman) (Bintoro dkk. 2018), pengolahan di tengah serta perdagangan (pasar) dan industri pengolahan di hilir (konektivitas). Pengusaha menghadapi masalah pengembalian modal bila harus berinvestasi pada infrastruktur dasar sehingga tidak menarik. Untuk menarik investasi dukungan infrastruktur yang terncana dengan baik sangat diperlukan.

Perum BULOG memiliki jaringan logistik (gudang) dan jejaring dengan tarnsportasi darat dan laut. Pada saat ini fasilitas logistik yang banyak dan tersebar (1,507 gudang dengan kapasitas 3,759,270 ton) dan jaringan yang luas dan kuat dalam bidang logistik pengadaan dan distribusi. Secara praktis, semua fasilitas tersebut dapat digunakan untuk menunjang industri tepung sagu. Lebih dari itu, Perum BULOG mempunyai kemampuan (tenaga dan jaringan pasar) dalam penanganan logistik tepung sagu. Namun demikian, Perum BULOG tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menangani tepung sagu karena bukan bahan pokok yang masuk dalam akun penugasannya.

Page 33: Policy Brief - Dewan Guru Besar

22

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Penetapan Sagu sebagai Pangan Pokok Penting dan Strategis

Potensi sagu yang besar belum dimanfaatkan secara sungguh-sungguh sebagai pangan pokok dan bahan baku industri. Alokasi anggaran untuk pembinaan petani, subsidi sarana produksi, komoditas untuk stabilisasi pangan, dan penyuluhan tidak dapat dilakukan karena sagu bukan komoditas pangan pokok maupun unggulan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok (bukan pangan pokok alternatif ) sehingga perlakuannya dapat setara dengan beras dan Perum BULOG mendapat akun pengadaan sebagai wujud dari penugasan. Kosekuensi logis dari penetapan ini sangat luas mencakup pembangunan infrastruktur, subsidi sarana produksi, dan promosi (Pendidikan) pangan bagi masyarakat luas. Produktivitas dan biaya produksi dapat dikurangi akan memperbaiki daya saing tepung sagu. Dengan demikian, Perum BULOG dapat menjadi mitra dan pemain utama di sektor logistik dan perdagangan sagu nasional.

Pembangunan Pelabuhan Ekspor-Impor

Sagu adalah komoditas multiguna baik sebagai pangan maupun bahan baku industri. Orientasi pasar berada di luar kawasan baik antar pulau maupun antara negara. Penanganan dan pergerakan barang harus berlangsung cepat dan efisien yang dapat diperkuat dengan adanya sebagai punca dari jaringan rantai pasok (supply chain). Untuk menunjang industri pengolahan, pelabuhan hendaknya menjadi ruang ekonomi yang penting, yang menyediakan berbagai layanan dan melayani berbagai pelanggan termasuk pengirim, forwarder, perusahaan transportasi dan operator logistik. Salah satu tugas utamanya adalah untuk memfasilitasi perdagangan barang domestik dan internasional yang sebagian pada skala besar. Dalam perspektif inilah pelabuhan di kawasan industri tepung sagu dapat dikembangkan.

Pembangunan Jaringan Listrik dan Komunikasi

Listrik adalah penggerak industri yang utama dan menjadi bagian biaya produksi yang nyata, sehingga profitabilitas sangat sensitif tehadap perubahan tarif listrik. Begitu pun dengan jaringan komunikasi menjadi bagian penting dari industri untuk kepentingan pengadaan, pengelolaan, pemasaran dan operasional menyeluruh. Keberadaan jaringan infrastruktur ini mutlak diperlukan untuk menggerakkan industri tepung sagu yang modern dan berdaya saing.

Kebijakan Pendukung Insentif: Pajak dan Subsidi

Industri yang berbasis sumberdaya alam berada di kawasan yang relatif terpencil dihadapkan pada defisiensi biaya akibat dari biaya logistik dan pengolahan yang tinggi, efektivitas biaya rendah. Proses perizinan untuk mendapatkan hak pengelolaan kawasan masih relatif panjang dan sulit sehingga mengurangi ketertarikan investor. Produk tidak bersaing karena tertekan oleh biaya dibandingkan pengangkatan oleh potensi. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif seperti pengurangan atau penundaan pajak (tax deduction atau tax holiday). Penetapan sagu sebagai bahan pangan pokok memungkinkan penerapan skenario ini serta subsidi harga beli yang menguntungkan bagi petani, dan harga jual pasar yang terjangkau di tingkat konsumen, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Jepang untuk mensubsidi petaninya dan sekaligus bagi rakyatnya sebagai konsumen.

Page 34: Policy Brief - Dewan Guru Besar

23

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Peningkatan Konsumsi Rumah Tangga dan Industri Hilir

Gerakan pembangunan industri tepung sagu harus sejalan dengan perluasan pasar dan peningkatan konsumsi. Penyuluhan atau bahkan pendidikan pangan (food education and extension) perlu dilakukan secara intensif dan masif sehingga masyarakat mengetahui fungsi bahan pangan pokok, cara pengolahannya dan aspek kesehatan (Abidin dan Musadar 2018). Saat ini sagu sudah mulai masuk ke dalam perencanaan pembangunan nasional sebagai bahan pangan pokok perlu diintensifkan dan dikuatkan dengan peraturan pendukung. Pembiasaan masyarakat untuk diversifikasi bahan pangan akan meningkatkan kekuatan pasokan dan keandalan pasokan agar terhindar dari dampak kekurangan bahan pangan (food shortage) di masa sulit yang mungkin akan (sering) terjadi.

Industri dan bisnis sagu belum berkembang dengan baik akibat dari keterbatasan skala (economics of scale), lingkungan bisnis (business environment) yang belum berkembang, dukungan pemerintah (kebijakan) belum memadai dan pembiayaan yang terbatas. Padahal, produk turunan pati banyak dikonsumsi di dalam negeri seperti dekstrin, pati termodifikasi, pemanis, asam organik dan lain-lain. Semua produk ini dapat dihasilkan dari pati sagu yang perlu diperkuat dengan penelitian yang integratif. Gerakan nasional yang masif diperlukan untuk menumbuhkembangkan industri hulu dan hilir melalui substitusi impor dan pengembangan ekspor.

Lembaga Pangan

Pangan adalah bahan yang paradoks yakni produksi musiman dan berfluktuasi berhadapan dengan konsumsi rutin dan tumbuh. Stabilisasi antara fluktuasi pasokan dengan pertumbuhan konsumsi diselaraskan oleh stok (buffer stock) (Bantacut 2007) baik yang bersifat statis (dalam gudang) atau dinamis (perputaran di pasar). Menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok maka sagu dapat diperlakukan seperti beras yang dapat dikelola oleh Perum BULOG sebagai cadangan pangan pemerintah (CBP) atau pangan bagi rakyat sejahtera (pastra). Subsidi sarana produksi, bantuan penyuluhan dan pemasaran dapat dilakukan dengan realtif mudah. Kekuatan cadangan harus dikelola secara kelembagaan yang dikuatkan dengan peraturan perundangan dan penugasan dengan infrastruktur yang memadai (Bantacut 2008).

PenutupPangan di masa yang akan datang dapat mengalami gangguan produksi, baik akibat berulangnya wabah seperti Corona19 dan akibat dari perubahan iklim. Sagu berpotensi untuk menjadi substitusi bahan pangan pokok dan produk impor tetapi dihadapkan pada berbagai masalah (kendala). Permasalahan tersebut harus diselesaikan mengikuti kaidah logis (logic problem arrangement), sehingga peta potensi, masalah (kendala) dan penyelesaian masalah dapat disalinghubungkan dengan baik.

Sagu adalah bahan pangan dan bahan baku industri yang potensial yang belum dikelola dengan baik sehingga nilai manfaatnya masih sedikit. Potensi besar tidak bermanfaat adalah kemubaziran, yang tak disukai oleh agama apapun. Setiap potensi selalu disertai dengan masalah maka mempertemukan keduanya secara bijak akan menghasilkan kemanfaatan yang besar.

Page 35: Policy Brief - Dewan Guru Besar

24

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Paradoks potensi besar dan pemanfaatan rendah dengan non-pangan lokal (Indonesia) dengan ketergantungan impor yang besar menunjukkan cara berpikir (mindset) dan cara hidup (way of life) yang keliru. Paradoks ini harus diselesaikan dengan menjadikan sagu sebagai bahan pokok pangan utama yang masuk dalam daftar 11 komoditas pangan pokok penting yang strategis.

Daftar PustakaAbidin Z, Musadar. 2018. Analisis persepsi masyarakat terhadap pangan lokal sagu di kota Kendari

Sulawesi Tenggara. AGRIDEVINA 7(1), 1-13.

Amanta F, Aprilianti I. 2020. Policy Brief No. 1: Indonesian food trade policy during Covid-19. Policy Brief. Center for Indonesian Policy Studies.

Bantacut T. 2007. Peranan persediaan dalam ketahanan pangan: Sebuah perspektif peran BULOG baru. Agrimedia 12(2), 59-68.

Bantacut T. 2008. Menjadikan BULOG Lembaga pangan yang handal. Pangan 50(17), 73-78.

Bantacut T. 2011. Sagu: Sumberdaya untuk penganekaragaman pangan pokok. Pangan 20(1), 27-40.

Bantacut T. 2014. Indonesian staple food adaptations for sustainability in continuously changing climates. Journal of Environment and Earth Science 4(21), 202-215.

Bintoro MH, Nurulhaq MI, Pratama AJ, Ahmad F, Ayulia L. 2018. Growing area of sago palm and its environment in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Cazares BX, Ramires-Ortega FA, Elenes LF, Medrano RR. 2010. Drought tolerance in crop plants. American Journal of Plant Physiology 5:241-256.

Cecil JE, Lau G, Heng SH, Ku CK. 1982. The sago industry: a technical profile based on preliminary studies in Sarawak. Trop. Development and Research Inst. L58, Culham. 21pp.

Combalicer EA, Cruz RVO, Lee S, Im S. 2010. Assessing climate change impacts on water balance in the Mount Makiling forest, Philippines. Journal of Earth System Science, 119:265–283.

Immerzeel WW, Beek LPH van, Bierkens MFP. 2010. Climate change will affect the Asian water towers. Science 328, 1382-1385.

Jong FS. 2018. An overview of sago industry development, 1980s–2015 in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Karim AA, Tie APL, Manan DMA, Zaidul ISM. 2008. Starch from the sago (Metroxylon sagu) palm tree—properties, prospects, and challenges as a new industrial source for food and other uses. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 7, 215-228.

Page 36: Policy Brief - Dewan Guru Besar

25

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Konuma H. 2018. Status and outlook of global food security and the role of underutilized food resources: Sago Palm in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Mittler R, Blumwald E. 2010. Genetic engineering for modern agriculture: challenges and perspectives. Annual Review of Plant Biology 61:443-462.

Santoso AD. 2017. Potensi dan kendala pengembangan sagu sebagai bahan pakan, pangan, energi dan kelestarian lingkungan di Indonesia. JRL 10(2), 51 – 57.

Tirta P, Indrianti N, Ekafitri R. 2012. Potensi tanaman sagu (Metroxylon sp.) dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Pangan 22(1), 61 – 76.

Wario RA, Dietz T, Witsenburg K, Zaal F. 2012. Climate change, violent conflict and local institutions in Kenya’s drylands. Journal of Peace Research 49:65-80.

Page 37: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 38: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 2

PREPOSISI POLITIK PANGAN BERBASIS TEPUNG SAGU

Pokok PikiranPemanfaatan potensi besar sagu masih sangat rendah akibat dari berbagai macam keterbatasan 1. termasuk kebijakan impor pangan dan fokus pembangunan pangan yang bias beras (dan jagung).

Sagu tidak secara eksplisit masuk dalam komoditas pangan pokok meskipun undang-undang 2. ketahanan pangan memungkinkan diversifikasi berbasis komoditas lokal, termasuk sagu.

Kebijakan Pemerintah Pusat tidak secara tegas menjadikan sagu sebagai bahan pangan pokok 3. dan bahan baku industri sehingga Pemerintah Daerah menghadapi berbagai keterbatasan dalam membangun infrastruktur dan logistik untuk mendorong pertumbuhan industri berbasis sagu.

Sebagian besar kawasan sagu terletak dalam kawasan hutan lindung membatasi pendayagunaan 4. secara efisien pada skala industri.

Kementerian terkait, khusus Kementerian Pertanian, telah memasukkan sagu dalam program 5. pembangunan dalam lingkup dan skala yang terbatas tetapi menghadapai kesulitan karena kawasan berada dalam Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan kegiatan industri berada dalam lingkup Kementerian Perindustrian dan perdagangan di bawah Kementerian Perdagangan.

RingkasanSejarah menunjukkan bahwa pangan pokok bangsa Indonesia sangat beragam sehingga setiap daerah bersandar pada komoditas lokal yang berbeda-beda. Kebijakan berasnisasi telah mengubah keragaman menjadi keseragaman yang meningkatkan kerentanan teradap kekurangan pangan. Sagu adalah salah satu komoditas pangan yang telah menjadi tumpuan pangan masyarakat sejak lama jauh sebelum beras menjadi pangan pokok. Potensi besar yang telah disadari tetapi belum dimanfaatkan secara optimal karena belum mempunyai landasan hukum yang eksplisit. Keputusan politik dan pilihan kebijakan adalah acuan dan sandaran dari arah, sasaran dan program pembangunan. Undang-undang No.18/2012 tentang Pangan menetapkan kaidah penganekaragaman pangan dan pengembangan industri pangan yang berbasis bahan lokal belum dijabarkan secara eksplisit dalam peraturan turunannya dan program pemerintah (pusat dan daerah). Kebijakan pemerintah masih berorientasi impor dan penumpukan stok beras dalam mengatasi kekurangan pasokan. Sejalan dengan kebijakan ini, maka program Kementerian Pertanian masih berpusat pada beras. Ancaman perubahan iklim yang berpotensi menurunkan produksi beras belum secara tegas

Page 39: Policy Brief - Dewan Guru Besar

28

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

diantisipasi dengan memanfaatkan sagu sebagai komoditas potensial. Oleh karena itu, keputusan politik untuk menetapkan sagu sebagai komoditas pangan pokok dan industri pada tingkat undang-undang perlu dilakukan sehingga kementerian teknis, Pemerintah Daerah dan Perum BULOG dapat mengalokasikan sumberdaya pembangunan secara memadai.

PendahuluanPenempatan pangan dalam arus utama pembangunan sudah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia karena pangan adalah agen aktif dalam sejarah (Laudan 2015). Setiap negara, kelompok masyarakat, keluarga bahkan individu menempatkan pemenuhan kebutuhan pangan menjadi prioritas teratas dalam alokasi sumberdaya yang dimilikinya. Semua kekuatan pikiran dan fisik digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sebelum yang lain. Maslow (1970) membuat teori motivasi dengan menempatkan kebutuhan fisiologis (pangan) pada dasar hierarki yang berarti paling didahulukan – bahkan begitu pentingnya sehingga orang mengabaikan keamanan, penghargaan dan aktualisasi diri sebelum pangan dipenuhi (Mathes 1981).

Malthus (1798) telah mengingatkan bahwa permintaan pangan terus meningkat (deret ukur) dan akan melampaui produksi pangan (deret hitung) sesuai kapasitas bumi untuk menyediakannya. Oleh karena itu, manusia akan gagal memerangi kelaparan (Burger 2020). Faktor penentu peningkatan permintaan (konsumsi) pangan sudah sangat jelas baik secara global maupun nasional. Kecenderungan hingga tahun 2050 terjadi perubahan besar dalam pola makan, bahkan dalam konsumsi makanan pokok, yakni menuju diet yang lebih beragam. Perubahan ini harus diantisipasi untuk menghindari dampak kesehatan yang tidak diinginkan (Kearney 2010). Populasi di negara-negara yang mengalami pergeseran cepat akan mengalami transisi nutrisi sebagai akibat dari perbedaan faktor sosial-demografis dan karakteristik konsumen lainnya. Faktor lain juga berpengaruh misalnya urbanisasi, pemasaran industri makanan dan kebijakan liberalisasi perdagangan dan globalisasi pangan. Kebijakan pangan di masa depan harus mempertimbangkan sektor pertanian dan kesehatan, sehingga memungkinkan pengembangan kebijakan yang koheren dan berkelanjutan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi pertanian, kesehatan manusia, dan lingkungan. Keragaman adalah kunci keberhasilan pangan melewati transisi nutrisi yang terjadi secara spontan (Charles et al. 2014).

Sistem pangan secara global dan regional menuju kepada ketidakberlajutan disebabkan oleh banyak faktor penggerak transisi demografi penduduk dunia seperti urbanisasi, pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup. Penggerak-penggerak ini bersifat eksternal dari sistem pangan, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikonsolidasikan, hasilnya selalu tertinggal, dan respons pengungkit perubahan sangat lambat (Be´ne´ et al. 2020). Mengandalkan pada aspek demografis akan berakibat pada katastrofi kelaparan massal (Malthusian catastrophe). Pilihan yang mungkin adalah meningkatkan pasokan pangan dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang tersedia, terutama dari sumberdaya pangan lokal. Semakin beragam sumber pangan semakin kuat ketahanan pangan karena pasokannya lebih stabil meskipun dalam situasi krisis karena bersandar pada sistem tanaman beragam yang menyeimbangkan produktivitas, keberlanjutan, dan kualitas gizi (Dwivedi 2017).

Page 40: Policy Brief - Dewan Guru Besar

29

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Hal tersebut di atas sangat beralasan, bahwa Indonesia adalah salah satu di antara tiga megabiodiversitas dunia yang memiliki berbagai spesies tumbuhan pangan lokal yang sudah dimanfaatkan secara tradisional. Lebih dari 100 spesies tumbuhan biji-bijian, umbi-umbian dan palma sebagai penghasil tepung dan gula, satu di antaranya yang berpotensi besar adalah tanaman sagu. Demikian juga lebih dari 100 spesies tumbuhan kacang-kacangan sebagai sumber protein dan lemak, 450 spesies tumbuhan buah-buahan sumber vitamin dan mineral, lebih dari 250 spesies tumbuhan sayur-sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral, 70 spesies tumbuhan bumbu dan rempah-rempah, serta 40 spesies tumbuhan bahan minuman (Zuhud, 2011).

Dalam situasi tersebut, yang diperkirakan akan terjadi, maka pasokan pangan harus bertumpu pada keragaman dan sumberdaya lokal yang potensial dan tangguh dalam iklim yang terus berubah (Bantacut 2014). Sagu adalah sumberdaya pangan yang tersedia dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap gangguan iklim (Cazares et al. 2010) sehingga harus menjadi salah satu tumpuan kekuatan pangan nasional bersama dengan beras dan pangan lainnya (Bintoro et al. 2018). Sagu selain memiliki kandungan kalori yang mencukupi juga merupakan pangan yang sehat kecuali kandungan proteinnya yang relatif rendah (Bantacut 2011).

Untuk menjadikan sebagai pangan pokok, maka sagu harus berada dalam pikiran setiap warga negara, terutama pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Penempatan potensi dalam peta pikiran (mindset) dan politik pembangunan menjadi prasyarat penting untuk menjadikan sagu sebagai bahan pangan pokok dan industri. Preposisi bermakna bahwa sagu telah menempati alam pikiran, ruang politik dan relung kebijakan. Perwujudan posisi tersebut, sagu menempati segmen dalam politik pembangunan dan pembiayaan, penegasan sebagai bahan pangan pokok dan orientasi pembangunan pangan, serta perubahan peta politik pertanian pangan.

Politik Sagu: Filosofis, Teoritis, Historis dan FuturistisPerihal pangan telah ditempatkan pada UUD 1945, yaitu pada pembukaan: Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dalam Pasal 28C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, negara diberi kewenangan yang luas untuk mengelola kekayaan alam dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33). Pangan adalah dasar dari kemakmuran.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB menegaskan kembali hak setiap orang untuk memiliki akses ke makanan yang aman dan bergizi, konsisten dengan hak atas makanan yang memadai dan hak mendasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan. Pangan tidak boleh digunakan sebagai instrumen untuk tekanan politik dan ekonomi. FAO menegaskan pentingnya kerja sama dan solidaritas internasional serta perlunya menahan diri dari tindakan sepihak yang tidak sesuai dengan hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membahayakan keamanan pangan (Deklarasi Roma tentang Keamanan Pangan Dunia, tanggal 13-17 November 1996).

Page 41: Policy Brief - Dewan Guru Besar

30

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Secara historis, pangan pokok nenek moyang Indonesia adalah tumbuhan Palma (Sagu, Kelapa, Aren, Lontar). Sagu telah menjadi perhatian masyarakat Eropah sejak Marco Polo menginjakkan kakinya di Sumatra ratusan tahun yang lalu. Secara tradisi, penduduk Indonesia sudah mengonsumsi bahan pangan pokok non-beras yang sangat beragam dalam waktu yang lama. Masyarakat Madura telah lama terbiasa mengonsumsi jagung, Maluku terbiasa mengonsumsi sagu dan Papua terbiasa makan sagu dan ubi jalar. Penduduk beberapa daerah di Jawa telah lama makan kasava (dengan berbagai macam bentuk olahan: tiwul, oyek, gatot) sebagai pangan sumber kalori. Program berasisasi menyebabkan sebagian besar penduduk tersebut beralih ke beras. Banyak pandangan berkembang bahwa mengonsumsi beras lebih baik dan menempati status sosial yang lebih tinggi (Bantacut, 2010). Kebijakan pemerintah pusat telah menggeser cara pandang orang Maluku yang kemudian meninggalkan sagu (Girsang 2014). Begitu pun dengan masyarakat Papua yang ribuan tahun berdaulat dengan sagu dan ubi jalar menjadi konsumen beras. Kebijakan bias beras masih berlangsung hingga saat ini. Presiden Joko Widodo bermaksud mencetak satu juta hektare sawah baru adalah cerminannya (Arif 2019). Oleh karena itu, globalisasi informasi harus disikapi dengan deglobalisasi pangan.

Politik Pangan Berbasis Tepung SaguPandemi Covid-19 menyebabkan ketersedian bahan pangan di sejumlah provinsi mengalami defisit yang disebabkan oleh banyak faktor di antaranya pembatasan ekspor negara produsen, pergeseran musim tanam akibat perubahan pola hujan di beberapa daerah, dan ketidaklancaran distribusi dari daerah surplus. Respons pemerintah adalah relaksasi KUR Pertanian, cetak sawah baru, subsidi logistik dari daerah surplus ke defisit, optimalisasi pasar mitra tani, kerja sama dengan mitra jasa distribusi, dan pertanian rumah tangga dengan memanfaatkan pekarangan. Semua respons ini bersifat jangka pendek dan menengah yang hasilnya belum sepenuhnya menjawab tantangan perubahan iklim yang bersifat jangka panjang.

Era Nawa Cita mengacu pada UU 18/2012 tentang Pangan memberikan kejelasan arah pembangunan pangan nasional yang dijabarkan dalam Renstra Kementan (2015-2019) menetapkan tiga sasaran terkait bahan pangan pokok adalah swasembada padi dan jagung, dan peningkatan diversifikasi pangan. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2019-2024 menetapkan arah kebijakan terkait pangan adalah terjaganya ketahanan pangan nasional, sedang diversifikasi tidak secara eksplisit disebutkan. Secara politik, DPR sedang membahas Perubahan UU No. 18/2012.

Orientasi Politik Pangan bersandar pada tiga pokok arahan yakni Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan Kedaulatan Pangan. Sandaran ini, belum secara eksplisit mencantumkan diversifikasi dengan tanaman potensial seperti sagu (dan palma lainnya), ubi kayu (dan umbi-umbian lainnya) serta serealia non-beras lainnya. Begitu pun penjabaran pada tingkat kebijakan makro, rencana strategis kementerian teknis (Pertanian, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/kota). Pembangunan pangan masih bias pada padi yang dari segi keberlanjutan sangat rentan terhadap gangguan iklim.

Page 42: Policy Brief - Dewan Guru Besar

31

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Pembentukan Badan Pangan Nasional sebagai amanat dari UU No. 18/2012 (Pasal 126-129) belum dilakukan dan ada kekhawatiran dalam perwujudannya yang justru terjadi pelemahan kelembagaan pangan nasional. Begitu pun amanat Mandat Undang-Undang No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. UU No 19/2 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani justru dihambat oleh Undang-Undang yang dianggap melemahkan petani, seperti (UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18/2003 tentang Perkebunan, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat konstelasi politik (tarik-menarik kepentingan berbagai pihak) dalam menghasilkan peraturan sebagai produk politik. Dengan demikian ancaman kekurangan produksi pangan yang berbasis pada beras (dan jagung) sangat jelas baik dari perspektif politik maupun dari perubahan iklim.

Kebijakan Makro Pemerintah Arah Kebijakan Pangan Pemerintah mengacu kepada Undang-Undang 18/2012 yakni memenuhi kecukupan pangan (jumlah dan mutu), aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sesuai dengan prefensi konsumen. Ukuran yang digunakan adalah kecukupan tingkat perseorangan meskipun belum tercermin pada tingkat kualitas kehidupan individu (sehat) dan tingkat produktivitas individu (sehat). Perwujudan dari kebijakan ini adalah memastikan kecukupan stok melalui pengaturan impor yang berarti pengadaan beras dari luar masih menjadi andalan untuk mengatasi kekurangan pasokan dalam negeri.

Secara implisit kebijakan Pemerintah telah memberi ruang untuk diversifikasi pangan berbasis komoditas potensial lokal. Sagu merupakan salah satu komoditas yang memiliki potensi besar untuk didorong dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ekonomi daerah, dan kinerja ekspor. Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 memberikan ruang untuk mendayagunakan potensi sagu untuk peningkatan nilai tambah, lapangan kerja, investasi sektor riil dan industrialisasi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pusat pertumbuhan wilayah untuk peningkatan keunggulan kompetitif. Hal ini diperkuat karena kawasan sagu berada dalam tujuh wilayah pembangunan yang mencakup Papua, Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Sumatera.

Hilirisasi pengolahan sagu dapat menjadi strategi pembangunan wilayah adat seperti Jayapura, Mimika dan Merauke. Namun demikian, peluang dan ruang yang diberikan oleh kebijakan makro tidak dipahami sama oleh semua pemangku kepentingan. Hal ini berakibat pada kesamaan pandangan dan keterpaduan program yang tidak pernah terjadi. Akibatnya, program pembangunan sagu hanya menjadi dominasi pemerintah daerah dengan sedikit dukungan pemerintah pusat dan pemangku kepentingan lainnya. Wujud nyatanya dapat dilihat pada alokasi anggaran pembangunan sagu yang relatif (sangat) kecil dibandingkan potensi besar dan sektor atau komoditas lainnya.

Ketidakserasian pemahaman tersebut mengakibatkan hambatan pokok seperti infrastruktur, sosial, mutu, integrasi on-farm dan off-farm, dan perizinan masih menyisakan sebagian besar masalah. Ketersediaan jalan, jembatan, pelabuhan, gudang dan lisrik masih belum menjadi perhatian para pihak yang terkait. Secara sosial, pengelolaan (kebun) sagu belum memenuhi syarat perkebunan yang baik.

Page 43: Policy Brief - Dewan Guru Besar

32

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Pengolahan tepung sagu oleh masyarakat belum memenuhi syarat mutu yang ditentukan sehingga masih terbatas untuk pasar lokal dan belum ada program pembinaan yang intensif. Kawasan sagu banyak yang berada dalam hutan lindung sehingga pemanfaatan secara intensif sesuai dengan skala teknis dan ekonomis belum (sepenuhnya) dapat dilakukan.

Re-diversifikasi Pangan Berbasis SaguSwasembada Pangan menjadi program pokok pemerintah melalui Kementerian Pertanian yang bertumpu pada beras dan jagung dengan alasan: kebutuhan pangan pokok sebagian besar masyarakat, ketersediaannya cepat (tanaman semusim) dan produksi/stok banyak teknologi hulu-hilir memadai. Program Swasembada Pangan hingga tahun 2045 tidak bertumpu pada re-diversifikasi (kembali kepada keanekaragaman pangan lokal) sebagai cara pemenuhan jumlah dan penguatan ketahanan pangan. Re-diversifikasi hanya menjadi program minor dalam pembangunan secara keseluruhan. Pemanfaatan pangan lokal secara masif seperti sorgum, ubi kayu, jagung, dan sagu tidak tercermin dalam volume kegiatan dan pembiayaan.

Kekurangan produksi beras diantisipasi dengan pengembangan varietas unggul baru dengan spesifik keunggulan selain produktivitas, misalnya tahan hama penyakit, tahan genangan (pasang surut), tahan cekaman kekeringan (gogo), memanfaatkan potensi lahan rawa untuk ekstensifikasi, dan mengembangkan sumber-sumber pangan lokal selain padi dan jagung seperti sagu. Antisipasi ini masih bias beras dengan fokus pada pemuliaan dan ekstensifikasi. Oleh karena itu, kegiatan yang bersifat jangka menengah dengan orientasi jangka pendek ini sangat berbahaya karena sangat mungkin hasilnya belum diperolah tapi ancaman kekeringan sudah terjadi.

Ketersediaan tepung sagu masih sangat terbatas sehingga menjadi pembatas peningkatan konsumsi dan pengembangan industri hilir. Rata-rata ketersediaan 1,34 kg/kapita/tahun belum memadai untuk ekstensifikasi pengolahan dan menjadikan sagu sebagai bahan pangan pokok. Oleh karena itu, pembangunan sagu harus dilakukan secara terpadu yakni penguatan sektor hulu (produksi tepung dan pengembangan budidaya), sektor pengolahan (dan industri) dan peningkatan konsumsi rumah tangga. Penguatan infrastruktur di hulu dibarengi dengan pendidikan pangan masyarakat dan pengembangan pasar industri. Dengan pertumbuhan sektor hulu dan hilir secara integratif akan menumbuhkan kekuatan produksi dan pasar yang seimbang. Untuk memperbaiki faktor penguat produksi dan pengolahan sagu telah dilakukan, secara sangat terbatas, kegiatan pembenihan, penataan hutan (kebun) dan fasilitasi pengolahan tepung sagu.

RekomendasiKesadaran terhadap besarnya potensi dan peluang penggunaan tepung sagu telah tumbuh di kalangan pemerintahan (pusat dan daerah), legislatif (DPR dan DPRD/K), pengusaha (kebun dan pengolahan), masyarakat umum, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sagu masih sangat terbatas. Ancaman kekeringan panjang akibat gangguan perubahan iklim dapat mengakibatkan turunnya produksi pertanian (pangan) secara

Page 44: Policy Brief - Dewan Guru Besar

33

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

drastis harus diantisipasi dengan memanfaatkan sagu sebagai tanaman yang relatif tidak terganggu. Dengan semua kendala yang dihadapi, sagu hendaknya masuk dalam arus utama pembangunan pangan (pertanian), maka diperlukan:

Politik menjadikan kembali “Tepung Sagu” sebagai Pangan Pokok dan Fungsional Indonesia, 1. dimulai dari masyarakat lokal “Eko-sosio-biografis sagu” ke masyarakat luas Indonesia dengan branded: “Sagu adalah Pangan Ramah Lingkungan Kebanggaan Nenek Moyang Indonesia yang Lebih Menyehatkan (Eco-healthy Food)”

Penyiapan SDM melalui pelatihan yang terencana dan terprogram sehingga tersedia tenaga kerja 2. yang berkualitas, handal dan tangguh. Pelibatan Perguruan Tinggi berbasis kluster dapat dilakukan untuk memudahkan akses, hemat biaya dan percepatan pelaksanaan pelatihan dengan mendirikan pusat pendidikan dan petaihan sagu.

Penganggaran dalam APBN maupun APBD perlu ditetapkan sehingga dapat menyediakan (i) 3. subsidi petani sagu lokal, (ii) insentif yang cukup bagi tenaga penyuluh sagu, dan (iii) penelitian yang cukup dan berkelanjutan bagi PT untuk menhasilkan SDM dan IPTEKS.

Perlindungan petani sagu melalui subsidi input, pengawasan kemitraan, pengembangan pasar dan 4. penyediaan hak kelola lahan mengikuti kelayakan teknis dan ekonomis.

Membangun Logistik sagu melalui Badan Khusus atau perluasan tugas pokok dan fungsi Perum 5. BULOG.

Penetapan kawasan produksi sagu berkelanjutan dengan revisi peraturan hutan lindung.6.

Penerbitan Revisi UU 18 Tahun 2012 dengan secara jelas memasukkan sagu sebagai bahan 7. pokok.

Mengembalikan tupoksi Perum BULOG untuk mengelola beras (pangan) sejahtera termasuk sagu 8. untuk mendorong peningkatan konsumsi dan menekan konsumsi beras.

Penerbitan kebijakan tepung komposit melalui (i) pendampingan, (ii) keringanan, dan (iii) 9. promosi. Pendampingan dimaksudkan adalah keharusan menggunakan tepung sagu dalam setiap pengadaan (impor dan pembelian/penggunaan) terigu. Kebijakan keringanan, pengurangan sampai peniadaan pajak terhadap industri pemakai dan produsen tepung sagu untuk meningkatkan secara tajam konsumsinya. Kebijakan promosi sagu dimulai dari keharusan menyajikan makanan dasar pokok dan cemilan sagu dalam semua rapat, pertemuan, seminar, workshop yang diselenggarakan oleh atau melibatkan instansi pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah (Bantacut 2009).

PenutupPermasalahan yang masih menghalangi perkembangan sagu sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri adalah politik dan kebijakan pangan pemerintah yang masih bias beras dan jagung. Pilihan ini menyebabkan alokasi anggaran untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dasar dan pengembangan pasar belum memadai. Ancaman kekeringan panjang yang dapat menyebabkan penurunan produksi pangan secara drastis perlu diantisipasi secara bijak. Padi dan jagung adalah tanaman yang sensitif terhadap perubahan iklim sehingga keterandalannya di masa yang akan datang

Page 45: Policy Brief - Dewan Guru Besar

34

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

relatif lemah. Sagu adalah tanaman yang relatif tidak terganggu oleh iklim sehingga dapat dijadikan tumpuan pembangunan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Untuk itu, revisi UU 18 Tahun 2012 perlu secara tegas memasukkan sagu sebagai bahan pangan pokok.

Ketetapan politik dan kebijakan pembangunan pangan harus diikuti dengan rencana strategis, rencana akbar serta program strategis dan program aksi yang dilakukan secara terpadu lintas sektor. Dalam perspektif ini, rencana tunggal dengan banyak kegiatan lintas sektoral dapat mempercepat penguatan ketahanan pangan berbasis komoditas lokal yang berawal dari sagu. Lembaga penunjang di bidang pelatihan, penelitian, logistik dan pasar perlu dibentuk sehingga kegiatan hulu-hilir dapat melibatkan semua pemangku kepentingan baik secara horizontal maupun vertikal.

Daftar PustakaArif A. 2019. Sagu Papua Untuk Dunia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Bantacut T. 2009. Kebijakan pendorong agroindustri tepung dalam perspektif ketahanan pangan. Pangan 53(18): 32-42.

Bantacut T. 2014. Indonesian staple food adaptations for sustainability in continuously changing climates. Journal of Environment and Earth Science 4(21): 202-215.

Bantacut T. 2011. Sagu: Sumberdaya untuk penganekaragaman pangan pokok. Pangan 20(1): 27-40.

Béné C, Fanzo J, Prager SD, Achicanoy HA, Mapes BR, Alvarez Toro P, et al. 2020. Global drivers of food system (un)sustainability: A multi-country correlation analysis. PLoS ONE 15(4): e0231071. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0231071.

Bintoro MH, Nurulhaq MI, Pratama AJ, Ahmad F, Ayulia L. 2018. Growing area of sago palm and its environment in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Burger JR. 2020. Malthus on Population in Shackelford TK, Weekes-Shackelford VA (eds.), Encyclopedia of Evolutionary Psychological Science, Springer Nature Switzerland AG 2020. https://doi.org/10.1007/978-3-319-16999-6_1267-1.

Cazares BX, Ramires-Ortega FA, Elenes LF, Medrano RR. 2010. Drought tolerance in crop plants. American Journal of Plant Physiology 5:241-256.

Charles H, Godfray J, Garnett T. 2014. Food security and sustainable intensification. Phil. Trans. R. Soc. B 369, 20120273.

Dwivedi SL., van Bueren ETL, Ceccarelli S, Grando S, Upadhyaya HD, Ortiz R. 2017. Diversifying food systems in the pursuit of sustainable food production and healthy diets. Trends in Plant Science 22(10): 842-856.

Page 46: Policy Brief - Dewan Guru Besar

35

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Girsang W. 2014. Socio-economic factors that have influenced the decline of sago consumption in rural Maluku, Indonesia. S Pac Stud 34(2): 99-116.

Kearney J. 2010. Food consumption trends and drivers. Phil. Trans. R. Soc. B 365: 2793–2807.

Laudan R. 2015. Cuisine and Empire: Cooking in World History (California Studies in Food and Culture). University of California Press. Berkeley.

Mathes EW. 1981. Maslow’s hierarchy of needs as a guide for living. J. Humanistic Psychology 21(4): 69-71.

Zuhud Ervizal A.M., 2011. Pembangunan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia di Era Globalisasi. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. IPB Press. Bogor : 26

Page 47: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 48: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 3

PENGEMBANGAN INDUSTRI PANGAN BERBASIS TEPUNG SAGU

Pokok PikiranTepung sagu mengandung karbohidrat yang tinggi (80.83%) dan indeks glikemik rendah (mie 1. sagu 28, sagu lempeng 48, bubur sagu 53) sehingga dapat menggantikan atau susbsitusi secara beragam beras, terigu, jagung, dan sumber karbohidrat lainnya.

Substitusi impor setiap tahun beras (2,25 juta ton), jagung (33 juta ton) dan terigu (10,69 juta 2. ton) dengan tepung sagu dapat meningkatkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan serta menghemat devisa dan menumbuhkan perekonomian wilayah dan nasional.

Selain pangan pokok, produk olahan sagu dapat menghasilkan berbagai macam, bentuk dan rasa 3. olahan pangan sehat yang potensial untuk mengurangi beras dan terigu.

Tingkat konsumsi tepung sagu dalam semua bentuk penyajian dan olahan masih relatif rendah 4. (0.5 kg/kap/tahun) karena banyak faktor di antaranya produksi tepung masih terbatas dan berskala kecil sehingga tidak kompetitif, persepsi minor masyarakat terhadap tepung sagu, keterbatasan sarana dan prasarana pendukung, dan keterbatasan jangkauan pasar karena keterbatasan logistik distribusi.

Kebijakan pemerintah belum mampu membangkitkan investasi, produksi, distribusi dan konsumsi 5. tepung sagu baik sebagai pangan pokok maupun sebagai pangan olahan lainnya.

Peningkatkan konsumsi sagu sebagai bahan pangan pokok dan pangan olahan lainnya harus diawali 6. dari ketetapan politik pangan yang berpusat pada sumberdaya lokal untuk ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan dengan memasukkan sagu dan jagung secara eksplisit bersama beras.

RingkasanPangan pokok adalah hasil pertanian yang mengandung karbohidrat sebagai sumber energi, sehingga semua hasil tanaman yang kandungan utamanya karbohidrat dapat menjadi bahan pangan pokok. Karbohidrat adalah senyawa kompleks yang dapat dimasak, dimodifikasi, dipecah (hidrolisis), dan dicampur untuk menghasilkan produk turunan yang beragam. Pati sagu mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi serta sifat-sifat yang baik bagi kesehatan seperti pati resisten yang tinggi dan indeks glikemik rendah. Sifat ini menempatkan sagu sebagai sumber bahan pangan yang baik untuk menggantikan atau mencukupkan beras, jagung dan terigu. Secara tradisional, sebagian masyarakat Indonesia telah memakan sagu sebagai pangan pokok seperti papeda, kapurung, dange, dan makanan olahan lainnya seperti soun dan mie sagu. Potensi yang besar belum dimanfaatkan dengan baik sehingga tingkat konsumsi hanya 0.5 kg tepung sagu/

Page 49: Policy Brief - Dewan Guru Besar

38

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

kapita/tahun karena berbagai faktor penghambat seperti ketersediaan infrastruktur, persepsi/pengetahuan masyarakat yang terbatas, produksi masih terbatas, dan kebijakan yang belum secara eksplisit mendukung. Berbagai upaya harus dilakukan seperti penetapan kebijakan pangan pokok, pembangunan infrastruktur, pendidikan masyarakat dan sosialisasi pangan sehat, dan menggeser program swasembada pangan dari beras ke karbohidrat dan keseimbangan gizi.

PendahuluanSagu adalah tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif (dapat mencapai 30 ton tepung sagu/ha/tahun) sangat potensial untuk menjadi bahan pangan pokok, pangan olahan dan bahan baku industri (Bintoro 2011). Secara nasional, potensi keberlanjutan (sustainable production) dapat mencapai 30 juta ton tepung sagu yang setara beras per tahun. Dari perspektif karbohidrat, hal ini bermakna bahwa sagu dapat menggantikan semua atau sebagian dari beras, terigu dan jagung. Pati sagu memiliki sifat yang baik seperti glatinisasi dan resistensi (Okazaki 2018). Perubahan iklim global yang masih terus terjadi dapat menurunkan secara tajam produksi tanaman pangan umur pendek khususnya beras dan jagung, sementara sagu dapat bertahan dalam kondisi tersebut. Oleh karena itu, Okazaki dan Kimura (2015) mengatakan bahwa apabila dunia dilanda cuaca ekstrem, hanya sagu tanaman penghasil karbohidrat yang mampu bertahan, dan penduduk dunia akan sangat berterima kasih kepada Indonesia karena dapat membagikan sagunya. Setiap satu juta hektare hutan sagu akan mampu menghidupi miliaran manusia penghuni planet bumi.

Tanaman sagu melakukan fotosintesis yang sangat baik sepanjang tahun (Azhar et al. 2020) menjadikannya produsen pati yang paling produktif dibandingkan tanaman penghasil pati lainnya. Bantacut (2014) membandingkan kebutuhan lahan untuk mencukupi bahan pangan pokok adalah 4,945,000 ha untuk padi (dua kali penen per tahun), ubi kayu 1,840,000 ha dan sagu 1,350,000 ha. Karim et al. (2008) menghitung bahwa secara rata-rata rendemen pati sagu 3–4 kali beras atau gandum dan 17 kali lebih tinggi dari ubi kayu. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu memenuhi bahan pangannya hanya dari sagu (total luas kawasan sagu 5.5 juta ha) bahkan masih dapat memasok bahan baku untuk produk olahan pangan, non-pangan, dan energi.

Laju produksi dan ketahanan terhadap perubahan iklim mengisyaratkan sagu untuk dimanfaatkan secara baik dalam memastikan ketersediaan pangan (Cazares et al. 2010). Permasalahan yang dihadapi adalah produksi yang belum optimal (hulu) dan konsumsi yang rendah (hilir). Konsumsi sagu di Indonesia hanya 0.5 kg/kap/tahun atau 120.977 ton/tahun, menyumbang energi sekitar 5 kkal/kap/hari. Bandingkan dengan konsumsi beras 97.1 kg/kap/tahun dan terigu 18.2 kg/kap/tahun (BKP 2018). Fakta ini menunjukkan adanya paradoks antara pembiaran sumberdaya yang melimpah dengan tumpuan pangan nasional pada sumberdaya yang terbatas, termasuk impor gandum yang cenderung naik setiap tahun, (10.29 juta ton pada tahun 2019).

Paradoks berpikir dan cara hidup perlu secara bertahap diakhiri sebagai cara antisipasi cepat terhadap kemungkinan terjadinya krisis pasokan pangan dengan bertumpu pada keragaman dan sumberdaya lokal yang potensial dan tangguh dalam iklim yang terus berubah (Bantacut 2014). Sagu seharusnya

Page 50: Policy Brief - Dewan Guru Besar

39

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

menjadi salah satu andalan pangan dunia (Cazares et al. 2010) untuk menjadi tumpuan kekuatan pangan dan ekonomi nasional bersama dengan beras dan pangan lainnya (Bintoro et al. 2018). Sagu selain memiliki kandungan kalori yang mencukupi juga merupakan pangan yang sehat kecuali kandungan proteinnya yang relatif rendah (Bantacut 2011).

Pati sagu dapat diolah menjadi banyak panganan yang sehat dan bergizi untuk menggantikan tepung beras dan terigu baik sebagian atau bahkan keseluruhan. Industri pangan dalam jumlah dan ragam yang terbatas telah mengembangkan panganan tersebut. Keterbatasan jangkauan pasar dan daya saing menyebabkan perdagangannya masih sangat terbatas pada kawasan, tempat dan kalangan tertentu. Skala produksi yang terbatas masih menjadi kendala untuk meningkatkan produksi, pasar dan ragam produknya. Fokus harus diberikan dalam meningkatkan konsumsi secara bersamaan dengan perbaikan produksi melalui logistik yang kuat. Kebijakan pangan diarahkan untuk menaikkan produksi bersamaan dengan perbaikan persepsi dan budaya makan masyarakat (Girsang 2014). Cara mengurangi konsumsi beras dapat dilakukan melalui intervensi perilaku yang efektif dalam bentuk kampanye mencakup pentingnya mengurangi konsumsi beras, keamanan pangan yang mengkhawatirkan di Indonesia, dan keuntungan mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok (Widyanti et al. 2014).

Mengubah Pola Konsumsi Pangan (Pokok dan Sehat) dari pemenuhan kalori saja harus dimulai. Dari segi pasokan kalori, India termasuk berhasil memproduksi bahan pangan tetapi banyak penduduknya yang kurang gizi. Indonesia juga melakukan cara yang sama dan dapat berujung pada persoalan yang sama, malnutrisi. Produksi beras berorientasi pada swasembada dan program beras bagi penduduk prasejahtera mungkin akan mampu mencukupi kebutuhan kalori sampai waktu tertentu. Pingali et al. (2017) merekomendasikan agar merancang ulang kebijakan pangan menjadi keamanan gizi dengan mengubah pandangan bahwa kecukupan pangan bukan saja kalori, tetapi juga dengan gizi seimbang, perbedaan kebutuhan gizi masyarakat, diversifikasi (tanaman) pangan, dan salah satunya memanfaatkan sagu harus dilakukan lintas sektor.

Sagu dan Hasil Olahannya sebagai Pangan PokokKandungan karbohidrat, serat dan kalsium tepung sagu relatif tinggi dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya. Dari segi kandungan kalori maka sagu dapat menggantikan beras, jagung, ubi kayu, dan terigu. Kandungan protein dan lemak relatif kecil sehingga konsumsi tepung sagu harus desertai dengan komposisi sepinggan yang baik (Tabel 1). Perlu diketahui bahwa semua sumber karbohidrat tidak dapat memenuhi kebutuhan protein, lemak, vitamin dan senyawa mikro lainnya secara sempurna sehingga perlu dipenuhi dari sumber protein (ikan, daging, telur, kacang-kacangan), vitamin dan serat (sayuran dan buahan), dan mineral (susu, daging dan kacang-kacangan). Oleh karena itu, tidak ada hambatan nutrisi untuk menjadikan sagu sebagai bahan pangan pokok sumber kalori.

Page 51: Policy Brief - Dewan Guru Besar

40

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Tabel 1. Kandungan gizi pati sagu (Metroxylon sp.) dibandingkan sumber karbohidrat lainnya (g/100g)

KomponenEnergi (Kal)

Protein (g)

Lemak (g)

KH (g)

Serat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Sagu 326.00* 0.09* 0.34* 80.83* 3.13* 160.00 70.00 10.8Beras Giling 366.00 7.60 1.00 78.90 0.40 59.00 258.00 0.80Kentang 62.00 2.10 0.20 13.50 0.50 63.00 58.00 0.70Jagung 366.00 9.80 73.00 69.10 2.20 30.00 538.00 2.3Singkong 154.00 1.00 0.30 36.80 0.90 77.00 24.00 1.10Terigu 333.00 9.00 1.00 77.20 0.30 22.00 150.00 1.30Talas 108.00 1.40 0.40 25.00 0.90 47.00 67.00 0.70Ubi Jalar 114.00 0.80 0.50 26.70 1.10 51.00 47.00 0.90Sukun 126.00 1.60 0.20 24.50 1.50 37.00 47.00 1.60

Sumber: Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia (Departemen Kesehatan RI 1995)

Serat pangan baik untuk kesehatan (Ramulu dan Rao 2003) dan daya cerna pati sagu sedikit lebih tinggi dibanding tepung terigu yaitu 72%, namun lebih rendah dibanding daya cerna pati tepung kentang sebesar 96% dan tepung jagung 99% (Singh et al. 2010). Karasteristik ini masuk dalam kategori pangan sehat karena antara lain kadar amilosa yang tinggi membentuk pati resisten tipe 3 (RS3) lebih mudah mengalami retrogradasi selama proses pendinginan (Luckett dan Wang 2012) dan indeks glikemiknya rendah (26) juga baik bagi penderita Diabetes Melitus (DM).

Sagu telah digunakan dalam sejarah panjang sebagai pangan pokok dalam beragam bentuk seperti papeda, kapurung, buburnee dalan lain-lain (Tabel 2). Kandungan kalori dan gizi berbeda-beda tergantung pada cara memasak dan bahan lain yang ditambahkan. Namun demikian, bentuk olahan (tradisional) tersebut menunjukkan bahwa sagu dapat diolah dengan berbagai cara dan berbagai macam tambahan untuk membentuk pangan sepinggan yang baik untuk kalori dan gizi dasar. Pangan yang sudah banyak dikembangkan adalah mie sagu, soun sagu, lempeng sagu (sagu ditambah kelapa parut berbentuk lempeng dimakan dengan ikan teri goreng), sempolet (bubur sagu dengan tambahan udang, siput, cumi atau kerang dan sayuran pakis), sagu rendang (sagu yang berbentuk butiran kecil dimakan dengan pisang), gobak (seperti lempeng sagu namun tidak berbentuk lempeng), sagu mutiara (sagu dalam bentuk butiran dimasak dengan penambahan gula dan santan), kapurun (bubur sagu yang dimakan dengan gulai ikan), sesagon (sagu dalam bentuk butiran dengan parutan kelapa), dan sagu lemak (sagu dalam bentuk butiran dibuat dengan penambahan santan kelapa) (Syartiwidya et al. 2019) dan banyak bentuk lainnya (Alfons dan Rivai 2011).

Tabel 2. Hasil analisis proksimat (kandungan gizi dasar) makanan olahan saguProduk Olahan Protein % Lemak % Air % Abu % Karbohidrat %

1. Papeda 0.71 Ttd 89.04 0.05 10.202. Sinoli 2.69 20.15 12.41 1.05 63.693. Bubur sagu 0.55 3.42 68.43 1.04 25.564. Sagu lempeng 0.68 6.32 15.62 0.52 76.365. Bagea 2.52 3.70 9.28 1.29 83.216. Serut 1.98 6.93 3.87 1.01 86.207. Sagu tumbu 5.69 11.53 21.09 1.82 59.868. Sagu Goreng 1.40 28.27 10.44 0.83 59.069. Kominasi Papeda & ikan 4.09 0.43 86.79 0.28 8.84

Sumber: Riany (2006)

Page 52: Policy Brief - Dewan Guru Besar

41

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Sagu dan Kesehatan DM adalah salah satu penyakit yang tidak atau belum atau setidaknya sulit untuk disembuhkan yang jumlah penderitanya semakin bertambah. Pengendalian kadar glukosa agar tidak terjadi hiperglikemia secara cepat adalah pembatasan kalori dan asupan karbohidrat, diet rendah glikemik (IG), perbanyak serat (Evert et al. 2014), pati resisten (Fuentes-Zaragoza et al. 2010), dan diet rendah beban gikemik (BG) telah terbukti dapat mengurangi faktor risiko hiperglikemia dan gangguan homeostatis glukosa darah (Burton et al. 2011). Konsumsi karbohidrat rendah IG dapat mengatur kecepatan pencernaan dan penyerapan glukosa serta fluktuasi glukosa darahnya untuk mengendalikan risiko penyakit DM (Barclay et al. 2008, Bhuphathiraju et al. 2014). Sagu adalah bahan pangan yang mempunyai sifat-sifat tersebut. IG rendah dapat diperoleh dari berbagai macam makanan pokok berasal dari sagu seperti mie sagu (28), sagu goreng (33), sagu lempeng (48), bubur sagu (53) dan beras analog sagu (40.7) (Wahyuningsih et al. 2016).

Sagu memiliki kadar pati resisten 11% (Purwani 2011). Produk olahan sagu antara lain beras analog sagu mengandung pati resisten 12.25% (Wahjuningsih et al. 2016), dan pada mie sagu berkisar 7.55-9.45 mg/g lebih tinggi dibandingkan mie terigu yaitu 2.44 mg/g (Haliza et al. 2006). Oleh karena itu, sagu berpotensi sebagai sumber pati resisten yang berperan dalam memperlambat penyerapan glukosa dan mengurangi kenaikan glukosa darah postprandial dan insulin (Higgins 2014). Kadar pati resisten sagu lebih tinggi dibandingkan beberapa pangan sumber pati lainnya, beras (2.72%), jagung (1.16%), singkong (9.69%), ubi jalar (3.19%) dan talas (4.12%) (Moongngarm 2013). Dari persperktif pengendalian gula darah dan kandungan karbohidrat maka sagu adalah makanan sehat.

Inovasi Olahan Makanan Berbahan Dasar SaguPenggunaan sagu telah dipraktikkan secara tradisional sejak zaman kuno oleh masyarakat yang tinggal di daerah penghasil sagu di Indonesia, dan telah mampu secara bertahap menciptakan industri makanan berbasis sagu. Hasilnya, sagu menjadi bahan baku penting. Namun demikian, sebagian besar industri makanan berbasis sagu terbentuk secara alami tanpa rencana komprehensif yang terintegrasi. Keterampilan pemrosesan diwariskan dari leluhur dan diturunkan ke generasi berikutnya secara terus-menerus. Selain itu, banyak deskripsi tentang cara tradisional untuk menyiapkan makanan dari sagu. Oleh karena itu, pemanfaatan yang lebih luas dapat menjadi katalisator bagi pengembangan industri (pedesaan) berbasis sagu. Produk makanan berbasis sagu yang sudah berkembang sekitar 63 yang tersebar di 21 dari 33 provinsi dan telah memberikan banyak manfaat. Potensi tinggi masih tersedia untuk pengembangan lebih lanjut dengan tujuan penerimaan yang lebih luas, terutama dalam upaya pengolahan dalam makanan sektor industri (Patiware et al. 2016).

Pemanfaatan pati sagu sangat luas dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Berbagai produk yang sudah berkembang secara komersial adalah produk ekstrusi (mi, cake, roti, cemilan sehat) makanan ringan dengan berbagai campuran. Selain sebagai pangan siap konsumsi, sagu dapat menjadi bahan baku produksi etanol, produksi gula fermentasi, asam laktat, asam kojik (kojic acid), siklodekstrin (cyclodextrin), pati termodifikasi untuk memperbaiki sifat fungsionalitasnya, pati sagu sebagai

Page 53: Policy Brief - Dewan Guru Besar

42

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

nutraceutical (diet rendah oksidasi), pelezat makanan (food delicacies), aplikasi pada tekstil (textile sizing), polimer terurai (biodegradable polymers), dan lain-lain (Singhal et al. 2008). Perkembangan lebih lanjut, sagu dapat menjadi pangan khusus (special foods) bagi penderita diabetes, obesitas, dan anak-anak autis (karena sagu bebas gluten). Modernisasi pengolahan sudah berlangsung pada skala kecil untuk olahan sagu. Pada tahun 2025 diperkirakan separuh dari anak-anak di Amerika menderita autis, salah satunya sebagai akibat dari konsumsi gluten yang berlebih dalam terigu. Pengembangan tepung komposit (campuran terigu, sagu, dan tepung lainnya) dapat meningkatkan penyerapan tepung sagu sebagai pendorong pertumbuhan produksi hulu dan pangan olahan hilir (Bantacut 2009).

Pertimbangan penting dalam pengembangan produk pangan olahan dari sagu adalah penerimaan konsumen dan daya saing (harga dan mutu). Permasalahan yang masih dihadapi adalah masih terbatasnya pengolahan di hulu untuk menghasilkan tepung sagu. Sebagian besar masih skala kecil dengan penerapan teknologi (alat dan mesin) yang masih terbatas menyebabkan produksi biaya tinggi. Produksi skala besar belum sepenuhnya dapat dilakukan karena keterbatasan infrastruktur dasar dan membebani investasi.

Kebijakan dan Program Pemerintah Pengembangan Pangan Berbasis SaguPusat Data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa industri pengolahan sagu modern masih sangat terbatas, yakni hanya lima perusahaan/lokasi: PT Bina Sago Lestari dan PT Arena Agro Andalan (Kalimantan Barat), PT Nasional Sago Prima (Riau), PT Arena Agro Andalan (Jawa Tengah), dan PT ANJ Agri (Papua Barat dan Kepulauan Riau). Dengan keadaan ini, kontribusi terhadap perekonomian masih sangat kecil, misal ekspor masih sekitar 12,000 ton. Total produksi tepung sagu dalam negeri hanya sekitar 250,000 ton per tahun.

Pada tataran teknis di lapangan, permasalahan sagu yang memerlukan dukungan kebijakan adalah terkait dengan produksi bahan baku (tepung sagu) yang masih terbatas, keterbatasan infrastruktur, dan penerapan teknologi pengolahan yang masih terbatas. Hal ini berakibat pada skala industri pengolahan untuk pangan dan hilir lainnya sulit berkembang. Kebijakan pendukung untuk penyediaan infrastruktur menjadi titik awal bagi kemajuan industri sagu nasional. Oleh karena itu, secara politik pangan, sagu dapat ditetapkan sebagai pangan pokok sehingga semua kebijakan pangan dapat menaungi atau diterapkan pada sagu.

Kebijakan fiskal dapat mendorong perkembangan industri berbasis sagu jika permasalahan infrastruktur dapat diselesaikan. Fasilitas pajak (tax allowance) berupa pengurangan penghasilan bersih sebesar 30% selama 6 tahun, penyusutan dipercepat atas aktiva tetap terwujud dan amortisasi atas aktiva yang berwujud, dan konpensasi kerugian lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Industri sagu juga dapat menggunakan fasilitas Super Tax Deduction untuk kegiatan vokasi dan pengembangan sumberdaya manusia yakni melalui pengurangan penghasilan bruto (paling tinggi 200%) dari jumlah yang dikeluarkan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 Tahun 2019). Untuk industri pionir,

Page 54: Policy Brief - Dewan Guru Besar

43

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan sampai 100% dalam jangka waktu 5-20 tahun. Semua fasilitas ini belum dapat dimanfaatkan sampai sagu dinyatakan sebagai pangan pokok dan industri pengolahannya termasuk dalam kategori tersebut.

RekomendasiPotensi tepung sagu sebagai bahan pangan pokok pengganti nasi, ubi kayu dan jagung sangat baik begitu juga sebagai pangan sehat dan bahan baku pangan olahan (roti, mie, soun, cake, cemilan). Oleh karena itu, tepung sagu seharusnya menjadi salah satu komoditas/produk andalan dalam meningkatkan pasokan bahan untuk meningkatkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Untuk menumbuh-kembangkan pangan pokok dan pangan olahan berbasis sagu perlu dilakukan perihal berikut:

Penguatan industri tepung sagu dengan dukungan infrastruktur hulu dan logistik melalui kebijakan 1. yang eksplisit menetapkan sagu sebagai bahan pangan pokok baik melalui revisi UU 18 Tahun 2012 atau melalui keputusan presiden.

Dukungan penelitian dan pengembangan untuk modernisasi pengolahan pangan dan turunan 2. produk serta formula (menu) pangan sehat dan pangan khusus untuk meningkatkan daya penerimaan oleh masyarakat tanpa “ganggungan” fisiologis yang berarti dan pengembangan pasar baru pangan fungsional.

Penerbitan instrumen kebijakan bagi industri pengolahan sagu untuk fasilitas pelonggaran 3. (tax allowance), pengurangan (tax deduction) dan pembebasan pajak sementara (tax holiday). Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sektor usaha untuk turut berinvestasi pada infrastruktur dasar.

Pendidikan masyarakat untuk variasi sumber karbohidrat berbasis sagu bersamaan dengan sumber 4. karbohidrat lainnya terutama beras dan terigu.

Kebijakan tepung komposit untuk meningkatkan serapan sagu dan pengurangan impor terigu 5. melalui kewajiban membeli sagu untuk setiap impor terigu.

Penyerasian pengembangan hulu (produksi) dan hilir (konsumsi) melalui “penumpukan” stok 6. berdurasi lama sehingga produsen memperoleh pasar yang pasti, sektor pengolahan dapat memperoleh bahan baku memadai dan pengembangan pengetahuan konsumen lebih efektif untuk meningkatkan konsumsi. Penugasan Perum BULOG untuk menangani sagu melalui Keputusan Presiden dapat menginisiasi penguatan logistik tepung sagu di hulu, penyimpanan dan distribusi.

Pembangunan kawasan sagu terpadu mulai dari pembibitan hingga produksi tepung sagu dalam 7. jumlah dan penyebaran yang memenuhi skala teknis dan ekonomis terutama di pusat-pusat kawasan sagu dapat mempercepat pendayagunaan sagu secara produktif, efisien, kompetitif dan berkelanjutan.

Page 55: Policy Brief - Dewan Guru Besar

44

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PenutupPermasalahan yang masih menghalangi perkembangan sagu sebagai bahan pangan pokok dan pangan olahan adalah rendahnya produksi tepung sagu akibat keterbatasan infrastruktur dasar. Pembangunan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan harus berorientasi pada kecukupan gizi (bukan kalori saja) hanya dapat ditempuh melalui keragaman sumber pangan. Penguatan pangan nasional dimulai dari penetapan status sagu setara dengan beras melalui kebijakan (revisi Undang-Undang nomor 18 Tahun 2012 atau Keputusan Presiden) dan investasi publik pada infrastruktur dasar. Penguatan sektor hilir dimulai dari penguatan stok untuk menampung produksi dan penyediaan bahan baku bagi industri hilir. Harmonisasi dapat dilakukan dengan menugaskan Perum BULOG untuk menangani sagu dalam pengadaan dan penyediaan/distribusi pangan.

Daftar PustakaAlfons JB, Rivai AA. 2011. Sagu Mendukung ketahanan pangan dalam menghadapi dampak perubahan

iklim. Jurnal Perspektif 10(2).

Azhar A, Makihara D, Naito H, Ehara H. 2020. Evaluating sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) photosynthetic performance in waterlogged conditions: utilizing pulse-amplitude-modulated (PAM) fluorometry as a waterlogging stress indicator. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences 19: 37–42.

Bantacut T. 2009. Kebijakan pendorong agroindustri tepung dalam perspektif ketahanan pangan. Pangan 53(18): 32-42.

Bantacut T. 2014. Indonesian staple food adaptations for sustainability in continuously changing climates. Journal of Environment and Earth Science 4(21): 202-215.

Barclay AW, Petocz P, McMillan-Price J, Flood VM, Prvan T, Mitchell P, Brand-Miller JC. 2008. Glycemic index, glycemic load, and chronic disease risk—a meta-analysisn of observational studies. Am J Clin Nutr. 87: 627–37.

Bhupathiraju SN, Tobias DK, Malik VS, Pan A, Hruby A, Manson JE, Willett WC, Hu FB. 2014. Glycemic index, glycemic load, and risk of type 2 diabetes: results from 3 large US cohorts and an updated meta-analysis1–3. Am J Clin Nutr 10: 218–32.

Bintoro MH. 2011. Progress of sago research in Indonesia. Proceeding of the 10th International Sago Symposium (Bogor, Indonesia), 16-34 pp.

Bintoro MH, Nurulhaq MI, Pratama AJ, Ahmad F, Ayulia L. 2018. Growing area of sago palm and its environment in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

BKP. 2018. Statistik Ketahanan Pangan 2018. Badan Ketahanan Pangan RI, Jakarta.

Page 56: Policy Brief - Dewan Guru Besar

45

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Cazares BX, Ramires-Ortega FA, Elenes LF, Medrano RR. 2010. Drought tolerance in crop plants. American Journal of Plant Physiology 5: 241-256.

Fuentes-Zaragoza E, Riquelme-Navarrete MJ, Sánchez-Zapata E, Pérez-Álvarez JA. 2010. Resistant starch as functional ingredient. Food Research International 43: 931–942.

Evert AB, Boucher JL, Cypress et al. 2014. Nutrition therapy recommendations for the management of adults with diabetes. Diabetes Care 37(Supplement 1): S120-S143.

Girsang W. 2014. Socio-economic factors that have influenced the decline of sago consumption in small islands: A Case in Rural Maluku, Indonesia. South Pacific Studies 34(2), 99-116.

Haliza W, Purwani EY, Yuliani, S. 2006. Evaluasi kadar pati tahan cerna (PTC) dan nilai indeks glikemik mi sagu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 17(2), 149-152.

Higgins J.A. 2014. Resistant starch and energy balance: impact on weight loss and maintenance. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 54(9), 1158–1166.

Karim AA, Tie AP, Manan DMA, Zaid ISM. 2008. Starch from the sago (Metroxylon sagu) palm tree—properties, prospects, and challenges as a new industrial source for food and other uses. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 7, 215-228.

Luckett CR, Wang YJ. 2012. Effects of β-Amylolysis on the Resistant Starch Formation of Debranched Corn Starches. J. Agric. Food Chem. 60, 4751−4757.

Moongngarm A. 2013. Chemical compositions and resistant starch content in starchy foods. American Journal of Agricultural and Biological Sciences 8(2), 107-113.

Okazaki M. 2018. The structure and characteristics of sago starch. Sago Palm, 247–259. doi:10.1007/978-981-10-5269-9_18

Okazaki M, Kimura SD. 2015. Ecology of the sago palm in the society of sago palm studies, (ed.): The Food and Environmental Challenges of The 21st Century. Kyoto University Press, Kyoto, Japan. 41–60.

Patiware A, Metaragakusuma, Katsuya O, Bai H. 2016. An overview of the traditional use of sago for sago-based food industry in Indonesia. ICoA Conference Proceedings 3, 119-124.

Pingali P, Mittra B, Rahman A. 2017. The bumpy road from food to nutrition security – Slow evolution of India’s food policy. Global Food Security, 77–84.

Ramulu P, Rao PU. 2003. Total, insoluble and soluble dietary fiber contents of Indian fruits. Journal of Food Composition and Analysis 16, 677–685.

Riany YE. Pengaruh pengolahan terhadap indeks glikemik pangan berbahan baku sagu (Metroxylan sp.).

Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek A, Knill CJ, Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers 72, 1–20.

Page 57: Policy Brief - Dewan Guru Besar

46

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Sosiety of Sago Palm Studies. 2015. The Sago Palm: The Food and Environmental Challenges of the 21st Century. Kyoto University Press. Japan.

Syartiwidya, Martianto D, Sulaeman A, Tanziha I, Rimbawan. 2019. Preference for sago and nutrient intake among communities consuming sago in Kepulauan Meranti District, Riau Province, Indonesia. J. Gizi Pangan, 14(2):91-98.

Widyanti A, Sunaryo I, Kumalasari AD. 2014. Reducing the dependency on rice as staple food in Indonesia – a behavior intervention approach. J. ISSAAS 20(1), 93-103.

Page 58: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 4

PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR SAGU

Pokok PikiranSagu adalah produsen (tanaman penghasil) pati yang paling produktif dan efisien tetapi tingkat 1. pemanfaatannya masih sangat terbatas karena tidak kompetitif dari segi harga dan logistik.

Penggunaan produk turunan pati dalam industri pangan dan non-pangan sangat banyak dan 2. beragam tetapi industri pengolahan pati menjadi produk-produk tersebut belum berkembang sehingga sebagian besar dipenuhi dari impor.

Impor pati dan produk turunannya terus bertambah (volume dan jenis) sejalan dengan 3. perkembangan industri dalam negeri yang menggunakannya. Indonesia menjadi importir ketiga terbesar dengan nilai lebih dari 500 juta US dollar per tahun.

Kebijakan pengembangan industri dan perdagangan hendaknya mencakup penguatan bahan baku 4. dalam negeri berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing mulai dari hulu hingga hilir.

Ketersediaan pati dari sumber konvensional seperti padi, singkong, jagung, kentang, gandum, 5. dan serealia terancam oleh perubahan iklim, maka pemanfaatan sagu segera dimulai untuk bersiap menghadapi krisis pasokan pati di masa yang akan datang.

RingkasanKarbohidrat adalah senyawa organik terbanyak yang diproduksi melalui proses fotosistesis. Tanaman sagu adalah pelaku fotosintesis paling produktif yang dapat menghasilkan 30 ton pati/ha/tahun. Senyawa kompleks ini dapat diolah, dipecah, dan dimodifikasi secara biologi, kimia dan fisik menjadi produk turunan dengan kegunaan yang luas. Pati adalah salah satu senyawa penting dari kelompok karbohidrat. Pati yang terdapat dalam sagu memiliki karakteristik yang khas yaitu pati resisten dengan keunggulan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Hasil modifikasi dan pengolahan pati sangat beragam mulai dari pangan fungsional, kosmetik, farmasi, perekat, pemanis dan bahan turunan lainnya. Indonesia masih mengimpor pati dan produk turunannya dalam jumlah yang besar setiap tahun. Pemahaman mengenai potensi produk dasar dan komersial serta fakta industri dan kebijakan diharapkan mampu mengubah pola pikir untuk menempatkan sagu pada proporsi yang wajar sehingga menjadi salah satu komoditas strategis. Sagu adalah bahan baku industri serba guna.

Page 59: Policy Brief - Dewan Guru Besar

48

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PendahuluanSumber pati adalah biji-bijian (40-90%), akar-akaran (30-70%), umbi-umbian (65-85%), kacang-kacangan (25-50%), dan buah-buahan muda seperti pisang dan mangga, yang dapat mengandung pati hingga 70% (Santana & Meireles, 2014). Semua tanaman ini sangat dipengaruhi oleh musim dan bersifat musiman. Tanaman semusin (musiman) memerlukan gudang dan logistik yang besar dan menimbulkan biaya tinggi. Bergantung pada sumberdaya yang rentan terhadap musim harus secara bertahap dikurangi atau dikuatkan dengan sumberdaya yang tahan terhadap gangguan iklim untuk menghindari katastrof yang datang tiba-tiba tanpa peringatan.

Tanaman sagu melakukan fotosintesis yang sangat baik sepanjang tahun (Azhar et al. 2020) menjadikannya produsen pati yang paling produktif dibandingkan tanaman penghasil pati lainnya. Sagu dapat menghasilkan karbohidrat mencapai 30 ton tepung sagu/ha/tahun sangat potensial untuk menjadi bahan pangan pokok, pangan olahan dan bahan baku industri (Bintoro 2011). Dengan total luas kawasan sekitar 5 juta hektare, maka secara nasional potensi keberlanjutan (sustainable production) dapat mencapai 30-50 juta ton pati per tahun. Secara umum, semua pati dapat diperlakukan sama dan saling menggantikan, kecuali sifat-sifat fungsional tertentu. Pati sagu memiliki sifat yang baik seperti glatinisasi dan resistensi (Okazaki 2018). Ketersediaan pati sagu lebih terjamin dalam perubahan iklim global yang masih terus terjadi karena relatif tidak terganggu, bahkan pada perubahan iklim yang sangat ekstrim sekalipun (Okazaki dan Kimura 2015). Pati sagu juga dapat diproduksi sepanjang tahun, tanpa dipengaruhi musim, dengan menerapkan penjadwalan produksi tertentu.

Karbohidrat, satu kelas produk alami - selain penggunaan secara tradisional seperti makanan, kayu, kertas, dan energi - adalah cadangan organik (biofeedstocks) utama untuk dikembangkan secara industri dan bahan kimia organik yang ekonomis sebagai pengganti bahan yang berasal dari sumber petrokimia. Total volume karbohidrat mancapai 75% dari total biomassa. Contoh produk non-pangan yang sudah banyak digunakan adalah etanol (bahan bakar), farmasi, furfural (pemanis), D-Sorbitol (D-Glucitol, pemanis alami non-kalori banyak digunakan dalam industri makanan), asam laktat dan asam polilaktat (PLA), surfaktan berbasis gula (‘‘Sorbitan’’ Esters, N-Methyl-N-acyl-glucamides/NMGA, Alkylpolyglucosides/APG, Sucrose Fatty Acid Monoesters), obat-obatan dan vitamin. Produk-produk baru yang dapat dikembangkan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain: Furan Compounds (5-Hydroxymethylfurfural/HMF, 2,5-Dimethylfuran/DMF, Furans dengan rantai Tetrahydroxybutyl), Pyrones and Dihydropyranone, turunan gula tidak jenuh (Pyrroles, Pyrazoles, Imidazoles, 3-Pyridinols), dan senyawa aromatik berbasis gula, dll (Lichtenthaler 2012). Semua produk ini bernilai teknis (diperlukan) dan ekonomis (diperjualbelikan).

Produk olahan dan turunan pati sangat beragam bentuk dan kegunaannya. Produk turunan tersebut dihasilkan dari proses pengolahan pati, reaksi hidrolisis, oksidasi, transformasi reduksi termasuk asam organik seperti asam glukonat, ketoglukonat dan sintesis vitamin C, dan isomerisasi dan reaksi transfer, pada skala yang sangat besar untuk menghasilkan glukosa/sirup fruktosa dan isomer sukrosa (Buchholz dan Seibel 2008). Inovasi masih sangat terbuka untuk menghasilkan produk yang lebih beragam seperti penerapan pengolahan tepung (pati) berukuran nano (Corre dan Angellier-Coussy 2014).

Page 60: Policy Brief - Dewan Guru Besar

49

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Produksi tepung sagu masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi bahan baku dan pasar karbohidrat yang besar, baik dalam bentuk hasil pengolahan, penguraian dan hasil modifikasi, baik untuk pangan maupun non-pangan. Permintaan tepung dan pati untuk industri pangan dan non-pangan sangat banyak yang sebagian besar masih diimpor. Kekuatan pasokan bahan baku berada pada keragamannya, semakin beragam semakin kuat (Schrijvers et al. 2020). Sagu meningkatkan keragaman sehingga pilihan semakin luas dan menguatkan kepastian pasokan di masa depan karena ketahanannya terhadap gangguan iklim (Cazares et al. 2010).

Teknologi Produksi dan Modifikasi Pati Sagu dan Olahan SaguPemanfaatan pati secara langsung tanpa pengolahan (alami) relatif sedikit (29%), sebagian besar (54%) dalam bentuk hidrolisist (hasil penguraian) dan sisanya (17%) dalam bentuk modifikasi. Penggunaan ini sangat beragam tergantung dari sumber dan cara pengolahannya. Gambar ini menunjukkan bahwa pasar dan penggunaan pati sagu dapat dikembangkan melalui pengolahan baik secara hidrolisis maupun modefikasi. Oleh karena itu, pengembangan pemanfaatan sagu secara meluas haruslah melalui pengembangan industri hilir (Santana dan Meireles 2014).

Prospek penggunaan pati sagu sangat baik karena segera dapat dimanfaatkan secara langsung, mengurangi bahkan tidak berkompetisi antara pangan dan energi, lahan yang luas baik yang sudah berupa hutan sagu maupun yang masih rawa, dan teknis ekstraksi sagu sudah dikenal – bahkan dikuasai oleh masyarakat. Dengan demikian pengembangan tidak memerlukan waktu yang lama dan dapat melibatkan masyarakat secara luas. Pengolahan hilir sagu dapat menjadi sarana pertumbuhan dan pemerataan (Syamsuadi et al. 2020).

Pati sagu memiliki sifat amilografi (profil kekentalan pada suhu yang berbeda), kecerahan larutan, daya mengembang, kelarutan, keteguhan dan daya lekat (Hirao et al. 2018) dapat mensubstitusi pati jagung, kentang dan kacang hijau baik secara langsung maupun modifikasi. Secara keseluruhan, pati sagu memiliki karakteristik fisiko-kimia dan fungsional yang paling dekat dengan tapioka sehingga dalam banyak aplikasi sebagai pati alam dapat saling mensubstitusi (Takahashi et al. 1995). Karakteristik pati dan teknologi pengolahan bukan penghambat produksi, penggunaan dan pengembangan pati sagu.

Produk turunan pati yang paling banyak digunakan adalah gula (pemanis) hasil hidrolisis yang terdiri dari maltosa, glukosa, fruktosa, manitol, maltitol dan sorbitol. Gula ini dapat menggantikan sukrosa sebagai pemanis dengan tingkat kemanisan yang bervariasi. Dari tingkat kemanisan, fruktosa paling potensial menggantikan sukrosa (gula tebu) karena memiliki kemanisan yang tinggi (170) dibandingkan sukrosa (100) dan glukosa (75). Salah satu masalah yang dihadapi dalam produksi produk-produk turunan pati tersebut adalah keterbatasan bahan baku. Tapioka, secara potensial dapat dikembangkan, masih impor dan kalah bersaing dengan Thailand. Penggarapan sagu sebagai bahan baku diharapkan dapat bermanfaat ganda yakni memenuhi kebutuhan bahan baku industri sekaligus menguatkan ketahanan pangan.

Page 61: Policy Brief - Dewan Guru Besar

50

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Potensi pertumbuhan permintaan yang relatif tinggi adalah produk modifikasi pati karena teknologi sudah sangat berkembang. Tujuan modifikasi adalah untuk mengubah sifat fisik (dan kimia) pati sehingga sesuai dengan kebutuhan aplikasi dalam industri (Taggart 2004). Tabel 1 menunjukkan keragaman aplikasi menurut teknologi modifikasinya. Hampir semua produk tersebut masih diimpor sehingga produksi dalam negeri terintegrasi dengan kebun atau kawasan sagu dapat mensubsitusi dan meningkatkan eskpor sekaligus menumbuhkan kesempatan kerja.

Tabel 1. Kegunaan pati menurut teknik modifikasinya

Aplikasi Pengikat Pengental Pembentuk Lapisan Pengatur Tekstur

Sup, Saus, Olahan Berkuah X, XS, PX, PXS X, XS, PX, PXSRoti PN X, P, PX ,PXS D, M P, S, PX, PXS, M

Susu N, A, M X, XS, PXS, A, PX, O, PO ,M

Makanan ringan PO, O O, PO, ACemilan N, P, PN, PO, DMentega dan Pelapis X, PX, O P, PX D O, PO, D, MProduk Daging N, X, XS, P XS XS

Sumber: Thomas dan Atwell 1997.Keterangan: N = native, X = cross-linked, P = pregenaltinized, S = substituted, O = oxidized, A = acid hydrolized, D = dextrin,

M = maltodextrin

Dari perspektif teknologi pengolahan dan pemanfaatan pati, maka sagu adalah bahan pangan lokal yang sangat prospektif, memiliki karakteristik yang sesuai sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan baku pati termodifikasi. Semua produk yang diolah dengan aplikasi proses pada Tabel 1 dapat dihasilkan dari sagu. Sebagai pati alami, aplikasi pati sagu sangat ditentukan oleh mutu dan teknologi pengolahannya. Sebagai bahan baku industri hidrolisis pati, maka mutu produk sangat dipengaruhi oleh teknologi konversi, dan ekuivalensi dekstrosa.

Penggunaan Produk Turunan Pati dalam Industri Dalam NegeriIndustri makanan dan minuman Indonesia terus tumbuh bahkan neraca perdagangan selalu surplus dengan banyak negara kecuali dengan Thailand, Tiongkok dan Australia. Namun demikian, karena volume perdagangan dengan tiga negara ini sangat besar maka neraca keseluruhan menjadi negatif. Perhatian yang harus dikuatkan dalam rantai nilai global adalah pada bahan baku yang meliputi ketersediaan, kesinambungan dan keberlanjutan, mutu, waktu penyampaian, daya saing harga, perencanaan hulu-hilir, dukungan kebijakan pemerintah, dan inovasi. Produk dihadapkan pada tantangan yang semakin luas yakni pasar semakin terbuka sehingga tidak mungkin menghindari pengadaan global, persaingan semakin ketat, inovasi harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup konsumen, dan antisipasi perubahan pasar global yang cepat. Oleh karena itu, kompetisi harus dimenangkan melalui pembentukan nilai tambah berlandasakan inovasi. Dari perspektif bisnis maka pertimbangannya hanya dua, jika kompabilitasnya tinggi, adalah ketersediaan dan harga (sama atau lebih murah).

Page 62: Policy Brief - Dewan Guru Besar

51

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Penggunaan produk turunan pati dalam industri pangan antara lain sebagai stabiliser, pengental, pengisi, perekat dan pasta (maltodekstrin), pemanis untuk permen keras (sirup maltosa), pemanis untuk minuman ringan (sirup glukosa dan sirup fruktosa), makanan dan minuman kaleng dan produk susu (sirup fruktosa), dan bahan baku industri (sirup campuran) (Kennedy et al. 1992). Dalam produk pangan olahan, pati sagu dapat mensubstitusi tepung beras hingga 50% (Udon), 10-20% terigu (mie), 30% terigu (roti dan mufin), 100% pati kacang hijau (bihun), dan 50% tepung terigu (biskuit) (Hirao 2018). Konsumsi produk makanan dan minuman ini terus tumbuh dan berkembang maka permintaan terhadap produk turunan pati tersebut akan terus meningkat (Tian et al. 2019). Penggunaan pati dalam industri yang banyak sebagai pengental, jelli, pengembang, penggembur (dusting), pengikat, glazur (pelapis), penstabil, emulsi, pengokoh, perasa (mouthfeel), dan penyegar. Pengembangan produk hilir sagu untuk mengasilkan produk-produk dengan penggunaan tersebut mempunyai prospek pasat yang baik.

Penggunaan pati sagu dalam industri hilir (pangan dan non-pangan) sangat potensial tetapi masih dihadapkan pada rendahnya pasokan. Kesempatan industri untuk (mencoba) menggunakan masih terbatas sehingga sulit diperkirakan jumlah permintaan yang akan tumbuh. Pasokan dan promosi menjadi kunci keberhasilan perluasan penggunaan sagu sebagai substitusi karbohidrat lain dalam industri dan pengolahan lanjut. Pada sisi yang lain, industri sudah memahami bahwa sagu adalah sumberdaya pati yang produktif dan berkelanjutan serta modifikasi patinya dapat memperbaiki sifat fungsionalitasnya. Beberapa aplikasi sudah terbukti baik seperti komposit salut, aplikasi lingkungan dan pangan.

Ekspor Impor Produk Turunan KarbohidratPerdagangan luar negeri Indonesia (ekspor-impor) masih diisi oleh komoditas konvensional. Komoditas pertanian belum dominan hanya lemak/minyak (sawit) serta ikan dan udang yang menyumbang surplus. Serealia serta gula dan kembang gula menjadi penyebab defisit. Situasi ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara agraris di kawasan tropis belum mengoptimalkan komoditas yang berbasis pada fotosistesis, terutama karbohidrat. Potensi ekspor produk prioritas dunia menempatkan makanan olahan sebagai salah satunya (urutan ke 15) dengan total permintaan 280 (2015) dan 330 (2019) milyar dollar AS (Trade Map 2019). Peluang yang besar ini antara lain berupa produk turunan atau hasil olahan karbohidrat.

Pati banyak diperdagangkan di pasar dunia untuk kebutuhan industri pangan (bahan pengental dan penguat tekstur), industri kertas dan papan (perekat), industri kosmetik dan farmasi (produk bedak dan pembuat tablet) dan industri tekstil (perekat benang, kanji). Kebutuhan ini membentuk permintaan pati yang pada tahun 2019 dipenuhi oleh pati ubi kayu (38.36%), pati jagung (24.95%), pati kentang (18.26%), pati gandum (8.17%), pati lainnya, termasuk sagu (5.21%) dan insulin (5.04%). Dalam aktivitas perdagangan tersebut, Indonesia menduduki peringkat negara importir terbesar no 3 (mengimpor 8% dari total impor pati dunia) dan eksportir no 25 terbesar dunia. Tujuan ekspor Indonesia masih terbatas di kawasan Asia yakni Filipina (48,47%), Taiwan (23.15%), Malaysia (8.61%), Jepang (7.48) dan Vietnam (5.73).

Indonesia menjadi negara net-importer pati dengan total nilai impor hampir lima kali nilai ekspor (Tabel 2). Produk-produk yang diimpor banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non-pangan. Alasan impor yang utama adalah ketersediaan pasokan yang terbatas dan harga yang

Page 63: Policy Brief - Dewan Guru Besar

52

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

tidak kompetitif. Jika ditarik ke pangkal, maka permasalahannya adalah produksi pati yang tidak efisien karena berbagai sebab antara lain keterbatasan infrastruktur, kurangnya penerapan teknologi, produktivitas (rendemen) tidak maksimum, sebagian besar skala kecil, dan kurangnya keterkaitan hulu-hilir. Faktor penghambat ini bermuara pada biaya tinggi (teknis dan non-teknis) dan mutu rendah sehingga harga tidak bersaing dan penggunaannya terbatas.

Tabel 2. Neraca perdagangan pati Indonesia 2019

Sumber PatiEkspor Impor

USD % USD %Jagung 11,260,000 59.62 146,410,000 42.00Ubi kayu 4,790,000 25.35 141,100,000 43.35Lainnya (sagu) 2,730,000 14.47 170,036,000 0.05Kentang 83,709,000 0.44 15,160,000 4.35Gandum 10,337 0.12 21,840,000 6.27Inulin 13,900,000 3.99Jumlah 102,499,337 508,446,000

BPS (2020)

Pada tataran global, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang sulit tapi menjanjikan yakni mengakses pasar di luar pasar konvensional, memasok pati (barang lainnya) secara berkesinambungan dan penghantaran tepat waktu, mengembangkan industri yang berkelanjutan, dan membangun sistem hingga semua produk dapat ditelusuri (tracebility). Untuk memenuhi harapan tersebut, industri dihadapkan pada upaya pengembangan kompetensi sumberdaya manusia, meningkatkan (adopsi) teknologi, mengembangkan akses pembiayaan, melakukan inovasi teknologi pengolahan, perbaikan infrastruktur, dan meningkatkan cadangan. Bersamaan dengan upaya tersebut, industri harus melakukan diversifikasi untuk mengisi dan menciptakan pasar serta peningkatan nilai melalui sertifikasi, branding dan pengemasan.

Dengan situasi perdagangan tersebut, maka peluang untuk memanfaatkan dan mengembangakan sagu sangat prospektif, karena berbagai alasan: (i) hutan/kawasan sagu terluas di dunia, (ii) sagu adalah bahan diversifikasi pangan yang sangat potensial melebihi kebutuhan, (iii) pangan olahan dari sagu (karbohidrat) sangat berkembang, (iv) pasar untuk produk modifikasi pati (pengikat serat, tekstil, kayu lapis) tumbuh cepat, (v) permintaan pati dunia meningkat (6.42% per tahun), (vi) pemasaran produk melalui e-commerse memudahkan dan dapat menekan biaya, (vii) permintaan RRT kepada Indonesia meningkat, dan (viii) daya hidup tanaman sagu adaptif terhadap perubahan iklim. Perihal ini menunjukkan bahwa pasar pati akan terus tumbuh dan membuka peluang yang besar bagi pati sagu.

Kekuatan, Tantangan dan PeluangIndonesia memiliki dua kekuatan besar dalam industri berbasis karbohidrat yaitu lokasi terbentang sepanjang khatulistiwa dan tanaman (hutan) sagu yang luas. Karbohidrat adalah hasil fotosistesis yang dilakukan oleh tanaman berhijau daun yang memerlukan penyinaran dan air. Khatulistiwa adalah

Page 64: Policy Brief - Dewan Guru Besar

53

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

tempat penyinaran terpanjang dan hujan terbanyak sepanjang tahun sehingga produksi karbohidrat terbanyak juga sepanjang tahun. Hutan sagu terluas (70% dari dunia) terletak di Indonesia maka produksi karbohidrat paling banyak dan paling efisien seharusnya terjadi di negara tropis, Brasil dan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya menjadi negara produsen karbohidrat terbesar dan paling efisien. Faktanya, Indonesia menjadi importir ketiga terbesar di dunia. Hal ini sepatutnya tidak boleh lagi terjadi di masa mendatang.

Produk yang banyak diperdagangkan dan digunakan oleh industri adalah hasil hidrolisis (penguraian) dan hasil modifikasi. Pati termodifikasi memenuhi tujuan yang berbeda di berbagai industri yang sebagian besar digunakan dalam industri makanan dan minuman sebagai agen penebalan atau sebagai penstabil. Industri makanan dan minuman tumbuh pada 5.23% per tahun. Pasar pati termodifikasi diperkirakan akan tumbuh pada 4.31% per tahun pada periode 2017-2023 (Ushakov et al. 2020). Industri makanan dan minuman menggunakan pati termodifikasi sebagai pengganti lemak, penambah tekstur, dan penambah nilai gizi. Permintaan makanan kemasan telah menunjukkan kecenderungan dalam periode terakhir. Pasar global untuk makanan kemasan bernilai sekitar $ 2,6 triliun pada 2017 dan tumbuh pada perkiraan 4.5% per tahun (Modified Starch Market – Forecast 2020 - 2025).

Semua produk alami dan turunan karbohidrat baik melalui proses penguraian maupun proses modifikasi dapat dihasilkan dari sagu. Orientasi pengembangan produk untuk susbtitusi impor bernilai 500 juta dollar Amerika, sedangkan berorientasi ekspor dapat bernilai 4 miliar dollar Amerika. Banyaknya permintaan produk yang disertai dengan bertambahnya keragamannya adalah peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan upaya pengembangan sagu nasional. Penyertaan nilai budaya dan lingkungan dapat menambah nilai jual sehingga perlu ditelusuri dan diterjemahkan menjadi penambah nilai untuk membentuk produk sagu bernilai tambah dan bernilai budaya (kearifan lokal).

Tantangan yang besar adalah pada kegiatan hulu yang belum tertata dengan baik dengan keterbatasan infrastruktur menyebabkan efsiensi rendah dan kalah bersaing (dari sisi harga), namun tidak memulai dari nol. Penguatan harus dilakukan dengan membangun infrastruktur dasar dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal melalui program pembangunan bersendi kearifan lokal (local wisdom enhancing development program) untuk memperbaiki efisiensi, produktivitas dan penguatan nilai. Dengan demikian, sumberdaya alam adalah kekayaan yang harus juga bernilai sosial, ekonomi dan lingkungan, bukan menjadi momok pembangunan. Oleh karena itu, semua sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan dengan komitmen tinggi dari sektor terkait (enabling sectors), dengan memanfaatkan nilai ekonomi pengetahuan dengan menumbuhkembangkan teknologi sosial (social technologies) yakni menguatkan keterlibatan teknologi masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam dalam penguasaan teknologi. Semuanya bertumpu pada kunci kesuksesan yang sama, diversifikasi (Ville dan Wicken 2013).

RekomendasiPotensi tepung sagu sebagai bahan industri pangan dan bahan baku industri lainnya sangat potensial. Pemanfaatan sagu pada skala industri dapat menumbuhkan kemandirian industri berbasis karbohidrat nasional melalui pemanfaatan nilai komparatif sagu. Orientasi substitusi dan ekspor dapat dijadikan

Page 65: Policy Brief - Dewan Guru Besar

54

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

pendorong pengembangan industri pokok tepung sagu yang berbasis pada pertanian sagu berkelanjutan. Untuk menumbuhkembangkan industri karbohidrat berbasis sagu perlu dilakukan perihal berikut:

Sagu sangat potensial sebagai sumberdaya pangan dan bahan baku industri berbasis karbohidrat 1. yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantages).

Keunggulan sagu harus dieksploitasi sehingga tidak dibandingkan langsung dengan sumber 2. karbohidrat lainnya, dengan menonjolkan nilai lebihnya,

Strategi hulu harus dikaitkan dengan hilir yakni penguatan hulu berbasis hilir begitupun sebaliknya 3. sehingga pengembangan sagu harus integratif hulu-hilir. Termasuk yang menjadi prasyarat awal pada bagian hulu adalah politik pemerintah membangun sistem subsidi kepada petani dan produsen bahan baku sagu

Pembentukan tim atau lembaga atau satuan kerja sagu melibatkan akademisi, petani sagu, business 4. dan pemerintah (ABG) perlu menjadi penggerak sagu nasional.

Penerapan resi gudang untuk sagu dapat dilakukan sehingga perdagangan dan stok sagu dapat 5. lebih terjamin.

Penguatan (calon) eksportir hendaknya menjadi bagian terpadu dari pengembangan perkebunan 6. dan pengolahan hulu sagu.

Pemerintah dapat memberikan berbagai insentif termasuk relaksasi impor dan ekspor untuk 7. tujuan ekspor.

Pengembangan fokus pada produk dan pasar utama untuk menguatkan penetrasi pasar, memperluas 8. jaringan dan meningkatkan volume barang.

Peningkatan daya saing produk perlu memasukkan keamanan pangan, penguatan protokol 9. kesehatan, sertifikasi, rancangan dan branding kemasan.

Fasilitas penguatan akses pasar melalui jaringan lembaga negara dan perwakilan dagang di luar 10. negeri melaui penguatan promosi, informasi pasar, e-commerse dan fasilitas perwakilan dagang.

PenutupSemua peluang dapat diisi, hambatan dapat diatasi dan tantangan dapat dikalahkan jika; (i) Infrastruktur dan logistik untuk mendukung pertumbuhan produksi tepung sagu dibangun secara terpadu, (ii) pengembangan bahan baku dilakukan secara berkelanjutan: pasar tumbuh dengan kepastian pasokan, (iii) nilai spesifik yang menjadi kelebihan pati sagu dikembangkan melalui aplikasi teknologi pengolahan yang tepat dan mutakhir, (iv) nilai sosial, kemanusiaan, lingkungan dan sistem insentif/subsidi disematkan sebagai pembentuk nilai produk turunan sagu, dan (v) dalam jangka pendek pengembangan diarahkan pada substitusi impor dan pengembangan ekspor disertai dengan peningkatan konsumsi dalam negeri.

Page 66: Policy Brief - Dewan Guru Besar

55

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Daftar PustakaAzhar A, Makihara D, Naito H, Ehara H. 2020. Evaluating sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

photosynthetic performance in waterlogged conditions: utilizing pulse-amplitude-modulated (PAM) fluorometry as a waterlogging stress indicator. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences 19, 37–42.

Bintoro MH. 2011. Progress of sago research in Indonesia. Proceeding of the 10th International Sago Symposium (Bogor, Indonesia), 16-34 pp.

Buchholz K, Seibel J. 2008. Industrial carbohydrate biotransformations. Carbohydrate Research 343, 1966–1979.

Cazares BX, Ramires-Ortega FA, Elenes LF, Medrano RR. 2010. Drought tolerance in crop plants. American Journal of Plant Physiology 5, 241-256.

Corre DLe, Angellier-Coussy H. 2014. Preparation and application of starch nanoparticles for nanocomposites: A review. Reactive & Functional Polymers.

http://dx.doi.org/10.1016/j.reactfunctpolym.2014.09.020

Lichtenthaler FW. 2012. Carbohydrates as Organic Raw Materials. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. DOI: 10.1002/14356007.n05_n07

Hirao K, Kondo T, Kainuma K, Takahashi S. 2018. Starch properties and uses as food for human health and welfare. In: Ehara H., Toyoda Y., Johnson D. (eds) Sago Palm. Springer, Singapore.

Kennedy JF, Rivera ZS, Lloyd LL, Warner FP. 1992. Fractionation of starch amylopectin and amylose by high performance gel filtration chromatography. Starch/Starke 44, 53–55.

Okazaki M. 2018. The structure and characteristics of sago starch. Sago Palm, 247–259. doi:10.1007/978-981-10-5269-9_18

Okazaki M, Kimura SD. 2015. Ecology of the sago palm in the society of sago palm studies, (ed.): The Food and Environmental Challenges of The 21st Century. Kyoto University Press, Kyoto, Japan. 41–60.

Santana AL, Meireles MAA. 2014. New starches are the trend for industry applications: a review. Food and Public Health 4(5), 229-241.

Schrijversa, Hool A, Blengini GA, et al. 2020. A review of methods and data to determine raw material criticality. Resources, Conservation & Recycling 155, 104617, 1-17.

Syamsuadi A, Hartati S, Trisnawati L, Arisandi D. 2020. Strategi kebijakan pengembangan sagu berbasis sentra industri kecil menengah (IKM). Jurnal Inovasi Ilmu Sosial dan Politik 2(2), 114 – 128.

Taggart P. 2004. Starch as an ingredient: manufacture and applications. In Eliassion AC. (Ed.), Starch in Food: Structure, Function and Applications (pp. 363–392). Cambridge and New York: Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC.

Page 67: Policy Brief - Dewan Guru Besar

56

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Takahashi S, Hirao K, Kainuma K. 1995. Physicochemical properties and cooking quality of sago starch. Sago Palm 3:72–82 (in Japanese).

Thomas DJ, Atwell WA. 1997. Starches. Eagan Press, St Paul, MN.

Tian Y, Deng Y, Zhang W, et al. 2019. Sucrose isomers as alternative sweeteners: properties, production, and applications. Appl Microbiol Biotechnol 103, 8677–8687. https://doi.org/10.1007/s00253-019-10132-6.

Ushakov DS, Shepelev VV, Patlasov OYu. 2020. Marketing researches of the modified starch market and the technologies of its production. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 422, 012128. doi:10.1088/1755-1315/422/1/012128

Ville S, Wicken O. 2013. The dynamics of resource-based economic development: evidence from Australia and Norway. Faculty of Business - Papers (Archive). 226. https://ro.uow.edu.au/buspapers/226.

Page 68: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 5

KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR INDUSTRI BERBASIS SAGU

Pokok PikiranKawasan (hutan) sagu umumnya berada pada dataran rendah di sepanjang aliran sungai atau 1. daerah rawa berupa hutan campuran ataupun sejenis. Kawasan tersebut kebanyakan berada dalam hutan lindung dan daerah (wilayah) adat, sehingga pemanfaatannya dihadapkan pada masalah perizinan, sosial dan keterbatasan infrastruktur.

Rancangan pemanfaatan kawasan (hutan) sagu didasarkan pada prinsip berkelanjutan, di mana 2. terdapat perencanaan pemanenan sagu yang berdasarkan unit-unit “kelestarian” didukung dengan pengembangan jaringan melalui pembukaan wilayah dan pengelolaan lestari, mulai dari transportasi batang sagu dan atau serat sagu basah ke industri (pabrik sagu) sampai distribusi dan pengolahan tepung sagu.

Peningkatan ketersediaan, akses, dan produksi melalui kegiatan prioritas pada peningkatan 3. kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi, dan biofortifikasi, dengan pengembangan pangan lokal dan diversifkasi bahan pangan di tingkat masyarakat dapat menjadi acuan pengembangan infrastruktur kawasan (hutan) sagu.

Pembiayaan Pembangunan infrastruktur dan logistik sagu dilokasikan oleh Pemerintah Pusat/4. Daerah (20-25%), BUMN (20-25%), dan diharapkan swasta dapat berpartisipasi (50-60%).

Pemerintah dapat membangun infrastruktur yang menghubungkan kawasan produksi dengan 5. kawasan distribusi yang dilakukan dengan pendekatan wilayah, termasuk pembangunan dan rehabilitasi jalan akses serta penyediaan air baku.

Pembangunan infrastruktur melibatkan banyak kementerian sesuai dengan tugas pokok dan 6. fungsi masing-masing, sehingga memerlukan koordinasi yang intensif berbasis rencana kawasan spesifik lokasi.

RingkasanSebagian besar kawasan sagu berada pada dataran rendah, tepi pantai yang berupa rawa dan jauh dari pusat kegiatan manusia. Keadaan ini menyebabkan, secara geografis dan topografi, kawasan tersebut terisolir dan jauh dari infrastruktur publik. Sumberdaya sagu dalam kawasan tidak dapat dimanfaatkan secara optimum karena biaya panen, pasca panen, pengolahan dan pengangkutan relatif mahal sehingga produknya tidak bersaing untuk substitusi terigu, tapioka, maizena, dan bahan baku industri hilir. Pemanfaatan sagu hendaknya dimulai dari penyediaan infrastruktur primer (publik) berupa jalan akses dan sarana (jalan, pelabuhan) penghubung kawasan produksi dengan pusat distribusi (logistik). Pemerintah berkomitmen

Page 69: Policy Brief - Dewan Guru Besar

58

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

untuk mendayagunakan sagu sebagai penganekaragaman bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Komitmen tersebut berwujud dukungan pembiayaan infrastruktur dasar yang dilaksanakan oleh instansi terkait dan pemerintah daerah. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilibatkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dan swasta untuk berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur. Implementasi dari komitmen tersebut masih sangat terbatas karena sagu belum menjadi bahan pangan pokok dan komoditas strategis sehingga belum menjadi prioritas pembiayaan. Banyak institusi dan para pihak yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur kawasan sagu, maka diperlukan rancangan utama dan rinci (detailed grand design) mencakup zonasi, infrastruktur dan sistem pergerakan bahan serta waktu pembangunannya. Persoalannya adalah siapa yang menyusun rancangan tersebut?

PendahuluanPotensi bahan baku dan produk yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan jika tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai. Sebagian besar hutan (kebun) sagu berada di kawasan pantai dan rawa yang belum tersedia prasarana dasar seperti jalan (akses). Fakta, data dan pemikiran mengarahkan pada rekomendasi perlunya kebijakan pembangunan berbasis kawasan untuk sagu. Rumusan pokok kebijakan yang diperlukan dan seharusnya diterbitkan untuk mengadakan dan memperkuat infrastruktur yang memajukan industri berbasis sagu secara nasional bersandar pada aspek filosofis, teoritis, kebutuhan, rasionalitas dan berorientasi jauh ke depan dalam perspektif perubahan iklim yang sedang berlangsung (Matsumura dan Yamagishi 2019).

Kawasan sagu yang luas memiliki potensi ekonomi yang besar dapat mensubstitusi beras, jagung, tapioka, tepung kentang, tepung kacang hijau, dan lainnya baik sebagai pangan maupun non-pangan dan energi. Salah satu kendala yang nyata dan menghambat pengembangan industri sagu adalah keterbatasan infrastruktur dasar dan sarana logistik. Semua keterbatasan ini berakibat pada produksi biaya tinggi karena: (i) biaya tinggi mobilisasi bahan baku (tebang hingga siap diolah), (ii) sebagian besar berskala kecil – tidak efisien (ekonomis) dalam produksi, (iii) teknologi pengolahan masih sederhana, (iv) mutu produk rendah, dll. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan tanpa membangun infrastruktur (Wu et al. 2019).

Investasi infrastruktur publik, terutama transportasi, adalah alat kebijakan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi bervariasi tetapi tetap bahwa investasi infrastruktur transportasi memiliki konstribusi penting terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang efektif bermula dari rancangan kawasan yang mempertimbangkan output transportasi, atau pergerakan barang/logistik. Jenis dan mutu infrastruktur transportasi seharusnya dikaitkan dengan kinerja pertumbuhan, ukuran pasar masing-masing infrastruktur dan biaya produksi karena terkait dengan perolehan produktivitas. Investasi jaringan transportasi yang berkembang dengan baik, pada tahap awal mungkin belum menghasilkan pengembalian ekonomi yang cukup besar. Dengan berjalannya waktu, manfaat jaringan transportasi dan infrastruktur akan menyebar ke berbagai sektor dan daerah (spillover). Oleh karena itu, pengembangan jaringan infrastruktur (transportasi) memerlukan identifikasi dan perhitungan yang tepat sehingga kontribusinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi efektif (Deng 2013).

Page 70: Policy Brief - Dewan Guru Besar

59

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Biaya produksi memiliki peubah yang kompleks, sangat berguna dalam proses perencanaan dan pengendalian serta dalam produksi dan penjualan (Stoenoiu dan Cristea 2018). Faktor utama dan berpengaruh sangat besar adalah kelancaran pergerakan bahan (barang) yakni waktu dan biaya yang bergantung pada keberadaan dan mutu infrastruktur dasar. Investasi publik sangat menentukan produktivitas karena selain menekan biaya produksi juga memperbaiki daya saing dari perspektif penghantaran dan keandalan (Stupak 2018). Nilai investasi ini sulit dihitung dengan pengembalian penerimaan negara karena banyak dampak yang sulit diukur seperti banyak limpahan (spillovers) manfaat yang mendorong kegiatan lain tumbuh dan berkembang (Cohen dan Paul 2004). Dengan demikian, dampak investasi publik akan sangat luas jika bersandar pada kegiatan produktif berskala besar. Perusahaan akan mendapatkan keringanan biaya operasi sehingga dapat berproduksi dengan tingkat efisiensi yang lebih baik (Udjianto et al. 2018).

Rancangan Infrastruktur DasarSebagian besar (hampir semua) kawasan sagu masih miskin infrastruktur, kecuali yang sudah diusahakan oleh perusahaan besar. Hal ini terjadi karena industri sagu masih merupakan infant industry. Keadaan saat ini dapat digambarkan bahwa (i) tingkat aksesibilitas ke lokasi hutan sagu masih rendah, (ii) belum tersedia infrastruktur umum di sekitar lokasi hutan sagu, (iii) areal tegakan pohon sagu tersebar, (iv) volume batang sagu besar dan bobotnya berat, (v) harga jual tepung sagu relatif murah per satuan berat, dan (vi) belum ada model dan sistem pengembangan infrastruktur dan penyediaan sarana pengelolaan hutan sagu yang terpadu antara industri dan logistik industri berbasis sagu mulai dari hutan sagu sampai dengan industri termasuk sistem distribusi dan pemasaran produk sagu.

Oleh karena itu, infrastruktur dasar harus diawali dari investasi publik oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang meliputi infrastruktur dasar (jalan, kanal, pelabuhan, darmaga, energi, listrik, telekomunikasi, dll) dan logistik (proses perpindahan barang dari awal hingga akhir, termasuk pergudangan dan distribusi hasil produksi dan jasa). Dengan demikian, infrastruktur mencakup akses ke lokasi sagu (publik), dalam areal sagu (BUMN dan swasta), dan logistik (BUMN). Pembangunan infrastruktur tersebut harus dikuatkan dengan kebijakan perizinan, pembiayaan, insentif dan penguatan industri berbasis sagu.

Pembangunan infrastruktur kawasan didahului dari penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mencakup klasifikasi, kelas, spesifikasi, pedoman dan kriteria. Kaidah ini menjadi dasar perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi sehingga pembangunan infrastruktur sesuai dengan situasi, fungsi dan tujuan yang diharapkan. Berdasarkan keadaan umum kawasan, perlu kajian untuk menentukan pilihan moda transportasi yang akan dibangun yang meliputi transportasi air (kapal, ponton, rakit, alat sarad), transportasi kendaraan (truk, alat sarad), dan jalan rel (lokomotif dan lori, alat sarad). Fungsi infrasruktur tersebut mendukung pergerakan barang melintasi jalan sarad, tempat penyimpanan material, kanal, darmaga, jalan hutan, jalan rel, jalan umum, gudang/pabrik dan pelabuhan laut. Pembangunan infrastruktur yang dapat menggunakan konsep pembukaan wilayah hutan dengan moda transportasi air meliputi kanal primer, kanal sekonder, dan jalan sarad.

Page 71: Policy Brief - Dewan Guru Besar

60

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Dasar rancangan infrastruktur adalah pilihan sistem logistik yang bermula dari sistem silvikultur (tebang pilih), tenaga yang digunakan (manual, semi mekanis, mekanis) atau berdasar sortimen (sepanjang batang pohon, batang panjang, batang sedang, batang pendek, atau serat sagu). Prasarana harus sesuai dengan perencanaan pemanenan sagu yang menunjang penebangan, penyaradan, dan pengangkutan pohon sagu. Setiap pilihan akan menggunakan peralatan yang berbeda, misal sistem manual (gergaji tangan, kampak, parang), semi mekanisme (chainshaw), dan mekanis (feller buncher/harvester). Demikian juga dengan sistem penyaradan sagu akan membedakan kebutuhan infrastruktur yaitu sistem pemikulan, gletrek/digulingkan, kereta dorong, dengan hewan, kuda-kuda, kanal, mono cable winch system, atau kabel. Pilihan angkutan disesuaikan dengan keadaan topografi dan hidrologi kawasan yaitu pengangkutan lewat air (tongkang ditarik kapal tunda, ponton ditarik oleh kapal tunda, rakit ditarik kapal tunda, kapal motor kayu dan kapal besi), pengangkutan lewat darat (jalan rel menggunakan loko dan lori), dan pengangkutan lewat darat dengan jalan tanah (truk).

Program Pendayagunaan Sagu dan Kebijakan Pembangunan InfrastrukturPembangunan infrastruktur sagu dapat dikaitkan dengan program prioritas nasional yaitu peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan. Program ini telah dijabarkan menjadi (i) peningkatan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan, (ii) peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian dan pangan berkelanjutan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kebutuhan pokok, (iii) peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumberdaya manusia (SDM) pertanian dan kepastian pasar, (iv) peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumberdaya pertanian dan digitalisasi pertanian, dan (v) peningkatan tata kelola sistem pangan nasional. Turunan dari program ini adalah pengembangan pangan lokal dan diversifikasi bahan pangan di tingkat masyarakat di mana sagu menjadi salah satu komoditas penting.

Perspektif pembangunan berorientasi pada pengembangan pangan lokal sebagai bagian dari sistem pangan nasional berkelanjutan. Infrastruktur dapat dibangun untuk mendukung pertanian presisi, pertanian skala besar terintegrasi, penguatan pangan pokok (beras) dengan pangan lokal sehingga memungkinkan program fortifikasi dan biofortifikasi pangan. Keberagaman pangan untuk meningkatkan kualitas konsumsi meliputi pangan segar, bergizi, dan aman meliputi pangan hewani, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan. Lebih jauh, infrastruktur juga dibutuhkan untuk mengelola cadangan pangan pemerintah dan masyarakat yang terintegrasi dalam data pangan elektronik. Penguatan sarana untuk penerapan asuransi pertanian dan manajemen risiko.

Basis pembangunan sistem pangan nasional adalah lingkungan strategis global, nasional dan lokal yang memiliki lima pilar yaitu: (i) produksi domestik berkelanjutan menjamin ketersediaan untuk mencukupi kebutuhan/permintaan pangan, berkualitas dan aman, (ii) lingkungan kondusif pengembangan industrialisasi pangan lokal, (iii) stabilitas akses pangan, (iv) penguatan korporasi petani dan distribusi pangan, dan (v) bantuan pangan untuk rumah tangga rawan pangan. Lingkungan kondusif dengan

Page 72: Policy Brief - Dewan Guru Besar

61

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

semua dimensinya dilaksanakan melalui program penguatan stimulus pangan, bantuan/subsidi untuk industri dan masyarakat daya beli rendah, jaminan tata niaga pangan (perdagangan, standar, regulasi), dan memperkuat penyimpanan, pengolahan, dan manufaktur.

Stabilitas akses pangan diupayakan dengan (i) meningkatkan keuntungan petani (terutama) dan keberlanjutan produksi pangan, dan (ii) pengendalian inflasi pangan, promosi, labelling, pengemasan, keamanan pangan, informasi pangan. Penguatan korporasi petani dan distribusi pangan melibatkan program: (i) pola pangan harapan (ii) pangan segar kaya gizi dan aman, (iii) pangan fortifikasi: garam, minyak goreng dan beras, (iv) memperkuat sistem pasar: grosir dan retail, (v) korporasi petani/nelayan, (vi) rantai pasok online, (vii) penguatan logistik pangan, (viii) bantuan distribusi pangan antar moda di wilayah basis produksi dan akses pasar konsumen, dan (ix) food estate. Bantuan Pangan untuk Rumah Rangga Rawan Pangan bertujuan: (i) untuk menjamin ketahanan pangan: ketersediaan, akses, utilisasi/konsumsi, dan stabilitas, (ii) memperkuat daya beli dan preferensi konsumen, dan (iii) menyediakan kegiatan padat karya bagi tenaga kerja pertanian untuk meningkatkan pendapatan petani.

Dalam perspektif kebijakan pengembangan tanaman sagu dilakukan melalui kegiatan penataan dan perluasan sagu, penanganan pascapanen, pengolahan, serta penguatan kelembagaan petani berbasis korporasi. Hal ini bermakna bahwa pembangunan infrastruktur untuk mendukung kegiatan terintegrasi hulu-hilir dengan tujuan untuk peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan petani sagu. Dengan demikian dukungan infrastruktur juga meliputi hulu hilir mulai dari akses menuju sentra produksi, jalan produksi (jalan di dalam kawasan sagu) dan ketersediaan sumber energi (dan air baku). Infrastruktur menghubungkan kegiatan pengadaan dan pengelolaan input (lahan, irigasi dan drainase, pupuk, benih, alat dan mesin pertanian, dan ICT), budidaya dan pengolahan (sistem penyuluhan, alat dan mesin pengolahan, penerapan GAP, jaminan usaha), dan pengelolaan output (logistik, distribusi dan pemasaran, ICT).

Peran serta investasi masyarakat dan badan usaha yang terintegrasi didorong untuk mengatasi ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan pendanaan. Kontribusi investasi publik dan swasta diharapkan terjadi pada proporsi yang harmonis yakni pemerintah (20-25%), BUMN (20-25%), dan swasta (50-60%). Kaidah agglomeration force akan mendorong peningkatan dan pengembangan infrastruktur sekonder dan tersier.

Dukungan Pembangunan Infrastruktur TerpaduPembangunan infrastruktur termasuk dalam agenda prioritas untuk lima tahun ke depan yang meliputi (i) pembangunan sumberdaya manusia, (ii) pembangunan infrastruktur, (ii) penyederhanaan regulasi, (iii) penyederhanaan birokrasi, dan (iv) transformasi ekonomi. Fokus pembangunan infrastruktur dalam agenda tersebut adalah menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke kawasan wisata untuk mendongkrak lapangan kerja baru dan mempercepat peningkatan nilai tambah perekonomian rakyat. Arah kebijakan pembangunan wilayah RPJMN 2020-2024 yang dapat menjadi payung pembangunan infrastruktur adalah: (i) mendorong transformasi perekonomian berbasis komoditas lokal pertanian dan perkebunan (Papua), (ii) pengembangan industri pengolahan hasil perkebunan (Maluku), dan (iii) hilirisasi industri berbasis pertanian (Sulawesi dan Sumatera).

Page 73: Policy Brief - Dewan Guru Besar

62

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Amanat kedaulatan pangan dalam agenda global dalam Sustainable Development Goals (SDGs) berimplikasi terhadap arahan pengembangan infrastruktur. Secara spesifik arahan tersebut fokus pada dukungan peningkatan kapasitas air baku dan pengelolaan sumberdaya air, mendorong seluruh kawasan strategis, dan penyelenggaraan infrastruktur untuk mengurangi disparitas antar wilayah. Arahan ini sesuai dengan sasaran infrastruktur dalam RPJMN 2020 – 2024 antara lain untuk mendukung ketahanan pangan yaitu penyediaan air baku untuk pertanian, pengembangan jaringan irigasi untuk mendukung ketahanan pangan, pertanian non-padi. Program infrastruktur dapat dikaitkan dengan sagu dalam arahan ini karena hampir seluruh wilayah pulau di Indonesia memiliki potensi perkebunan sagu (kecuali Pulau Jawa, Bali, dan NTB-NTT). Dengan demikian fokus infrastruktur dapat dilakukan pada kawasan sagu utama yang meliputi Riau, Papua, Maluku, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Infrastruktur pendukung produksi dan distribusi hasil pengolahan komoditas sagu: jalan akses, air baku, jaringan listrik, pelabuhan, jaringan distribusi/pemasaran sagu perlu perluasan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur, tantangan pembangunan sagu adalah sebagian kawasan sagu berada dalam area hutan lindung di mana tidak boleh terdapat campur tangan manusia. Paradoks antara konservasi dan pemanfaatan menimbulkan kesulitan dalam memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan dan/atau wilayah adat (hak ulayat). Peralatan pengolahan yang digunakan petani sagu masih sangat sederhana sehingga nilai tambah peningkatan hasil pengolahan komoditas sagu memerlukan infrastruktur. Secara khusus, belum ada rencana dan alokasi anggaran yang memadai untuk pembangunan menuju dan dalam kawasan sagu secara menyeluruh.

Untuk optimalisasi manfaat maka diperlukan rencana pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah secara terpadu mencakup teknis, pendanaan, sosial, lingkungan hidup dan kelembagaan. Penyusunan rencana dimulai dari analisis kondisi/potensi wilayah (rona awal), kebijakan pembangunan daerah, kebijakan kementerian (PUPR), kebijakan nasional, kebijakan internasional, kebijakan kementerian/lembaga lain, dan potensi pendanaan (APBN, APBD provinsi, kabupaten/kota), BUMN, dan Swasta. Pembangunan infrastruktur berbasis wilayah prioritas dapat meningkatkan dampak sinergis melalui sinkronisasi program antar-infrastruktur (fungsi, lokasi, waktu, besaran, dan dana).

Pembangunan terpadu kawasan sagu melibatkan banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sehingga diperlukan kordinasi dan sinkronisasi. Sebagai contoh, Kementerian Pertanian dan jajarannya berwenang dalam budidaya tanaman sagu (penyediaan bibit unggul, penataan tanaman sagu, penyediaan kanal/jaringan air sekunder dan tersier, untuk penyediaan air dan penanganan kebakaran hutan), Kementerian PUPR berwenang dalam penyediaan air baku (waduk/bendungan/embung, jaringan irigasi primer, penyediaan akses jalan pabrik sagu, dan Kemenhub berwenang untuk Pembangunan Dermaga.

Perbedaan kewenangan tersebut mengakibatkan pembangunan kawasan sering tidak terpadu di tingkat lapangan. Kementerian PUPR secara parsial telah melakukan beberapa pembangunan dan atau penguatan infrastruktur kawasan sagu. Misalnya, Pembangunan Air Baku Moswaren di Kab. Sorong Selatan (2020), Revitalisasi Danau Ayamaru Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat (2020), Pembangunan Jalan Kais-Pabrik Sagu (2015) 4 Km, Pembangunan Jalan Kais - Pabrik Sagu II (2015)

Page 74: Policy Brief - Dewan Guru Besar

63

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

3 Km, Pembangunan Jembatan Kais (Dari Arah Seranggo) (2017) 60 meter, Pembangunan Jembatan Kais (Tahap 2) (Atori-Haimaran-Teminabuan) (2018) 38 meter, Pembangunan Jembatan Sungai Kais (Tahap III/Tuntas) (2019) 38 meter, Pembangunan Jalan Atori Haimaran Teminabuan (Perusahaan Sagu) (2016) 6 Km, Rekonstruksi Jalan Muswaren - Pabrik Sagu (2019) 8,5 Km, dll. Namun demikian, karena sifatnya parsial maka kemanfaatannya masih terbatas.

Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Berbasis KawasanSumberdaya alam dapat menjadi ‘berkah’ atau ‘kutukan’ bagi pembangunan. Pemanfaatan yang baik akan menjadi berkah yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja, nilai tambah, dan pertumbuhan ekonomi regional (Ville dan Wicken 2013). Sebaliknya, sumberdaya dapat menjadi penyebab komplik antara para pihak yang berkompetisi atau pemanfaatan yang merusak lingkungan, pencemaran serta kerusakan siklus hara, air dan karbon (Daniele 2011). Sumberdaya tersebut, termasuk sagu, adalah potensi yang bersifat statik, pasif, diam dan tersedia dengan karakteristik tertentu yang berbeda dari satu kasus ke kasus yang lainnya. Dengan sifat tersebut, maka sumberdaya alam tidak memiliki manfaat atau nilai ekonomi sebelum dimanfaatkan secara bijak. Oleh karena itu sumberdaya menjadi faktor penarik, bukan kemutlakan. Namun demikian, semua sumberdaya alam adalah bagian dari ekosistem dan mempunyai peran ekologis dalam siklus karbon, air, nitrogen, dan nutrien lainnya termasuk pertukaran energi. Manfaat ini disebut dengan jasa lingkungan yang juga akan lebih optimal jika dikelola dengan baik.

Kemanfaatan sumberdaya alam akan bernilai jika dapat memenuhi pasar yang bersifat dinamis, aktif dan kompetitif, mobile, konsumsi dan kebutuhan yang membentuk kriteria. Permintaan adalah faktor pendorong yang mengharuskan masyarakat (sosial) dan ekonomi berinovasi untuk menyediakannya. Sumberdaya tidak selalu berkesesuaian dengan pasar dan tidak selalu siap dipasarkan. Banyak faktor menjadi penentu untuk mengonversi sumberdaya (karakteristik) untuk memenuhi permintaan pasar (kriteria). Faktor pengubah (enabling factors) penting untuk sagu adalah infrastruktur karena karakteristiknya berada di daerah terisolasi dengan akses yang sangat terbatas.

Investasi infrastruktur melibatkan banyak pihak, dana yang besar dan waktu yang relatif lama. Jenis infrastruktur pokok yang diperlukan adalah jalan akses, jalan dalam kawasan, kanal, pelabuhan dan sarana logistik. Para pihak mempunyai kepentingan dan seharusnya juga memikul tanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan sagu melalui investasi infrastruktur dasar (pemerintah pusat/daerah), infrastruktur dalam kawasan (swasta), dan infrastruktur logistik (BUMN). Sinergi investasi akan membangkitkan kemanfaatan ekonomi, sosial dan pertumbuhan regional akibat dari agglomeration forces.

Banyak pihak yang berkepentingan dan berkewajiban dalam pembangunan kawasan baik pemerintah (kementerian, pemerintah daerah), swasta, BUMN dan masyarakat luas. Kegiatan para pihak harus disinergikan melalui rencana pembangunan kawasan yang rinci sehingga kegiatan pembangunan terkoordinasi dan terkendali untuk mencapai tujuan yang sama. Rencana tersebut dapat berupa

Page 75: Policy Brief - Dewan Guru Besar

64

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Rencana Induk (Master Plan), Rancangan Induk (Grand Design) atau Rencana Aksi (Action Plan). Dalam rencana tersebut sudah memuat luas kawasan, rancangan infrastruktur, tahapan pembangunan, waktu (jadwal) pelaksanaan, dan pengawasan. Rancangan ini harus menjadi acuan semua pihak sehingga harus disiapkan oleh instansi yang dominan di bidang infrastruktur seperti Kementerian PUPR atau instansi dominan dalam kebijakan (Bappenas, Bappeda), atau Kementerian teknis yang paling banyak kegiatannya (Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian).

RekomendasiPemerintah (Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, dll) telah memiliki cara pandang yang sama terhadap penguatan ketahanan pangan menuju kedaulatan dan kemandirian pangan melalui diversifikasi. Pemahaman yang sama terhadap kemungkinan krisis pangan di masa depan akibat perubahan iklimpun telah diketahui. Sagu adalah potensi besar yang dimiliki untuk memenuhi harapan tersebut. Banyak kementerian telah melakukan banyak program pengembangan sagu secara parsial sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Namun demikian hasil yang diperoleh belum optimal akibat dari volume dan cakupan kegiatan yang masih terbatas dan tidak terintegrasi. Untuk mempercepat dan meningkatkan nilai guna program pembangunan, maka perlu dilakukan:

Pemerintah perlu membuat rencana pengembangan sagu berbasis wilayah spesifik lokasi dalam 1. bentuk Grand Design (Rancangan Induk) yang kemudian dirinci menjadi Rencana Aksi yang didukung dengan rancangan rinci (detail design).

Untuk memastikan bahwa luas dan populasi sagu setiap kawasan spesifik lokasi perlu dilakukan 2. pemetaan ulang wilayah dengan luasan yang memadai sehingga dapat menjadi satu kesatuan perencanaan yang memenuhi syarat teknis, ekonomis, geografis dan ekologis.

Perancangan zonasi kawasan menggunakan karakteristik lahan (tanah), topografi, vegetasi, geologi, 3. hidrologi, dan sosial untuk memenuhi kebutuhan ruang kebun, produksi dan infrastruktur sehingga rencana yang dibuat dapat menjadi acuan yang kuat bagi para pihak yang terlibat.

Pada tahap awal perencanaan perlu dihitung dan ditetapkan kapasitas industri pengolahan dan 4. pergerakan bahan sebagai basis perhitungan kebutuhan prasarana, sarana transportasi dan logistik serta perancangan jaringan jalan dan sarana angkut lainnya.

Perhitungan kebutuhan investasi publik, BUMN/swasta dan masyarakat dapat dibuat sebagai 5. panduan pembiayaan pembangunan kawasan.

PenutupPemanfaatan sumberdaya alam yang melimpah menjadi produk yang berguna memerlukan upaya yang memungkinkan terjadi transformasi menjadi produk yang diminta dan diterima pasar. Upaya paling mendasar adalah membangun infrastruktur dasar (jalan akses, transportasi, pelabuhan dan logistik) menuju dan dalam kawasan. Infrastruktur tersebut adalah enabling factor untuk menggerakkan kegiatan produksi, pengolahan dan distribusi untuk mentransformasikan karakteristik sumberdaya

Page 76: Policy Brief - Dewan Guru Besar

65

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

menjadi kriteria produk yang diterima oleh pasar. Kementerian terkait harus mengambil peran aktif dalam menyusun rencana kawasan sebagai acuan pembangunan yang dilaksanakan oleh masing-masing kementerian dan instansi pemerintah daerah yang terlibat. Hanya ada satu rencana untuk setiap kawasan, one plan many activities.

Daftar PustakaCohen JP, Paul JM. 2004. Public infrastructure investment, interstate spatial spillovers, and

manufacturing costs. The Review of Economics and Statistics May 86(2), 551–560.

Daniele V. 2011. Natural resources and the ‘quality’ of economic development. Journal of Development Studies 47(4), 545–573.

Deng T. 2013. Impacts of transport infrastructure on productivity and economic growth: recent advances and research challenges. Transport Reviews 33(6), 686–699.

http://dx.doi.org/10.1080/01441647.2013.851745

Matsumura T, Yamagishi A. 2019. A Negative effect of cost-reducing public investment: The role of firms’ entry. Economic Record 95(308), 81–89.

Stoenoiu C-E, Cristea C. 2018. Comparative analysis for estimating production costs. MATEC Web of Conferences 184, 04004.

Stupak JM. 2018. Economic Impact of Infrastructure Investment. CRS Report. Congressional Research Service, www.crs.gov R44896

Udjianto DW, Susanto J, Purwiyanta. 2018. Infrastructure and Labour Productivity Convergence in Gunungkidul Region. JEJAK 11(2), 356-374.

Ville S, Wicken O. 2013. The dynamics of resource-based economic development: evidence from Australia and Norway. Faculty of Business - Papers (Archive). 226. https://ro.uow.edu.au/buspapers/226.

Wu Q, Guan X, Zhang J, Xu Y. 2019. The Role of Rural Infrastructure in Reducing Production Costs and Promoting Resource-Conserving Agriculture. Int. J. Environ. Res. Public Health 16,3493; doi:10.3390/ijerph16183493

Page 77: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 78: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 6

PERTANIAN SAGU TERPADU BERKELANJUTAN

Pokok PikiranSagu adalah tanaman endemik Indonesia yang sudah menjadi pangan pokok sebagian penduduk 1. Indonesia dan potensial menjadi pangan pokok seluruh penduduk serta menjadi bahan baku produk berbasis pati. Potensi besar tersebut belum dimanfaatkan dengan baik.

Sebagian (besar) kawasan sagu berada di area hutan lindung maka terjadi paradoks antara 2. pemanfaatan dan konservasi. Kaidah conservation-based harvestingperlu dikembangkan sehingga pemanfaatan dapat optimal dalam batas-batas daya dukung kawasan sagu melalui pengelolaan pemanfaatan secara lestari hutan lindung sagu.

Siklus hidup tanaman sagu sampai panen relatif panjang (9–11 tahun) sehingga eksploitasi 3. tidak terkendali dapat menyebabkan pengurasan berlebih hingga kepunahan. Menyelaraskan pemanenan dengan pertumbuhan dan siklus hidup perlu dikaji untuk merencanakan pemanenan yang berkesinambungan.

Rancangan pemanfaatan kawasan (hutan) sagu mengikuti prinsip berkelanjutan (4. sustainable yield principles) mengacu pada perencanaan pemanenan sagu berdasarkan unit-unit blok “kelestarian” didukung dengan pengembangan pascapanen dan pengolahan yang ramah lingkungan.

Pengembangan kebun sagu dilakukan secara terpadu mulai dari pembibitan, penanaman, 5. pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan dan pengolahan dengan pendekatan minimum input dan output berganda. Dalam kebun tidak terjadi pengrusakan lingkungan dan di industri tidak terjadi pencemaran.

RingkasanSagu adalah sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tetapi eksploitasi yang berlebihan melampaui produktivitasnya akan menyebabkan kepunahan. Pertanian sagu terpadu dimaksudkan adalah praktik pemanenan selektif (tebang pilih) sagu yang sudah ada disertai dengan pengembangan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan yang baik. Tingkat pemanfaatan (eksploitasi) dibatasi oleh siklus hidup sagu dan kemampuan melakukan penanaman kembali sehingga produksi berkelanjutan terjadi pada tingkat yang rasional. Pemanenan berdasarkan daur hidup hendaknya diterapkan dengan cermat, misalnya melalui tebang pilih satu dan tanam 10 sagu, sehingga pemanfaatan sagu dalam hutan lindung dapat dilakukan secara lestari dengan bijak dan optimal. Penetapan status hukum pemanfaatan sagu dalam kawasan hutan lindung harus segera dilakukan agar pemanfaatan berkelanjutan dapat diterapkan dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Page 79: Policy Brief - Dewan Guru Besar

68

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PendahuluanKekhawatiran tentang keberlanjutan dalam sistem pertanian berpusat pada kebutuhan untuk mengembangkan teknologi dan praktik yang tidak berdampak buruk pada komponen dan jasa lingkungan, dapat diakses oleh dan efektif bagi petani, dan mengarah pada peningkatan produktivitas pangan. Kunci utama berkelanjutan adalah (Pretty 2008):

mengintegrasikan proses biologis dan ekologi seperti siklus hara, fiksasi nitrogen, regenerasi tanah, a. alelopati (pertukaran biomassa antar organisme), persaingan, predasi dan parasitisme ke dalam proses produksi pangan,

meminimalkan penggunaan input tak terbarukan yang merugikan lingkungan atau kesehatan b. petani dan konsumen,

memanfaatkan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan petani sagu lokal secara produktif c. dalam meningkatkan kemandirian untuk menggunakan modal manusia secara bijak menggantikan input eksternal yang mahal, dan

memanfaatkan kapasitas kolektif untuk bekerja sama produktif untuk memecahkan masalah d. umum pertanian dan sumberdaya alam, seperti hama, daerah aliran sungai, irigasi, hutan dan pengelolaan kredit.

Secara filosofis, teoritis dan praktis, semua sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk menopang kehidupan manusia. Permasalahan sering timbul akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran yang tidak terkendali. Di satu sisi terjadi penggerusan sumberdaya menimbulkan pemiskinan (depleted), di sisi yang lain terjadi pengrusakan lingkungan yang menyebabkan penurunan produktivitas akibat perubahan kondisi tumbuh dan gangguan hama yang tidak terkendali. Boyden (1992) mengajukan indikator pengukur tingkat keberlanjutan secara umum yakni jika laju pengikatan karbondioksida (CO2) melalui proses fotosistesis sangat dekat dengan laju penguraian yang melepasnya ke udara. Miyazaki (2007) menghitung laju fotosisntesis sagu adalah 25-27 mg CO2 dm-2 h-1 (setelah pertumbuhan batang) yang bervariasi sesuai dengan tahap pertumbuhan. Nilai ini hendaknya menjadi batas penggunaan proses pembakaran (oksidasi) yang terjadi mulai dalam kegiatan panen hingga distribusi tepung sagu.

Pembudidayaan yang baik dapat menekan dampak lingkungan akibat emisi yang berlebihan. Sagu adalah tanaman ramah lingkungan hanya menghasilkan emisi 214.75 ± 23.49 kg CO2 eq. per ton pati kering per hektare per tahun, lebih kecil dari pada padi (322.03 ± 7.57 kg CO2 eq) dan sawit (406.88 ± 97.09 kg CO2 eq) (Wulan et al. 2015). Dari perspektif pemanasan global, budidaya (memanfaatkan) sagu jauh lebih baik dari pada menanam padi terutama mengkonversi lahan gambut (rawa) menjadi sawah dibandingkan menanam sagu. Membandingkan waktu panen saja tidaklah memadai, perbandingan yang lebih rasional adalah produktivitas karbohidrat, khususnya pati. Bantacut (2014) menghitung dari produktivitas karbohidrat dan kalori, maka luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi pangan penduduk Indonesia tahun 2030 (270 juta orang) untuk sagu adalah 1,584,000 ha berbanding 5,805,000 ha jika jumlah karbohidrat yang sama diperoleh dari padi (asumsi dua kali panen/tahun), jadi sekitar 1 banding 4.

Page 80: Policy Brief - Dewan Guru Besar

69

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Begitupun pada tahap pengolahan, proses produksi tepung sagu secara tradisonal membangkitkan CO2 (17.9 kg CO2eq) yang lebih kecil dari pada pati jagung (2,700 kg CO2eq), pati kentang (2,402 kg CO2eq), dan tapioka (4,310 kg CO2eq) untuk setiap satu ton pati (Yusuf et al. 2014). Penerapan daur ulang dan pemanfaatan hasil samping dapat mengurangi secara signifikan pembentukan CO2. Dengan demikian, pengembangan industri sagu yang berkelanjutan sesuai dengan indikator Boyden (1992) sangat mungkin dilakukan.

Ukuran keberlanjutan adalah produktivitas yang optimal dengan input rendah dan luasan kecil, sehingga pembentukan emisi, kerusakan vegetasi, pencemaran lingkungan serta siklus air, nutrien dan karbon tidak terganggu. Penelitian lapangan di masyarakat dataran tinggi di Seram menemukan bahwa: (1) produktivitas lahan dusun sagu dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dengan sawah dataran tinggi di seluruh Asia Tenggara, (2) sagu paling makanan pokok penting dalam hal asupan energi dan sangat dihargai oleh masyarakat lokal, dan (3) budidaya ladang berpindah ini sangat kecil dibandingkan dengan sawah dataran tinggi di seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Jenis perladangan berpindah skala kecil ini memberikan tekanan yang relatif kecil terhadap pembukaan hutan sehingga budidaya vegetasi (vegeculture) berbasis sagu, sampai taraf tertentu, berkontribusi untuk mendukung kekayaan hutan alam yang didominasi lanskap pedesaan (Sasaoka et al. 2014).

Fungsi tradisional hutan sagu juga menjadi bagian penting sebagai dimensi keberlanjutan. Masyarakat (lokal) telah menggunakan hutan sagu sebagai bagian dari kehidupan mereka, baik sebagai sumber pangan, upacara adat maupun kegunaan lainnya. Oleh karena itu, memadukan konservasi, mata pencaharian, nilai sosial-budaya serta dengan nilai yang dibangun oleh masyarakat lokal dalam mengambil manfaat hutan perlu diperhatikan. Hutan primer sangat dihargai sebagai sumber bahan bangunan, ornamen dan ritual, dan sebagai tempat berburu. Masyarakat memiliki aturan untuk mengontrol akses ke area dan sumber daya tertentu, termasuk membuat tabu atau sasi sebagai pembatas akses ke tempat-tempat yang disakralkan. Pembangunan kebun sagu berkelanjutan dapat memasukkan nilai-nilai tersebut dalam perencanaan dan pengelolaan sehingga tetap produktif tanpa mengurangi nilai sosial hutan sagu (Heist et al. 2015).

Upacara Religius

Suku Asmat di Papua

“Pohon Sagu” sebagai Pohon Kehidupan

Masyarakat yang banyak disebut orang “primitif ” ternyata mereka sangat menyadari akan dosa-dosa

kepada alam, dan ini menandakan mereka termasuk manusia yang beradab (Sharp, 1994)

Page 81: Policy Brief - Dewan Guru Besar

70

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Budidaya SaguSagu adalah tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif yaitu sekitar 200-400 kg pati kering per pohon atau setara dengan 20-40 ton tepung sagu/ha/tahun (Bintoro 2011). Pati sagu memiliki sifat yang baik seperti glatinisasi dan resistensi (Okazaki 2018). Potensi yang sangat besar ini belum dimanfaatkan dengan baik. Jika digunakan untuk pangan pokok maka setiap satu juta hektare hutan sagu akan mampu menghidupi miliaran manusia penghuni planet bumi (Okazaki dan Kimura 2015). Pemanfaatan mencakup pemanenan yang sudah ada diikuti dengan penanaman kembali dan penataan kebun secara terpadu dengan pengolahan.

Sagu adalah tanaman tropis, dapat tumbuh dengan baik di bentang khatulistiwa (10o LU - 10o LS) dengan curah hujan tinggi (2,000-4,000 mm/tahun) terutama Indonesia. Penyinaran matahari minimum 5-6 jam per hari, kelembapan (RH) tinggi (80-90%), dan suhu sedang (25-29oC). Pohon sagu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah: (1) tanah yang belum berkembang, seperti sulfaquents (tanah sulfida), hidraquents (tergenang air), tropaquents (iklim tropis), fluvaquents (alluvial), dan psammaquents (tanah berpasir), dan (2 ) dikembangkan tanah, seperti tropaquept, troposaprists dari lahan gambut, tropohemist dan sulfihemist (tanah sulfat dan pH rendah), dan fluvaquents thaptohistic. Kondisi iklim dan lahan seperti itu tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Total luas kawasan yang sudah dipetakan sekitar 5.5 juta hektare (Bintoro et al. 2018) dan lahan yang sesuai untuk ditanamani perlu diidentifikasi. Namun demikian, pemanfaatan kawasan yang sudah ada saja memiliki potensi yang sangat besar.

Varitas sagu sangat beragam sebagaimana digambarkan oleh banyaknya aksesi yaitu Papua (60 aksesi), Papua Barat (20 aksesi), Maluku (5 aksesi), Sulawesi Utara (2 aksesi), Sulawesi Tenggara (3 aksesi), Sulawesi Selatan (2 aksesi), dan Riau (3 aksesi). Banyak kajian yang menunjukkan kekayaan sagu Indonesia di antaranya 18 jenis sagu (Miftahorahman dan Novarianto 2003), 60 jenis (Widjono et al. 2000), 43 jenis sagu yang berduri dan 17 jenis sagu tidak berduri berdasarkan hasil identifikasi BPTP Papua (Bintoro 2008), 12 aksesi di Distrik Saifi, Sorong Selatan (Dewi 2015), 21 jenis sagu lokal dengan 9 sagu tidak berduri dan 12 sagu berduri di sekitar Danau Sentani, baru 15 jenis sagu yang teridentifikasi (Yamamoto 2018). Keragaman adalah salah satu penguat keberlanjutan.

Identifikasi varitas (aksesi) sudah memadai untuk budidaya dan pengembangan lebih lanjut. Teknologi pembenihan menggunakan rakit dan polybag sudah berkembang dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan pada usia muda melalui pengendalian gulma di sekitar pohon. Penyakit dan hama sagu relatif beragam perlu pengendalian terencana dan ramah lingkungan. Rancangan kebun dan kawasan harus memperhatikan gangguan hama (kera, babi hutan) dan pengendalian atau pembatasan penyebaran penyakit.

Fase pertumbuhan sagu relatif panjang hingga dapat dipanen yang terdiri dari (i) rosette stage (45 bulan), (ii) bole formation stage (fase pembentukan batang) (54 bulan), (iii) inflorescence stage (fase pembentukan bunga) 12 bulan, dan fruit ripening stage (fase pemasakan buah) 24 bulan (Schuiling dan Flach 1985). Kandungan pati meningkat dari plawei (pertumbuhan vegetatif dewasa) ke tahap angau muda (berbunga), dan menurun dari angau tua (berbuah) ke tahap angau tua lanjut. Total pati

Page 82: Policy Brief - Dewan Guru Besar

71

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

dan polisakarida tidak larut non-pati menurun dari dewasa menjadi angau muda dan angau tua, dan meningkat dengan bertambahnya usia angau tua tahap lanjut (Lang et al. 2006). Oleh karena itu, pemanenan harus dilakukan pada tahap kandungan pati optimal mulai umur 99 bulan sampai tahap sebelum berbuah. Pemanenan lebih cepat atau lebih lambat menurunkan produktivitas pati. Metode panen adalah tebang pilih, dipanen hanya yang memenuhi tingkat kematangan optimal.

Peluang dan Tantangan Pengusahaan Hutan Sagu BerkelanjutanPerubahan mendasar dalam pengusahaan hutan adalah bergeser dari manajemen kayu (timber management) menjadi manajemen hutan (forest management). Pergeseran ini mengharuskan penggunaan (pemungutan) hasil hutan baik non-kayu dan (terutama) kayu dilakukan dengan mengikuti kaidah keberlanjutan secara ketat. Pengusahaan hutan dipandang sebagai multiusaha melalui peningkatan nilai tambah multi produk kehutanan, ketahahanan pangan, pengembangan energi terbarukan, pengembangan ekowisata, pemenuhuhan NDC Kehutanan dan penyelesaian masalah sosial (Perdirjen PHPL No. 1 Tahun 2020). Dengan demikian, keberadaan sektor kehutanan menjadi lebih kuat karena tidak hanya berorientasi pada eksploitasi, tetapi juga jasa lingkungan dan sosial.

Potensi sagu yang sangat besar sudah dipahami oleh pengusaha di sektor ini, tetapi belum sepenuhnya melakukan usaha secara intensif langsung. Sampai saat ini, baru ada enam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) yang mengelola sagu dengan produksi yang masih sangat terbatas yakni 726 ton/tahun. Pada tahuan 2015-2019 rata-rata produksi tepung sagu hanya sekitar 10,000 ton per tahun yang dihasilkan dari Riau, Papua dan Papua Barat. Pengusaha masih menghadapi banyak kendala seperti kondisi lokasi yang berada pada lahan berair/berlumpur sehingga akses terbatas, pemanfaatan secara alami belum disertai dengan permudaan alam sagu, pasokan bahan baku masih terbatas untuk pengolahan skala besar (komersial), dan pembentukan nilai tambah masih rendah.

Semua tahapan pengembangan kebun harus diperhatikan dan menjadi fungsi biaya mulai dari persiapan dan pembibitan sampai penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit, pemanenan dan pengolahan. Dari perspektif usaha, produktivitas harus dipertahankan pada kisaran 31-62 ton pati kering per hektare per tahun. Parameter ini menjadi acuan dalam memanfaatkan hutan (kawasan) sagu, perkebunan sagu serta respons kandungan karbohdrat tinggi terhadap perubahan iklim. Perspektif darurat pangan dapat menjadi penguat peningkatan investasi publik untuk menekan biaya operasional perusahaan (perkebunan dan pengolahan) dalam mencapai rendemen tersebut.

Banyak kendala yang dihadapi oleh pengusaha untuk berivestasi dengan skala ekonomis pada perkebunan dan pengolahan sagu, yang berpunca pada: (i) sagu belum ditetapkan sebagai komoditas prioritas, banyak keterbatasan tugas pokok dan fungsi kementerian dan lembaga untuk menangani sagu, (ii) belum jelas dan pasti penanggung jawab komoditas sagu di lapangan antara Kementerian Pertanian atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (iii) harga yang belum kompetitif (harus diolah menjadi produk turunan untuk peroleh nilai tambah), (iv) terbatasnya pasar sagu dan produk olahannya, (v) infrastruktur yang belum memadai seperti jalan, listrik, pelabuhan dll untuk

Page 83: Policy Brief - Dewan Guru Besar

72

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

mengakses tegakan sagu, terutama di Indonesia Timur, (vi) adanya faktor lokasi terisolasi (remote) dan faktor variasi kualitas bahan baku, (vii) regulasi bagi investor yang tidak menggairahkan (pajak berdasarkan total batang sagu bukan berdasar pada pati/tepung sagu, saat panen harus minta izin, dll), (viii) teknologi masih sederhana, (ix) waktu panen sagu yang cukup lama, teknik budidaya sagu yang belum intensif, dan pengelolaan kebun belum maksimal, dan (x) jenis-jenis sagu unggul belum teridentifikasi secara menyeluruh dan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal serta berkelanjutan.

Pembangunan sagu diawali dari strategi pemerintah yang kondusif untuk mendorong dan mempercepat pengembangan industri. Strategi yang diperlukan antara lain adalah (i) Pemerintah memasukkan sagu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk mengisi porsi pangan lokal, (ii) Peran Aktif Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mensosialisasikan nilai keekonomian sagu, (iii) dukungan infrastruktur yang memadai, (iv) kemitraan antara masyarakat petani dan pengusaha, (v) integrasi hulu dan hilir termasuk dengan industri pangan, (vi) dukungan Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dalam inovasi produk dan pengembangan teknologi sagu pada skala industri, dan (vii) pengembangan budi daya sagu dengan varietas unggul.

Usaha Pemanfaatan HHBK Sagu pada Hutan Produksi dan LindungSagu secara alami tumbuh pada daerah rawa, pengusahaannya perlu mempertahankan kondisi hidrologis tempat tumbuhnya. Rancangan dan bangunan infrastruktur juga disesuaikan dengan kondisi lahan/kawasan yakni rawa bertanah mineral, rawa dangkal atau rawa dalam. Pembuatan kanal atau jalan darat tidak boleh mengganggu sistem hidrologis sebagai syarat tumbuh. Rawa lahan gambut, memperhatikan kedalaman yaitu kurang dari 3 meter dapat menjadi areal budidaya, lebih dari 3 meter menjadi kawasan lindung, jumlah batang yang dipanen dalam satu rumpun sesuai dengan “masak tebang” berdasarkan siklus tumbuh sehingga ketersediaan bahan baku berkelanjutan.

Perundang-undangan menetapkan bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa lingkungan, Pemanfaatan HHK (hasil hutan kayu) dan HHBK (hasil hutan bukan kayu), serta pemungutan HHK dan HHBK. Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian Izin Usaha(IU) (UU 41/1999 tentang Kehutanan). Beberapa HHBK antara lain adalah rotan, sagu, nipah, dan bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil (PP. 6/2007 Jo. PP.3/2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan).

Skema pemanfaatan sagu di hutan produksi areal belum dibebani izin dapat melalui Izin Usaha Pemanfaatan HHBK (IUPHHBK) (psl. 5). Areal Sudah Dibebani Izin (IUPHHK/Hak Kelola Lainnya), melalui Revisi RKU (psl.5), pelaksanaan Model Multiusaha (psl. 2). Areal HP di wilayah KPH yang berpotensi menghasilkan HHBK dapat dimanfaatkan dengan skema kerja sama (Permen LHK No. P.77/2019 IUPHHBK Pada HP dan IPHHBK Pada Hutan Negara). Sampai saat ini, Unit Izin Usaha Pemanfaatan HHBK (IUPHHBK) mencapai 288,053 ha. Artinya, pemanfaatan hutan sagu masih sangat terbatas, dengan total produksi tertinggi 23,357 ton pada tahun 2015, sekarang sekitar 6,000 ton.

Page 84: Policy Brief - Dewan Guru Besar

73

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Dari perspektif pemerintah, pengusahaan sagu masih dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan (kendala), antara lain: (i) inventarisasi potensi dan sebaran sagu belum seluruhnya dilakukan, (ii) pemanfaatan sagu sebagian besar masih tergantung pada tegakan alam menjadi pembatas pasokan jangka panjang, (iii) pemanfaatan sagu melalui kegiatan budidaya masih terbatas skalanya, investasi cukup besar dengan umur panen 9 - 11 tahun, (iv) pemanfaatan sagu sebagian besar oleh masyarakat, (v) pengelolaan skala tradisional, (vi) belum banyak dikembangkan dalam skala komersial, (vii) pemasaran lewat perantara, (viii) margin masyarakat rendah, (ix) perencanaan industrialisasi sagu yang belum didukung baseline data yang valid, (x) produk olahan belum banyak diversifikasi, (xi) nilai tambah kurang dan harga produk rendah, (xii) dukungan institusi/lembaga terkait dan teknologi pascapanen belum memadai, dan (xiii) keterbatasan akses pendanaan.

Strategi yang sebaiknya ditempuh adalah (i) melakukan pengkajian dan inventarisasi potensi sagu di daerah sebagai alternatif sumber pangan, energi, dan bahan baku industri, (ii) integrasi hulu–hilir pemanfaatan sagu, (iii) mendorong kemitraan/kerja sama KPH yang memiliki potensi sagu dengan KPH dalam pemanfaatan HHBK Sagu, (iv) mendorong kemitraan masyarakat dengan perusahaan untuk pasokan bahan baku secara langsung (tanpa perantara), (v) meningkatkan margin pendapatan masyarakat petani, (vi) dukungan pembangunan aksesibilitas dan infrastruktur, (vii) menurunkan biaya investasi/operasional, (vii) penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat untuk mendorong pengelolaan sagu dan inovasi pengolahan produk, (viii) penguatan dan kerja sama Litbang untuk diversifikasi produk turunan sagu, (ix) sinergitas antara Kementerian/Lembaga terkait, (x) pengembangan skema pendanaan (melalui BPDLH atau pinjaman komersial).

Pemerintah memberikan dukungan kebijakan sebagai berikut: (i) percepatan implementasi permen LHK NO. P.77/MENLHK/2019 tentang perizinan IUPH HBK & IPHHBK, (ii) pengembangan HHBK melalui Izin Pemanfaatan HHBK, (iii) percepatan implementasi Permen LHK NO. P.49/MENLHK/2017 tentang kerja sama di KPH, (iii) pengembangan HHBK melalui kemitraan masyarakat dengan KPH, (iv) percepatan implementasi Permen LHK NO. P.62/MENLHK/2019 tentang pembangunan HTI, (v) pengembangan HHBK di areal HTI, (vi) kemudahan pembangunan industri pengolahan HHBK melalui Permen LHK NO. P.1/MENLHK/2019 tentang izin usaha industri primer hasil hutan, (vii) percepatan implementasi Permen LHK NO. P.11/MENLHK/2020 tentang hutan tanaman rakyat, (vii) mendorong perluasan pemanfaatan sagu skala rakyat/masyarakat, dan (ix) percepatan implementasi Perdirjen P1/2020 tentang model penugasan multi usaha kehutanan.

Pembangunan Industri Sagu BerkelanjutanSagu adalah tanaman yang mempunyai siklus hidup, dari tumbuh hingga mati sendiri. Peranakan akan tumbuh secara alami dan membentuk rumpun, hingga terjadi siklus dan terjadi suksesi dalam rumpun tersebut. Siklus hidup ini memberikan petunjuk bahwa pemanenan dapat dilakukan secara berkelanjutan berbasis daur hidup (perlu kawasan yang luas terbentur dengan perlindungan hutan). Pengusahaan hutan sagu harus dilakukan dalam kawasan luas dengan tingkat panen berbasis siklus dapat mempertahankan siklus karbon dan air yang baik. Oleh karena itu, Hutan Produksi Terbatas, jika diatur dengan manajemen produksi berbasis siklus hidup dengan luasan yang memadai dapat menjadi hutan berkelanjutan.

Page 85: Policy Brief - Dewan Guru Besar

74

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Dari perspektif ekologi, emisi yang terbentuk selama penanaman hingga panen bervariasi antar tanaman, sagu adalah yang terkecil. Begitu pun dalam pengolahan, bahkan dapat dikembangkan menjadi proses produksi sistem tertutup. Untuk mewujudkan pertanian dan pengolahan sagu berkelanjutan maka perlu dilakukan pemanenan berbasis siklus hidup sagu, pemanfaatan biomassa secara optimal, penerapan asas daur ulang (nutrien dan energi), penerapan prinsip ekologi industri dengan skala besar, bisnis berorientasi kesejahteraan, pemerataan dan berkelanjutan yang terencana sesuai dengan yang dikehendaki.

Tanaman sagu tidak memerlukan pupuk untuk pertumbuhannya karena dapat mengikat dari lingkungan dengan bantuan bakteri. Dampak negatif dari penggunaan pupuk seperti pencemaran air (nitrat/nitrit) dan eutrofikasi dapat dihindari. Pengendalian hama dapat dilakukan secara alami, hanya pada batas tertentu menggunakan bahan kimia secara terbatas. Dengan teknologi agronomis seperti ini maka sagu dalam hutan lindung dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan melalui pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan.

RekomendasiKesadaran kolektif tentang kemungkinan kelangkaan pangan akibat perubahan iklim perlu disikapi dengan meningkatkan kerja sama para pihak yang terlibat. Industrialisasi sagu sebagai punca kegiatan pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri perlu diperkuat dengan:

Sagu seharusnya ditetapkan sebagai bahan pangan pokok dan komoditas strategis nasional dan 1. bahkan dunia untuk menjadi bagian dari ruang lingkup dan tugas pokok Lembaga Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization).

Pengaturan pemanfaatan sagu di hutan produksi terbatas dan hutan lindung sehingga berdampak 2. positif terhadap pemanfaatan optimal dan kerusakan lingkungan minimal.

Identifikasi rinci kawasan sagu untuk merancang secara pembangunan kawasan perkebunan sagu 3. dengan kawasan industri secara terpadu,

Menghitung kembali luasan dan populasi tanaman sagu berbasis kawasan untuk menetapkan 4. kapasitas industri sebagai pembatas laju pemanfaatan (pemanenan),

Perancangan kawasan industri dan perkebunan perlu mempertimbangan sosio-budaya masyarakat 5. sekira, vegetasi, hidrologi bahkan geologi kawasan,

Pertanian sagu harus dikembangkan dengan input nihil (6. zero input) dengan mengoptimumkan pengikatan hara secara simbiotik (nitrogen fixing bacteria dan rhizoma)

Kegiatan daur ulang harus menjadi bagian penting dalam pengelolaan kawasan sagu, dan7.

Infrastruktur pendukung memadai untuk pergerakan bahan baku, produk, manusia dan kegiatan 8. penunjang lainnya.

Page 86: Policy Brief - Dewan Guru Besar

75

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PenutupSagu adalah potensi besar pangan dan bahan baku indutri berbasis karbohidrat. Tanaman sagu hidup dalam siklus, dimanfaatkan atau tidak tetap akan mati. Pemanfaatan tanaman yang sudah mencapai umur panen (kandungan pati tinggi) tidak akan mengganggu tanaman muda lainnya. Prinsip panen berbasis siklus hidup menjadi acuan usaha tani dan industri sagu berkelanjutan. Dengan prinsip ini, pemanenan secara terbatas dan berkelanjutan dalam hutan lindung dapat dilakukan dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, identifikasi dan pemetaan kawasan hutan sagu yang berada dalam hutan lindung perlu dilakukan untuk menetapkan luasan yang sesungguhnya serta perlu tidaknya pemanfaatan dalam kawasan tersebut.

Panen Sagu sekarang - kalau tidak maka akan terbuang percuma, maka panen sekarang dan budidayakan (IF YOU DO NOT harvest, It WILL loss– Harvest now and plant).

Jika memanen tanpa menanam maka sagu akan punah

(IF YOU DO NOT Plant, IT WILL BE Disappeared).

Daftar PustakaBantacut T. 2014. Indonesian staple food adaptations for sustainability in continuously changing

climates. Journal of Environment and Earth Science 4(21), 202-215.

Bintoro HMH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press, Bogor. 71 hal.

Bintoro MH. 2011. Progress of sago research in Indonesia. Proceeding of the 10th International Sago Symposium (Bogor, Indonesia), 16-34 pp.

Bintoro MH, Nurulhaq MI, Pratama AJ, Ahmad F, Ayulia L. 2018. Growing area of sago palm and its environment in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Boyden S. 1992. Biohistory: The Interplay Between Human Society and the Biosphere, Past and Present. UNESCO and The Perthenon Publishing Group, Paris.

Dewi RK. 2015. Karakterisasi Berbagai Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Heist M van, Liswanti N, Boissière M, Padmanaba M, Basuki I, Sheil D. 2015. Exploring local perspectives for conservation planning: A case study from a remote forest community in Indonesian Papua. Forests 6, 3278-3303.

Lang AT, Mohamed AMD, Karim AA. 2006. Sago starch and composition of associated components in palms of different growth stages. Carbohydrate Polymers 63(2), 283–286.

Miyazaki A, Yamam Y, Omori K, Pranamuda H, Gust RS, Pasolon YB, Limbongan J. 2007. Leaf Photosynthetic Rate in Sago Palms (Metroxylon sagu Rottb.) Grown under Field Conditions in Indonesia. Jpn. J. Trop. Agr. 51(2), 54-58.

Page 87: Policy Brief - Dewan Guru Besar

76

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Okazaki M. 2018. The structure and characteristics of sago starch. Sago Palm, 247–259. doi:10.1007/978-981-10-5269-9_18

Okazaki M, Kimura SD. 2015. Ecology of the sago palm in the society of sago palm studies, (ed.): The Food and Environmental Challenges of the 21st Century. Kyoto University Press, Kyoto, Japan. 41–60.

Pretty J. 2008. Agricultural sustainability: concepts, principles and evidence. Phil. Trans. R. Soc. B 363, 447–465.

Sasaoka M, Laumonier Y, Sugimura K. 2014. Influence of indigenous sago-based agriculture on local forest landscapes in maluku, east Indonesia. Journal of Tropical Forest Science 26(1), 75–83.

Sharp, I dan A. Compost. 1994. Green Indonesia, Tropical Forest Encounters. Oxford University Press. Kuala Lumpur.

Widjono A, Mokay Y, Amisnaipa, Lakuy H, Rouw A, Resubun A, Wihyawari P. 2000. Jenis-jenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Wulan S, Kusnoputranto H, Supriatna J, Bintoro Djoefrie HMH, Al Hakim HM. 2015. Life cycle assessment of sago palm, oil palm, and paddy cultivated on peat land. Journal of Wetlands Environmental Management 3(1), 14 – 21.

Yusuf MA, Romli M, Suprihatin, Wiloso EI. 2014. Potential of Traditional Sago Starch: Life Cycle Assessment (LCA) Perspective. IOP Conf. Ser. Mater. Sci. Eng. 507 01

Schuiling DL, Flach M. 1985. Guidelines for the Cultivation of Sago Palm. Wageningen Agricultural University.

Yamamoto Y. 2018. Dry Matter Production as a Basis of Starch Production in Sago Palm. In: Ehara H., Toyoda Y., Johnson D. (eds) Sago Palm. Springer, Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-10-5269-9_11.

Page 88: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 7

KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAGU MODERN

Pokok PikiranSagu adalah tanaman endemik Indonesia yang sudah sejak lama menjadi pangan pokok sebagian 1. penduduk dan potensial menjadi pangan pokok seluruh penduduk serta menjadi bahan baku industri berbasis pati. Potensi besar tersebut belum dimanfaatkan dengan baik.

Sebagian (besar) kawasan sagu berada dalam penguasaan masyarakat adat sebagai penopang 2. kehidupan (pangan dan ekonomi), kegiatan sosial dan adat, dan kepercayaan. Sagu telah menjadi sumber dan dasar pembentukan kearifan lokal yang telah berlangsung lama.

Skala pengelolaan dan pengusahaan sagu masih (umumnya) berskala kecil (subsisten) untuk 3. memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat dan pasar lokal.

Tepung sagu belum mampu bersaing dengan tepung konvensional lainnya seperti terigu dan 4. tapioka karena pengusahaannya belum memenuhi skala teknis dan ekonomis serta teknologi yang digunakan masih tradisional atau sederhana.

Pengembangan sagu sebagai bahan pangan dan bahan baku industri harus dilakukan pada skala 5. teknis dan ekonomis yang memadai (besar tapi optimal akan melibatkan banyak pemangku kepentingan sehingga perlu diatur dalam hubungan kelembagaan yang saling menguntungkan.

RingkasanSagu adalah kekayaan alam yang menyatu dengan masyarakat lokal (adat) yang telah membentuk nilai-nilai yang dalam kehidupan dan keyakinan mereka. Pemanfaatan sagu secara produktif dan berkelanjutan untuk penguatan ketahanan pangan dan penumbuhan industri pembentuk nilai tahap akan melibatkan banyak pihak dengan tujan yang sama, berbeda atau bahkan bertentangan. Para pihak mempunyai peran penting dan menentukan keberhasilan pemanfaatan sagu sebagai pangan dan bahan baku industri pada skala teknis yang memadai dan skala ekonomis yang menguntungkan. Pemaduserasian berbagai kepentingan dalam kegiatan usaha dapat dilakukan melalui pengaturan hak dan kewajiban dalam hubungan kelembagaan yang dibentuk khususnya untuk tujuan tersebut. Petani (masyarakat) sagu dalam jumlah besar tidak mudah untuk melakukan kerja sama langsung dengan industri pengolah karena ketimpangan posisi tawar. Oleh karena itu, petani dapat bergabung dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani untuk menguatkan posisi tawar dalam kesatuan manajemen kawasan dalam pengembangan industri berbasis sagu yang produktif dan berkelanjutan.

Page 89: Policy Brief - Dewan Guru Besar

78

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PendahuluanMasalah penting dalam pembangunan pertanian secara umum dan sagu khususnya adalah ketimpangan kekuatan, peran dan risiko pada setiap pelaku dalam mata rantai nilai. Petani dengan risiko yang tinggi dengan peran sentral sebagai penggerak pertanian mempunyai posisi tawar yang rendah dan risiko yang tinggi. Ketimpangan tersebut akan terus terjadi karena kepemilikian asset, modal serta penguasaan pasar dan aplikasi teknologi yang timpang. Pemaduserasian dapat dilakukan berdasarkan hubungan saling ketergantungan yang kuat antara petani dan pengolah (industri). Hubungan tersebut berpuncak pada orientasi kerja sama yang saling menguntungkan yang dikuatkan dengan norma yang disepakati bersama. Komitmen para pihak dinarasikan melalui pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) yang berorientasi pada petumbuhan pertanian dengan menguatkan peran penting petani yang skalanya relatif kecil. Pengaturan ini akan dapat mengatasi berbagai macam masalah kegagalan pasar, termasuk pasar input dan output yang hilang atau tidak lengkap, pasar faktor pendukung (termasuk pasar keuangan) dan pasar asuransi (Eaton et al. 2008). Sudah menjadi tugas dan peran utama dari suatu “negara” dan “pemerintah”, bahwa harus melindungi dan menguatkan kelompok rakyatnya yang lemah, sekaligus harus mengendalikan kelompok rakyatnya yang kuat, sehingga tidak terjadi proses “kanibalisme” antara yang kuat dengan yang lemah!

Kelembagaan, dalam konteks pertanian, adalah aturan formal dan informal yang diikuti oleh setiap individu yang terlibat. Aturan-aturan tersebut menjadi insentif bagi setiap orang dalam pertukaran antara manusia, baik politik, sosial atau ekonomi. Insentif mencakup penghargaan dan hukuman yang diupayakan oleh setiap individu terkait dengan tindakan mereka dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, kelembagaan adalah struktur yang membatasi tindakan dan sumberdaya yang memungkinkan setiap pihak melakukan perubahan dalam masyarakat (DiMaggio dan Powell, 1991). Pengaturan kelembagaan adalah kebijakan, sistem dan proses yang digunakan organisasi untuk mengatur, merencanakan dan mengelola kegiatan secara efisien dan secara efektif berkoordinasi dengan orang lain untuk memenuhi kewajiban masing-masing (UNDP, 2015).

Banyak faktor penentu (driving factors) keberhasilan pembangunan pertanian. Permintaan pasar global yang besar tidak serta merta sebagai peluang yang dapat diisi dengan menyediakan komoditas atau produk karena terkait dengan syarat lainnya. Isu pembangunan berkelanjutan menjadi kriteria dalam pasar internasional. Permintaan energi yang tumbuh pesat juga menjadi penghalang pasar (Zylbersztajn 2009). Pemenuhan semua dimensi pembangunan pertanian tersebut harus juga menghasilkan produk yang bermutu dan harga yang bersaing. Penataan kelembagaan tidak hanya menyangkut hubungan para pihak tetapi juga komitmen untuk memenuhi semua kriteria produk. Oleh karena itu, kelembagaan haruslah menjadi sarana yang memungkinkan (enabler) produksi petani dan industri masuk pasar secara kompetitif dengan tetap berpegang teguh nilai dan norma kejujuran.

Petani memiliki kekuatan (fleksibelitas skala) bersamaan dengan kelemahan (modal, akses pasar, teknologi) dapat bersinergi untuk mengatasi masalah usaha skala besar tapi optimal (kapasitas yang kaku) tetapi memiliki kekuatan modal dan akses pasar. Pemaduserasian kedua kekuatan tersebut dapat mengatasi masalah secara lebih baik melalui hubungan kelembagaan. Sinergi tersebut berpotensi

Page 90: Policy Brief - Dewan Guru Besar

79

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

untuk memajukan pengembangan sistem pangan lokal, menciptakan pasar baru bagi petani, dan meningkatkan ketersediaan produk pertanian lokal. Keberhasilan ditentukan oleh banyak faktor, dalam kasus produksi untuk ketahanan pangan, antara lain: (i) hubungan kepercayaan bekerja pada setiap unsur dari sistem, (ii) model rantai pasok linier dapat mengabaikan komponen penting dari sistem pangan lokal, dan (iii) pangan lokal mendorong pemecahan masalah yang kreatif dan adaptif (Buckley et al. 2013).

Hubungan kerja antara petani dengan pengusaha sudah berlangsung sejak lama dan telah mengalami evolusi. Distribusi manfaat dan margin dari komoditas yang dihasilkan oleh petani dan menjadi mata usaha pengolah menjadi fokus perhatian dalam perubahan bentuk dan pola kerja sama. Banyak kerangka pikir yang telah dikembangkan untuk mengukur secara objektif karakteristik kontrak hubungan pertukaran sesuai dengan struktur penadbiran. Evolusi hubungan kemitraan yang bermula dari kontrak klasik pasar spot, kontrak dengan spesikasi, aliansi strategis, kerja sama formal sampai pada integrasi penuh. Semua hubungan tersebut mempunyai kelemahan dan kekuatan, pengusaha mendominasi pelaksanaan kerja sama (Sartorius dan Kirsten 2007). Berdasarkan pola perkembangan tersebut, integrasi penuh secara vertikal menjadikan hubungan yang intensif dalam setiap pergerakan komoditas hingga masuk pasar. Petani menjadi bagian dari perusahaan pengolah karena memiliki aset tanah untuk menjamin bahan baku dan industri penjamin pasar bagi produksi petani. Kunci keberhasilan kemitraan ini adalah kepemilikan dan keterbukaan informasi. Model kelembagaan yang dapat menaungi hubungan setara melalui kepemilikan dapat dikembangkan untuk sagu.

Dalam struktur kelembagaan semua pihak yang berkepentingan mendapat tempat sesuai dengan porsinya sehingga sinergisme dapat dirancang, direncanakan dan diwujudkan. Industri sagu melibatkan petani, pengusaha, peneliti, pemerintah (pusat dan daerah) dan media massa. Keterkaitan para pihak dalam produksi yang paling kuat adalah antara petani dan pengusaha yang keduanya menghendaki pendapatan yang sebesar-besarnya. Hubungan yang kontradiktif yang umumnya dalam bentuk “patron-klien” ini harus dijembatani dengan kesepakatan yang mengikat para pihak berdasarkan asas saling menguntungkan. Keterlibatan pemerintah sebagai penengah yang diperkuat oleh peneliti akan dapat menserasikan hubungan tersebut. Media massa sangat berperan sebagai pengawal dan promotor sukarela (volunteer promotor and controller).

Mulvany (2010) mengemukakan prinsip-prinsip untuk mencapai kedaulatan pangan, yaitu : (1) makanan diperuntukan bagi manusia sebagai hak pangan bukan utama untuk komoditas ekspor; (2) menghormati nilai dan hak petani sebagai penyedia makanan bukan mengusir petani (apalagi masyarakat adat) dari lahan; (3) membuat sistem pangan lokal, bukan mempromosikan perdagangan global yang tidak adil; (4) membangun lokal kontrol, bukan pengekangan dengan Trans National Coorperate ; (5) membangun pengetahuan, teknologi dan keterampilan masyarakat lokal, bukan tergantung pada teknologi asing; (6) bekerja sesuai kaidah lingkungan spesifik lokal, bukan menggunakan metode yang membahayakan manfaat fungsi ekosistem, seperti pertanian murni monokultur yang intensif.

Page 91: Policy Brief - Dewan Guru Besar

80

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Kelembagaan Agribisnis yang Saling MenguntungkanSetiap kelompok masyarakat mempunyai nilai, termasuk petani, dapat berubah sepanjang waktu mengikuti atau dipengaruhi oleh lingkungan, teknologi, pasar dan informasi. Nilai yang hidup dalam masyarakat sagu harus menjadi perhatian sehingga tidak terjadi konflik, pertentangan, perusakan dan pergantian. Penyesuaian dapat dilakukan melalui pemahaman mendalam tentang nilai yang menjadi pegangan masyarakat setempat dan jika diperlukan perubahan maka harus dilakukan secara persuasif berdasarkan pada kesepakatan. Secara universal, setiap masyarakat mempunyai nilai yang umum (common values) seperti produktif, keberlanjutan dan efisien.

Tahapan penting dalam melibatkan masyarakat adalah menjaring aspirasi untuk memastikan keterlibatan mereka efektif dalam pengaturan kelembagaan. Cara pintas yang dapat dipilih adalah melalui pimpinan lokal yang dapat mewakili dan diikuti (local champion) sebagai jembatan, motivator dan penguat posisi tawar petani. Pimpinan adat adalah salah satu dari sedikit alternatif untuk mencari penggerak pembangunan desa atau pertanian. Untuk efektivitas sosialisasi dan diseminasi informasi, masyarakat bersatu dalam kelompok tani, masyarakat adat atau kumpulan lainnya yang mempunyai hubungan dan kesepahaman dalam menggerakan kerja sama pembangunan. Kelompok ini menjadi wadah belajar bersama, media berbagi informasi dan pengetahuan dan media kerja sama untuk memperkuat modal sosial.

Petani memiliki banyak modal sebagai basis dan penguat perannya dalam hubungan kelembagaan yaitu manusia,modal sosial, modal alami dan modal ekonomi. Modal manusia secara potensial dapat dikembangkan yakni kemampuan, pengalaman, kapasitas, kompetensi, kecakapan, kearifan, pengetahuan dan kepemimpinan. Modal sosial yang penting adalah kepercayaan, nilai, norma, tindakan antisipatif dan proaktif, dan hubungan timbal balik. Modal alami adalah lahan dan lanskap, keanekaragaman hayati (termasuk tanaman), air dan sumber energi. Semua modal ini dapat dikembangkan dan dikapitalisasi menjadi modal ekonomi yang meningkatkan martabat dan posisi tawar petani atas perlindungan dan pengaturan yang adil oleh negara - pemerintah.

Sosialisasi, pelibatan (involvement), dan penyuluhan serta dinamika perubahan lingkungan strategis dapat menjadi perangsang perubahan. Perluasan wawasan akan memanfaatkan modal manusia dan modal sosial menjadi energi sosial budaya kreatif. Pada tahap ini, hubungan kelembagaan dengan pihak lain semakin terbuka dan membentuk kemanfaatan bersama dengan proporsi yang rasional. Keadaan seperti ini memungkinkan masyarakat (modal manusia) mampu menghasilkan inovasi jika ditunjang dengan infrastruktur dan insentif produksi sesuai dengan permintaan pasar. Pertumbuhan memerlukan kemitraan strategis, akses modal, penyuluhan/pemberdayaan, perencanaan dan energi sosial kreatif.

Pembentukan atau pengaturan kelembagaan tidak dengan mudah terbentuk karena adanya perbedaan cara pandang dan nilai yang dijadikan acuan. Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 haruslah menjadi sumber nilai dan norma yang utama untuk diacu. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk menyiapkan sumberdaya insani (human and social capitals), identifikasi dan kalkulasi sumberdaya

Page 92: Policy Brief - Dewan Guru Besar

81

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

alam untuk memastikan keberlanjutannya (natural capital), pengelolaan sumberdaya ekonomi (economic capital), dan kelembagaan pendukung (agribisnis). Pertimbangan ini perlu dicermati untuk memastikan bahwa usaha perkebunan dan pengolahan sagu berkelanjutan sehingga investasi yang terjadi bernilai sosial dan ekonomi berjangka panjang yang mampu menyokong kedaulatan dan kemandirian bangsa.

Setiap orang, secara sendiri atau berkelompok, terbuka untuk bermitra (social being) dengan prinsip kesamaan (equity), keterbukaan dan manfaat (mutual benefit). Penyiapan masyarakat perlu dilakukan sehingga prinsip ini dapat dipenuhi. Prinsip tersebut dapat dijabarkan menjadi (i) adanya kesetaraan (equality) antara para pihak yang bermitra, (ii) adanya saling percaya (mutual trust), (iii) keterbukaan (transparancy), (iv) dapat dipertanggungjawabkan (accountability), dan (v) kemampuan petani menghasilkan produk sesuai dengan ketentuan. Posisi awal yang berbeda tidak memungkinkan hubungan tersebut terjadi secara alamiah tetapi memerlukan keterlibatan dan intervensi pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat luas lainnya.

Usahatani dan Tataniaga Tepung SaguAgribisnis petani belum berkembang dengan baik karena fokus pembangunan pertanian hanya pada komoditas dan teknologi, tidak memperhatikan aspek “manusia secara utuh”. Oleh karena, menilai kemajuan agribisnis tidak dapat sepenuhnya dilakukan menggunakan parameter kesejahteraan yang terbatas pada produksi dan produktivitas. Teknologi dan komoditas tersebut cenderung ‘bias padi sawah/beras’ (jagung dan kedelai), berorientasi produksi dan teknologi modern, berpihak pada usaha berskala besar, mengabaikan teknologi, komoditas dan kearifan lokal berskala kecil yang terbukti cenderung berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kebijakan komoditas dan teknologi yang ternyata keliru telah meningkatkan produksi beras nasional, bahkan swasembada beras tahun 1984. Namun keberhasilan tersebut ternyata tidak berkelanjutan (bahkan cenderung meninggikan tempat jatuh), menciptakan ketergantungan petani kepada (perusahaan pemasok) input produksi kimia dan alsintan modern. Petani ternyata belum sejahtera dari usaha taninya. Modernisasi pertanian diikuti alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian (kawasan industri, lahan sagu menjadi lahan sawah atau perkebunan), polarisasi pemilikan tanah dan kesenjangan sosial ekonomi, bahkan mengancam kelestarian lingkungan dan berkontribusi terhadap pemanasan global.

Permasalahan yang sama terjadi pada agribisnis sagu karena tidak dilakukan sesuai dengan karakteristik ekosistem biogeografisnya dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Sagu dalam sistem dusung mengintegrasikan fungsi jasa lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Kawasan sagu dipandang sebagai integrasi landscape dan seascape, menerapkan modal manusia (pemerataan hasil tanah dan laut), praktik pertanian yang baik, penanaman tumpangsari, keamanan air dan pangan serta mengurangi deforestasi, erosi, intrusi air laut, dan abrasi pantai. Konsep kawasan yang terjadi pada pengelolaan sagu di Maluku ini memberikan pelajaran bahwa perkebunan sagu harus dikembangkan dengan memperhatikan semua aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Page 93: Policy Brief - Dewan Guru Besar

82

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Bisnis sagu dilaksanakan selaras dengan fungsi ekonomi, sosial dan ekologi. Secara alami peran jasa lingkungan pohon sagu sangat nyata yang seharusnya dimanfaatkan untuk membentuk nilai jual tepung sagu. Jasa lingkungan tersebut meliputi lentur terhadap perubahan iklim, tidak toleran terhadap hama dan penyakit, input rendah, konservasi air, pergantian tumbuh mandiri (self-regeneration), mengurangi dampak pemanasan global, ketahanan pangan berkelanjutan dan bermartabat, pangan sehat dan fungsional, dan sumber energi terbarukan. Jasa ini seharusnya menjadi pembentuk “nilai lebih” pada agribisnis sagu.

Usaha pengolahan sagu, kasus Maluku, sebagian besar adalah usaha rakyat (tradisional), sebagian lagi semi modern dan sedikit yang modern. Perbaikan teknologi sudah terjadi secara perlahan mengadopsi perkembangan teknologi yang dapat dijangkau. Kinerja usaha ini sangat bergantung pada modal awal yang diberikan (bantuan) pemerintah dan sebagian pinjaman dari bank (tingkat bunga 16%/tahun). Usaha kecil ini menyerap tenaga kerja 15 orang dengan produktivitas 188 kg per pohon (diperkirakan banyak pati yang terbuang karena metode dan peralatan ekstraksi yang masih sangat sederhana). Kapasitas produksi rata-rata 8-10 pohon/hari (208 pohon per bulan) yang dipenen dari 10 hektare kebun/bulan.

Secara finansial, usaha kecil ini masih menguntungkan baik pada saat panen dari hutan sagu. Kecepatan tebang sering melebihi kecepatan tumbuh yang siap panen maka usaha sagu akan kesulitan bahan baku beberapa tahun kemudian. Akibatnya, usaha terancam tidak berkelanjutan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan industri baik jumlah, mutu, maupun kontinuitas. Perhitungan kapasitas berbasis luas kebun-hutan perlu dipertimbangkan. Usaha produk tepung basah/kering, mie dan beras sagu sangat tergantung dari permintaan pasar yang belum stabil dan sangat fluktuatif sehingga usaha akan mengalami kesulitan menutupi biaya produksi, dan terancam tidak berkelanjutan. Banyak usaha sagu yang dibangun pemerintah/swasta tidak berkelanjutan karena gagal dalam mempersiapkan dan membangun kelembagaan, sehingga terutama petani tidak punya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap usaha sagu.

Keberlanjutan usaha sagu rakyat sangat ditentukan oleh permintaan pasar dan ketersediaan pasokan bahan baku. Dari perspektif tataniaga maka perlu diperhatikan beberapa aspek untuk mengembangkan usaha sagu modern adalah sebagai berikut:

Jika bahan baku melimpah tetapi pasar stagnan, atau permintaan pasar tinggi tetapi bahan baku a. sudah sulit diperoleh, maka usaha tidak akan berkelanjutan

Pasar usahatani sagu semi-modern/modern adalah pengusaha di Jawa, sedangkan usaha rumah b. tangga tergantung dari pasar lokal dan/atau di kawasan timur Indonesia

Kelembagaan petani sagu yang lemah, baik di sisi produksi maupun pemasaran, diikuti teknologi c. pengolahan yang belum berkembang dengan standar nasional, mengakibatkan petani atau kelompok usaha sagu memperoleh harga dan nilai tambah rendah

Bersamaan dengan kekuatan dan peluang, usaha sagu masih dihadapkan beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, seperti (i) masih berupa hutan sagu dengan produktivitas rendah, (ii) lokasi tersebar dan infrastruktur terbatas, (iii) belum menjadi komoditas prioritas nasional dan

Page 94: Policy Brief - Dewan Guru Besar

83

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

daerah, (iii) masa panen sejak tanam lama (10 tahun) perlu lahan yang cukup luas, (iv) status pemilikan lahan sagu, (v) kapasitas, keterampilan SDM, teknologi yang dimiliki dan kelembagaan petani sagu lemah baik pada sisi on farm maupun off farm, dan (vi) pengelolaan lintas sektor/kementerian/dinas lemah. Bersamaan dengan kelemahan ini, ancaman yang dihadapi pun sangat nyata, yakni (i) banyak kawasan sagu yang punah akibat alih fungsi lahan yang terus meningkat, (ii) konsumsi semakin menurun, (iii) kalah bersaing dengan tepung impor, (iv) substitusi oleh raskin/rastra, dan (v) masalah regenerasi petani (tidak terjadi regenerasi).

Banyak faktor kompleks, beragam dan spesifik dalam membangun dan mengembangkan sagu rakyat, tetapi tiga hal yang mungkin perlu diperhatikan: (i) usaha tani sagu, selain untuk konsumsi sendiri haruslah berorientasi pasar, paling tidak pasar dalam negeri, (ii) usahatani sagu rakyat perlu dipersiapkan agar digerakkan secara simultan oleh sumberdaya manusia petani (muda, terdidik, dan terampil), petani permanen dan lahan permanen, didukung kebijakan prioritas komoditas sagu, modal, subsidi, inovasi, dan teknologi adaptif, dan (iii) guna memperjelas status kepemilikan dan luas areal sebenarnya, perlu diukur dengan teknologi yang akurat dan valid untuk menerapkan one map policy, sehingga melalui kerja sama lintas lembaga, baik di pusat dan daerah, maka batas-batas, zonasi areal kawasan sagu yang dilindungi hukum adat/hak ulayat, UU dan peraturan pemerintah, dan (iv) dukungan infrastruktur dan lembaga riset untuk meningkatkan teknologi tradisional yang adaptif moderen untuk menghasilkan produk sagu yang inovatif dan kreatif sesuai permintaan pasar, serta mengoptimalkan fungsi sagu untuk ketahanan pangan, sosio-budaya dan kelestarian lingkungan.

Kelembagaan Berbasis Kearifan LokalSetiap masyarakat mempunyai nilai yang tumbuh kemudian mengakar dan menjadi rujukan bahkan keyakinan setiap anggotanya. Nilai tersebut menjadi penopang kedaulatan mereka dalam menentukan nasib dengan mekanisme masing-masing, yang paling umum, musyawarah. Kedaulatan tersebut berhubungan dengan tanah, wilayah, dan sumberdaya alam. Pengembangan usaha, kegiatan sosial, pendampingan, penyuluhan dan kelembagaan perlu mempertimbangkan bahkan mengacu pada kedaulatan tersebut sehingga masyarakat dapat terlibat dan mendukung kegiatan yang melibatkan atau bekerja sama dengan mereka.

Sejarah panjang masyarakat dalam satu kawasan sagu menunjukkan bahwa mereka mempunyai cara dan jalan untuk mandiri mulai dari bertahan (survival strategy) sampai pada kemampuan berkompetisi (competitive capability). Kemandirian terbentuk dari nilai yang kemudian kembali membentuk nilai yang melekat pada masyarakat tersebut baik terkait dengan kehidupan sosial maupun ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alamnya. Komponen dan unsur kekuatan dan kemandirian ini perlu diserap dalam pengembangan masyarakat dan pembentukan kelembagaan kerja sama antara mereka dengan perusahaan. Kemandirian dan kadaulatan dalam keterbatasan adalah kekuatan dahsyat untuk berkerja sama yang dapat memajukan masyarakat tersebut menjadi lebih kuat dan tangguh.

Karifan lokal tertinggi adalah martabat masyarakat yang harus dilihat dari perspektif mereka. Kerja sama yang menghargai nilai dan martabat ini akan berjalan lancar. Pimpinan informal dan penggerak masyarakat (local champion) selalu ada dalam masyarakat baik yang sifatnya terbuka (open minded)

Page 95: Policy Brief - Dewan Guru Besar

84

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

maupun yang resisten (konservatif ). Semua pimpinan, baik yang terbuka maupun yang konservatif, mempuyai nilai perjuangan yang sama yakni martabat masyarakatnya. Kerja sama yang diatur dalam hubungan kelembagaan yang memasukkan nilai martabat ini akan mendapat dukungan dan langgeng.

Dari perspektif masyarakat adat, kerja sama ekonomi yang dibangun harus didasarkan pada valuasi nilai aset yang dimiliki oleh masyarakat. Keberadaan mereka bersama atau di tengah sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan adalah nilai yang harus disematkan dan dilekatkan pada mereka. Nilai tersebut dapat dipandang sebagai investasi yang menjadi basis kesetaraan dalam kerja sama. Oleh karena itu, hubungan kerja dalam bentuk apapun harus didasarkan pada valuasi ekonomi nilai dalam masyarakat yang menjadi aset sangat berharga yang dapat meneguhkan kegiatan usaha secara menguntungkan dan berkelanjutan.

Format Kelembagaan Kerja sama Petani (Masyarakat) dan Usaha AgribisnisPetani sebagai bagian terbesar dari rantai nilai agribisnis mempunyai karakteristik antara lain aset dan kapasitas yang terbatas, modal produksi kecil, jejaring terbatas, pengikut pasar, posisi tawar lemah, dan pencahariannya bergantung pada usaha-taninya. Pada pihak yang lain, pengusaha (agribisnis) mempunyai modal besar dan kuat, sumber bahan baku yang luas dan beragam, mempunyai banyak pemasok, memiliki faktor produksi sendiri, serta memiliki jejaring yang luas dan intensif. Perbedaan posisi tawar ini menyulitkan petani untuk secara langsung bekerja sama dengan usaha atau industri besar, kecuali beberapa komoditas seperti tebu dan sawit. Penjualan hasil produksi petani hingga sampai pabrik (misalnya) melalui tahapan yang panjang melalui tengkulak, pedagang pengumpul dan pemasok industri. Akibatnya, pergerakan komoditas melalui tahapan yang panjang, biaya transaksi/pemasaran tinggi, sebaran margin yang timpang, fluktuasi harga pada tingkat petani tinggi, dan risiko usaha tani yang besar.

Hubungan kerja sama antara petani dan usaha (agroindustri) yang cenderung timpang tersebut perlu diperbaiki sehingga produktif dan berkelanjutan dengan penguatan posisi tawar dan penguatan modal dasar petani. Usaha penguatan yang dapat dilakukan antara lain melalui: (i) pengorganisasian petani harus dibantu sepenuhnya oleh negara-pemerintah hingga pangsa pasokan mereka menjadi besar dan nyata, (ii) negara-pemerintah harus atur, fasilitasi dan awasi hubungan kemitraan yang dibangun, (iii) amankan kepemilikan lahan oleh negara, dan (iv) wujudkan semua aspek tersebut dalam hubungan kelembagaan yang formal oleh negara.

Banyak pilihan bentuk kerja sama yang dapat ditempuh mulai dari kontrak mengisi pasar sesaat (classical contracting, spot market), kontrak dengan syarat tertentu (neo classical contracting, spesification contracting), aliansi strategis (neo classical contracting, strategic aliance), kerja sama formal (bilateral relational, formal cooperation) dan integrasi dalam manajemen usaha (unified relational, full vertical integration) (Sartorius dan Kirsten 2007). Pilihan yang paling baik untuk industri tepung sagu adalah

Page 96: Policy Brief - Dewan Guru Besar

85

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

integrasi hulu-hilir. Petani berperan sebagai pemasok bahan baku yang dilindungi negara (sampai setengah jadi) dalam manajemen perusahaan karena ada kepemilikan usaha, bukan dalam bentuk hubungan “patron-klien” yang selama ini umum terjadi. Hubungan ini akan langgeng karena pertumbuhan industri bagian dari perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Petani berorganisasi dalam kelompok tani (Poktan) atau jika pangsanya masih kecil maka Poktan dapat bergabung lagi membentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) dan seterusnya koperasi tani (Koptan) atau Badan Usaha Milik Petani dengan bentuk yang beragam. Representasi dari Poktan, Gapoktan, atau Koptan menjadi penghubung (wakil) petani dengan perusahaan. Perencanaan produksi melibatkan perwakilan tersebut sehingga dapat mengoordinasikan jadwal tebang atau panen di lapangan. Untuk memastikan hubungan kelembagaan ini berjalan maka perlu pengawasan dan penguatan dari pihak lain terutama oleh negara pemerintah dan perguruan tinggi/lembaga penelitian (Gambar 1). Pengaturan tersebut meliputi kriteria yang jelas untuk memastikan kesepakan dapat berjalan, tersedia sarana penyelesaian masalah atau perbedaan pendapat, sarana pertukaran informasi, dan pemeliharaan lingkungan yang kondusif.

Gambar 1. Hubungan kelembagaan antara petani dan agroindustri

RekomendasiPetani dan agroindustri sagu terkait satu dengan yang lain melalui hubungan saling membutuhkan, tetapi mereka berbeda dalam posisi tawar dan kekuatan aset/modal. Ketidaksetaraan selalu menimbulkan ketimpangan dalam perolehan margin dari komoditas yang dihasilkan dan diolah. Untuk membangkitkan kesetaraan dan menumbuhkan hubungan kerja sama (kelembagaan) yang saling menguntungkan perlu dilakukan:

Penguatan petani dalam pengelolaan kawasan sagu melalui bantuan edukasi, pendampingan, 1. pembiayaan/subsidi, penyuluhan, dan sarana produksi,Hubungan para pihak diawasi dan dilindungi oleh pihak ketiga (Negara-Pemerintah dan atau 2. Perguruan Tinggi) untuk memastikan bahwa para pihak memenuhi kewajiban untuk mendapatkan hak masing-masing,Kesepakatan dibangun berdasarkan beban risiko dan biaya yang harus dikorbankan sehingga para 3. pihak mendapatkan hak dan kewajiban yang adil dan/atau proporsional,

Page 97: Policy Brief - Dewan Guru Besar

86

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian harus berperan sebagai sumber teknologi maju untuk 4. memperbaiki efisiensi dan produktivitas serta pengembangan produk baru, dan semua biaya yang diperlukan untuk itu terutama harus disediakan oleh negara-pemerintah. Pengusaha berkewajiban mengembangkan pasar produk, sedang petani berkewajiban menghasilkan 5. bahan baku yang baik sesuai persyaratan secara berkelanjutan,Semua kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja dan/atau akta kerja sama yang 6. dikuatkan oleh lembaga terkait dan disahkan oleh Negara-Pemerintah.

PenutupPetani dan pengusaha saling membutuhkan tetapi sering tidak harmonis. Hubungan saling membutuhkan yang dikuatkan dengan perlindungan dan atau pengawasan Negara-Pemerintah dapat meningkatkan kinerja hulu (petani) dan hilir (industri). Hubungan kerja berbasis kelembagaan yang mutualis ini memungkinkan pengembangan industri sagu berbasis kawasan. Untuk setiap kawasan dapat memiliki satu industri pengolahan menjadi tepung dan produk turunannya serta melibatkan banyak (1,000-2,000 petani). Pengorganisasian petani pada dasarnya adalah pengaturan dan penjaminan faktor dan jadwal produksi. Oleh karena itu, kelembagaan harus dibentuk pada tahap awal sebelum kegiatan usaha dimulai.

Daftar PustakaDiMaggio, P. & Powell, W. eds. 1991. The New Institutionalism in Organizational Analysis. Chicago,

Illinois, United States of America, University of Chicago Press.

Buckley J, Conner D, Matts C, Hamm MW. 2013. Social relationships and farm-to-institution initiatives: complexity and scale in local food systems. Journal of Hunger & Environmental Nutrition 8,397–412.

Eaton D, Meijerink G, Bijman J. 2008. Understanding institutional arrangements: Fresh Fruits and Vegetable value chains in East Africa. Markets, Chains and Sustainable Development Strategy and Policy Paper, no.XX. Stichting DLO: Wageningen. Available at: http://www.boci.wur.nl/UK/Publications/.

Mulvany, Patrick. 2010. Global Food System Choices and Consequences OnePlanet Food, Herriot Watt, Edinburgh, diunduh melalui internet. www.iaastd.net

Sartorius K, Kirsten J. 2007. A framework to facilitate institutional arrangements for smallholder supply in developing countries: An agribusiness perspective. Food Policy 32 (5-6), 640-655.

UNDP. 2015. Institutional Arrangements. United Nations Development Programme. http://www.undp.org/content/undp/en/home/ourwork/capacitybuilding/drivers_of_change/institut_arrangemt.html (accessed 29 November 2015).

Zylbersztajn D. 2009. Role of Institutions in Reshaping the Global Agricultural Landscape: Perspectives from Brazil. Paper presented at the annual Conference of the International Association of Agricultural Economists, Beizing, August 2009.

Page 98: Policy Brief - Dewan Guru Besar

POLICY BRIEF 8

PEMANFAATAN HASIL SAMPING PENGOLAHAN SAGU

Pokok PikiranPengolahan hasil pertanian (dalam arti luas) selalu membentuk hasil samping (limbah) dalam 1. jumlah (proporsi) besar sesuai dengan sifatnya yang kamba.

Hasil samping yang dibuang ke lingkungan dapat menimbulkan masalah pencemaran yang 2. berakibat pada kerusakan sumberdaya yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi atau bahkan menghentikan produksi.

Semua bagian hasil pertanian terdiri dari bahan organik yang secara potensial dapat dimanfaatkan 3. untuk menghasilkan produk (turunan) lain atau energi atau akhirnya untuk pupuk.

Hasil samping yang paling banyak dibentuk dalam pengolahan sagu menjadi tepung adalah kulit 4. batang, ampas dan air limbah. Bahan-bahan ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak mamalia, bahan baku pakan ikan, bahan bangunan, media tanam dan energi.

Pemanfaatan untuk membangkitkan energi dapat memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan sagu 5. bahkan surplus sehingga pengolahan sagu dapat dikembangkan sebagai sistem produksi tertutup dan mandiri energi.

RingkasanBatang sagu yang mengandung pati adalah empulur yang berisi pati sekitar 18.5 persen. Sisanya adalah hasil samping yang volumenya jauh lebih banyak yakni sekitar 85-90 persen dari total batang sagu. Pengolahan hasil samping dengan penerapan teknologi dapat menghasilkan produk atau bahan lain seperti furnitur, energi, pakan, media tanam dan bahan bangunan. Pengolahan air limbah dapat menghasilkan energi atau digunakan untuk budidaya berbagai macam tanaman air termasuk alga. Peluang dan praktik pemanfaatan hasil samping industri tepung untuk meningkatkan nilai ekonomi dan meminimumkan pencemaran lingkungan dapat menjadi dasar rancangan pembangunan industri tepung sagu terpadu berwawasan lingkungan. Penerapan konsep produksi bersih dapat menjadikan industri pengolahan sagu sebagai industri yang paling efisien karena tidak memerlukan input energi dari luar. Pengembangan terpadu dapat diperluas berbasis pemanfaatan hasil samping secara horizontal dengan menerapkan konsep food estate.

Page 99: Policy Brief - Dewan Guru Besar

88

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

PendahuluanPengolahan hasil pertanian adalah mengambil atau memanfaatkan sebagian (kecil) dari tanaman dan hewan untuk menghasilkan produk tertentu. Residu (hasil samping) pertanian dibedakan berdasarkan ketersediaan dan karakteristik yang dapat membedakannya dari limbah padatan lain (Zafar 2014). Bagian yang tidak diperlukan, disebut hasil samping atau limbah, masih mengandung senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, minyak, lemak, protein dan lain-lain. Hasil samping tersebut kaya bahan organik sehingga dapat menyebabkan pencemaran (beban) lingkungan jika tidak diolah sebelum dibuang. Cara, metode dan teknologi pengolahan membedakan jenis dan sifat hasil samping (Israilides et al. 1994).

Seiring dengan pesatnya industrialisasi telah meningkatkan pencemaran yang minimbulkan kekhawatiran tentang gangguan kualitas lingkungan hidup. Metode untuk memanfaatkan dan setidaknya mengurangi limbah terus dikembangkan. Pengalaman menunjukkan bahwa metode berikut ini sudah banyak diterapkan dan dapat mengurangi limbah: perbaikan tata graha, perubahan teknologi proses, penggantian produk, penggantian bahan masukan, proses daur ulang bahan kimia dan bahan baku, daur ulang produk limbah dan mengurangi masukan ke proses. Pemilihan teknologi yang tepat bergantung pada jenis industrinya serta ukuran dan lokasinya (Vigneswaran et al. 1999).

Tuntutan kualitas lingkungan hidup yang baik mengakibatkan terjadinya perubahan pemikiran terhadap konsep pengendalian pencemaran secara keseluruhan. Industri secara tradisional mengolah limbah produk sebelum dibuang ke lingkungan. Penanganan yang terjadi setelah produksi limbah (end-of-pipe) masih menimbulkan banyak masalah sekaligus pembuangan sumberdaya. Pilihan lain ‘minimisasi limbah’ untuk mengurangi masalah polusi selama proses produksi terjadi. Pendekatan ini memungkinkan untuk penanganan limbah sebagai bagian dari proses produksi untuk meningkatkan rendemen, pengurangan limbah dan penambahan produk (baru).

Limbah pengolahan sagu sangat banyak jumlahnya (sekitar 85%) dari empulur atau 90% dari total tanaman. Banyak pemanfaatan yang dapat dilakukan baik sebagai bagian dari pengolahan lanjut maupun daur ulang dalam proses. Pemanfaatan tersebut meliputi pertumbuhan mikrobial (Vikineswary et al. 1994), pakan ternak (Tiro et al. 2018), pemanfaatan sebagai kabon aktif (Kadirvelu et al. 2004), modifikasi serat (Sunarti et al. 2018), kompos atau media tanam (Petrus et al. 2009), sumber energi (Indriyani dan Bantacut 2019) dan pemanfaatan lainnya seperti serat dan limbah cair (Rasyid 2020). Secara tradisional limbah sagu sudah dimanfaatkan, misal kulit untuk penutup jalan dan dinding rumah, ampas untuk pakan ternak (babi), daun untuk atap, dll.

Pengembangan pengolahan sagu haruslah efisien karena bersaing dengan beras dan terigu (dalam negeri) serta jagung, tapioka dan terigu (luar negeri). Efisiensi dapat dibentuk melalui operasi produksi pada skala teknis dan ekonomis serta maksimasi pemanfaatan sumberdaya untuk meningkatkan produktivitas, produk, dan penghematan energi. Oleh karena itu, pengembangan sagu hendaknya dijalankan dengan pendekatan terpadu hulu hilir dan pemanfaatan limbah untuk diversifikasi usaha. Dengan demikian, kawasan sagu dapat menjadi food estate dengan beragam komoditas dan produk yang dijalankan secara efisien dengan memanfaatkan limbah sebagai bahan baku produk lain dan sumber energi.

Page 100: Policy Brief - Dewan Guru Besar

89

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan SaguSagu sudah diketahui sebagai sumber karbohidrat (pangan pokok) sejak lama dan tanaman telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan/kegunaan. Daun telah dimanfaatkan sebagai obat tradisional, atap, dinding, bakul (tempat sagu), dan kerajinan. Batang sagu diekstrak patinya sebagai bahan pangan pokok (termasuk mie dan roti). Pati sagu juga dapat diolah lebih lanjut menjadi bioetanol (bahan kimia, biofuel, farmasi), siklodekstrin, sirup glukosa, bioplastik, lem, perekat, bahan tambahan pada industri tekstil, asam sitrat, asam laktat, dll. Batang sagu dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku kertas, papan partikel, lantai dan bahan bakar. Ampas dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, media tanam, kompos, dll. Limbah cair dapat diolah secara anaerobik untuk menghasilkan biogas, media pertumbuhan ganggang, dll. Peluang ini menggambarkan bahwa tanaman sagu adalah tanaman serbaguna, dari akar hingga daun.

Pengolahan sagu membentuk banyak hasil samping yaitu ampas (14%), kulit batang (26%), dan air limbah 16-20 m3/ton pati kering. Jumlah ini berbanding lurus dengan volume produksi sehingga pada skala industri akan terbentuk volume yang banyak. Jika tidak dimanfaatkan, hasil samping dapat menjadi beban lingkungan, sebaliknya pemanfaatan secara bijak akan menghasilkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial. Ampas sagu masih mengandung 65.7% pati, 14.8% serat kasar, 1% protein kasar, dan 4.1% abu (Mushafaat et al. 2015). Ampas sagu dapat menjadi bahan pakan alternatif sumber energi karena mengandung Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) yang tinggi yaitu 76,51%. Kandungan protein kasar yang rendah dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas gizi dengan metode fermentasi.

Kulit batang sagu mengandung lignin yang berkaitan dengan hemiselulosa. Kulit batang sagu umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lantai pabrik sagu, jalan setapak, jembatan, material dinding, pagar, dan kayu bakar (Singhal et al. 2008). Kulit batang sagu dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan. Dalam jumlah yang besar dari skala pengolahan yang memenuhi skala teknis dan ekonomis, kulit dan serat dapat menjadi sumber energi untuk pengolahan dan kebutuhan lainnya.

Frond sagu adalah pucuk batang sagu yang masih dibungkus oleh pelepah berwarna hijau yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai bahan baku pembuatan dinding dan atap rumah, pakan hewan serta media tanam jamur (Flach 1997). Frond sagu memiliki kandungan serat sebesar 34.20%-34.40% sedangkan empulur batang sagu yaitu 3.34% (Sunarti et al. 2018). Komponen serat Frond sagu mengandung selulosa, hemi selulosa dan liginin dalam jumlah yang besar (Nompo et al. 2019), sehingga dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, media tanam dan kompos.

Air limbah industri sagu berasal dari proses penyaringan bubur empelur sagu (ekstraksi) dan pengendapan pati. Untuk menghasilkan 1 kg tepung sagu, akan dihasilkan air limbah sebanyak 20 liter (Bujang dan Ahmad 2000). Air limbah biasanya mengandung karbon yang sangat tinggi. Kandungan bahan organik yang masih tinggi (1,280-5,130 mg COD/l) (Phang et al. 2000) dapat diolah secara anaerobik untuk menghasilkan biogas sebagai sumber energi dalam pabrik pengolahan sagu.

Page 101: Policy Brief - Dewan Guru Besar

90

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Semua hasil samping harus ditangani melalui pemanfaatan sehingga menjadi sumber pendapatan, bukan beban pembiayaan. Tahapan penting dalam penanganannya adalah hindari pembentukan limbah, daur ulang, penanganan dan pembuangan. Prinsip produksi bersih (cleaner production) dapat diterapkan sebagai strategi yang bersifat preventif dan terpadu. Penerapan pada daur hidup produk dapat meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan (UNEP 2003).

Penerapan produksi bersih mencakup produk, proses dan pelayanan. Pada produk diupayakan pengurangan limbah melalui perancangan yang lebih baik dan penggunaan limbah untuk produk baru. Pada proses diterapkan (i) konservasi bahan baku, energi dan air, (ii) pengurangan jumlah atau tingkat toksisitas emisi pada sumber, evaluasi pilihan teknologi serta pengurangan biaya dan teknologi. Pada pelayanan menajemen lingkungan direkayasa dalam rancangan dan pengiriman. Semua kegiatan tersebut akan menghasilkan perbaikan efisiensi, kinerja lingkungan dan keuntungan kompetitif.

Setiap tahapan dalam proses produksi tepung sagu menghasilkan limbah. Pada pemotongan menghasilkan pecahan kayu dan serbuk, pemarutan menghasilkan serbuk, ekstraksi menghasilkan ampas dan limbah cair dan penyaringan mengeluarkan ampas serta pengendapan menghasilkan air limbah dan pencucian menghasilkan air limbah. Sistem koleksi perlu dikembangkan sehingga penanganan (pemanfaatan) dapat dilakukan secara integratif. Penanganan yang tidak baik akan menimbulkan masalah lingkungan, penggunaan energi yang tidak efisien dan pengelolaan limbah kurang baik. Penerapan produksi bersih akan mengurangi beban lingkungan, kerusakan lingkungan dan meningkatkan efisiensi/keuntungan.

Secara lebih spesifik, banyak pilihan yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan limbah padat (kulit, pecahan, batang sagu, dan ampas sagu). Pakan ternak monogastrik dan ruminansia (Mushafaat et al. 2015), pupuk kompos (Kridha 2000), briket arang (Denitasari 2011), dan media cacing tanah (Umaya 2010). Teknologi untuk pengolahan hasil samping sudah memadai dan kajian finansial sudah banyak dilakukan yang menunjukkan bahwa usaha tersebut layak dijalankan.

Prospek Limbah Sagu sebagai Bahan Pakan IkanIkan adalah sumber protein yang banyak digunakan dengan manfaat kesehatan yang baik sehingga permintaan terus meningkat. Produksi secara natural seperti sungai dan danau semakin berkurang akibat dari eksploitasi yang terus meningkat. Pertumbuhan permintaan yang tinggi menyebabkan meningkatnya budidaya ikan (fed fish) untuk meningkatkan produktivitas. Pemeliharaan secara alami (unfed fish) semakin berkurang (misal ikan mas). Target produksi tinggi menjadi ciri budidaya ikan intensif yang berarti input (terutama pakan) juga tinggi.

Ciri dari budidaya ikan yang intesif adalah populasinya (stock density) tinggi, makanan hidup (live feed) rendah dan pakan buatan (artifical feed) tinggi. Oleh karena itu, budidaya intensif sangat sensitif terhadap ketersediaan dan harga pakan. Rendahnya ketersediaan pakan hidup dibandingkan dengan populasi ikan maka asupan pakan harus memenuhi syarat cukup jumlah dan kualitas. Jenis ikan

Page 102: Policy Brief - Dewan Guru Besar

91

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

berbeda membutuhkan pakan yang berbeda juga tetapi hampir semua memberikan pakan buatan. Dengan demikian harga menjadi penentu kelayakan usaha. Oleh karena itu, pemanfaatan bahan yang murah perlu dikembangkan untuk mendapatkan pakan yang sehat dan terjangkau.

Meningkatnya produksi akuakultur menyebabkan peningkatan harga-harga bahan baku pakan ikan. Bahan-bahan yang mempunyai pasokan terbatas menunjukkan kenaikan yang signifikan, bahkan bahan baku pengganti tepung ikan juga mengalami kenaikan signifikan. Demikian juga dengan bahan-bahan lainnya, mempunyai fluktuasi harga yang cukup tinggi, misal jagung dan gandum. Fluktuasi harga adalah masalah bagi industri pakan (akuakultur) karena sulit memprediksi biaya produksi. Persoalan yang dapat ditimbulkan adalah produksi ikan tidak diserap pasar karena harga terlalu mahal atau kalah bersaing dengan usaha budidaya yang lebih efisien.

Sumber karbohidrat yang banyak digunakan adalah gandum dan dedak. Penelitian terkait karbohidrat lainnya terbatas. Tepung terigu, tepung jagung dan tepung beras adalah sumber karbohidrat yang baik karena kualitas nutrisi yang baik dan tidak perlu pengolahan tambahan. Namun demikian, harganya yang mahal dan dalam jangka waktu yang panjang terjadi persaingan dengan bahan pangan. Bahan baku produk samping yang banyak digunakan adalah tepung pollard (hasil ikutan dari industri terigu, terbuat dari kulit bagian dalam biji gandum) dan dedak (hasil ikutan dari penggilingan gabah, terbagi atas dedak kasar dan dedak halus atau bekatul) sangat baik karena relatif murah dan penggunaannya masih terbatas. Namun kualitas pakan yang dihasilkan relatif rendah.

Ikan mempunyai kemampuan menggunakan glukosa secara terbatas. Dari hasil uji intoleransi menunjukkan bahwa ikan memiliki kemiripan dengan penyakit diabetes. Antar spesies mempunyai variasi, secara umum lebih lambat dari mamalia. Ikan air tawar dapat memanfaatkan karbohidrat dengan lebih baik. Namun demikian, input karbohidrat sangat diperlukan dalam jumlah tertentu. Penelitian pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ikan telah menunjukkan hasil yang baik. Fermentasi ampas sagu sebagai sumber karbohidrat sudah dicobakan pada pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) (Sumiana 2019). Serangkaian penelitian yang dilakukan mencakup (i) komparasi pati sagu dengan tepung terigu, jagung, dan beras, (ii) gelatinisasi, dekstrinisasi, tepung sagu, (iii) variasi antarspesies, (iv) penggunaan bahan aktif untuk meningkatkan penggunaan CHO oleh ikan, dan (v) prioritas ikan air tawar populer. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bobot yang baik sehingga ampas sagu berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat pada pakan ikan air tawar.

Pembangkitan Energi dari Hasil Samping Industri Pengolahan Tepung SaguProses pengolahan tepung sagu pada dasarnya adalah penebangan, pengulitan dan pembelahan batang sagu, penghancuran dan pemerasan serat empulur dan dicuci untuk diambil pati dan dikeringkan. Tepung pati sagu siap dikemas untuk disimpan, diperdagangkan atau di konsumsi. Karakteristik dan jumlah hasil samping industri pengolahan tepung sagu terdiri dari limbah cair (± 20 l/kg tepung sagu) yang masih mengandung bahan organik tinggi, serat, 4% pati yang tidak terekstrak, larutan nitrogenus

Page 103: Policy Brief - Dewan Guru Besar

92

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

serta sianoglukosid, ampas serat sagu berupa serat selulosa dan kulit batang. Selain itu, pelepah, daun dan akar (bonggol) pohon sagu, yang juga merupakan limbah biomassa padat lainnya yang potensial (Mazlina et al. 2007).

Dalam proses pengolahan, perbandingan tepung sagu yang dihasilkan terhadap serat sagu adalah 1:6. Artinya, setiap 6 kg serat sagu menghasilkan 1 kg tepung sagu dan 5 kg limbah ampas serat sagu. Sementara, komposisi perbandingan limbah kulit pohon sagu terhadap serat sagu dalam setiap pohon antara 17-25% : 83-75% atau rata rata 21:79%. Berdasarkan perbandingan ini maka diperkirakan pada saat ini (mengacu pada proyeksi produksi tepung sagu nasional 2018, yang mencapai 281,898 ton) maka terdapat limbah cair sebanyak 7,800,000 m3, ampas serat sagu sebanyak 1,950,000 ton, dan kulit batang sagu sebanyak 487,500 ton, belum termasuk daun, pelepah dan akar (bonggol) pohon sagu.

Sebagaimana limbah cair pada agroindustri sawit, limbah cair pengolahan sagu inipun berpotensi untuk dikonversi sebagai biogas berbasis proses fermentasi, yang selanjutnya dapat dipakai untuk menjadi tenaga pembangkit listrik gas – gastrain. Mengacu pada agroindustri sawit yang setiap unit pengolahan 1 ton TBS, dihasilkan limbah cair 0.7- 1.0 m3. Unit pengolahan berkapasitas 45 ton/jam TBS, menghasilkan limbah cair POME yang dapat dikonversi menjadi biogas serta cukup untuk pembangkit listrik gas mini berkapasitas 2 x 0,6 MW. Hal serupa dapat diperoleh dari limbah cair sagu. Keseluruhan limbah cair pengolahan sagu, yang secara nasional mencapai 7,800,000 m3, berpotensi untuk menjadi tenaga listrik sebesar 208,000 MWh per tahun. Di samping itu, turunan limbah cairnya masih sangat berpotensi sebagai pupuk cair dan padat organik.

Dengan proyeksi jumlah limbah ampas serat sagu secara nasional mencapai 1,950,000 ton, dapat diperoleh bahan ampas serat kering sebesar 682,500 ton. Jumlah limbah kulit batang sagu secara nasional mencapai 478,500 ton. Seperti yang diketahui, serat tanaman segar non-kayu bisa berkadar air sekiar 40-50%, sehingga limbah kulit batang sagu kering yang dihasilkan kurang lebih 263,175 ton. Total limbah kering ampas serat dan kulit batang sagu kering 945,675 ton per tahun, dapat dikonversi menjadi bahan bakar padat biomassa pelet sebesar 859,704 ton per tahun. Sebagaimana sifat serat nabati yang kandungan utamanya adalah selulosa, memiliki kandungan kalori rata rata 4,500 kkal/kg. Dengan konversi pembangkitan listrik PLTU, 3,000 kkal/kWh, pelet limbah biomassa padat sagu tersebut cukup untuk membangkitkan 1,289,556 MWH listrik per tahun.

Secara keseluruhan, limbah cair dan biomassa padat industri pengolahan sagu berpotensi energi: limbah cair 208,000 MWh, limbah ampas serat dan kulit batang sagu 1,289,556 MWh atau total 1.497.556 MWh per tahun. Jumlah tersebut memberikan nilai tambah sebesar 1,487,556,000 kWh x Rp 1.150/kWh atau setara Rp 1.72 T/tahun. Masalah yang timbul adalah penyebaran lokasi limbah biomassanya, sehingga perlu diperhitungkan secara matang kelayakan aplikasi pemanfaatannya untuk dapat dikonversi sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Berdasarkan jenis hasil samping (limbah) industri pengolahan sagu yang berupa limbah cair dan padatan biomassa (ampas serat dan kulit batang sagu), maka hasil konversi awal yang dimungkinkan (dari sisi energi) adalah biogas dan bahan bakar padat pelet biomassa. Selanjutnya keduanya dapat

Page 104: Policy Brief - Dewan Guru Besar

93

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

dikonversi menjadi tenaga listrik. Pembangkit listrik tenaga gas mini, gass train. Penggunaan biogas hasil konversi limbah cair maupun gasifikasi bahan bakar padat pelet biomassa limbah sagu dapat menopang PLTU berbahan bakar padat pelet biomassa limbah sagu. Pengembangan pengolahan tepung sagu terpadu berbasis kawasan memungkin pemanfaatan limbah sebagai pembangkit listrik untuk memasok kebutuhan pabrik secara mandiri.

Pengembangan Pengolahan Sagu Mandiri EnergiPotensi energi dari limbah sagu sangat memadai yakni setiap 37.5 m3 limbah cair atau 1.87 ton limbah padat dapat menghasilkan 1 MWh listrik. Dengan memaksiumkan penggunaan kembali (roundput) dalam proses akan diperoleh berbagai manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial. Penggunaan sumberdaya lebih terkendali dan pencemaran lingkungan sangat minimal. Dalam perspektif inilah dikembangkan pengolahan tepung sagu mandiri (bahkan surplus) energi. Pada setiap tahapan proses dilakukan maksimum daur ulang dan optimum pengumpulan hasil samping (collection) untuk pemanfaatan secara terpadu.

Potensi energi tersebut dapat dihitung berdasarkan kandungan energi hasil samping. Untuk setiap 1,000 ton batang sagu dihasilkan 170 ton (17%) kulit batang, 175.61 ton ampas (17.61%), dan 3,420.75 m3 limbah cair. Kulit batang sagu mengandung energi 4,675 kkal/kg, ampas sagu 3,694 kkal/kg. Potensi energi listrik yang dapat dihasilkan adalah 88,497 kWh. Dari limbah cair dapat diperoleh listrik sebanyak 2,065 kWH sehingga total 90,562 kWh. Kebutuhan listrik untuk mengolah 1,000 ton batang sagu adalah 26,070 kWh sehingga terdapat surplus sebanyak 64,492 kWh. Dengan demikian, industri pengolahan tepung sagu dapat dikembangkan dengan surplus energi untuk didistribusikan ke masyarakat sekitar. Pengolahan sagu menjadi tepung sagu dapat dikembangkan dengan sistem tertutup dan mandiri energi.

RekomendasiSemua bagian ari batang sagu memiliki manfaat. Pati sagu diekstrak sebagai produk utama untuk pangan dan bahan baku industri berikutnya (pangan dan non-pangan). Dalam proses produksi tersebut terbentuk hasil samping berupa kulit batang, ampas dan air limbah. Banyak kegunaan yang dapat dihasilkan dari hasil samping tersebut seperti pakan ternak, pakan ikan, kompos, bahan bakar, media tanam, bahan bangunan dan lain-lain. Hal yang sama juga untuk bahan yang tertinggal di lahan yakni daun, akar, bonggol dan frond sagu. Kegunaan yang luas ini harus dioptimalkan untuk optimasi kemanfaatan dan meminimumkan dampak lingkungan. Untuk memanfaatkan hasil samping sebagai bagian dari pembangunan industri sagu terpadu dan berkelanjutan maka perlu dilakukan:

Pembangunan industri pengolahan tepung sagu berbasis kawasan yang memenuhi skala komersial 1. secara teknis dan ekonomis untuk mencapai efisiensi biaya dan energi,

Pemanfaatan hasil samping (limbah) dirancang sebagai bagian dari proses produksi yakni secara 2. terpadu dengan kegiatan hulu (kebun) dan industri (pengolahan).

Page 105: Policy Brief - Dewan Guru Besar

94

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Alternatif pemanfaatan yang banyak tersebut perlu dikaji dan dirancang bersamaan dengan 3. perancangan kawasan kebun, infrastruktur, pabrik pengolahan, dan logistik penunjang.

Potensi energi yang terkandung dalam limbah tersebut melebihi kebutuhan energi untuk pabrik 4. pengolahan tepung sagu sehingga kelebihannya dapat didistribusikan ke seluruh kawasan baik melalui jaringan PLN maupun jaringan kawasan. Ini sekaligus dapat menyediakan energi untuk masyarakat lokal dengan biaya yang murah.

Pembangunan kawasan sagu dengan pusat pabrik pengolahan hendaknya dirancang sebagai 5. food estate yakni terdiri dari kebun sagu, pabrik pengolahan sagu, peternakan ruminasia, budidaya ikan, fasilitas proses pupuk kompos/organik, budidaya jamur, dan pembangkit listrik.

PenutupPengembangan pengolahan sagu terpadu dan berkelanjutan dicirikan oleh pemanfaatan hasil samping secara optimum sehingga dampak lingkungan minimum serta dampak ekonomi dan sosial optimum. Pendekatan keberlanjutan memastikan setiap pemangku kepentingan mendapat kemanfaatan sesuai dengan perannya secara rasional dan seimbang (adil). Peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan keuntungan pengusaha dapat digandakan melalui penerapan konsep food estate yang membentuk integrasi secara horizontal (pemanfataan lahan optimal, perluasan usaha agribisnis) dan vertikal (pengembangan industri turunan karbohidrat sampai dengan kepatutan insentif/subsidi oleh negara-pemerintah).

Daftar PustakaBujang KB, Ahmad FB. 2000. Sago starch: Production and Utilization in Malaysia. Proceeding, The

International Sago Seminar. Bogor Indonesia. 22-23 March 2000.

Denitasari NA. 2011. Briket Ampas Sagu Sebagai Bahan Bakar Alternatif. [Skripsi]. Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.

Flach M. 1997. Sago Palm Metroxylonsagu Rottb. Promoting the Conservation and Used of Unther Utilized and Neglected Crops. 13. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research, Gatersleben/Internasional Plant Genetic Resources Institute (IPGRI), Rome.

Indriyani F, Bantacut T. 2019. Model Potensi Sistem Tertutup Produksi Mandiri Energi Pati Sagu. Sripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB University, Bogor.

Israilides C, Scanlon B, Smith A, Harding SE, Jumel K. 1994. Characterization of pullulans produced from agro-industrial wastes. Carbohydrate Polymers 25, 203 209.

Kadirvelu K, Kavipriya M, Karthika C, Vennilamani N, Pattabhi S. 2004. Mercury (II) adsorption by activated carbon made from sago waste. Carbon 42, 745–752.

Kridha YL. 2000. Pemanfaatan Limbah Ampas Sagu Untuk Budidaya Tanaman Sayuran. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Page 106: Policy Brief - Dewan Guru Besar

95

DEWAN GURU BESARINSTITUT PERTANIAN BOGOR

Policy Brief Pembangunan Sagu Terpadu dan Berkelanjutan 2020

Mazlina S, Kamal M, Mahmud SN, Hussain SA, Ahmadun FR. 2007. Improvement of sago flour processing Int. J. Eng & Tech 4(1), 8–14.

Mushafaat L, Sukria HA, Suryahadi. 2015. Kualitas protein dan komposisi asam amino ampas sagu hasil fermentasi Aspergillus niger dengan penambahan urea dan zeolit. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20 (2), 124-130.

Nompo S, Meryandini A, Sunarti TC. 2019. Produksi enzim selulase oleh aktinomiset menggunakan frond sagu. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 16(2), 80 – 89.

Petrus AC, Ahmed OH, Ab-Majid NM, Nasir HM, Jiwan M, Banta MG. 2009. Chemical characteristics of compost and humic acid from Sago Waste (Metroxylon sagu). American Journal of Applied Sciences 6(11), 1880-1884.

Phang S, Miah M, Yeoh B et al. 2000. Spirulina cultivation in digested sago starch factory wastewater. Journal of Applied Phycology 12, 395–400. https://doi.org/10.1023/A:1008157731731.

Rasyid TH, Kusumawaty Y, Hadi S. 2020. The utilization of sago waste: prospect and challenges. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 415, 012023.

Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek A, Knill CJ, Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers 72, 1–20.

Sunarti TC, Derosya V, Yuliasih I. 2018. Acid Modification of Sago Hampas for Industrial Purposes in Ehara H, Toyoda Y, Johnson DV (Eds.) Sago Palm: Multiple Contributions to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.

Tiro BMW, Beding PA, Baliadi Y. 2018. The utilization of sago waste as cattle feed. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 119, 012038.

Umaya SAY. 2010. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Pada Magenta Farm di Desa Nagguna Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

United Nation Environment Programme (UNEP). 2003. Cleaner Production Assessment in Industries. http://www.uneptie.ora/pc/cp/. T

Vigneswaran S, Jegatheesan V, Visvanathan C. 1999. Industrial waste minimization initiatives in Thailand: concepts, examples and pilot scale trials. Journal of Cleaner Production 7, 43–47.

Vikineswary S, Shim YL, Thambirajah JJ, Blakebrough N. 1994. Possible microbial utilization of sago processing wastes. Resources, Conservation and Recycling 11, 289-296.

Zafar S. 2014. Waste management, waste-to-energy. https://www.bioenergyconsult. com/tag/waste-to-energy

Page 107: Policy Brief - Dewan Guru Besar
Page 108: Policy Brief - Dewan Guru Besar