Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

14
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 1 Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial A. Latar Belakang 1. Masalah sosial yang berkembang menunjukkan bahwa masih ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara yang mengakibatkan masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. 2. Arah pertolongan pekerjaan sosial adalah untuk menolong orang-orang agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri (mandiri). Pertolongan pekerjaan sosial ditujukan bagi pemulihan dan atau peningkatan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok dan komunitas/masyarakat. Terdapat 3 Pilar Keberfungsian sosial yaitu: a. Kepuasan dengan dirinya sendiri dalam pengertian perasaan-perasaan bahwa dirinya berharga. b. Kepuasan dengan peranan-peranan dalam hidup. c. Hubungan yang positif dengan orang lain. 3. Hasil pelaksanaan intervensi pekerjaan sosial dalam upaya memulihkan dan meningkatkatkan keberfungsian sosial PMKS dapat dilihat dari indikator sebagai berikut: a. Kemampuan melaksanakan peranan sosial. b. Kemampuan memenuhi kebutuhan. c. Kemampuan memecahkan permasalahan sosial yang dialami. 4. Kementerian Sosial diamanatkan untuk melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara terarah, terpadu dan berkelanjutan melalui pendayagunaan sumber daya manusia kesejahteraan sosial. 5. Dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan sosial, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial mempunyai sumber daya manusia kesejahteraan sosial yaitu: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Penyuluh Sosial dan Relawan Sosial sedangkan dalam penanganan fakir miskin ditambah Tenaga Pendamping. 6. Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial mempunyai kewenangan dalam memberikan pembinaan teknis sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial. 7. Dalam pelaksanaan Praktik pendampingan terhadap PMKS yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial, terdapat 25 (dua puluh lima) jenis Nomenklatur Pendamping sosial yang berbeda-beda.

Transcript of Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Page 1: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 1

Policy Brief

Standar SDM Kesejahteraan Sosial

A. Latar Belakang

1. Masalah sosial yang berkembang menunjukkan bahwa masih ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara yang mengakibatkan masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

2. Arah pertolongan pekerjaan sosial adalah untuk menolong orang-orang agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri (mandiri). Pertolongan pekerjaan sosial ditujukan bagi pemulihan dan atau peningkatan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok dan komunitas/masyarakat. Terdapat 3 Pilar Keberfungsian sosial yaitu: a. Kepuasan dengan dirinya sendiri dalam pengertian perasaan-perasaan

bahwa dirinya berharga. b. Kepuasan dengan peranan-peranan dalam hidup. c. Hubungan yang positif dengan orang lain.

3. Hasil pelaksanaan intervensi pekerjaan sosial dalam upaya memulihkan dan meningkatkatkan keberfungsian sosial PMKS dapat dilihat dari indikator sebagai berikut: a. Kemampuan melaksanakan peranan sosial. b. Kemampuan memenuhi kebutuhan. c. Kemampuan memecahkan permasalahan sosial yang dialami.

4. Kementerian Sosial diamanatkan untuk melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara terarah, terpadu dan berkelanjutan melalui pendayagunaan sumber daya manusia kesejahteraan sosial.

5. Dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan sosial, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial mempunyai sumber daya manusia kesejahteraan sosial yaitu: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Penyuluh Sosial dan Relawan Sosial sedangkan dalam penanganan fakir miskin ditambah Tenaga Pendamping.

6. Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial mempunyai kewenangan dalam memberikan pembinaan teknis sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial.

7. Dalam pelaksanaan Praktik pendampingan terhadap PMKS yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial, terdapat 25 (dua puluh lima) jenis Nomenklatur Pendamping sosial yang berbeda-beda.

Page 2: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 2

Daftar Nomenklatur SDM Kesejahteraan Sosial

Pekerja Sosial Profesional Tenaga Kesejahteraan Sosial Penyuluh Sosial Relawan Sosial

Tenaga Kesos Kecamatan Pekerja Sosial Masyarakat Karang Taruna Taruna Siaga Bencana Wanita Pemimpin Kesos Relawan Sosial Kader RBM

Pelopor Perdamaian Penyuluh Sosial Masyarakat

Pendamping PKH

Pendamping KUBE

Pendamping Kesos Anak Pendamping KAT

Pendamping JSLU Pendamping ASODK

Pendamping WKSBM

Satuan Bakti Pekerja Sosial Satuan Bakti Peksos Pandu Gempita Satuan Bakti Peksos KAT

Satuan Bakti TKS KAT

Team Reaksi Cepat (TRC)

8. Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan kebijakan nasional tentang Standar SDM Kesejahteraan Sosial untuk memastikan agar penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat mencapai tujuan pembangunan kesejahteraan sosial secara optimal.

B. Permasalahan Kebijakan

Permasalahan kebijakan pengembangan standar SDM Kesejahteraan Sosial, antara lain:

1. Belum tersedianya standar nasional tentang kualifikasi dan pembinaan SDM Kesos yang ditugaskan menjadi pendamping program yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial, maupun kewenangan kementerian/ lembaga negara dan lembaga-lembaga non pemerintah.

2. Belum ditetapkannya kebijakan nasional tentang jenjang kompetensi dan jenis jabatan berdasarkan kualifikasi SDM kesejahteraan sosial (pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial dan penyuluh sosial).

3. Belum adanya standar pembinaan SDM kesejahteraan sosial yang meliputi standar pengadaan (analisis kebutuhan, rekruitmen, penempatan) dan peningkatan kompetensi (pendidikan, pelatihan, renumerasi dan pembinaan karier).

4. Sistem pengembangan SDM kesejahteraan sosial belum didasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang menghubungkan antara pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dengan kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan yang ditugaskan Kementerian Sosial.

5. Sistem lisensi (sertifikasi, ijin Praktik dan registrasi) bagi SDM kesejahteraan sosial belum diterapkan secara menyeluruh untuk setiap SDM yang bertugas sebagai pendamping program dan SDM Peksos yang melaksanakan Praktik pekerjaan sosial.

Page 3: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 3

6. Diferensiasi tugas dan komplementari pekerjaan antara Pekerja Sosial (Social worker) dan Pekerja Kesejahteraan/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (Welfare Worker) belum dibangun berdasarkan jenjang kompetensi dan kualifikasi pekerjaan.

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan policy brief ini adalah: 1. Dapat memberikan gambaran permasalahan dan tantangan kebijakan

nasional dalam pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial.

2. Mengevaluasi pelaksanaan kewenangan Kementerian Sosial selaku

pembinaa umum dan teknis dalam pengembangan SDM Kesejahteraan

Sosial.

3. Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan bagi Menteri Sosial dalam

menetapkan Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial.

4. Sebagai salah satu pembelajaran dalam perumusan policy brief dengan

pendekatan Analisis Kebijakan Sosial (Sosial Policy Analysis).

Manfaat yang ingin diberikan sehubungan dengan penulisan policy brief ini sebagai berikut: 1. Bagi pengambil keputusan kebijakan (Menteri Sosial dan Pejabat Eselon I),

diharapkan dapat digunakan untuk pertimbangan dalam menetapkan

kebijakan tentang pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial.

2. Bagi stakeholder Kementerian Sosial, mengetahui faktor-faktor kritikal

permasalahan dan tantangan dalam penetapan Standar SDM Kesejahteraan

Sosial.

3. Bagi kalangan akademisi, policy brief ini berguna untuk menambah

keragaman penerapan Analisis Kebijakan Sosial yang membuka kesempatan

untuk melanjutkan kajian ini bagi akademisi lainnya.

D. Metode Kajian

Dalam kajian ini secara umum metode yang digunakan adalah analisis kebijakan sosial (Patton dan Sawicki, 1986). Untuk merumuskan masalah kebijakan digunakan Analisis Perbandingan dengan Kondisi Ideal (Comparison with an Ideal) dalam bentuk rumusan masalah dan tantangan. Selama proses analisis, dilakukan pendefinisian ulang masalah kebijakan agar masalah kebijakan yang teridentifikasi dapat distrukturkan dan dicarikan solusinya. Proses ini disebut “Pemecahan Masalah Terbalik” (Backward Problem Solving). Dalam menstrukturkan masalah SDM Kesejahteraan Sosial digunakan juga Analisis Klasifikasional (Clasificational Analysis) dengan kriteria yang digunakan melalui Konsistensi Secara Logis (Logical Consistency). Teknik ini digunakan untuk memperjelas konsep yang digunakan dalam mendefinisikan situasi problematik. Untuk mendukung penyusunan policy brief dilakukan juga Focus Group Discussion dengan stakekolder terkait dan kunjungan lapangan ke Bandung dengan lokus STKS Bandung.

Page 4: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 4

Para pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan policy brief sebagai berikut: - Para Staf Ahli Menteri Sosial; - Staf Khusus Menteri Sosial; - Tenaga Ahli Menteri Sosial; - Para Sekretaris UKE Kemensos ; - Ketua STKS Bandung; - Kapusbin Jabfung Peksos dan Pensos Kemensos; - Kapus Kajian Hukum Kemensos; - Para Pejabat Eselon II terkait; - Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Masyarakat,

Bappenas; - Tim Peneliti B2P3KS Jogyakarta; - Ketua Forum Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak; - Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat; - Sekretaris Dinas Sosial Kota Bandung dan Kabupaten Bandung; - Ketua Lembaga Penelitian STKS Bandung; - Kepala Balai Diklat SDM Pemerintah Provinsi Jawa Barat; - Makmur Sunusi, Ph.D selaku praktisi pekerjaan sosial; - Aktivis dari GenTaskin; - Tenaga Ahli dari GIZ; - Kabag OHH Set Badiklit Kesos (Anggota Tim Teknis).

E. Evaluasi Kebijakan

Kebijakan pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial didasarkan pada landasan yuridis formal sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

Pasal 33 ayat (1) terdapat sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri dari Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Relawan Sosial dan Penyuluh Sosial

Pasal 52, Sertifikasi untuk Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial

2. Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;

Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Rehabilitasi Sosial dilaksanakan oleh Pekerja Sosial)

3. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

Pasal 33 Sumber Daya Manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin terdiri dari Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Relawan Sosial dan Penyuluh Sosial dan Tenaga Pendamping.

4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 63 Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai petugas kemasyarakatan;

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa;

Pasal 55 huruf b, Praktik Pekerja Sosial

Page 5: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 5

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;

Lampiran Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Sosial, pemberian Sertifikasi kepada Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial oleh Pemerintah Pusat.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;

Pasal 73, Pekerja Sosial dapat berpraktik setelah lulus uji kompetensi (tersertifikasi dan memiliki ijin praktik)

Praktik pekerjaan sosial di Indonesia merupakan kegiatan utama dalam pelayanan sosial dan untuk menghasilkan pelayanan sosial yang berkualitas maka penerapan standardisasi dalam praktik pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan melalui sertifikasi pekerja sosial.

Pelaksanaan sertifikasi saat ini baru mencapai 120 (seratus dua puluh) orang Pekerja Sosial Profesional sedangkan sertifikasi terhadap Tenaga Kesejahteraan Sosial belum dapat dilaksanakan, disebabkan karena adanya keterbatasan sumber daya dalam sertifikasi. Kebutuhan Pekerja Sosial yang tersertifikasi dari berbagai setting layanan sangat diperlukan, dalam waktu dekat diperlukan 700 (tujuh ratus) Pekerja Sosial Napza dan Pekerja Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum disetiap Kabupaten/Kota untuk mendampingi dalam proses peradilan maupun diversi, sementara baru tersedia Sertifikasi Pekerja Sosial Generalis.

Berdasarkan hasil penelitian evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2013, hasil penelitian B2P3KS Jogyakarta tahun 2013, FGD SAM tanggal 1 April 2015 dan FGD di STKS Bandung Tanggal 7 April 2015, diperoleh kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:

1. Bappenas (2013)

a. Hasil Kajian tentang Pendampingan dan Pekerja Sosial dalam program kesejahteraan masyarakat, menyimpulkan bahwa:

1) Terdapat dua model pendamping yaitu pekerja sosial dan pendamping sosial yang dikontrak oleh Kemensos, mendapatkan balas karya dengan jumlah tertentu serta Pekerja Sosial dan pendamping yang didasarkan pada kerelawanan. Perbedaan terlihat dari kriteria, pola rekruitmen, kontrak kerja, sistem balas karya, peningkatan kapasitas dan mekanisme pertanggungjawaban.

2) Terdapat kerancuan dan tumpang tindih nomenklatur bagi Tenaga Kerja dalam bidang Kesejahteraan sosial yang langsung bekerja dengan klien seperti Pekerja Sosial, pendamping, penyuluh, pekerja sosial masyarakat, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan sehingga pekerja sosial sebagai profesi dan pendamping sebagai salah satu peran yang bisa dilakukan oleh Pekerja Sosial maupun tenaga kesejahteraan sosial menjadi tidak jelas batasannya yang mengakibatkan peran yang dilakukan oleh masing-masing menjadi tumpang tindih dan kurang jelas perbedaannya.

3) Kerancuan istilah juga terjadi untuk pelaku (tenaga bidang pelayanan sosial) yang berbasis kerelawanan terdapat istilah Pekerja Sosial

Page 6: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 6

Masyarakat (PSM) memakai istilah Pekerja Sosial tetapi kompetensi, perannya dan karakteristiknya berbeda dengan Pekerja Sosial Profesional.

4) Peran dan tugas yang dijalankan oleh pekerja sosial dan pendamping di lapangan tidak jauh berbeda yaitu menjalankan peran-peran fasilitiasi, mediator, enabler, educator, advokat, dan broker yang sebetulnya lebih dari yang termuat dalam pedoman dan yang paling menonjol yang dilakukan oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial, Pendamping PKH, TKSK, PSM sebagai penghubung dengan berbagai sumber layanan yang dibutuhkan, juga menjembatani konflik antara klien dengan lembaga pelayanan, serta peran sebagai fasilitator. Peran advokasi hanya dilakukan oleh sebagian kecil Sakti Peksos maupun Pendamping PKH. Sakti Peksos lebih memahami metode dan tehnik pendampingan karena latar belakang pendidikan mereka yang berasal dari pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial atau Kesejahteraan Sosial.

b. Saran hasil peneltian

1) Kerancuan dalam istilah yang digunakan untuk pekerja/pelaku yang memberikan pertolongan terhadap PMKS perlu dibenahi dan disederhanakan dengan menyusun nomenklatur yang berbasis kepada kompetensi, peran dan tugas yang dijalankan dalam intervensi terhadap PMKS.

2) Istilah pendamping bisa diberikan kepada individu yang menjalankan peran fasilitator, mediator, broker, enabler, dan/atau advokat dalam membantu PMKS memecahkan masalahnya yang berbasis kelompok dan/atau komunitas dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sebagai penanda yang membedakan pendamping program pelayanan dan batasan profesi dan kerelawanan, kata pendamping bisa ditambah dengan jenis pelayanan sosial/program yang relevan. Sebagai contoh: Pekerja Sosial Pendamping Anak Cacat, Tenaga Kerja Sosial Pendamping PKH, Relawan Sosial Pendamping KUBE dan lain-lain.

3) Khusus bagi Tenaga Kerja Sosial Kecamatan yang sekarang berfungsi untuk membantu Camat dalam penyelenggaraan upaya kesejahteraan sosial, istilah ini bisa tetap dipakai tersendiri tetapi dengan peran yan diperluas sebagai koordinator upaya pelayanan kesejahteraan sosial ditingkat kecamatan yang meliputi peran manajerial, penyusunan database relawan sosial dan database PMKS tingkat kecamatan. Berkaitan dengan peran yang lebih luas tersebut TKSK tidak lagi bisa menggunakan skema relawan akan tetapi menggunakan skema pegawai negeri sipil atau tenaga kontrak dari Dinas Sosial Kabupaten. Mengingat peran tersebut, makaTKSK harus mensyaratkan latar belakang pendidikan pekerja sosial atau kesejahteraan sosial.

Page 7: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 7

2. BBPPPKS Yogyakarta, Badiklitkesos (2013).

a. Hasil penelitian tentang Standar Kompetensi Pendamping Sosial Berbasis Sistem Pekerjaan Sosial, antara lain menjelaskan:

1) Terdapat tenaga pendamping program kesos yang sangat beragam dengan kompetensi yang berbeda-beda sehingga proses pendampingan yang dilakukan sangat beragam dan tidak terstandar.

2) Banyak tenaga pendamping yang merangkap beberapa program kesos.

3) Kinerja pendamping sulit diukur tingkat efektivitasnya.

4) Terjadi keragaman besarnya insentif yang diterima oleh pendamping , antara program yang satu dengan program yang lain sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di antara para pendamping dan dapat merusak iklim kerja di lapangan serta mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan yang diberikan pendamping kepada masyarakat/PMKS.

b. Rekomendasi/ saran hasil dari penelitian antara lain :

1) Perlu segera ditetapkan Peraturan Perundangan tentang standar nasional pendamping sosial sehingga posisi pendamping sosial menjadi kuat, demikian halnya dengan mekanisme perekrutan, manajemen, intervensi sosial dan sistem peningkatan kapasitas pendamping.

2) Pendamping program hendaknya berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial/ilmu kesejahteraan sosial.

3) Kualifikasi pendamping sosial perlu dikaitkan dengan sistem insentif yang layak secara kemanusiaan.

4) Standarisasi pendampingan sosial perlu diciptakan dengan memadukan sistem rekruitmen, sistem managemen, sistem intervensi, dan sistem pelatihan dengan melibatkan berbagai pihak terkait (Kemensos/Direktorat terkait, Pemda TK I/II, BBPPKS dan stake holder).

3. Hasil Fokus Group Disccusion Staf Ahli Menteri

a. Nomenklatur pendamping sosial program yang beragam menimbulkan kerancuan, tumpang tindih fungsi, membingungkan masyarakat dan berdampak pada ketidakjelasan keberadaan SDM kesejahteraan sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Keberagaman pendamping sosial yang berbasis program/proyek juga mengakibatkan sistem pendidikan dan pelatihan menjadi kurang terstruktur dan terintegrasi.

b. Muncul nomenklatur SDM Kesejahteraan Sosial yang menjadi pendamping menunjukkan bahwa belum tertatanya prosedur pengadaan pendamping dan kurang terkoordinasi dalam penetapan payung hukum setiap pendamping sosial.

Page 8: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 8

c. Kebutuhan pendamping sosial untuk memastikan setiap program-program penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat mencapai manfaat (outcome) dan dampak (impact) bagi penerima manfaat.

d. Analisis kebutuhan pendamping sosial yang belum terintegrasi berdampak pada ketidakjelasan formasi penyediaan SDM Kesejahteraan Sosial, termasuk prospek untuk menjadi Aparatur Sipil Negara bagi pendamping sosial yang potensial.

e. Lemahnya hubungan antar pendamping sosial di lapangan, mempengaruhi sinergi antar program PKH, KUBE, PKSA, ASODK, ASLUT, dll.

f. Jengjang karier fungsional atau apresiasi terhadap pendamping sosial yang berprestasi, mempengaruhi kemajuan kinerja program. Pendamping sosial yang berkelanjutan merupakan kebutuhan strategis bagi pencapaian target sasaran program-program kesejahteraan sosial.

g. Permasalahan kesejahteraan sosial baik yang bersifat personal maupun kelompok bahkan komunitas tidak dapat dilepaskan penyelesaiannya dengan profesi pekerjaan sosial (Social Work). Pekerja sosial, baik yang bekerja dalam lembaga rehabilitasi sosial maupun di luar lembaga/masyarakat, merupakan profesi utama dalam penyelesaian masalah kesejahteraan sosial. Namun, jumlah pekerja sosial yang berlatarbelakang pendidikan pekerjaan sosial jumlahnya sangat terbatas. Upaya yang harus dilakukan adalah mendayagunakan para Tenaga Kesejahteran Sosial (TKS) dan Relawan Sosial.

h. TKS dan Relawan Sosial dapat membantu menggantikan peran dan fungsi pekerja sosial dengan baik harus memiliki kemampuan (ability), kekuatan (power) dan kesempatan (opportunity) untuk melaksanakan hal itu dengan baik. Maka, TKS dan Relawan Sosial perlu diberi penguatan guna meningkatkan peran dan fungsi mereka agar mereka dapat melakukan intervensi dengan berdayaguna memberi efek positif terhadap penanganan PMKS.

i. Standarisasi SDM Kesos dengan demikian harus diarahkan pada aspek kemampuan, kekuatan dan kesempatan, pada dua rumpun: generalis dan spesialis. Perlu ada stratifikasi pekerja sosial sesuai dengan tingkat pendidikan.

j. Terkait penguatan TKS dan Relawan Sosial diarahkan untuk meningkatkan kinerja mereka dalam melaksanakan penanganan PMKS. Penguatan itu sendiri dipandang sebagai sebuah proses peningkatan kapasitas yang mencakup pemberdayaan (empowerment) dan partisipasi atau pelibatan.

k. Pemberdayaan atau penguatan TKS dan Relawan Sosial berisi kegiatan-kegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam bentuk transfer pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), transfer budaya kerja yang baik; dan peningkatan partisipasi atau pelibatan (involvement) berupa pemberian kesempatan-kesempatan seperti dalam menyusun rencana program/kegiatan, dalam pembuatan/penentuan keputusan, perubahan kebijakan dan bentuk partisipasi lainnya.

Page 9: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 9

l. Penguatan juga diarahkan pada upaya memfasilitasi pembentukan lembaga atau organisasi yang mampu meningkatkan power TKS dan Relawan Sosial dalam konteks untuk meningkatkan eksistensi dan kemanfaatan keberadaan mereka.

4. Hasil Fokus Group Disccusion di STKS Bandung

a. Kebijakan nasional dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial sudah mendesak ditetapkan untuk mengeliminasi sengkarut SDM Kesejahteraan Sosial yang ada saat ini.

b. Penggunaan nomenklatur pendamping sosial dalam berbagai program strategis nasional telah mereduksi eksistensi Pekerja Sosial (Social Worker) dan Pekerja Kesejahteraan/Tenaga Kesejahteraan Sosial (Welfare Worker) yang telah dimanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu, upaya mengembalikan eksistensi pilar-pilar utama SDM Kesejahteraan Sosial dapat dilakukan melalui penetapan Peraturan Menteri Sosial sebagai afirmatif action, sebelum lahirnya Undang-Undang tentang Pekerja Sosial.

c. Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial sangat diperlukan untuk memastikan sistem pengadaan dan pembinaan SDM di daerah. Karena itu dalam Permensos tentang Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial diharapkan memuat aspek-aspek ratio ideal antara Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Relawan Sosial dan Penyuluh Sosial dibandingkan dengan target penerima manfaat (PMKS). Selain itu standar kompetensi dapat segera ditetapkan untuk digunakan dalam pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan di daerah.

d. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Balai Diklat SDM telah mengembangkan standar kualifikasi akademik dan standar kompetensi yang dapat dijadikan masukan dalam penyusunan standar nasional SDM Kesejahteraan Sosial. Diperlukan orientasi baru dalam membangun citra pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial melalui rekruitmen tenaga yang professional dan pemberian tunjangan jabatan dan profesi bagi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial yang sudah tersertifikasi kompetensinya.

e. Berdasarkan penilaian Dinas Sosial maka kinerja Pekerja Sosial Profesional diakui telah melaksanakan tugas dan peran-peran profesional yang lebih baik dibandingkan kinerja petugas yang direkrut tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan pekerjaan sosial/ kesejahteraan sosial. Karena itu untuk program-program strategis nasional (PKH,PKSA, PRS Korban Napza, Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Program Pemberdayaan KAT, Program Raskin, Program PSKS, dll.) agar mendayagunakan Pekerja Sosial Profesional sebagai team leader dari tenaga-tenaga kesejahteraan sosial, seperti TKSK, PSM, Kader RBM, dll.). Penyediaan Pekerja Sosial Profesional selayaknya mendayagunakan lulusan STKS Bandung secara optimal sebagai satuan kerja Kementerian Sosial.

Page 10: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 10

f. Sistem penempatan SDM Kesejahteraan Sosial dalam konteks pendampingan program agar dibangun sistem hierarkhi secara fungsional yang dimasukkan dalam Permensos tentang Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial yang akan disusun, misalnya di tingkat kecamatan diwajibkan ada Pekerja Sosial Profesional sebagai team leader penyelenggaraan kesejahteraan sosial berbasis wilayah. Selanjutnya dalam team tersedia para petugas professional lainnya, bisa pekerja sosial spesialis (berdasarkan keahlian yang dibutuhkan dalam pendampingan program yang spesifik, misalnya spesialis perlindungan anak, spesialis penanganan korban bencana, spesialis penanganan korban Napza, dll). Team tersebut juga didukung oleh tenaga-tenaga kesejahteraan sosial lainnya, seperti TKSK yang berperan sebagai asisten team sekaligus mengkordinasikan tenaga-tenaga relawan sosial di tingkat desa/ kelurahan seperti PSM, dan Tagana.

g. Beban tugas TKSK dinilai melampaui kapasitas kompetensinya, antara lain sebagai pendamping sosial program raskin, pedataan PMKS, verifikasi dan validasi data PMKS, kordinator penyelenggaraan kesejahteraan sosial di tingkat kecamatan, pendamping KUBE, Pendamping KAT, Pendamping WKSBM, dan tugas-tugas lainnya. Pada prakteknya pelaksana tugas-tugas tersebut ditemukan dirangkap oleh TKSK. Akibatnya kinerja para pendamping tidak optimal.Karena itu diperlukan kejelasan tugas dan peran TKSK dan peningkatan persyaratan kualifikasi dari SMA menjadi Sarjana/ Diploma. Bagi yang belum memenuhi persyaratan, diperlukan pendidikan kesetaraan yang didukung dengan dana APBD. Dinas Sosial Kota Bandung sudah memberikan beasiswa kepada para TKSK agar bisa meraih kompetensi yang lebih baik di perguruan tinggi. Namun demikian belum ada upaya kerjasama pengembangan SDM TKSK dengan STKS Bandung.

h. Berdasarkan evaluasi Dinas Sosial Kota Bandung, Dinas Sosial Kabupaten Bandung dan Forum LKSA bahwa realokasi Satuan Bakti Pekerja Sosial dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk didistribusikan ke kota/kabupaten lain dinilai tidak tepat, karena kurang memperhatikan domisili Peksos. Akibatnya 60 orang dari 68 orang Sakti Peksos untuk PKSA mengundurkan diri. Hal ini terjadi karena gaji yang diberikan belum mencukupi kebutuhan fisik minimum, apalagi jika berpindah tempat tugas. Kebijakan tersebut beresiko Praktik pekerjaan sosial (misalnya case management, care planning, psikososial teraphy, reuinifikasi,dll.) di bidang perlindungan anak yang selama ini telah dilaksanakan bersama-sama LKSA tidak dapat dilaksanakan kembali secara professional.

i. Lembaga Penelitian STKS Bandung sedang melakukan kajian tentang standar kompetensi bagi pekerja sosial dari level Peksos Ahli Pemula (mampu melaksanakan pratik pekerjaan sosial), Peksos Ahli Muda (mampu memvalidasi praktik pekerjaan sosial), Peksos Ahli Madya (mampu mengembangkan praktik pekerjaan sosial) dan Peksos Ahli Utama (mampu menemukan model praktik pekerjaan sosial) agar jenjang level 6 sampai dengan level 9 dapat terpenuhi berdasarkan Standar Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Diharapkan hasil kajian tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk meningkatkan jenjang

Page 11: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 11

jabatan fungsional Pekerja Sosial sampai jenjang Peksos Utama (IV e). Saat ini hanya bisa sampai Peksos Madya (IV c).

F. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami ajukan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

1. Perlu ditetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial yang meliputi standar kualifikasi dan standar pembinaan SDM Kesos yang ditugaskan menjadi pendamping program, baik yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial, maupun kewenangan kementerian/ lembaga negara dan lembaga-lembaga non pemerintah.

2. Dalam Peraturan Menteri Sosial dimaksud perlu ditetapkan jenjang kompetensi dan jenis jabatan berdasarkan kualifikasi SDM kesejahteraan sosial (pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial dan penyuluh sosial). Permensos yang dimaksud dapat dipertimbangkan disusun secara terpisah untuk masing-masing pilar SDM kesejahteraan sosial tersebut, sehingga menjadi Permensos tentang Standar Nasional Pekerja Sosial, Permensos tentang Standar Nasional Tenaga Kesejahteraan Sosial, Permensos tentang Standar Nasional Relawan Sosial dan Permensos tentang Standar Nasional Penyuluh Sosial.

3. Selain jenjang kompetensi dan jenis jabatan, perlu penetapan standar pembinaan SDM kesejahteraan sosial yang meliputi standar pengadaan (analisis kebutuhan, rekruitmen, penempatan) dan peningkatan kompetensi (pendidikan, pelatihan, renumerasi dan pembinaan karier).

4. Perlu dipastikan agar Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Pekerjaan Sosial masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR RI dan mendapat prioritas pembahasan lebih lanjut untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Anatomi RUU Praktik Pekerjaan mencakup antara lain Standardisasi Pendidikan dan Pelatihan Praktik Pekerjaan Sosial, Standardisasi Kompetensi Praktik Pekerjaan Sosial, Standardisasi Praktik Pekerjaan Sosial, Sertifikasi, Registrasi dan Ijin Praktik Pekerjaan Sosial.

5. Untuk membangun eksistensi SDM Kesejahteraan Sosial, maka diperlukan pemberian identitas yang khas, seperti penyamaan seragam pakaian (uniform) dengan label yang relevan dan kartu identitas yang berlaku secara nasional.

6. Sistem pengembangan SDM kesejahteraan sosial agar didasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang menghubungkan antara pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dengan kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan yang ditugaskan Kementerian Sosial.

Page 12: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 12

S2

S1

S3

SekolahMenengah

Umum

1

2

3

4

5

7

8

9

6

S2(T)

D I

S1(T)

D III

D II

SekolahMenegahKejuruan

S3(T)

AHLI

TEKNISI/

ANALIS

OPERATOR

SPESIALIS

PROFESI

JENJANG CAPAIAN PEMBELAJARAN (JCP)PENDIDIKAN FORMAL

JENJANG KUALIFI

KASI KNPS & TKS

JCP MELALUI PELATIHAN KERJA DAN/ATAU

PENGALAMAN KERJA

KESETARAAN JENJANG KUALIFIKASI PADA KOMPETENSI NASIONAL PEKERJA SOSIAL & TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL (KNPS & TKS) DENGAN JENJANG

PENDIDIKAN, PELATIHAN KERJA, DAN/ATAU PENGALAMAN KERJA

7. Sistem lisensi (sertfikasi, ijin Praktik dan registrasi) bagi SDM kesejahteraan sosial perlu diterapkan secara menyeluruh untuk setiap pendampingan program.

SDM Kesos

Standarisasi

SDM Organisasi

Pekerja Sosial TKS LKS

Akreditasi Sertifikasi

Uji Kompetensi SPM Peny Kessos

Pengetahuan, Ketrampilan, Nilai, Norma & Etika Profesi

Sertifikat Akreditasi

Sertifikat Kompetensi

Ijin Praktik & Regristasi

8. Perlu dibangun kesepakatan kerja tentang diferensiasi tugas dan komplementari pekerjaan antara Pekerja Sosial (Social Worker) dan Pekerja Kesejahteraan/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (Welfare Worker) yang didasarkan pada jenjang kompetensi dan kualifikasi pekerjaan.

Page 13: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 13

Kualifikasi SDM Kesejahteraan Sosial

KUALIFIKASI

Social Worker(Pendidikan

Peksos/Kesos)

Welfare Worker( ex: Psikolog, Antropolog,

Statisian, Sosiolog, Ekonom, Penyuluh Sosial, dll)

Advanced Profesional

S3/SP2 S3/SP2

SpesialistProfesional

S2/SP1 + Training/Practice

S2/SP1 + Training/Practice

Intermediate Profesional

S2/SP1 S2/SP1

Basic Profesional S1/DIV S1/DIV

Asisten SMPS SMU

Volunteer

S3/SP2

S2/SP1 + Training/Practice

S2/SP1

S1/DIV

SMPS/SMU

9. Sampai saat ini Sertifikasi baru dapat dilaksanakan kepada Pekerja Sosial pada tingkat generalis. Berdasarkan skala prioritas penyelenggaraan kesejahteraan sosial, sudah diperlukan sertifikasi, registrasi dan pemberian ijin Praktik dalam lingkup pendampingan secara spesialis, seperti Pekerja Sosial Spesialis Adiksi, Pekerja Sosial Spesialis Pelindungan Anak, Pekerja Sosial Medis, dll. Adapun pada tingkat asisten (care giver) juga diperlukan untuk memastikan Praktik pekerjaan sosial dapat bersinergi dengan pekerja sosial profesional dan pekerja profesional lainnya.

10. Dalam OTK Kementerian agar pembinaan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial dapat terintegrasi, terstruktur dan terstandar diperlukan satu unit setingkat Eselon II (Pimpinan Tinggi Madya) atau optimalisasi fungsi Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial dengan penyesuaian nomenklatur dan pemberian kewenangan yang lebih luas dalam melaksanakan standarisasi SDM Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu diusulkan menjadi Pusat Pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial.

11. Perlu dibangun kerjasama pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial dengan para pihak lain dalam dan luar negeri yang mendukung perencanaan pengembangan SDM (man power planning).

12. Dalam peningkatan profesionalisme Praktik Pekerjaan Sosial, diperlukan penyempurnaan Road Map Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial Tahun 2015-2019 yang pernah disusun Pusbin Jabfung Peksos dan Pensos, seperti dalam fish diagram berikut ini.

Page 14: Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial Page 14

PROFESI PEKERJAAN SOSIAL INDONESIA

DESENTRALISASI SERTIFIKASI & AKREDITASI

SISTEM INFORMASI

ROAD MAP PENGEMBANGAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL

Akreditasi

Sertifikasi

Jabatan Fungsional

NA & RUU Praktik Pekerjaan Sosial

Asosiasi Profesi

Asosiasi Pendidikan

Lembaga Koordinasi

Sistem Database Nasional

NETWORKINGLEGAL REFORM

Online System via p4s.kemsos.go.id

Fasilitasi Kelembagaan LSPS & BALKS di 6 Regional BBPPKS

Uji Kompetensi di Ibukota Propinsi

Visitasi ke LKS

PENINGKATAN KOMPETENSI PEKERJA SOSIAL & MANAJEMEN LKS

Pendidikan Tinggi Pekerjaan Sosial/Kessos

Capacity Building

Pelatihan Kompetensi Teknis

Optimalisasi Pengangkatan Peksos & TKS

Mitra terkait dalam/luar negeri

Dialog Interaktif via facebook P4s Kemsos

13. Dalam sistem pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial perlu diinternalisasikan nilai-nilai religius (misal dalam materi Diklat), seperti keimanan, keikhlasan, integritas, nilai ibadah, pahala dan dosa, serta nilai-nilai yang mendorong terjadinya revolusi mental SDM Kesejahteraan Sosial dalam kerangka restorasi sosial. Hal ini akan menjadi pengawasan melekat untuk setiap individu.

Jakarta, 15 Mei 2015

Dr.Ir. Harry Hikmat, M.Si