NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

8
RINGKASAN EKSEKUTIF Pada periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (Naonal Violence Monitoring System-NVMS). Dari total insiden kekerasan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. Jenis kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas (28%), kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (8%) dan kekerasan aparat (4%). Total insiden tahun 2012 menurun sebanyak 6% dibandingkan dengan rata- rata Januari-April tahun 2006-2008, namun korban tewas meningkat 13% dan kerusakan bangunan naik drass 115%. Meningkatnya korban tewas tahun 2012 terutama disebabkan oleh konflik kekerasan Pemilukada, sedangkan kerusakan bangunan sebagian besar berasal dari konflik kekerasan antar- etnik. Korban cedera paling besar berasal dari insiden kekerasan terkait demonstrasi menolak rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Konflik kekerasan Pemilukada terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua. Di Provinsi NAD terjadi 111 insiden dan di Provinsi Papua terjadi 8 insiden. Sebagian besar insiden terjadi antara para pendukung partai polik. Eskalasi kekerasan menjelang Pemilukada di NAD sudah terjadi sejak Oktober 2011. Akar konflik tersebut diduga karena perselisihan antara Gubernur petahana Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Pada periode ini dampak yang tercatat adalah 48 cedera dan 14 bangunan rusak. Sedangkan di Papua, konflik kekerasan Pemilukada mengakibatkan 19 tewas, 115 cedera dan 130 bangunan rusak. Konflik kekerasan Pemilukada ini memerlukan penanganan tegas dari aparat keamanan agar konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang dak terganggu. Di sisi lain, partai polik harus memperkuat fungsinya sebagai agregator kepenngan dan saluran komunikasi konstuen agar bisa meredam potensi kekerasan. Kapasitas penyelenggara Pemilukada Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia Catatan Kebijakan Catatan Kebijakan 1 The Habibie Center dalam menyelenggarakan dan mengawasi jalannya Pemilukada perlu dingkatkan. Isu lain yang penng pada periode ini adalah sengketa tanah, yang tercatat menonjol di Provinsi Maluku. Sengketa tanah terjadi hampir di seluruh wilayah Maluku sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dalam satu dekade terakhir saja telah terjadi sebanyak 175 insiden kekerasan yang mengakibatkan 45 tewas, 374 cedera, dan 388 bangunan rusak. Terdapat ga akar masalah sengketa tanah yang terus berulang tersebut yaitu batas wilayah antar-desa/negeri, klaim kepemilikan adat, tumpang ndihnya wilayah adat dengan wilayah adminsitraf. Akar masalah tanah ini perlu segera diselesaikan hingga tuntas karena sering kali berujung pada kekerasan. Kemampuan lembaga adat dan pemerintah daerah serta sinergi antara keduanya perlu dingkatkan dalam mengelola konflik dan menyelesaikan masalah tanah. Aparat keamanan juga harus berndak tegas terhadap pelaku kekerasan sebagai wujud dari penegakan hukum. Catatan kebijakan ini bertujuan menjelaskan tren kekerasan yang dipantau pada periode Januari-April 2012 dan mengulas secara detail kedua isu di atas. Catatan kebijakan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan di ngkat lokal maupun nasional serta lembaga masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang manajemen konflik. KALIMANTAN BARAT JABODETABEK NAD SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA NTT MALUKU Edisi 01/Juli 2012 Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2012) The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non- pemerintah dan non-profit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokras secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai- nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokras secara struktural dan kultural yang mengakui, menghorma dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efekf dan sosialisasi teknologi.

description

This is the first edition of the policy brief ; Monitoring Violent Conflict in Indonesia issued by The Habibie Center (THC). This brief analyzes the most recent data on violent conflict in Indonesia (Jan-April 2012) and discusses number of pressing issues concerning management of violence in the country including election related conflicts in Aceh and Papua, and recurring land conflicts in Maluku. THC, a non-profit and non-governmental research center, is partner of The World Bank's Conflict and Development Program under the National Violence Monitoring System (NVMS) project.About the NVMS project: The Conflict and Development team is assisting the Coordinating Ministry of People's Welfare (Kemenkokesra) in implementing the NVMS project since early 2012. NVMS project aims to strengthen the capacity of Indonesia's institutions for detection and response to social conflict through data and analysis. Under this project, data on incidence and impacts of violence is being collected from 14 target provinces. Based on this data, THC will publish an analytical brief every four months (next edition expected in October).

Transcript of NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

Page 1: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pada periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring System-NVMS). Dari total insiden kekerasan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. Jenis kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas (28%), kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (8%) dan kekerasan aparat (4%). Total insiden tahun 2012 menurun sebanyak 6% dibandingkan dengan rata-rata Januari-April tahun 2006-2008, namun korban tewas meningkat 13% dan kerusakan bangunan naik drastis 115%. Meningkatnya korban tewas tahun 2012 terutama disebabkan oleh konflik kekerasan Pemilukada, sedangkan kerusakan bangunan sebagian besar berasal dari konflik kekerasan antar-etnik. Korban cedera paling besar berasal dari insiden kekerasan terkait demonstrasi menolak rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Konflik kekerasan Pemilukada terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua. Di Provinsi NAD terjadi 111 insiden dan di Provinsi Papua terjadi 8 insiden. Sebagian besar insiden terjadi antara para pendukung partai politik. Eskalasi kekerasan menjelang Pemilukada di NAD sudah terjadi sejak Oktober 2011. Akar konflik tersebut diduga karena perselisihan antara Gubernur petahana Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Pada periode ini dampak yang tercatat adalah 48 cedera dan 14 bangunan rusak. Sedangkan di Papua, konflik kekerasan Pemilukada mengakibatkan 19 tewas, 115 cedera dan 130 bangunan rusak. Konflik kekerasan Pemilukada ini memerlukan penanganan tegas dari aparat keamanan agar konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang tidak terganggu. Di sisi lain, partai politik harus memperkuat fungsinya sebagai agregator kepentingan dan saluran komunikasi konstituen agar bisa meredam potensi kekerasan. Kapasitas penyelenggara Pemilukada

Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia

Catatan Kebijakan

Catatan Kebijakan 1 The Habibie Center

dalam menyelenggarakan dan mengawasi jalannya Pemilukada perlu ditingkatkan. Isu lain yang penting pada periode ini adalah sengketa tanah, yang tercatat menonjol di Provinsi Maluku. Sengketa tanah terjadi hampir di seluruh wilayah Maluku sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dalam satu dekade terakhir saja telah terjadi sebanyak 175 insiden kekerasan yang mengakibatkan 45 tewas, 374 cedera, dan 388 bangunan rusak. Terdapat tiga akar masalah sengketa tanah yang terus berulang tersebut yaitu batas wilayah antar-desa/negeri, klaim kepemilikan adat, tumpang tindihnya wilayah adat dengan wilayah adminsitratif. Akar masalah tanah ini perlu segera diselesaikan hingga tuntas karena sering kali berujung pada kekerasan. Kemampuan lembaga adat dan pemerintah daerah serta sinergi antara keduanya perlu ditingkatkan dalam mengelola konflik dan menyelesaikan masalah tanah. Aparat keamanan juga harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan sebagai wujud dari penegakan hukum. Catatan kebijakan ini bertujuan menjelaskan tren kekerasan yang dipantau pada periode Januari-April 2012 dan mengulas secara detail kedua isu di atas. Catatan kebijakan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal maupun nasional serta lembaga masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang manajemen konflik.

KALIMANTAN BARAT

JABODETABEK

NAD

SULAWESI TENGAH

MALUKU UTARA

PAPUA BARAT

PAPUA

NTT

MALUKU

Edisi 01/Juli 2012

Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2012)

The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non-pemerintah dan non-profit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi.

Page 2: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Sembilan Provinsi

Selama Januari-April 2012 terjadi total 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak. Pada periode ini, kerusakan bangunan meningkat tajam di Februari. Tren tersebut sebagian besar berasal dari satu insiden di Provinsi Maluku, yaitu bentrokan di Pelauw (Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah). Bentrokan tersebut akibat sengketa penentuan tanggal peresmian rumah adat yang mengakibatkan 300 bangunan rusak. Peningkatan korban cedera pada Maret paling besar disebabkan oleh insiden demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan (Gambar 1).

Jika data kekerasan pada periode Januari-April 2012 dibandingkan dengan rata-rata data ViCIS pada periode yang sama tahun 2006-2008 (Gambar 2)1, maka terjadi peningkatan korban tewas sebesar 13% dan kerusakan

1 ViCIS (Violent Conflict in Indonesia Study) database tahun 1998-2008. Karena data setelah periode ViCIS tersebut belum tersedia maka data periode 2012 dibandingkan dengan tahun 2006-2008.

bangunan sebesar 115% walaupun jumlah insiden turun 6%. Peningkatan dampak tewas sebagian besar terjadi terkait dengan masalah Pemilukada di Provinsi Papua, sedangkan kerusakan bangunan sebagian besar berasal dari konflik kekerasan di Pelauw, Provinsi Maluku seperti tersebut di atas.

NMVS membagi insiden kekerasan ke dalam empat kategori (lihat Kotak 2. Definisi). Berdasarkan kategori tersebut diperoleh gambaran mengenai jenis-jenis kekerasan beserta dampak yang ditimbulkannya, seperti dalam Tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat 61% dari semua insiden kekerasan merupakan insiden yang dilatarbelakangi perselisihan sehingga dikategorikan sebagai konflik. Kecenderungan ini konsisten dengan data pada periode 2006-2008.

Catatan Kebijakan 2 The Habibie Center

2.562 2.408

267 302

1.964 2.044

362 274317

682

Gambar 2. Perbandingan rata rata insiden dan dampak kekerasan disembilan provinsi (Jan Apr 2006 2008 dan 2012)

Rata-rata Januari-April 2006-2008 Januari-April 2012

Total Insiden Tewas Cedera Pemerkosaan Kerusakan Bangunan

0

100

200

300

400

500

600

700

Januari Februari Maret April

Gambar 1. Insiden dan dampak kekerasan di sembilan provinsi (Januari-April 2012)

Total insiden Tewas Cedera Kerusakan Bangunan

KOTAK 1: Program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional / National Violence Monitoring System (NVMS)

Catatan Kebijakan ini diterbitkan melalui program NVMS. Program ini diimplementasikan sejak tahun 2012 oleh The Habibie Center dengan hibah dari The Korea Economic Transitions and Peacebulding Trust Fund. NVMS bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Sebagai bagian dari program NVMS, saat ini sedang dibangun database kekerasan untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database ini mencakup sembilan provinsi di Indonesia: Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, NTT dan Jabodetabek. Provinsi-provinsi lain akan ditambahkan hingga pada akhirnya seluruh provinsi dapat dicakup. Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, NVMS membangun database menggunakan 34 surat kabar lokal di sembilan provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Saat ini portal data sedang dibangun sehingga nantinya database dapat diakses secara gratis oleh publik.

Page 3: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

Tabel 1. Insiden dan dampak kekerasan menurut jenis kekerasan di sembilan provinsi (Januari-April 2012) 2

Jenis Kekerasan Jumlah Insiden

Jumlah Tewas

Jumlah Cedera

Jumlah Pemer- kosaan

Jumlah Bangunan

Rusak

Konflik 1.463 160 1.609 1 665

Sumber daya- 72 6 87 0 31

Administratif- 106 8 261 0 43

Politis- 149 24 176 0 153

Identitas- 39 9 86 0 331

Harga diri- 431 49 413 1 25Main hakim - sendiri 307 36 335 0 36

Tidak jelas- 2 359 28 251 0 46

Kriminalitas 673 70 231 249 15

KDRT 187 52 121 24 1

Kekerasan Aparat 85 20 83 0 1

Total 2.408 302 2.044 274 682

1.a. Konflik kekerasan

Dari semua insiden konflik yang tercatat di dalam database, dua masalah yang paling dominan muncul adalah kekerasan yang dilakukan karena masalah harga diri (29%) dan tindakan main hakim sendiri (21%). Insiden-insiden di dalam kategori masalah harga diri biasanya terjadi ketika individu atau kelompok merasa tersinggung oleh penghinaan atau perselingkuhan dan membalasnya dengan tindak kekerasan. Walaupun lebih sering terjadi secara spontan yang hanya melibatkan individu, insiden kekerasan tersebut juga berpotensi menjadi peristiwa besar yang melibatkan massa dan mengakibatkan dampak kumulatif yang besar. Salah satu contoh, pada bulan Maret terjadi kerusuhan di Kecamatan Abepura, Papua yang berawal dari ketersinggungan salah satu warga yang akhirnya membesar menjadi kerusuhan. Dalam peristiwa itu sekitar 100 warga melakukan penyerangan hingga mengakibatkan 4 cedera, 3 rumah dan 2 motor rusak. Dalam periode ini saja, jumlah korban akibat masalah harga diri ini mencapai 49 orang tewas dan lebih dari 400 orang cedera. Data menunjukkan bahwa masalah ini juga telah terjadi sejak beberapa tahun lalu dan tersebar di 9 provinsi yang dipantau. Kecenderungan ini menimbulkan pertanyaan apakah lembaga informal masih bekerja untuk menyelesaikan perselisihan atau kekerasan dianggap sebagai pilihan termudah.

Di sisi lain persoalan main hakim sendiri mengindikasikan lemahnya proses penegakan hukum formal. Masalah-masalah yang melatarbelakangi insiden-insiden dalam kategori ini dapat dilihat dalam Gambar 3. Selama periode ini, tindakan main hakim sendiri yang sebagian besar berbentuk pengeroyokan oleh massa menyebabkan 36 tewas dan 335 cedera. Kecenderungan main hakim sendiri

2 Sebanyak 359 (25%) insiden konflik kekerasan dikategorikan seba-gai “tidak jelas” karena masalah yang diperselisihkan oleh kedua pihak tidak diketahui. Insiden-insiden dalam kelompok ini penting untuk di-catat karena jumlah dan dampaknya besar.

3Catatan Kebijakan The Habibie Center

tidak hanya terkonsentrasi di beberapa lokasi saja tetapi tersebar luas di semua daerah. Apalagi masalah ini tidak hanya muncul akhir-akhir ini saja. Data rata-rata pada periode yang sama tahun 2006-2008 juga menunjukkan kecenderungan serupa di mana terdapat 25 tewas dan 358 cedera akibat tindakan main hakim sendiri. Fenomena main hakim sendiri tersebar di seluruh provinsi yang dipantau tersebut kemungkinan terjadi karena rendahnya kepercayaan pada proses penegakan hukum formal sehingga kekerasan menjadi pilihan. Hal ini diakibatkan oleh akses terhadap layanan hukum yang terbatas, proses yang dianggap berbelit-belit, dan ketidakpuasan terhadap keputusan pengadilan.

Konflik kekerasan terkait identitas3 pada periode ini tercatat 39 insiden di mana paling sering terjadi dalam

3 Database NVMS mengelompokkan isu identitas berdasarkan afiliasi etnis, agama, geografi, gender, klub olah raga, dan migrasi/perantau/pengungsi.

KOTAK 2: Definisi

Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka program NVMS menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu:

Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antar-kelompok.

Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah, termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga.

Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka.

Kecelakaan 6% Hutang piutang

8%

Pencurian 55%

Pengrusakan 2%

Penganiayaan/ pembunuhan

26%

Narkoba 1%

Guna-guna 2%

Gambar 3. Insiden main hakim sendiri berdasarkan masalah di sembilan provinsi (Januari-April 2012)

Page 4: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

bentuk kerusuhan dan bentrokan antar-desa (33%). Konflik kekerasan tipe ini mengakibatkan 9 tewas. Karena identitas selalu dikaitkan dengan kelompok, di mana orang-orang dibedakan menjadi bagian atau bukan bagian dari suatu kelompok, maka insiden konflik biasanya melibatkan mobilisasi massa. Walaupun insiden seperti ini relatif jarang terjadi tetapi dampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan kategori konflik kekerasan yang lain.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan terkait konflik identitas adalah konflik tersebut masih terjadi di wilayah pasca-konflik komunal (1999-2002), yaitu: Maluku dan Sulawesi Tengah. Di Maluku satu insiden bentrokan antar-warga Pelauw pada Februari mengakibatkan 6 tewas, 24 cedera, dan 300 bangunan rusak. Di Sulawesi Tengah rangkaian bentrokan antar-desa terkait identitas mengakibatkan 2 tewas, 43 cedera, dan 23 bangunan rusak. Insiden-insiden seperti ini sulit dihentikan karena sifatnya meluas dan terus berulang. Sebagian insiden yang ditangani oleh aparat keamanan hanya sampai pada tahap menghentikan kekerasan. Namun demikian, belum ada tindak lanjut untuk menyelesaikan akar persoalan oleh pihak-pihak terkait.

Program NVMS juga memantau konflik kekerasan terkait sumber daya yang mencakup kepemilikan dan penggunaan tanah, sumber daya alam/buatan, akses atas pekerjaan, dan pencemaran lingkungan. Pada periode ini sebagian besar (69%) insiden kekerasan tersebut merupakan masalah tanah dan hampir setengahnya terjadi di Provinsi Maluku yang memiliki sejarah panjang sengketa tanah ulayat. Sebagian besar insiden (42%) terkait tanah di provinsi ini adalah bentrokan antar-desa/negeri (desa adat) yang mengakibatkan 3 tewas, 54 cedera dan 19 bangunan rusak.

Jenis konflik kekerasan terkait isu politis mencakup Pemilu/Pemilukada, persaingan atas jabatan, sengketa partai politik, separatisme, dan isu politik internasional. Pada periode ini insiden kekerasan dalam kategori ini paling banyak berasal dari konflik Pemilukada di Provinsi NAD dan Papua. Di Provinsi NAD konflik kekerasan terjadi, baik di Pemilukada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tertinggi dalam bentuk perusakan dan serangan fisik berskala kecil. Di Provinsi NAD terjadi 111 insiden konflik Pemilukada yang mengakibatkan 48 cedera dan 14 bangunan rusak.4 Di Provinsi Papua, meskipun hanya terjadi 8 insiden, dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar, yaitu: 19 tewas, 115 cedera, dan 130 bangunan rusak akibat bentrokan dan kerusuhan. Di Provinsi Papua juga terjadi 8 insiden konflik separatisme. Sebagian besar insiden tersebut terjadi di Kabupaten Puncak Jaya yang mengakibatkan 5 tewas.

Jenis konflik kekerasan terakhir dikelompokkan dalam kategori isu administratif, yang berisi insiden terkait ketidakpuasan atas kebijakan dan layanan publik. Dari 4 Insiden tanggal 1 Januari 2012 mengakibatkan satu tewas dan satu cedera di Seureuke, Aceh Utara. Menurut aparat, insiden tersebut merupakan sengketa antara transmigran dan masyarakat lokal tetapi menurut beberapa lembaga lain, insiden tersebut terkait Pemilukada.

total insiden isu administratif, 24 insiden diantaranya merupakan demonstrasi dengan kekerasan sebagai respon terhadap rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM.

Demonstrasi tersebut mengakibatkan 220 cedera. Jumlah insiden dan korban tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan angka tahun 2005 dan 2008, seperti tampak pada Gambar 4.

Kenaikan jumlah insiden dan korban pada tahun 2012 disebabkan oleh dua hal. Pertama, sosialisasi rencana mengurangi subsidi BBM tahun 2012 kurang gencar dan terencana. Kelompok oposisi justru jauh lebih intensif melakukan strategi penolakan melalui media-media utama, jalur partai politik, dan mobilisasi massa akar rumput. Kedua, penanganan demonstrasi terkesan berlebihan tetapi di sisi lain, aparat justru tidak bertindak tegas terhadap demonstran yang melakukan kekerasan, misalnya: pembakaran dan perusakan fasilitas umum.

1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat

Selain konflik kekerasan, NVMS juga memantau kri-minalitas, KDRT, dan kekerasan aparat. Data menunjukkan bahwa dari 673 insiden kriminalitas, sebagian besar diantaranya terjadi dalam bentuk perampokan, yaitu 285 insiden (42%). Sebagian besar (65%) kasus perampokan pada periode ini terjadi di wilayah Jabodetabek. Kasus perampokan di Jabodetabek ini penting untuk diperhatikan karena 30% diantaranya menggunakan senjata api organik. Selain itu, kasus pemerkosaan juga penting untuk diperhatikan. Pada periode ini tercatat 249 korban pemerkosaan, 205 diantaranya adalah perempuan sedangkan sisanya adalah anak-anak. Database juga menunjukkan 187 kasus KDRT, yang mengakibatkan 52 tewas dan 121 cedera.5 Dari jumlah tersebut, 40% korban tewas dan 70% korban cedera adalah perempuan. Program NVMS mencatat data KDRT dan kekerasan seksual tersebut karena keduanya penting dalam perumusan kebijakan untuk menangani kekerasan sosial.

Data juga menunjukkan bahwa kekerasan aparat merupakan masalah yang serius. Litbang Kompas (13 Mei 2012) mengeluarkan data kekerasan aparat dalam kategori penganiayaan, penyiksaan, penembakan, dan 5 Jumlah korban pemerkosaan dan KDRT kemungkinan hanya me-wakili angka minimum karena ada stigma atau keengganan untuk me-laporkan kejadian tersebut. Ada kemungkinan lembaga-lembaga lain yang bekerja secara spesifik pada isu tersebut mencatat angka yang lebih tinggi. Masukan untuk memperbaiki angka tersebut sangat di-harapkan.

Catatan Kebijakan 4 The Habibie Center

2416

220

50

100

150

200

250

Gambar 4. Jumlah insiden dan cedera terkait rencana pengurangansubsidi BBM di sembilan provinsi

(2005, 2008, 2012)

511

249

0

Tahun 2005 Tahun 2008 Tahun 2012

Total Insiden Total Cedera

Page 5: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

pembunuhan. Secara nasional, tahun 2010 terjadi 195 kasus dan meningkat tajam menjadi 515 kasus pada tahun 2011 secara nasional. Diperkirakan angka nasional tahunan tersebut lebih tinggi karena berdasarkan data NVMS yang hanya merekam periode Januari-April 2012 di sembilan provinsi sudah tercatat 85 kasus yang mengakibatkan 20 tewas dan 83 cedera. Jika dilihat dari persebarannya, 39% insiden kekerasan aparat terjadi di wilayah Jabodetabek, 26% terjadi di Provinsi NAD, dan 19% terjadi di Kalimantan Barat. Sebanyak 85% korban tewas dari kategori ini terjadi karena senjata api, misalnya penembakan terhadap pencuri atau perampok yang mencoba melarikan diri atau melawan ketika hendak ditangkap. Ini mengindikasikan dua hal, pertama, aparat menghadapi semakin maraknya penggunaan senjata api oleh pelaku kejahatan; kedua, lemahnya pengawasan dan evaluasi oleh pimpinan aparat keamanan mengingat insiden yang paling besar justru berada di wilayah pusat kekuasaan. Penembakan oleh aparat bisa jadi memang diperlukan tetapi bisa juga merupakan tindakan yang melebihi wewenang. Hal ini memerlukan penyelidikan independen lebih lanjut.

2. Isu Utama yang perlu diperhatikan

2.a Konflik Pemilukada di NAD dan Papua

Sebagaimana telah disebutkan di Bagian 1, dibandingkan dengan rata-rata Januari-April 2006-2008, terjadi peningkatan total korban tewas sebesar 13%. Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari konflik kekerasan Pemilukada. Jumlah insiden dan dampak terbesar berasal dari provinsi Papua dan NAD. Analisis atas data NVMS menunjukkan adanya lima masalah terkait Pemilukada di Provinsi NAD dan Papua. Pertama, penolakan terhadap penyelenggara Pemilukada. Masalah ini ditemukan di Kabupaten Tolikara (Papua) di mana bentrokan terjadi antara pendukung dua kandidat, Usman Wanimbo yang diusung Partai Demokrat/Koalisi dan John Tabo (bupati petahana) dari Partai Golkar. Kubu Tabo menolak pelantikan anggota Panitia Pemilihan Daerah (PPD) pilihan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dianggap tidak netral. Sementara itu, kubu Wanimbo menolak anggota PPD antar-waktu yang diangkat sebelumnya. Kedua belah pihak akhirnya memobilisasi pendukung yang berujung pada bentrokan sehingga 11 tewas dan 85 cedera. Selain itu, 126 bangunan dirusak dan/atau dibakar termasuk kantor Partai Golkar, kantor Partai Demokrat, kantor BPS, rumah dinas dan Puskesmas. Pada akhirnya Pemilukada ditunda atas dasar kesepakatan antara KPU dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Tolikara.

Kedua, konflik antar-elit. Masalah ini tampak dari konflik Pemilukada di Provinsi NAD yakni perselisihan internal antara Irwandi Yusuf, gubernur terpilih sejak 2006, dengan Partai Aceh yang didirikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).6 Partai Aceh menghalangi rencana Irwandi Yusuf mencalonkan diri melalui jalur independen untuk periode kedua dengan beberapa cara. Pertama, berdalih 6 ICG Report, Februari 2012.

5Catatan Kebijakan

Pasal 256 UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan kandidat independen hanya diperbolehkan mencalonkan diri sekali pada pemilu pertama. Kedua, menolak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perjanjian Helsinki. Penolakan Partai Aceh diperkuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang mengesahkan Qanun (peraturan daerah) pada akhir Juni 2010 yang melarang calon independen. Ketiga, berdalih bahwa kekerasan tidak kondusif bagi pelaksanaan Pemilukada sehingga harus ditunda. Akibatnya, Pemilukada untuk memilih gubernur dan bupati/walikota tertunda hingga empat kali.7 Partai Aceh yang pada awalnya menolak ikut serta akhirnya bersedia mengikuti Pemilukada setelah proses lobi yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri ditambah keputusan MK bahwa pendaftaran calon gubernur dibuka kembali. Pemilukada akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012 atau dua bulan setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir.

Ketiga, kelemahan partai politik dalam memediasi konflik kepentingan. Di Provinsi Papua, hal ini terlihat dalam kasus yang melibatkan Simon Alom dan Elvis Tabuni yang memperebutkan rekomendasi Partai Gerindra sebagai syarat maju ke pemilihan bupati Puncak. Simon mengklaim mendapatkan rekomendasi dari dewan pimpinan pusat (DPP), sementara Elvis mengklaim mendapatkan rekomendasi dari dewan pimpinan cabang (DPC). Masalah muncul ketika KPUD menolak pendaftaran Simon sebagai bakal calon bupati. Masalah ini kemudian meluas menjadi konflik antar-massa pendukung. Selama konflik berlangsung sejak pertengahan tahun 2011, tidak terlihat adanya mediasi oleh partai politik. Sebenarnya pada bulan Agustus 2011, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menghimbau partai politik untuk menyelesaikan konflik tersebut (Tribunews.com, 2 Agustus 2011). Akan tetapi hal itu tidak efektif. Konflik tetap berlangsung hingga mengakibatkan 57 tewas (Tempo.co, 8 Februari 2012). Kesamaan antara kejadian di Puncak dan Tolikara adalah partai politik masih memiliki kelemahan dalam membantu menciptakan iklim berkompetisi secara sehat, diantaranya kurang menjalankan fungsi komunikasi kepada konstituen. Partai politik juga belum mampu menjalankan fungsi pendidikan politik kepada kader yang pada gilirannya berperan terhadap eskalasi kekerasan. Lemahnya fungsi partai politik ini diperkuat oleh kondisi sosial masyarakat Papua yang paternalistik dan menjadikan suku sebagai identitas utama sehingga berkontribusi pada tingginya potensi kekerasan dalam Pemilukada.

Keempat, penggunaan intimidasi dan kekerasan sebelum dan sesudah Pemilukada. Masalah ini terlihat di Provinsi NAD. Menurut catatan Kompas.com (11 April 2012) terjadi 14 kali kekerasan dari 14 Oktober 2011 sampai 10 Januari 2012 yang mengakibatkan 12 tewas dan 19 cedera. Kekerasan tersebut berhasil menciptakan kesan 7 10 Oktober 2011, 14 November 2011, 24 Desember 2011, dan 16 Februari 2012.

7

Page 6: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

bahwa kondisi NAD tidak aman untuk melaksanakan Pemilukada. Beberapa contoh kekerasan yang direkam oleh NVMS, misalnya penembakan dan pelemparan bom molotov terhadap rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dan Bupati Aceh Utara, serta penembakan posko salah satu calon bupati Aceh Timur. Analisis terhadap data NVMS menunjukkan bahwa kekerasan terkait isu politis tetap terjadi di wilayah yang di masa konflik besar memiliki tingkat kekerasan tertinggi seperti tampak dalam Gambar 5 dan 6. Wilayah tersebut adalah Lhokseumawe, Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, dan Bireun, yang tercatat 75,6% dari total insiden, 79% dari total cedera dan 35,7% dari total kerusakan bangunan. Kekerasan masih terjadi paska ditetapkannya pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf sebagai pemenang pemilu, misalnya: pemukulan terhadap Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA ketika keluar dari ruang pelantikan gubernur NAD (25 Juni 2012). Di hari yang sama terjadi juga insiden penembakan terhadap 2 orang yang diduga sebagai simpatisan Partai Aceh, dan pelemparan granat di rumah mantan Menteri Pertahanan GAM (Kompas, 27 Juni 2012). Beberapa kejadian tersebut mengindikasikan bahwa kekerasan terkait isu politis masih mungkin terjadi lagi di Aceh.

Kelima, tidak optimalnya peran aparat keamanan dan penyelenggara Pemilukada dalam menangani kekerasan dan merespon pengaduan masyarakat. Lambatnya penindakan oleh kepolisian terlihat misalnya dari kasus penembakan di akhir tahun 2011. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NAD pada awalnya mengklaim bahwa insiden itu tidak berhubungan dengan Pemilukada tetapi merupakan akibat persaingan bisnis dan kecemburuan penduduk lokal terhadap pendatang. Pernyataan ini secara tidak langsung telah dikoreksi pada tanggal 21 Februari 2012 ketika Kapolda mengatakan bahwa penembakan dilakukan oleh satu kelompok yang sama dan sudah diketahui tetapi Polda menolak mengungkapkannya. Baru pada tanggal 24 Maret 2012, Polda menangkap 6 tersangka. Lambatnya aparat merespon kekerasan dikhawatirkan dapat merusak iklim perdamaian yang sudah membaik sejak 2005. Dalam jangka panjang, pembiaran ini berpotensi mengembalikan kultur politik kekerasan di NAD. Penyelenggara Pemilukada juga dianggap tidak tanggap terhadap pengaduan masyarakat. Forum LSM Aceh dan Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF), misalnya, menyebutkan bahwa terjadi

banyak kecurangan dan intimidasi dalam Pemilukada tetapi tidak ditindaklanjuti oleh penyelenggara Pemilukada. Ini juga mengindikasikan bahwa peran lembaga-lembaga penyelenggara Pemilukada juga tidak berjalan optimal. Hal ini mengundang spekulasi tentang adanya kepentingan politis tertentu yang membuat insiden-insiden kekerasan dan intimidasi dibiarkan terjadi.

Rekomendasi

Kepolisian perlu segera mengungkapkan dan melakukan - penindakan terhadap kasus-kasus kekerasan berkaitan dengan Pemilukada.

Pemerintah harus menjamin keamanan dan perdamaian - agar dalam jangka panjang proses demokrasi dapat berjalan dengan baik.

Partai politik harus memperkuat peran dan fungsinya - sebagai agregator kepentingan, sarana pendidikan politik, dan saluran komunikasi dengan konstituen untuk mereduksi potensi kekerasan.

Institusi penyelenggara Pemilukada perlu meningkatkan - kapasitasnya dalam menyelenggarakan dan mengawasi Pemilukada, serta menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran dan intimidasi.

2.b Kasus Tanah di Maluku

Pada periode Januari-April 2012 terjadi 24 insiden konflik tanah (33%) dari total insiden konflik kekerasan di Maluku, yang mengakibatkan 3 tewas, 54 cedera, dan 19 bangunan rusak. Data ViCIS juga menunjukkan bahwa pada periode tahun 2002-2011 terjadi 151 insiden kekerasan yang mengakibatkan 42 tewas, 320 cedera, dan 369 bangunan rusak, seperti terlihat dalam Gambar 7. Sebagian besar korban tewas dan kerusakan bangunan pada tahun 2008 berasal hanya dari satu insiden kerusuhan antara warga Saleman dan Horale. Korban cedera pada tahun 2011 paling banyak berasal dari satu insiden bentrokan antara warga Iha dan Luhu.

Seperti ditunjukkan Gambar 8, berdasarkan jumlah insiden di Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tengah merupakan yang tertinggi diikuti oleh Kota Ambon. Jika dilihat dari dampak keseluruhan, Kabupaten Maluku Tengah juga merupakan wilayah tertinggi, diikuti oleh

Catatan Kebijakan 6 The Habibie Center

BIREUEN

ACEH TIMUR

PIDIE

ACEH UTARA

LHOKSEUMAWE

11

13

19

20

22

2

3

4

22

7

0

3

1

1

0

Gambar 6. Insiden dan dampak konflik tertinggi per kabupaten di NAD (Januari-April 2012)

Total insiden Tewas Cedera Kerusakan Bangunan

PIDIE

BIREUEN

ACEH TIMUR

ACEH UTARA

728

912

1,318

1.632

628

1,123

1,293

1,657

728

912

1,318

1,632

628

1,123

1,293

1,657

Gambar 5. Insiden dan dampak konflik tertinggi per kabupatendi NAD (Januari 1998 Agustus 2005)

ACEH SELATAN

PIDIE

681

728

748

628

681

728

748

628

Total insiden Tewas Cedera Kerusakan Bangunan

Page 7: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

Kabupaten Seram Bagian Barat. Sengketa tanah terjadi baik antar-desa/negeri dengan identitas agama yang sama, misalnya Porto-Haria (Saparua, Maluku Tengah), Mamala-Morela (Leihitu, Maluku Tengah), Hitulama-Hitumessing (Leihitu, Maluku Tengah) maupun antar-desa/negeri yang berbeda identitas agama, misalnya Iha-Luhu (Huamual Belakang, Seram Bagian Barat), Saleman-Horale (Seram Utara, Maluku Tengah), Dian Darat-Letfuan (Kei Kecil, Maluku Tenggara). Konflik tanah tersebut terutama terkait dengan batas wilayah antar-desa/negeri, klaim kepemilikan adat oleh kelompok warga yang berbeda, dan konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah administratif.

Jika ditarik ke belakang, sengketa tanah yang berujung pada kekerasan telah terjadi sejak dekade 70-an. Fraassen (dalam Adam, 2010) menyebutkan bahwa tekanan populasi dan melonjaknya harga cengkeh membuat nilai tanah meningkat. Hal tersebut menyebabkan tingginya persaingan sumberdaya alam sehingga berimbas pada meningkatnya sengketa tanah. Pasca konflik komunal tahun 1999-2002, penggunaan senjata api dan bom rakitan menjadi marak. Data ViCIS tahun 2002-2011 menunjukkan bahwa dari 151 insiden konflik tanah, 16% diantaranya menggunakan senjata api organik dan/atau senjata api rakitan dan bom rakitan. Tampaknya, salah satu imbas konflik komunal di Maluku adalah mewariskan pengetahuan dan kemampuan membuat senjata rakitan. Sebagai contoh, aparat juga menemukan senjata api rakitan dan bom rakitan pada bentrokan antara Mamala-Morela tahun 2005.8 Lalu pada tahun 2008 aparat menemukan selongsong peluru senjata api organik dalam insiden Saleman-Horale. Ada kemungkinan senjata api organik tersebut adalah sisa dari masa konflik komunal yang tidak diserahkan kepada atau luput dari kejaran aparat.

Berulangnya konflik tanah di Maluku menuntut penyelesaian yang tuntas. Sebagian besar intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan tidak hanya sampai pada tingkat menghentikan kekerasan, tetapi telah berlanjut pada usaha membangun perdamaian. Sebagai contoh pemerintah daerah dan aparat keamanan memfasilitasi perjanjian damai, pembangunan tugu perdamaian, dan pos jaga di perbatasan desa Mamala-Morela paska bentrokan 2005. Akan tetapi bentrokan kembali terjadi ketika penjagaan 8 Ambon Ekspres, 25 Nopember 2005.

7Catatan Kebijakan

oleh aparat dihentikan. Tidak efektifnya perjanjian damai juga terlihat dari berulangnya insiden kekerasan di beberapa tempat lain, seperti bentrokan warga Porta dan Haria, Ulath-Sirisori Amalatu, dan Dian Darat-Letvuan (lihat Kotak 3). Dalam kasus konflik Desa Saleman-Horale (2006) pemerintah daerah juga memfasilitasi perjanjian damai. Akan tetapi perjanjian tersebut juga tidak efektif sehingga insiden dengan eskalasi yang lebih besar terjadi lagi tahun 2008. Setelah kejadian terakhir tersebut, dibuat kembali perjanjian damai yang menyebutkan bahwa masalah pidana dan perdata akan diselesaikan secara hukum. Pengadilan tingkat satu dimenangkan oleh Saleman. Akan tetapi, Horale mengalahkan Saleman pada pengadilan tingkat banding. Saat ini, kasus tersebut masih diproses di Mahkamah Agung.9 Kasus lain yang sampai ke tingkat Mahkamah Agung adalah sengketa tanah antara Liang-Waai (Wisudo, 2010). Penyelesaian secara hukum mungkin dapat memutuskan pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan, meskipun belum tentu menyelesaikan konflik kekerasan.

Akar masalah dari sengketa lahan yang terus berulang tersebut adalah sistem kepemilikan tanah yang tumpang tindih serta akses dan penggunaan tanah yang tidak tertata. Persoalan tumpang tindih antara hukum adat dan hukum nasional telah terlihat dalam banyak produk hukum formal di Indonesia. Dalam Undang-undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, posisi adat dan kepemilikan adat atas tanah berada di bawah kepentingan nasional yang tersentralisasi. Posisi adat tersebut semakin tersudut lewat undang-undang tentang kehutanan yang membuat 65% wilayah daratan berada di dalam kontrol pemerintah. Ini mengabaikan hak-hak adat untuk kepentingan negara atau swasta. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pascareformasi tampaknya memberikan perbaikan atas hak-hak adat atas sumber daya, termasuk tanah.10

9 Wawancara dengan narasumber di Maluku Tengah, Desember 2010.10 Misalnya UU No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak atas Tanah Komunal, UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang memberikan pengakuan hukum terhadap hak-hak adat untuk mendapat akses ke aset ekonomi, UU No 32/2004 tentang Pemerin-tahan Daerah menegaskan bahwa hukum adat masyarakat dan hak-hak tradisional setempat hanya berlaku apabila mereka dimasukkan dalam peraturan daerah. Terakhir, Rancangan Undang-undang (RUU) Sumber Daya Agraria Tahun 2004 menetapkan bahwa hukum adat bisa menjadi dasar bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Gambar 7. Konflik tanah per tahundi Maluku (Februari 2002 Desember 2011)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Total insiden 7 8 13 8 11 15 32 23 10 24Tewas 10 5 1 1 1 3 15 1 1 4Cedera 30 18 23 8 10 27 63 23 5 113Kerusakan bangunan 35 0 34 43 15 23 158 17 9 35

0

20

Seram Bagian Barat

Buru

Maluku Tenggara

Tual

Maluku Tenggara Barat

Seram Bagian Timur

Gambar 8. Konflik tanah per kabupatendi Maluku (Februari 2002 Desember 2011)

0 100 200 300 400 500 600

Maluku Tengah

Ambon

Total Insiden Tewas Cedera Kerusakan bangunan

Page 8: NVMS Policy Brief - July 2012 - Indonesian

Di Maluku, salah satu respon terhadap perubahan tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku No. 14 Tahun 2005 yang berisi tentang penggunaan kembali negeri sebagai komunitas adat menggantikan desa administratif. Perda tersebut menyatakan bahwa salah satu syarat agar seseorang bisa mengklaim hak-hak adat adalah memiliki hubungan historis dengan wilayah. Masyarakat yang tidak memenuhi syarat tersebut masuk ke dalam desa administratif. Perda No. 1 tahun 2006 Kabupaten Maluku Tengah menyatakan secara eksplisit bahwa semua tanah dimiliki secara adat. Ini berarti bahwa masyarakat di desa administratif tidak bisa mengklaim hak kepemilikan secara adat (Adam, 2010). Pemerintah daerah Maluku telah menyerukan agar dibuat dan ditetapkan batas antar-desa/negeri sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 tentang Pe ne tapan dan Penegasan Batas Desa.Akan tetapi, kebijakan ini sulit diimplementasikan karena tumpang tindihnya wilayah antar-desa/negeri dan wilayah negeri dengan desa administratif. Contoh paling

nyata dari masalah ini bisa dilihat di Kota Ambon, di mana sebagian besar wilayah kota tersebut termasuk dalam petuanan negeri Soya tetapi di dalamnya terdapat desa dan kelurahan administratif.

Sengketa tanah ini diperumit dengan kedatangan investor perkebunan di tanah-tanah adat yang tidak jelas statusnya secara hukum, seperti yang terjadi di Seram Utara. Salah satu insiden bentrokan antara warga Latea dengan Marihunu pada Agustus 2010 yang mengakibatkan satu tewas dan tiga warga lainnya cedera. Bentrokan tersebut terjadi karena kedua kelompok mengklaim sebagai pemilik tanah yang digunakan oleh investor kelapa sawit. Insiden serupa sangat mungkin terjadi di masa depan karena semakin banyak investor yang masuk ke Provinsi Maluku, di mana status kepemilikan tanah adat sering diperselisihkan.

Di Provinsi Maluku, penyelesaian masalah tanah sangat mendesak untuk mengantisipasi terjadinya konflik kekerasan dengan dampak yang lebih besar. Lembaga adat berperan besar dalam penentuan batas dan menyelesaikan sengketa tanah. Akan tetapi, kemampuan lembaga adat perlu ditingkatkan agar peran mereka lebih optimal. Hal ini penting untuk mengantisipasi meningkatnya potensi konflik tanah di masa depan. Kemampuan pemerintah daerah dan aparat keamanan dalam memediasi perselisihan antar-desa/negeri juga perlu ditingkatkan karena sengketa antar-desa/negeri biasanya tidak bisa diselesaikan oleh tokoh adat dari negeri masing-masing.

Rekomendasi

Meningkatkan kemampuan lembaga adat dan - pemerintah daerah dalam mengelola konflik dan penyelesaian masalah tanah melalui upaya mediasi untuk mengantisipasi timbulnya kekerasan.

Jika perselisihan berubah menjadi kekerasan maka - aparat keamanan harus menindak pelaku sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Catatan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program NVMS. Isi catatan kebijakan ini merupakan pandangan tim NVMS-The Habibie Center. Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi [email protected].

The Habibie CenterJl. Kemang Selatan no.98Jakarta Selatan 12560, IndonesiaTelp. 62 21 780 8125 / 62 21 7817211 Fax. 62 21 781 7212 | E-mail: [email protected] www.habibiecenter.or.id

facebook.com/habibiecenter @habibiecenter

KOTAK 3. Kasus terkait sengketa tanah

(11/1/2012) Maluku Tenggara, Maluku. Warga Desa Dian Darat kembali terlibat bentrok dengan warga Desa Letvuan, Maluku Tenggara, Maluku. Akibat insiden ini 1 orang meninggal dan 28 orang menderita luka-luka. Aparat kepolisian tidak mampu menghentikan bentrokan karena kekurangan personel. Insiden ini terkait masalah tanah petuanan yang dijadikan pabrik rumput laut di desa Letvuan.

(07-08/03/2012) Saparua, Maluku Tengah, Maluku. Terjadi bentrokan antara warga Porto dengan warga Haria. Bentrok tersebut menewaskan 1 orang akibat tembakan, 8 orang luka-luka akibat serpihan bom, dan 5 rumah dibakar massa. Kedua negeri ini sudah sering terlibat bentrok akibat konflik berkepanjangan tentang sengketa batas negeri.

(05/01/2012) Saparua, Maluku Tengah, Maluku. Terjadi bentrokan antara warga Desa Ulath dengan warga Sirisori Amalatu terkait batas desa. Insiden tersebut mengakibatkan 3 rumah terbakar.

8