Policy Brief 2016 (Diskresi)

10
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK Policy Brief PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III LAN SAMARINDA

Transcript of Policy Brief 2016 (Diskresi)

Page 1: Policy Brief 2016 (Diskresi)

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Policy Brief

PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III

LAN SAMARINDA

Page 2: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Konsep lahirnya UU

No. 30 Tahun 2014 bukan

berdasar pada konteks

hukum semata, ke-

lahirannya merupakan

perpaduan harmonis

antara konsep ilmu ad-

ministrasi negara dan

ilmu hukum (dalam hal

ini hukum administrasi

negara). Dalam konsep

ilmu administrasi negara,

memperhatikan kepent-

ingan masyarakat

dengan berbagai persoa-

lan dan solusi menjadi

ruang lingkupnya. Se-

mentara dalam konteks

Hukum Administrasi

Negara, dapat dilihat se-

bagai sebuah instrumen

pengaturan, agar

sesuatunya dapat ber-

jalan dengan baik, tera-

tur, dan dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Persoalan diskresi hingga

saat ini masih sering di-

maknai sebagai sesuatu

yang berbahaya dan

menakutkan untuk dil-

akukan. Hal ini berim-

plikasi pada ketakutan-

ketakutan untuk berbuat

disebagian para pejabat

kita, termasuk untuk ber-

tindak nyata. Mencerma-

ti kondisi tersebut, pent-

ing untuk memahami

ketentuan perundangan

bahwa diskresi sebagai

sebuah keputusan dan

atau tindakan. Hasil

penelitian tentang

pelaksanaan diskresi pe-

layanan publik di kali-

mantan (Kota Pontianak

dan Kabupaten Kutai

Kartanegara) menunjuk-

kan bahwa diskresi se-

bagai tindakan nyata tid-

ak sulit dan menakutkan

untuk dilakukan demi

terciptanya pelayanan

publik yang prima. Yang

tidak kalah penting dari

upaya penerapan diskresi

adalah pemahaman yang

sama oleh semua pihak

mengenai ruang lingkup

dan karakteristiknya,

terutama bagi aparat

penegak hukum yang

dituntut untuk lebih pro-

gresif dalam memandang

konteks diskresi tanpa

mengurangi tujuan pen-

capaian kepastian

hukumnya.

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Policy Brief

Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif 0

Pendahuluan 0

Deskripsi Masalah 0

Rekomendasi 0

Daftar Pustaka 0

Daftar Isi

Page 3: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Undang-Undang

No. 30 Tahun 2014

merupakan produk

hukum fenomenal

yang berhasil dibuat

oleh bangsa Indonesia.

Karakteristiknya yang

bertujuan untuk mem-

berikan perlindungan

bagi penyelenggara

pemerintah dalam

menjalankan tugasnya

membuat UU tentang

administrasi negara ini

ditunggu kehadirannya

selama ini. Konsep la-

hirnya UU No. 30 Ta-

hun 2014 bukan ber-

dasar pada konteks

hukum semata, ke-

lahirannya merupakan

perpaduan harmonis

antara konsep ilmu

administrasi negara

dan ilmu hukum

(dalam hal ini hukum

administrasi negara).

Dalam konsep ilmu ad-

ministrasi negara,

memperhatikan

kepentingan masyara-

kat dengan berbagai

persoalan dan so-

lusinya merupakan ru-

ang lingkup dari admin-

istrasi negara. Admin-

istrasi negara haruslah

mampu menjawab

tuntutan-tuntutan

masyarakat yang

senantiasa berkem-

bang tersebut. Dengan

demikian, ketidak pua-

san masyarakat dapat

diperkecil dan di-

persempit jaraknya

(Thoha, 2005). Lebih

lanjut disampaikan

bahwa Administrator –

administrator negara

diharapkan bekerja da-

lam kerangka kepent-

ingan-kepentingan

umum, tidak mengek-

sploitasi jabatannya

untuk mencapai tujuan

pribadi. Mereka

mempunyai kewajiban

patuh terhadap un-

dang-undang dan pera-

turan (Thoha, 2005).

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Policy Brief

Pendahuluan

Page 4: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Jabatan merupakan

bagian yang tidak

terpisahkan dari dimensi

administrasi nega-

ra,dengan adanya jab-

atan maka administrasi

negara dapat berjalan,

begitu berperannya jab-

atan dalam administrasi

negara, Bahsan Mustafa

mengartikan bahwa ad-

ministrasi negara sebagai

gabungan jabatan-

jabatan yang dibentuk

dan disusun secara

bertingkat yang diserahi

tugas melakukan sebagi-

an dari pekerjaan

pemerintah dalam arti

luas, yang tidak dis-

erahkan kepada badan-

badan pembuat undang-

undang dan badan-badan

kehakiman (Mustafa da-

lam Ridwan, 2006). Dari

definisi Bahsan Mustafa

tersebut dapat disimpul-

kan bahwa tugas

pemerintah yang paling

utama adalah sebagai

eksekutif atau pelaksana

kebijakan melalui

berbagai penyediaan dan

penyelenggaraan

layanan publik untuk

mencapai kepuasan dan

kesejahteraan masyara-

kat dengan berbagai jab-

atan yang dimilikinya.

Wujud dari pelaksa-

naan jabatan adalah pela-

yanan. Pelayanan yang

berkualitas merupakan

ciri dari masyarakat yang

dinamis. Proses check

and balance dalam

kegiatan pelayanan

menempatkan masyara-

kat bukan hanya sebagai

obyek pelayanan, melain-

kan dapat berperan juga

sebagai subyek layanan

melalui berbagai input

yang diberikan kepada

kepada pemerintah un-

tuk memperbaiki kulaitas

pelayanan. Mekanisme

pelayanan dimaksud ha-

rus menjamin terciptanya

makna pemerintahan

yang responsif, yakni

sosok pemerintahan

yang sensitif, akomodatif

dan antisipatif terhadap

kebutuhan, keingi-

nan,aspirasi, kepent-

ingan, cita-cita, harapan,

motivasi, tuntutan, dan

keluhan rakyat serta ber-

tanggung jawab kepada

rakyat atas pelaksanaan

tugasnya sebagai

pengemban mandat ked-

aulatan rakyat, sebagai

abdi negara dan pelayan

masyarakat (Napitupulu,

2007).

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Policy Brief

Pendahuluan

Page 5: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Adapun konteks

Hukum Administrasi

Negara di dalam UU No.

30 Tahun 2014 dapat

dilihat sebagai sebuah

konsep pengaturan, agar

sesuatunya dapat ber-

jalan dengan baik, tera-

tur, dan dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Adanya harapan terse-

but, tidak terlepas dari

Konsep Hukum admin-

istrasi negara sebagai

instrumen yuridis yang

digunakan oleh

pemerintahan untuk

secara aktiv terlibat da-

lam kehidupan ke-

masyarakatan, dan di sisi

lain HAN merupakan

hukum yang dapat

digunakan oleh anggota

masyarakat untuk

mempengaruhi dan

memperoleh perlin-

dungan dari pemerintah.

Jadi HAN memuat pera-

turan mengenai aktivitas

pemerintahan (Wijk dan

Konijnenbelt dalam Rid-

wan 2006)

Proses meleburkan

ilmu administrasi negara

dan ilmu hukum yang

sudah terakomodasi

dengan baik di dalam UU

No. 30 tahun 2014 dalam

penerapannya masih

jauh dari kata maksimal.

Salah satu subtansi

mengenai diskresi masih

sering berujung ke krimi-

nalisasi walaupun seba-

gian pendapat yang lain

berpendapat bahwa per-

soalan hukum tersebut

harusnya diselesaikan

dalam ranah peradilan

tata usaha negara, bukan

peradilan umum ataupun

peradilan korupsi. Kondi-

si tersebut pada akhirn-

ya menjadi momok untuk

lahirnya pelaksanaan dis-

kresi di sektor pelayanan

publik.

Diskresi di dalam ke-

tentuan Pasal 1 angka 9

UU No. 30 tahun 2014

didefinisikan sebagai

Keputusan dan/atau tin-

dakan yang ditetapkan

dan/atau dilakukan oleh

Pejabat Pemerintahan

untuk mengatasi persoa-

lan konkret yang dihada-

pi dalam penyeleng-

garaan pemerintahan

dalam hal peraturan pe-

rundang-undangan yang

memberikan pilihan, tid-

ak mengatur, tidak

lengkap atau tidak jelas,

dan/atau adanya stagnasi

pemerintahan. Dari defin-

isi tersebut dapat terlihat

bahwa kondisi UU mem-

berikan pilihan, tidak

lengkap/jelas dan adanya

stagnasi merupakan per-

soalan konkrit yang ha-

rus diselesaikan melalui

diskresi.Dari Ketiga sifat

konkrit tersebut dalam

penerapannya

‘seharusnya’ dapat

digambarkan secara

makro dan dapat diter-

jemahkan sangat luas

untuk memu-

dahkan,memtigasi kek-

hawatiran, memberikan

ketenangan dan mengini-

siasi lahirnya diskresi

ketika diperlukan.

Policy Brief

Pendahuluan

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Page 6: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Persoalan diskresi

dengan lahirnya UU

No. 30 Tahun 2014 ten-

tang Administrasi

Negara, masih dimak-

nai sebagai sesuatu

yang berbahaya dan

menakutkan untuk dil-

akukan, terlebih

dengan berbagai peri-

stiwa hukum dimana

pejabat negara yang

merasa mendasarkan

tindakannya pada dis-

kresi justru berujung

bui. Hal ini berimplikasi

pada ketakutan-

ketakutan untuk ber-

buat apapun disebagi-

an para pejabat kita,

termasuk untuk bertin-

dak nyata dalam men-

ciptakan/memberikan

pelayanan yang men-

jadi kewajibannya. Jika

kondisi ini terus tejadi,

menjadi kurang makna

pengaturan diskresi

berdasar UU No. 30

Tahun 2014.

Mencermati kondisi

tersebut, penting un-

tuk memahami ke-

tentuan perundangan

bahwa diskresi sebagai

sebuah keputusan dan

atau tindakan.

Pemerintah melakukan

berbagai tindakan, baik

tindakan nyata

(faitelijkhandelingen)

maupun tindakan

hukum

(recthshandelingen).

Tindakan nyata adalah

tindakan-tindakan

yang tidak ada rele-

vansinya dengan

hukum, dan oleh kare-

nanya tidak men-

imbulkan akibat hukum

(Versteden dalam Rida-

wan 2007). Tindakan

nyata merupakan ke-

harusan yang harus

dilakukan oleh Pejabat

Pemerintah dengan

wewenang yang dimili-

kinya untuk menjalan-

kan kewenangannya

berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-

undangan dan AUPB.

Fungsi pemerinta-

han sebagaimana ter-

sebut di dalam Pasal 1

angka 2 UU No. 30 ta-

hun 2014 meliputi

fungsi pengaturan, pe-

layanan, pem-

bangunan, pem-

berdayaan, dan pelin-

dungan. Kelima fungsi

tersebut menuntut tin-

dakan nyata dari para

pejabat pemerintah

untuk dapat terealisasi-

kan. Untuk menge-

tahui bagaimana ben-

tuk dari tindakan nyata

pejabat pemerintah

dalam menjalankan

fungsinya, dapat kita

lihat bentuknya dalam

tabel di bawah ini:

Policy Brief

Deskripsi Masalah

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Page 7: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Policy Brief

Deskripsi Masalah

Tabel 1.1

Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi di Kota Pontianak dan Kabupaten Kutai Kartanegara

No Lokus Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi

1. Pemerintah Kota Pontianak

Penundaan kelengkapan persyaratan pada permohonan ijin HO Dibuat kebijakan bahwa ketika mengurus HO tidak ada IMB aslinya, maka proses masih dapat ter-us berlanjut. Diberikan semacam rekomendasi (nota) yang berfungsi sebagai IMB pendahuluan yang berlaku hanya 1 tahun saja.

Meniadakan kelengkapan aspek teknis pemeriksaan lapangan dapat dilakuakn melalui metode self assesment. Pemohon cukup membu-at pernyataan bahwa memang benar rumah kos saya dengan kualifikasi X benar adanya,

Pembekuan data penduduk Membekukan data penduduk yang tidak bertempat tinggal/domisili sesuai dengan alamat yang tertera di dalam Kartu Keluarga/Kartu Tanda Penduduk lebih dari 1 tahun tanpa memberikan laporan.

Memberikan bantuan biaya transportasi Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial, Tidak terse-but di dalamnya mengenai bantuan untuk akomodasi dan transportasi bagi keluarga pasien tidak mampu.Sehingga dapat masuk ke dalam kualifikasi diskresi.

Rumah Sakit tanpa kelas

Pelayanan/tindakan medis yang dilaksanakan berdasarkan jenis penyakit dan berat ringannya penyakit tersebut, bukan pada kemampuan finasial pasien serta pelayanan medis sama untuk semua pasien berdasarkan standar prosedur operasional (SPO) pelayanan.

Pernyataan terhutang bagi pasien yang tidak mampu

Mengambil kebijakan yang meringankan masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam transaksi pembayaran biaya rumah sakit. Di dalam form pasien diberikan tenggat waktu pem-

2. Kabupaten Kutai Kar-tanegara

Menandatangani blanko Kartu Keluarga yang masih kosong Surat Edaran (SE) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 471.14/13795/ , mencabut dan menyatakan tidak berlakunya lagi seluruh surat yang berkaitan dengan petunjuk penan-datangan Kartu Keluarga menggunakan scanner atau tanda tangan berupa stempel di kecama-tan. Kebijakan baru tersebut dinilai cukup menghambat pelayanan. Sehingga untuk memper-lancar pelayanan dibuat kebijakan dengan menandatangi blanko Kartu Keluarga terlebih dahulu kemudian diserahkan kepada pihak UPT dengan dibuatkan berita acaranya.

Penerbitan surat pengantar/keterangan Untuk penerbitan surat ijin lingkungan, tidak harus menunggu dokumen itu selesai, karena wak-tunya pasti melebihi 7 hari untuk di lingkungan Badan Lingkungan Hidup sendiri. Maka diambil-lah jalan tengah melalui kesepakatan, BLH dapat menerbitkan semacam surat pengantar/ ket-erangan sehingga proses perijinan dapat terus bejalan di BP2T, hingga keluar surat ijin yang dimaksud

Pemberian keringanan terkait kekurangan kelengkapan Membuat kebijakan dengan melanjutkan terus proses pengurusan proses perizinan walaupun persyaratannya kurang. Persyaratan yang kurang wajib dipenuhi ketika masyarakat yang mengajukan perizinan akan mengambil dokumen perizinannya.

Penitipan sementara pasien pihak RSUD mengambil kebijakan untuk menitipkan pasien sementara di kamar yang masih kosong meskipun kelasnya berbeda. Dengan begitu pasien masih bisa tertangani dan biaya ako-modasi dibebankan sesuai dengan standar kelas pasien tersebut.

Membangun rumah sakit tipe C tanpa kelas di Kota Bangun

Memberikan take home pay serta tunjangan dan fasilitas kesehatan kepada tenaga medis

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Page 8: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Pada

saat diskresi dengan mu-

dah beradaptasi di

konteks administrasi

negara, hukum dengan

berbagai konteksnya

dianggap masih mem-

belenggu penerapan dis-

kresi. Ahmad Ali dalam

Ahmad Rivai mengatakan

secara universal, jika

ingin keluar dari situasi

keterpurukan hukum,

maka harus membebas-

kan diri dari belenggu

formalisme-positivisme,

karena jika hanya

mengandalkan pada te-

ori dan pemahaman

hukum secara legalistik-

positivistis yang hanya

berbasis pada peraturan

tertulis belaka, maka tid-

ak akan mampu untuk

menangkap hakikat akan

kebenaran, keadilan dan

kemanusiaan (hal 37).

Dari pendapat tersebut

dapat disimpulkan bah-

wa hukum harus lebih

membuka diri, harus

lebih progresif dan adap-

tasi dalam konsep penye-

lenggaraan pemerinta-

han yang terus berkem-

bang tanpa mengurangi

sifat kepastian

hukumnya. Hukum pro-

gresif yang bertumpu

pada manusia, memba-

wa konsekwensi pent-

ingnya sebuah kreativi-

tas. Kreativitas penegak

hukum dalam memaknai

hukum tidak akan ber-

henti pada ‘mengeja un-

dang-undang’, tetapi

menggunakannya secara

sadar untuk mencapai

tujuan kemanuasiaan

(Rahardjo dalam Dey).

Diakui memang positiv-

isme hukum telah banyak

memberi sumbangan

besar dalam pem-

bangunan hukum mod-

ern di dunia. Namun,

bukan berarti ia tidak

memiliki kekurangannya

yang antara lain adalah

telah mengabaikan sub-

tansi hukum yaitu keadi-

lan dan kemanfaatan

(Yusriyadi dalam Sarma-

di, 2012)

Terlepas dari

berbagai ketakutan yang

masih mencengkeram

sebagian para penye-

lenggara pemerintahan

dalam melakukan diskre-

si, perlu untuk

mendapatkan perhatian

bagi kita semua bahwa,

tidak perlu khawatir da-

lam memandang dan

melakukan diskresi. Dis-

kresi yang dilakukan tid-

ak harus berwujud

produk hukum

(keputusan). Tindakan

nyata yang dapat

menghindarkan penye-

lenggaraan pemerinta-

han dari stagnasi meru-

pakan wujud nyata dari

sebuah diskresi, se-

bagaimana tindakan

nyata yang telah dil-

akukan beberapa pejabat

pemerintah di wilayah

kalimantan yang berhasil

diinventarisasi sebagai

hasil temuan lapangan

kajian “Diskresi Pela-

yanan Publik di di Kali-

mantan”. Kalaupun ha-

rus dilakukan diskresi

yang berupa tindakan

hukum, harus dipastikan

sebelumnya bahwa dis-

kresi tersebut dilakukan

dengan tidak berten-

tangan dengan UU,

itikad baik, alasan yang

obyektif, dan sesuai de-

nagn asas umum

pemerintahan yang baik

Policy Brief

Deskripsi Masalah

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Page 9: Policy Brief 2016 (Diskresi)

1. Dalam konteks UU No. 30 ta-hun 2014 diskresi yang merupa-kan hasil perpaduan dari 2 (dua) konsep keilmuan, yakni administrasi negara dan hukum (hukum administrasi negara) dalam penerapannya hen-daknya selalu berpacu kepada kedua konsep keilmuan terse-but, baik oleh para penegak hukum dan menjalankan fungsinya dan oleh pemerintah (penyelenggara pemerintahan) dalam menjalankan tugasnya.

2. Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 merupakan jawaban atas berbagai persoalan konkrit yang selama ini menjadi masa-lah dalam penyelenggaraan negara. Keadilan dan ke-manfaatan bagi masyarakat merupakan prioritas yang ingin dihadirkan secara pasti dalam undang-undang ini. Untuk menunjang lahirnya kondisi tersebut, maka semua praktisi hukum harus mempunyai ‘keinginan’ yang sama dalam mewujudkannya. Para praktisi hukum yang selama ini masih cenderung berpikir secara legisme dan Positivisme dalam menyorot proses dan hasil dari penyelenggaraan pemerinta-han, diharapkan mampu mem-buka diri ke dalam pergerakan hukum yang progresive.

3. Diskresi dalam aturannya tidak

saja berbentuk keputusan, tin-dakan nyata untuk mengatasi stagnasi penyelenggaraan

pemerintahan merupakan diskresi yang harusnya dapat lebih diekplorasi oleh Pejabat Pemerintah, khusunya yang mengampu pelayanan publik, agar berbagai persolan pem-berian layanan yang selama ini masih menjadi persoalan dapat dikurangi.

4. Pemahaman yang bagus

mengenai konsep diskresi sangat diperlukan, baik oleh kepala daerah maupun oleh Pejabat Pemerintah. Pema-haman yang bagus akan membantu untuk mengu-rangi ketakutan-ketakutan para elemen penyelenggara pemerintahan ( Kepala dae-rah ataupun pejabat) dalam melakukan pemberian pela-yanan publik dengan kualitas di atas rata-rata melalui me-dia diskresi.

5. Untuk lebih menguatkan Pe-

jabat Pengambil Kebijakan dalam membuat diskresi (baik berupa keputusan atau-pun berupa tindakan), hen-daknya harus mulai dibangun budaya konsultasi “fast responsive”.Walaupun diskresi merupakan hak seorang pejabat berdasarkan kewenangan yang dimilikin-ya, tetap dimungkinkan bag-inya untuk mengkonsultasi-kan rencana pengambilan keputusan/tindakan diskresi dengan unit organisasi yang

mempunyai tusi tersebut seperti Biro/Bagian Hukum, oleh karenanya, wajib hukumnya bagi Biro/bagian Hukum untuk mengembangkan dirinya terhadap pengetahuan/pemahaman mengenai diskresi, ruang lingkup dan implikasinya.

6. Dari hasil kajian Diskresi

Pelayanan Publik di Kali-mantan dapat disimpul-kan bahwa diluar konteks keilmuan, beberapa faktor internal pemerintah daerah yang mempengaruhi lahirnya diskresi, antara lain : faktor kepemimpinan, visi dan misi daerah, dan kon-disi geografis.

Policy Brief

Rekomendasi

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

Page 10: Policy Brief 2016 (Diskresi)

Policy Brief

Daftar Pustaka

Rifai, Ahmad.,2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, Jakarta.

HR, Ridwan., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Thoha Miftah., 2005, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Napitupulu, Paiman., 2007, Pelayanan Public dan Customer Satisfaction, PT. Alumni, Bandung, .

Ravena Dey, Mencandra Hukum Progresif dan Peran Penegakan Hukum di Indonesia.https:/

www.google.co.id

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwimjpzqqK_

QAhXELI8KHdF2CEYQFggkMAE&url=http%3A%2F%2Fdownload.

Sarmadi,A Sukris, Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Membebaskan positivisme hukum ke ranah hukum pro gresif (Studi Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Hukum), Jurnal Dinamika Hukum,

TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK