Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

24
DESA DESA SEJAHTERA, NEGARA BERJAYA edisi perdana, maret 2013 ASPIRASI DESA PR PEMIMPIN BARU UNTUK JAWA TIMUR BARU KHOFIFAH MENANTANG LAGI Bantuan Meluap Semangat Menguap Desa Pinggiran BKD, Hak Desa yang Diabaikan! RUU Desa Sulit Selesai April Biaya Pilkades, Pemicu Korupsi Hal 5 Hal 11 Hal 17 Hal 19-21

description

Khofifah Mantap Tantang Karwo

Transcript of Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Page 1: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

desaDesa sejahtera, Negara Berjaya

edisi perdana, maret 2013

aspirasi desa

pr

PEMIMPIN BARUUNTUK JAWA TIMUR BARU

khofifah menantang

lagi

Bantuan MeluapSemangat Menguap

Desa PinggiranBKD, Hak Desa yang Diabaikan!

RUU Desa Sulit Selesai April

Biaya Pilkades, Pemicu korupsi

Hal 5 Hal 11 Hal 17 Hal 19-21

Page 2: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

desapr

Edisi PErdana, MarEt 2013 Keliling DesaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr2 3desapr

Redaktur Pelaksana :Nur Fakih, MF. Tony, GS. Santo

Reporter : T. Huda (Banyuwangi), Fatur Hadi (Situbondo), Syamsu Sahal (Bondowoso), M. Hasan (Jember), R Ziqi (Malang), Ali Machmudi (Lumajang), Fathoni (Pasuruan), Achmad Faiz (Probolinggo), Sujiwo (Kediri), Hendra Yunantoro (Blitar), Sugiono (Nganjuk), Sakti Prawira (Tulung agung), Handrawan (Trenggalek), S. Prawiro (Madiun), Maksum Chairi (Mag-etan), Sumarsono (Ponorogo), Arie Wahyu (Pacitan), Riyanto (Ngawi), Dodik Hendra (Gresik), G Susanto (Sidoarjo), Irfan Bachmid (Mojokerto), Nurul (Jombang), Abdul “Willy” Barry (Tuban), M. Mustika (Lamongan), Zaenal C.M. (Bojonegoro), Fatkul Amin (Bangkalan), Aminullah (Pamekasan ), Kasiono (Sampang), Alan Nuari (Sumenep).

Pemimpin Perusahaan : Sekretaris Redaksi : Pracetak :Budi Harminto GS. Santo, Reza Pahlevi Tatik AS, S. Rini

Alamat Redaksi: Komplek Pasar Wisata Juanda Blok D-1, Jalan Raya Tropodo-Juanda, Desa Pabean Sedati, Sidoarjo.Telp. 031-8679999, www.prodesa.com

Pembina /Penasehat :R.H. Dwi Putranto Sulaksono

Pemimpin Umum :Samari

Pemimpin Redaksi :Budi Harminto

Dewan Redaksi :R.H. Dwi Putranto Sulaksono, Samari, Tulus Setyo Utomo, Sugeng Budiyono, Budi Harminto, Nur Fakih, M. F. Tony,

G.S. Sutanto

Salam sejahtera desaku !Beberapa kepala desa bertanya, sudah ada Majalah

Suara Desa mengapa harus ada Tabloid Pro Desa ? Apakah tidak duplikasi ? Apakah mampu menembus pasar desa ?

Pertanyaan beragam, namun jawaban normatifnya, bahwa Tabloid ProDesa diterbitkan sebagai media yang memihak orang desa, mulai dari masyarakat miskin di desa, kepala desa, perangkat desa, hingga pelaku ekonomi mikro serta beragam potensi desa di Jawa Timur. Media ini sekaligus mengisi ‘ruang publik’ yang ditinggalkan kebanyakan media massa, yakni member-itakan desa dan menyuarakan masyarakat desa.

“Kebanggaan dan kepuasan terbesar saya, apabila saya telah berbagi semua berkah dan anugerah Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada saya,”ujar R.H. Dwi Putranto Sulaksono, Pembina AKD Jatim sekaligus investor Tabloid ProDesa maupun Suara Desa.

Pria kelahiran Tuban ini ingin berbagi anugerah Tuhan yang diterimanya bagi pemberdayaan dan pencerahan kepala desa maupun masyarakat desa. Jika mereka berdaya diharapkan dapat memajukan dan memakmurkan desa. Jika desa sejahtera, maka negara pun akan berjaya. Sebab desa adalah pondasi sebuah negara. Sudah menjadi keniscayaan, tolok ukur kemajuan negara dapat dilihat dari pembangunan di desa. Kemakmuran sebuah negara tergantung dari kese jahteraan masyarakat di desa.

Data BPS tahun 2005 menyebutkan sebanyak 32.379 desa atau sekitar 45 persen dari 70. 611 desa di Indone-sia masuk dalam kategori desa tertinggal. Di Jawa desa

tertinggal paling banyak terdapat di Jawa Timur, yakni 3.668 desa dari 8.477 desa/kelurahan (saat ini 8.506 ). Sembilan besar paling banyak di Kabupaten Sampang yakni 225 desa, diikuti Bangkalan (180), Malang (154), Bondowoso (146), Blitar (131), Ponorogo (124), Sidoarjo (103), Situbondo (85), dan Lumajang (97).

Lalu pada tahun 2009 Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal merilis, bahwa dari sekitar 32 ribu desa terting gal di Indonesia, 17 persen berada di Ja-tim. Laporan Sekdaprov Jatim Dr. Rasiyo juga menye-butkan, sampai pada 2010, ada tujuh kabupaten di Jatim tergolong wilayah tertinggal, yaitu Kabupaten Sampang, Pamekasan, Bondowoso, Situbondo, Pacitan, Trenggalek, dan Kabupaten Madiun. Bahkan hingga penghujung 2011, Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pamekasan, belum mampu me- naikkan statusnya dari daerah tertinggal.

“Itu dilihat dari tiga aspek berupa ketersediaan pang-an, pelayanan kesehatan dan akses pendidikan,”ujar Menteri PDT Ir. Helmy Faizal Zaini.

Rilis BPS Jatim menunjukkan, penduduk miskin Jatim sampai September 2011 tercatat 5,227 juta (13,85 persen) dari jumlah warga Jatim sekitar 37,7 juta jiwa. Kawasan perdesaan masih menjadi daerah dengan penyumbang jumlah kemiskinan terbesar, mencapai 66,82% atau sekitar 3,493 juta jiwa. Sisanya berada di perkotaan.

Ketertinggalan dan kemiskinan itu, menurut Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari, MM, hanya dapat ditang-gulangi jika desa menjadi paradigma pembangunan nasional. Saat ini semua energi dan potensi harus di-arahkan ke desa. Sebab di desa merupakan akar per-

masalahan di tanah air, seperti kemiskinan, pengang-guran, kebodohan, sanitasi kesehatan, usaha kecil, infrastruktur, dan sebagainya.

Sebenarnya sejarah masa lalu di negeri ini telah mengajarkan, bahwa kejayaan negara memang di awali dari kesejahteraan di desa. Lihat saja, kejayaan Kera-jaan Majapahit tidak lepas dari keberhasilan mereka membangun lumbung pangan yang kuat dan stabil. Dari negara agraris di daerah pedalaman Jawa Timur, Majapahit berkembang dan memiliki armada maritim maupun perdagangan yang sangat besar dan tangguh.

Tengok juga kebangkitan Amerika Serikat yang di-landa malaise (kelesuan) pada 1920-an. Saat itu seluruh sektor kehidupan lumpuh. Banyak pabrik gulung tikar, perban kan bangkrut, bursa saham ambruk, nilai tukar dollar jatuh, pengangguran dimana-mana, fakir miskin ‘meledak’, dan kejahatan merajalela. Namun era malaise itu dapat diatasi dengan cepat, setelah mereka menyadari kesalahan fundamental dalam paradigma pembangunan.

Tanpa ditopang sistem pangan atau pertanian yang benar, kehebatan suatu negara adalah semu. Kemegah-an industri tanpa ditopang pertanian yang kuat, ibarat istana lapuk dimakan rayap. Jika sebuah negara ingin maju, maka pertaniannya juga harus maju. Pertanian adalah sendi penopang kehidupan ekonomi sebuah negara. Membangun pertanian, itu membangun desa. Membangun desa, berarti membangun segenap kebu-tuhan fisik di desa, sekaligus membangun manusian-ya. So, itu memberdayakan masyarakat desa. Tabloid ProDesa hadir untuk merefleksikan suara dari hati un-tuk menyalurkan aspirasi wong ndeso. *

Catatan RedaksiProDesa Memihak Wong nDeso

Diterbitkan: CV Suara Desa Sejahtera

Page 3: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 2013 Keliling DesaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr2 3desapr

Warga Kalipancing Bangun Rabat Beton

LUMAJANG – Warga Dusun Kalipancing Desa Lem-

peni, Kecamatan Tempeh berhasil membangun jalan rabat beton sepanjang 400 meter. Pembangunan in-frastruktur itu memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang diterima dari APBD tahun 2012.

Abdi Rohkman, Kepala Desa (Kades) Lempeni, men-jelaskan, pembangunan rabat beton itu adalah wujud dari pemerataan pembangunan yang ada di desanya. Dana ADD yang diterima setiap tahunnya adalah sebe-sar Rp. 67.900,300,- diantaranya untuk pembangunan infrastruktur yang ada di desanya. “Sebelumnya pem-bangunan dilakukan di 5 dusun lainnya,” terang Abdi.

Desa Lempeni sendiri terbagi menjadi 6 Dusun, dian-taranya Dusun Krajan 1, Dusun Krajan 2, Dusun Mujur 1, Dusun Mujur 2 dan Dusun Kalipancing. Sebagian be-sar penduduk Desa Lempeni adalah bertani dan buruh penambang pasir. Desa Lempeni sendiri diapit 2 sungai besar yang kaya akan pasir berasal dari aliran Gunung Semeru.

Masyarakat Dusun Kalipancing berjumlah 1.191 jiwa atau 306 KK. Dusun Kalipancing merupakan satu dian-tara enam dusun yang masuk wilayah Desa Lempeni. Sedangkan total penduduk warga Desa Lempeni adalah 5.947 jiwa atau 1.482 Kepala Keluarga (KK).(ali)

Desa Tanjung, Masuk Zona Minapolitan

SUMENEP - Panitia khusus (pansus) Raperda Ren-

cana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Sumenep me-netapkan Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, seba-gai zona minapolitan, meskipun di Desa tersebut ada

pengeboran minyak dan gas bumi (migas) oleh PT En-ergi Mineral Langgeng (EML).

Ketua Pansus Raperda RTRW DPRD Sumenep, Is-kandar, Selasa (15/01/13) menjelaskan, desa Tanjung ditetapkan sebagai zona minapolitan, karena daerah tersebut merupakan sentra budidaya rumput laut dan ikan.

“Kalau ada perubahan zona, maka dikhawatirkan penghasilan masyarakatnya tidak berkembang. Lagipu-la keberadaan pengeboran migas di daerah tersebutkan baru dimulai dan belum diketahui berapa kandungan migasnya,” katanya.

Ia memaparkan, sebagai wakil rakyat, pihaknya tetap berupaya melindungi masyarakat. “Kami tidak akan mengorbankan masyarakat. Kalau pengeboran itu menguntungkan masyarakat, silahkan dilanjutkan. Tetapi apabila justru merugikan masyarakat, maka pe-rusahaan migas harus bertanggung jawab. Harus ada ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak pengeboran,” tegasnya.(lan)

Lahar Dingin Tutup Desa Krajan

LUMAJANG - Banjir lahar dingin Gunung Semeru me-

nyebabkan Desa Kajang Kosong, Kecamatan Candi puro Kabupaten Lumajang, terisolir. Jalan keluar masuk desa tersebut tertutup material lahar, seperti batu besar yang terbawa banjir.

Banjir lahar dingin yang terjadi Rabu, 23 Januari 2013. Banjir menyebabkan aliran Sungai Besuk Kobok-an meluap. Kendaraan roda dua pun sulit melintasi lokasi. Jalan tersebut merupakan satu-satunya akses keluar masuk warga.

Daerah yang terisolir itu dihuni 30 kepala keluarga atau 200 jiwa. Desa Kajang Kosong merupakan desa terpencil. Untuk menuju desa tersebut harus melintasi cek dam Sun-gai Besuk Kobokan. Bila terjadi hujan deras di puncak Se-meru, sungai ini kerap dialiri lahar dingin. (ali,okz)

Kades Karangkates Terpilih Dilantik

MALANG - Bupati Malang H. Rendra Kresna melaku-

kan pelantikan dan pengambilan sumpah Triwahyudi, Kades Karangkates Kecamatan Sumberpucung, terpi-lih. Ia memangku jabatan kades masa bhakti 2013-2019 menggantikan Tukimun yang mengabdi sebagai Kades selama sepuluh tahun, 2003-2013.

Pelantikan Kades berlangsung meriah dihadiri para Pe-jabat Pemkab Malang, Muspika Kecamatan Sumberpucung serta masyarakat Desa Karangkates. Pelantikan berlang-sung di pendopo Balai Desa Karangkates, Kamis (14/02).

Anang, ketua panitia pemilihan Kades sekaligus ke-tua panitia pelantikan Kades Karangkates mengatakan, Triwahyudi yang akrab disapa Gayong berhasil meme-nangkan pilkades yang berlangsung 24 Desember 2012 lalu.

Triwahyudi memperoleh 1.881 suara, sedangkan tiga calon lain yakni Siti Aminah 179 suara, Sekar Karmiati 1.260 dan Utari 598 suara. Terdapat 88 surat suara yang rusak dari 4 ribuan orang yang menggunakan hak pilih-

nya. Sedangkan total hak pilih adalah 7.760 orang yang tersebar di 5 RW dan 40 RT.

Pada hari yang sama, Bupati Malang juga melantik dan mengambil sumpah Kades terpilih Desa Purwodadi Kecamatan Donomulyo, Sutarmin. Sutarmin menggan-tikan Kades lama Sudono yang telah mengabdi selama kurun waktu 2003-2013. (tni)

Petani Lombok Gagal Panen LUMAJANG - Akibat curah hujan tinggi ditambah

cuaca yang tidak menentu, banyak tanaman palawija mati dan terancam gagal panen. Salah satunya adalah tanaman lombok merah milik Arifin (37), warga Desa Sumbersari, Kecamatan Rowokangkung, Lumajang.

Lombok merah yang siap panen seluas hampir satu hektar tersebut, kondisinya mulai membusuk dan meng-ering. Padahal jika dilihat dari batangnya, tanaman itu sudah saatnya untuk dipanen. Namun, batang lombok yang mulai berbuah itu justru layu.

“Lombok ini sebetulnya sudah waktunya dipetik, tapi karena curah hujan tinggid dan cuaca tidak me-nentu, buahnya mulai banyak yang membusuk dan mengering,” terang Jumadi (45), petani yang merawat tanaman tersebut.

Dikatakan, sebetulnya pada saat tanaman mulai me-nampakan layu, ia sudah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya. Diantaranya, memberi pu-puk ulang serta menyemprotkan beberapa vitamin daun pada tanaman tersebut. Namun , hasilnya sia-sia dan hanya membuang biaya. “Jelas rugi, karena belum ada yang bisa dipanen,” tandasnya. (ali)

Jembatan Singowangi PutusMOJOKERTO- Jembatan yang menghubungkan Desa

Singowangi, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto dengan desa di sekitar putus akibat kuatnya arus sun-gai setelah hujan lebat mengguyur dalam beberapa hari terakhir. Akibatnya, warga yang biasa menggunakan akses jembatan untuk menghubungkan dengan desa lain ini harus memutar hingga satu kilometer.

Kepala Dusun (Kadus) Singowangi, Desa Singowangi, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Sutomo mengatakan, Jembatan Singowangi menghubungkan tiga kecamatan. “Ada tiga kecamatan yang bisa melalui jembatan ini, yakni Kecamatan Kutorejo, Kecamatan Bangsal dan Kecamatan Mojosari “ ungkap Sutomo, ditemui Rabu (06/03).

“Tak hanya warga, siswa sekolah yang memang loka-si berdekatan dengan SMPN 2 Kutorejo harus memutar sejauh satu kilometer. Bahkan, anak-anak terpaksa me-nyebrang sungai untuk menghemat waktu agar tidak telat masuk sekolah dibanding harus memutar sejauh satu kilometer,” tambahnya.

Sutomo menjelaskan, sedikitnya sebanyak empat RT di Dusun Singowangi atau sekitar 190 Kepala Keluarga (KK) yang setiap hari melintas jembatan ini. Padahal, lanjut Sutomo, ada warga di tiga kecamatan yang biasa menggu-nakan akses jembatan ini. “Ada 190 KK, jumlah itu hanya di Dusun Singowangi, belum warga yang berada di Keca-matan Bangsal dan Kecamatan Mojosari. Warga berharap pemerintah segera diperbaiki agar aktifitas warga sekitar tidak memutar dan terganggu,” harapnya. (dtc)

Desa Tanpa Listrik NGANJUK – Ironi kehidupan modern terjadi di

Nganjuk Jawa Timur. Sudah puluhan tahun Dusun Pongkol Desa Macanan Kecamatan Loceret Ngan-juk yang berada di kawasan hutan ini tidak bisa menikmati penerangan listrik sebagaimana daer-ah lain. Padahal, kampung ini sudah ada sejak ta-hun 1940 lalu.

Kampung yang berada di kaki Gunung Wilis ini memang sejak sepuluh tahun lalu sudah dimasu-ki proyek pemasangan tiang listrik PLN. Namun ironisnya, hingga sekarang belum juga terpasang kabel listrik yang akan menerangi rumah warga.

Secara ekonomi kampung yang dihuni 70 kepala keluarga dengan penduduk sekitar 220 jiwa ini relatif mapan, meskipun mayoritas bek-erja sebagai petani. Setidaknya ini terlihat dari bangunan rumah warga, berdinding dan berk-eramik. Bahkan peralatan elektronik seperti tele-visi dan juga handphone, bukan barang asing lagi. Namun demikian, peralatan elektronik itu belum bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Televi-si malah masih banyak yang terbungkus di dalam kardus.

Satriyo kepala desa setempat, mengatakan, su-dah tujuh tahun yang lalu ia mengajukan listrik ke pemda, namun sampai sekarang belum ada ke-jelasannya. “Ada sekitar 70 kepala keluarga atau 200 jiwa hidup dalam kegelapan tanpa listrik PLN di desa saya dan sudah puluhan tahun,” ujar Sa-triyo.(tni,dtc)

Page 4: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 20134 desapr Utama

Nama desa telah menjadi komoditas politik untuk mendulang perolehan suara pada setiap Pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah dan

presiden. Janji peningkatan produk pertanian agar lebih kompetetif untuk meningkatkan ke-sejahteraan petani sering dilupakan kandidat, begitu pula dengan program pemberdayaan masyarakat desa,

Dari sisi legalitas, RUU Desa yang diharapkan menjadi landasan kuat untuk mengelola desa lebih baik, ternyata gagal digedok sesuai jadual, sehingga desa masa depannya semakin temaram. Banyak kepala desa yang dipenjara, karena ban-yak kasus, baik soal korupsi, penyalahgunaan wewenang maupun soal moral. “Itu semua aki-bat dari aturan yang melandasi tata cara pelak-sanaan pemerintahan desa belum jelas,” kata Samari Ketua AKD Jatim.

RUU Desa yang tidak lagi bisa direalisasi pada tahun ini, bukan satu-satunya persoalan yang membuat kepala desa pusing tujuh keliling. UU 32/2004 dan PP 72/2005 yang menyebutkan setiap desa aka memperoleh Bantuan Keuangan Desa juga tidak direalisasi oleh Gubernur Jatim sesuai janji kampanyenya menjelang Pilgub 2008.

Asosiasi Kepala Desa Jawa Timur (AKD Ja-tim) tidak pernah berhenti mendesak Pemerin-tah Provinsi Jawa Timur menyalurkan Bantuan Keuangan Desa (BKD) secara menyeluruh dan merata setiap tahun. Namun desakan itu, tidak pernah didengar.”Jangankan setiap tahun Rp 100 juta untuk setiap desa, sampai saat ini saja masih banyak desa yang belum menerima dana BKD dari Pemprop Jatim,” Kata Rabiul Usman Ketua AKD Jombang.

Menurut Rabiul, setiap tahun sekitar 1500 desa yang menerima dana BKD. Angka yang diterima desa juga tidak sesuai jumlah yang dijanjikan Pak De sebesar Rp 100 juta, sebab desa penerima BKD hanya diberi Rp 60 juta.”Jadi selama lima tahun satu desa menerima sekali. Ini sama saja dengan janji palsu,” ujarnya.

Padahal jika dihitung, dengan kekuatan APBD Jatim sebesar Rp 12 Triliyun lebih, maka jika jum-lah desa sebanyak 7.721 dan masing-masing desa memperoleh Rp 100 juta, berarti Pemprop hanya menyediakan dana sekitar Rp 800 miliyar/tahun. Angka ini akan turun jika Pemprop Jatim me-nyediakan Rp 60 juta/tahun.”Dengan BKD itu, di-harapkan akan terjadi pemerataan pembanguna di desa sesuai cita-cita bersama,” kata Rabiul.

Karena ‘pelit’ mengucurkan anggaran BKD ke desa, para kepala desa dan beberapa ang-gota DPRD Jatim menilai, bahwa slogan ‘APBD untuk Rakyat’ hanya omong kosong. Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari mengungkapkan, awalnya pihaknya memaklumi, ketika Gubernur Jatim H. Soekarwo mengungkapkan uang provinsi tidak cukup untuk membantu keuangan desa.” Namun ketika mengetahui APBD Jatim mencapai Rp 12 triliun pada tahun 2012 ini, Saya mempertanya-kan alasan tersebut. Pemerintah Provinsi harus terbuka dan transparan terhadap alokasi dan penggunaan APBD untuk rakyat,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Prof. Dr. M. Mas’ud Said, asisten staf khusus presiden bidang otonomi daerah dan pembangunan daerah. Ban-yak UU atau peratauran pemerintah ditetapkan, tapi tidak dijalankan. Atau, kalau dilaksanakan “bolong-bolong” dan tidak menyeluruh.

Mas’ud sangat setuju anggaran ke desa harus diberikan secara rutin dan ditingkatkan tiap ta-hun.Menurutnya, selama ini yang terjadi, peman-faatan anggaran belum sepenuhnya tepat sasaran, terutama dalam mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur yang ada di pedesaan.

“Kalau aturannya sudah ada, harus dilak-sanakan, Meski jumlahnya belum maksimal dan sesuai harapan kepala desa,”ujar Guru Besar Un-

muh Malang ini.Lantas bapak empat anak ini menunjuk aloka-

si anggaran yang tidak tepat sasaran, seperti pro-gram nampang dan membaik-baikkan diri send-iri. Menurutnya, pemerintahan itu dikatakan baik, kalau rakyat merasakan manfaatnya dan akhirnya menilai baik.

Dan kenyataannya, banyak desa di Jatim yang megap-megap karena tidak memiliki dana cukup untuk membangun jalan desa atau untuk mem-perbaiki balai desa. Tidak itu, saja, desa-desa yang tdak memiliki sumber dana sendiri, jika pe-merintahannya pelit semakin tidak mampu un-tuk menjadikan masyarakat berdayaguna.

“Mas, mbok ya tolong Jambepawon diusaha-kan dapat BKD. Itu untuk rabat jalan ke rumah Ribut dan Pak Karji, agar mereka mudah mengirim susu,”keluh Gianto, Kades Jambepawon, Kec. Doko, Kab. Blitar, kepada Budi Harminto, wartawan Suara Desa.

Sebelumnya, beberapa kepala desa juga me-nyampaikan keinginan serupa. Misalnya, Jatmiko, Kades Tambaksari, Kec. Puwodadi, Pasuruan, meminta dicarikan dana BKD untuk menambah dana rehab kantor desa. Demikian juga Nanang Sudarmawan, Kades Pucuk, Kec. Dawarblandong, Mojokerto, minta tolong ‘dicarikan’ BKD.

Tidak hanya Gianto, Jatmiko, dan Nanang Su-darmawan, beberapa kades juga menelpon dan mengharapkan hal serupa. Sepertinya mereka pa-ham, bahwa BKD adalah hak pemerintahan desa. Menurut Sekretaris AKD Jatim Moch. Moezamil, S.Sos, alokasi dana ke desa sebesar Rp 60 juta/tahun untuk 1400 desa, maka sampai lima tahun masa kepemimpinan Pak De Karwo seluruh desa se-Ja-tim akan mendapatkan dana BKD.”Ini nggak sesuai janjinya yang setiap tahun akan menyalurkan BKD sebesar Rp 100 juta/desa,” tegas Kades Bono ini.

Dari sektor pemberdayaan bidang ekonomi masyarakat desa, pemprop Jatim juga belum pro desa. Bantuan koperasi wanita misalnya, belum diterima secara merata oleh seluruh Kopwan se-Jatim. Dana bantuan R 25 juta/Kopwan itu hanya diberikan utuk sebagian kecil saja, sehingga Kop-wan lainnya semakin tidak bisa berkembang un-tuk meningkatkan taraf hidup warga.

Dalam bidang pendidikan, Pemprop Jatim se-ring ingkar janji. Dana bantuan BOS Daerah yang seharusnya digulirkan sebagai dana sharing de-gan BOS Kabupaten gagal disalurkan. “Banyak sekolah-sekolah, terutama di desa kecewa, ka-rena sudah dianggarkan dalam RAPBS ternyata Pemprop urung menyalurkan dana BOS Propin-si,” kata seorang anggota Dewan Pendidikan Gre-sik Nur Fakih.(tni,nf)

e Janji Yang tak tertagihSiapa Gubernur Jatim Selain Basofi Soedirman

yang concern pada progam pembangunan desa? Program kembali ke desa, telah menyadarkan betapa pentingnya peranan desa dalam kehidup-an berbangsa dan bernegara. Namun setelah itu, program pembangunan desa terbengkalai tak ada yang mengurus lebih serius.

Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari

KARENA tidak banyak yang dikucurkan ke desa itulah, kalangan DPRD Jatim juga tak bisa

diam. Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Jatim Badrut Tamam menilai jargon ‘APBD

untuk Rakyat’ ternyata omong kosong. Ia menilai APBD Jawa Timur Tahun 2012 mendatang tidak

berpihak kepada rakyat miskin. Terbukti, dari Rp 12 triliun dana APBD Jatim, yang pro rakyat,

khususnya pengentasan kemiskinan hanya dialokasikan 3,2 persen.Dari total aggaran 12,214.783.359.822,00 Pemprov Jatim hanya mengalokasikan untuk penu-

runan tingkat kemiskinan sebesar 3,26 % atau Rp 398.631.272.283,00. Bila anggaran pengantasan

kemiskinan itu dibagi dengan jumlah warga miskin di Jatim yang mencapai 12,1 juta jiwa, kata

Badrut, maka satu orang warga miskin hanya akan mendapat jaminan Rp 110 sampai 120 ribu

tiap bulan. APBD Jatim, termasuk rancangan APBD Jatim 2012, yang sempat dievaluasi Kementerian Da-

lam Negeri dalam berkas bernomor 903-836 Tahun 2011 tentang Hasil Evaluasi APBD Tahun 2012.

Pertama, Gubernur Jatim belum menyambut dengan benar UU Pendidikan yang mewajibkan

minimal 20% dari kekuatan APBD. “Kedua, pengentasan kemiskinan masih kecil sekali, dengan gambaran per keluarga miskin

dalam menerima dana Jamkesmas tidak sampai Rp 2 juta/bulan,” kata Badrut Taman.Ketiga, soal infrastruktur dan koordinasi. Bahwa Pemprop Jatim belum konsisten untuk mem-

perkuat dan merealisasi infrastruktur. Hal ini sesuai laporan Kemendagri yang hanya ploting

10,84% saja dari kekuatan APBD Jatim yang hampir sebesar Rp 12,5 triliun.Khusus terkait infrastruktur yang bersifat tambal sulam di lapangan itu, terbukti oleh fakta atas

lemahnya koordinasi dan sinkronisasi. Sehingga masih ada jalan rusak, jembatan rusak dan banjir

masing mengepung berbagai wilayah,” tutur Badrut.Anggota Fraksi PDIP Suharti, S.Psi, MM menilai pelaksanaan program penanggulangan

kemiskinan belum memberikan hasil yang menggembirakan. Program tersebut masih bersifat

seremonial dan program-program charity. Belum menunjukkan niat luhur dan kesungguhan

mengatasi kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Jatim. (tni)

Belum Pro Rakyat

kembalikan aPBd untuk Rakyat

Page 5: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

UtamaEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 5

Bahkan secara tegas disebutkan, ban tuan keuangan dari Pemer-intah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota itu disalurkan me la lui kas desa.

Itu artinya, ada ke wa ji ban dari Pemerin-tah, Pe me rin tah Pro pinsi dan Pemerintah Ka bupaten se tiap ta hun nya mem-beri bantuan keuangan se cara lang-sung ke de sa yang disa lur kan melalui APBDesa.

Ban tuan ke uangan ini, dalam ka it annya de ngan pe lak sanaan urusan pe-merintahan.

Na-

mun, mes ki da sar hukum ban tuan ke u ang -an desa itu sudah ada –yakni PP 72/2005--, dalam pelak sa na an nya tetap tidak semulus yang di harapkan para kepala desa. Ma lah ada kesan, Pe merintah ter u tama Pemerintah Propinsi me nga baikan amanat UU tersebut. Ter bukti sampai sekarang, yang na manya bantuan keuangan, ba ik dari Pemerintah, Pemerintah Pro vinsi, Pemerintah Kabupaten, belum pernah dikucurkan.

Berkaitan dengan Bantuan Ke u ang an Desa (BKD) ini, Suara De sa berbincang dengan Drs Robiul Us man, Kepala Desa Pagerwojo, Kec. Pe rak Jom bang, Wakil Sekretaris AKD Jawa Timur. Bapak empat anak yang sudah dua periode memimpin desanya ini, menyam-paikan pokok-po kok pikirannya berkaitan dengan BKD.

Terlebih ia adalah salah satu sak si sejarah bagaimana penguasa Pe me rintah Propinsi

Jawa Timur ‘men jan jikan’ anggaran untuk rak yat, ter m asuk mengucurkan bantuan ke uang an untuk desa pada saat kam panye tempo dulu.

Bagaimana Anda melihat Pelak sa naan UU 32/2004 khususnya PP 72/2005 tentang Desa ?

Masih jauh dari harapan. Banyak hak-hak desa yang diabaikan pemerintah, mes ki da-lam UU 32 maupun PP 72 se ca ra tegas diatur. Malah ada kesan, Pe me rintah, terutama Pemerintah Pro pinsi se perti menutup mata akan hak-hak yang ha rusnya diterimakan ke desa.

Bisa memberi contoh ?Misalnya, bantuan keuangan untuk de sa

(BKD). Dalam pasal 68 Peraturan Pe merintah nomor 72/2005 tentang De sa disebutkan, sumber pendapatan de sa itu terdiri atas :

Pendapatan asli desa, terdiri dari ha sil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swa-

daya dan partisipasi, hasil gotong ro yong dan lain-lain pendapatan asli de sa yang sah.

Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Ko ta paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi Kab/Kota sebagian di per u n-tukkan bagi desa.

Bagian dari dana perimbangan ke-uang an pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling se dikit 10% yang pembagiannya untuk se tiap desa secara proporsional yang me-rupakan alokasi dana desa (ADD)

Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Ka -

bu paten/Kota dalam rangka pelak sanaan urusan pemerintahan.

Hibah dan sumbangan dari pihak ke tiga yang tidak

mengikat.Selanjutnya dalam ayat

2 disebutkan, ban tuan keuangan dari Pemer-

intah, Pe merintah Provinsi dan Pemer-

intah Ka bu paten/Kota sebagaima-

na dimak sud a yat 1 huruf d

disalurkan melalui

kas desa. Itu artinya, bantuan keuangan desa itu harusnya diterima desa setiap tahun tu nai dan disalurkan melalui APBDesa. Ke nyataannya, sejak peraturan itu di un -dangkan sampai sekarang belum per nah desa menerima kucuran baik da ri pemerin-tah apalagi Pemerintah Pro pin si.

Bukankah ada alokasi dana desa (ADD) yang diterima desa setiap tahun?

Itu berbeda klausulnya. Kalau ADD jelas sumbernya, yakni bagian da ri de sa yang berasal dari dana per im ba ngan keuangan pusat dan daerah yang diterima melalui Kabupaten. Pe run tuk an nya juga jelas, yakni 30% untuk biaya apa rat dan administrasi sisanya 70% un tuk biaya publik dan pember-dayaan. Se dangkan bantuan ke uangan desa se bagaimana diatur dalam pasal 68 ayat 1 huruf d, ada lah dalam rangka pe lak sanaan

urusan pemerintahan desa. Karena itu, harus nya bantuan keuangan dari pemerin-tah, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten diterimakan se tiap tahun juga. Ironisnya, sampai se ka rang ini samasekali tidak ada yang me ngu curkan.

Okelah pemerintah kabupaten sudah ter bebani dengan ADD, demikian juga pe-merintah pusat sudah menyalurkan DAU. Tapi kalau Pemerintah Propinsi, mem beri bantuan apa untuk desa. Lagi pula, buat apa anggaran Pemerintah Pro pinsi Jawa Timur yang nilainya sekitar Rp 12 triliun kalau tidak disalurkan ke desa.

Kalaupun setiap desa diberi bantuan ke-uangan desa (BKD) rata-rata Rp 100 juta per tahun –sesuai janji gubernur ke pada pa ra kepala desa pada saat pencalonan--, Pe-merintah Propinsi juga tidak akan ke ku rang-an. Paling setahun anggaran propinsi ha nya kecuil sekitar Rp 700 miliar. Tapi, manfaatnya jauh lebih besar.

Menurut Anda, mengapa Peme rintah Propinsi meng abaikan memberi bantuan keuangan desa ?

Saya tidak mengerti me ngapa Pe me rintah Pro pinsi mengabaikan ‘ke wa ji bannya’. Tapi saya melihat pen de katan penguasa Pe me -rintah Pro pinsi yang se karang ini memang cen de rung po litis.

Artinya, hampir se mua ke giatan, program yang di ja lankan cenderung sudah di politisasi daripada me mi kir kan kesejahteraan ma sya-ra kat desa.

Salah satu indikatornya ada lah pen dekatan pem ba ngun an yang sekarang di la kukan cen derung untuk ke pentingan pen citraan peng uasa. Program-pro gram nya ba nyak di-laksanakan a tau di be rikan melalui partai atau ke lom pok-kelompok tertentu, sehingga ada kesan sekarang ini mereka lagi ber ba ik-baik dan berbagi dengan partai po litik.

Pemerintah Propinsi sekarang ini tidak pernah lagi melibatkan kepala desa, yang dulunya sebagai salah satu pendukung uta-manya.

Kebijakan Pemerintah Propinsi ini bertolak belakang dengan penguasa era Pe-merintahan Propinsi sebelumnya, di mana kepala desa ma sih diajak rem bugan untuk program-pro gram ke desa.

Melalui Asosiasi Kepala Desa (AKD), Pemerintah Propinsi masih mem beri por si peran kepala desa dalam me nen tu kan pro-

gram-program di Jawa Ti mur. Jadi, ada semangat kebersamaan

untuk mem-bangun

desa di Jawa Timur. Sekarang, nuansanya sudah jauh ber-

beda. Bahkan penguasa Pemerintah Propinsi sekarang sudah lupa dengan jan jinya pada saat kampanye dulu. Pa dahal, di depan kepala desa ia men janjikan akan memberi ban tuan ke-uang an per desa Rp 100 juta melalui APBD. Ke-nyataannya, tidak te re alisasi sampai seka rang.

Kalaupun ada desa yang men dapat kucuran dana, nilai nya jauh dari yang di jan-jikan, yak ni hanya sekitar Rp 60 ju ta.

Itu pun informasi dari te man-teman kepala desa, de sa yang mendapat ban tu an dibatasi hanya 1.400 de sa selama lima tahun ke ku asannya. Karena itu, apa yang dijanjikan penguasa da l am kampanyenya du lu, seka-rang ini hanya isap an jempol.

Semangat untuk men se jahterakan ma-sya ra kat desa dan anggaran un tuk rakyat, ternyata hanya sebuah mim pi. (***)

Drs Robiul Usman

BKD, Hak Desa yang Diabaikan!Dalam Undang-Undang 32/2004 ten tang Pe me-

rin tahan Daerah dan le bih spesifik lagi da lam Pe ra tu ran Pemerintah (PP) 72/2005 ten tang Desa disebutkan, salah satu sumber pendapatan desa adalah be ru pa Ban tuan Keuangan Desa (BK). Bantuan keuangan itu di luar Alo kasi Dana Desa (ADD), se perti yang selama ini sudah ber ja lan.

Page 6: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 20136 desapr Utama

Harapan ini seharus-nya sudah menjadi kenyataan lima tahun silam saat pasan-gan cagub-cawagub

Khofifah – Mudjiono (Kadji) nyaris menumbangkan duet Karwo – Gus Ipul (Karsa). Kesaktian Khofifah jelas-jelas sudah teruji di Pilgub 2008 lalu sehingga Srikandi NU ini pun sangat yakin saat memutuskan un-tuk running lagi mengemban tugas dari ulama memenangkan Pilgub 2013. Dia haqul yakin para ulama NU mendukung penuh.

Namun kenyataan di lapangan justru jauh panggang dari api. Khofifah, satu-satunya yang berani mewujudkan cita-cita ulama dan warga NU merebut kursi gubernur Jatim, malah “disio-sio”. Khofifah diperlakukan seperti “anak tiri” oleh sebagian ulama garis politik, antara lain dengan memunculkan lagi wa-cana fatwa haram pemimpin perem-puan (baca pula laporan “Tarik Ulur Fatwa Pemimpin Perempuan, Red.). Sejumlah ulama sibuk bermanu-ver hingga akhirnya “menclok” ke Karsa II dengan dalih sudah terbukti sukses memimpin Jatim. Lalu be-narkah klaim ulama garis politik NU ini? Biar fakta lapangan yang bicara. (Baca juga laporan “APBD Belum Pro Rakyat!”)

Para ulama garis politik mungkin lupa cita-cita ulama sepuh yang me-minta agar Jatim dipimpin kader NU. Tapi bukankah mereka mendukung Saifullah Yusuf juga? Ah, Gus Ipul kan hanya wakil. Sampai sekarang Gus Ipul terkesan masih “pejah gesang nderek Karwo” alias merasa cukup puas hanya menjadi wakil gu-bernur. Sempat bermanuver sedikit, tapi toh Gus Ipul akhirnya balik kucing juga ke Karwo. Dia dianggap tidak setegar Khofifah yang istiqo-mah ingin mengemban amanah merebut kursi gubernur Jatim.

Meski sudah “memegang” Gus Ipul, Karwo ternyata masih ke takutan “titah” ulama sepuh itu beberapa bulan ke depan akan benar-benar menjadi kenyataan. Karwo masih gundah gulana kursinya akan direbut Srikandi NU.

Maka, “politik kunci di pintu muka” pun dijalankan. Karwo berusaha mati-matian agar Kho fifah tak bisa maju sebagai bakal calon gubernur. Rasa takut membuat man-tan Sekda Jatim ini menafikan alam demokrasi yang mengedepankan persaingan secara fair dan elegan.

Karwo sesumbar mengunci “pintu muka” pilgub dengan menggaet se-mua parpol parlemen dan non-par-lemen agar Khofifah tak bisa masuk untuk ikut bertanding. Bayangkan saja, hanya untuk masuk ikut berlomba saja “tidak boleh”. Pada

loket seolah sudah dipampang papan pengumuman “Tiket Sold Out!”

Rasa takut itu pula yang membuat Karwo, yang merasa sebagai bos parpol penguasa sekaligus penguasa Jatim, terkesan juwana. Dia sebelum-nya malah sering mewacanakan pil-gub secara aklamasi melalui DPRD.

“Karwo itu suka menciptakan gondoruwo politik bagi dirinya send-iri. Khofifah kan punya hak maju sebagai calon gubernur, mengapa harus dihadang sana sini?” kata se-orang kader PKB, partai yang meng-usung Khofifah, kepada Pro-Desa.

Langkah Karwo mengunci “pintu muka” itu terlihat dari betapa su-litnya Khofifah mendekati parpol pengusung. Sejumlah parpol yang dulu membelanya, kini berbalik arah mendukung Karsa jilid II. Masih segar dalam ingatan publik Jawa Timur, lima tahun lalu, tepatnya di Pilgub Jatim 2008, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat itu memiliki 8 kursi di DPRD bersama 12 Parpol non-kursi, tampak mantap mengusung Khofifah Indar Parawan-sa yang berpasangan dengan Mud-jiono (Kadji).

Bahkan, kegigihan mereka sukses mengalahkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Saat itu hasil pilgub versi quick count LSI Denny JA, pasangan Kadji unggul dengan 50,76%, Karsa 49,24%. Lalu LSI Syai-ful Mujani, Kadji menang dengan 50,44%, Karsa 49,56%. Begitu pula Puskaptis, Khofifah juga menang 50,83%, dan Karsa 49,17. Padahal Karsa diusung koalisi parpol besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD), ke-mudian didukung Partai Golkar (PG), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Nah syair lagu Iwan Fals bahwa “politik itu kejam” dirasakan oleh Khofifah di Pilgub 2013 sekarang sebab situasi tahun 2008 itu berubah 180 derajat. PKB balik arah menjadi Parpol terdepan mengusung Khofi-fah, sementara PPP dan parpol non kursi ramai-ramai meninggalkannya dan memilih berbaris di belakang Karsa jilid II.

Tak hanya di level DPW yang menyatakan dukungan, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) juga angkat bicara, “PPP sudah pasti memberikan suaranya ke Karsa. Kami sudah sepakat dan tidak mungkin lagi memberikan suara ke pasang an lain,” katanya kepada war-tawan saat dicegat usai mengunjungi Ketua Umum DPP Partai Kebangkit-an Nasional Ulama (PKNU) Choirul Anam, di Gedung Astra Nawa, Surabaya, Sabtu (9/2) lalu. Bukan hanya PPP, PKNU pun meski belum resmi juga menyatakan dukungan-nya ke Karsa II. Soal ini, Cak Anam

menyatakan, tradisi di PKNU, untuk pilgub urusan DPW, pilbup ranah DPC. “Saya sebagai ketua umum tak bisa ikut campur,” katanya. Mak-sudnya, keputusan dukungan PKNU ditentukan Dewan Syura dan ketua DPW PKNU.

Parpol gurem juga ramai-ramai merapat ke Karsa. Lewat bendera Aliansi Parpol Non Parlemen (APNP), sebanyak 23 parpol, di antaranya PKPB dan PPPI, mengaku sudah menyerahkan surat dukungan untuk Karsa II ke KPU Jatim, Rabu (13/2) lalu. Ketua APNP Jatim, H Jailani, mengatakan, hal itu dilakukan agar suara ke-23 Parpol tersebut tidak “di-curi” pasangan calon lain. “Kami 23 Parpol mendukung pasangan Karsa. Kami sudah melihat kepemimpinan keduanya. Selama empat tahun ini banyak kebijakan yang menguntung-kan rakyat, maka tidak ada alasan lain untuk menolak keduanya untuk maju kembali,” kata Ketua DPD Partai Barisan Nasional (Barnas) Jatim itu.

Tapi banyak kalangan tahu di negeri ini politik adalah uang, atau setidaknya politik adalah janji-janji peluang? Lalu apa kompensasi untuk APNP? “Tak ada?” katanya. Be-narkah? Wallahua’lam.

Sejak itu Pakde Karwo pun se-makin pede untuk memenangi lagi di Pilgub 29 Agustus 2013 mendatang sebab dia yakin akan berhadapan dengan “bumbung kosong”. Artinya, Karwo – Gus Ipul maju sendirian.

Dan klaim Karwo bahwa hampir semua parpol sudah dia pegang, bisa jadi benar adanya. Setidaknya itulah yang dirasakan Khofifah yang sulit untuk mengajak parpol yang dulu

sekawan dengannya untuk menjadi sahabat pada pilgub Jatim tahun ini. Betapa tidak, dia sudah mendekati Cak Anam—bahkan dia orang perta-ma yang didekati saat ada “krentek” maju pilgub—agar mau mendukung-nya sekaligus menggandeng PKNU, tapi ternyata benar adanya, bahwa dia merasa “pintu muka” itu sudah ditutup oleh Karwo.

Oke, dia maklum Cak Anam tak bisa intervensi ke DPW. Karena itu, Khofifah dengan ditemani Arif Djunaidi, Ketua DPW PKNU Jatim, pun sowan ke KH Ubaidillah Faqih di Langitan-- sebagai pemegang mandat untuk menentukan dukun-gan PKNU--, pada Rabu 26 Februari 2013 lalu. Gus Ubed—panggilan ketua dewan syura DPW PKNU ini—kala itu menerima Khofifah dengan baik, tapi itu sebagai kader NU. Sedang soal dukungan, tunggu dulu. Hingga kini pun Khofifah hanya bisa menunggu. “Ini ada apa?” katanya, heran, dengan mata berkaca-kaca, kepada Pro-Desa. Belum mendapat kepastian dari PKNU, Khofifah tak patah se mangat. Masih terngiang di benaknya akan tugas dari ulama agar kader NU benar-benar memimpin Jatim. Hal itu pula yang selalu menjadi amu-nisinya untuk terus berjuang. Dan perjuangan itu semakin berat sebab waktunya semakin mepet. Maklum, dengan hanya diusung PKB, Khofifah hanya punya modal 13 kursi alias butuh tambahan 2 kursi lagi sesuai yang dipersyaratkan KPU. Yang jadi masalah, dari 11 Parpol lain yang memiliki kursi di DPRD Jatim, ma-yoritas di level DPP maupun DPW/DPD sudah menyatakan dukungan-

KEJAMNYA dunia politik hari-hari ini sungguh dirasakan oleh Khofi-fah Indar Parawansa. Sebagai putri terbaik Nahdlatul Ulama (NU)—or-mas Islam terbesar di Jawa Timur (Jatim)—, Ketua Umum PP Muslimat

NU ini hanya ingin mengemban amanah dari para ulama, kiai, dan masyayich, bahwa sudah saatnya NU memimpin Jatim dengan men-

jadikan kadernya sebagai gubernur.

Jebol ‘Pintu muka’ khofifah menantang lagi

Page 7: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

UtamaEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 7

nya ke Karsa II yakni PD (22 kursi), Gerindra (8), PKS (7), PAN (7), PKNU (5), PPP (4) dan Hanura (4). Sedang PDIP de-ngan 17 kursi bisa mengusung calon sendiri-- meski ada juga kabar partai pimpinan Mega-wati ini hanya menyiapkan calon wakil gubernur yang akan digandengkan dengan cagub Khofifah. Lalu Golkar dengan 11 kursi belum menen-tukan sikap, apakah men-dukung Karsa atau memilih Khofifah. Untuk mengusung calon sendiri tampaknya Golkar kesulitan. Sementara dua Par-pol lainnya, Partai Bintang Re-formasi (PBR) dan Partai Damai Sejahtera (PDS), masing-masing dengan 1 kursi, sinyalnya memilih incumbent.

Pertolongan LangitNamun gelapnya belan-

tara politik bagi Khofifah bisa terang bila rujukannya tetap pada Sang Maha Politikus: Gusti Allah SWT. Kepada Pro-Desa, Khofifah mengaku, selama ini dirinya telah “salah”, bahwa mengabdi—kepada siapa pun seperti ke organisasi atau kepada seseorang-- dengan harapan mendapat sesuatu dari hal itu.

Dia menjalin pertemanan

dengan banyak orang, lalu mengharapkan pertolongan dari si teman tersebut bila membutuhkan seperti sekarang ini. Kadang harapan itu begitu besar sehingga bila ternyata, baik si teman maupun organi-sasi itu, akhirnya tak mau memberi pertolongan padanya, akhirnya dia pun kecewa.

“Ini kekeliruan saya. Padahal minta pertolongan kan se-harusnya kepada Allah. Dan alhamdulillah, sekarang jalan semakin terang setelah saya meminta dengan sungguh-sung-guh pertolongan Allah,” kata calon gubernur Jatim yang juga menyiapkan “strategi langit” ini.

Meski demikian, dia sangat yakin, masih banyak teman mendukungnya untuk maju dalam pilgub ini. Bahkan, saat ini banyak berdatangan teman-teman baru yang mau memban-tunya tanpa pamrih. “Sekarang sejumlah tokoh, ormas, organ-isasi profesi, dll, mensupport saya,” katanya.

Dengan jalan terang itu pula langkah Khofifah semakin mantap menuju palagan meng-hadapi Karwo. Hal itu setelah sejumlah parpol non-parlemen juga merapat ke Khofifah. Sabtu (2/3) lalu mereka teken komitmen dukungan.

“Saya harus memastikan

diri bisa maju di Pilgub, sambil menunggu kepastian dari Gol-kar dan PDIP. Dan alhamdulil-lah, sekarang sudah memenuhi persyaratan KPU, ya sudah 16,5 persen, dari syarat KPU 15 persen,” katanya.

Saat ini Khofifah menda-pat dukungan PKB dengan 1.996.129 suara sah hasil Pemilu 2009 (12,26%), sehingga parpol yang kelahirannya dibi-dani Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu tinggal butuh tambahan 2,74% untuk meng-genapi syarat pencalonan 15%.

Di Jatim, terdapat 26 Parpol nonkursi hasil Pemilu 2009 dan Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) menjadi satu-satu-nya Parpol yang tak memiliki suara (0%) dari 11 Dapil yang ada. Anehnya, PPIB masuk APNP bersama 22 Parpol lain. Minus PPIB yang tak memi-liki suara, total dari 25 Parpol terkumpul 1.883.603 suara (11,57%).

Kini tinggal tiga Parpol yang belum menyatakan dukungan-nya, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) yang memiliki 217.425 suara (1,34%), Partai Patriot dengan 161.605 suara (0,99%) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) dengan 39.100 suara (0,24%). Bila Khofifah bisa menggan-deng tiga parpol non-APNP

A. Partai Demokrat—pengusung utama Karsa jilid II—kalah di tiga pertempuran besar. Pertama di pilgub DKI Jakarta, Demokrat gagal mengantarkan Foke kembali jadi gubernur. Direktur Eksekutif Indo-Barometer M. Qodari di Jakarta, Jumat 8 Maret lalu, mengingatkan, saat itu Demokrat belum pecah seperti sekarang ini. Kedua, Pilgub Jawa Barat, Demokrat keok saat jagonya Dede Yusuf - Lex Lak-samana Zaenal kalah melawan incumbent pasangan Ahmad Hery-awan – Deddy Mizwar. Bahkan Demokrat di posisi tiga. Ketiga, di Pilgub Sumatera Utara 7 Maret lalu, lagi-lagi Demokrat kalah sebab jagonya Amri Tambunan – RE Nainggolan kalah melawan pasangan Gatot Pujonugroho – Tengku Ery Nuradi. Bahkan posisi Demokrat melorot lagi di peringkat empat. Skor 3 : 0 ini secara psikologi politik membuat Demokrat sulit menang lagi di Pilkada lain. Apalagi di pil-gub Jatim. Dan apalagi kecenderungan perolehan suaranya terus menurun.

B: Tanda-tanda lebih spesifik muncul dari Langit Jakarta, yakni: 1. Karwo – Foke, sama-sama berstatus petahana (incumbent) den-

gan ikon “kumis tebal”. Calon lawannya (Jokowi dan Khofifah) juga sama-sama dipandang enteng sebelum bertarung padahal memiliki dukungan grass root yang kuat dan mengakar: Jokowi didukung masyarakat urban dan militansi kader PDIP maupun Gerindra, se-mentara Khofifah bakal didukung massa PKB yang berbasis Nahdli-yin (warga NU) serta militansi Muslimat dan Fatayat NU.

2. Sama-sama ‘pecah kongsi’ dengan pasangan (Wagub) jelang pen-calonan di periode kedua. Bedanya Wagub Prijanto benar-benar ‘cerai’ dengan Foke, sementara Gus Ipul memilih balik kucing tetap bersama Pakde Karwo, setelah melakukan penjajakan untuk maju sendiri sebagai Cagub maupun berpasangan dengan Khofifah.

3. Sama-sama diusung Parpol kakap yang dimotori Demokrat -- Par-pol penguasa yang reputasinya sedang terjun bebas karena skandal korupsi, konflik internal yang menajam, dan sekarang tersandera kasus Anas Urbaningrum. Foke diusung Partai Demokrat (32 kursi) bersama PAN (4), Partai Hanura (4), PKB (1) dan Parpol non kursi di putaran pertama, lalu PPP (7), Golkar (7) dan PKS (18) meny-usul di putaran kedua. Pakde Karwo hampir pasti dicalonkan Partai Demokrat (22 kursi) bersama Gerindra (8), PKS (7), PAN (7), PKNU (5), PPP (4), Hanura (4) dan 23 Parpol non kursi.

4. Sama-sama diunggulkan sejumlah lembaga survei, bahkan diyakini bakal memenangi Pilgub dalam satu putaran.

5. Sama-sama “nanggap OVJ” sebelum pencalonan (pra deklarasi) yang juga sama-sama digelar pada Hari Sabtu malam. Foke di Monas Sabtu (23/6/2012), Pakde Karwo di Jatim Expo (JX) Sabtu (9/2/2013).

6. Foke kalah dari Jokowi dalam dua putaran, Pakde Karwo “kalah” sebelum bertanding sebab belum pilgub sudah “ketakutan” mengh-adapi Khofifah!

TANDA-TANDA DARI “LANGIT”

sebenarnya belum mencukupi. Suara ketiga Parpol tersebut jika dijumlahkan hasilnya hanya 2,57%, ditambah suara PKB 12,26% baru 14,83%. Se-mentara yang dibutuhkan PKB yakni 2,74% atau kurang 0,17%. Nah, bila Khofifah memastikan suaranya sudah mencapi 16,5 persen, berarti Srikandi NU ini dengan segala kecerdikannya, bisa mengambil suara parpol yang sudah mengaku merapat ke Karsa II. Bahkan, ada kabar PKNU juga menunggu injury time untuk benar-benar me-nentukan pilihan sebab hal ini juga sangat menentukan masa depan ulama dan tokoh PKNU.

“Memang kami sudah bertemu dengan Karsa untuk memberi dukungan, tapi bila hasil istikharah Kiai Langitan memberi tanda ke Khofifah, lalu mau apa lagi...ya kita dukung Khofifah,” kata seorang tokoh PKNU, memberi sinyal bahwa Gus Ubed—KH Ubaidil-lah Faqih—masih melakukan istikharah untuk menentukan pilihan dalam Pilgub.

“Ingat, suara Pak Karwo saat ini masih kalah dengan Khofifah yang didukung resmi PKB. Ini kalo resmi-resmian lo ya. Pak Karwo malah belum dapat rekom resmi dari DPP Demokrat, ini juga tanda-tanda dari langit. Kalau Demokrat saja belum, PKNU apalagi. Dan bila PKNU dan PKB bersatu di Jatim, ya sing ada lawan (tak ada yang bisa melawan, Red.),” katanya.

Dan bila itu benar, lawan tanding Khofifah pun tak ada

artinya apalagi parpol pengua-sa sudah kalah di tiga pemilu besar di Indonesia. Pertama DKI Jakarta, disusul kalah di Jawa Barat dan Sumatera Utara (lihat tabel Tanda-tanda dari Langit).

Dan ketika tahu Khofifah mendapat tambahan suara/kursi, Pakde Karwo disebut-sebut lagi-lagi cemas. Kepada wartawan yang mengkonfir-masi di sela-sela acara sarase-han di Hotel Mercure Sura-baya, Karwo tidak percaya bila Khofifah bisa mendapatkan tiket dari parpol. “Parpol apa...parpol apa coba...?” katanya saat ditemui wartawan di acara sarasehan “Menuju Jatim Lebih Baik, Tinjauan Hukum dan Ekonomi” pada Kamis (7/3) lalu. Karwo tak percaya Khofi-fah bisa membuka “kunci pintu muka” pilgub.

Karwo mungkin lupa bila dukungan parpol itu baru lisan alias baru komitmen awal. Be-lum resmi. Sebanyak 23 parpol kecil anggota APNP yang meny-erahkan dukungan ke KPU pun sifatnya sebatas “titip suara” karena pendaftaran baru dimu-lai 13-21 Mei mendatang.

“Dokumen tersebut akan saya simpan, nanti akan saya sampaikan saat pendaftaran Bacagub ke KPU Jatim sesuai jadwal. Dengan begitu surat du-kungan tersebut dapat menam-bah Parpol pendukung dari salah satu Bacagub yang akan maju nanti,” papar Ketua KPU Jatim, Andry Dewanto. (Bagas Satrio)

NO PARPOL SUARA % KURSI %

1. Partai Demokrat (PD) 3.342.267 20,53 22 22,002. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 2.602.861 15,99 17 17,003. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1.996.129 12,26 13 13,004. Partai Golongan Karya (Golkar) 1.494.611 9,18 11 11,005. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 730.319 4,49 8 8,006. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 810.291 4,98 7 7,007. Partai Amanat Nasional (PAN) 870.765 5,35 7 7,008. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 872.599 5,36 5 5,009. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 763.349 4,69 4 4,0010. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 615.846 3,78 4 4,0011. Partai Bintang Reformasi (PBR) 165.743 1,02 1 1,0012. Partai Damai Sejahtera (PDS) 130.738 0,80 1 1,00 JUMLAH 14.395.518 88,43% 100 100%

PEROLEHAN SUARA PARPOL PERAIH KURSI DPRD JATIM

PEROLEHAN SUARA PARPOL NON KURSI DI JATIM NO PARPOL SUARA %

1. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 241.464 1,482. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 84.832 0,523. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) 165.811 1,024. Partai Barisan Basional (Barnas) 111.155 0,685. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 140.848 0,876. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 0 0,007. Partai Kedaulatan (PK) 80.905 0,508. Partai Persatuan Daerah (PPD) 45.911 0,289. Partai Pemuda Indonesia (PPI) 40.933 0,2510. Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme 54.773 0,3411. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) 138.357 0,8512. Partai Karya Perjuangan (PKP) 10.114 0,0613. Partai Matahari Bangsa (PMB) 33.262 0,2014. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 19.995 0,1215. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 42.165 0,2616. Partai Republik Nusantara (Republikan) 76.399 0,4717. Partai Pelopor 36.743 0,2318. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 53.209 0,3319. Partai Bulan Bintang (PBB) * 217.425 1,3420. Partai Patriot * 161.605 0,9921. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 16.511 0,1022. Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 15.368 0,0923. Partai Merdeka 12.421 0,0824. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) * 39.100 0,2425. Partai Sarikat Indonesia (PSI) 14.369 0,0926. Partai Buruh 29.928 0,18 JUMLAH 1.883.603 11,57%

TOTAL PEROLEHAN SUARA PARPOL DI JATIM 16.279.121 100%

*Ket: PBB, Patriot dan PPNUI tidak masuk APNP

Page 8: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 2013 UtamaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr8 9desapr Utama

membangun desa dengan aPBd Plus

Nama : Dra. Hj. Khofifah Indar ParawansaTempat/Tanggal Lahir : Surabaya 19 Mei 1965Agama : IslamJabatan : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU 2006 – Sekarang

RIWAYAT PENDIDIKAN

- SD Taquma (1972-1978)- SMP Khadijah – Surabaya (1978-1981)- SMA Khadijah – Surabaya (1981-1984)- Strata I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya (1984- 1991)- Strata I Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya (1984-1989)- Strata II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta (1993- 1997)

RIWAYAT PEKERJAAN

- Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997)- Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997)- Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998)- Wakil Ketua DPR RI (1999)- Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999)- Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001)- Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001)- Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006)- Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006)- Anggota Komisi VII DPR RI (2006)

PENGALAMAN ORGANISASI

- Ketua Divisi Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Surabaya (1987-1992)- Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Surabaya (1987-1988)- Ketua Cabang Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama Surabaya (1987-1989)- Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (1990)- Ketua Biro Lingkungan Hidup Komite Nasional Pemuda Indonesia Jawa Timur (1992)- Wakil Sekretaris Gerakan Muda Persatuan (1990-1995)- Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1995-1997)- Kepala Bidang Ekonomi Koperasi Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama (1995-2000)- Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2000)

- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2001)- Ketua Gerakan Masyarakat Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (2000-sekarang)- Wakil Ketua Dewan Koperasi Indonesia (2010)- Wakil Ketua Nasional Demokrat (2010-sekarang)

FORUM INTERNASIONAL

- Studi banding pada penyiapan ratifikasi “Convention Against Illicit Trafic Psychotropic and Narcotic Drug” di Austria dan Belanda, yang diselenggarakan International Nar-cotic Control Board, Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Wina, Austria, 1996.

- Studi banding Antar-Parlemen di Mongolia, 1994- Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Develop-

ment and Peace for the Conventi on on The Elliminati on of All Forms of Discriminati on Against Women” di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 28 Febuari 2000.

- Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Develop-ment and Peace for the Twenty First Country”: Beijing +5) Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, di New York, Amerika Serikat, 5-9 Juni 2000.

- Ketua Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan The Exchanges and Cooperation in the Field of Family Planing Between China and Indonesia, 9-11 April 2001.

- Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri Asia-Pasifi k di Beijing, China, pada 14-16 Mei 2001.

- Menjadi narasumber pada Conference G ender Equity and Development in Indonesia yang diselenggarakan The Australian Nasional University, di Canberra, Australia, pada 21-22 September 2001.

- Menjadi narasumber pada Conference On Women In Islam As Role Model di Berlin, Jerman, pada 24-26 Mei 2004.

- Menjadi peserta World Council of Churches di Brazil, 15-21 Februari 2006.- Menjadi narasumber utama pada Commission on the Advancement of Women, Com-

mission on the Status of Women, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 1-2 Maret 2006.

- Menjadi narasumber pada International Conference on Parliaments, Crisis Preventi on and Recovery, hosted by UNDP and the Government of Representatives of Belgium, 19-21 April 2006.

- Menjadi narasumber pada International Conference of Islamic Scholars di Jakarta, In-donesia, Mei 2006.

- Menjadi narasumber di Muktamar ke-5 Pertumbuhan- Pertumbuhan Perempuan Is-lam Dunia Islam Kontemporari di Shah Alam, Selanggor, Darul Ehsan, Malaysia, pada 13-15 Agustus 2006.

Biodata

KHofifAH Indar Parawansa dijuluki Presiden KH Ab-durrahman Wahid sebagai superministry. Tugas utamanya adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan, namun dalam keseharian dia juga terlibat mengurusi persoalan pertahanan dan keamanan, pertanian, dan membangun jaringan kerja dengan negara-negara asing.

Pada waktu, Presiden Wahid berkunjung ke luar negeri Khofifah tidak pernah sekalipun ikut mendampingi Gus Dur, tetapi setiap dirinya berkunjung ke Eropa, Asia maupun Timur Tengah banyak informasi yang diterima bahwa dalam lawatan presiden ke luar negeri ada saja negara yang memberi bantuan ke Indonesia. “ Tetapi saya heran bantuan itu kok nggak pernah diterima,” jelasnya.

Belanda, misalnya pernah menjanjikan bantuan ribuan trak-tor bagi petani. Selain itu juga ada negara yang akan mengirim beras 15 kapal di Tanjung Priok.”Karena bantuan-bantuan itu tidak ada yang ngurus maka saya yang mengusahakan agar bantuan itu bisa dimanfaatkan untuk petani,” tuturnya.

Menurut Khofifah, petani dan desa di Indonesia, jauh tertinggal baik dari sisi penggunaan teknologinya maupun pendapatannya. Bahkan, petani di Indonesia, lanjut dia belum menjadi kelompok penekan untuk mempengaruhi kebijakan negara. “Di Amerika, para petani sudah menjadi kelompok penekan yang bisa mempengaruhi kebijakan negara. Hal ini disebabkan, hasil produk pertanian menjadi indikator stabili-tas ekonomi di sana.”katanya.

Di Jepang, petani di Negeri Sakura ini secara politik turut menentukan apakah seseorang bisa menjadi perdana menteri atau tidak. Disamping itu, petani Jepang secara ekonomi telah mandiri.”Hampir semua restoran di Jepang milik petani, sebab para petani mampu menerapkan konsep memproduksi bahan-nya, kemudian menyajikannya, mengemas dan menjualnya. Dengan demikian, petani Jepang hidupnya makmur,” ucap alumni Fisipol Unair ini.

Contoh lain, kata dia, Gorontalo yang dikenal sebagai daerah kering dan tandus, tetapi sejak Fadil Muhammad menjadi gubernur, propinsi ini menjadi pintu keluar ekspor produk jagung. Bahkan saat ini, Gorontalo juga sudah men jadi daerah yang menentukan naik turunnya harga telur se-Indonesia dan susu sapi.”Petani Gorontalo lebih maju, meskipun berusia muda dibanding dengan petani di Jawa,”

ucapnya.Itu sebabnya, Khofifah optimistis bisa memajukan petani desa

di Jatim.Kekuatan APBD Jatim yang mencapai Rp 13 Triliyun lebih gampang membaginya untuk pembangunan desa. Dana yang dia-lirkan untuk desa akan lebih besar jika anggaran CSR dari ribuan perusahaan di Jatim juga dialirkan ke desa-desa.”Sekarang ini banyak perusahaan yang belum mengerti cara penggunaan dana CSR, sehingga kita berharap CSR perusahaan bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Membangun desa tidak hanya tergantun APBD,” jelasnya.

Menurut data yang dihimpun Pro Desa, dari peru-sahaan asing yang bergerak di minyak dan gas dita-mbah BUMN dan perusahaan lainnya, total dana CSR perusahaan di Jatim itu mencapai sekitar Rp 2,7 triliyun. Dibanding APBD Propinsi yang disalurkan untuk desa, maka dana CSR ini akan lebih dahsyat untuk membangun desa-desa tertinggal di Jatim.

Dalam bidang peningkatan kualitas SDM, Ketua Umum Muslimat NU ini memi-liki strategi khusus. Hubungan kerja Khafifah dengan lembaga pendidi-kan di Eropa, Amerika dan Timur Tengah akan dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak desa ke luar negri melalui program beasiswa.”Melalui kerja jarin-gan ini kita akan menyekolah-kan anak-anak desa ke luar negeri,” tuturnya.

Program ini sudah diterapkan Malaysia. Warga negaranya yang terbelakang dari etnis Melayu disekolahkan gratis sampai per-guruan tinggi.”Kini etnis Melayu hidupnya lebih baik dibanding sebelum-nya,” kisahnya.(nf)

Page 9: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 2013 UtamaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr8 9desapr Utama

Lalu ulama siapa? Sep-erti dikutip Ha rian Duta Masyarakat, kiai struktural di Pengurus Wilayah

Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim pernah mengungkapkan peno-lakannya pada Khofifah dengan menganalogikan “bunda Mus-limat NU” itu bak nasi kebuli: disukai banyak orang tapi bikin perut mulas.

Kalimat itu dicetuskan sang kiai saat pertemuan ikhtiar poli-tik terkait pemilihan calon tung-gal kader NU yang akan maju di Pilgub Jatim, antara Khofifah dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul).

Intinya: sang kiai menolak Khofifah maju sebagai Cagub karena perempuan. Toh masih ada Gus Ipul yang laki-laki. Tapi

masalahnya lagi, Gus I p u l ternyata

b a l i k k u c -

i n g

jadi “ban serep” Karwo. Sedang Khofifah istiqomah dengan tu-gas dari ulama, yakni kader NU harus menjadi gubernur Jatim supaya warga Jatim, khususnya NU, bisa lebih sejahtera ketim-bang sekarang. Jadi, Khofifah menjadi satu-satunya calon gu-bernur dari NU sehingga fatwa itu otomatis batal demi kemasla-hatan NU sendiri.

Sebenarnya, isu ini bukan hal baru. Analogi “nasi kebuli” pun sudah basi karena antara fatwa dan kepentingan personal mau-pun politik kerap masuk wilayah abu-abu (grey area). Jejak politik ulama NU bisa dilihat lagi baik Pilpres maupun Pilgub.

Saat itu, Pilpres 2004 silam, ketika KH Hasyim Muzadi maju sebagai Cawapres berpasang an dengan Capres Megawati Soe-karnoputri. Perdebatan pun se-ngit, karena gelombang besar di NU menegaskan perempuan haram menjadi presiden (imam a’dham). Jadi tak sepatutnya Kiai Hasyim menjadi “ban serep” Ketua Umum PDIP tersebut.

Tak mau perdebatan ini membingungkan kiai NU dan Nahdliyin, Kiai Hasyim bersama

20-an kiai lain -- di antaranya KH Masduqi Mahfudz, KH

Idris Marzuki, Lirboyo,

Kediri; KH Zainuddin Jazuli, Plo-so, Kediri; KH Agoes Ali Masyhu-ri, Tulangan, Sidoarjo; KH Nuru-d din A Rahman, Bangkalan; dan KH Hisyam Syafaat, Blok Agung, Banyuwangi -- sowan ke ulama besar di Semenanjung Arabia, Syekh Dr Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Alhasani.

Syekh yang bertempat tinggal di Distrik Sulthoniah, 10 kilome-ter arah utara Masjid Nabawi itu adalah pakar hadits. Peraih dok-tor bidang hadits di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir di usia 25 tahun.

Muridnya tersebar di ber-bagai dunia, termasuk di Indo-nesia, di antaranya KH Hanif Muslih (Jawa Tengah). Ayah Syekh Muhammad, Syekh Alawi adalah guru KH Maemun Zubair (Sarangan, Jawa Tengah) dan KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban, Jawa Timur). Sedangkan kakeknya, Syekh Abbas al-Maliki adalah guru KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

Lalu apa kata Syekh Mu-hammad ketika dimintai fatwa terkait pencapresan Megawati yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi?

Guru besar Universitas Um-mul Qura, Makkah ini beru-jar, “Indonesia bukan negara dengan sistem khilafah, imam a’dham atau imarah. Indonesia adalah negara dengan sistem kepresidenan. Sehingga tidak

ada masalah, meski presi-dennya wanita,” ujar

Syekh Muhammad. Dari hasil meminta restu itu kemudian lahirlah “Deklarasi Madinah”.

Empat tahun ber-

selang, saat Pilgub Jatim 2008, te-patnya 20 Agustus di Asrama Haji Sukolilo, muncullah kaukus ula-ma, habaib dan kiai pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) secara tersirat meng gulirkan kembali wacana fatwa haram pemimpin perempuan. Hal ini terkait pencalonan Khofifah se-bagai Cagub berpasangan dengan Mudjiono (Kadji).

Bisa ditebak, polemik 2004 pun terulang lagi dalam per-tarungan Pemilu di skala lebih kecil, yakni gelanggang Pilgub Jatim. Menggelikan, memang. Membanding Pilgub 2007 de-ngan Pilpres 2004 ada keunikan yang mengusik.

Setidaknya ada dua kiai di Kaukus Sukolilo yang meneken taushiyah mengusung Karsa, ternyata di 2004 disebut-sebut turut juga menandatangani “Deklarasi Madinah” yang men-gusung Capres perempuan. Yak-ni KH Idris Marzuki dan KH Zai-nuddin Jazuli. Pada satu dimensi, ini agak membingungkan.

KH Agoes Ali Mashuri, peng-asuh Ponpes Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo yang juga turut hadir dalam pertemuan dengan Syekh Muhammad, saat itu menyebut fatwa haram di Kaukus Sukolilo itu tidak murni lagi bagi kepentingan umat melainkan bernuansa politik.

Nah, kini di Pilgub Jatim 2013, halal haram pemimpin perem-puan kembali mengemuka. Le-wat pertemuan kiai NU yang digagas PWNU Jatim, Khofifah disebut-sebut tak akan direko-mendasi sebagai calon tunggal dari NU karena alasan jender: perempuan. *

MANTAN Ketua Umum PBNU KH Hasyim Mu-zadi menegaskan akan all out mendukung Khofi-fah Indar Parawansa untuk bertarung dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada Agustus 2013 mendatang. Alasan Kiai Hasyim, Khofifah merupakan kader NU yang memiliki integritas dan kemampuan untuk memimpin Jatim. Apala-gi Khofifah satu-satunya calon gubernur dari NU, setelah kader lain memilih hanya jadi cawagub.

“Saya bisa membantu dengan bebas karena tidak lagi terikat aturan organisasi sebagai Ke-tum PBNU,” ujar Kiai Hasyim di Jakarta, Rabu (6/3).

Kehadiran sosok gubernur dari kalangan NU, kata Kiai Hasyim, merupakan sebuah ken-iscayaan karena Jawa Timur merupakan basis nahdliyin. Terlebih lagi selama dipimpin guber-nur dari luar NU, keberpihakan kepada nahdli-yin masih jauh dari memadai. Sehingga tidak ada opsi lain, kecuali merebut kursi kepemimpi-nan di Jawa Timur. Karena itu pula para ulama di Jatim mestinya mendukung perjuangan Khofi-fah ini.

“Warga NU Jatim kalau ingin terhormat, harus punya cagub yang berani melawan incum-bent. Kalau tidak warga NU Jatim tidak akan ada perubahan kemajuan,” cetusnya.

Sehubungan dengan posisi warga NU sebagai wakil gubernur di Jawa Timur, Sekjen ICIS ini menegaskan sejak awal tidak setuju kader NU menjadi orang nomor dua. Dalam kaitan ini, Kiai Hasyim memaparkan setidaknya ada dua alasan yang mendasari pilihan politiknya.

“Pertama, tidak sesuai dengan kehormatan mayoritas warga NU atau tidak punya peran cukup untuk membina umat. Kedua, ikut orang

lain akan dipakai alat untuk menghadapi teman sendiri dan hasilnya untuk orang lain dan itu akan merusak NU. Lain halnya kalau jadi nomor 1, hal tersebut tidak akan terjadi,” tegasnya.

Adapun terkait dukungan ke Khofifah, Kiai Hasyim juga tetap melampirkan sejumlah syarat. Di antaranya, Khofifah harus bisa membuktikan berkompetisi secara jujur tanpa kecurangan dan pencurian suara. Kemudian bila terpilih mampu mengelola APBD yang bebas korupsi, birokrasi yang bebas kepalsuan dan mismanagement, kekuasaan yang bebas dari intrik dan cara-cara hitam, serta Jawa Timur yang produktif dan maju.

“Saya juga berharap Khofifah tidak menggu-nakan kiai, apalagi yang sepuh untuk reklame karena tentu merendahkan martabat beliau-beliau. Cukup mengguna-kan anak-anak muda yang cer-das dan berani dan dinamis untuk mengadakan peruba-han di Jawa Timur. Para ulama cukup diberi penjelasan tentang situasi negara dan politik yang sehat agar tidak terma-kan tipu muslihat serta mempersi-lahkan beliau-beliau tenang di pesant-r e n n y a , ” pinta Kiai Hasyim.

Kiai Ha-

syim pun akan memenuhi janji untuk mendu-kung Khofifah, sekali pun di Jatim Surat Kepu-tusan DPP PKB masih diganggu orang yang membayar sana sini. Tapi Kiai Hasyim menegas-kan persyaratan dukungan parpol telah cukup. “DPP PKB telah jelas ada SK-nya mulai bulan Januari yang lalu, ditambah beberapa partai,” imbuhnya. * gus

Tarik Ulur Fatwa Pemimpin PerempuanDUH lagi-lagi fatwa halal haram pemimpin perem-puan dimunculkan lagi oleh bakal calon guber-nur Jatim. Tujuannya jelas untuk menembak bakal calon perempuan: Khofifah Indar Parawan-sa. Pelakunya pun jelas: rival yang paling takut bila Khofifah maju lagi. Dan saking takutnya, bakal cagub ini memin-jam tangan ulama un-tuk memukul Khofifah dengan fatwa haram pemimpin perempuan tersebut.

kh hasyim ajak Rebut kursi gubernur

KH Hasyim Muzadi

Page 10: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 2013 UtamaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr10 11desapr Utama

Kiai, hingga kini pemimpin perempuan masih debatable di kalangan ulama, termasuk di internal Nahdlatul Ulama (NU). Ada yang memperbole­hkan ada pula yang dengan tegas mengharamkan. Bagaim­ana sebenarnya kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam?

Begini. Kedudukan pemimpin perempuan tertinggi (al imam-mul a’dham) yakni jabatan sebagai presiden, itu hukumnya memang ada yang memperboleh-kan dan tidak memperbolehkan. Kalau ulama yang memperbo-lehkan pemimpin perempuan tertinggi itu selain menduduki jabatan presiden. Artinya, selain menjabat presiden itu diperbo-lehkan.

Artinya, dalam Islam, perem-puan menjadi pemimpin sebe-narnya diperbolehkan dan tak perlu diperdebatkan lagi, begitu...

Intinya adalah permasala-han perempuan yang menjadi pemimpin masih menjadi perbe-daan (khilaf) ada yang mem-perbolehkan dan tidak. Hanya pe rempuan menjadi presiden yang tidak boleh. Selain itu tidak menjadi masalah apakah men-jadi gubernur, walikota, bupati dan sebagainya.

Mengapa cara pandang

para kiai terkait halal haram pemimpin perempuan bisa sangat ber­beda?

Ya karena ada hadits yang memperbolehkan dan tidak. Itulah sebabnya terjadi per-bedaan, cara pandang yang berbeda. Nah, kemudian ada yang menafsirkan yang tidak diperbolehkan itu hanya untuk posisi presiden. Tetapi ada pula yang mutlak untuk presiden dan gubernur. Ha nya saja, umumnya memang posisi presiden yang tidak diperbolehkan, kalau yang lainnya masih memperboleh-kan.

Bukankah urusan halal haram pemimpin perempuan ini sebenarnya sudah final, karena dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 1987 hukum tentang itu khilaf atau ada perbedaan?

Situasi saat itu, terjadinya perbedaan pandangan pada saat Munas, ada khilaf di antara para musyawirin. Sampai seka-rang pun masalah pemimpin perempuan jawabannya atau hukumnya tafsil (opsi). Tetap ada dalil yang memperbolehkan dan tidak. Perempuan menjadi pemimpin yang bagaimana boleh dan tidak boleh, ya itu tadi... begitu.

Ataukah isu halal haram perempuan di Pemilu, baik itu Pilpres maupun Pilkada seba­tas politis. Artinya sengaja di­hembuskan untuk mengganjal calon tertentu dengan menga­tasnamakan hukum Islam?

Itulah sebabnya karena terjadi perbedaan pandangan di antara ulama, makanya hadist dijadikan bahan dan masuk ke wilayah politik. Apakah perem-puan bisa jadi pemimpin atau tidak, saya kira begitu...

Baiklah Kiai. Terkait Pil-gub Jawa Timur, bagaimana dengan pencalonan Khofifah Indar Parawansa. Sebagai calon pemimpin dia dinilai mempunyai kapasitas untuk maju seba-gai Cagub. Dalam konteks ini, apakah halal atau haram jika dia terpilih menjadi Gubernur Jatim?

Oh, kalau memang dia (Khofi-fah, red) menjadi yang terbaik, itu tidak menjadi masalah. Yang terbaik apa nggak kan? Tapi kalau yang terbaik itu bagus tidak

Lalu, bagaimana sebenarnya Islam mendudukkan pe rempuan dalam kepemimpinan? Apakah dalam konteks saat ini pemimpin perempuan berdiri di antara fatwa haram dan politik? Berikut wawancara dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat KH Ma’ruf Amin, seperti dikutip Duta Masyarakat.

kader nU terbaik layak gubernur

KH Ma’ruf Amin:

KALAU memang dia (Khofifah In-dar Parawansa) menjadi yang terbaik, itu tidak menjadi masalah (maju sebagai calon atau ter-pilih sebagai Gubernur Jawa Timur).

Gus, bagaimana Anda melihat proses Pilgub

Jatim saat ini?Sekarang masih tahap

pemanasan. Nama-nama yang muncul masih banyak kemungkinan berubah pada detik-detik terakhir. Jadi belum ada yang pasti. Pilgub Jawa Tengah saja yang lebih dahulu digelar belum dapat diketahui siapa calon yang pasti.

Soal keterlibatan kiai NU bagaimana?

Faktanya memang selalu begitu setiap kali ada momen politik. Ya harus menerima dengan

lapang dada.

Sebaiknya sikap para kiai...Saya sendiri sedang melakukan survei

terkait pelaksanaan pilgub Jawa Timur. Hasilnya segera saya umumkan. Ini soal tanggapan masyarakat, terutama warga NU, tentang nama-nama calon gubernur yang beredar saat ini di media massa. Siapa yang paling pantas menduduki Gubernur Jawa Timur.

Termasuk survei calon dari kader NU?Semisal Gus Ipul berpasangan dengan

siapa. Ibu Khofifah berpasangan dengan siapa. Dan juga keinginan warga NU untuk memiliki gubernur dari kalangan sendiri. Soal Pilgub biarlah itu menjadi ra-nah partai politik dan NU kultural. PWNU harus bisa mengayomi semua golongan dan semua calon. NU harus berdiri disemua golongan. Saya dengar PWNU sudah menyatakan sikap netral.

Bagaimana menyatukan partai politik berbasis NU, seperti PKB, PPP dan PKNU agar bersatu mengusung kader NU?

Kalau betul-betul bisa disatukan

memang akan menjadi kekuatan besar. Tapi apakah mungkin. Saya kira kok sulit terwujud. Masing-masing punya agenda dan kepentingan sendiri. Nah inilah yang sedang saya survei, yang ingin mengeta-hui keinginan konstituen masing-masing partai. Saya harapkan hasil survei dapat memberikan, mendorong dan mengin-spirasi partai politik untuk segera menen-tukan pilihan.

Setahu saya, PDIP, PKB, PKNU, dan PPP hingga saat ini belum menentukan sikap. Partai lain sudah jelas sikapnya mendukung Pak Karwo. Ini memang sikap logis dari partai politik untuk menentukan sikapnya. Kan masih banyak waktu. Kita tunggu saja.

Gus Sholah mendukung Ibu Khofifah?Ya, dalam pengertian Beliau maju

sebagai calon gubernur. Masa orang mau maju tidak saya dukung. Soal pilihan, saya punya pilihan, tapi tidak untuk publik.

Apakah ini akan terjadi pengulangan Pilgub 2008, Khofifah vs Karsa?

Sangat mungkin. Pemilihan calon harus benar-benar memperhatikan elek-tabilitasnya. Melihat kondisinya, Khofifah bisa kembali melawan Pak Karwo. Ini akan ramai. *

menjadi masalah. Walaupun semua kandidat baik semua, tapi kan ada salah satu kandidat atau calon terbaik dan yang terbaik itu-lah tentu yang menjadi gubernur.

Agar Pilkada berjalan damai dan tidak ada perpeca­han, bagaimana seharusnya menurut Kiai?

Ya memang susah sih kalau sekarang (Pilkada) tenteram karena hampir 100 persen Pilkada itu berlangsung rusuh. Yang terjadi sekarang pendukung gampang nggak puas dan akibatnya masyarakat yang menjadi korban. Padahal hanya 1-2 orang yang bermasalah tapi bisa melibatkan ribuan orang. Coba, bagaimana itu?

Makanya, kalau bisa, Pilkada tetap berlangsung tapi jangan sampai ada kerusuhan. Jangan ada bentrokan, ya berbeda pendapat, berbeda pandangan tidak apa-apa, tapi jangan terjadi keributan. Cukup ya, terima kasih.*

Gus Sholah: Ini Baru PemanasanKH SHALAHUDDIN Wahid (Gus Sholah), pengasuh Ponpes

Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, termasuk yang mencermati proses pemilihan Gubernur Jawa Timur yang akan berlangsung

29 Agustus 2013 mendatang. Bagaimana sikapnya? Berikut wawancara dengan adik kandung Gus Dur ini.

KH Ma’ruf Amin

KH Shalahuddin Wahid

Page 11: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 2013 UtamaEdisi PErdana,

MarEt 2013 desapr10 11desapr Utama

disampaikan kepada tim AKD Jatim H. Tulus Setyo Utomo dan Robiul Usman, serta Anang Suhari (AKD Sidoarjo), ke-tika menemui Pansus RUU Desa DPR RI pada Kamis, 7 Maret 2013. Lantas Totok pun menunjukkan, soal rapat Pansus RUU Pemda yang direncanakan hari itu pukul 10.00 WIB, akhirnya molor sampai pukul 12.00 WIB belum ada memenuhi quorum.

Terlepas dari itu, Ahmad Muqowam mengakui, bahwa Pansus sulit me-nyelaraskan dengan konstitusi. Pemba-hasan bukan masalah sederhana. Ada

“Sulit, tidak mungkin selesai April 2013. Tapi targetnya tetap tahun 2013 ini, prediksi kami sekitar Agustus 2013,”ujar Ketua Pansus RUU Desa, Ah-mad Muqowam, Kamis, 7 Maret 2013.

Pernyataan Muqowam dibenarkan oleh Totok Daryanto, Ketua Pansus RUU Pemda, yang juga anggota Pansus RUU Desa. Apalagi saat ini banyak anggota DPR yang turun ke daerah untuk mem-persiapkan diri menghadapi Pemilu 2014. Akibatnya rapat pun sering tidak quorum, sehingga terpaksa ditunda atau molor.

Pernyataan kedua anggota DPR RI itu

RUU DesaSulit Selesai April

Rasanya, hampir mustahil pengesahan RUU Desa menjadi UU Desa pada bulan April 2013 ini. Selain faktor material dari undang-undang yang cukup rumit. Banyak pasal yang secara substansial harus disinkronkan dengan RUU lainnya, seperti RUU Pemda. Lebih penting lagi, juga karena kondisi psikologis anggota DPR yang mempersiapkan diri menghadapi “Tahun Pemilu 2014”.

yang ada dalam pengaturan desa. “Misalnya, pembangunan desa harus

disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam dan manusia yang ada di desa tersebut.”ujar politisi dari Fraksi PPP ini.

Menurut Totok Daryanto, secara teknis memang sulit dilakukan. Dalam pembahasan RUU Desa menggunakan dua metode, yaitu metode klaster dan pembasahan detail. Metode cluster meng-akomodasi berbagai persoalan pasal per pasal secara fiilosofis dan substansif. Set-elah itu, baru akan di bahasa pasal per pasal sesuai masukan yang tercantum dalam DIM (daftar inventaris masalah).

“RUU Desa secara keseluruhan memi-liki delapan culster. Saat ini baru 4 dari 8 cluster itu yang sudah diselesaikan,”ujar ketua tim asistensi RUU Desa, Prayudi.

Keempat cluster yang sudah disele-saikan, masing-masing mengenai judul, konsiderans, dan ketentuan umum (clus-ter 1), lalu cluster 2 mengenai penataan desa, kewenangan desa, hak dan kewa-jiban masyarakat desa.

Sedangkan cluster 3 tentang pemerin-tahan desa, pemilihan kepala desa, badan Permusyaratan desa, dan musyawarah desa. Cluster 4 mencakup keuangan desa, badan usaha milik desa, pembangunan desa, pemngunan kawasan pedesaan, kawasan pedesaan, dan kerjasama desa.

“Namun cluster ke-4 itu juga belum sempurna. Hanya saja cluster 4 ini juga belum selesai sepenuhnya,”ujar Totok, anggota Fraksi PDIP.

DIM yang akan dibahas pemerintah dan DPR RI tak bisa selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya. Apalagi dari segi isi material juga banyak kepentingan yang menimbulkan tarik ulur antar ber-bagai pihak.

Sementara DIM yang diserahkan ke Mendagri Gamawan Fauzi pada 12 Okto-ber 2012, RUU Pemda memiliki 1.490 DIM dan RUU Desa 540 DIM. Menurut Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto (F-PAN), banyaknya DIM membuat kedua RUU tak akan selesai Maret atau April 2013. Sebab ba nyak kepentingan terkait RUU Desa maupun Pemda, sehingga bu-tuh waktu panjang untuk membahasnya. (bdh)

beberapa hal yang awalnya terlihat mu-dah namun ternyata sulit ditemui kes-epakatan. Sebagai contoh adalah pemi-lihan kata yang akan digunakan sebagai judul undang-undang.

Dalam membahas RUU Desa harus dilakukan sejernih mungkin. Pasalnya, regulasi itu nantinya digunakan untuk menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada terkait desa. Seperti UU No. 32 Tahun 2004 ten-tang Pemerintah Daerah (Pemda). Un-tuk itu, sangat penting untuk ditelusuri tentang desa secara komprehensif. Mi-salnya, seperti apa pengelolaan desa di masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan reformasi.

Ketika reformasi, pengaturan desa kembali diubah, salah satunya lewat UU Pemda. Walau ditujukan untuk menye-jahterakan daerah, tapi secara umum regulasi itu gagal mencapainya. Bebera-pa persoalan di UU Pemda di antaranya terkait kedudukan dan kewenangan. Oleh karenanya, UU Desa diharapkan mampu memecah berbagai persoalan

Pengurus AKD Jatim bersama Ketua Pan-sus RUU Desa DPR RI Ahmad Muqowam (kedua dari kiri) dan Totok Daryanto Ketua Pansus RUU Pemda dan Dirjen Pemda Kemendagri, I Made Suwandi.

Page 12: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201312 desapr Utama

MESKiPUN mendapatkan kabar RUU Desa sulit selesai April 2013 ini, Ketua AKD Jatim Samari akan terus melakukan upaya lobi dan dialog dengan pemerintah dan DPR. Sangat disayangkan jika terus molor dan berlarut-larut. Hal ini menun-jukkan ada indikasi pemerintah se ngaja melakukan pembiaran atau tidak serius menerbitkan RUU Desa.

Demikian pula dua pengurus AKD Jatim lainnya, yakni Tulus Setyo Utomo dan Robiul Usman akan berjuang sam-pai titik darah penghabisan, setelah bertemu Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam dan Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto, di Ruang Komisi II DPR RI, 7 Maret 2013.

“Apa yang dilakukan AKD Jatim saat ini terus menggalang lobi-lobi dan menin-gkatkan proses dialog. Ini sudah menjadi filosofi AKD Jatim untuk menyikapi pem-bahasan RUU Desa,” kata Robiul Usman, yang juga Kades Pagerwojo, Kec. Perak, Jombang.

Sedangkan Samari menegaskan, kepala desa harus memiliki stamina yang panjang dan kesabaran tinggi un-tuk berjuang agar desa memiliki kekua-tan hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Kenyataannya tun-tutan itu sejak tahun 2005, ternyata baru dilaksanakan pada tahun 2012.

Sebagai bagian dari negara, ke-beradaan desa memegang peran penting, baik sebagai sumber data maupun seba-gai penjaga stabilitas politik, keamanan, budaya dan ekonomi. Untuk itu, RUU Desa harus segera disahkan. Menurut Samari, pihaknya akan berusaha semak-simal mungkin untuk mengawasl RUU Desa ini agar menjadi undang-undang

dengan cara yang elegan. Dialog dan lobi merupakan pilihan

AKD untuk membangun kesadaran ber-politik dalam negara demokrasi ini. Apa-lagi saat menjelang Pemilu 214, berbagai kepentingan parpol mau nggak mau akan ikut serta memanfaatkan se tiap peristiwa besar untuk tujuan politik.

“Persoalan desa adalah persoalan yang strategis untuk dijadikan tunggang-an. Untuk itu kita harus hati-hati,” kata Samari, yang juga Kades Jrebeng, Kec. Dukun, Gresik ini.

Menyikapi hal demikian, menurut Sa-mari, AKD Jatim akan merapatkan bari-san. Bila perlu AKD Jatim akan membuat gerakan lebih besar, dengan melebarkan sayap menjadi Asosiasi Kepala Desa In-donesia (AKDI). Dengan gerakan lebih besar, suara kepala desa akan lebih didengar.

AKD Jatim sendiri sejak 2005 tak pernah berhenti menuntut terbitnya UU Desa. UU itu diharapkan memberi-kan kejelasan posisi kepala desa dan pemerintahan desa. UU Desa sekaligus

diinginkan menjadi landasan konstitusi bagi pembangunan desa dan kesejahter-aan masyarakat desa.

Sejak gerakan massa pada 3 Oktober 2010, AKD Jatim memilih aksi damai dengan mengintensifkan lobi dan dialog, baik dengan kalangan eksekutif mau-pun legislatif, serta tokoh masyarakat. Termasuk pada 10 Oktober 2012, AKD Jatim mengikuti RDPU Pansus RUU Desa bersama Forum Wali Nagari Sumatera Barat, PN Karang Taruna Indonesia, dan beberapa LSM lainnya. (bdh)

KETUA Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam menilai, sedikitnya terdapat tiga kunci dalam melakukan reformasi desa. Pertama, ada penjelasan asal-usul atau pengakuan atas desa dan adat. Asal-usul itu harus menegaskan apa yang dimak-sud dengan desa dan hubungannya dengan adat, serta memberi dasar yang kuat. Karena, di Indonesia kondisi desa yang ada di tiap daerah berbeda-beda.

Misalnya, di Sumatra Barat, dimana desanya memiliki sistem adat telah berjalan dinamis. Ada pula desa, yang sinergisitasnya dengan adat tergolong minim, seperti di Jawa. Serta ada kondisi yang mengakibatkan tidak ada desa dan adat, itu terjadi di wilayah kota.

Kedua, keistimewaan desa. UU Desa harus memposisikan desa sebagai daer-ah istimewa di hadapan negara, sehingga desa dapat melakukan pengelolaan atas sumber daya yang ada dengan baik dan kuat. Selama ini, pandangan yang ada adalah desa menjadi bagian dari pemerintah. Padahal desa itu sudah ada sebelum negara ini ada.

Ketiga, soal struktur desa. Tiap suku yang ada di Indonesia punya sistem kepemimpinan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi kondisi struktural yang ada di desa. Oleh karenanya, tiap desa perlu memiliki mekanismenya sendiri dalam menentukan struktur desa. Misalnya, sebuah desa dengan suku yang meng- gunakan sistem marga. Maka kepala desa dapat d i p i l i h berdasarkan sistem yang berlaku di marga t e r s e - but.

Muqowam pun menjelaskan Pansus RUU D e s a menemukan kesulitan dalam menyelaraskan r a n - cangan itu dengan UUD RI 1945. Pasalnya, d a l a m konstitusi, setelah amandemen, desa tidak dise- but secara spesifik. Ketentuan di konstitusi

yang paling mendekati tentang desa dijelaskan Pasal 18B UUD RI 1945.

Sebagai salah satu solusi, Muqowam memperkirakan dalam RUU Desa nanti akan dimasukkan beberapa pasal. Seperti ketentuan peng-hormatan atas hak-hak masyarakat hukum adat, serta pengakuan dan per-lindungan masyarakat hu-kum adat. Bagi Muqowam landasan hukum untuk UU Desa sangat penting, dia

khawatir ketika diterbitkan, UU Desa tak bergigi untuk me-

nyejahterakan desa. (bdh)

MENTERi Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi meminta Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa harus dilakukan secara jernih. Karena itu, dalam audiensi dengan Panja RUU Desa, Gamawan meminta Komisi II DPR untuk bisa objektif dalam memberikan masu-kan.

“Saya sudah berbicara dengan Ketua Panja Ahmad Muqowam dari hati ke hati, itu kita tidak mau kepentingan negara yang lebih besar terganggu kepentingan lebih kecil,” kata Gamawan..

Gamawan menilai ada motif dari pihak tertentu yang ingin memasukkan kepent-ingannya dalam RUU Desa harus dicegah. Karena jangan sampai muatan politik ke-cil mengalahkan kepentingan negara. Ti-tik poin krusial yaitu, permintaan adanya pengucuran dana Rp 1 miliar per desa jelas tidak bisa dipenuhi.

Pasalnya, kalau sampai permintaan itu dipenuhi bisa berbahaya. Nanti bakal muncul banyak desa baru yang memisah-kan diri dari desa induk gara-gara ingin mendapatkan dana Rp 1 miliar. Lagipula, sangat tidak tepat pemerin-tah pusat mengucurkan dana bantuan lang-sung ke desa. Lebih ideal adalah pemerin-tah kabupaten yang tahu situasi dan ke-butuhan, serta jum-lah warga desa yang bisa mengucurkan dana agar tepat sasaran.

“Bukan semua desa dibantu rata Rp 1 miliar. Nanti sangat pragmatis dan tidak boleh terjebak politik sempit,”kata Gamawan.

Pemerintah bakal berhati-hati apabila tetap meneruskan pembahasan Rancan-gan Undang-Undang (RUU) Desa. Apabila tidak teliti, produk hukum ini bisa hanya akan melahirkan elite lokal baru.

Pemerintah meminta Komisi II DPR untuk bisa objektif dalam memberikan masukan.

Begitu pun dengan adanya desakan aparat desa yang ingin diubah statusnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Apa-bila status ini diberikan, desa-desa itu kemudian memekarkan diri agar bisa me-nambah jumlah PNS. Bisa-bisa desa yang saat ini jumlahnya sudah mencapai 78 ribu membengkak menjadi 200 ribu desa. (bdh)

Tetap Upayakan dialog dan Lobi

Ketua Pansus rUU desa ahmad Muqowam

Posisi Desa Daerah IstimewaMendagri Gamawan Fauzi

Tolak Satu Miliar Satu Desa

Robiul Usman

Tulus Setyo Utomo

Ketua AKD Jatim H. Samari menyerahkan proposal RUU Desa pada Pansus DPR RI.

Page 13: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

R.H. Dwi Putranto Sulaksono soal Pilgub Jatim 2013 :

Disinilah level kepemimpinan se seorang dinilai. Kalau kerjanya cuma mempo pulerkan dirinya ya buat apa. Promosi 1-2 kali cukuplah, tapi kalau tiap hari lama-lama rakyat menjadi muak.

Perubahan Jawa Timur baru harus dimulai dari mana ?

Perubahan itu harus dimulai dari perubahan pemimpinnya. Bila pemimpin be rubah, maka mind-set juga berubah. Berubah pola tindakan, tata kelola, pola pikir, berubah juga pola kepemimpinannya. Pemimpin yang sama tidak akan memberikan efek yang berbeda. Pasti ia tidak akan meneruskan apa yang diyakini. Kalau rakyat Jatim mau berubah harus mengubah pemimpinnya. Se mua bisa me nilai, jika kepemimpinan Pak de Karwo tetap di per tahankan hasilnya ya seperti selama beberapa tahun ini. Rakyat Jawa Timur kalau ingin ber ubah nasib dan masa de-pannya, harus meng ubah pemimpinnya. Bukan seke-dar berubah orangnya, tapi berubah cara berfikir, tata ke lola pemerintahan, be rubah sistemnya, yakni berpihak pada rakyat cilik. Ini harus ada upgrading dan achievement.

Kita ini sering keblinger dengar gelar, harus di-pimpin doktor, tapi semua angka di atas kertas, di lapangan nol. Kalau saya lebih baik seperti Jokowi yang tidak me nunjukkan gelarnya, S1-nya, S2-nya, atau S3-nya. Ia bahkan rela berjalan kaki. Ia menun-jukkan sense of awareness tidak sekedar masuk gang dan keluar gang, tapi the end of product-nya su-dah ada. Buat apa habis-habisan promosi di media massa, tapi aplikasinya nol tidak me nyentuh akar persoalan dan kesulitan ekonomi rakyat. Kalau in-gin meng ubah rakyat Jatim ya harus mendukung RUU Desa. Karena RUU Desa adalah cikal bakal un-tuk mempermudah pemerintah pusat memberikan kontribusi dan perhatian untuk percepatan peme-rataan pembangunan dan pemerataan kesejahter-aan rakyat di desa. Itu poin paling penting.

Kepemimpinan di Jatim harus bagaimana? Apa yang harus dilakukan ?

Saya pikir seorang pemimpin atau gubernur itu dapat dinilai, apakah selama lima tahun ini da-pat memenuhi apa sudah yang dijanjikan dalam kampanye. Pemimpin itu harus memiliki lima hal, yakni speak by data (bicara dengan data), prom-ise must be deli ver (selalu menepati janji), saying by action (berkata dengan tindakan), doing with your hearth (bekerja dengan hati), dan proven by evident (membuktikan dengan kenyataan). Lebih penting pula seorang pemimpin itu harus dapat menjadi teladan, bertanggungjawab, dan rela ber-korban. Itu sebenarnya yang tidak disadari Pakde Karwo-Gus Ipul. Saya tidak menilai, tapi saya han-ya mengkritisi apa yang sudah dijanjikan kepada rakyat Jawa Timur. Silakan saja sambang desa tiap hari, tapi the end of product-nya apa, hasil akhir nya apa, tindaklanjutnya ba gai mana. Apakah hanya rakyat ingin di dengar, tapi tidak ada follow up.

Apa ha nya ingin menunjukkan sense of awareness (rasa kepedulian). Buat apa itu. Kalau cuma ingin itu, bikin saja kotak pos, daripada perjalanan dinas menghabiskan biaya, malah negara yang dirugikan. Yang pa ling penting the end of product, hasil akhir-nya apa, yang dapat bermanfaat untuk rakyat.

Lihatlah Jokowi. Fenomena Jokowi ini me-mang luar biasa, mem bongkar stigma atau dog-matis kebiasaan yang mengadopsi ketokohan. Ia menunjukkan aplikasi langsung dan lapangan yang dirasakan rakyat. Fenomena Jokowi meru-pakan barometer pencapaian yang baru. Jakarta saja baru, meng apa Jawa Timur tidak baru juga. Siapapun pemimpinnya nanti, maka Jawa Timur harus menyongsong era yang baru. Jawa Timur yang lebih baik dan le bih maju dari sebelumnya, lebih mulia, lebih beradab, lebih beretika, dan lebih agamis. Paling penting lagi lebih makmur rakyatnya.

Bagaimana menurut Pak Dwi ke pe mim pin­an di Jawa Timur selama ini ?

Kesan yang saya lihat banyak teoritis, banyak publikasi yang tidak perlu. Rakyat itu tidak perlu propaganda. Rakyat kan sudah memilih jadi rakyat tidak perlu dikenalkan lagi. Saya de ngar Pakde Kar-wo maunya lima tahun, tapi sekarang kok maju lagi. Itu saja sudah mencederai janjinya di depan orang lain. Katanya kalau pilihan langsung sudah kapok, tapi sekarang ditelan sendiri. Orang itu kalau bicara ya yang bisa dipegang omo ngannya. Rakyat de ngar itu semua. Janjinya dengan AKD Jatim saja diingkari dan tidak bisa dipenuhi. Bukan nominal uangnya, untuk desa, tapi janji itu yang harus ditepati. Berpi-hak kepada kepala desa dan rakyat di desa saja tidak bisa. Saya pikir kita sama-sama tahu apa kah selama ini dinilai maju atau tidak. Apakah selama ini le bih baik dari Pak Imam Utomo atau tidak. Apakah se-lama ini dapat dirasakan manfaatnya? Saya kira Pakde Karwo tidak bisa menilai rakyatnya, dan rakyat tidak bisa menilai Pakde Karwo, tapi rakyat bisa merasakan. Saya kira nanti amal ibadahnya yang akan menilai malaikat.

Selama ini Jatim dinilai sebagai barometer nasional. Misalnya Jatim juga dikenal sebagai lumbung pangan nasional, penghasil susu sapi segar dan sebagainya. Apa ada yang kurang ?

Jatim adalah gudangnya apapun. Gu dangnya permasalahan, pemim pin nasional, pangan, per-tanian, perikanan, pe ter nakan, kelautan, per-tambang an, per minyakan, dan sebagainya. Tapi satu hal yang perlu disadari kita semua selama ini, bahwa penataan tata kelola pemerintahan di Jawa Timur dialami dan dirasakan masih banyak yang konseptual, tidak aplikatif. Seorang kepala daerah tidak mau all out memberikan kontri-busi secara langsung. Ada kesan seorang kepala daerah tidak mau memberikan kontribusi total secara nyata dan langsung dan total di awal peme-

Pak Dwi memiliki gambaran bahwa pada Pilgub Jawa Timur 2013 menjadi titik tolak bagi Jawa Timur baru, yakni Jawa Timur yang lebih maju dan mak­

mur, terutama mengangkat harkat dan marta­bat Wong Cilik. Seperti apa gambaran pemikiran itu ?

Jawa Ti mur yang baru bagi saya se perti Provinsi DKI Jakarta. Paradigma berpikir, tata kelola peme-rintahan dan kebijakan publik yang dilakukan gubernur mencerminkan keberpihak an kepada rakyat, ter utama di pedesaan. Setelah melihat, me -rasakan, dan mencermati ke pemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul selama ini, ternyata sa ngat tenden-sius untuk memberikan ke san sebagai kepemimpi-nan yang harmonis yang di butuhkan rakyat secara konseptual. Namun aplikasi dan aktualisasinya masih jauh dari harapan rakyat itu sen diri. Con-tohnya, program yang ditawarkan saat kampanye dan program yang dijadikan unggulan tidak me-muaskan rakyat. Bahkan kepala desa sebagai ujung tombak pemerintahan merasa tidak puas dengan apa yang dijanjikan dalam kampanye beliau. Mung-kin yang tereali sasi hanya sekitar 10 persen tidak sampai 20 persen, itupun tidak sempurna.

Maka rakyat Jawa Ti mur yang akan me milih pemimpin yang baru, harus mampu membuat for-mat pe merintahan yang baru, mengubah paradigma sistem dan tata ke lola pemerintahan. Tidak meng-ulang apa yang sudah dilakukan Pakde Karwo dan Gus Ipul. Jatim itu terkenal gudangnya orang pinter, bikin saja tim task force dan tim kebijakan publik. Si-lakan melibatkan unsur perguruan tinggi, karena di Jatim banyak universitas terkemuka dan bagus. Juga libatkan masyarakat, LSM, dan para profesional. Saya pikir Indonesia ke depan pun akan terpeng aruh oleh Jawa Timur baru. Jakarta saja yang baru memi-lih pemimpin berani berubah menjadi baru. Dalam Islam dikenal istilah hijrah, yang berarti berubah, kurang baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik, serta dari tidak karu-ka ruan menjadi teratur dan sistematis.

Jadi Jatim baru ke depan harus lebih memberi-kan manfaat secara langsung dan tidak hanya slogan. Buat apa kepala daerah atau gubernur ker-janya pasang gambar, poster dan menggelar aca-ra seremonial untuk memberikan kesan kepada rakyat bahwa mereka sudah bekerja. Tolok ukurnya adalah pencapaian secara lang sung dan the end of product-nya. Sudah bukan saatnya became popular dan became trusted by people. Ke sempatan lima ta-hun harus diisi dengan prestasi. Jangan hanya jadi orang yang haus popularitas. Saya lihat sudah ban-yak koran dan majalah isinya gambar Pakde Karwo dan keluarganya, de ngan menggunakan anggar an negara. Buat apa, itu kebiasaan lama yang harus ditinggalkan. Saatnya bersama rakyat dengan rakyat membangun rakyat lebih sejahtera dan sandang pangan tercukupi. Permasalahan klasik yang tiap tahun muncul harus dapat diselesaikan.

Provinsi Jawa Timur akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (Pilgub Jatim) pada 29

Agustus 2013. Pesta demokrasi itu diharapkan dapat memilih pemimpin untuk membuat Jawa Timur yang baru. Ya, Jawa

Timur yang lebih greget, makmur, dan sejahtera bagi se-luruh rakyat. Paling penting lagi, pemimpin yang komit dan konsen terhadap pemberdayaan dan pem bangunan pede-

saan. Pemimpin baru untuk Jawa Timur baru ! Mengapa harus pemimpin baru ? Apakah

selama ini Pakde Karwo dan Gus Ipul tidak berhasil ? Lalu Jawa Timur baru itu seperti apa ? Bagaimana untuk memulai

perubahan itu ? Berikut wawancara Budi Harminto dari Suara Desa dengan Pem-

bina AKD Jatim R.H. Dwi Putranto Sulak-sono tentang berbagai persoalan politik dan

perubahan kepemimpinan di Jawa Timur.

Wawancara KhususEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 13

untuk Jawa Timur Baru Pemimpin Baru

Page 14: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201314 desapr Wawancara Khusus

rintahan. Mereka seolah-olah takut akan kehilangan poin lagi untuk achievement, takut ke hi langan poin pencapaian lagi.

Mereka khawatir kalau diberikan di awal masa peme rintahan akan mentok, sehingga tidak ada lagi yang dicapai di masa berikutnya. Padahal kita tidak bisa begitu kalau ingin mempertahan kan ja-batan atau posisi itu. Hidup ini kalau kita berkarya kita akan punya check of track record. Kalau hal ini kita jaga kita akan jadi reference, refe rensi, atau patokan. Dan kalau reputasi itu kita pertahankan, kita akan akan menjadi guaranteed person. Apapun yang pekerjaan yang diserahkan pasti berhasil, pasti oke.

Saya kira Pakde Karwo dan Gus Ipul lupa hal ini. Mereka sebagai pejabat publik seharusnya tidak berpikir lagi populari-tasnya untuk melawan siapa. Masak gara-gara muncul Khofifah Indarparawansa me-reka sudah goyang semua. Saya kira Pakde Karwo tidak pede. Saya kira kalau sudah dijawab dengan kerja yang baik dan mak-simal selama ini tidak khawatir lagi ada penantang lamanya, yang konon dia sebe-narnya yang berhak jadi gubernur. Allahu a’lam bishawaab. Allah Yang Maha Tahu. Saya kira Pakde Karwo tahu, apakah dia berhak betul jadi gubernur atau tidak.

Figur seperti apa yang harus dipilih oleh rakyat Jatim dalam Pilgub 2013 nanti ?

Tahun 2013 adalah point of no return. Istilah itu dalam dunia penerbang an, ada-lah titik yang harus dilewati, mau tidak mau harus dilalui dan ditembus. Juga mau tidak mau harus dipilih dan harus dilaksanakan proses pemilihan pemimpin di Jawa Timur. Saran saya, rakyat Jawa Ti mur harus benar-benar bisa memilih pemimpin yang mampu mengubah nasib rakyat secara kongkrit, bukan teoritis di kertas, konseptual tapi tidak aplikatif di lapangan.

Buat apa memilih doktor atau profesor kalau bisanya hanya ngajar teoritis saja, tapi tidak bisa menunjukkan secara lang-sung aplikatif di lapangan yang langsung berdampak pada rakyat itu sendiri, baik se-cara ekonomi, sosial, kultural, politik , dan sebagainya.

Jadi kalau rakyat berpikir akan ada satrio piningit tidak apa-apa. Karena masyarakat Jawa Timur sangat majemuk dan plural baik secara etnik dan kultural. Saya rasa ada beberapa kelompok kultur, seperti madura, ma taraman, pendalung-an, arek, osing, pe sisir dan sebagainya. Demikian juga banyak etnis, ada China, Gujarat, Jawa, Madura, dan sebagainya. Meskipun masyarakat Jawa Timur plural dan tidak homogen, tapi ketika dihadap-kan pada satu pilih an dan satu titik yang bersinggungan de ngan kepenting an ber-sama, mereka akan kompak. Mereka akan mengatakan pemimpin ini benar atau tidak, efektif atau tidak efektif. Itu yang akan dijadikan patokan bagi mereka. Ka-lau selama ini Pakde Karwo-Gus Ipul dini-lai cukup memberikan kontribusi nyata sesuai janji kampanye, mereka akan ter-pilih lagi. Tapi saya kira masyarakat Jawa Timur tidak bodoh. Saya kira masyarakat Jawa Timur tidak mau apes atau sengsara. Kalau dalam film James Bond ada seri 1-2, maka tidak ada yang mau apes atau sen-gsara 1-2 kali.

Saya kira kita rindu pemimpin se perti Pak Noer, Pak Sunandar Prijosudarmo, dan Ali Sadikin seperti di Jakarta. Kita rindu dijadikan rakyat oleh pemimpin yang bijaksana seperti Raja Hayamwu-ruk. Silakan pesta demokrasi 2013 dijadi-kan kesempat an secara arif dan bijak-sana, tidak menista incumbent, misalnya bila incumbent kalah. Atau muncul calon yang baru atau incumbent menang lagi. Paling penting poin yang harus disikapi adalah masa depan Jawa Timur dengan pilihan yang tepat, pilih an yang benar-benar bisa diharapkan secara akal sehat bukan hanya bersifat analitas dengan ge-lar ilmu tertentu.

Pimpinlah Jawa Timur dengan nurani. Jangan awali dengan kebohong an. Saya pikir kepala desa, rakyat Jawa Timur, dan siapapun yang mendukung Pakde Karwo

tahu apakah janjinya ditepati atau dilak-sanakan Pakde Karwo sebagai pemimpin. Saya kira itu sudah cukup untuk dijadikan pencitraan yang langsung bukan rekaya-sa, apa kah Pakde Karwo layak diteruskan atau tidak, layak diberi kepercayaan un-tuk memimpin Jawa Timur dua kali.

Saya kira kita bisa menyikapi, apakah kepemimpinan beliau berpihak pada rakyat atau tidak. Kalau tidak bisa me-nyediakan kambing yang bagus ya jan-gan bikin program kambing, hanya akan ngelarani (melukai) hati rakyat kecil. Ka-lau tidak melaksanakan pem bangunan di desa dengan baik ya jangan berjanji. Jan-ganlah mengumbar janji, janji itu adalah utang, dan nanti akan ditagih. Juga jan-ganlah ngumbar publikasi untuk mencari ketenaran. Kalau sudah jadi pemimpin itu sudah terkenal. Rakyat paling gob-lok dan miskin pun tahu beliau pemimpin atau gubernurnya. Jangan gampang memberikan pendapat atau statemen kalau memang tidak akan dipilih untuk dilaksanakan.

Apapun rakyat Jawa Timur sila-kan saja memilih. Siapapun yang ter-pilih harus kita dukung. Sebab secara de jure dan de facto, dia adalah

pemimpin yang akan dipertanggungjawab-kan dunia akhirat.

Sebagai Pembina AKD Jatim, bagaima­na saran dan hara­pan Pak Dwi terhadap kepala desa dalam Pil­gub tersebut ?

Saran saya seluruh anggota AKD Jatim harus merapatkan barisan. Pilih yang betul-betul bisa diper-caya. Ja ngan pilih tu-kang bohong. Jangan pilih yang tukang ing-kar janji. Jangan pilih yang masih haus popu-laritas. Sudah saatnya kita memimpin den-gan hati nurani yang bicara. Kita mengger-akkan rakyat untuk memilih rakyat den-gan hati nurani untuk memilih pemimpin yang benar. Kalau pilih an kita salah kita akan sengsara lima tahun ke depan. Saya kira kita bisa menilai

dan memilih siapa yang paling bisa layak untuk meng ubah rakyat Jawa Timur.

Saya kira banyak calon yang layak. Ada Khofifah, Bambang DH, Untung Rajab, dan sebagainya. Saya kira kita bisa bikin ma-trik sama-sama mengenai para calon. AKD silakan menilai, berikan analisis dan kajian secara mendalam. Pelajari karakternya, saya kira ini paling penting. Kalau tukang bohong, ingkar janji, ya jangan dipilih. Salah satu ciri-ciri munafik, kalau bicara ia bohong, kalau janji ia ingkar, dan kalau diberi amanah ia khianat. Ya, khianat kepa-da janjinya sendiri, berkhianat kepada AKD Jatim. Saya kira AKD Jatim punya perjanjian dengan Pak De Karwo hingga menyeret ke Mahkamah Konstitusi. Saya kira perjanjian itu perlu ditunjukkan kepada teman-teman, kepala desa yang baru, bahwa AKD Jatim pernah bermitra dengan Pak De Karwo.

Ini Pak De tidak komit dan berkhi-anat. Ja ngan jadi penjilat, pela-cur politik. Pilih yang benar sesuai hati nurani. Kalau Pak D e masih bisa didandani

ya silakan dipi-lih. Tapi ada

pepatah b i -

lang, kalau watuk bisa diobati, tapi watak dibawa mati.

Provinsi Jawa Timur yang hetero­gen ini, menurut Bapak membutuhkan figur gubernur yang bagaimana ?

Secara umum, saya kira figur guber-nur yang dibutuhkan rakyat Jawa Timur sekarang ini adalah sosok pemimpin yang amanah dan merakyat. Yakni, pemimpin yang bisa dipercaya ucapannya, mau me-nepati janjinya, tidak suka berbohong dan bekerja dengan hati nurani, bukan karena tendensi. Dengan kata lain, Jawa Timur butuh orang jujur yang mau bekerja keras dengan memberi contoh serta teladan yang baik kepada masyarakat. Saya kira sudah bukan waktunya lagi rakyat memi-lih orang yang suka ‘bersolek’.

Siapapun orangnya yang akan maju menjadi cagub, untuk mengubah Jawa Timur agar lebih maju dan sejahtera dari sekarang, dibutuhkan pemimpin yang be-rani dan jujur. Hanya dengan dipimpin orang yang baik, Jawa Timur akan se-makin melesat ekonominya dan sejahtera rakyatnya. Sebab, Jawa Ti mur itu kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Siapapun yang memimpin Jawa Timur tinggal meng elola dan memane-jnya. Karena itu, sudah saatnya rakyat Jawa Timur dengan cerdas memilih pemimpin yang baik dan amanah.

Dan, menjadi pemimpin yang baik itu harus dimulai sebagai hamba Allah yang sholeh, anak yang sholeh bagi orang tu-anya, suami yang baik bagi istri nya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, saudara yang baik bagi sesamanya dan umat yang baik bagi agama nya. Kalau syarat men-jadi pemimpin yang baik itu belum terpa-tri pada diri pemimpin itu, saya kira tidak pantas memimpin rakyat Jawa Timur.

Kelihatannya pandangan yang dis­

ampaikan Bapak itu sangat idealis dan subjektif sekali, apakah itu kare­na Bapak punya keinginan untuk men­calonkan diri menjadi Gubernur Jawa Timur ?

Maaf, sekali lagi maaf. Saya ingin te-gaskan, saya sama sekali tidak punya am-bisi untuk menjadi gubernur Jawa Timur. Jangankan menjadi gubernur, jadi men-teri saja saya tidak bermimpi. Saya sangat bersyukur dengan kondisi sosial ekono-mi keluarga saya seperti sekarang ini. Itu nikmat yang luar biasa yang dikarunia-kan Allah kepada sekeluarga.

Jadi, kalau ada yang mencurigai saya selama ini, dengan anggapan saya punya ambisi memimpin Jawa Timur, berarti mereka tidak paham saya. Apakah salah saya berpendapat seperti itu sebagai war-ga Jawa Timur. Justru yang saya lakukan selama ini merupakan bentuk kecintaan saya terhadap Provinsi Jawa Timur dan rasa empati saya kepada masyarakat di Jawa Timur.

Saya tidak punya kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan kepenting-an apa pun namanya di Jawa Timur. Itu semua saya lakukan semata-mata karena rasa cinta saya sebagai orang Jawa Timur.

Sudah delapan

AKD silakan menilai, berikan analisis dan kajian men-

dalam. Pelajari karakternya, saya kira ini paling penting.

Kalau tukang bohong, ingkar janji, ya jangan dipilih. Salah

satu ciri-ciri munafik, kalau bicara ia bohong, kalau janji ia

ingkar, dan kalau diberi amanah ia khianat.

Page 15: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Wawancara KhususEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 15

tahun lebih saya sebagai pembina AKD Jawa Timur dan selama itu pula saya tidak pernah menungganginya atau memanfaat-kannya. Kalau saya punya kepentingan atau nafsu politik, sejak dulu saya sudah meng-gunakan AKD untuk alat kepentingan saya.

Justru saya selaku Pembina AKD Jawa Timur, selama delapan tahun le bih, selalu menjaga AKD sebagai organi sasi yang inde-penden dan bebas dari kepentingan kelom-pok-kelompok tertentu. AKD bisa berjalan sesuai relnya, yakni wadah bagi kepala desa memperjuangkan kepentingan masyarakat desanya.

Catat besar-besar, saya hanya ingin men-jadi kiai yang memimpin pesantren, dan menghasilkan generasi yang mengamalkan ajaran al-Qur’an secara kaaffah (sempurna). Pesantren yang melahirkan para enterpre-neur yang berpijak pada Hadist dan Quran.

Kalau memang demikian, apa yang

harus dilakukan rakyat Jawa Timur dalam Pemilu Gubernur nanti ?

Jawa Timur saat ini pada posisi yang kritis. Kritis kenapa, seolah-olah tidak ada calon lain yang dapat mengalahkan incumbent. Padahal tidak demikian. Kalau Khofifah maju masih tetap berpeluang me-nang. Kalau Bambang D.H. berpasangan dengan Khofifah bukan tidak mungkin akan menang. Apalagi masih ada Untung Rajab dan putra-putra terbaik Jawa Timur di negeri ini. Fenomena Jokowi menunjuk-kan bahwa incumbent tetap bisa dikalah-kan. Padahal kurang bagaimana reputasi Foke, ia seorang doktor yang hebat lulusan Jerman, dan sudah menyiapkan segalanya. Tapi ia kalah dalam satu hal, yakni dalam kepemimpinan itu track recordnya sudah tercatat, dan the end of productnya sudah

bisa kelihatan. Karena itu saya hanya ber-pesan satu hal dalam pesta demokrasi nanti, jangan salah memilih pemimpin. Se-bab, sekali salah memilih pemimpin, akan rugi selama lima tahun ke depan. Pilihlah pemimpin yang bertanggungjawab dan amanah.

Banyak para kepala desa dan masyarakat desa yang sependapat dengan Pak Dwi. Namun juga ada yang menilai Pak Dwi terlalu “nylekit” (pedas, red.) mengkritisi kepemimpi­nan di Jawa Timur. Apa sih yang di­inginkan Pak Dwi sesungguhnya?

Sampean kok juga belum percaya terhadap apa yang saya sampaikan dan saya inginkan. Sebagai seorang yang beragama Islam, keinginan saya hanya satu, ingin punya pesantren dan menjadi kiai yang mengasuh pondok pesantren. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya ingin melahirkan generasi yang hafal dan kaffah menjalankan ajaran al-Qur’an, yang mampu memberikan te-ladan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat di sekeli lingnya.

Alhamdulillah dalam kehidupan du-niawi, Allah SWT telah memberikan saya segalanya. Pencapaian duniawi saya sudah tidak bisa diukur lagi oleh harta yang sudah dilimpahkan Allah SWT, atau memburu kekuasaan dan mengangkangi sebuah jabatan di republik ini. Saya in-gin seperti Rasulullah Muhammad SAW yang seluruh hidupnya diabdikan untuk ummat dan menjalankan semua perin-tah Allah SWT. Saya ingin seluruh ke-hidupan saya, benar-benar untuk peng-abdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta agama. Ya, kehidupan saya

sudah tidak pada level pencapaian untuk menjadi A, B, C, atau D, saya hanya ingin pengabdian total terhadap perubahan masyarakat yang lebih baik.

Apakah dengan menjadi Pembina AKD Jatim, tidak dapat disebut keingi­nan terhadap pencapaian tertentu ?

Mas, tolong dicatat besar-besar, bahwa hampir sembilan tahun saya membidani AKD Jatim, saya tidak pernah meman-faatkan para kepala desa di Jawa Timur untuk kepentingan saya agar saya menja-di ini itu. Sudah ratusan miliar uang saya keluarkan untuk AKD Jatim, tapi sampai sekarang saya tetap bukan siapa-siapa. Waktu sembilan tahun adalah waktu yang panjang untuk sebuah investasi so-sial, politik, atau ekonomi agar saya men-jadi siapa dan siapa. Masak ada orang di Jawa Timur atau kepala desa yang belum mengerti juga dengan apa yang sudah saya lakukan untuk AKD Jatim.

Tolong juga dicatat tebal-tebal, saya hanya ingin kepala desa berdaya, saya hanya ingin memberikan pencerahan kepala desa lewat pemikiran saya, tena ga saya, maupun harta saya. Lihatlah seka-rang ini, kepala desa lebih berani dan terorganisasi. Akibatnya, dana pembangu-nan ke desa sekarang ini meningkat diban-dingkan sebelum tahun 2004. Meski de-mikian, masih banyak aturan yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerin-tahan di atasnya. Misalnya, saja Bantuan Keuangan Desa (BKD) dari Pemerintah Provinsi yang seharusnya diturunkan tiap tahun untuk tiap-tiap desa, belum juga di-laksanakan hingga kini. Ke mana larinya APBD Jatim sekitar Rp 12 triliun ? Ini hak desa, maka kepala desa harus menuntut hak itu. APBD jangan hanya dihambur-

kan untuk pencitraan para penguasa ang-garan, seperti pasang gambar dan baliho besar-besar dan membayar iklan di me-dia massa. Coba dihitung berapa jumlah APBD yang dihamburkan untuk kepent-ingan pribadi para bupati atau gubernur, bukan untuk membantu dan mengentas-kan kemiskin an. Semboyannya makmur bersama wong cilik, tapi dana jamkesmas dihapus, kambing-kambing yang diterima orang miskin pada mati semua, dan jalan-jalan rusak di desa dibiarkan, dan saluran irigasi pada amburadul tak berfungsi. Para pemimpin dan pejabat bisanya berlomba-lomba ngakali bagaimana menggarong uang negara.

Saya melihat dan mempelajari, bah-wa kemajuan di negeri ini harus dimu-lai dari desa. Selama ini posisi desa dan masyarakat desa tidak atau belum menjadi prioritas utama bagi program pembangunan di negeri ini. Karena itu, kemajuan itu harus dimulai dari cara berpikir para pemimpin yang ada di desa, yakni kepala desa. Apalagi, kepala desa merupakan ujung tombak dalam sistem pemerintahan, maka sesung-guhnyalah mereka yang paling lang-sung dan berperan terhadap kemajuan bangsa ini. Bagi saya, kalau kepala desa berdaya, maka desa akan sejahtera, dan negara pun akan berjaya. Kepala desa berdaya luas artinya. Ya, dia akan men-jadi paham tugas dan kewajibannya dalam sistem pemerintahan, paham persoalan hukum, tahu menggali potensi ekonomi masyarakatnya, dan sebagainya. Lebih penting lagi, mereka memiliki keberanian untuk mengatakan mana yang lebih baik atau lebih buruk. Juga diingat, dalam mem-besarkan AKD Jatim saya tidak mengguna-kan uang negara se peser pun. (bdh, fat)

SEPULUH kepala desa menjadi bupati atau wakil bupati di Jawa Timur. Itulah impian dan tekad R.H. Dwi Putranto Sulaksono (DPS), pembina sekaligus figur utama yang membidani berdirinya AKD Jatim. Betapa tidak, sejatinya jika bersatu para kepala desa akan dapat mewujudkan keinginan mereka selama ini.

“Yaitu, kedaulatan desa dan dana yang mencu-kupi bagi pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat desa,”ujar DPS.

Karena itu, DPS berharap AKD Jatim sebagai wadah bagi perjuangan tersebut. Potensi kepala desa menjadi pemimpin di daerahnya, seperti bupati atau wakil bupati sebenarnya cukup besar. Toh, saat ini sudah ada kepala desa yang menjadi bupati, seperti M. Amin di Ponorogo.

Demikian pula sudah banyak kepala desa yang menjadi anggota DPRD, seperti M. Nizar Zahro (Bangkalan) menjadi anggota DPRD Jatim. De-mikian pula beberapa kades yang menjadi ang-gota DPRD di wilayahnya, misalnya H. Toni MS di Nganjuk, Ali Basri di Magetan, dan Harley Priyato-moko di Bondowoso. Bahkan di Pasuruan ada tiga mantan kades sudah menjadi anggota DPRD, juga di Sumenep, Pamekasan, dan sebagainya.

DPS mendirikan dan membesarkan AKD Jatim pada 5 Mei 2005, dilandasi niat yang tulus dan ikhlas agar kepala desa memiliki profesionalisme, indepen-densi dan amanah. Selanjutnya mereka dapat ikut berkiprah dalam pembangunan di tanah air, khusus-nya di Provinsi Jawa Timur. Salah satu caranya, merebut kekuasaan di wilayahnya masing-masing.

“Toh ada mekanisme calon dari unsur inde-penden. Bila perlu dibuat kontrak politik dengan calon bupati dari kepala desa yang akan diusung bersama.,”ujar pria kelahiran Tuban ini.

Lebih jauh DPS menegaskan, selain berjuang secara politik AKD Jatim diharapkan memberi man-faat besar bagi pemberdayaan anggotanya maupun masyarakat desa, sehingga lebih professional, inde-penden, dan amanah. Setiap kades harus profession-al dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai birokrasi pemerintahan.

Pengetahuan kepala desa tentang hukum dalam sistem administrasi negara, keuangan negara,

manajemen pemerintahan, hingga berbagai kebijakan pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah kabupaten diharapkan selaras dengan pembangunan yang berlangsung.

“Sehingga tidak ada lagi berita bahwa para kepala desa tersandung kasus hukum hanya karena ketidaktahuannya terhadap hukum dan sistem administrasi negara di republik ini,”ujar Ketua Yayasan Dwiyuna Jaya ini.

AKD Jatim perlu menunjukkan sikap indepen-den. Seringkali kepala desa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, bahkan ‘dijual’. Misalnya, dimanfaatkan memberi suara dalam pilpres, pilgub, pilbub dan pileg. Ironisnnya set-elah hajatan selesai, tidak ada program pro desa, bahkan para pemimpin maupun wakil rakyat itu

seolah-olah lupa janji-janjinya.Dalam kondisi seperti ini, AKD Jatim harus berani

bersikap independen dalam setiap kegiatan pemi-lihan presiden, kepala daerah maupun legislatif. AKD Jatim harus berani melakukan tawar menawar. Lebih tepatnya, AKD Jatim harus berani membuat kontrak politik dengan para calon peserta pemilihan kepala daerah maupun calon anggota legislatif.

Keberanian dan kekuatan dalam tawar menawar ini harus semata-mata didasarkan pada kepentingan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa untuk terciptanya kemakmuran dan kes-ejahteraan di desa itu sendiri. Sebab jabatan kepala desa merupakan amanah rakyat desa, yang sebagian besar masih miskin dan kondisi desa yang terbela-kang. (bdh)

Selalu Impikan Kades Jadi Bupati

Page 16: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201316 desapr Rona Desa

DESA sebagai akar dari demokrasi, ‘terlupa-kan’ dari perhatian pemerintah pusat. Terbuk-Terbuk-ti dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), tak ada dana yang dianggarkan oleh pemerintah. Para calon ‘dipaksa’ untuk membayar biaya pelaksanaan Pilkades. Itulah kondisi yang terjadi di desa saat pelaksanaan Pilkades.

Rosiki, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) mengatakan, seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan alokasi dana untuk pilkades. Karena pilkades itu juga amanat konstitusi. Tidak hanya pemilihan gu-bernur dan kepala daerah yang harus didanai pemerintah.

“Sebenarnya dana Pilkades yang dibebank-an kepada calon itu adalah paradigma yang keliru. Karena hadirnya pemerintahan di level desa bukan keinginan masyarakat. Tapi karena mandat konstitusi,” jelasnya.

Seharunya, tambahnya, segala biaya pe-nyelenggaraan pilkades juga diatur oleh pe-merintah pusat. Akibat tak dibiayai peme-rintah pusat, tak jarang pesta demokrasi desa itu malah menjadi ajang bisnis bagi oknum pemerintah daerah. “Kalau calon sudah dipe-ras, jangan salahkan jika terpilih, malah rakyat yang jadi mangsa,” katanya.

Bambang Sutrisno, anggota Badan Perwak-ilan Desa (BPD), di Desa Cerme, Kabupaten Bondowoso, mengatakan, sekarang ini hampir setiap pemilihan kepala desa, marak dengan praktik politik uang. Tradisi tersebut, akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah pusat pada proses pilkades yang menjadi akar munculnya demokrasi.

Pilkades, yang merupakan salah satu in-strumen terbentuknya demokrasi lokal, jelas Bambang, seharusnya masyarakat menda-patkan nilai-nilai pendidikan demokrasi di

Ada daerah yang telah menja-dwalkan pilkades serentak dalam sehari selesai, namun ada daerah yang memilih

bertahap atau digelar dalam beberapa gelombang. Selain itu, ada juga kabupa-ten yang terpaksa menjadwal ulang pil-kades di daerahnya, karena bertepatan dengan pemilu kepala dearah, seperti Kabupaten Lumajang, Bondowoso, Ma-diun, Magetan dan Jombang.

Dari data yang dihimpun di lapangan, Kabupaten Lamongan misalnya, akan menggelar pilkades serentak di 381 desa mulai Mei 2013. Kemudian Kabupaten Sidoarjo ada 176 desa yang akan meng-gelar pilkades mulai September. Sedang-kan Kota Batu, ada 11 desa dan Kab. Jem-ber 161 desa, Gresik 245 desa yang akan dihelat Maret dan Agustus.

Sementrara di Kabupaten Malang ada sebanyak 226 kepala desa yang meng akhiri tugasnya dan pilkades akan dimulai April. Sedangkan di Kab. Jom-bang sebanyak 287 desa akan menggelar pilkades serentak September nanti, usai pimilu bupati dan pemilu gubernur.

Di zaman demokrasi terbuka seper-ti sekarang ini, pelaksanaan pilkades semakin menyedot perhatian banyak orang. Tak hanya masyarakat desa se-tempat yang mempunyai kepentingan langsung dengan calon pemimpinnya, namun pilkades tak jarang mengun dang nafsu para botoh (penjudi, red) dan po-litisi untuk ikut bermain. Tujuannya je-las, mereka ingin menginvestasikan mo-dalnya untuk meraup keuntungan dari desa setempat dengan memanfaatkan momen pilkades.

Bagi botoh, keuntungan finansial me-rupakan motif utama ikut bermian dalam pilkades. Sebaliknya bagi politisi, dengan berinvestasi melalui salah satu satu calon, harapannya kelak bisa mendapat imbal-an berupa dukungan suara pada pemilu legislatif atau saat mereka mencalonkan diri dalam pemilu kepala daerah.

Begitu strategisnya pilkades, sehingga dalam pesta demokrasi di desa sekarang ini sarat dengan kepentingan dan perta-rungan. Pilkades tidak sekadar memilih pemimpin desa, tapi juga memilih ben-dera dan afiliasi politik. Konsekuensinya, pertarungan calon sekarang ini tidak ha-nya sebatas antar individu para calon, tapi bisa lebih luas antar partai atau golongan.

Karena itu, menjelang pergantian ke-pala desa, berbagai cara pun dilakukan, tak terkecuali jika harus menggunakan politik uang atau menggunakan kekua-saan untuk menancapkan pengaruhnya.

Bahkan jauh sebelum pelaksanaan pil-kades, pemindahan kekuasaan pun bisa ditransaksinonalkan.

Seperti peristiwa heboh yang terjadi di Kabupaten Lumajang. Penundaan Pilka-des di Lumajang, termasuk penunjukan Pejabat Sementara (PJs) menuai kritikan karena dianggap kontroversi. Akibat pen-undaan ini para calon kepala desa berikut para pendukungnya sempat menggelar demo besar-besaran di Lumajang.

Agus Wicaksono, salah satu calon Bu-pati Lumajang menegaskan, penundaan pilkades di Kab. Lumajang menjelang Pemilihan Kepala Daerah adalah sebuah langkah yang sarat dengan kepentingan politik dan bertujuan untuk melanggeng-kan kekuasaan. Menurut Agus, Pemili-han Kepala Desa adalah hak rakyat yang seharusnya digelar sesuai dengan perun-dang-undangan yang berlaku.

“Saya sangat menyayangkan langkah pemerintah Kabupaten Lumajang yang melakukan penundaan Pilkades di 134 Desa. Itu adalah hak rakyat. Saya tahu penundaan Pilkades hanya untuk kepent-ingan politik. Hanya untuk melanggeng-kan kekuasaan dengan cara tidak melak-sanakan Pilkades yang sebenarnya telah diatur dalam Perundang-undangan yang berlaku,” kata Agus Wicaksono pada aca-ra deklarasi pencalonannya.

Hampir sama juga terjadi di Sume-nep. Tarik menarik kepentingan juga terjadi antara eksekutif dan legislatif. Keduanya sampai saat ini ternyata be-lum satu kata dalam menerjemahkan pilkades serentak. Padahal rencananya, pilkades serentak di Sumenep akan di-gelar pada Mei 2013 nanti.

Pemkab Sumenep memaknai pilka-des serentak bisa dilaksanakan dalam satu bulan dengan dibagi beberapa hari pelaksanaan. Pemkab merencanakan pilkades dilakukan dua tahap, yakni pada Mei dan Oktober. Sedangkan DPRD menerjemahkan pilkades serentak ha-rus dilaksanakan serentak satu hari.

Anggota Komisi A DPRD Sumenep, Rukminto menjelaskan, yang dimaksud dengan Pilkades serentak itu pelak-sanaannya dilakukan dalam satu hari, bukan dalam satu bulan dengan bebe-rapa hari pelaksanaan. Menurutnya, di beberapa daerah lain seperti di Ma-lang, pilkades serentak dilakukan da-lam satu hari.

“Kami sudah studi banding ke bebe-rapa daerah yang melaksanakan pilka-des serentak. Ya semuanya dilaksana-kan dalam satu hari. Kalau alasannya personel keamanan tidak cukup untuk

mengamankan, itu kurang rasional. Di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, saat pelaksanaan pilkades itu hanya ada tiga personel keamanan di setiap desa yang menyelenggarakan pil-kades,“ katanya.

Menurut Rukminto, salah satu tuju-an dari pilkades serentak adalah untuk meminimalisir terjadinya konflik dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan pilkades seperti judi. “Teorinya memang apabila terjadi konflik, pihak keamanan yang harus mengamankan. Tapi realitas di lapangan, masyarakat lebih bertang-gung jawab atas pelaksanaan pilkades itu,“ ujarnya.

Rukminto bersikukuh, apabila pil-kades serentak dimaknai dengan dilak-sanakan dalam satu bulan, berarti su-dah menyalahi maksud dan tujuan dari dilaksanakannya pilkades serentak.

“Kami sudah susah-susah melakukan studi banding ke beberapa kabupaten/kota. Kami juga sudah menganggarkan dana pelaksanaannya. Tapi ternyata Pemkab kok masih akan melaksana-kan pilkades secara bertahap, ada apa ?. Tujuan kami melaksanakan pilkades serentak itu untuk mempersempit terja-dinya judi yang menyebabkan konflik di masyarakat,“ paparnya.

’Sengketa’ kepentingan menjelang pilkades serentak juga terjadi di Malang. Pilkades secara serentak yang dijadwal-kan berlangsung pada Minggu, 7 April 2013 mendatang mendapat tentangan dari paguyuban camat se Kabupaten Malang. Tapi sumber persoalannya bu-kan karena pilkades itu dilakukan se-rentak atau bertahap, melainkan waktu pemilihan.

Menurut Suroto, ketua paguyuban camat, pilkades serentak yang digelar Minggu 7 April di 226 desa yang terse-bar di 33 kecamatan itu, dinilai tidak efisien. “Kami hanya minta Pemerintah Kabupaten Malang mempertimbang-kan pelaksanaan. Tujuannya, pemilih yang memiliki hak suara bisa maksi-mal dalam menyalurkan aspirasi atau hak pilihnya. Mengingat, jadwal yang ditentukan itu, bertepatan dengan hari libur,” kata Ketua Paguyuban Camat se-Kabupaten Malang, Suroto.

Pria yang juga Camat Karangploso itu menegaskan, pengalaman tahun-tahun sebelumnya, jika pelaksanaan pilkades dilakukan di hari libur, maka aspirasi atau hak pilih warga tidak maksimal. Penyebabnya, bisa jadi karena hari libur dioptimalkan warga atau masyarakat untuk urusan pribadi atau keluarga.

”Kondisi ini, berbeda dengan Pemili-han Umum (Pemilu). Karenanya, mohon ada pertimbangan untuk penetapan waktunya. Mau dimajukan silahkan, dimundurkan juga silahkan. Jika perlu, camat diajak bicara mengenai ini,” ter-angnya.(*)

Menangguk Untung dari Pilkades Serentak

Masyarakat Jawa Timur tahun ini punya gawe besar. Selain haja-tan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, yang tak kalah menariknya per-helatan besar tahun ini adalah pesta demokrasi di desa. Ya, hampir seluruh kepala desa di Jawa Timur tahun ini mengakhiri tugasnya, sehingga harus digelar pemilihan kepala desa (pilkades).

Pilkades, akar demokrasi Berbuah korupsi

Suasana Pemilihan Kades di Desa Pagu, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri.

Page 17: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Rona DesaEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 17

dalamnya. Misalnya, bagaima-na masyarakat bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani masyarakat setem-pat. “Tidak memilih karena ada duit,” katanya.

Prof. Dr Mas’ud Said, Asis-ten Staf Khusus Presiden Bi-dang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, menyatakan, demokrasi lokal itu tumbuh dari proses pemilihan kepala desa. Hal itu sudah ada sebelum In-donesia terbentuk, yakni antara tahun 1920 hingga tahun 1945.

Pilkades, sebagaimana ter-cantum dalam peraturan pe-merintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005 tentang desa, dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari warga setem-pat, yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). “Proses demikian harus berlangsung se-cara demokratis. Jangan malah mencederai proses demokrasi lokal,” katanya.

Melihat kondisi tersebut, Air-langga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, maraknya praktik politik uang saat pilkades itu karena tidak ada transparansi dan keterbukaan. “Akhirnya, pe-laksanaan dan sistem pilkades jalan sendiri. Tanpa ada aturan yang mengontrolnya,” jelasnya.

Sekretaris Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Jawa Timur, Mu-hammad Muzammil, menilai bahwa praktik korupsi yang ter-jadi di desa merupakan salah satu dampak dari maraknya ka-sus korupsi pada tingkat daer-ah, provinsi maupun nasional. “Terjadinya politik uang di desa setiap akan pilkades, itu karena masyarakat masih belum paham apa itu demokrasi,” katanya.

Karena itu, tambahnya, ke depan tugas pemerintah, mulai dari daerah hingga pusat, tidak me lupakan proses demokrasi di level desa. Masyarakat harus terselamatkan dari politik uang. Bagi calon kepala desa, juga ha-rus tidak membeli suara rakyat dengan uang.Jika masyarakat tak dididik dengan politik uang, secara perlahan akan memaha-mi apa makna demokrasi yang sebenarnya.

Menurut Umami, Ketua Fo-rum Komunikasi antar Kepala Desa dan Aparat Desa (FOKAP) Ka bupaten Situbondo, untuk memberikan kesadaran nilai-nilai demokrasi, masyarakat desa harus terus menerus diberikan pemahaman tentang filosofi demokrasi. “Tanpa pen-“Tanpa pen-didikan dan pemahaman demo-krasi akan tetap rendah,” kata Umami.

Karena itu, tambah Umami, harus ada perhatian khusus dari pemerintah untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang demokrasi. “Tugas kita bersama, pemerintah desa, tokoh masya-rakat, pemerintah daerah hing-ga pusat memberi pemahaman yang utuh kepada masyarakat akan makna demokrasi,” katanya

“Termasuk konflik yang ter-jadi antar warga desa pasca pil-kades, itu sebetulnya tanggung jawab bersama. Bukan hanya pemerintah desa dan kepolisian. Tapi semua masyarakat ikut ber-tanggungjwab,” tambah perem-puan berbadan subur ini mema-parkan.(*)

Biaya Pilkades, Pemicu korupsisurat edaran kepada panitia yang akan menggelar pilkades serentak 26 dan 28 Maret mendatang. “Ke depan hendaknya seluruh biaya pilkades ditanggung APBD sehingga ada standar patokan biaya,” kata Jufriyadi.

Sepakat dengan Jufriyadi, Dimyati, Ketua MCW (Madiun Coruption Watch) menegaskan, jika pelaksanaa Pemilu, Pilpres serta Pilgub semua anggaran dibebankan pada APBN, seharusnya pelaksanaan pilkades anggarannya juga dibebankan pada APBD.

Di Kabupaten Madiun sendiri sudah ada ketentuan, biaya penyelenggaraan pilkades ditetapkan Rp 40 juta - Rp 70 juta per desa, tergantung jumlah pemilih. Biaya tersebut dibebankan pada masing-masing calon Kades, sehingga untuk maju menjadi calon kades mereka setidaknya memerlukan biaya Rp 14 juta-Rp 20 juta.

Kondisi sangat berbeda terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Menurut Kepala Ba-gian Pemerintahan Pemkab Sidoarjo, Ali Imron, Pemkab Sidoarjo sudah mengang-garkan bantuan biaya pilkades hingga pelantikannya pada tahun anggaran 2013. Total anggaran anggaran Pilkades sebesar Rp2,843 miliar. Sedangkan jumlah Kades yang habis masa jabatannya tahun ini sebanyak 178 desa, tersebar di 18 keca-matan.

“Para kepala desa yang purna tugas juga akan diberikan tunjungan masa pur-na bakti sebesar Rp10 jutaan per Kades. Bukan hanya itu, bantuan biaya pelan-tikanpun juga disediakan oleh Pemda sebesar Rp 445 juta, masing-masing desa Rp 2,5 juta, ” jelasnya.

Terlepas dari pro kontra besaran biaya penyelenggaraan pilkades, pemerintah seharusnya sudah waktunya memikirkan dan mengambil alih pembiayaan pilkades. Sebab, desa adalah ujung tombak pemer-intahan terdepan sekaligus pusat pendidi-kan demokrasi alami.

Selama pilkades masih dibayang-bayangi besarnya biaya, jangan harap pemerintahan desa berjalan bersih dan bebas korupsi. Demikian juga jangan bermimpi demokrasi berjalan sesuai den-gan ghirohnya, selagi para calon kepala desa masih dibebani biaya yang macam-macam untuk pilkades. Politik uang pasti masih merajalela.(*)

bungan, yang rencananya bakal macung lagi dalam pilkades yang akan digelar Mei nanti.

Menurutnya, karena biaya pilkades mahal inilah maka ia khawatir bisa menjadi pemicu calon kades yang terpilih, nantinya melakukan korupsi. ”Jangan salahkan jika nanti banyak kades yang korupsi. Karena Perda-nya saja tidak ber-pihak pada kepentingan rakyat,”

tegasnya.Menanggapi besarnya

biaya pilkades dan tidak adanya keseragaman aturan penganggaran pilkades, Ketua Komisi A Bagian Hukum dan

Pemerintahan DPRD Jember, Ju-friyadi mengatakan, ada dugaan bahwa

besarnya biaya penyelenggaraan pilkades itu karena rencana anggaran biaya (RAB) disusun berdasarkan keinginan panitia

dan bukan berdasarkan standar kelaya-kan kebutuhan. ”Yang disusun per-

tama kali adalah gaji panitia, baru kemudian menghitung biaya

administrasi penyelengga-raan,” kata Jufriyadi.

Karena itu, tambah-nya, untuk menekan

biaya tersebut, Komisi A meminta kepada Pem-

kab Jember mengeluarkan

Dipicu biaya pilkades yang mahal, jangan salahkan jika nanti banyak kades yang korupsi. Karena Perda-nya saja tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

BUKAN hanya tarik menarik kepen-tingan yang mewarnai pemilihan kepala desa (pilkades), masalah pembiayaan pilkades ternyata juga sering menjadi permasalahan krusial. Apalagi UU tidak mengatur secara tegas, berapa anggaran pemerintah yang dikucurkan dalam pesta demokrasi di desa. Termasuk tidak ada sedikitpun kucuran untuk pilkades dari pemerintah pusat.

Karena itu, masing-masing daerah mempunyai hitungan sendiri. Besar ke-Besar ke-cilnya suntikan dana ke panitia pilkades tergantung selera daerah setempat. Di Kabupaten Jember, misalnya, pemerintah daerah hanya menyumbang Rp 10 juta per desa yang melaksanakan pilkades. Padahal kebutuhan penyelenggaran pilka-des, bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Dalam menentukan besarannya biaya pilkades perhitungannya adalah diten-tukan dari jumlah pemilih dikalikan ‘harga’ satu suara wajib pilih. Di Malang, misalnya, ‚harga‘ satu suara wajib pilih dihargai Rp 10 ribu. Sementara di Jember berkisar Rp 20-25 ribu per suara. Sedang-kan di Pamekasan Rp 40 ribu per suara.

Melihat ketentuan tersebut, total biaya pelaksanaan pilkades bisa tembus angka ratusan juta rupiah. Di salah satu desa di Kecamatan Kalisat, Jember, biayanya mencapai Rp 250 juta dan biaya terendah pada salah satu desa di Kecamatan Sum-berjambe, yakni Rp 40 juta.

Bahkan biaya pilkades di Pamekasan bisa jauh lebih mahal mencapai Rp 500 juta lebih. Sebab, mengacu Peraturan Daerah (Perda) Pame-kasan Nomor 6/2012, tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), besaran biaya pilkades dipatok Rp 40 ribu per hak pilih. Sehingga Desa Blum-bungan yang mempunyai 13.280 hak pilih, harus menanggung biaya pilkades Rp 531 juta.

“Sungguh berat kalau semua biaya pilkades itu dibebankan ke kami (para calon, Red). Dapat dari mana uang sebanyak itu. Gaji kami (Kades, Red) per bulan hanya Rp 1.250.000,” kata Junaedi Kades Blum-

Page 18: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201318 desapr Tilik Desa

H amparan hutan jati menger-ing. Daun-daunnya sudah tiga bulan ini jatuh meranggas. Tanah tandus berbatuan ter-

bentang memanjang di atas Pegunungan Kapur. Jalan mendaki dan berkelok-kelok baru saja diaspal, hanya truk-truk peng-angkut beras raskin yang melewatinya mengirim beras murah ke desa-desa.

Lahan kosong ditumbuhi batu-batu besar menjadi pemandangan khas di sepa-njang perjalanan yang melewati kawasan hutan gundul milik perhutani. Di tengah terik matahari itu, terlihat petani meman-faatkannya untuk memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing.

Di atas lahan kering pada musim ke-marau ini, petani masih bisa menanami jagung dan lombok.”Kalau sekarang harga lombok sedang turun, paling tinggi Rp 7000/Kg,” kata Sumaningsih petani lombok.

Di atas puncak bukti di ujung jalan pal-ing akhir dari daratan Jawa Timur bagian barat Tuban, perjalanan dihentikan ka rena selangkah lagi sudah menginjak

Blora, Jateng. Di tempat itu, Desa Jam-prong, Kec. Kenduruan, Tuban menjadi pembatas antara dua propinsi; Jatim dan Jateng.

Desa yang dihuni 1500 KK ini memiliki tiga dusun; Gunung Wurung, Kedung Du-ren dan Jamprong Krajan. Masing-masing dusun berdiri berkelompok menempati lembah perbukitan di lokasi yang terpen-car berjauhan.

Meski terpencil, Desa Jamprong meny-impan khasanah lokal yang masih diperta-hankan, yaitu rumah joglo. Deretan rumah berdinding kayu jati berdiri ringkih tak ter awat tapi kekunoannya menebarkan aroma kewibawahaan. Tiang penyanggah dari kayu jati berdiameter 20 cm berdiri tegak dan di atasnya terpasang silangan kayu membentuk tumpangsari menggam-barkan kerangka rumah tua yang masih terlihat anggun.

Rumah-rumah khas Jawa ini patut dika-gumi sebagai artefak kejayaan ma syarakat yang pernah menikmati kekayaan hutan jati.“Jamprong bisa dijadikan wisata heritage rumah tua. Pemkab harus melindunginya

sebelum warga menjual rumah joglo itu ke luar negeri,” ujar seorang pengunjung desa.

Di teras rumah joglo itu, sengatan matahari menusuk-nusuk pori-pori kulit yang terus menerus mengeluarkan ke ringat pekat. Para lelaki desa duduk santai melepas kaos oblongnya untuk sekadar mengangin-anginkan tubuhnya yang penuh peluh. Idem dento dengan para perempuan desa yang sudah terbia-sa de ngan baju terbuka di bagian dada.

Wajah lelaki dan perempuan desa itu sudah tak bercahaya lagi. Berharap dari sawah ladang bagaikan mimpi panjang yang tidak berujung, se hingga kaum rema-janya harus bermigrasi menjadi buruh kasar di kota metropolian atau berburu ringgit dan riya.

”Hal ini disebabkan tingkat pendidik an warga yang rendah, sehigga banyak warga yang bekerja menjadi buruh kasar,” kata Pakat Kades Jambrong (42).

Ada yang menamatkan sekolahnya sampai SMA tetapi jumlahnya sedikit. Paling banyak lulusan SMP. Namun de-mikian tingkat pendidikan warga saat ini lebih baik dibanding 10 tahun lalu yang sebagian besar pemudanya lulus sekolah dasar, ” kata Kades.

Perhatian pemerintah terhadap desa

Bantuan MeluapSemangat Menguap

Desa Pinggiran

pinggiran juga tampak pada bidang keseha-tan. Warga sakit pada zaman dulu, semakin sakit sudah biasa. Hal ini karena letak rumah sakit jauh dan sulit ditempuh denga cepat. Tetapi berkat Polindes dan bidan desa, warga berpenyakit ringan bisa diobati lebih cepat, sementara pasien berpenyakit berat direkomendasi berobat di Blora, Jateng.

Menurut Pakat, secara geografis, Blora dan Jamprong sudah tidak berjarak. Kedekatan jarak itu sejak lama desanya ber-gantung pada Blora, termasuk kebutuhan penerangan. Pada 10 tahun lalu, sebelum dicanangkan listrik masuk desa, kebutu-han listrik warga dipenuhi masyarakat Blora.”Sampai saat ini, masih ada satu dusun, yaitu Kedung Duren yang dialiri listrik dari warga Blora, Jateng,” kata Pakat.

Pembangunan jalan desa yang men-ghubungkan Jamprong dengan kawasan lain turut memicu perubah an. Pada saat jalan masih makadam dan berbatuan, kata Pakat untuk rapat ke kantor kecama-tan berjarak 4 Km membutuhkan waktu 2 jam. “Setelah jalan diaspal mulus, perjalanan yang jauh bisa ditempuh lebih cepat dan nyaman,” tuturnya.

Menelusuri jalanan di Tuban mulai dari kota sampai desa yang terpelosok

Di balik kesepian tersimpan bekas kejayaan. Di balik ketan-dusan ditemukan limpahan kekayaan. Di balik keterpaksaan,

nasib dipertaruhkan. Kemiskinan bukan lagi mimpi, tetapi di balik mimpi itu segudang asa direngkuh. Dengan apa dan bagaimana warga desa yang hidup di tapal batas Jatim dan Jateng melepaskan jerat-jerat kemiskinan? Berikut laporan

Suara Desa yang menelurusuri desa-desa yang terletak di tapal batas Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui jalur Utara,

Tuban, Bojonegoro, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan.

Page 19: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Tilik DesaEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 19

Hujan Rupiah di Tanah Tak Bertuah

ribu ton menyok daplang. Setelah digil-ing, pihaknya mampu memperoleh 3 ton tepung tapioka.

Jika harga tepung tapioka saat ini mencapai Rp 4 ribu/kg berarti Pakat memperoleh Rp 12 juta/hari dan dalam satu bulan dia akan mengantongi Rp 360 juta. Setelah dikurangi biaya opera-sioanl; gaji karyawan, bahan baku, solar dan lainnya, seorang pengusaha peng-gilingan tepung tapioka bisa menyim-pan dana sebesar Rp 75 juta/bulan.

Keuntungan ini, kata Irul pengusaha muda asal Tuban, bisa bertambah besar karena, sisa penggiling an menyok berupa ampas masih memiliki nilai jual tinggi, yaitu berkisar Rp 400/kg. “Jika saja setiap bulan mampu menggiling 300 ribu ton, berarti terdapat sekitar 200 ribu ton ampas yang bisa dijual seba-gai hasil sampingan. Menyok daplang memang menjanjikan baik bagi petani maupun pengusaha,” katanya.

Irul menuturkan, menyok daplang ini awalnya diperkenalkan pedagang tepung tapioka dari Pati, Jawa Tengah. Hasil uji coba penanaman menyok da-plang di lahan kering seperti Jamprong ternyata sukses, sehingga seluruh hasil panen petani diborong para pedagang Pati untuk dikirim ke pabrik-pabrik pengelolaan tepung tapioka di Pati.

Hasil menggiurkan itu menarik minat Kades Jomprang, Pakat untuk membuat mesin pengelolaan menyok menjadi tepung tapioka. Investasinya cukup besar. Untuk membuat 1 unit mesin pengelolaan tepung tapioka membutuhkan dana sekitar Rp 500 juta.”Dari mana uangnya, kalau tidak pinjam ke bank. Namun karena kebu-tuhan tepung tapioka ini masih kurang, kami memberanikan diri untuk pinjam bank sebagaiu modal mendirikan pabrik pengelolaan tepung tapioka,” kisahnya.

Mesin dan perangkatnya didatagkan dari Pati termasuk disainer konstruk-sinya. Halaman rumah kades yang tidak berfungsi dijadikan lahan pabrik

di atas lahan satu hektar membu-tuhkan investasi sebesar Rp 5 juta. Setelah ditanam selama 8 bulan, petani mendapat uang sebesar Rp 12 juta/hek-tar, sehingga setiap satu hektar petani memperoleh keuntungan Rp 7 juta. “Keuntungan ini lebih menjanjikan dibandingkan lahan tandus itu dibiar-kan mangkrak atau ditanami produk pertanian lainnya,” ujar Pakat.

Petani menyok daplang juga memper-oleh keuntungan tambahan dari batang ketela pohon yang dipanen. Batang menyok ini digunakan untuk bibit. Harga setiap satu truk batang pohon menyok dijual Rp 2 juta, padahal dalam satu hektar menghasilkan sekitar 2 truk batang, sehingga setiap panen petani memperoleh tambahan keuntungan Rp 4 juta/hektar.

Keuntungan paling besar dari menyok daplang diperoleh dari hasil pengelolaan menyok menjadi tepung tapioka. Menurut pemilik pabrik peng-elolaan tepung topiaka, Pakat, setiap hari, mesinnya mampu memproses 10

D i balik alam yang tandus dan kering, Desa Jamprong, Kec. Kenduruan, Tuban hujan rupiah. Lahan pegunungan

kapur ini, selama ratusan tahun diang-gap tak bertuah dan tidak produktif. Tetapi sejak empat tahun lalu, justru lahan yang disia-siakan itu menghidupi warga desa yang telah lelah memikul beban kemiskinan.

Menyok daplang menjadi tambang emas baru di kawasan hutan Jamprong. Tanaman berumbi ini dibudidayakan untuk diproses menjadi tepung tapi-oka. Pola tanam yang sederhana, biaya investasi rendah dan aman dari hama namun keuntungannya melimpah men-dorong petani berbondong-bondong menanam menyok.”Apalagi tanaman ini tumbuh subur di lahan kering seperti di Desa Jamprong,” kata Kades Jamprong Pakat.

Dalam kalkulasi bisnis, untuk membudidayakan menyok daplang

sekalipun sudah mulus beraspal. Bahkan jalan sempit di perkampungan juga diaspal. Jalur transportasi diprio ritaskan untuk memperlan-car arus di stribusi barang kebutuhan dari desa ke kota atau sebaliknya. Pembangunan jalan juga menjadi pintu pembuka era kehidupan baru bagi masyarakat yang puluhan tahun tertinggal di kawasan hutan tertutup, seperti Jamprong.

Era reformasi telah membuka harap an baru. Banjir bantuan meluap, mulai dari BLT, konversi minyak gas ke LPG, BOS, bantuan pendidikan anak miskin dige lontorkan ke desa. Begitu pula bantuan jaminan kesehatan masyarakat dan penjualan beras murah. Bi-dang pemberdayaan ekonomi, pemerintah juga menyalurkan bantuan kambing meski pun kecil dan banyak yang mati sakit.

Selain itu bantun modal usaha, pemban-gunan jalan poros desa dan bantuan lainnya telah membangun budaya baru masyarakat. Masyarakat sering kaget dengan bantuan yang puluhan tahun tidak pernah mereka nikmati.

“Bade wonten bantuan maleh toh pak,” be-gitu ungkapan Warsini warga Desa Jomprang saat Suara Desa berkunjung bulan lalu. “Nek wonten bantuan, kulo didaftaraken, pak,” ungkat Parmin.”Sampun lami bonten wonten bantuan male, pak,” kata yang lain.

Menurut Pakat, sejak bantuan membanjiri desa, mentalitas warga berubah. Kebiasaan hidup yang pantang menyerah menghadapi tekan an alam yang ganas bergeser menjadi masyarakat yang melemah. Semangat kerjanya yang keras menguap, karena selalu berharap ada bantuan.” Sikap selalu berharap ada bantuan membuat warga sedikit malas bekerja. Kepasrahan yang disertai bekerja keras, kini berubah menjadi masyarakat yang berharap ada bantuan, sehingga berdampak pada etos kerja,”kata kades.

Bantuan juga diharapkan masyarakat Luwihaji, Kec.Ngraho, Bojonegoro. Desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo ini memi-liki tanah subur, tetapi pasokan air yang kurang berakibat pada hasil panen yang sering gagal. Warga desa sudah berupaya dengan membuat sumur bor, tetapi jika musim kemarau tiba sumber air itu menjadi kering.”Kita berharap ada embung untuk menampung limpahan Ben-gawan Solo,” ujar Kades Luwihaji Djakib (55).

Luwihaji terletak di ujung Barat Bojonegoro dan hanya menyebrangi Bengawan Solo den-gan baito sudah menginjakkan kaki di Blora, Jateng. Meski Bengawan Solo kaya air, saat musim kemarau warga menderita karena air juga.”Saat ini ada warga yang harus pergi ke tengah hutan untuk menunggu tetesan air dan setelah 2 jam menunggu hanya dua jirigen air. Untuk itu kami butuh pembangunan embung (waduk),”ujarnya.

Desa-desa di Kec.Ngraho kondi sinya masih lebih buruk dibanding dengan desa-desa di Tuban. Di Bojonegoro, jalan desa masih banyak yang belum dibangun, kecuali men-jelang Pilkada dirancang program sharing paving.”Pemkab menyediakan paving dan desa yang membiayai pembangunannya. Dana nya diambilkan dari ADD,” ujar Kades Djakib. (nf, bd)

Page 20: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201320 desapr Tilik Desa

pengelolaan bahan baku menjadi bahan jadi. Setelah berdiri, hampir semua petani Jamprong dan sekitarnya meng irimkan hasil panennya ke Pakat, bahkan kiriman bahan baku juga datang dari petani Jawa Tengah.

“Suplai bahan baku yang melimpah dan jumlah permintaan tepung tapioka yang tinggi akhirnya hanya dibutuhkan selama 3 tahun semua pinjaman bank, sudah bisa saya lunasi,”ujar Pakat.

Dengan mesin pengelolaan yang dimi-liki kades itu, Irul akhirnya tertarik untuk menanam menyok daplang dengn meman-faatkan lahan perhutani yang gundul. Lahan yang sedang direboisasi itu perlu perawatan, tetapi perhutani kekurangan tenaga dan dan dana untuk menjaga agar pohon jati yang ditanaminya itu tetap hidup.

Untuk itu, pihak perhutani menawar-kan program pengelolaan lahan kepada Ponpes Raudlatul Ma’rufiyah, Sidorejo Kec. Kenduruan. Pihak pondok diijinkan memanfaatkan lahan perhutani dengan kompensasi bisa menjaga tanaman re-boisasi dari kematian.

Berdasar perjanjian itu, pada progam awal ini ditanami lahan seluas 25 hektar untuk budidaya menyok dan jika berhasil akan diperluas lagi ke lahan yang masih kosong.“Kini menyok yang dike lola ponpes itu sudah berusia 6 bulan dan tinggal 2 bu-lan lagi, akan melaksanakan panen raya,”

ujar Irul invstor menyok.Kelebihan menyok daplang menurut

Irul, rasanya pahit dan getahnya mengand-ung racun. Babi hutan yang biasa merusak hasil hutan akan mati jika mengkonsumsi menyok daplang ini. Selain itu jenis dap-lang memiliki kandungan tepung tapioka yang paling tinggi, apalagi cara pembu-didayaannya relatif gampang begitu pula dengan perawatanya.

Sebagai desa di daerah perbatasan, Jamprong terus menerus melakukan inovasi agar kelak lebih mandiri. Selain tanaman lombok dan budidaya sapi yang sudah menjadi trademark Jamprong, saat ini juga mulai dikembangkan tanaman jeruk.”Ada uji coba tanaman jeruk yang dikawal oleh petugas penyuluhan perta-nian. Alhmdulillah hasilnya juga sudah cukup bagus,”kata Pakat.

Upaya Jamprong mengurai be nang ruwet kemiskinan tidak ditempuh para kepala desa yang hidup di daerah perbatasan Jateng dan Jatim. Desa Luwihaji, Kec. Ngraho, Bojone-goro misalnya, dari sisi geo grafis terletak di pinggiran Bengawan Solo. Tetapi warganya selalu kekurangan air, bahkan di saat men-jelang musim panen, banyak lahan sawah nya ris gagal panen.”Padahal setiap petani sudah membuat su mur bor untuk menyi-rami sawah la dang nya, tetapi tetap tidak bisa mengatasi,” kata Kades Luwihaji Djakib (56)

Bagaimana dengan Hippam, kades mengeluh karena bantuan pemerintah

berupa satu unit diesel untuk mengalirkan air bengawan ke sawah rusak. Namun de-mikian diakui, jika desanya belum memi-liki kelompok tani yang khusus mengurusi bidang air.

Untuk mengatasi kesulitan air, warga Desa Tapelan, tetangga Luwihaji, membuat saluran irigasi berbentuk jembatan beton kecil yang melewati di atas tanah persawa-han. Air bengawan dialirkan ke sawah melintasi jembatan sepajang 500 meter dan banyak petani yang menikmatinya.

Potensi yang dimiliki desa yang sampai saat ini belum digarap adalah sektor perdagangan. Desa Luwihhaji dan Suko-rejo, Blora hanya dipisahkan oleh Sungai Bengawan Solo. Warga desa di pinggiran bengawan itu selalu melalui jalan desa untuk berbelanja ke pasar Kecamatan Ngraho. “Kalau di lokasi penambangan itu didirikan pasar desa, pasti ramai karena selain warganya, penduduk desa dari Blora juga akan mendatangi pasar desa ini. Dari pasar inilah bisa ditarik retribusi untuk pembangunan di desa,”jelas Djakib.

Pendapatan desa selain diperoleh dari ADD yang dikucurkan Pemkab Bojonegoro, para pengusaha penggalian pasir di aliran Bengawan Solo menurut informasi turut memberi kontribusi ke kas desa. Itu se-babnya truk-truk pengangkut pasir bebas keluar masuk desa, meskipun jalan desa bertambah rusak termasuk lingkungan sungai yang terancam longsor.(nf,bdh)

Menyok daplang men-jadi tambang emas baru di kawasan hutan Jamprong. Tanaman berumbi ini dibudi-dayakan untuk dipro-ses menjadi tepung tapioka. Pola tanam yang sederhana, biaya investasi rendah dan aman dari hama na-mun keuntungannya melimpah mendorong petani berbondong-bondong menanam menyok.

Page 21: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Tilik DesaEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 21

MAGETAN - Sayutan adalah sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Desa ini berada di lereng Gunung Blego sebelah selatan. Desa ini berbatasan lang-sung dengan Desa Nguneng (Jawa tengah) di sebalah barat dan di selatan berbatasan dengan Desa Pohijo( Ponorogo).

Penduduk Desa Sayutan mayoritas ber-mata pencarian petani, peternak dan peda-gang. Hasil pertanian dari desa ini antara lain padi, ketela pohon, jagung, kacang ta-nah dan cabe. Untuk menuju ke Desa Sayu-tan dari magetan, dibutuhkan waktu seki-tar satu jam, dengan melewati jalan aspal yang kondisinya sangat memprihatinkan. Jalan ini merupakan jalur utama menuju ke Kecamatan Parang, sentra perekonomi-an wilayah selatan Magetan.

Desa Sayutan merupakan Desa paling ujung selatan Kabupaten Magetan, den-gan kondisi geografis perbukitan, dengan kearif an budaya lokal yang masih tinggi dalam tatanan kehidupan kemasyaraka-tan. Hampir setiap Minggu ada kegiatan kerja bakti, budaya tersebut mempererat persaudaraan antar warga.

Menurut Kepala Desa Sayutan, Tumijo, warga Desa Sayutan masih menjunjung tinggi nilai- nilai kerjasama/ gotong royong dalam bersinteraksi sosial. Seperti pada saat ada warga yang membuat rumah, mereka beramai- ramai gotong- royong ikut mem-bangunnya sampai selesai, tradisi tersebut tidak ada di desa/ daerah lainnya.

“Hampir setiap Minggu, di sini ada kerja bakti. Paling sering kerja bakti memper-baiki jalan desa, karena kondisi jalan di sini sangat memprihatinkan sekali. Mereka sangat guyub, terlebih jika ada kegiatan,” terangnya.

Menurut Tumijo, anggaran ADD Desa se-nilai Rp 114.000.000 per tahun belum bisa untuk mengatasi kerusakan jalan desa dan pembangunan infrastruktur yang lain. Se-bab, dana dari ADD sudah terserap untuk pos- pos seperti PKK, Posyandu dan lain- lain.

“Dengan jumlah penduduk yang men-capai 6.000 lebih, dana ADD lebih banyak kami peruntukkan kembali untuk kes-ejahteraan warga. Jadi, untuk pembangu-nan infrastruktur desa belum bisa tereal-isasi hingga sekarang. Padahal, kami sering juga mendapat laporan warga terjatuh dari sepeda motor dikarenakan terpeleset aki-bat jalan yang rusak,” jelasnya.

Saat ditanya mengenai bantuan perbai-kan jalan dari Pemerintah, Kepala Desa yang bersahaja ini mengatakan, terakhir pada tahun 2008 lalu pernah dapat bantu-an dari Dinas PU untuk penyemiran jalan. Namun jumlahnya sangat sedikit sekali, akhirnya malah jalan semakin rusak kar-ena penyemiran tidak merata.

Dari pantaun di lapangan, kondisi jalan menuju Desa Sayutan ini memang ru-sak parah. Kondisinya semakin mempri-hatinkan karena banyak truk galian C hilir mudik melalui jalan desa. Mereka seper-tinya tidak memikirkan keseimbang an alam dan kerusakan jalan yang mereka lalui setiap harinya.

Salah satu warga Desa Sayutan, Kodo, saat menunjukkan jalan desa menuju perbatasan antara Sayutan Dengan Desa Nguneng Jawa Tengah itu memang kon-

disinya sangat parah. Menurutnya, jika mau kesana jalannya rusak dan harus hati- hati. Bahkan dari pantauan di lapangan, jalan tersebut sudah tidak kelihatan aspalnya.

Karena itu Tumijo berharap, pemerintah daerah memperhatikan desanya, termasuk desa- desa yang ada di daerah perbatasan dengan propinsi lain. Itu penting agar ada pemerataan dan keseimbangan program maupun proyek antara desa yang ada di perbatasan dengan desa lainnya, sehingga desa di pinggiran tidak tertinggal. (khoiri)

Jalan desa di Perbatasan Kurang Perhatian

Kondisi jalan Desa Sayutan yang belum mulus.

Page 22: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Edisi PErdana, MarEt 201322 desapr Tokoh

PEMIMPIN itu harus bijak. Ia harus bisa mengayomi orang yang dipimpin-nya. Kalau ada perselisihan diantara orang yang dipimpin, ia harus menjadi penengah dan problem solver, dengan mengedepankan azas musyawarah demi kebaikan bersama.

Hal itulah yang dialami dan dipe-gang teguh Pitoyo, SH, selama satu dasa warsa lebih menjabat Kades Bendosari, Kec. Sanankulon, Kab. Blitar. Win-win solution menjadi azas terpenting dalam menyelesaikan berbagai persoalan atau konflik diantara warga.

“Saya sedih dan sangat priha-tin, ternyata masih ada pejabat atau pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat bertindak mentang-mentang dan adigang- adigung. Tidak memperhatikan hati rakyat yang dulu ikut mendukung dan memilihnya,”ujar Pitoyo.

Lalu Pitoyo menunjukan kasus sengketa perbatasan Gunung Kelud antara Ka-bupaten Blitar dan Kediri. Selama ini orang mengenal Gunung Kelud merupakan milik Blitar, bahkan menjadi lambang pemerintahan kabupaten. Bila gunung itu meletus, warga Blitar juga ikut menderita akibat dampaknya.

Menurut Pitoyo, jika kemudian terjadi sengketa perbatasan terkait Gunung Kelud, maka kebijakannya bukan gunung tersebut milik salah satu kabupaten. Sebab ada beberapa kecamatan dan desa masuk wilayah di kedua kabupaten, Blitar dan Kediri. Mestinya, kebijakan itu tidak kontroversial dan sifatnya tetap menguntungkan kedua kabupaten.

Pitoyo berpedapat, biarkan Kabupaten Kediri mengelola Gunung Kelud dari sisi wilayah Kediri. Demikian juga beri kesempatan Kabupaten Blitar mengelo-la dari sisi wilayah Blitar. Ini adalah solusi yang adil, karena seorang pejabat pimpin an wilayah harus berpikir adil. Bukan emban cinde emban ciladan alias pilih kasih.

“Lihat Bandara Juanda, meski namanya Surabaya tapi terletak di Sidoarjo, kedua pemerintah daerah setempat tetap dapat berbagi. Seharusnya seorang pemimpin atau kepala daerah juga berpikir demikian,”ujar Pitoyo, dengan nada agak tinggi. (bdh)

“OALAh Mbah Lurah, nyukani bantuan kok kalian penyakite pisan. Niki lho wed-huse pada gudiken, malah saget nulari sing ngopeni. Pripun toh sakjane karepe pemer-intah niku.”

Itulah cerita Djakip (52 tahun), Kades Luwijahi, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro dalam bahasa Jawa, meniru-kan salah satu warganya yang menerima bantuan kambing dari Pemprov Jatim.

Artinya, bagaimana ini Mbah Lurah (se-butan Kades, red.) memberi bantuan de-ngan penyakitnya sekalian. Ini lho kambing-nya bisulan atau korengan malah menulari yang memelihara. Bagaimana sebenarnya yang diinginkan pemerintah itu.

Lalu Djakip menguraikan cerita me-narik kambing gudiken bantuan Gubernur Jatim Soekarwo. Menurutnya, seban-yak 125 KK di Desa Luwihaji te-lah menerima bantuan kamb-ing yang ukurannya kecil-kecil (cempe). Tiap KK rata-rata memperoleh 3-4 ekor. Saat ini hanya 25 KK yang masih memiliki kambing itu, dan itu-pun jumlahnya tidak utuh lagi alias tinggal 1-2 ekor di tiap KK.

“ Ka m b i n g - k a -mbing itu ban-yak yang mati, karena terlalu kecil dan kena p e n y a k i t . Tapi ada juga yang dijual, takut mati se perti yang l a i n , ” u j a r Dja kip, yang m e n j a b a t kepala desa se-jak 2007 lalu.

Tanpa mengu-

rangi rasa terima kasih, bapak tiga anak itu menceritakan banyak hal yang mem-prihatinkan dalam program bantuan kambing. Betapa tidak, sebagian besar kambing yang diberikan tidak layak peli-hara, kecil-kecil, dan banyak yang sudah berpenyakitan ketika diterima warga. Tak jarang ia diprotes dan dikomplain warga-nya, karena tertular penyakit kambing gudiken itu.

Lebih jauh Djakip menceritakan de-sanya yang masih jauh dari sarana dan prasarana yang memadai. Pada musim kemarau, banyak warganya kesulitan air, terutama di Dusun Weru dan Karang-nongko. Tidak hanya air untuk minum, tapi untuk pengairan sawah atau ladang. Sebab kalau sudah kering tidak ada yang bisa ditanami.

“Ironisnya pada musim hujan, malah seringkali banjir. Areal persawahan pun tidak bisa ditanami,”ujar kakek tiga cucu ini.

Selain air bersih, warga di desanya membutuhkan embung untuk menam-pung air hujan atau sungai yang bisa

mengairi sawah dan lading. Dulu sekali, ketika dirinya menjabat modin

(Kaur Kesra) pernah dilakukan survei untuk pembuatan em-

bung. Namun hingga kini tak kunjung terealisasi.

Menurut Djakip, war-ganya juga membutuh-kan bantuan mesin pompa dan pipa un-tuk mengambil air dari Bengawan Solo untuk mengairi sawah. Saat ini yang dilakukan warga menggali sumur, namun tetap saja sering kering saat musim kemarau. (bdh,nuf)

Pitoyo, SH, Kades Bendosari, Blitar

Prihatin Pemimpin Tak Bijak

Djakip, Kades Luwihaji, Bojonegoro

Kisah Cempe ‘Gudiken’

SUASANA warung ProDesa di sebelah balai desa hampir tiap hari kelihatan ramai. Banyak warga berkumpul di tempat beru-kuran 25 m x 40 m itu. Ada yang main pingpong, main gaple, karambol, skak, nonton televisi, atau hanya sekedar cangkrukan ngobrol ngalor ngidul sambil minum kopi jahe.

Bahkan kadang-kadang pada malam Minggu, Pak Kades menyewa in focus untuk menyaksikan pertandingan sepak-bola Liga Inggris atau memutar film-film bagus. Saat-saat tertentu digelar panggung campur sari yang diikuti grup ke-senian dari desa tetangga.

”Saya ingin mengembalikan suasana balai desa seperti zaman para leluhur kita. Bahasa muluk-muluknya balai desa sebagai ruang publik,”ujar Pak Kades, saat menemui empat sahabatnya Kang Min, Gus Nuf, Cak Fat, dan Wak Gas, di Wa-rung ProDesa.

Mengapa dulu rakyat sangat hormat, tunduk dan patuh kepa-da rajanya ? Menurut Pak Kades, karena raja selalu mendengar-kan suara rakyatnya, menjaga kehormatan dan martabat rakyat-nya, serta memenuhi kebutuhan dan apa-apa yang menjadi hak rakyat. Rakyat pun akhirnya sangat hormat dan patuh pada raja.

Konsep seperti itu berarti pemimpin harus membuka hati dan telinga lebar-lebar. Pemimpin yang dipilih rakyat jangan menjelma seperti ndoro atau juragan. Karena sudah ditunjuk oleh rakyat, maka hukumnya harus melayani, bukan malah minta dilayani, disembah-sembah, dan disubyo-subyo.

“Saiki wis gak jamane kayak ngono. Kita memang harus menghormati pemimpin, tapi tetap harus kritis. Mereka kan juga manusia biasa. Jelas doyan duwit, juga butuh makan, ada iri, ada dengki, dan pasti juga punya sifat rakus tamak,”tutur Pak Kades, penuh semangat.

Sesaat kemudian Kades muda itu bercerita saat dirinya bertemu dan berdebat dengan bupati, yang kebetulan kakak iparnya. Justru karena punya hubungan famili itulah, Pak Kades tak segan-segan mengkritik program maupun kinerja Pak Bupati. Tak jarang mereka berdiskusi panjang lebar, lalu berdebat hingga bersitegang sampai gebrak-gebrakan meja.

”Terus terang Pakde, semboyan kampanye Makmur Ber-sama Wong Cilik ternyata kaspo, cuma isapan jempol belaka ....,”kata Pak Kades.

“Awakmu ojok ngomong sembarangan. Aku baru saja menggelontorkan ribuan kambing, ratusan ribu bibit ikan lele, gurami, tombro, dan bibit ayam bagi rumah tangga miskin di desa,”jawab Pak Bupati, dengan nada tinggi.

“Lihat saja sekarang di desa sudah banyak rumah magrong-magrong. Hampir di semua rumah sudah ada sepeda motor. Itu salah satu tanda kemakmuran di desa, “tambah Pak Bupati.

Mendengar jawaban seperti itu, Pak Kades malah tambah panas. Menurutnya, mereka yang punya rumah bagus itu rata-rata warga desa yang bekerja di luar negeri menjadi TKI, bukan semata-mata dari uang APBD yang digerakkan di desa. Demikian juga bantuan dan program hibah hanya mencipta-kan korupsi yang terstruktur, sistematis dan massif.

Sebab kambing atau barang-barang yang diterima masyarakat sudah banyak yang tidak layak pakai. Kambing yang diterima warga miskin kecil-kecil, sehingga mudah kena penyakit, gudiken, dan akhirnya banyak yang mati. Warga yang pintar langsung dijual daripada dipelihara terus mati.

“Kalau ingin makmur bersama wong cilik, program-pro-gram sampeyan harus didesain benar-benar untuk wong deso ...,” sahut Pak Kades.

Ucapan Pak Kades sejenak membuat Pak Bupati kaget dan hanya bisa melongo. Sedangkan Pak Kades terus bicara menumpahkan semua isi hatinya lebih blak-blakan, seperti ia bicara dengan temannya. Ia lupa yang dihadapinya itu bupati, orang yang paling disegani di kabupaten.

“Wong cilik, wong mlarat, jumlahe akeh nang ndeso. Mereka yang miskin di kota pun juga dari desa-desa. Programe ya kudu berkelanjutan dan memberdayakan, gak cuma pencitraan dan seremonial...,” terang Pak Kades, sambil memandang Kang Min.

“Dorong pemerintahan desa itu bekerja seolah-olah men-gelola sebuah negara. Beri dana stimulan secara rutin dan berkelanjutan untuk menggairahkan ekonomi dan semangat

sosial masyarakat desa,”ujar Pak Kades. Menurut Pak Kades, Pak Bupati hanya diam mendengarkan

usulan dan ide-idenya. Malah ia bercerita, bagaimana sulit-nya membuat program yang benar-benar pro desa dan mem-bumi. Ia merasa terhambat oleh arogansi dewan dan budaya birokrasi yang lambat dan korup.

“Pakde, pemilih sampeyan paling banyak niku rakyat, wong cilik, bukan anggota dewan, para birokrat, atau wong licik. Sudah semes-tinya membela wong cilik, bukan wong licik ....,ujar Pak Kades,

“Wong cilik itulah yang hakikatnya mengangkat pangkat, martabat dan kehormatan panjenengan sak keluarga ....,“ ce-car Pak Kades.

Melihat Pak Bupati masih diam, Pak Kades terus nyero-cos. “Ingat Pakde, wong licik itu hanya numpang kamukten, cari enaknya sendiri, dan kalau ada apa-apa, yang nanggung Pakde sendiri ....,”jelas Pak Kades, sembari mengakhiri kisah dialognya dengan suami kakaknya yang kini bupati itu.

“Terus pripun komentare Pakde jenengan itu, Pak Kades,” tanya Cak Fat sambil mesam-mesem.

“Jawabnya, ‘dasar bocah semprul gak duwe dur ”. Itu saja, lalu mengajak makan dan tidak boleh bicara urusan negara,” jawab Pak Kades, sembari mengajak empat sohibnya itu non-ton layar lebar pertandingan MU vs Arsenal. (cak bud)

warung Prodesa

Jadi Pemimpin Jangan Suka Ingkar Janji

Page 23: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

HukumEdisi PErdana, MarEt 2013 desapr 23

Guna memperkuat kemandirian serta kelancaran pembangunan desa, pe-merintah kabupaten/kota dipandang perlu memperhatikan pengalokasian dana bantuan keuangan untuk pemer-

intah desa dalam penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) Tahun 2013. Termasuk, persoalan alokasi dana bantuan keuangan untuk desa.

Hal itu ditegaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013.

“Dalam point c Permendagri Nomor 37 Ta-hun 2012 dikatakan pemerintah kabupaten/kota menganggarkan bantuan keuangan kepada pe-merintah desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterimanya, kecuali DAK (dana alokasi khusus),” kata Reydonnyzar dari Kemendagri.

Reydonnyzar mengatakan bantuan keuangan dari pemda kepada pemerintah desa ini merupak-an penegasan alokasi dana desa (ADD) sesuai Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pembagian ADD untuk setiap desa ditetapkan secara proporsional dengan kepu-

tusan kepala daerah.Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/

kota dapat memberikan bantuan keuangan lainnya kepada pemerintah desa dalam rangka percepatan pembangunan desa sesuai kemampuan keuangan daerah.

“Pengaturan tentang desa ke depan dimaksud-kan untuk menjawab permasalahan sosial, buda-ya, ekonomi dan politik desa, memulihkan basis penghidupan masyarakat desa serta memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri,” katanya.

RUU Desa, tambah Reydonnyzar juga semakin memperjelas posisi keuangan desa. RUU ini me-mastikan desa memiliki pendapatan yang ber-sumber dari pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota, bantu-an keuangan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta hi-bah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Dengan adanya kepastian soal pendapatan desa ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian desa untuk menjawab permasalahan dan kebutu-

han masyarakat yang berkembang di desa ke de-pan.

Disebutkan, dana untuk desa pada prinsipnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 68 UU 72/2005, menyebutkan sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan par-tisipasi, hasil gotong royong, dan pendapatan asli desa yang sah.

Kemudian, sumber pendapatan desa juga beras-al bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 persen untuk desa dan dari retribusi ka-bupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa.

Desa juga berhak mendapatkan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa pal-ing sedikit 10 persen yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional, yang merupakan alokasi dana desa.

Selain itu, sumber pendapatan desa lainnya yakni bantuan keuangan dari pemerintah, pe-merintah provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.(atr, tni)

Pemda ‘Wajib’ Anggarkan Bantuan Keuangan Desa

WARGA Jawa Timur bisa jadi tengah menunggu datang-nya pemimpin seperti Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Umar bin Abdul Azis. Yang satu Presiden dengan karakter seder-hana, tegas, dan selalu memihak rakyat. Begitu pula satunya, Kepala Negara yang memiliki sifat ulama yang zuhud.

Bagi Presiden yang merakyat bisa mencontoh Umar Ibnu Khattab. Sebagai kepala negara Beliau sampai harus me-manggul sendiri sekarung tepung dan lemak ketika tahu ada warganya kelaparan. Saking miskinnya, umar yang blusukan pada malam hari, melihat sendiri warganya memasak batu untuk sekadar menenangkan anak-anaknya yang kelaparan.

Bukan hanya itu, Umar juga disambati anaknya yang diejek teman-temannya di sekolah karena bajunya tambalan. Dan pakaian Sayyidina Umar RA, selaku Amirul Mu’minin sendiri, bertambalan sebanyak empat belas tempat dan sebagian tambalannya ada yang terbuat dari kulit kayu.

Maka Sayyidina Umar pun berbicara kepada Bendaha-rawan Baitul Maal (kas negara): “Hutangilah kami uang dari Baitul Maal (kas negara) sebanyak empat dirham sampai awal bulan. Dan bila sudah awal bulan maka anggaplah seba-gai bayaran bulanan saya, yakni yang kami pinjam itu bayaran sebulan kami bekerja dan yang sebulan dari negara,” kata Beliau. Bayangkan, seorang Presiden sampai ngutang hanya untuk membelikan baju anaknya. Itu pun ditolak dengan ha-lus oleh sang bendahara sebab belum tentu umar hidup se-lama satu bulan. Umar maklum dengan penolakan tersebut. Ya, bandingkan dengan baju anak-anak pejabat kita sekarang yang glamor.

Satu lagi sosok Umar yang patut kita teladani. Suatu ketika sahabat Abdullah bin Zubair berkata, “Suatu malam aku se-dang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ke-tika merasa lelah, dia bersandar ke sebuah dinding di malam gelap buta. Dia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah eng-kau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya men-jawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, Amirul Mukminin memang tidak melihat kita. Tapi Rabb Amirul Mukminin melihatnya.“

Lagi-lagi Umar yang suka sidak langsung warganya menden-gar perbincangan ibu dan anak itu. Maka dia menugaskan pen-gawalnya untuk menandai rumah itu dan mencari informasi lebih lanjut tentang anak gadis itu. Setelah itu, Umar kemu-dian memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan inilah kelak lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz. Sedan-gkan ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang gubernur yang shaleh dari Bani Umayah.

Nuim Hidayat penulis buku “Imperialisme Baru” dalam salah satu tulisannya memaparkan Umar bin Abdul Aziz terke-nal dengan kezuhudannya, kealimannya, dan kepeduliannya yang tinggi terhadap urusan rakyat. Suatu ketika seorang penduduk mengadukan kepada Umar tentang nasibnya. Ia melaporkan bahwa ada pejabatnya yang telah merampas

toko-tokonya. Pejabat itu lantas dipanggil Umar dan kemu-dian ia memerintahkan pejabat itu untuk mengembalikan toko itu kepada penduduk yang memilikinya. Tapi pejabat itu bandel, ia tidak menaati perintah Umar.

Khalifah Umar kemudian memanggil polisinya dan menga-takan, ”Jika dia mengembalikan toko itu kepada pemiliknya, maka tinggalkanlah dia. Tetapi bila orang itu (pejabat) masih membangkang juga, maka pancunglah kepalanya.” Karena ancaman yang keras itu, akhirnya pejabat itu mengembalikan toko itu kepada pemiliknya.

Kiai Firdaus AN dalam bukunya “Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz” menceritakan, di masa Umar bin Abdul Aziz, terjadi fitnah adanya ‘saling mencaci’ antara pengikut Sayidina Ali dan Bani Umayah. Pencacian itu kadang-kadang dilakukan di mimbar-mimbar. Umar bersedih, karena dia mengetahui kehebatan dan kealiman Sayidina Ali. Maka ke-mudian dia memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengh-entikan pengutukan terhadap Sayidina Ali dan menyuruh para khatib untuk menggantinya dengan membaca surah an Nahl ayat 90 dan atau surah al Hasyr ayat 10.

“Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS: an Nahl 90)

“Ya Tuhan beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Eng-kau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS: al Hasyr 10)

Untuk menjaga keadilan dan kelancaran administrasi Negara, maka Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur dan pejabat-pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun familinya. Umar menulis surat berikut: “Kami berpendapat, bahwa seorang Imam (pemimpin Neg-ara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasannya. Karena seorang Amir bila ia berdagang ia akan

mudah melakukan monopoli dan membenarkan perbuatan yang merusak Negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat demikian.”

Untuk itu, agar para pejabatnya tidak berbisnis dan tidak menyelewengkan uang negara, maka Umar memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para pejabatnya. Karena be-gitu makmurnya Negara saat itu, hingga gaji para pejabat itu sampai ada yang berjumlah tiga ratus Dinar.

Memang kemakmuran dan keadilan mewarnai Negara pada saat itu. Yahya Ibnu Said berkata, ”Umar bin Abdul Aziz telah mengutus aku ke Afrika Utara untuk membagi-bagikan zakat penduduk di sana. Maka aku laksanakanlah perintah itu. Lalu aku cari orang-orang fakir untuk kuberikan zakat itu pada mereka. Tetapi kami tidak mendapatkan seorang pun juga dan kami tidak menemukan orang-orang yang meneri-manya. Umar betul-betul telah menjadikan rakyatnya kaya. Akhirnya kubeli dengan zakat itu beberapa orang hamba sa-haya yang kemudian kumerdekakan.”

Meski rakyatnya kaya, Umar hidup sederhana. Kezuhu-dannya terkenal di seluruh penjuru wilayahnya. Ia memberi anak-anaknya pakaian dan makanan yang sederhana. Sering anak-anak perempuannya disuguhi dengan makanan kacang dan bawang merah, sambil dia menangis dan berkata, ”Apa gunanya wahai anak-anakku. Kalian hidup dengan mengecap bermacam-macam makanan yang lezat, tetapi yang mem-persiapkan itu karenanya pergi masuk neraka.”

Umar memang umara yang sekaligus ulama. Penda-lamannya yang mendalam terhadap agama, menjadikan-nya pemimpin yang adil, bijaksana dan menjadikan Islam bersinar terang karena pemimpin dan masyarakat mener-apkannya bersama. Ia bukan pemimpin yang zalim yang me-nyebabkan agama menjadi rusak. Dalam Mukhtarul Haditsun Nabawiyyah, Sayyid Ahmad Hasyimi mengutip hadits Rasu-lullah saw: “Penyakit agama ada tiga: orang yang faqih tapi fajir (suka berbuat dosa besar), imam yang jair (suka berbuat zalim) dan mujtahid yang jahil (bodoh).” (HR Ad Dailami dari Ibnu Abbas).

Karena itu, kakeknya Umar bin Khattab pernah memberi nasehat kepada rakyatnya. ”Perdalamlah ilmu agama, sebelum kamu menjadi pemimpin.” (tafaqqahu qabla an tusawwadu).

Dan Umar bin Abdul Aziz pernah memberi nasihat kepada gubernur-gubernurnya: “Adapun kemudian daripada itu, Al-lah Azza Wajalla telah memuliakan pemeluk-pemeluknya dengan agama Islam, menjunjung tinggi mereka serta meng-hormatinya. Sebaliknya mengecilkan dan merendahkan mar-tabat orang-orang yang menentang mereka itu. Dan Allah telah menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk kepentingan umat manusia. Dari itu janganlah seka-li-kali kalian menyerahkan kepemimpinan mereka kepada orang-orang dzimmi. Karena nanti mereka membelenggu tangan dan mengunci lisan orang Islam, yang dengan begitu kalian berarti merendahkan mereka setelah Allah memulia-kan mereka dan menghinakan mereka setelah Allah mening-gikan martabat mereka…”

Khalifah yang mulia ini lahir pada 63H (682M) dan hanya memerintah selama dua setengah tahun saja (717-720M). Ia meninggal pada usia 38 tahun, karena diracun oleh seka-wanan orang yang dendam dengannya. Pembunuhnya ber-hasil ditangkap dan mengaku mendapat bayaran seribu Di-nar. Uang itu akhirnya dimintanya dan dimasukkan ke Baitul Mal.* Bagas Susanto

Ya Umara Ya Ulama

Renungan

Page 24: Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

seLaMaT sUKses&

Atas Penerbitan Perdana

desaprTabloid

Semoga bisa membawa aspirasi rakyat dan kemajuan masyarakat desa

yang sejahtera

R.H. Dwi Putranto Sulaksono sekeluarga