POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas...

27
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 1 POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF KEMENTERIAN KEUANGAN TAHUN 2012 I. PENGANTAR Indonesia saat ini telah menjadi negara emerging economy, dan menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia. Pada saat China, India, dan negara-negara lain mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2012, Indonesia justru diperkirakan masih tumbuh sekitar 6,3% melampaui pertumbuhan ekonomi India yang diperkirakan hanya 4,9% serta jauh melampaui pertumbuhan Eropa yang menurut ECB (European Central Bank) hanya berkisar antara -0,6% s.d -0,2%. Kekuatan permintaan domestik menjadi tulang punggung utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Inflasi dan suku bunga yang relatif rendah memberikan ruang kepada ekonomi kita untuk terus tumbuh. Kedua faktor tersebut telah memberi ruang kepada belanja rumah tangga dan investasi tumbuh dengan amat signifikan di tahun 2012. Kondisi demikian mengantarkan Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah, dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang secara bertahap berhasil diturunkan.

Transcript of POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas...

Page 1: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

1

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF – KEMENTERIAN KEUANGAN

TAHUN 2012

I. PENGANTAR Indonesia saat ini telah menjadi negara emerging economy,

dan menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia. Pada saat China,

India, dan negara-negara lain mengalami perlambatan

pertumbuhan ekonomi tahun 2012, Indonesia justru

diperkirakan masih tumbuh sekitar 6,3% melampaui

pertumbuhan ekonomi India yang diperkirakan hanya 4,9% serta

jauh melampaui pertumbuhan Eropa yang menurut ECB

(European Central Bank) hanya berkisar antara -0,6% s.d -0,2%.

Kekuatan permintaan domestik menjadi tulang punggung utama

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Inflasi dan suku bunga yang

relatif rendah memberikan ruang kepada ekonomi kita untuk

terus tumbuh. Kedua faktor tersebut telah memberi ruang kepada

belanja rumah tangga dan investasi tumbuh dengan amat

signifikan di tahun 2012. Kondisi demikian mengantarkan

Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah, dengan

tingkat kemiskinan dan pengangguran yang secara bertahap

berhasil diturunkan.

Page 2: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

2

Capaian Kinerja ekonomi tahun 2012 menyebabkan

sebagian ekonom menjadi sangat optimis terhadap perkiraan

ekonomi tahun 2013. Barangkali optimisme sebagian ekonom

itulah yang juga ikut mendorong keyakinan pemerintah dan DPR

menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar

6,8%, meski perkiraan rata-rata dari institusi internasional

pertumbuhan ekonomi kita hanya sekitar 6,3%. Kita tentu

berharap, optimisme pemerintah dan DPR itulah yang akan

menjadi kenyataan di tahun depan. Akan tetapi, optimisme itu

tetap harus dibarengi dengan kewaspadaan, mengingat

perkembangan terakhir memberi indikasi bahwa peluang kondisi

global terus memburuk di tahun 2013 masih terbuka lebar. Eropa

masih belum menemukan cara yang tepat untuk memecahkan

masalah yang mereka hadapi. Ketidakpastian global masih amat

tinggi. Dengan keadaan yang demikian, kita tidak dapat terlalu

mengaharapkan permintaan global (ekspor) untuk mendukung

pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2013. Sebaliknya, kita

harus meningkatkan kemandirian ekonomi dengan memperluas

pasar domestik serta meningkatkan kualitas pengelolaan APBN.

Dengan kata lain, untuk merealisasikan target

pertumbuhan ekonomi tahun 2013, Indonesia paling tidak harus

bisa mengatasi 3 (tiga) tantangan utama ekonomi berikut, yaitu:

Page 3: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

3

1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk

meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi dimana

fiscal space relatif sempit, kebiasaan penyerapan APBN

khususnya belanja modal yang masih menumpuk di triwulan

IV, dan mandatory spending yang cukup besar.

2. Kecenderungan penurunan ekspor dan peningkatan impor

akibat struktur industri yang masih bergantung pada barang

impor yang mendorong terjadinya defisit neraca

perdagangan.

3. Alokasi subsidi BBM yang terlalu besar dan tidak tepat

sasaran, dimana dalam struktur APBN, porsi belanja modal

lebih rendah dibanding belanja subsidi BBM yang sebagian

besar (sekitar 80%) justru dinikmati oleh yang tidak berhak.

Oleh karena itu, pada bagian berikut akan diuraikan secara

garis besar permasalahan dan rekomendasi kebijakan untuk

mengatasi ketiga tantangan utama ekonomi tersebut.

II. PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN APBN

2.1. Latar Belakang Masalah Tantangan utama pengelolaan APBN adalah peningkatan

kualitas belanja, terutama terkait dengan daya serap dan

penumpukan belanja di triwulan IV, rendahnya fiscal space,

Page 4: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

4

beban subsidi yang terlalu besar dimana dalam struktur APBN,

porsi belanja modal lebih rendah dibanding belanja pegawai dan

belanja subsidi BBM dan listrik, dan mandatory spending yang

cukup besar, dimana belanja wajib tahun 2013 misalnya,

mencapai lebih dari 75% APBN atau sekitar Rp 1276 Trilyun.

Keterbatasan tersebut terus menerus terjadi sehingga telah

mengganggu diskresi dalam penyusunan APBN. Akibatnya,

penyusunan APBN pada tahun t seringkali hanya didasarkan pada

APBN pada tahun t-1 ditambah 10%-15% dari nilai APBN pada

tahun t. Dalam hal ini, APBN Indonesia cenderung hanya

berorientasi satu tahun ke depan. Implikasi dari APBN seperti ini

adalah:

a. Intertemporal decision making process tidak

dipertimbangkan dalam APBN, sehingga upaya untuk

melakukan countercyclical menghadapi ketidaktentuan

perekonomian dunia tidak dapat dilakukan;

b. Sistem pendanaan cenderung tidak akan mampu

mengidentifikasi apakah sistem terjebak dalam cycles atau

tidak, sehingga sangat dimungkinkan untuk terjebak di

dalam lubang yang sama lebih dari sekali;

Disamping bermasalah saat proses penyusunan, APBN juga

bermasalah saat pelaksanaan, yang biasanya hanya diukur

dengan kemampuan penyerapan anggaran. Bahkan seringkali Key

Page 5: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

5

Performance Indicator (KPI) pencapaian APBN bagi kementerian

dan lembaga (K/L) hanya diukur dari kemampuan penyerapan

dana. Hal ini diperkuat dengan pelaksanaan pemeriksaan oleh

BPK dan BPKP yang lebih mengedepankan pertanggungjawaban

keuangan dibandingkan dengan evaluasi kinerja. Padahal

penyerapan dana bukanlah KPI yang tepat, mengingat

penyerapan dana hanyalah output dan bukan outcome, sehingga

praktik ini pada dasarnya bertentangan dengan evidence-based

policy (EBP). Implikasi dari penggunaan penyerapan sebagai KPI

adalah sebagai berikut:

a. Terjadi ‘silo-silo’ dalam hubungan antar K/L sehingga

koordinasi antar lembaga cenderung rendah mengingat

antar K/L berlomba-lomba untuk menyerap APBN sebanyak

mungkin;

b. Dampak APBN terhadap kesejahteraan masyarakat tidak

dapat dibuktikan dan dihitung sehingga transparansi

penggunaan dana pembangunan menjadi bermasalah;

c. Pemerintah tidak memiliki ‘artificial intelligent’ karena

hingga saat ini belum ada K/L dan bahkan BPK dan BPKP

yang menggunakan evidence-based policy (EBP). Implikasi

dari hal ini adalah bahwa pemerintah tidak mengetahui

kebijakan apa saja yang berhasil, kebijakan apa yang

menjanjikan dan kebijakan apa saja yang gagal. Konsekuensi

Page 6: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

6

dari kekurangan ini adalah resiko terjerumusnya pemerintah

ke dalam lubang yang sama lebih dari sekali. Implikasi lain

adalah pemerintah mudah terjebak untuk menempuh

kebijakan yang popular, meski mungkin berdampak negatif

terhadap kemakmuran masyarakat misalnya

mempertahankan subsidi BBM.

Persoalan lain yang muncul dalam pengelolaan APBN

adalah peran DPR yang terlalu campur tangan dalam penentuan

asumsi makro dalam setiap pembahasan APBN. Intensitas DPR

dalam pembahasan asumsi makro bertujuan bukan untuk

optimalisasi anggaran, namun justru sebagai upaya untuk

memaksimalkan anggaran. Permasalahan menjadi semakin pelik,

ketika DPR menggunakan asumsi makro sebagai KPI bagi

pemerintah. Asumsi makro APBN tidak rasional mengingat tiga

(harga ICP, kurs dan lifting minyak) dari enam asumsi makro

adalah faktor eksogen dan bukan faktor endogen.

2.2 Rekomendasi Kebijakan Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan APBN, maka

pemerintah diharapkan melakukan:

1. Penyusunan APBN dengan mempertimbangan intertemporal

decision making process. Hal ini bisa dilakukan dengan

memperpanjang orientasi APBN dari sistem pendanaan

Page 7: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

7

tahunan menjadi sistem pendanaan tiga tahunan.

Penyesuaian anggaran (APBN-P) dilakukan setiap 6 bulan

atau 9 bulan sekali dan hal ini sangat relevan mengingat

rejim anggaran yang digunakan berorientasi untuk

pendanaan selama tiga tahun ke depan.

2. Key performance indicator dari K/L diubah dari penyerapan

anggaran, menjadi Evidence-Based Policy (EBP) yang

didasarkan pada impact evaluation. Impact evaluation adalah

salah satu cabang ilmu ekonomi yang digunakan untuk

mengevaluasi kinerja riil dari kebijakan yang ditempuh oleh

pemerintah. Impact evaluation wajib dilakukan untuk

kebijakan sekala besar dan bersifat inovatif. Diharapkan dari

EBP, akan diketahui program apa saja yang berhasil,

program yang menjanjikan dan bahkan program yang

berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Penggunaan EBP akan meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas alokasi dana pembangunan, di sisi lain EBP

akan menciptakan ‘artificial intelligent’ bagi pemerintah

dalam pengambilan kebijakan di masa datang.

3. Evidence-Based Policy (EBP) diberlakukan luas di seluruh

K/L untuk meningkatkan transparansi alokasi APBN dan

juga meminimasi pengambilan keputusan berdasarkan mitos

(anecdotal evidence) yang seharusnya didasarkan pada

Page 8: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

8

realitas (hard evidence). Penggunaan EBP akan menurunkan

potensi terjadinya korupsi di K/L dan meningkatkan

koordinasi antar K/L karena seringkali diperlukan

kolaborasi antar K/L untuk melaksanakan suatu kebijakan.

4. Penyusunan APBN didasarkan pada sistem pengambilan

keputusan yang rasional dan memenuhi kaidah-kaidah

dalam teori ekonomi. Implikasi dari hal ini adalah

penyerahan pembahasan asumsi makro untuk sepenuhnya

dipercayakan kepada pemerintah, sementara DPR bertugas

mengawal dan mengawasi dan menjamin agar alokasi APBN

benar-benar optimal. Jika DPR mampu menghemat dana

pembangunan, maka idealnya dana yang dihemat tersebut

dialokasikan untuk tahun mendatang dan bukan dipaksakan

untuk tahun berjalan.

5. Diperlukan sistem APBN yang memungkinkan pemerintah

untuk melakukan countercyclical khususnya dalam

mengantisipasi perkembangan perekonomian dunia yang

saat ini tidak menentu. Hal ini bisa dilakukan dengan

menciptakan penghematan anggaran di saat perekonomian

Indonesia sedang boom seperti sekarang ini. Dana

penghematan tersebut ditabung untuk kemudian akan

dialokasikan jika perekonomian terkena krisis atau resesi.

Page 9: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

9

Dengan management APBN yang countercyclical, maka

dimungkinkan dilakukan smoothing APBN.

6. Melakukan revisi terhadap UU 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, khususnya untuk mengatur ulang tahun

anggaran APBN dan APBD apakah masih sama atau

dibedakan, dan untuk mencari format yang paling tepat

terkait sejauh mana peran DPR/DPRD dalam pembahasan

anggaran.

7. Mengendalikan defisit APBN antara lain dengan

mempertimbangkan untuk merancang ulang Kebijakan

subsidi. Pengurangan Subsidi BBM segera dilakukan, karena

sudah terbukti tidak tepat sasaran. Cara sosialisasi,

sebaiknya subsidi yang diberikan tidak meleekat pada harga,

tetapi pada siapa yang diberi subsidi. Oleh sebab itu, perlu

diidentifikasi secara tepat siapa saja yang berhak

mendapatkan subsidi. Subsidi adalah bentuk kebijakan yang

mendistorsi efisiensi alokasi anggaran sedemikian

mendorong pelaku ekonomi bertindak untuk mendapakan

subsidi

Page 10: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

10

III. KEBIJAKAN SUBSIDI BBM 3.1. Latar Belakang Permasalahan Belanja negara terdiri dari 2 jenis yaitu belanja pemerintah

pusat dan transfer ke daerah. Kenyataan yang ada menunjukkan

bahwa Pemerintah tidak memiliki banyak keleluasaan dalam pos

transfer ke daerah. Sedangkan untuk belanja pemerintah pusat,

sebagian besar harus digunakan untuk 3 jenis alokasi, yaitu

belanja pegawai, subsidi dan anggaran pendidikan.

Subsidi BBM yang merupakan alokasi subsidi terbesar

menjadi salah satu beban pemerintah yang dapat menjadi

penyebab munculnya risiko fiskal. Meskipun BBM memiliki peran

strategis terhadap stabilitas harga, namun tidak dapat dipungkiri

bahwa kebijakan ini telah menimbulkan distorsi bagi

perekonomian sebagai berikut:

a. Adanya disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi

dan non-subsidi mendorong sebagian masyarakat

melakukan alih konsumsi, sehingga volume BBM bersubsidi

cenderung meningkat.

b. Harga BBM bersubsidi yang rendah menciptakan moral

hazard sehingga dapat mendorong inefisiensi konsumsi BBM

bersubsidi.

c. Adanya kenyataan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun

terakhir telah menjadi negara net-importir minyak bumi,

Page 11: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

11

sehingga fluktuasi harga minyak dunia akan sangat

mempengaruhi besarnya belanja pemerintah untuk subsidi

BBM dan berpengaruh terhadap fiscal sustainability.

d. Adanya disparitas harga yang signifikan antara BBM

bersubsidi dengan bio-fuel menciptakan disinsentif bagi

perkembangan produksi energi terbarukan.

e. Banyak studi membuktikan bahwa subsidi BBM tidak tepat

sasaran dan justru dinikmati oleh kelompok non-miskin.

f. Besarnya alokasi subsidi BBM telah mempersempit ruang

gerak fiskal (fiscal space) yang semestinya dapat

dialokasikan untuk belanja modal maupun bantuan sosial.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran

Kementerian Keuangan, dalam APBN 2009 hingga RAPBN 2013,

nilai subsidi BBM cenderung meningkat pesat. Selama tahun

2011 dan 2012, alokasi subsidi BBM telah mengambil porsi lebih

dari 50 persen keseluruhan subsidi. Berdasarkan RAPBN 2013,

alokasi subsidi BBM bahkan mencapai lebih dari 61 persen

keseluruhan alokasi subsidi dan menghabiskan hampir 12 persen

belanja negara. Alokasi ini bahkan lebih besar dibanding alokasi

belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

(infrastruktur perhubungan, energi, perumahan, irigasi) yang

hanya mencapai 9,37 persen dari keseluruhan belanja negara. Ini

Page 12: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

12

membuktikan bahwa besarnya subsidi BBM telah mempengaruhi

kualitas belanja pemerintah.

Ditinjau dari sudut pandang volume konsumsi, sejak tahun

2003 pertumbuhan konsumsi premium bersubsidi (kecuali tahun

2006) mengalami pertumbuhan di atas 6 persen. Bahkan di tahun

2011, pertumbuhan konsumsi premium bersubsidi mencapai

lebih dari 11 persen. Pemerintah mengalokasikan kuota premium

bersubsidi sebesar 24 juta kiloliter di tahun 2012, tetapi

diperkirakan konsumsinya akan melampaui 28 juta kilo liter.

Sedangkan untuk solar bersubsidi, di tahun 2012 pemerintah

mengalokasikan kuota sebesar hampir 14 juta kiloliter, dengan

perkiraan konsumsi yang dapat melampaui angka 15 juta

kiloliter. Di saat bersamaan, kuota minyak tanah bersubsidi

sebesar 1,7 juta kiloliter dengan perkiraan realisasi konsumsi

yang hampir sama (LPEM FEUI, 2012).

3.2. Penyebab Meningkatnya Konsumsi BBM Bersubsidi Pemerintah tentunya perlu mencermati adanya tren

peningkatan konsumsi BBM. Selama tidak ada kenaikan harga

BBM bersubsidi, fakta bahwa BBM bersubsidi dan non-subsidi

merupakan substitusi, serta masih adanya disparitas harga yang

besar antara BBM bersubsidi dan non-subsidi, maka lonjakan

konsumsi BBM bersubsidi sulit untuk dihindari.

Page 13: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

13

Tren peningkatan konsumsi BBM secara umum terjadi

karena beberapa hal sebagai berikut:

a. Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai akibat

pertumbuhan ekonomi akan mendorong kenaikan konsumsi

BBM. Berdasarkan studi LPEM FEUI tahun 2009, setiap

pertumbuhan PDB sebesar 1 persen, akan meningkatkan

konsumsi BBM sebesar 0,97 persen. Faktanya, semakin

tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin tinggi pula

pertumbuhan konsumsi BBM. Semakin kaya seseorang,

semakin besar kebutuhan energi untuk mobilitas dan

pengolahan makanan lebih lanjut.

b. Indonesia sejak tahun 2000 mulai menikmati manfaat dari

Bonus Demografi, dimana diperkirakan pada tahun 2025

akan mencapai puncaknya. Bonus Demografi terjadi sebagai

akibat menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif

(di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) yang dibarengi

dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif

(15-64 tahun). Perubahan struktur penduduk menurut umur

memiliki konsekuensi yang besar terhadap perubahan pola

konsumsi di masyarakat. Berdasarkan pengolahan data

Susenas 2010 yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI

menunjukkan bahwa konsumsi premium (bensin) dan gas

meningkat sejalan dengan peningkatan usia hingga mencapai

Page 14: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

14

puncaknya pada usia antara 31 hingga 40 tahun. Padahal

usia median penduduk Indonesia dari hasil Sensus Penduduk

2010 sudah mencapai 27,2 tahun dan akan terus meningkat.

Pola yang hampir sama juga berlaku untuk konsumsi solar

dan minyak tanah, namun dengan usia puncak konsumsi

sekitar 30 tahun.

c. Proporsi penduduk perkotaan di Indonesia terus meningkat.

Saat ini diperkirakan sekitar 51 persen penduduk tinggal di

kota, dan di tahun 2025 jumlahnya akan meningkat hingga

68 persen. Padahal penduduk perkotaan cenderung

mengkonsumsi BBM dalam jumlah yang lebih besar

dibanding penduduk perdesaan. Berdasarkan pengolahan

data Susenas 2010 yang dilakukan oleh Lembaga Demografi

FEUI menunjukkan bahwa ada perbedaan pola konsumsi

BBM penduduk perkotaan dan perdesaan. Untuk premium,

secara rata-rata konsumsi perkapita penduduk perkotaan

lebih besar 1,5 kali lipat dibanding penduduk perdesaan.

Bahkan untuk minyak tanah perbedaannya mencapai 2 kali

lipat. Untuk gas dan solar, penduduk perkotaan

mengkonsumsi lebih banyak sekitar 1,2 kali lipat penduduk

perdesaan. Pola mobilitas yang berbeda antara kota dan desa

menjadi salah satu penyebab adanya perbedaan tersebut.

Page 15: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

15

d. Hal yang juga menarik untuk diperhatikan ialah adanya

perbedaan pola konsumsi antar penduduk menurut tingkat

pendidikan. Penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas

mengkonsumsi premium 2,6 kali lipat lebih tinggi dibanding

penduduk berpendidikan SD. Perbedaan yang cukup

menonjol lainnya ialah dalam hal konsumsi solar, dimana

penduduk berpendidikan SLTA mengkonsumsi solar lebih

banyak 1,2 kali lipat dibanding penduduk desa. Masih

dengan data Susenas yang sama, diketahui bahwa semakin

banyak anggota rumah tangga yang memiliki pendidikan

SLTA ke atas, semakin besar pula konsumsi BBM-nya, kecuali

untuk minyak tanah.

3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Konsumsi BBM bersubsidi akan terus meningkat secara

tajam seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita

(pertumbuhan ekonomi), perubahan struktur penduduk menurut

umur (bonus demografi), meningkatnya proporsi penduduk

perkotaan, serta meningkatnya pendidikan penduduk Indonesia.

Kenyataan ini dapat menciptakan peningkatan beban subsidi

BBM dalam APBN secara signifikan untuk beberapa tahun ke

depan.

Page 16: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

16

Risiko fiskal akan terus meningkat dimana kenaikan harga

minyak mentah dunia dapat berimbas pada rasio defisit anggaran

terhadap PDB yang melampaui batas aman 3 persen.

Bagaimanapun juga pemerintah harus berupaya untuk menjaga

fiscal sustainability dengan mencegah defisit anggaran tetap di

bawah 3 persen dari PDB. Pengendalian rasio defisit terhadap

PDB menyangkut kemampuan menghimpun dana masyarakat

untuk menutupi defisit yang ada. Hal ini mengingat sebagian

besar pembiayaan defisit anggaran menurut skema pemerintah

diharapkan berasal dari pembiayaan dalam negeri.

Selain itu dampak buruk lainnya dari beban subsidi BBM

yang besar ialah penurunan kualitas belanja APBN, tidak

optimalnya belanja modal untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi, serta bantuan sosial yang tidak mencukupi. Memang

dapat saja kita berargumen bahwa subsidi BBM merupakan

bentuk perlindungan sosial (social protection) secara tidak

langsung dari pemerintah kepada masyarakat. Namun, tidak

tepatnya sasaran subsidi BBM juga menyebabkan tidak

optimalnya “fungsi perlindungan sosial” tersebut. Alasan ini juga

tidak relevan lagi mengingat pemerintah mulai menata sistem

jaminan sosial dengan lebih baik yang didukung oleh pendataan

program perlindungan sosial (PPLS).

Page 17: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

17

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disusun beberapa

rekomendasi sederhana sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu menghitung secara lebih akurat proyeksi

konsumsi BBM ke depan, dengan tidak hanya

mempertimbangkan variabel ekonomi saja, melainkan juga

variabel kependudukan. Ini akan menjadi pijakan argumen

yang rasional dalam meninjau ulang kebijakan subsidi BBM

berdasarkan kapasitas fiskal yang ada.

2. Pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga BBM

bersubsidi untuk mengurangi beban subsidi BBM. Besarnya

penyesuaian harga dapat dihitung dengan 3 skenario tujuan:

(a) skenario untuk menjaga disparitas harga antara BBM

bersubsidi dengan non-subsidi yang dapat mengurangi

peralihan konsumsi sebagian masyarakat dari BBM

bersubsidi ke BBM non-subsidi. Sebagai contoh, LPEM FEUI

di tahun 2012 telah menyusun model yang dapat

mengestimasi konsumsi BBM masyarakat. Jika harga

premium bersubsidi dinaikkan dari Rp. 4500 menjadi Rp.

6000 maka dapat menekan atau mengurangi konsumsi

premium hingga 1,5 juta kiloliter. Dengan kendala besaran

kuota BBM bersubsidi tertentu, pemerintah dapat

melakukan simulasi untuk menghitung berapa besarnya

kenaikan harga BBM bersubsidi yang diperlukan. (b)

Page 18: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

18

skenario untuk menjaga fiscal sustainability sebagai akibat

volatilitas harga minyak mentah dunia. Skenario ini

didasarkan bukan pada volume kuota BBM bersubsidi,

namun pada batas maksimum nilai alokasi subsidi BBM

untuk mencegah rasio defisit anggaran terhadap PDB.

Misalkan saja defisit APBN dapat melebihi 3 persen PDB jika

belanja subsidi BBM melampaui 200 trilyun rupiah. Dengan

didasarkan pada proyeksi konsumsi BBM bersubsidi yang

tepat, maka pemerintah dapat menghitung besarnya harga

BBM bersubsidi secara lebih tepat pula. (c) skenario untuk

menghapus subsidi BBM dalam beberapa tahun mendatang.

Pertanyaan saat ini yang belum terjawab ialah sampai kapan

subsidi BBM akan tetap dipertahankan? Mengingat cadangan

minyak bumi Indonesia tersisa kurang dari 11 tahun, maka

seharusnya subsidi BBM sudah harus dicabut selama kurang

dari 10 tahun mendatang. Maka, pemerintah dapat

menghitung besarnya pengurangan subsidi BBM per tahun

(secara bertahap) untuk menjaga consumption smoothing

bagi masyarakat dan menghindari adanya ketidakpastian di

dalam perekonomian serta menghindari isu subsidi BBM

sebagai salah satu isu politik nasional.

3. Salah satu kerawanan kebocoran terjadi pada penyaluran

solar bersubsidi untuk rumah tangga ke industri. Oleh

Page 19: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

19

karenanya pemerintah seyogyanya dapat mencabut terlebih

dahulu subsidi solar. Kebutuhan solar untuk nelayan

diintervensi melalui program, bantuan sosial, sehingga lebih

tepat sasaran.

4. Selain strategi harga dan kuota, pemerintah juga perlu

menyusun strategi lainnya seperti memperbaiki distribusi

BBM bersubsidi. Perlu disusun suatu roadmap mengenai

strategi ini. Banyak SPBU yang justru menyediakan BBM

non-subsidi dalam jumlah yang terbatas. Pemerintah juga

dapat mengatur penyaluran distribusi BBM bersubsidi

melalui jenis kendaraan bermotor. Pelaksanaannya tentu

membutuhkan kajian lebih lanjut. Selain itu pemerintah juga

dapat menaikkan pajak kendaraan bermotor untuk

mengkompensasi kenaikan beban subsidi. Namun hal ini

tentunya harus disertai dengan perbaikan sarana dan

prasarana transportasi massal.

IV. DEFISIT NERACA PERDAGANGAN 4.1. Latar Belakang Masalah

Sejak lima tahun terakhir laju pertumbuhan ekonomi

Indonesia cukup tinggi dengan stabilitas yang tinggi pula. Meski

belum mencapai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum

Page 20: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

20

krisis 1997-1998, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata

di atas 5% sejak tahun 2000. Secara bersamaan tingkat

kemiskinan dan pengangguran mengalami penurunan. Konsumsi

domestik telah berperan besar pada awal pemulihan ekonomi

Indonesia. Namun akhir-akhir ini, investasi, khususnya

penanaman modal asing, menjadi semakin besar perannya dalam

mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kesejahteraan

yang meningkat sebagai hasil pertumbuhan ekonomi telah

mempercepat pula pertumbuhan belanja, baik dalam bentuk

konsumsi dan investasi yang tidak selalu terpenuhi oleh

kapasitas produksi dalam negeri. Permintaan impor mengalami

peningkatan. Sementara permintaan ekspor tidak tumbuh

secepat belanja domestik akibat krisis keuangan dan resesi yang

menimpa Uni Eropa dan AS. Sebagai konsekwensinya adalah

meningkatnya defisit dalam neraca perdagangan. Perekomian

dunia pada tahun 2013 diperkirakan masih mengalami

ketidakpastian yang tinggi. Dampak gejolak perekonomian di Uni

Eropa dan AS di tahun 2010 dan terus berlanjut sampai sekarang

sehingga ketidakpastian masih menghantui perekonomian dunia.

Liberalisasi ekonomi telah mempermudah impor untuk

mengatasi kekurangan pasokan dalam negeri. Transaksi berjalan

sepanjang tahun 2012 mengindikasikan defisit, terutama

didorong oleh permintaan BBM yang dilindungi subsidi. Subsidi

Page 21: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

21

BBM tidak hanya menjadi beban APBN, tetapi juga beban neraca

perdagangan karena posisi Indonesia adalah net-importir minyak

bumi. Makin besar konsumsi BBM, makin besar subsidi, dan

makin besar impor minyak bumi. Impor minyak bumi menjadi

penyebab defisit perdagangan yang makin penting dengan

semakin besarnya subsidi. Harga BBM domestik makin tidak

mencerminkan kelangkaannya dengan subsidi yang makin besar.

Pemicu besarnya defisit transaksi berjalan adalah impor

bahan baku dan barang modal. Lebih dari dua pertiga impor

Indonesia adalah bahan baku dan barang modal. Impor bahan

baku dan barang modal sejalan dengan pertumbuhan investasi di

dalam negeri, baik oleh penanam modal asing maupun

penanaman modal domestik. Pertumbuhan ekonomi yang

meningkat sejak lima tahun terakhir telah meningkatkan impor

bahan baku dan barang modal untuk mendukung kebutuhan

investasi. Bila produksi bahan baku dan barang modal di dalam

negeri tidak mengalami perbaikan kapasitas, impor akan terus

meningkat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

kebutuhan investasi yang meningkat, terutama penanaman

modal asing, kebutuhan industri barang konsumsi di dalam

negeri, dan kebutuhan untuk produksi ekspor barang

manufaktur. Diperkirakan 30% impor bahan baku dan barang

modal adalah untuk mendukung produksi ekspor.

Page 22: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

22

Ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif 6,22%

pada periode yang sama dibanding dengan Oktober 2011 (Januari

– Oktober). Ekspor ke negara mitra dagang utama yaitu Uni

Eropa, AS, Jepang, ASEAN, dan Cina, juga mengalami

pertumbuhan negatif. Memang pertumbuhan negatif paling besar

terjadi pada Uni Eropa dan AS yaitu masing-masing 12,74% dan

7,49%. Sementara yang lain tidak mencapai -6%. Proporsi

negara-negara tersebut mencapai 53% dari total ekspor. Oleh

karena itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan

dagang cukup besar dengan Uni Eropa dan AS mengalami

dampak dari krisis tersebut. Berdasarkan data yang lebih detil

pada saat awal krisis di Uni Eropa, pertumbuhan Ekspor ke Uni

Eropa berdasarkan Komoditi selama Jan-Jul 2010-2011 (BPS,

2011) ada sembilan (9) komoditi atau sektor yang mengalami

pertumbuhan ekspor negatif ke Uni Eropa. Sedangkan ekspor ke

AS, ada 5 komoditi yang mengalami pertumbuhan negatif selama

kurun waktu yang sama. Komoditi atau sektor yang mengalami

pertumbuhan negatif terbesar dalam ekspor ke Uni Eropa adalah

sektor industri semen sebesar -100%. Sementara sektor yang

mengalami pertumbuhan negatif paling besar dalam ekspor ke AS

adalah sektor tambang batu bara dan besi lainnya, yakni sebesar -

88%.

Page 23: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

23

Terdapat indikasi bahwa defisit dalam transaksi berjalan

berkaitan erat dengan defisit dalam APBN Indonesia. Subsidi

BBM dan impor minyak bumi memegang peran penting dalam

menjelaskan fenomena kedua defisit. Dari temuan empiris

memang terdapat bukti yang mendukung kuatnya korelasi kedua

defisit. Defisit transaksi berjalan ditemukan memicu defisit

anggaran. Peran subsidi BBM dalam APBN dan minyak bumi

dalam komposisi impor makin kritis dan sekaligus strategis bagi

Indonesia dalam mengurangi defisit, baik eksternal perdagangan

maupun internal APBN. Impor juga meningkat terutama impor

gas sebesar 109,5% pada Oktober 2012 dengan periode yang

sama dibanding tahun lalu (Januari – Oktober). Sementara impor

minyak mentah meningkat sebesar 1,6% pada periode yang

sama.

Belanja subsidi energi yang besar di dalam APBN adalah

keputusan politik yang tidak mudah diperbaiki tanpa sebuah

kesadaran politik bangsa. Bangsa Indonesia memerlukan sebuah

kesadaran kolektif yang rasional dan realistis dalam melihat

subsidi BBM. Subsidi BBM sangat distortif, konsumtif dan

inegalitarian. Persepsi bahwa subsidi adalah buat kepentingan

orang miskin adalah menyelimuti kepentingan elit dengan

kepentingan orang miskin. Kepentingan orang miskin adalah

mendapatkan daya beli yang makin besar dari pertumbuhan

Page 24: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

24

ekonomi yang makin tinggi. Penurunan pengangguran dan

tingkat kemiskinan harus diikuti dengan meningkatnya daya beli

mayoritas rakyat. Dalam periode peningkatan defisit transaksi

berjalan, defisit anggaran, dan belanja subsidi BBM yang makin

besar, justru yang meningkat adalah bagian dari pendapatan 20%

orang kaya. Pada tahun 2009 kelas 20% orang kaya menerima

44,91% dari pendapatan nasional, pada tahun 2011 naik menjadi

48,42%. Sebaliknya kelas 40% orang miskin masih meneri

18,96% dari pendapatan nasional pada tahun 2009, tapi pada

tahun 2011 penerimaannya turun menjadi 16,85%.

Selama intensitas demokrasi yang meningkat terbukti

kesenjangan ekonomi bangsa telah memburuk dengan kenaikan

rasio Gini dari 0,37 pada tahun 2009 menjadi 0,41 pada tahun

2011. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi,

penciptaan kesempatan kerja, penurunan tingkat kemiskinan,

peningkatan kesehatan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan,

dan penurunan kesenjangan ekonomi antar kelas dan antar

daerah. Situasi ekonomi Indonesia terkini memperlihatkan makin

perlunya peran kebijakan fiskal yang berkaitan dengan produksi

substitusi impor bahan baku dan barang modal, alokasi belanja

subsidi, belanja modal, sisa lebih anggaran daerah, manajemen

dan perencaanaan belanja, redistribusi pendapatan, dan pajak

lingkungan.

Page 25: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

25

4.2. Rekomendasi Kebijakan Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan tersebut,

meningkatkan ekspor dan menurunkan impor, maka pemerintah

diharapkan dapat melakukan kebijakan sebagai berikut:

1. Kebijakan mitigasi dampak krisis Uni Eropa dan AS adalah

melalui stimulus fiskal seperti yang telah dilakukan pada

tahun 2008. Stimulus fiskal dapat digunakan untuk meredam

dampak akibat menurunnya ekspor ke AS dan Uni Eropa

pada sektor kesempatan kerja dan penurunan pendapatan

yaitu dengan menaikkan batas ambang pendapatan kena

pajak sehingga mendorong konsumsi domestik.

2. Dengan simulasi analisis Input-Output, jika hanya

memperhitungkan krisis di AS saja, maka pertumbuhan

ekonomi akan mengalami penurunan sebesar -0.15% dari

base case. Namun, jika yang mengalami krisis Uni Eropa,

maka pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan

sebesar -0.45% dari base case. Sedangkan jika krisis terjadi

secara bersamaan maka pertumbuhan ekonomi turun

sebesar - 0.60% dari base case.

3. Kebijakan lainnya dapat berupa pemberian stimulus dan

insentif fiskal untuk sektor-sektor yang mengalami

penurunan permintaan ekspornya ke AS dan Uni Eropa

Page 26: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

26

sehingga dapat menembus pasar baru dan pasar non

tradisional seperti Afrika dan Timur Tengah.

4. Pemberian insentif fiskal industri hulu seperti industri kimia

dan industri lainnya guna mengurangi ketergatungan pada

impor bahan baku dan bahan penolong.

5. Penerapan berbagai bea keluar seperti yang telah dikenakan

pada CPO dan berbagai barang tambang dan mineral (PMK

No. 11 2012) yang menetapkan bea keluar sebesar 20% akan

meningkatkan proses hilirisasi sehingga akan meningkatkan

nilai tambah di dalam negeri. Karena selama periode krisis

keuangan global seperti sekarang ini, semua negara

melakukan proteksi maksimal yang dimungkinkan.

6. Untuk mengurangi tekanan impor minyak mentah karena

meningkatnya konsumsi BBM, pengurangan subsidi BBM

harus dilakukan dengan menerapkan subsidi yang tepat

sasaran target groupnya.

7. Diperlukan kebijakan pengaturan pelabuhan impor untuk

mengurangi daya saing barang impor dengan pertimbangan

bahwa daerah dimana pelabuhan impor ditetapkan tidak

menghasilkan produk sejenis.

8. Perlu perbaikan infrastruktur seperti pelabuhan serta kapal-

kapal berbendera Indonesia untuk menurunkan biaya

Page 27: POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST BKF ......POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST 3 1. Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi

POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST

27

logistik sehingga bisa meningkatkan daya saing barang

ekspor Indonesia.

9. Perlu dilakukan pemetaan terhadap impor bahan baku dan

penolong untuk melihat besarnya kebutuhan dan peluang

untuk mengadakan produk substitusi impor.

10. Perlu peninjauan kembali untuk isu Ecolabeling misalnya

sertifikasi legal pada kayu yang digunakan oleh IKM untuk

produk ukiran, meubel dan lainnya, karena adanya double

cost pada penerapan peraturan ini, seyogyanya sertifikasi

hanya di sektor hulu saja dan tidak pada proses hilirisasi

karena menjadi tambahan biaya bagi produsen hilir dan

melemahkan daya saing di pasar dunia.

11. Perlu peninjauan kembali untuk insentif fiskal, mungkin

dapat dipertimbangkan pola insentif fiskal yang diterapkan

di Thailand dengan mengklasifikasikan produk dan membagi

zona produksi dan perdagangan.

12. Melakukan subtitusi impor untuk komoditi yang bisa

dikembangkan/dibudidayakan di Indonesia seperti Gandum

dengan Cassava dan Sorgum dan Garam sehingga kebutuhan

bahan baku industri (hilir) dalam negeri terpenuhi dan tidak

membebani neraca perdagangan.