Status Gizi Lita
-
Upload
sry-surniaty -
Category
Documents
-
view
8 -
download
2
description
Transcript of Status Gizi Lita
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI I. Status Gizi
a. Pengertian Status Gizi
Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang
tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan
fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa,
2002).
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan
antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut
atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh
(Supariasa, 2002). Jadi, status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas
status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier,
2006 ).
Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level
individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara
langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung
dari status gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
-
7
pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk
akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001).
Hal yang sama diutarakan oleh Daly, et al. (1979) bahwa
konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai faktor dimensi yang sangat
kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu
konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan
dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan
makanan (Supariasa, 2002).
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak
dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi
(nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau
sebaliknya, di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan
untuk disantap (Arisman, 2010).
b. Penilaian Status Gizi
Penentuan status gizi seseorang atau kelompok populasi
dilakukan dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode
penilaian status gizi yaitu: penilaian konsumsi makanan, antropometri,
laboratorium/biokimia dan klinis (Gibson, 2005). Diantara beberapa
metode tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling
sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000).
Antropometri dapat dilakukan dengan beberapa macam
pengukuran yaitu pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan
lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran BB, TB dan LILA sesuai
-
8
dengan umur adalah yang paling sering digunakan untuk survey
sedangkan untuk perorangan, keluarga, pengukuran BB dan TB atau
panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal (Supariasa, 2002).
Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak dapat
ditentukan apakah anak tersebut tergolong status gizi baik, kurang atau
buruk. Hal tersebut diperoleh dengan membandingkan berat badan dan
tinggi badan hasil pengukuran dengan suatu standar internasional yang
dikeluarkan oleh WHO. Status gizi tidak hanya diketahui dengan
mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri,
tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing
indikator mempunyai makna sendiri-sendiri (Supariasa, 2002).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat
ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun tidak spesifik karena
berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi
badan. Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh
masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam
jangka waktu pendek; dan dapat mendeteksi kegemukan (Soekirman,
2000).
Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa
lampau atau masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan
keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang
dapat diperbaiki dalam waktu singkat, baik pada anak maupun dewasa,
maka tinggi badan pada usia dewasa tidak dapat lagi dinormalkan.
-
9
Kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimal pada
anak balita masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai remaja
kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih bisa
tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan optimal.
Secara normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya
umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi
dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB
baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini juga dapat
dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk (Soekirman,
2000).
Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang
terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status
gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier
dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan
berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan
tertentu. Hal ini berarti berat badan yang normal akan proporsional
dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang baik untuk
menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering
sulit diperoleh. WHO & Unicef merekomendasikan menggunakan
indikator BB/TB dengan cut of point < -3 SD dalam kegiatan
identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi
buruk akut (Depkes RI, 2009).
-
10
Indikator IMT/U merupakan indikator yang paling baik
untuk mengukur keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan
status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki
hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan
underestimate pada anak yang overweight dan obese serta kesan
berlebihan pada anak gizi kurang.(WHO, 2007)
Panduan tata laksana penderita KEP (Depkes, 2000)
menyebutkan bahwa gizi buruk diartikan sebagai keadaan kekurangan
gizi yang sangat parah yang ditandai dengan berat badan menurut
umur kurang dari 60 % median pada baku WHO-NCHS atau terdapat
tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmik-
kwashiorkor. Agar penentuan klasifikasi dan penyebutan status gizi
menjadi seragam dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan [Menkes]
RI mengeluarkan Keputusan Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak . Keluarnya
SK tersebut mempermudah analisis data status gizi yang dihasilkan
baik untuk perbandingan , kecenderungan maupun analisis hubungan
(Depkes, 2010).
Menurut SK tersebut penentuan gizi status gizi tidak lagi
menggunakan persen terhadap median, melainkan nilai Z-score pada
-
11
baku WHO-NCHS. Secara umum kategori dan ambang batas status
gizi anak berdasarkan indeks adalah seperti Tabel 1.
Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks *
INDEKS KATEGORI STATUS GIZI
AMBANG BATAS (Z-SCORE)
Berat badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 bulan Panjang Badan menurut Umur (PB/U)atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 bulan Berat badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Masa Tubuh menurut Umur ( IMT/U ) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Masa Tubuh menurut Umur ( IMT/U ) Anak Umur 5 18 tahun
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk
< -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD
< -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD
*) Sumber : SK Menkes 1995/Menkes/SK/XII/2010.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita
disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan
sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah
dan akar masalah.
Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangnya
konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia
-
12
anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan
dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli,
pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara
perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat
istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier,
2001).
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan
yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya
dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup
baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga
mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya
mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat
interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara kurang
gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang
ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri.
Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang
gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare,
HIV/AIDS,tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya
bisa menyebabkan anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan
anemia. Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan
-
13
bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh
anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga,
pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh
anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta
pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang
saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk
keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan
sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan,
makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef,
1998).
Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas
adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana
alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan
dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status
gizi balita (Soekirman, 2000).
-
14
d. Hubungan Asupan Gizi dengan Masalah Gizi
Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi (Ali, 2009)
Riwayat alamiah terjadinya masalah (defisiensi gizi), dimulai dari
tahap pre pathogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu
dengan penyebab (agent = zat-zat gizi) serta lingkungan. Pada
tahap ini terjadi keseimbangan antar ketiga komponen yaitu tubuh
manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia dan zat-zat gizi
makanan berada (konsep John Gordon). Empat kemungkinan
terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi yaitu makanan yang
dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
peningkatan kepekaan tubuh terhadap kebutuhan gizi misalnya
kebutuhan yang meningkat karena sakit, pergeseran lingkungan
yang memungkinkan kekurangan pangan, misalnya karena gagal
panen, dan perubahan lingkungan yang meningkatkan kerentanan
tubuh misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh (Ali, 2009).
Bila salah satu kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit
-
15
defisiensi gizi tersebut di atas maka tahap pertama yang terjadi
adalah simpanan berkurang yaitu zat-zat gizi dalam tubuh terutama
simpanan dalam bentuk lemak termasuk unsure-unsur
biokatalisnya akan menggantikan kebutuhan energi dari
karbohidrat yang kurang. Apabila hal ini terus terjadi maka
simpanan habis yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua
kemungkinan yaitu menunggu asupan gizi yang memadai atau
menggunakan protein tubuh untuk keperluan energi. Bila
menggunakan protein tubuh maka perubahan faal dan metabolik
akan terjadi. Pada tahap awal akan terlihat seseorang tidak sakit
dan tidak sehat sebagai batas klinis terjadinya penyakit defisiensi
gizi, bukan saja terjadi pada zat gizi penghasil energi tetapi juga
vitamin, mineral dan air termasuk serat (Ali, 2009).
Prinsip terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi, seperti
terlihat pada gambar monitoring gizi di bawah ini.
Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi (Ali, 2009)
-
16
Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk dipergunakan berbagai
aktifitas, bila zat gizi kurang maka sel tubuh akan mengambil
cadangan zat gizi (depot), bila zat gizi yang dikonsumsi berlebihan
maka akan disimpan dalam tubuh. Bila depot simpanan habis dan
konsumsi zat gizi kurang maka akan terjdi proses biokimia untuk
mengubah unsur-unsur pembangun struktur tubuh, ini artinya telah
terjadi gangguan biokimia tubuh misalnya kadar Hb dan serum
yang turun. Bila tidak segera diatasi dengan konsumsi gizi yang
adekuat maka secara anatomi sel-sel, jaringan dan organ tubuh
akan terlihat mengalami kerusakan misalnya saja pada penyakit
defisiensi gizi kwashiorkor dan marasmus. Gangguan anatomi
dengan kerusakan jaringan yang parah dapat berakhir dengan
kematian (Ali, 2009).
2. Kurang Energi Protein ( KEP )
a. Pengertian Kurang Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari hari atau gangguan penyakit penyakit
tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat
badannya kurang dari 80 % indek berat badan/umur baku standar
WHO NCHS (Depkes, 1997).
-
17
b. Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)
Penentuan KEP di Puskesmas dilakukan dengan menimbang berat
badan anak dibandingkan umur dengan menggunakan KMS dan
tabel BB/U Baku Median WHO NCHS.
1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS
terletak pada pita kuning.
2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS
terletak di Bawah Garis Merah ( BGM ).
3. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku
median WHO-NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP
berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan
KEP berat/gizi buruk digunakan tabel BB/U Baku median
WHO-NCHS.
c. Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk
Gejala klinis untuk KEP ringan dan sedang, yang ditemukan
hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk
secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor
atau marasmickwashiokor. Tanpa mengukur/melihat BB bila
disertai oudema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP
berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
1. Kwashiokor
a) Oedema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada
punggung kaki (dorsum pedis ).
-
18
b) Wajah membulat dan sembab.
c) Pandangan mata sayu.
d) Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung,
mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok.
e) Perubahan status mental, apatis dan rewel.
f) Pembesaran hati.
g) Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada
posisi berdiri atau duduk.
h) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
i) Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan
diare.
2. Marasmus
a) Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit.
b) Wajah seperti orang tua.
c) Cengeng rewel.
d) Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (pakai celana longgar ).
e) Perut cekung.
f) Iga gambang.
g) Sering disertai , penyakit infeksi( umumnya kronis
berulang), diare kronis atau konstipasi/susah buang air.
-
19
3. Marasmik- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku
median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak mencolok
(Depkes, 1999).
Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam
waktu besar dapat mengakibatkan menurunnya status gizi individu
dalam waktu beberapa hari atau minggu saja yang ditandai dengan
penurunan berat badan yang cepat. Keadaan yang diakibatkan oleh
kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi kurang atau
gizi buruk. Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi
badan) pada tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun
kekurusan pada individu yang lebih tua dapat mudah dikenali
dengan mata . Demikian pula halnya dengan kasus kekurangan
energi berat (marasmus) dan kekurangan protein berat (kwasiokor)
serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali tanda-
tandanya dengan mudah (Soekirman, 1998).
Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada
anak balita selalu berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam
pembangunan social ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara
acak dan tidak terdistribusi secara merata ditingkat masyarakat,
tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya dengan sindroma
kemiskinan (Gopalan, 1987).
-
20
Tanda tanda sindroma, antara lain berupa : penghasilan
yang amat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan
sandang, pangan, dan perumahan, kuantitas dan kualitas gizi
makanan yang rendah sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber
air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan kesehatan yang
amat terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan
tingkat buta aksara tinggi (Gopalan, 1987).
Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah
yang cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat
sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh
karena itu prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal
terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan
tubuh, dan peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya
kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap
kedua hal ini, faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan
(Martorell and Habicht, 1986).
3. Formula 100
Gizi buruk dan gizi kurang merupakan suatu bentuk penyakit
defisiensi gizi yaitu hasil dari kekurangan zat-zat gizi dalam makanan
seperti karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, air dan serat yang diperlukan
seorang anak. Di Indonesia, karbohidrat adalah komponen utama makanan
baik berasal dari serealia, ubi-ubian ataupun buah (Sunawang, 2000).
-
21
Padahal pada penelitian pemberian makanan pada anak umur kurang dari 6
tahun yang mengandung kalori dari lemak < 22% dan rendahnya masukan
protein hewani, maka anak tersebut akan mengalami hambatan
pertumbuhan (Nugroho, 2005).
Pemberian makanan tambahan dimaksudkan untuk meningkatkan
asupan gizi sehingga dapat mengurangi kejadian hambatan pertumbuhan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan pemberian tambahan
makanan untuk meningkatkan pertumbuhan anak balita,antara lain
penelitian di Jamaica tahun 1991 pada anak umur 24 bulan dengan
menggunakan susu formula dengan kandungan kalori 750 kkal dan 20
gram protein perhari mampu meningkatkan berat badan 380 g dan tinggi
badan 1,0 cm setiap bulan lebih banyak dibanding kontrol. Penelitian di
Thailand tahun 1988 pada anak umur 36 bulan dengan menggunakan
biskuit tinggi energi, vitamin dan mineral dengan kandungan kalori 300
kkal dan 6 gram protein perhari mampu meningkatkan berat badan 100
gram dan tinggi badan 0,1 cm per bulan dibanding kontrol. Penelitian di
Jawa Barat Indonesia pada tahun1991 untuk anak umur 6 20 bulan
dengan menggunakan snack tinggi kalori dengan kecukupan kalori 400
kkal dan 5 gram protein perhari mampu meningkatkan WAZ 0,3 SD
selama 3 bulan (Sunawang, 2000). Makanan/minuman berkalori tinggi
juga telah dikembangkan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR / RS
dr Sutomo Surabaya dengan nama MODISCO ( Modified Disco) yang
merupakan modifikasi dari DISCO 150 dari Uganda, penggunaannya pada
-
22
balita di pedesaan Kediri memberikan peningkatan berat badan berkisar
150 600 gram selama 10 hari pemberian (Narendra,1987).
Penelitian di Italia dengan memakai Rinforza, suatu susu
formula dengan kandungan gizi kalori 103 kkal dan protein 3,1 gram per
100 ml serta ditambah minyak sayur dan mineral untuk anak kurang gizi
antara 1 10 tahun mampu menurunkan anak kurus, WHZ < persentil 25
dari 56% menjadi 45 % dalam waktu 2 bulan ( Nugroho, 2005).
Penelitian penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil
bahwa pemberian makanan tambahan berupa susu lebih mudah diterima
oleh anak-anak sehingga dikembangkanlah suatu formula yang berasal
dari susu yang mengandung berbagai macam zat gizi yang dibutuhkan
balita KEP. Formula 100 merupakan minuman tinggi kalori yang terbuat
dari susu full cream, gula, minyak dan mineral mix, formula ini sering
digunakan di Rumah Sakit maupun pemulihan gizi di Puskesmas untuk
penderita gizi buruk pada tahap lanjut maupun anak lain yang memerlukan
asupan makanan dengan kalori dan protein tinggi. Formula 100 sebanyak
100 ml mengandung kalori sebesar 100 kkal dan 2,9 gram protein.
Formula 100 dibandingkan susu formula di pasaran yang memiliki
kandungan gizi yang setara misalnya Pediasure@ dengan kalori 103 kkal
dan protein 3,1 gram per 100 ml, harganya jauh lebih murah dan
bahannya mudah didapatkan masyarakat (WHO, 2000).
-
23
Resep Formula 100 menurut WHO 1999 terdiri atas susu full
cream 80 gram, gula pasir 50 gram, minyak sayur 60 gram dan mineral
mix 20 ml, selanjutnya ditambah air matang sampai 1000 ml.
Menurut Asikin (1989), beberapa keluhan kesulitan pemberian
Modisco (termasuk Formula 100) antara lain karena kebanyakan anak
tidak suka minyak. Hal tersebut dapat dapat diatasi dengan mengganti
minyak dengan margarine. Keluhan lain yang paling sering adalah karena
anak tidak suka susu, dapat diatasi dengan pemberian F 100 melalui sonde
( rawat inap), atau dapat juga dilakukan dengan mencampurkan F 100
pada makanan atau minuman yang disukai anak. Dijumpai pula keluhan
nafsu makan anak kurang sehingga porsi tidak habis. Disarankan untuk
memberikan F 100 dalam bentuk pekat kalori dengan jumlah yang lebih
sedikit atau dengan memberikan porsi yang tidak habis melalui sonde.
Kadang dijumpai pula gangguan pencernaan pada anak yang
mengkonsumsi F 100 (diare). Dalam hal ini bisa menggunakan susu skim
dengan pemberian mulai 2,5 5 7,5 10 % ditambah glukosa 5 % dan
tepung 5 %. Adapula keluhan tentang kesulitan mencari susu skim di
pasaran. Pada dasarnya semua jenis susu dapat digunakan sehingga tidak
selalu harus menggunakan susu skim. Untuk mengatasi daya beli
masyarakat yang kurang dianjurkan menggunakan jenis susu yang murah
dan sesuai dengan kemampuannya ( susu skim lebih murah daripada susu
fullcream).
-
24
B. KERANGKA TEORI
Sumber : Penyebab Kurang Gizi (disesuaikan dari UNICEF,1988 dalam
Soekirman, 2000
C. KERANGKA KONSEP
Pemberian Formula 100
Status Gizi balita
Gizi Kurang
Makanan tidak adekuat Penyakit infeksi
Tidak cukup persediaan
pangan
Pola asuh anak tidak memadai
Sanitasi &air bersih/yankes dasar
tidak memadai
Kurang Pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Pengangguran, Inflasi, kurang pangan, kemiskinan
Krisis Ekonomi,Politik dan Sosial
Tingkat Konsumsi Energi dan protein
Pembemberian F 100
-
25
D. HIPOTESIS 1. Ada pengaruh pemberian Formula 100 terhadap status gizi berdasarkan
BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U balita KEP di wilayah Puskesmas Jakenan
dengan dikontrol oleh status gizi sebelum perlakuan.
2. Ada pengaruh pemberian Formula 100 terhadap kenaikan () rerata Z
skor berdasarkan BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U balita KEP di wilayah
Puskesmas Jakenan dengan dikontrol oleh tingkat konsumsi energi dan
protein.