Tetanus (Lila 08700199).doc
-
Upload
lila-heridyatno -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of Tetanus (Lila 08700199).doc
I. PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di
masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo
sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu.
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia
sekolah,kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula.
Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan
masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak
dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan
rendah.
1
II. LAPORAN KASUS
A. DATA IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. B
Alamat : Panggul, Trenggalek
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Tukang Jahit Sepatu Sandal
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : Sekolah Dasar
Nomor R.M : 12341
Tanggal Masuk Rumah Sakit
Kabupaten Kediri : 18 Juli 2014 pukul 19.25
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Perut Terasa Kaku
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan perut terasa kaku sejak 2 hari yang lalu, ada nyeri tekan
pada perut menjalar ke bagian atas dada seperti tersumbat disertai dengan badan terasa kaku,
mulut tidak bisa di buka, hanya bisa membuka 2 jari, tidak bisa menjulurkan lidah, dan leher
terasa kaku. Ada bekas luka di jempol tangan kanan bekas tertusuk jarum sejak 9 hari yang
lalu, tapi sekarang sudah sembuh. Nafsu makan menurun, tidak mual, tidak muntah, buang
air besar lancar berwarna kuning, buang air kecil lancar berwarna kuning. Selama di rumah
sakit pasien mengeluh kejang seperti tidak bisa bernafas. Pasien mengaku waktu terjadinya
kejang dan setelah kejang pasien masih sadar. Kejang Berdurasi 15 Menit.
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal yang sama, Riwayat hipotensi (+), Riwayat
Kencing Manis disangkal, Riwayat alergi obat (-), Riwayat epilepsy (-), Riwayat kejang
demam saat kecil disangkal pasien. Sebelumnya pasien tidak pernah tergigit oleh binatang
seperti anjing atau kucing. Terdapat bekas luka yang sudah sembuh di jempol kanan akibat
luka yang disebabkan karena tertusuk jarum 9 hari yang lalu.
Riwayat kelahiran :
Pasien mengaku pada saat lahir pasien tidak di rumah sakit atau di praktek bidan melainkan
di dukun melahirkan.
Riwayat Imunisasi :
Pasien mengaku tidak mengingat apakah sebelumnya sudah diimunisasi/ divaksin atau
belum.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita adalah seorang penjahit sepatu dan sandal di daerah Kediri.
Penderita adalah seorang suami dari 1 orang anak laki-laki umur 20 tahun dan 1 anak
perempuan 15 tahun.
Lama perkawinan 25 tahun.
Istri penderita pekerjaan sehari-hari ibu rumah tangga.
Pasien tidak merokok, tidak minum kopi maupun meminum alkohol.
Riwayat pengobatan :
Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat sebelumnya.
3
C. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 18 Juni 2014:
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis.
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 84x/menit (Reguler, Isi Cukup)
Suhu : 36,5oC
Pernafasaan : 20 x/menit
Keadaan gizi : Kesan Cukup
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 51 kg
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Cara berjalan : Tidak dinilai (pasien bed rest)
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Pasif
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo matang Ikterus / edema : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Turgor : Baik
Suhu raba : Hangat Lapisan lemak : Merata
Keringat : Ada
Lain – lain : bekas luka pada jempol kanan (+)
4
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+), pupil isokor
Telinga : Tidak terdapat sekret dan tidak nyeri tekan
Hidung : Dalam batas normal (tidak ada sekret), nafas
cuping hidung (-)
Mulut : Tidak didapatkan adanya caries, bibir tidak
Cianosis, didapatkan adanya trismus (1,5 – 1,7 cm)
Kepala : Ekspresi wajah Risus sardonicus, rambut merata,
Hitam, Wajah simetris
Leher : Tidak terdapat jejas, terdapat kaku pada leher.
Kelenjar getah bening tidak nampak membesar.
Thorax : Bentuk simetris,elips, sela iga tidak terlalu lebar
atau tidak terlalu sempit
Pulmo
Depan Belakang
Inspeksi (Kanan) Gerakan dada simetris Gerakan dada simetris
(Kiri) Gerakan dada simetris Gerakan dada simetris
Palpasi (Kanan) Fremitus simetris, tidak ada
benjolan, Nyeri tekan (-)
Fremitus simetris, tidak ada
benjolan, Nyeri tekan (-)
(Kiri) Fremitus simetris Benjolan
tidak ada, Nyeri tekan (-)
Fremitus simetris Benjolan
tidak ada, Nyeri tekan (-)
Perkusi (Kanan) Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru
(Kiri) Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi (Kanan) Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
(Kiri) Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
5
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak nampak saat inspeksi
Palpasi Iktus cordis teraba di ICS VI di garis
midklavikula kiri
Perkusi Batas atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas kiri : ICS VI 1 cm medial linea
midklavikula kiri
Batas kanan : ICS IV linea parasternal kanan
Auskultasi S1 S2 Single, murmur (-), gallop (-)
Perut
Inspeksi Datar, dilatasi vena (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans
muscular (+), massa (-). Hepar tidak teraba
Perkusi Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi Bising Usus normal (8x/menit)
Anggota gerak bawah Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Gerakan Aktif Aktif
Oedem (-) (-)
Anggota gerak atas Kanan Kiri
Luka Terdapat luka pada sela - sela
jempol tangan kanan yang
telah sembuh 9 hari yang lalu
Tidak ada
Tonus Normotonus Normotonus
6
Follow Up Pasien (Tgl. 19/06/14)Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Riwayat luka pada
jempol kanan 2 hari yang
lalu
• Sering berkeringat
• Tidak bisa
membuka mulut
• Leher dan
punggung terasa kaku
• Badan terasa
lemah
• Tekanan
darah : 110/70
• Nadi 84x/mnt
• RR : 22x/mnt
• Suhu : 36o C
• Trismus (+), (1
cm)
• Opistotonus
(+)
• Kaku kuduk
(+)
• Defans
Muscular (+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 2)
• Penicilin
ProCain 3 x 1,5
juta unit
• Metronidazol
e 3x1 Flash
• Cefotaxime 3x1g
• Diazepam 0,5cc
/jam
• Ranitidin 3x1
Ampul
• Santagesik 3x1
Ampul
Follow Up Pasien (20/6/2014)Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Badan terasa
lemah
• Sudah bisa
membuka mulut
• Leher dan perut
terasa kaku
• Sudah bisa duduk
• Tidak ada kejang
• Nyeri Telan
• Batuk terus
menerus
• Tekanan
darah : 130/80
• Nadi 100x/mnt
• RR : 24x/mnt
• Suhu : 37,5o C
• Trismus (+) ½
cm
• Opistotonus (+)
• Kaku kuduk
(+)
• Defans muscular
(+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 3)
• Penicilin
ProCain 3 x 1,5
juta unit
• Metronidazol
e 3x1 Flash
• Cefotaxime 3x1g
• Diazepam 0,5cc
/jam
• Ranitidin 3x1
Ampul
• Santagesik 3x1
7
Ampul
• Sanmol Syr 3x1
Follow Up Pasien (21/6/2014)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Badan terasa lemah
• Kejang (+)
sebanyak 1 kali dalam 1
hari berdurasi 15 menit
disebabkan oleh
rangsangan
• Batuk mereda
• Tekanan
darah : 120/80
• Nadi 80 x/mnt
• RR : 24x/mnt
• Suhu : 37o C
• Trismus (-)
• Opistotonus (-)
• Kaku kuduk (-)
• Defans muscular
(+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 4)
• Diazepam SP naik
0,7 cc/24jam
• Penicilin
ProCain 3 x 1,5
juta unit
• Metronidazol
e 3x1 Flash
• Cefotaxime 3x1g
• Ranitidin 3x1
Ampul
• Santagesik 3x1
Ampul
• Sanmol Syr 3x1
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 18 Juni 2014
Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 9,6 x 103/µL 4,3 – 10,3 x 103/µL
Hemoglobin 16,3 g/dl 13 − 18 g/dl
Hematokrit 49,1 % 45 – 50 %
Trombosit 194 x 103/µL 150 – 400 x 103/µL
Kimia Klinik Elektrolit Hasil Nilai Normal
Natrium (Na) 147,8 mmol/L 135 – 145 mmol/L
Kalium (K) 4,94 mmol/L 3,5 – 5,5 mmol/L
Klorida (Cl) 117,2 mmol/L 98 – 108 mmol/L
8
9
E. Analisa Kasus (Temuan Positif)
Pasien datang dengan keluhan perut terasa kaku sejak 2 hari yang lalu, keadaan ini mungkin
disebabkan oleh beberapa penyakit seperti infeksi lokal pada mulut, tetanus, dan lain
sebagainya. Tetanus dapat dijadikan sebagai diagnosis kerja terlebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan laboratorium, mengingat berdasarkan
anamnesis yang telah dilakukan sebelumnya pasien mengaku sempat terkena jarum pada
jempol tangan kanannya yang mungkin merupakan focus infeksi bagi C. Tetani. C.tetani
merupakan suatu bakteri yang bersifat anaerob dimana bakteri ini termasuk gram positif dan
dapat menimbulkan gejala berupa trismus atau sulit untuk membuka mulut seperti yang
terjadi pada pasien akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini berupa tetanospasmin dan
tetanolysisn. Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka, seperti luka
robek, luka bakar,bahkan dapat melalui gigi yang berlubang ataupun OMSK. Pada saat
masuk ke dalam tubuh,dan dalam keadaan anaerob maka bentuk spora akan bergerminasi
membentuk bentuk vegetative yang mensekresi toksin.Terdapat dua toksin yang disekresikan
yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin tidak berakibat langsung pada terjadinya
trismus ini melainkan menimbulkan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dari C. Tetani.
Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin dari tempat
luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior medula spinalis. Cara kerja
dari toksin tetanus ini sendiri adalah dengan cara menghambat neurotransmitter inhibitorik
(GABA dan Glisin) sehingga menyebabkan dominannya neurotransmitter excitatorik yang
menyebabkan gejala spasme pada otot yang pada awalnya mengenai otot masetter sehingga
pasien sulit untuk membuka mulut dan juga dapat mengakibatkan kaku pada punggung
maupun kaku pada otot perut yang menyebabkan defens muscular positif pada saat
pemeriksaan, keluhan ini muncul saat toksin telah berada di kornu anterior medulla spinalis
dan dapat pula menimbulkan kejang. Apabila toksin mencapai korteks serebri (cereberal
ganglioside), maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Keluhan nyeri
dan kesemutan kemungkinan disebabkan oleh karena adanya spasme otot yang menekan
saraf tertentu sehingga menimbulkan gejala tersebut.
10
F. Diagnosis :
Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada
saat dilakukan anamnesis telah didapatkan adanya trismus yang merupakan gejala dari
tetanus meskipun masih mungkin diakibatkan oleh penyakit lain. Setelah dilakukan
anamnesis pasien mengaku 9 hari yang lalu, pernah terluka pada jempol tangan kanan dan
selain itu setelah beberapa hari dirawat pasien mengalami kejang yang bersifat tonik. Pada
saat kejang pasien tidak mengalami penurunan kesadaran ataupun setelah kejang. Riwayat
kejang demam pada saat anak - anak ataupun epilepsy disangkal oleh pasien. Selain itu
pasien juga mengeluh kaku pada punggung dan juga perut dan setelah dilakukan pemeriksaan
defens muscular ditemukan pada pasien serta kaku kuduk positif. Pemeriksaan laboratorium
telah dilakukan namun kadar elektrolit pasien masih dalam batas normal. Stadium tetanus
dibagi berdasarkan :
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:
1. Stadium 1 : Umumnya Trismus
2. Stadium 2 : Opisthotonus
3. Stadium 3 : Kejang rangsang
4. Stadium 4 : Kejang spontan
Dari pembagian diatas, maka pada saat awal pasien datang, pasien tidak mengalami kejang
sebelum masuk rumah sakit, diagnosis didapatkan tetanus stadium II dan setelah dilakukan
terapi dengan pemberian ATS dan Penisilin Prokain, pada hari ke-4 tiba-tiba pasien timbul
kejang disebabkan oleh rangsangan misalnya perubahan cahaya dari gelap ke terang, oleh
karena itu didapatkan diagnosis berupa tetanus stadium III. Diagnosis banding dapat
disingkirkan melalui anamnesis dan juga berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboatorium. Meningitis bacterial dapat disingkirkan karena pada saat kejang, kesadaran
pasien tidak menurun dan tidak disertai adanya trismus meskipun dapat disertai dengan kaku
kuduk. Diagnosis bisa ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan
cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa
menurun pada penyakit poliomyelitis.
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
mengisolasi virus polio dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat. Pada
penyakit rabies biasanya didahului oleh gigitan binatang seperti anjing atau hewan lain.
11
Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik. Keracunan strychnine pada keadaan ini
trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. Tetani Timbul karena ketidakseimbangan
elektrolit, sementara pada kasus telah dilakukan pemeriksaan laboratorium dan menunjukkan
hasil yang normal. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
G. Penatalaksanaan :
Toksin yang telah beredar di system saraf terminal tidak dapat dinetralisir dan biasanya
bertahan selama 23 hari sehingga biasanya tidak terdapat perubahan pada gaya jalan pasien.
Penisilin diberikan untuk membunuh C. tetani, sementara metronidazole lebih efektif
menurunkan morbiditas dan mortalitas daripada penisilin. Sementara itu untuk mengatasi
toksin yang beredar dapat dinetralkan dengan pemberian serum antitetanus atau Human
Imunoglobulin . ATS diberikan dengan dosis 20.000 IU/ hari selama lima hari berturut –
turut. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi. Sehingga
sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test terlebih dahulu. Pemberian Human
immunoglobulin cukup dengan dosis tunggal 3000 – 6000 unit; pemberian tidak perlu diulang
karena waktu paruh antibody ini 31/2 – 41/2 minggu. Untuk profilaksis dapat diberikan 250
IU pd anak dengan umur 10 tahun atau lebih atau 500 IU jika 24 jam setelah kontaminasi
kuman yang cukup banyak. Sementara pada kasus yang diberikan kepada pasien adalah ATS
selama 4 hari berturut – turut. Untuk mengontol rigiditas dan spasme yang terjadi pada pasien
diberikan golongan Benzodiazepin yang merupakan GABA agonis. Cara kerja obat ini
dengan menghambat inhibitor endogen pada GABA reseptor. Derivat benzodiazepine yang
dianjurkan dan digunakan pula pada kasus ini adalah diazepam/ (oxazepam atau
desmethyldiazepam). Pasien juga diberikan obat Sanmol Sirup untuk pengobatan diagnosis
sekundernya karena pada hari ketiga pasien mengeluh batuk riak terus-menerus disertai panas
badan sewaktu-waktu.
12
III. TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Impuls Saraf
Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis.
Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut.
1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui
serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara
bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif
terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf.
Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya
pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi
berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial
bervariasi antara 1 sampai dengan 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau
tidaknya selubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui
oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial
istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik. Energi
yang digunakan berasal dari hasil pernapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria
dalam sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan
impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka
impuls akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan
jumlah impuls yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.
2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis
Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis.
Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi
neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis
13
disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk
sinapsis disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak
dan melebur dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan
neurotransmitter berupa asetilkolin.
Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron
pra-sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya dopamin,
norepinefrin, serotonin, asam gama-aminobutirat (GABA), glisin dan asetilkolin yang
terdapat di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta
serotonin yang terdapat di otak.
Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang
terdapat pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan
impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka
akan diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.
Mekanisme Timbulnya Kontraksi Otot
Timbulnya kontraksi pada otot rangka dimulai dengan potensial aksi dalam serabut-
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam
14
serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion-ion kalsium dari retikulum endoplasma.
Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa-peristiwa kimia proses kontraksi.
Dalam fungsi tubuh normal, serabut-serabut otot rangka dirangsang oleh serabut serabut saraf
besar bermielin. Serabut-serabut saraf ini melekat pada serabut-serabut otot rangka dalam
hubungan saraf otot (neuromuscular junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika
potensial aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf,
menyebabkan dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate membran
menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin-
Miosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar
dari tengah serabut ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di
seluruh sarkomer otot.
Gerak dapat dilakukan secara sadar (gerak biasa) dan secara tidak sadar (gerak
reflek). Perbedaan dari kedua macam gerak tersebut adalah berkaitan dengan jalannya
impuls saraf yang melewati sistem saraf pusat, yaitu jika impuls melewati otak maka gerak yang
dilakukan sebagai hasil respon dari otak dinamakan gerak sadar, sedangkan jika impuls
tidak melewati otak tetapi sumsum tulang belakang, maka gerak yang dihasilkan sebagai
respon dari sumsum tulang belakang dinamakan gerak reflek.
Mekanisme gerak biasa (gerak sadar)
Rangsangan saraf sensorik otak saraf motorik gerak
otot
Mekanisme gerak reflek (gerak tidak sadar)
Rangsangan saraf sensorik pusat integrasi di sumsum tulang
Belakang saraf motorik gerak otot
Langkah – langkah penggabungan eksitasi, kontraksi dan relaksasi
1. Asetil kolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali potensial
aksi di
sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran aktivitas listrik permukaan
2. Aktivitas listrik permukaan dibawa ke bagian tengah (sentral) serat otot oleh tubulus T
3. Penyebaran potensial aksi ke tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca dari kantung
– kantung lateral retikulum sarkoplasma di dekat tubulus
4. Ca yang dilepaskan berikatan dengan troponin dan mengubah bentuknya sehingga
15
kompleks troponin – tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat
pengikatan jemabatan silang aktin.
5. Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang myosin, yang
sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + P + energy oleh
ATP ase di jembatan silang.
6. Pengikatan aktin dan myosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk,
menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam.
Pergeseran kea rah dalam dari semua filamen tipis yang mengelilingi filament tebal
memperpendek sarkomer (kontraksi otot)
7. Selama gerakan mengayun yang kuat tersebut, ADP dan P dibebaskan di jembatan silang.
8. Perlekatan sebuah molekul ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang, yang
mengembalikan bentuknya ke konfirmasi semula.
9. Penguraian molekul ATP yang baru oleh ATP –ase myosin kembali memberikan energy
sebagai jembatan silang
10. Apabila Ca masih ada sehingga kompleks troponin – tropomiosin tetap bergeser ke
samping, jembatan silang kembali menjalani siklus pengikatan dan penekukan, menarik
filament tipis selanjutnya.
11. Apabila tidak lagi terdapat potensial aksi local dan Ca secara aktif telah kembali ke tempat
penyimpanannya di kantung lateral reticulum sarkoplasma, kompleks troponin –
tropomiosin bergeser kembali ke posisinya menutupi tempat pengikatan jembatan silang
aktin, sehingga aktin dan myosin tidak lagi berikatan di jembatan silang, dan filament tipis
bergeser kembali ke posisi istirahat seiring dengan terjadinya proses relaksasi.
16
Definisi
17
Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani.
Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif anaerob.
Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan
desinfektan. Spora terdapat di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan
dan kotoran manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin
yang bernama tetanospasmin.
Karakteristik clostridium Tetani
Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan
berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik . Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf
(1250C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri
Clostridium tetani ini banyak ditemukan ditanah,kotoran manusia dan hewan peliharaan dan
di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran
pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri
tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang
bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua
18
buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui
dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah hal ini mengakibatkan
tetanolysin tidak secara langsung menimbulkan tetanus, dengan menambah optimal kondisi
local untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorpsi oleh saraf end organ diujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai ke sel ganglion dan susunan saraf pusat (medulla spinalis).
Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi lambat menyerap toksin, sedangkan
saraf sensorik sama sekali tidak menyerap toksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak
dengan enzim proteolitik. Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa
antiseptic. Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17oC dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
memfermentasi glukosa.
Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan
eksotoksin (Tetanolisin dan Tetanospasmin). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa
berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka
geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak
steril. Bahkan apabila tidak ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi
berlubang atau otitis media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan
bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan
oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya,toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak
penderita umumnya meninggal akibat gagal nafas. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom.
19
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi
dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi
kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi
tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma
aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif
terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik
terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang berat,
pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila toksin
mencapai korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan
antagonis. neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot
leher. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang terjadi karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan
di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
GABA dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex
synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena
otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli
terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
20
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .Ada dua hipotesis
tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke
kornu anterior medulla spinalis
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam medulla spinalis.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada
voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan angka kematian sangatlah tinggi.
Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah
menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi
terhadap tetanus . Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih,juga menyebabkan menurunnya
angka kejadian tetanus di Amerika Serikat. Namun berbeda dengan yang terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi,
hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih
menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena
tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. Pada tahun 2011
menurut WHO terdapat kasus sebanyank 14.132. Sementara pada tahun 2008, 61.000
diantaranya tercatat meninggal dibawah usia 5 tahun, dan sekitar 83% diantaranya dapat
diatasi dengan DTP.
21
(cited : http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/)
22
Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang
lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan
antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan
interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit, makin jauh tempat invasi, masa
inkubasi makin panjang. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit
ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa
inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga
tahap, yaitu :
Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal
penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga
mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus
masih berlangsung.
Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah( Trismus). Gejala
tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup
dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-
otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena
tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa
disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami
luka.Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit
bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah
dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan
dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
23
Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.
Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa
terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar.
Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,kejang ini hanya
berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi
yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (myocarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang
belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti
karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan
saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.
Karakteristik dari tetanus :
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot
masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas,
sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
24
Secara klinis, tetanus dibedakan atas :
1. Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik
berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut
papan (defans muscular) dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan
opistotonus; dapat timbul kejang ,selama periode ini penderita berada dalam kesadaran
penuh.
3. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka dikepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk.
25
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum
berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering
adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang
belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit
minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas ( criteria berdasarkan stadium klinis pada anak)
1. Tetanus ringan : trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang
2. Tetanus sedang : trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
3. Tetanus berat : trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
Kriteria di bawah berdasarkan stadium klinis pada dewasa
1. Stadium 1 : umumnya trismus
2. Stadium 2 : opisthotonus
3. Stadium 3 : Kejang rangsang
4. Stadium 4 : kejang spontan
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :
Grade I: ringan Grade II: sedang Grade III: berat
Masa inkubasi lebih
dari 14 hari.
Period of onset > 6
hari
Trismus positif tapi
tidak berat
Sukar makan dan
minum tetapi disfagi
tidak ada
Masa inkubasi 10-14
hari
Period of onset 3 hari
atau kurang
Trismus dan disfagi
ada
Kekakuan umum
terjadi dalam
beberapa hari tetapi
Masa inkubasi < 10
hari
Period of onset < 3
hari
Trismus dan disfagia
berat
Kekakuan umum dan
gangguan pernapasan
asfiksia, ketakutan,
26
Lokalisasi kekakuan
dekat dengan luka
berupa spasme
disekitar luka dan
kekakuan umum
terjadi beberapa jam
atau hari.
dispnoe dan sianosis
tidak ada
keringat banyak dan
takikardia.
Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus Derajat
Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap
Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1 .Gejala klinik
Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
27
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani positif (biasanya sulit dilakukan).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi (tidak spesifik untuk mendiagnosis tetanus)
Umumnya dengan gejala klinis yang cukup jelas dan pemeriksaan fisik diagnosis tetanus
biasanya dapat ditegakkan
Diagnosis banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan
darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak
lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus dan kesadaran yang tetap normal.
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa
menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari
tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan
biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Histeria
Keadaan dimana pasien berpura – pura sakit, biasanya untuk menarik perhatian dan
untuk bermalas – malasan ataupun untuk mendapatkan kompensasi gaji dan asuransi
28
Penyakit Gambaran diferensial
Meningoensefalitis Demam, tidak ada trismus, pemeriksaan
CSF abnormal
Polio tidak ada trismus, pemeriksaan CSF
abnormal,paralisis tipe flaccid
Rabies Riwayat gigitan binatang, trismus tidak
ada, hanya oropharyngeal spasm
Keracunan stychrine Relaksasi komplet diantara spasme
Tetani Hanya carpopedal dan laringospasm,
hipocalcemi
Lesi oropharyngeal Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau
spasme tidak ada
Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan
tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
penata laksanaan,terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. Lakukan observasi ketat pada jalan
nafas, perubahan posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau
parenteral (apabila pasase usus baik dan trismus minimal pemberian peroral
merupakan pilihan utama)
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
(metode ini mulai ditinggalkan ).
4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu (apabila terdapat kekauan
pada laring).
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (rehidrasi).
29
B. Obat- obatan Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 50.000 IU / KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari,
IM.. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Pemberian penicillin
beberapa sumber menganjurkan untuk tidak diberikan karena memiliki sifat GABA antagonis
yang justru akan menambah efek spasme pada pasien, lebih dianjurkan untuk pemberian
metronidazol .Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian
antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole
diberikan terutama bila penderita alergi penisilin. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4
dosis
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. ATAU 3
x 1 gr / hari. Metronidazole juga dapat diberikan untuk mengatasi kuman anaerob yang
merupakan karakteristik dari C. Tetani. Metronidazole lebih efektif menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas daripada penisilin.Kuman penyebab dapat dihilangkan melalui
perawatan luka yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka
menggunakan larutan antiseptic, eksisi luka. Apabila tidak ditemukan sumber infeksi maka
antimikroba merupakan satu – satunya usaha untuk menghilangkan kuman penyebab.
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
Toksin bebas dalam darah
Toksin bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah
bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian
antitoksin harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit (skin test), dan
harus sedia adrenalin 1:1000. Toksin yang masih bererdar dinetralkan melalui pemberian
ATS atau immunoglobulin tetanus manusia. ATS diberikan 20.000 IU/hari selama lima hari
berturut – turut. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi
sehingga hal – hal yang telah disebutkan diatas harus disiapkan dan dilakukan terlebih dahulu
30
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000
U, pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 3 1/2 – 4 ½ minggu secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukansecara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
Indikasi pemberian imunisasi tetanus
Imunisasi
sebelumnya
Luka bersih Luka Kotor
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada /
tidak pasti
Ya* Tidak Ya* Ya
1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak
Keterangan :
* = seri imunisasinya harus dilengkapi
+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu
++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U) (4)
31
Antikonvulsan
Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan rigiditas. Adapun jenis obat
yang dapat digunakan, tertera dalam tabel.
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat
badan / 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
Obat yang lazim digunakan ialah :
Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap
kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan
dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.Diazepam diberikan karena memiliki
margin of safety yang cukup baik, onset ketja obat ini cukup cepat, kumulasi cukup
tinggi dalam 72 jam.
Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa
kurarisasi. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, bila ada
gangguan saraf otonom.
Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan
dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja dengan cara
meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan phenotiazine dan
klopromazine.
Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.
Komplikasi
Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar
menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia
32
aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot.Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga
dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
Komplikasi yang lain :
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
Dan mengganggu pusat pengatur suhu.Penyebab kematian pada tetanus ialah
akibat komplikasi yaitu : bronkopneumonia,cardiac arrest, septicemia dan
pneumothoraks.
Pencegahan
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya
angka kematian (30 – 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua pencegahan tetanus,
yaitu perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif.Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan
toksoid tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibody. Manfaat imunisasi aktif ini
sudah banyak dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung
antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus).
Berdasarkan riwayat imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum
atau toksoid. Ada keraguan dalam memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid
karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dihindari dengan
memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikan yang berjauhan, misalnya lengan
kanan dan paha kiri
33
Prognosis
Prognostic scoring systems in tetanus: Dakar score
Prognostic factor
Dakar score
Score 1 Score 0
Incubation
period <7 days
⩾7 days or
unknown
Period of
onset <2 days ⩾2 days
Entry site
Umbilicus, burn, uterine, open fracture,
surgical wound, intramuscular injection
All others plus
unknown
Spasms Present Absent
Fever >38.4°C <38.4°C
Tachycardia
Adult>120
beats/min
Adult<120
beats/min
Neonate>150
beats/min
Neonate<150
beats/min
Total score
Table 2
Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score
Factor Score
Incubation time:
<48 hours 5
2–5 days 4
5–10 days 3
10–14 days 2
>14 days 1
Site of infection:
Internal and umbilical 5
Head, neck, and body wall 4
Peripheral proximal 3
34
Peripheral distal 2
Unknown 1
State of protection:
None 10
Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8
Protected >10 years ago 4
Protected <10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factors:
Injury or life threatening illness 10
Severe injury or illness not immediately life threatening 8
Injury or non-life threatening illness 4
Minor injury or illness 2
ASA Grade 1 0
Total score
Prognosis pasien berdasarkan kriteria philips :
KRITERIA SCORE
Pasien mengaku terkena jarum sejak
9 hari yang lalu
3
Letak luka pada jempol tangan kanan
tapi sudah sembuh
2
Kemungkinan tidak mendapat
imunisasi
10
Total 15
Apabila score < 9 = Rawat Jalan atau rawat inap
Apabila score 10 - 16 = Rawat Inap
Apabila score > 17 = ICU
Berdasarkan skor diatas, pasien memang seharusnya dirawat di rumah sakit. Pada dasarnya,
prognosis pada tetanus didasarkan pada masa inkubasi, letak infeksi, dan ada atau tidaknya
komplikasi yang diakibatkan oleh infeksi tetanus itu sendiri.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. In : Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono
TOH, Rudiman R, editors. 3 ed. Jakarta : EGC; 2012; p. 45 – 50.
2. Bachsinar. B.,Bedah Minor : Tetanus . Jakarta. Hipokrates Jakarta ; 1992; p 83 – 90
3. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.
4. Sherwood.L ., Fisiologi Manusia dari sel ke system : Fisiologi otot. Ed 2. Jakarta. EGC,
2001; p 221
5. World Health Organization., 2014 : Immunization surveillance, assessment and
monitoring.
36