Policy brief #4 gender and islam bhs ind

8
Istilah gender berbeda dengan seks. Gender menunjukkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang mengacu sifat, pandangan, status, posisi, peran, dan tanggung jawab yang berbeda yang dikonstruksi secara sosial dan budaya berdasarkan pada perbedaan fisik antara keduanya (Riley, 1997). Peran dan norma-norma yang berkaitan dengan gender dapat berubah dengan waktu dan dapat berbeda dalam satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Sementara seks mengacu pada perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, seks lebih bersifat permanen dan sulit diubah. Sedangkan gender merupakan produk sosial budaya yang tidak permanen dan bisa berubah dari waktu ke waktu (Lindsey, 2010). Banyak faktor yang menjadi penyebab ketimpangan gender, seperti adat atau tradisi, agama, maupun kebijakan negara yang bias gender. Dan pendidikan baik formal, informal maupun non-formal merupakan sarana paling strategis untuk mengatasi berbagai kesenjangan dan meningkatkan harkat dan martabat perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Pendidikan berperan dalam mentransfer pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma baru kepada masyarakat, termasuk bagi sosialisasi gagasan kesetaraan gender. Terkait dengan itu, materi kurikulum yang berspektif gender yang terkandung dalam buku ajar menjadi unsur utama bagi tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Kebijakan negara tentang kesetaraan gender telah cukup banyak digulirkan. Persoalannya, kebijakan tersebut belum sepenuhnya termanifestasikan dalam bidang pendidikan. Policy brief ini memaparkan hasil temuan ilmiah tentang kesetaraan gender yang digambarkan dalam buku- buku Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan pada siswa-siswi SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA di empat provinsi: Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Diharapkan dengan dipaparkannya hasil temuan analisa buku yang digunakan di sekolah-sekolah ini dapat dijadikan masukkan kebijakan pemerintah dalam meninjau kembali kandungan materi dalam buku-buku sekolah, sehingga buku-buku yang digunakan lebih menggambarkan kesetaraan gender. Temuan dan Analisis Buku-buku Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 35 buah, Gender and Reproductive Health Study Policy Brief No. 4 Gender dalam Buku-buku Pendidikan Agama Islam Ida Rosyidah dan Iwu Dwisetyani Utomo Buku-buku ajar pendidikan agama Islam yang digunakan di sekolah banyak mengandung informasi yang bias. Perempuan masih dipandang secara stereotipikal dan perannya ditempatkan di ranah domestik. Sementara laki-laki mendominasi materi dan informasi terkait ranah publik. Padahal, buku-buku ajar pendidikan agama Islam menjadi sumber pengetahuan dan informasi penting tentang kesetaraan berdasarkan ajaran agama Islam. Maka diperlukan adanya perubahan dalam kebijakan sistem penulisan buku ajar pendidikan agama Islam, di mana penulis buku-buku tersebut harus memiliki perspektif gender. Selain itu, diperlukan adanya keterlibatan tokoh-tokoh agama berperspektif gender untuk mengevaluasi kandungan isi buku-buku ajar pendidikan agama Islam tersebut.

description

task manager

Transcript of Policy brief #4 gender and islam bhs ind

Page 1: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

Istilah gender berbeda dengan seks. Gender menunjukkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang mengacu sifat, pandangan, status, posisi, peran, dan tanggung jawab yang berbeda yang dikonstruksi secara sosial dan budaya berdasarkan pada perbedaan fisik antara keduanya (Riley, 1997). Peran dan norma-norma yang berkaitan dengan gender dapat berubah dengan waktu dan dapat berbeda dalam satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Sementara seks mengacu pada perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, seks lebih bersifat permanen dan sulit diubah. Sedangkan gender merupakan produk sosial budaya yang tidak permanen dan bisa berubah dari waktu ke waktu (Lindsey, 2010).

Banyak faktor yang menjadi penyebab ketimpangan gender, seperti adat atau tradisi, agama, maupun kebijakan negara yang bias gender. Dan pendidikan baik formal, informal maupun non-formal merupakan sarana paling strategis untuk mengatasi berbagai kesenjangan dan meningkatkan harkat dan martabat perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Pendidikan berperan dalam mentransfer pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma baru

kepada masyarakat, termasuk bagi sosialisasi gagasan kesetaraan gender. Terkait dengan itu, materi kurikulum yang berspektif gender yang terkandung dalam buku ajar menjadi unsur utama bagi tercapainya kesetaraan dan keadilan gender.

Kebijakan negara tentang kesetaraan gender telah cukup banyak digulirkan. Persoalannya, kebijakan tersebut belum sepenuhnya termanifestasikan dalam bidang pendidikan. Policy brief ini memaparkan hasil temuan ilmiah tentang kesetaraan gender yang digambarkan dalam buku-buku Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan pada siswa-siswi SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA di empat provinsi: Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Diharapkan dengan dipaparkannya hasil temuan analisa buku yang digunakan di sekolah-sekolah ini dapat dijadikan masukkan kebijakan pemerintah dalam meninjau kembali kandungan materi dalam buku-buku sekolah, sehingga buku-buku yang digunakan lebih menggambarkan kesetaraan gender. Temuan dan Analisis

Buku-buku Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 35 buah,

Gender and Reproductive Health Study

Policy Brief No. 4

Gender dalam Buku-buku Pendidikan Agama Islam

Ida Rosyidah dan Iwu Dwisetyani Utomo

Buku-buku ajar pendidikan agama Islam yang digunakan di sekolah banyak mengandung

informasi yang bias. Perempuan masih dipandang secara stereotipikal dan perannya ditempatkan di ranah domestik. Sementara laki-laki mendominasi materi dan informasi terkait ranah publik. Padahal, buku-buku ajar pendidikan agama Islam menjadi sumber pengetahuan dan informasi penting tentang kesetaraan berdasarkan ajaran agama Islam. Maka diperlukan adanya perubahan dalam kebijakan sistem penulisan buku ajar pendidikan agama Islam, di mana penulis buku-buku tersebut harus memiliki perspektif gender. Selain itu, diperlukan adanya keterlibatan tokoh-tokoh agama berperspektif gender untuk mengevaluasi kandungan isi buku-buku ajar pendidikan agama Islam tersebut.

Page 2: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

2

yang terdiri dari buku PAI untuk SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA. Penentuan buku didasarkan pada hasil survei terhadap buku ajar yang paling banyak digunakan di sejumlah sekolah yang ada di keempat provinsi tersebut. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi (content analysis).

Gambar 1. Buku-buku PAI yang dianalisa, 2011

Sumber: The 2010 Gender and Reproctive Health Study

Policy paper ini memaparkan dua hal pokok bahasan ketimpangan gender dalam buku-buku PAI. Yaitu tentang gambaran ketidaksetaraan gender dalam buku-buku PAI yang digunakan di sekolah-sekolah dan masukan kebijakan untuk pemerintah dan instansi terkait.

Deskripsi Kesenjangan Gender dalam Buku-buku PAI SD sampai SMA

Analisa kesenjangan gender yang tergambar dalam buku-buku PAI dari SD sampai SMA tersebut dibagi ke dalam dua aspek utama: domain publik dan domain domestik. Ranah Publik Ketimpangan Gender dalam Kepemimpinan

Mayoritas buku PAI memperlihatkan masih adanya dominasi laki-laki di ruang publik. Sebagai contoh, ketika menyebut nama sahabat Nabi Muhammad, yang seringkali disebut adalah sahabat laki-laki. Sementara sahabat Nabi yang perempuan kurang diperkenalkan. Ada beberapa buku PAI yang menyebutkan sahabat perempuan, namun jumlahnya sangat sedikit dan informasi yang diberikan tentang mereka juga minim. Kecenderungan yang sama terlihat pada penyebutan tokoh-tokoh periwayat hadis laki-laki.

Dari sejumlah buku yang dianalisis, tampak sekali perawi perempuan jarang dimunculkan. Perawi perempuan, seperti Aisyah dan Atiyah hanya ada dalam satu buku (Ngadiyanto, 2007: 94). Hal yang sama juga terjadi dalam penjelasan mengenai kisah-kisah sufi yang umumnya didominasi laki-laki. Informasi tentang sufi perempuan, yaitu Rabiah al-Adawiyah, hanya ditemukan di dalam buku yang sama di atas. Realitasnya, dalam sejarah Islam begitu banyak sahabat perempuan Rasulullah, yang berperan besar dalam memperjuangkan Islam baik sebagai pengusaha, perawat, maupun pasukan perang yang gigih yang membela agamanya dengan harta dan nyawa mereka (Umar Ahmad Ar-Rawi, 2010; Manshur Abdul Hakim, 2006) dan lebih dari seratus perawi hadis perempuan yang selama ini namanya kurang dikenal.karena kurang tersosialisasikan.

Dominasi laki-laki juga terlihat pada tulisan tentang ulama atau pemimpin agama. Hanya ada dua buku yang menulis tentang ulama perempuan. Meski demikian, informasi tentang kedua ulama itu sangat terbatas. Selain itu, peran mereka secara individual dalam sejarah juga kurang dijelaskan. Sebaliknya, eksistensi mereka dilihat hanya sebagai bagian dari popularitas ayah, suami, anak, atau saudara laki-laki mereka. Sehingga, terkesan perempuan berhasil bukan karena kapasitasnya sendiri tetapi karena laki-laki yang ada di belakangnya.

Hal yang sama dapat dilihat dalam penggambaran tentang kepemimpinan laki-laki dalam politik. Penjelasan tentang raja, pangeran, sultan, atau presiden yang disuguhkan dalam buku-buku tersebut sarat dengan nuansa kepemimpinan maskulin. Sementara partisipasi perempuan dalam politik hampir tidak tersentuh. Hanya ada satu buku yang menjelaskan keterlibatan perempuan dalam posisi elit di arena politik, seperti Ratu Shima, Putri Campa, Putri Kawungaten, dan Nyai Rara Santang. Namun, informasi tentang kontribusi mereka dalam politik tidak digali secara lebih dalam (Tim IMTAQ, 2006).

Temuan tak berbeda tampak dalam penjelasan mengenai peran perempuan dalam pembuatan keputusan, seperti pejabat dan pemimpin perusahaan, yang ada di tangan laki-laki. Juga, tidak ada satu buku pun yang memperkenalkan ilmuwan atau filsuf perempuan, padahal materi tersebut sejak SD/MI sudah diperkenalkan.

Di samping memuat banyak narasi yang bias gender, buku-buku PAI tersebut juga memuat gambar-gambar yang memperkuat ideologi

Page 3: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

3

patriarkhi yang mengunggulkan laki-laki. Gambar-gambar seperti kiai, guru agama, pemimpin perang, raja, pangeran, pejabat, direktur, dan hakim, umumnya didominasi laki-laki. Selain itu, pembagian kerja yang tergenderkan di ranah publik juga secara kental diperkenalkan, seperti anak laki-laki digambarkan bercita-cita menjadi dokter, arsitek, dan pengusahadan anak perempuan menjadi guru. Ilustrasi di bawah ini memperkuat pandangan tersebut (Gambar 2-5).

Gambar 2. Foto hakim semua laki-laki

Sumber: Syamsuri, 2007: 59

Gambar 3. Anak laki-laki digambarkan mempunya

cita-cita menjadi dokter

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 91.

Gambar 4. Anak laki-laki digambarkan mempunyai

cita-cita menjadi arsitek

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 91.

Gambar 5. Anak laki-laki digambarkan mempunyai cita-cita menjadi pengusaha

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 92.

Ranah Domestik

Buku-buku PAI yang kami teliti hampir seluruhnya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Pada umumnya mereka mengutip sebuah ayat dalam al-Qur’an, yaitu Surat An-Nisa ayat 34, dan memahaminya secara tekstual untuk melegitimasi pandangan mereka. Tak ada satu pun buku yang melakukan penjelasan secara kontekstual terhadap ayat tersebut. Bahkan, beberapa buku mengutip hadis-hadis yang mendiskreditkan kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga, seperti:

“laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya.” (Syamsuri, 2006: 86).

Hadis tersebut memuat pesan moral yang bias gender dan dengan jelas mengindikasikan pengabaian terhadap hak milik perempuan. Hadis tersebut bertentangan dengan realitas perempuan saat ini yang memiliki kontribusi besar dalam ekonomi rumah tangga, termasuk dalam kepemilikan rumah.

Pembagian kerja dalam rumah tangga yang tergenderkan juga tampak dalam buku-buku yang dikaji. Pembagian kerja dalam rumah tangga menjadi sarana penting bagi terciptanya benih-benih ketimpangan gender. Ada dua model relasi suami istri yang terlihat dalam buku-buku PAI yang diteliti. Pertama, sebagian buku masih sangat konvensional dalam memandang relasi suami istri. Kedua, adanya perspektif yang memandang pekerjaan rumah tangga menjadi milik bersama suami istri.

Page 4: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

4

Pada umumnya buku-buku PAI menempatkan perempuan sebagai subordinat dalam lingkungan keluarga. Pemisahan tegas peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga tampak dalam buku-buku tersebut. Sebagai contoh, dalam sebuah buku dijelaskan bahwa di antara kewajiban suami adalah menjadi pemimpin dalam keluarga, memberi nafkah, dan bergaul dengan istri secara makruf (Tim IMTAQ, 2006: 85). Gambar 6 mengilustrasikan hal tersebut.

Gambar 6. Suami bekerja dan menerima gaji

Sumber: Tim Armuna, 2007: 53.

Meski demikian, dalam kasus pembagian kerja dalam rumah tangga tersebut, ada sebuah buku yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban suami dalam keluarganya adalah membantu istri dalam tugas sehari-hari terutama mengasuh dan mendidik anak-anak (Syamsuri, 2006: 58). Pernyataan tersebut dengan jelas menunjukkan adanya upaya untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pekerjaan rumah tangga bukan tanggungjawab istri sepenuhnya, tetapi harus juga menjadi tanggungjawab suami. Sayangnya, informasi dan pandangan yang lebih mengarah pada kesetaraan pembagian kerja domistik tersebut belum termuat dalam buku-buku PAI lain.

Pandangan konvensional tentang tugas dan kewajiban istri juga masih kuat tercermin, sebagai contoh: tugas seorang istri terdiri dari taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam; memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami; membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya; menerima dan menghormati pemberian suami

walau sedikit; mencukupkan nafkah yang diberikan suami; hormat dan sopan kepada suami dan memelihara; mengasuh dan mendidik anak (Syamsuri, 2007: 59). Isteri yang solehah merawat suami yang sakit dengan setia dan sabar (Lihat Gambar 7).

Tampak sekali bahwa tugas dan tanggung jawab seorang istri jauh lebih banyak dari tugas dan tanggung jawab seorang suami. Selain itu, pandangan tersebut mencerminkan secara jelas adanya pembagian tugas antara suami dan istri yang tergenderkan. Suami bertugas di area publik dan istri di area domestik.

Gambar 7. Isteri merawat suami sakit

Sumber: Tim Bina Karya Guru, 2007: 28

Dominasi laki-laki dalam keluarga seringkali menyebabkan perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua yang berkewajiban mengabdi kepada suami secara total tanpa mempertimbangkan kebutuhan dirinya sendiri. (Tim IMTAQ, 2006: 86). Pandangan tersebut dengan tegas memperlihatkan bahwa kewajiban istri yang utama adalah untuk selalu menyenangkan suami baik secara fisik maupun psikis. Untuk mendukung pandangan tersebut, sebuah buku menceritakan tentang Ummu Sulaim, seorang perempuan yang hidup di masa Rasulullah. Dalam kisah tersebut dijelaskan bagaimana Ummu Sulaim terlebih dahulu memuaskan hasrat seksual suaminya yang baru pulang dari luar kota, sebelum menyampaikan berita duka bahwa anak kesayangan mereka baru saja meninggal dunia dan masih disemayamkan di kamar sebelah (Syamsuri, 2007: 46). Sikap Ummu Sulaim muncul akibat konstruksi sosial yang patriarkhis, yang mengharuskan istri mengabdi secara total terhadap suaminya, termasuk

Page 5: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

5

menyenangkan suaminya meski tengah menghadapi musibah.

Kesenjangan gender juga tampak dalam rukun nikah. Misalnya, disebutkan bahwa salah satu syarat menikah bagi calon suami adalah tidak dipaksa atau terpaksa. Sementara syarat seperti itu tidak berlaku bagi calon istri (Syamsuri, 2006: 55). Dalam kenyataan, lebih banyak perempuan yang menikah karena perjodohan ketimbang laki-laki.

Stereotipe terhadap laki-laki dan perempuan yang belum tentu kebenarannya juga banyak ditemukan. Stereotipe perempuan sebagai penggoda, hedonis, konsumtif, materialistik, amoral, dan lain-lain masih sangat kental. Stereotipe perempuan penggoda, misalnya, dapat diketahui dari kisah tentang seorang perempuan dari kalangan atas yang jatuh cinta pada seorang laki-laki dari keluarga kelas bawah dan perempuan tersebut mengajaknya berzina (Syamsuri, 2006: 36). Stereotipe lainnya adalah perempuan suka pamer. Seperti digambarkan dalam sebuah buku PAI, seorang wanita yang sedang berjalan di sebuah mall dengan angkuh memamerkan perhiasan yang digunakannya (Gambar 8) dan perempuan-perempuan yang tergiur diskon-diskon dan belanja secara boros (Gambar 9). Stereotipe-stereotipe tersebut tentu merugikan kaum perempuan dan dapat berdampak pada pencitraan anak didik tentang perempuan.

Gambar 8. Seorang perempuan memamerkan perhiasannya saat belanja

Sumber: Fikri, dkk., 2007: 108.

Pewarisan nilai-nilai yang tergenderkan yang dilakukan orangtua terhadap anak-anaknya juga terlihat di buku-buku PAI. Sebagai contoh, ibu

mengajak anak perempuannya memasak di dapur dan membersihkan rumah, sementara ayah

Sumber: Syamsuri, 2007: 133.

mengajak anak laki-lakinya memperbaiki mobil dan membetulkan yang rusak (Gambar 10). Anak perempuan diminta untuk merawat ayahnya yang sedang sakit, sementara anak laki-laki tidak. Pekerjaan-pekerjaan di wilayah domestik dianggap sebagai tanggung jawab perempuan. Penggunaan ilustrasi dan gambar-gambar yang menggambarkan keterlibatan anak laki-laki dalam pekerjaan domestik seharusnya lebih banyak digunakan dalam buku-buku PAI (Gambar 12-14).

Gambar 10. Anak perempuan membantu membersihkan dan anak laki-laki membantu

memperbaiki yang rusak

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 90.

Gambar 9. Belanja berlebihan saat diskon

Page 6: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

6

Gambar 11. Anak perempuan menyapu

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 38.

Gambar 12. Mencuci piring bersama

Sumber: Masrun dkk., 2007A: 38.

Gambar 13. Anak laki-laki membersihkan kamar

mandi

Sumber: Masrun dkk., 2007B: 27

Gambar 14. Keluarga membersihkan kebun bersama

Sumber: Nuryanti, 2007: 75.

Kesimpulan

Ketimpangan gender masih tampak kuat dalam buku-buku PAI yang kami kaji. Sebab utamanya terletak pada bahwa mayoritas penulis masih memiliki pemahaman, dan berada dalam kontruksi sosial, patriarkhal. Kebijakan gender dan program-progam kesetaraan gender terlalu fokus pada guru dan belum menyentuh pada penulis dan penerbit buku-buku ajar. Padahal, peran mereka sangat penting dalam mempercepat sosialisasi nilai-nilai gender di lingkungan pendidikan pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.

Selain itu, banyak penulis yang mengutip fikih konvensional dan kurang melakukan kontekstualisasi terhadap hukum Islam yang ada. Kalaupun ada kutipan hadis yang setara gender, tapi tidak diberikan penjelasan yang memadai. Para penulis buku pada umumnya masih bias gender dan kurang memahami persoalan secara baik. Masukan Kebijakan dan Prioritas

Merespon Kebijakan Instruksi Presiden No 9 tahun 2000, Keinginan Presiden untuk program Promotion, Protection and Empowerment of women, dan sejalan dengan program Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengorientasikan programnya pada Pengarusutamaan Gender (PUG), terkait dengan integrasi gender dalam bidang pendidikan, maka ada beberapa masukkan yang bisa diusulkan dari penelitian ini:

Page 7: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

7

Mempercepat digulirkannya Rencana Undang-Undang Pengarusutamaan Gender (RUU PUG) agar bisa menjadi payung hukum dalam kebijakan terkait program-program kesetaraan gender dalam bidang pendidikan termasuk dalam penulisan buku ajar.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, diharapkan membuat mekanisme guna mendesakkan penulisan buku yang berspektif gender dalam buku-buku PAI secara benar.

Pemerintah perlu mengambil kebijakan pengalokasian anggaran untuk meningkatkan perspektif gender bagi para penulis buku ajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, KPPPA dan Kementerian Agama dan instansi terkait lainnya perlu membuat indikator buku Pendidikan Agama Islam yang berspektif gender.

Training mengenai sensitivitas gender untuk penulis dan penerbit buku-buku ajar PAI. Ini bertujuan agar baik narasi maupun ilustrasi buku-buku ajar PAI yang diterbitkan benar-benar berisi pengetahuan yang setara gender dan memuat informasi yang tepat.

Perlunya melibatkan tokoh-tokoh agama yang berperspektif gender sebagai pembaca draf awal buku dalam penulisan buku ajar. Ini bertujuan untuk mengevaluasi buku-buku PAI yang akan diterbitkan apakah telah memuat informasi yang setara gender yang tepat ataukah belum. Mereka juga dapat menjadi evaluator untuk buku-buku PAI yang sekarang beredar.

Referensi

Fikri, A., Duki, Siddik, J., Zaeni, J., Mansur, J., dan Rifdamurti. 2007. Pendidikan Agama Islam untuk SMP/MTS Kelas IX,Jakarta: Widya Utama.

Lindsey, Linda L., 2010. Gender Roles; A Sociology Perspectif, New Jersey: Prentice Hall.

Masrun, S. Moh., Suradi, Rahardjo, P., Choeroni, dan Muin, K., 2007A. Senang Belajar Agama Islam untuk SD Kelas 1, Jakarta: Erlangga.

Masrun, S. Moh. Suradi, Rahardjo, P., Choeroni, dan Muin, K., 2007B. Senang Belajar Agama Islam untuk SD Kelas 2, Jakarta: Erlangga.

Ngadiyanto, S.H., 2007. Mutiara Akhlak dalam Pendidikan Agama Islam untuk Kelas IX SMP, Solo: Tiga Serangkai.

Nuryanti, N., 2007. Pendidikan Agama Islam untuk SD dan MI Kelas 1, Jakarta: Widya Utama.

Riley, N.E., 1997. Gender, Power and Population Change, Population Bulletin Vo.52/No.1, May. Population Reference Bureau http://www.sociology.ohiostate.edu/classes/soc758/mirowsky/spring2000/pdf/prb.gender.power.popchng.pdf

Syamsuri, 2007. Pendidikan Agama Islam untuk

SMA Kelas XII, Jakarta: Erlangga.

Tim Armuna, 2007. Fikih untuk Madrasah kelas 6, Jakarta: Ganeca.

Tim Bina Karya Guru, 2007. Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas 6, Jakarta: Erlangga.

Tim IMTAQ MGMP PAI, 2006. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII, Jakarta: Kirana Cakra Buana.

Ahmad Ar-Rawi, Umar. Wanita-Wanita Sekitar Rasulullah, Jakarta: Akbar Media, 2010.

Hakim, Mansur Abdul, 2006, 99 Kisah Teladan Sahabat Perempuan Rasulullah. Jakarta: Republika.

Page 8: Policy brief #4 gender and islam   bhs ind

8

Tim Peneliti Australian Demographic and Social Research Institute-Australian National University (ADSRI-ANU): Dr. Iwu Dwisetyani Utomo (Kepala-Peneliti Utama I)

Prof. Peter McDonald (Peneliti Utama II)

Prof. Terence Hull

Konsultan: Prof. Saparinah Sadli

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta: Dra. Ida Rosyidah, MA.

Dra. Tati Hartimah, MA. Dr. Jamhari Makruf

Universitas Hasanuddin: Prof. Nurul Ilmi Idrus

Bila ada pertanyaan tentang policy brief ini dapat ditanyakan melalui e-mail pada: [email protected] atau [email protected] Deskripsi tentang studi: Memasukkan Materi Gender Dan Kesehatan Reproduksi Dalam Kurikulum Sekolah: Sebuah Tantangan Untuk Indonesia

Tahap pertama dari penelitian dua tahap ini menganalisa lebih dari 300 isi buku sekolah SD sampai SMA dalam hal pendidikan kesehatan reproduksi dan gender. Analisa buku ini kemudian dilanjutkan dengan survei pada sekolah-sekolah di Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.

Dalam analisa buku untuk masalah pendidikan reproduksi dan kesehatan seksual, tim peneliti menganalisa isi dari kurikulum nasional dan mengevaluasi apakah ada kata-kata atau kalimat yang digunakan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan juga mencari kalimat-kalimat yang mungkin terselubung tetapi sebenarnya menjelaskan tentang kesehatan reproduksi. Setelah hasil analisa kurikulum menghasilkan dan menujukkan pada kelas berapa, dalam mata pelajaran apa dan pada semester berapa informasi tentang kesehatan reproduksi diberikan, sejumlah buku yang berhubungan dari berbagai penerbit dipilih untuk dianalisa. Dalam hal ini buku-buku yang dipilih untuk dianalisa adalah buku-buku: PENJASKES; IPA-Biologi; IPS dan Agama Islam. Perangkat analisa untuk mengevalusi buku-buku tersebut dikembangkan oleh tim peneliti dan13 bidang kesehatan reproduksi dianalisa. Ketigabelas bidang tersebut adalah: kebersihan genitalia; PMS; HIV/AIDS; masalah kesehatan reproduks i

perempuan; masalah kesehatan reproduksi laki-laki; kehamilan dan melahirkan; pertumbuhan dan perkembangan manusia; technologi reproduksi; aspek sosial dari kesehatan reproduksi; pengaruh dari budaya liberal; institusi keluarga; kekerasan seksual dan aspek religius dari kesehatan reproduksi. Cakupan, keakuratan dan aspek normatif dari ke 13 informasi dan materi yang dipaparkan dalam buku-buku tersebut di analisa oleh anggota tim peneliti.

Analisa serupa juga dilakukan untuk analisa gender. Perangkat untuk analisa gender diciptakan oleh tim peneliti. Bidang-bidang yang dianalisa meliputi: dunia publik dan dunia domistik; pendidikan dan gender; kepemimpinan sosial; kesenian; teknologi; peran-peran dalam pelestarian lingkungan alam; kekerasan dan gambar-gambar atau photo-photo yang digunakan dalam buku. Semua aspek tersebut dianalisa dengan menggunakan kriteria apakah peran tersebut: didominasi oleh laki-laki atau perempuan; sebagian didominasi oleh laki-laki dan sebagian didominasi oleh perempuan; dan peran-peran tersebut seimbang antara laki-laki dan perempuan. Analisa gender ini dilakukan untuk buku-buku: PENJASKES; IPA-Biologi; IPS; Agama Islam; Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk Kelas I, VI, IX dan XII.

Pada phase kedua, dilakukan survei pada: siswa Kelas VI (N=1837) dan Kelas XII (N=6555), guru (N=521) dan Kepala Sekolah (59) di Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan untuk mengetahui pengertian responden tentang kesehatan reproduksi dan gender. Sampling untuk sekolah dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama untuk setiap propinsi dipilih dua Kabupaten, kota dan desa. Dua sekolah negeri dan dua sekolah agama yang dapat mewakili sekolah unggulan dan satu sekolah yang prestasinya biasa dipilih. Jadi dalam setiap propinsi 16 sekolah terpilih. Dari sekolah-sekolah yang terpilih, semua siswa di Kelas VI dan XII ikut dalam survei yang dilakukan di dalam kelas dengan mengisi daftar pertanyaan. Pada siswa diberi penjelasan oleh peneliti tentang cara pengisian daftar pertanyaan. Selama pengisian daftar pertanyaan tim peneliti menunggu di dalam kelas untuk menjaga seandainya ada siswa yang tidak mengerti. Setelah survei selesai dilakukan wawancara mendalam terhadap guru dan Kepala Sekolah, tokoh-tokoh agama dan para pengambil kebijakan. Dari hasil penelitian ini akan dihasilkan serangkaan policy brief. Peneltian ini dipimpin dan dimotori oleh Iwu Dwisetyani Utomo dan Peter McDonald.

Australian Demographic and Social Research Institute The Australian National University Canberra ACT 0200, AUSTRALIA http://adsri.anu.edu.au Enquiries: +61 2 6125 3629

Acknowledgement: Policy brief ini didanai oleh AusAID melalui Australian Development Research Award, Ford Foundation, ADSRI-ANU dan BAPPENAS. Jakarta, 11 Januari 2012.