Stroke Iskemik

38
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Fungsi sel otak membutuhkan aliran oksigen yang konstan dari pembuluh darah. Stroke atau gangguan cerebro vascular, termasuk juga infark cerebral terjadi ketika darah yang mensuplai oksigen kebagian otak terganggu, menyebabkan kematian sel otak dan neurologis. Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di amerika serikat dan meskipun rata – rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke tetap meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah populasi tua / meningkatnya harapan hidup. Penderita stroke pada umumnya lebih banyak laki – laki dari pada perempuan dan profil usia rata – rata di atas 45 tahun. Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan sumbatan pada aliran darah ke otak. Aliran darah yang terhambat menyebabkan suplai oksigen dan zat lainnya ke jaringan otak berkurang atau terhenti. Untuk menegakkan diagnosis pada stroke iskemik di perlukan Ananmnesis yang tepat dan pemeriksaan fisik neurologis yang baik serta di dukung oleh hasil pemeriksaan lab untuk menyingkirkan kemungkinan – kemungkinan lain penyebab penyakit. Manifestasi klinis pada stroke iskemik dapat bersifat ringan ataupun berat, tergantung dari sejauh mana infark 1

Transcript of Stroke Iskemik

LAPORAN KASUS

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Fungsi sel otak membutuhkan aliran oksigen yang konstan dari pembuluh darah. Stroke atau gangguan cerebro vascular, termasuk juga infark cerebral terjadi ketika darah yang mensuplai oksigen kebagian otak terganggu, menyebabkan kematian sel otak dan neurologis. Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di amerika serikat dan meskipun rata rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke tetap meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah populasi tua / meningkatnya harapan hidup. Penderita stroke pada umumnya lebih banyak laki laki dari pada perempuan dan profil usia rata rata di atas 45 tahun.Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan sumbatan pada aliran darah ke otak. Aliran darah yang terhambat menyebabkan suplai oksigen dan zat lainnya ke jaringan otak berkurang atau terhenti.Untuk menegakkan diagnosis pada stroke iskemik di perlukan Ananmnesis yang tepat dan pemeriksaan fisik neurologis yang baik serta di dukung oleh hasil pemeriksaan lab untuk menyingkirkan kemungkinan kemungkinan lain penyebab penyakit.Manifestasi klinis pada stroke iskemik dapat bersifat ringan ataupun berat, tergantung dari sejauh mana infark yang telah terjadi akibat sumbatan pembuluh darah pada otak.

I.2. TujuanLaporan kasus ini dibuat untuk membahas aspek definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosa, penatalaksanaan dan prognosa penderita Stroke Iskemik.

I.3. ManfaatDengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diketahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosa, penatalaksanaan dan prognosa penderita Stroke Iskemik sehingga mendapat penanganan yang lebih baik dikemudian hari serta dapat dilakukan pencegahan terhadap penyakit ini. .

II. LAPORAN KASUS

II.1. AnamneseSeorang pria N , 40 tahun, pegawai swasta, suku batak, diopname di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidempuan dengan keluhan utama rasa kelemahan pada tungkai kanan. II.2. Riwayat Perjalanan PenyakitSaat sedang mengendarai mobil tiba - tiba mengalami kelemahan pada tungkai kanan dan disertai rasa nyeri pada lutut bila digerakkan. Tiga hari sebelumnya os sudah merasakan kebas kebas. Ekstremitas lain normal, keluhan lain tidak ada.

II.3. Riwayat Penyakit Terdahulu Hipertensi

II.4. Riwayat pemakaian Obat-

II.3. Pemeriksaan FisikStatus Presens Sensorium : Composmentis HR : 82 x /menit /reguler TD : 160/100 mmHg t o : 36,5 oC RR : 20 x/menit/regularKepala : Tidak dijumpai kelainanLeher : Tidak dijumpai kelainan Thorax : Bentuk simetris fusiformParu-paru : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-) Jantung : Bunyi jantung normal, desah (-)Abdomen : Soepel, peristaltik normalHati : Tidak teraba Limpha : Tidak terabaGinjal: Tidak terabaExtremitas : Dijumpai kelemahan pada tungkai kanan Vertebra : Tidak dijumpai kelainan

II.4. Pemeriksaan NeurologisSensorium : ComposmentisTanda perangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I/II (-)Tanda peningkatan tekanan intrakranial : Sakit kepala (-), Muntah (-), Kejang (-)Nervus kranialis :N. I : penciuman normalN. II / III : pupil isocore, RC (+), diameter 3 mm N. III / IV / VI : gerakan bola mata dbnN. V : motorik rahang dan sensorik dbnN. VII : sudut mulut dbnN. VIII : pendengaran dbnN. IX / X : uvula medial, disfagia (-)N. XI : mengangkat bahu normalN. XII : lidah istirahat dan dijulurkan medial

Sistim motorikTrofi : eutrofiTonus: normotonusKekuatan otot:ESD : 44444 ESS : 55555 44444 55555EID : 22222 EIS : 55555 22222 55555

Gerakan spontan abnormal: tidak di jumpai gerakan spontan abnormal

Reflex Fisiologis :kanan kiri Biceps/Triceps : (+) / (+) (+) / (+) KPR/APR : (-) / (-) (+) / (+) Reflex Patologis : Babinsky ( + ) ( - ) Chaddock ( + )Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normalGejala serebelar : dalam batas normalEkstrapiramidal : dalam batas normalFungsi luhur : dalam batas normal

II.5. Pemeriksaan penunjang - Instalasi Patologi Klinik RSUD Kota Padangsidempuan Hb: 12,8 gr/dl Ureum: 20 mg/dl LED: 13 mm/jam Creatinin: 0,60 mg/dl Hematokrit: 38 Vol% Uric acid : 3,8mg/dl Leukosit: 7200 /ml Na : 137 mEq Trombosit: 237.0000 CEL K : 4,1 mEq Cholesterol total: 141 mg U/i Cl : 98 mEq KGD puasa : 106 mg/dl HDL : 61 mg/dl KGD 2 jam pp : 119 mg/dl LDL : 72 mg/ml Triglycerida : 88 mg/dl - Bagian Radiologi RSU sipirok Head CT scan : Pada pemeriksaan CT Scan tampak Infark di Frontal kiri. (Cerebral Infark)

- Elektrokardiografi : Sinus ritme VR : 82 x / menit, normoaksis Kesan : Normal

II.6. Kesimpulan Pemeriksaan Telah dirawat seorang pria (N), berumur 40 tahun yang mengalami kelemahan pada kaki kanan saat mengendarai mobil disertai nyeri lutut bila di gerakkan. Gejala sudah mulai dirasakan berupa terasa kebas kebas sejak tiga hari sebelumnya. Riwayat Hipertensi (+) merokok (+). Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis di temukan beberapa kelainan berupa kelemahan pada tungkai kanan disertai reflek patologis Babinsky (+) dan Chaddock (+)Pada pemeriksaan CT scan dijumpai infark pada daerah frontal kiri. II.7. DiagnosaDiagnosa kerja : Stroke iskemik

II.8. Penatalaksanaan 1. Inf. NACL 0,9% 30gtt/i2. Inj. Cefotaxime 1gr / 12jam3. Inj. Ranitidin 1amp / 12jam4. Inj. Citicholine 1amp/ 8jam5. Tab. Paracetal 3 x 1 (Paracetamol)6. Tab. Neurodex ( Vit.B Complex )7. Syr. Antasida

III. TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DefinisiStroke adalah tanda tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak, dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (kelompok studi serebrovaskuler dan neurogeriatri perdossi, 1999)Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003).

III.2. EtiologiStroke Iskemik dapat di sebabkan beberapa hal diantaranya adalah ; Penyumbatan arteriDisebabkan oleh gumpalan ( thrombosis ) di arteri otak. Plak kolesterol merupakan penyebab utama penyempitan dan penyumbatan arteri di otak. EmboliPlak atherosklerosis ( simpanan Cholesterol dan kalsium ) pecah dan mengalir melalui pembuluh darah kemudian menumpuk di arteri otak.Disamping penyebab di atas ada juga beberapa faktor resiko yang dapat mencetuskan terjadinya Stroke Iskemik diantaranya adalah :1. Non Modifiable risk factor : UsiaKejadian stroke meningkat sebanding dengan pertambahan usia. Diatas 55 th, kejadian stroke meningkat 2x lipat. Jenis KelaminUmumnya, pria lebih banyak terkena stroke dibanding dengan wanita Ras/ Etnik Genetik2. Modifiable risk factor : Hipertensi Terpapar asap rokok Diabetes Dislipidemia Atrial fibrilation dan keadaan jantung yang abnormal lainnya III.3. Epidemiologi Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di AS dan meskipun rata rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke tetap meningkat. Sampai tahun 2005 dijumpai prevalensi stroke pada laki laki 2,7% dan 2,5% pada perempuan dengan usia 18 tahun. (Ali dkk, 2009; Carnethon dkk, 2009)Pada umumnya warga dengan ras hitam memiliki tingkat stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga kulit putih. Stroke juga terjadi pada penderita dengan usia rata rata > 65 tahun. Stroke merupakan penyakit yang umum terjadi pada negara negara maju. Dari survey ASNA di 28 RS di seluruh indonesia diperoleh gambran bahwa penderita laki laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas 65 tahun 33,5%. Data data lain dari ASNA diperoleh angka kematian sebesar 24,5%. (Misbach, dkk, 2007).Di dunia, menurut SEAMIC Health Statistic penyakit serebrovaskuler seperti jantung koroner dan stroke berada di urutan kedua penyebab kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO, stroke akan menjadi penyebab utama ke 4 dari cacat sumur hidup. Sekitar 20% - 30% penyebab stroke adalah emboli. Emboli dapat berasal dari jantung, arteri besar dan pembuluh darah vena. Frekuensi terjadinya tipe emboli yang berbeda bervariasi, tergantung dari umur penderita dll. Emboli yang berasal dari atherosklerosis lebih banyak ditemukan pada usia yang lebih tua. Hal ini perlu diketahui karena penyakit jantung dan atherosklerotik dapat timbul bersama sama, walaupun sumber potensial untuk terjadinya kardioemboli ada, tidak berarti penyebab infark serebri adalah kardioemboli. Oleh karena itu penegakan diagnosa sangatlah penting di perhatikan untuk mengetahui evaluasi dan terapi yang sesuai dengan penyebab penyakit.

III.4. PatofisiologiPerjalanan penyakit stroke iskemik dapat di bagi dalam beberapa tahap. Diantaranya sebagai berikut:Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan Oksigen c. Kegagalan energiTahap 2 : a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostatis ion b. spreading depresionTahap 3 : InflamasiTahap 4 : Apoptosis

Dalam kondisi normal, aliran darah otak orang dewasa adalah 50-60ml / 100 gram. Berat otak normal rata rata dewasa adalah 1300 1400 gram. Bila aliran darah otak turun menjadi 20 -25 ml/100 gr akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi oksigen ke jaringan otak sehingga fungsi fungsi sel saraf dapat di pertahankan.Tahap 1 : Adanya sumbatan pembuluh darah akan menyebabkan otak mengalami kekurangan nutrisi penting seperti oksigen dan glukosa, sehingga daerah pusat yang di perdarahi oleh pembuluh darah tersebut akan mengalami iskemik sampai infark. Trombus dan emboli dapat menutup jalan arteri cerebral dan menyebabkan iskemik pada wilayah vaskuler disekelilingnya.Tahap 2 : Pada tingkat molekuler, perkembangan injuri saraf hipoksik iskemik sebagian besar di pengaruhi oleh reaksi berlebih dari neurotransmitter tertentu, terutama glutamat dan aspartat. Proses ini dikenal dengan eksitoksitas dan di picu oleh depresi simpanan energi seluler. Peningkatan glutamat dan aspartat yang tinggi pada ruang ekstraseluler menyebabkan depolarisasi membran. Depolarisasi membran sendiri dapat menyebabkan influks kalsium, natrium, dan ion klorida serta refluks ion potasium yang pada akhirnya dapat menyebabkan edema.Tahap 3 : Respon terhadap injuri pada jaringan menghasilkan produksi cepat berbagai mediator inflamatory seperti leukosit sehingga dadapt terjadi proses inflamasi.Tahap 4 : apoptosis merupakan kematian sel yang di akibatkan terhentinya aliran darah dan berkurangnya pasokan oksigen pada sel tersebut. Jika kejadian iskemik semakin buruk maka apoptosis dapat berubah menjadi nekrosis jaringan.

III.8. Gambaran klinis III.9. Prosedur diagnostik Diagnosis neurocysticercosis sulit karena manifestasi klinis tidak spesifik, kebanyakan penemuan neuroimaging tidak patognomonik, dan beberapa test serologis mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah serta parasit yang tidak dapat segera diperoleh.1,4Diagnosis cysticercosis herus dipertimbangkan pada semua pasien yang pernah tinggal di derah endemis dan yang mengalami epilepsi, meningitis, atau peningkatan tekanan intra kranial.6 Satu set kriteria diagnostik telah diusulkan pada tahun 1996 dan baru-baru ini telah direvisi, berdasarkan pada data objektif klinis, imaging, imunologi dan epidemiologi; kriteria ini terdiri dari 4 kategori yang digolongkan berdasarkan kekuatan diagnostiknya ( tabel 3).1

Tabel 3. Kriteria diagnostic Neurocysticercosis Dikutip dari : Gracia HH, Evan CAW, Nash TE, Takayanagui OM, White AC, Botero D, Rajshkhar V, et al. Current Consensus Guideline for Treatment of Neurocysticercosis. Clinical Microbiology review, 2002; 15: p. 747-56. Kriteria diagnostic ini menetapkan dua derajat ketentuan diagnostik yaitu :1 1. Diagnosa definitive pasien mempunyai 1 kriteria absolute atau 2 kriteria mayor + 1 kriteria minor dan 1 kriteria epidemiologi2. Diagnosa probable pasien mempunyai 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor atau 1 kriteria mayor + 1 kriteria minor dan 1 kriteria epidemiologi 3 kriteria minor + 1 kriteria epidemiologi

III.9.1. Foto polos otot dan tengkorak MacArthur (1934) adalah yang pertama memberikan perhatian terhadap manfaat foto polos otot skeletal untuk mendeteksi cysticercus yang mengalami kalsifikasi. Hasilnya jauh lebih sedikit pada radiografi tengkorak dan diagnosa banding tidak mudah dari lesi kalsifikasi lain khususnya toksoplasmosis.3

III.9.2. Nodul subkutukular atau biopsi lesi Pemeriksaan histologis nodul subkutikular dapat menentukan diagnosa bahkan ketika metode yang lebih baru gagal khususnya jika lasi parenkim tunggal dijumpai.3 Pemeriksaan infeksi Taenia solium dengan biopsi atau otopsi bahan dapat membuat diagnosa yang meyakinkan tetapi hal ini jarang ada. Parasit dapat dilihat secara langsung apabila ada kerlibatan okular.4

III.9.3. Pemeriksaan faeces Pemeriksaan faeces terhadap telur Taenia solium harus dilakukan berulang. Hasilnya kecil tetapi adanya Taenia merupakan indicator yang baik adanya cysticercosis.3

III.9.4. Analisa cairan cerebrospinal Cairan cerebrospinal harus diperiksa jika peningkatan tekanan intra kranial telah disingkirkan secara klinis atau dengan CT. Hal ini menggambarkan aktifitas penyakit dan membantu dalam penatalaksanaan pasien. Ia akan memperlihatkan limfositosis, pleositosis, peningkatan protein dan penurunan glukosa.3 III.9.5. Tes immunologiSejumlah tes immunologi terhadap serum dan CSF telah ditemukan selama beberapa tahun. Complement Fixation Test pada CSF masih digunakan di Meksiko, sementara di laboratorium lain telah digantikan oleh Indirect haemagglutination test (IHA). Tehnik Enzyme-link immunoabsorbent assy (ELISA), Radioimmunoassy (RIA), Immunoelectrophoretic (IEP) dan yang paling baru adalah test Immunoblot secara berturut-turut masing-masing mempunayi spesifitas dan sensitifitas yang makin meningkat.3

III.9.6. Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging Pemeriksaan neuroimaging yang mana yang harus dilakukan tergantung dari beberapa faktor. CT scan lebih sensitif dari MRI dalam mendeteksi kalsifikasi intraserebral. Sebaliknya, MRI lebih baik dalam mendeteksi cysticercus dalam CSF (misalnya cysticercosis ventricular atau cisternal). MRI dapat juga memperlihatkan scolex, yang mana biasanya tidak terlihat pada CT scan.4,14Diagnosa banding antara cysticercosis dan penyakit parasit yang lain dapat sulit secara klinis. Walaupun demikian, data epidemiologis serta bukti yang berasal dari pemeriksaan neuroimaging dan tes diagnostik immune khusus biasanya memberikan petunjuk diagnostik yang bermanfaat. Penyakit kista hydatid hampir selalu terlihat pada CT/MRI sebagai kista intrakranial tunggal, besar, berbentuk bola, dan nonenhancement. Hal ini sangat jarang berasal dari cysticercosis Taenia solium.1 Pemeriksaan neuroimaging dapat memperlihatkan lesi kistik bersamaan dengan scolex ( terlihat sebagai nodul mural 1 3 mm). Hal ini mungkin patognomonik untuk cysticercosis walaupun hal ini belum pernah diuji dengan teliti dan kebanyakan pemeriksaan neuroimaging tidak memperlihatkan scolex.4 Penemuan neuroimaging pada NCC parenkim tergantung pada stadium perkembangan parasit. Cysticercus yang hidup (vesicular cysticerci) muncul sebagai lesi kista didalam parenkim otak. Dinding kista tipis dan isodens dengan jaringan disekitarnya dan umumnya tidak terlihat dengan pemeriksaan imaging. Cairan kista hipodens dan berbatas jelas. Tidak dijumpai edema disekitar lesi, nonenhance setelah pemberian kontras secara khas memperlihatkan nodul yang bersinar dibagian dalam yang menggambarkan scolex. Ketika parasit mulai mengalami kemunduran (colloidal cyst), pada pemeriksaan CT dan MRI berubah menjadi lesi cincin yang mengalami enhancement yang tidak tegas dikelilingi oleh edema (acute encephalitis phase). Edema disekitar lesi paling baik dilihat dengan MRI menggunakan tehnik FLAIR (fluid-attenuated inversion recovery). Granular cysticerci adalah parasit yang telah mengalami kemunduran terlihat sebagai lesi nodular yang hiperdens dikelilingi oleh edema dan calcified (death) cysticerci muncul pada CT scan sebagai nodul hiperdens yang kecil tanpa edema disekitar lesi atau enhance yang abnormal setelah pemberian kontras; lesi ini biasanya tidak dapat terlihat dengan MRI. Sebaliknya jika kalsifikasi disertai dengan edema sekitar lesi dan kontras enhancement, hal ini lebih baik dengan MRI.7Pemeriksaan neuroimaging diduga kuat NCC dipertimbangkan sebagai kriteria diagnostik mayor yang meliputi lesi kista, tunggal atau multiple seperti cincin atau lesi nodular yang enhancement dan kalsifikasi parenkim otak yang khas. Kista parenkim secara khas adalah berbentuk bundar dengan diameter 5 20 mm. Mereka biasanya ditemukan di korteks serebral atau basal ganglia. Kista di ruang suabarachnoid sering lebih besar, mencapai diameter 60 mm, bisa bundar atau berlobus-lobus.4 Cysticercus dapat juga berlokasi di ventrikel yang terlihat sebagai lesi kista pada pemeriksaan CT. Mereka pada awalnya adalah isodens dengan CSF sehingga tidak terlihat dengan baik. Sebaliknya dengan MRI kista ventricular dapat terlihat dengan baik khususnya dengan tehnik FLAIR (fluid-attenuated inversion recovery). Mereka juga bergerak didalam rongga ventrikel sebagai respon terhadap gerekan kepala pasien (ventricular migration sign), suatu phenomena yang lebih baik dilihat dengan MRI dari pada CT.7 Lesi bentuk cincin yang enhancement atau lesi nodular yang enhancement juga diduga kuat adalah NCC, walaupun sejumlah penyakit lain seperti tuberkuloma, abses otak, dan tumor dapat menyebabkan lesi yang sama. Diameter lesi cysticercus biasanya lebih kecil dari 20 mm dan jarang menyebabkan midline shift.4 Kalsifikasi parenkim otak sering ditemukan pada pemeriksaan CT. Pada cysticercosis kalsifikasi cenderung solid, padat, supratentorial dengan diameter 2 10 mm dan apabila tidak ada bukti penyakit yang lain harus dipertimbangkan sebagai dugaan kuat NCC. Jadi bila dijumpai kalsifikasi yang khas maka diduga kuat adalah NCC.4 Kriteria klinis secara umum belum terbukti membantu dalam membuat diagnosis. Rajshkhar and Chaldy (Cit. Huang DB) mengidentifikasi kombinasi kriteria klinis dan radiologis untuk cysticercosis pada pasien dengan gambaran klinis seizure dan lesi tunggal yang enhancement. Gabungan dari lesi tunggal, bundar yang mengalami enhancement dengan diameter kurang dari 20 mm, tanpa midline shift pada pasien-pasien tanpa peningkatan tekanan intra kranial, defisit neurologis fokal, atau bukti penyakit sistemik diduga kuat adalah NCC. Pada suatu kelompok lebih dari 400 pasien dengan lesi tunggal yang mengalami enhancement, kriteria ini kira-kira 99% sensitif dan spesifik untuk NCC pada populasi endemis. Diagnosa selanjutnaya didukung oleh resolusi lesi secara spontan atau setelah terapi anticysticercus atau oleh timbulnya gejala oleh obat antiparasit.4 Pada pasien dengan spinal NCC, CT dapat memperlihatkan pembesaran simetris medulla spinalis (intramedullary cyst). Pada MRI, cysticercus intramedullary terlihat sebagai lesi cincin yang enhancement yang dapat dijumpai nodul hyperintense yang menggambarakan scolex. Myalography masih mempunyai peran dalam diagnosis pasien dengan spinal leptomeningeal cysticercosis.7 III.10. Penatalaksanaan Terapi simptomatik, obat antiparasit, obat antiinflamasi, dan terapi bedah, semuanya penting dalam hal penatalaksanaan bentuk-bentuk yang berbeda dari NCC. Penggunaannya harus disertai dengan pengetahuan mengenai patogenesis bentuk-bentuk yang berbeda dari penyakit. Jadi pengobatan NCC seharusnya secara individu berdasarkan gamabaran klinis, jumlah, lokasi dan kelangsungan hidup (viability) dari cysticercus dan respon dari hospes.4

III.10.1. Terapi simptomatikAntikonvulsan direkomendasikan , setidaknya selama beberapa bulan pertama setelah gejala seizure dan selama periode terapi cysticidal (albendazole 400 mg per oral setiap 12 jam selama 10 hari ditambah dengan kortikosteroid).13 Seizure umumnya mudah dikontrol dengan obat antiepilepsi lini pertama.1,4,6 Kebanyakan pengalaman yang telah dipublikasikan adalah menggunakan phenytoin dan carbamazepine, tetapi obat-obat jenis yang lain juga efektif. Pada pasien-pasien dimana pemeriksaan neuroimaging telah normal dan seizure telah terkontrol, pengobatan antiepilepsi sering dapat dikurangi secara perlahan. Walaupun demikian, adanya sisa kalsifikasi merupakan tanda resiko tinggi terhadap serangan seizure yang berulang.1,4 Hal ini merupakan indikasi untuk melanjutkan pengobatan.4

III.10.2. Obat antiinflamasiKortikosteroid sering digunakan pada NCC untuk mengontrol inflamasi.1,4 Regimen yang paling sering digunakan adalah dexamethasone pada dosis antara 4,5 dan 12 mg/hari. Prednisone 1 mg/kg/hari dapat menggantikan dexamethasone jika dibutuhkan terapi steroid jangka panjang.1 Indikasi utama kortikosteroid ini adalah untuk bentuk penyakit dimana respon hospes menyebabakan reaksi yang mengancam jiwa. Hal ini termasuk cysticercal encephalitis, subarachnoid NCC, dan spinal intramedullary NCC. Meningitis, vasculitis dengan stroke, dan communicating hydrocephalus dapat berasal dari respon inflamasi hospes dan bersamaan dengan arachnoiditis pada subarachnoid NCC. Pada kasus ini terapi kortikosteroid jangka panjang adalah komponen kunci pengobatan.1,4 Dosis dexamethasone lebih dari 32 mg/hari dibutuhkan untuk mengurangi edema otak yang terjadi bersamaan dengan kondisi ini. Mannitol, dengan dosis 2 g/kg/hari, juga digunakan untuk hipertensi intrakranial akut yang terjadi akibat neurocysticercosis.1

III.10.3. Obat antiparasit Seperti yang telah diperlihatkan pada percobaan binatang, praziquantel dan albendazole adalah obat anti parasit yang efektif melawan cysticercus Taenia solium.1Praziquantel adalah obat anti parasit pertama yang dilaporkan efektif pada NCC. Praziquantel diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral. Metabolismenya diinduksi oleh obat antiepilepsi (carbamazepine, phenytoin, dan mungkin phenobarbital) dan kortikosteroid. Induksi ini dapat dihambat olah cimetidine (misalnya 400 mg oral 3 kali per hari) yang mana dapat meningkatkan efikasi ketika praziquantel digunakan bersama dengan kortikosteroid atau antikonvulsan.4,10 Praziquantel dapat diberikan secara oral dalam regimen sehari (single-day regimen) dari tiga dosis 25 mg/kg yang diberikan setiap interval 2 jam atau regimen standard 15 hari (standard 15-day regimen) dengan 50 - 100 mg/kg/hari. Efikasi dari regimen sehari baik pada pasien dengan kista tunggal lebih sedikit tatapi kurang bermanfaat pada kista yang lebih banyak. Secara umum praziquantel mempunyai efek cysticidal yang lebih rendah dari albendazole.7,10 Rentang dosis berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan efek yang lebih besar pada dosis 50 mg/kg per hari dalam tiga dosis per hari selama 14 hari.1,4,10 Albendazole adalah obat anti cacing yang mempunyai spektrum luas pada kebanyakan nematode dan castoda. Albendazole diberikan pada dosis15 mg/kg per hari secara oral dalam dua dosis harian selama 7 hari atau lebih.4,7,10 Regimen ini direkomendasikan untuk intraparenchymal NCC dengan kista yang masih bertahan dan akan menghancurkan kebanyakan kista serta mengurangi seizure setidaknya 45% (lebih tinggi pada generalized seizure).7,16 Albendazole diberikan bersamaan dengan dexamethasone (0,1 mg/kg/hari) untuk setidaknya minggu pertama terapi.7 Efek samping meliputi efek pada gastrointestinal dan efek neurologis yang sama dengan yang telah dijelaskan pada praziquantel. Penelitian radiologis memperlihatkan resolusi dari cysticercus pada parenkim sama baiknya atau lebih baik dari praziquantel.4 Diantara hari ke dua dan ke lima terapi anti parasit biasanya dijumpai eksaserbasi gejala neurologis sehubungan dengan inflamasi lokal karena kematian larva. Karena alasan ini, albendazole dan praziquantel umumnya diberikan bersamaan dengan steroid untuk mengontrol edema dan hipertensi intrakranial yang dapat terjadi sebagai hasil dari pengobatan.1,4 Praziquantel berintereaksi dengan steroid, menurunkan konsentrasinya dalam plasma, walaupun tidak ada bukti bahwa intereaksi pharmakologis ini mempengaruhi efek parasitisidalnya.1,7 Level serum phenytoin dan carbamazepine dapat juga menurun karena pemberian bersamaan dengan praziquantel. Albendazol berpenetrasi lebih baik ke dalam cairan serebrospinal, konsentrasinya tidak terpengaruh walau diberikan bersama dengan steroid dan harga lebih murah dibanding praziquantel.1 Tidak ada alasan untuk menggunakan obat antiparasit untuk mengobati kista yang telah mengalami kalsifikasi. Tidak ada pengobatan yang terjamin efektif terhadap edema sekitar lesi yang episodic dan kontras enhancement yang terlihat disekitar kalsifikasi pada saat kambuhnya gejala.7

Tabel 4. Guideline penggunaan antiparasit pada neurocysticercosis

Dikutip dari : Gracia HH, Evan CAW, Nash TE, Takayanagui OM, White AC, Botero D, Rajshkhar V, et al. Current Consensus Guideline for Treatment of Neurocysticercosis. Clinical Microbiology review, 2002; 15: p. 747-56.

III.10.4. Pembedahan Sebelum adanya obat anti parasit, pembedahan merupakan terapi utama untuk neurocystiercosis, terutama bedah terbuka untuk mengeksisi kista yang besar atau kista yang berada dalam ventrikel.1 Ventriculoperitoneal shunt dibutuhkan pada pasien-pasien dengan hydrocephalus yang disebabkan oleh kista racemose atau intraventrikular yang tidak bisa dioperasi dan meningitis basal atau fibrosis. Hal ini adalah prosedur bedah yang paling sering yang dikombinasi dengan terapi cysticidal.3 Peranan terapi pembedahan dalam penatalaksanaan neuroysticercosis secara bermakna terus menurun dan saat ini terbatas pada pembuatan saluran untuk hydrocephalus yang terjadi karena neurocysticercosis. Perjalanan klinis yang berkepanjangan pada pasien-pasien ini, dan tingginya angka kematian (lebih dari 50% dalam 2 tahun) secara langsung berhubungan dengan jumlah intervensi bedah untuk mengganti saluran.1

III.11. Pencegahan Satu-satunya cara untuk menghilangkan penyakit ini adalah meningkatkan sosial ekonomi. Disamping itu, inspeksi yang ketat pada pasar daging babi dan penjelasan pada masyarakat mengenai bahaya penyakit ini dan pencegahan melalui kebersihan pribadi dan lingkungan dimulai dari rumah.3,4 Kerena sumber penularan telah diketahui, pemeriksaan faeces berulang pada semua anggota keluarga dan pengawasan makanan pasien harus dijaga dan menghilangkan sumber. Pengembangan vaksin binatang yang efektif melawan cysticercosis dapat memberikan cara yang paling potensial untuk menghilangkan penyakit.4

III.12. Prognosa Secara keseluruhan prognosa sehubungan dengan mortalitas, morbiditas dan control seizure adalah baik dan telah mengalami perbaikan setelah adanya praziquantel dan albendazole. Sebaliknya penderita dengan hydrocephalus, kista yang besar, granuloma yang banyak dengan edema, meningitis kronik dan vasculitis adalah penyakit yang lebih akut, sering membutuhkan tindakan bedah dan tidak respon terhadap praziquantel/albendazole. Outcome yang fatal atau gejala sisa yang berat terjadi pada bentuk ini.3 Angka kematian 50% pada pasien-pasien dengan hydrocephalus. Kebanyakan meninggal dalam 2 tahun setelah shunting.10

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini seorang wanita G (39 tahun) dirawat inap dengan diagnosa neurocysticercosis berdasarkan anamnese dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnese diperoleh bahwa penderita datang dengan keluhan utama kejang yang bersifat menghentak pada seluruh tubuh. Lama kejang sekitar dua menit dapat terjadi dua sampai tiga kali seminggu. Riwayat kejang seperti ini sudah berlangsung lebih kurang 12 tahun. Karena kejang ini penderita sudah pernah berobat ke dokter spesialis saraf dan keluhan kejang berkurang dan jarang muncul. Tetapi bila penderita tidak makan obat kejang muncul kembali dan terjadi makin sering. Penderita juga sering mengeluh nyeri pada seluruh kepala terasa berdenyut. Penderita juga sering mengkonsumsi daging babi setengah masak. Pada pemeriksaan head CT scan dijumpai kalsifikasi pada daerah cerebellum hemisphere kanan dan kiri dan juga di basal ganglia, frontoparietal kanan dan kiri diduga Toxoplasmosis yang diagnosa banding dengan Cysticercosis dan Tuberculoma. Sudah dilakukan konseling HIV/AIDS oleh PUSYANSUS tidak jelas dijumpai adanya faktor resiko pada penderita ini. Manifestasi yang paling sering dari NCC adalah seizure.4,7 Seizure yang berulang dapat terjadi pada stadium manapun dari penyakit. Frekuensinya dapat mencapai setinggi 91,8%.3,12 Seizure dapat terjadi fokal, fokal dengan umum sekunder atau general dan focus yang diidentifikasi dapat berupa viasual, olfactory, hallucinatory, amnesic atau berbagai variasi aura yang lain.3,4,12,13 Adanya riwayat sering mengkonsumsi daging babi setengah masak merupakan sumber infestasi Taenia Solium penyebab cysticercosis, yang mana hal ini merupakan salah satu criteria diagnostic (criteria epidemiologi) untuk menegakkan NCC.1Computed Tomography scan lebih sensitive dari MRI dalam mendeteksi kalsifikasi intraserebral. Kalsifikasi parenkim otak sering ditemukan pada pemeriksaan CT. Lesi berbentuk cincin atau nodular yang enhancing juga diduga kuat suatu NCC. Walaupun demikian, sejumlah penyakit lain seperti tuberkuloma, abses otak, dan tumor dapat menyebabkan lesi yang sama. Lesi cysticercosis biasanya lebih kecil dari 20 mm dan jarang menyebabkan midline shift. Pada cysticercosis kalsifikasi cenderung solid, padat, supratentorial dengan diameter 2 10 mm dan apabila tidak ada bukti penyakit yang lain harus dipertimbangkan sebagai dugaan kuat NCC. Jadi bila dijumpai kalsifikasi yang khas maka diduga kuat adalah NCC.4Tidak dijumpai adanya faktor resiko untuk HIV/AIDS menyingkirkan kemungkinan suatu Toxoplasmosis. Kemungkinan suatu abses dapat disingkirkan dengan tidak ditemukan adanya sumber infeksi dari telinga, mastoid, sinusitis, paru, jantung dan trauma kepala yang bisa menyebabkan abses otak pada kasus ini. Pada kasus ini tidak ada kriteria absolut yang terpenuhi, dijumpai satu criteria mayor yaitu adanya lesi yang diduga kuat neurocysticercosis berdasarkan pemeriksaan neuroimaging, dua kriteria minor yaitu adanya lesi yang cocok dengan neurocysticercosis pada pemeriksaan neuroimaging dan gambaran klinis yang diduga kuat neurocysticercosis, serta satu kriteria epidemiologis yaitu bukti adanya kontak dengan infeksi Taenia solium. Sehingga pada kasus ini ditegakkan diagnosa probable neurocysticercosis (1 kriteria mayor, 1 kriteria minor, 1 kriteria epidemiologi). Pasien ini diterapi dengan antikonvulsan carbamazepine 2 x 200 mg, kejang dapat teratasi.

V. PERMASALAHAN

1. Bagaimana diagnosa pasti pada kasus ini ? 2. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada kasus ini ?3. Bagaimana prognosa pada kasus ini ?

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosa neurocysticercosis ditegakkan berdasarkan anamnese, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang. 2. Seizure merupakan gambaran klinis yang paling sering dari neurocysticercosis.2. Terapi spesifik untuk neurocysticercosis adalah albendazol dan praziquantel

VII. SARAN

Sebaiknya penderita dan keluarganya diberi penjelasan mengenai penyakit, perjalanan penyakit dan penularannya agar dapat dilakukan pencegahan serta berobat dengan teratur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gracia HH, Evan CAW, Nash TE, Takayanagui OM, White AC, Botero D, Rajshkhar V, et al. Current Consensus Guideline for Treatment of Neurocysticercosis. Clinical Microbiology review, 2002; 15: p. 747-56. 2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors Principles of Neurology. 8thed. New York:McGraw-Hill;2005.3. Wadia NH. Neurocysticercosis. In: Shakir RA, Newman PK, Poser CM. Editors. Tropical Neurology. London: WB Saunders; 1996.p.247-70. 4. Huang DB, Schntz PM, White AC. Helminthic Infections. In: Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Editors. Infections of the Central Nervous System. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004. p. 797-806. 5. Sagar SM, McGuire D. Infectious Disease. In : Samuels MA, editor. Manual of neurologic therapeutics. 7nd. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 260-318.6. Jubett B, Miller JR. Parasitic Infection. In: Rowland LP. Editor.Merrits Neurology. 10th ed Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 1999.p. 192-194. 7. Garcia HH, Del Brutto OH, Nash TE, White AC, Tsang VCW, GilmanRH. New Concepts in the Diagnosis and Management of Neurocysticercosis (Taenia Solium). Am. J. Trop. Med. Hyg. 2005; 72: p. 3-9. 8. Wilson ME. Cysticercosis-Related Deaths in the U. S. Journal Watch Infectious Desease. 2007; 7: p. 20-25. 9. Gani EH. Helminthologi Kedokteran. Medan : Laboratorium Parasitologi FK- USU;1989. 10. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2000. 11. Sheth TN, Pilon L, Keytone J, Kucharczyk W. Persistent MR Contrast Enhancement of Calcified Neurocysticercosis Lesion. AJNR Am J Neuroradiol 1998; 19: 79-82. 12. Menkes JH, Sarnat HB. Infections of the Nervous System. In: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Editors. Child Neurology. 7th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p. 470-495.

13. Koppel BS. Bacterial, Fungal, & Parasitic Infections of the Nervous System.In. Brust JCM. Editor.Current Diagnosis & Treatment in Neurology. New York: McGraw-Hill; 2007.p. 444-446.14. Sze G, Lee SH. Infectious Disease. In: Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman RA. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York: : McGraw-Hill;1999.p.494-99. 15. Maguire JH. Tapeworms and Seizures Treatment and prevention. N ENGL J MED. 2004.350;3 16. Gracia HH, Pretell EJ, Gilman RH, Martinez SM, Moulton LH, Del Brutto OH, Herrera G et al. A Trial of Antiparasitic Treatment to Reduce the Rate of Seizures Due to Cerebral Cysticercosis.N Engl J Med.2004; 350: 249-58.

HASIL CT scan : NCCT : Infratentorial tampak kalsifikasi pada hemisfer cerebellum kanan/kiri, ventrikel IV tampak normal. Supratentorial tampak multiple kalsifikasi pada daerah basal ganglia, frontoparietal kanan/kiri. Tidak tampak mass effek maupun midlineshift. Ventricular system dan cortical sulci normal. CECT : -----KESAN : Multiple kalsifikasi pada daerah cerebellum hemisfer kanan dan kiri dan juga di basal ganglia, frontoparietal kanan dan kiri e.c Toxoplasmosis DD/ 1. Cysticercosis 2. Tuberculoma Foto penderita

10