Status Gizi Lita

20
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI I. Status Gizi a. Pengertian Status Gizi Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa, 2002). Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh (Supariasa, 2002). Jadi, status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier, 2006 ). Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

description

kuliah

Transcript of Status Gizi Lita

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. LANDASAN TEORI I. Status Gizi

    a. Pengertian Status Gizi

    Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang

    dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,

    transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang

    tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan

    fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa,

    2002).

    Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan

    antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut

    atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh

    (Supariasa, 2002). Jadi, status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai

    akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas

    status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier,

    2006 ).

    Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level

    individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara

    langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung

    dari status gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

  • 7

    pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk

    akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001).

    Hal yang sama diutarakan oleh Daly, et al. (1979) bahwa

    konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai faktor dimensi yang sangat

    kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu

    konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan

    dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan

    makanan (Supariasa, 2002).

    Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak

    dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi

    (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau

    sebaliknya, di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan

    untuk disantap (Arisman, 2010).

    b. Penilaian Status Gizi

    Penentuan status gizi seseorang atau kelompok populasi

    dilakukan dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode

    penilaian status gizi yaitu: penilaian konsumsi makanan, antropometri,

    laboratorium/biokimia dan klinis (Gibson, 2005). Diantara beberapa

    metode tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling

    sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000).

    Antropometri dapat dilakukan dengan beberapa macam

    pengukuran yaitu pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan

    lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran BB, TB dan LILA sesuai

  • 8

    dengan umur adalah yang paling sering digunakan untuk survey

    sedangkan untuk perorangan, keluarga, pengukuran BB dan TB atau

    panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal (Supariasa, 2002).

    Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak dapat

    ditentukan apakah anak tersebut tergolong status gizi baik, kurang atau

    buruk. Hal tersebut diperoleh dengan membandingkan berat badan dan

    tinggi badan hasil pengukuran dengan suatu standar internasional yang

    dikeluarkan oleh WHO. Status gizi tidak hanya diketahui dengan

    mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri,

    tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing

    indikator mempunyai makna sendiri-sendiri (Supariasa, 2002).

    Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat

    ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun tidak spesifik karena

    berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi

    badan. Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh

    masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam

    jangka waktu pendek; dan dapat mendeteksi kegemukan (Soekirman,

    2000).

    Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa

    lampau atau masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan

    keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang

    dapat diperbaiki dalam waktu singkat, baik pada anak maupun dewasa,

    maka tinggi badan pada usia dewasa tidak dapat lagi dinormalkan.

  • 9

    Kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimal pada

    anak balita masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai remaja

    kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih bisa

    tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan optimal.

    Secara normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya

    umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi

    dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB

    baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini juga dapat

    dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk (Soekirman,

    2000).

    Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang

    terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status

    gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier

    dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan

    berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan

    tertentu. Hal ini berarti berat badan yang normal akan proporsional

    dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang baik untuk

    menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering

    sulit diperoleh. WHO & Unicef merekomendasikan menggunakan

    indikator BB/TB dengan cut of point < -3 SD dalam kegiatan

    identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi

    buruk akut (Depkes RI, 2009).

  • 10

    Indikator IMT/U merupakan indikator yang paling baik

    untuk mengukur keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan

    status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki

    hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,

    perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi

    badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan

    underestimate pada anak yang overweight dan obese serta kesan

    berlebihan pada anak gizi kurang.(WHO, 2007)

    Panduan tata laksana penderita KEP (Depkes, 2000)

    menyebutkan bahwa gizi buruk diartikan sebagai keadaan kekurangan

    gizi yang sangat parah yang ditandai dengan berat badan menurut

    umur kurang dari 60 % median pada baku WHO-NCHS atau terdapat

    tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmik-

    kwashiorkor. Agar penentuan klasifikasi dan penyebutan status gizi

    menjadi seragam dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan [Menkes]

    RI mengeluarkan Keputusan Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010

    tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak . Keluarnya

    SK tersebut mempermudah analisis data status gizi yang dihasilkan

    baik untuk perbandingan , kecenderungan maupun analisis hubungan

    (Depkes, 2010).

    Menurut SK tersebut penentuan gizi status gizi tidak lagi

    menggunakan persen terhadap median, melainkan nilai Z-score pada

  • 11

    baku WHO-NCHS. Secara umum kategori dan ambang batas status

    gizi anak berdasarkan indeks adalah seperti Tabel 1.

    Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks *

    INDEKS KATEGORI STATUS GIZI

    AMBANG BATAS (Z-SCORE)

    Berat badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 bulan Panjang Badan menurut Umur (PB/U)atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 bulan Berat badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Masa Tubuh menurut Umur ( IMT/U ) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Masa Tubuh menurut Umur ( IMT/U ) Anak Umur 5 18 tahun

    Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk

    < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD

    < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD

    *) Sumber : SK Menkes 1995/Menkes/SK/XII/2010.

    c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita

    disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan

    sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah

    dan akar masalah.

    Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangnya

    konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia

  • 12

    anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan

    dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli,

    pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara

    perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat

    istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier,

    2001).

    Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang

    kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan

    yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya

    dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup

    baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga

    mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya

    mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat

    interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi

    merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.

    Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara kurang

    gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang

    ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri.

    Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang

    gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare,

    HIV/AIDS,tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya

    bisa menyebabkan anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan

    anemia. Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan

  • 13

    bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh

    anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

    Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga,

    pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan

    lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh

    anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta

    pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang

    saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk

    keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan

    sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan,

    makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef,

    1998).

    Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas

    adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana

    alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan

    dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status

    gizi balita (Soekirman, 2000).

  • 14

    d. Hubungan Asupan Gizi dengan Masalah Gizi

    Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi (Ali, 2009)

    Riwayat alamiah terjadinya masalah (defisiensi gizi), dimulai dari

    tahap pre pathogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu

    dengan penyebab (agent = zat-zat gizi) serta lingkungan. Pada

    tahap ini terjadi keseimbangan antar ketiga komponen yaitu tubuh

    manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia dan zat-zat gizi

    makanan berada (konsep John Gordon). Empat kemungkinan

    terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi yaitu makanan yang

    dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas,

    peningkatan kepekaan tubuh terhadap kebutuhan gizi misalnya

    kebutuhan yang meningkat karena sakit, pergeseran lingkungan

    yang memungkinkan kekurangan pangan, misalnya karena gagal

    panen, dan perubahan lingkungan yang meningkatkan kerentanan

    tubuh misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh (Ali, 2009).

    Bila salah satu kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit

  • 15

    defisiensi gizi tersebut di atas maka tahap pertama yang terjadi

    adalah simpanan berkurang yaitu zat-zat gizi dalam tubuh terutama

    simpanan dalam bentuk lemak termasuk unsure-unsur

    biokatalisnya akan menggantikan kebutuhan energi dari

    karbohidrat yang kurang. Apabila hal ini terus terjadi maka

    simpanan habis yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua

    kemungkinan yaitu menunggu asupan gizi yang memadai atau

    menggunakan protein tubuh untuk keperluan energi. Bila

    menggunakan protein tubuh maka perubahan faal dan metabolik

    akan terjadi. Pada tahap awal akan terlihat seseorang tidak sakit

    dan tidak sehat sebagai batas klinis terjadinya penyakit defisiensi

    gizi, bukan saja terjadi pada zat gizi penghasil energi tetapi juga

    vitamin, mineral dan air termasuk serat (Ali, 2009).

    Prinsip terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi, seperti

    terlihat pada gambar monitoring gizi di bawah ini.

    Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi (Ali, 2009)

  • 16

    Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk dipergunakan berbagai

    aktifitas, bila zat gizi kurang maka sel tubuh akan mengambil

    cadangan zat gizi (depot), bila zat gizi yang dikonsumsi berlebihan

    maka akan disimpan dalam tubuh. Bila depot simpanan habis dan

    konsumsi zat gizi kurang maka akan terjdi proses biokimia untuk

    mengubah unsur-unsur pembangun struktur tubuh, ini artinya telah

    terjadi gangguan biokimia tubuh misalnya kadar Hb dan serum

    yang turun. Bila tidak segera diatasi dengan konsumsi gizi yang

    adekuat maka secara anatomi sel-sel, jaringan dan organ tubuh

    akan terlihat mengalami kerusakan misalnya saja pada penyakit

    defisiensi gizi kwashiorkor dan marasmus. Gangguan anatomi

    dengan kerusakan jaringan yang parah dapat berakhir dengan

    kematian (Ali, 2009).

    2. Kurang Energi Protein ( KEP )

    a. Pengertian Kurang Energi Protein

    Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi

    yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein

    dalam makanan sehari hari atau gangguan penyakit penyakit

    tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat

    badannya kurang dari 80 % indek berat badan/umur baku standar

    WHO NCHS (Depkes, 1997).

  • 17

    b. Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)

    Penentuan KEP di Puskesmas dilakukan dengan menimbang berat

    badan anak dibandingkan umur dengan menggunakan KMS dan

    tabel BB/U Baku Median WHO NCHS.

    1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS

    terletak pada pita kuning.

    2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS

    terletak di Bawah Garis Merah ( BGM ).

    3. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku

    median WHO-NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP

    berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan

    KEP berat/gizi buruk digunakan tabel BB/U Baku median

    WHO-NCHS.

    c. Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk

    Gejala klinis untuk KEP ringan dan sedang, yang ditemukan

    hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk

    secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor

    atau marasmickwashiokor. Tanpa mengukur/melihat BB bila

    disertai oudema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP

    berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.

    1. Kwashiokor

    a) Oedema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada

    punggung kaki (dorsum pedis ).

  • 18

    b) Wajah membulat dan sembab.

    c) Pandangan mata sayu.

    d) Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung,

    mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok.

    e) Perubahan status mental, apatis dan rewel.

    f) Pembesaran hati.

    g) Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada

    posisi berdiri atau duduk.

    h) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan

    berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.

    i) Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan

    diare.

    2. Marasmus

    a) Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit.

    b) Wajah seperti orang tua.

    c) Cengeng rewel.

    d) Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai

    tidak ada (pakai celana longgar ).

    e) Perut cekung.

    f) Iga gambang.

    g) Sering disertai , penyakit infeksi( umumnya kronis

    berulang), diare kronis atau konstipasi/susah buang air.

  • 19

    3. Marasmik- kwashiorkor

    Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala

    klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku

    median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak mencolok

    (Depkes, 1999).

    Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam

    waktu besar dapat mengakibatkan menurunnya status gizi individu

    dalam waktu beberapa hari atau minggu saja yang ditandai dengan

    penurunan berat badan yang cepat. Keadaan yang diakibatkan oleh

    kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi kurang atau

    gizi buruk. Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi

    badan) pada tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun

    kekurusan pada individu yang lebih tua dapat mudah dikenali

    dengan mata . Demikian pula halnya dengan kasus kekurangan

    energi berat (marasmus) dan kekurangan protein berat (kwasiokor)

    serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali tanda-

    tandanya dengan mudah (Soekirman, 1998).

    Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada

    anak balita selalu berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam

    pembangunan social ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara

    acak dan tidak terdistribusi secara merata ditingkat masyarakat,

    tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya dengan sindroma

    kemiskinan (Gopalan, 1987).

  • 20

    Tanda tanda sindroma, antara lain berupa : penghasilan

    yang amat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan

    sandang, pangan, dan perumahan, kuantitas dan kualitas gizi

    makanan yang rendah sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber

    air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan kesehatan yang

    amat terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan

    tingkat buta aksara tinggi (Gopalan, 1987).

    Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah

    yang cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat

    sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan,

    perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh

    karena itu prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal

    terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan

    tubuh, dan peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya

    kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap

    kedua hal ini, faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan

    (Martorell and Habicht, 1986).

    3. Formula 100

    Gizi buruk dan gizi kurang merupakan suatu bentuk penyakit

    defisiensi gizi yaitu hasil dari kekurangan zat-zat gizi dalam makanan

    seperti karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, air dan serat yang diperlukan

    seorang anak. Di Indonesia, karbohidrat adalah komponen utama makanan

    baik berasal dari serealia, ubi-ubian ataupun buah (Sunawang, 2000).

  • 21

    Padahal pada penelitian pemberian makanan pada anak umur kurang dari 6

    tahun yang mengandung kalori dari lemak < 22% dan rendahnya masukan

    protein hewani, maka anak tersebut akan mengalami hambatan

    pertumbuhan (Nugroho, 2005).

    Pemberian makanan tambahan dimaksudkan untuk meningkatkan

    asupan gizi sehingga dapat mengurangi kejadian hambatan pertumbuhan.

    Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan pemberian tambahan

    makanan untuk meningkatkan pertumbuhan anak balita,antara lain

    penelitian di Jamaica tahun 1991 pada anak umur 24 bulan dengan

    menggunakan susu formula dengan kandungan kalori 750 kkal dan 20

    gram protein perhari mampu meningkatkan berat badan 380 g dan tinggi

    badan 1,0 cm setiap bulan lebih banyak dibanding kontrol. Penelitian di

    Thailand tahun 1988 pada anak umur 36 bulan dengan menggunakan

    biskuit tinggi energi, vitamin dan mineral dengan kandungan kalori 300

    kkal dan 6 gram protein perhari mampu meningkatkan berat badan 100

    gram dan tinggi badan 0,1 cm per bulan dibanding kontrol. Penelitian di

    Jawa Barat Indonesia pada tahun1991 untuk anak umur 6 20 bulan

    dengan menggunakan snack tinggi kalori dengan kecukupan kalori 400

    kkal dan 5 gram protein perhari mampu meningkatkan WAZ 0,3 SD

    selama 3 bulan (Sunawang, 2000). Makanan/minuman berkalori tinggi

    juga telah dikembangkan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR / RS

    dr Sutomo Surabaya dengan nama MODISCO ( Modified Disco) yang

    merupakan modifikasi dari DISCO 150 dari Uganda, penggunaannya pada

  • 22

    balita di pedesaan Kediri memberikan peningkatan berat badan berkisar

    150 600 gram selama 10 hari pemberian (Narendra,1987).

    Penelitian di Italia dengan memakai Rinforza, suatu susu

    formula dengan kandungan gizi kalori 103 kkal dan protein 3,1 gram per

    100 ml serta ditambah minyak sayur dan mineral untuk anak kurang gizi

    antara 1 10 tahun mampu menurunkan anak kurus, WHZ < persentil 25

    dari 56% menjadi 45 % dalam waktu 2 bulan ( Nugroho, 2005).

    Penelitian penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil

    bahwa pemberian makanan tambahan berupa susu lebih mudah diterima

    oleh anak-anak sehingga dikembangkanlah suatu formula yang berasal

    dari susu yang mengandung berbagai macam zat gizi yang dibutuhkan

    balita KEP. Formula 100 merupakan minuman tinggi kalori yang terbuat

    dari susu full cream, gula, minyak dan mineral mix, formula ini sering

    digunakan di Rumah Sakit maupun pemulihan gizi di Puskesmas untuk

    penderita gizi buruk pada tahap lanjut maupun anak lain yang memerlukan

    asupan makanan dengan kalori dan protein tinggi. Formula 100 sebanyak

    100 ml mengandung kalori sebesar 100 kkal dan 2,9 gram protein.

    Formula 100 dibandingkan susu formula di pasaran yang memiliki

    kandungan gizi yang setara misalnya Pediasure@ dengan kalori 103 kkal

    dan protein 3,1 gram per 100 ml, harganya jauh lebih murah dan

    bahannya mudah didapatkan masyarakat (WHO, 2000).

  • 23

    Resep Formula 100 menurut WHO 1999 terdiri atas susu full

    cream 80 gram, gula pasir 50 gram, minyak sayur 60 gram dan mineral

    mix 20 ml, selanjutnya ditambah air matang sampai 1000 ml.

    Menurut Asikin (1989), beberapa keluhan kesulitan pemberian

    Modisco (termasuk Formula 100) antara lain karena kebanyakan anak

    tidak suka minyak. Hal tersebut dapat dapat diatasi dengan mengganti

    minyak dengan margarine. Keluhan lain yang paling sering adalah karena

    anak tidak suka susu, dapat diatasi dengan pemberian F 100 melalui sonde

    ( rawat inap), atau dapat juga dilakukan dengan mencampurkan F 100

    pada makanan atau minuman yang disukai anak. Dijumpai pula keluhan

    nafsu makan anak kurang sehingga porsi tidak habis. Disarankan untuk

    memberikan F 100 dalam bentuk pekat kalori dengan jumlah yang lebih

    sedikit atau dengan memberikan porsi yang tidak habis melalui sonde.

    Kadang dijumpai pula gangguan pencernaan pada anak yang

    mengkonsumsi F 100 (diare). Dalam hal ini bisa menggunakan susu skim

    dengan pemberian mulai 2,5 5 7,5 10 % ditambah glukosa 5 % dan

    tepung 5 %. Adapula keluhan tentang kesulitan mencari susu skim di

    pasaran. Pada dasarnya semua jenis susu dapat digunakan sehingga tidak

    selalu harus menggunakan susu skim. Untuk mengatasi daya beli

    masyarakat yang kurang dianjurkan menggunakan jenis susu yang murah

    dan sesuai dengan kemampuannya ( susu skim lebih murah daripada susu

    fullcream).

  • 24

    B. KERANGKA TEORI

    Sumber : Penyebab Kurang Gizi (disesuaikan dari UNICEF,1988 dalam

    Soekirman, 2000

    C. KERANGKA KONSEP

    Pemberian Formula 100

    Status Gizi balita

    Gizi Kurang

    Makanan tidak adekuat Penyakit infeksi

    Tidak cukup persediaan

    pangan

    Pola asuh anak tidak memadai

    Sanitasi &air bersih/yankes dasar

    tidak memadai

    Kurang Pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan

    Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat

    Pengangguran, Inflasi, kurang pangan, kemiskinan

    Krisis Ekonomi,Politik dan Sosial

    Tingkat Konsumsi Energi dan protein

    Pembemberian F 100

  • 25

    D. HIPOTESIS 1. Ada pengaruh pemberian Formula 100 terhadap status gizi berdasarkan

    BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U balita KEP di wilayah Puskesmas Jakenan

    dengan dikontrol oleh status gizi sebelum perlakuan.

    2. Ada pengaruh pemberian Formula 100 terhadap kenaikan () rerata Z

    skor berdasarkan BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U balita KEP di wilayah

    Puskesmas Jakenan dengan dikontrol oleh tingkat konsumsi energi dan

    protein.