Pengertian Status Gizi
-
Upload
taufikfah17 -
Category
Documents
-
view
53 -
download
0
description
Transcript of Pengertian Status Gizi
Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu,
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contoh : Gondok endemik
merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh.
(Supariasa, 2002)
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel
pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan / panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan
dan panjang tungkai. (Gibson,1990). Jika keseimbangan terganggu, misalnya pengeluaran
energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan
energi protein dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang dikenal dengan
kekurangan energi protein berat atau gizi buruk. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi dan digunakan secara efisien maka akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. (Almatsier, 2001).
2. Klasifikasi Status Gizi
Dalam penilaian status gizi, khusunya untuk keperluan klasifikasi maka harus ada ukuran
baku (refference). Baku antropometri yang banyak digunakan adalah baku Harvard 1999,
baik untuk BB atau TB. Pada tahun 1979 WHO mempublikasikan baku antropometri yang
dikenal dengan baku WHO-NCHS dan dipublikasikan ulang pada tahun 1983. Biro Pusat
Statistik dalam melakukan penilaian status gizi yang dikelola Direktorat Bina Gizi
Masyarakat menggunakan baku WHO-NCHS. Pada prinsipnya penggunaan jenis baku
antropometri di suatu negara didasari atas suatu kesepakatan bersama antara para ah!i di
bidang ini, dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya dengan kondisi di negara
yang bersangkutan. Demikian pula halnya di Indonesia, baku antropometri yang digunakan
selama ini (Baku Harvard) didasarkan atas suatu kesepakatan dalam Loka Karya
Antropometri tahun 1975. Penggunaan jenis antropometri tidak mudak harus satu. Dalam
penelitian-penelitian sering pula digunakan baku antropometri lain, seperti telah disebutkan
diatas misalnya penggunaan baku WHO-NCHS yang diterbitkan oleh WHO, Geneva. Untuk
klasifikasi status gizi berdasarkan baku antropometri perlu ada batasan-batasan (out of point)
tertentu. Dalam hal batasan ini beberapa ahli telah mengemukakan berbagai angka untuk
keperluan klasifikasi status gizi (Jauhari, 1988).
Tabel 1. Baku antropometri WHO NCHS
Indikator Status gizi KeteranganBB/U BB sangat lebih
BB lebihBB normalBB kurangBB sangat kurang
>3 SD>2 SD s/d 3 SD- 2 SD s/d 2 SD< - 2 SD – (-3) SD< - 3 SD
TB/U Tinggi/JangkungNormalPendekSangat Pendek
>- 3 SD-2 SD s/d 3 SD-3 SD s/d -2 SD< -3 SD
BB/TB ObesitasGemukRisiko GemukNormalKurusSangat Kurus
>3 SD>2 SD s/d 3 SD>1 SD s/d 2 SD-2 SD s/d 1 SD-3 SD s/d < -2 SD< -3 SD
IMT/U ObesitasGemukRisiko GemukNormalKurusSangat Kurus
>3 SD>2 SD s/d 3 SD>1 SD s/d 2 SD-2 SD s/d 1 SD-3 SD s/d < -2 SD< -3 SD
(Sumber :Widyakarya Pangan Nasional & Gizi 2000)
B. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang beresiko
atau dengan status gizi buruk. (Achadi, 2002)
Penilaian status gizi bertujuan untuk :
a. Memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian status gizi.
b. Memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari masing-masing yang ada.
c. Memberikan gambaran singkat mengenai pengumpulan data, perencanaan dan implementasi
untuk penilaian status gizi.
Metode dalam penilaian status gizi dibagi dalam dua kelompok, yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung terdiri dari penilaian dengan tanda
klinis, tes laboratorium, metode biofisik dan antropometri. Sedangkan penilaian status gizi
secara tidak langsung berupa survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pengukuran antropometri.
(Achadi, 2002).
1. Penilaian Status Gizi Secara Langsung
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. (Supariasa, 2002).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial
epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya
untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk
mendeteksi secara tepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat
gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
(Supariasa, 2002).
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan
otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
(Supariasa, 2002)
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja
epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
(Supariasa, 2002)
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi
makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
(Supariasa, 2002)
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan
kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran
status gizi masyarakat. (Supariasa, 2002).
c. Faktor Ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang
tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi
di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi. (Supariasa,
2002).
C. Indikator Pertumbuhan
1. Indeks Antropometri
a. Berat Badan Menurut Umur ( BB/U )
Indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status
gizi. Berat badan menurut umur tidak sensitif untuk mengetahui apakah seseorang mengalami
kekurangan gizi masa lalu atau masa kini. Berat badan menurut umur merefleksikan status
gizi masa lalu maupun masa kini. (Anggraeni, 2012).
b. Tinggi Badan Menurut Umur ( TB/U )
Indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan bengoa (1973) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau juga lebih erat
kaitannya dengan status sosial ekonomi. (Anggraeni, 2012)
c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan ( BB/TB )
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
tertentu. Jelliffe pada tahun 1966 telah memperkirakan indeks ini untuk mengidentifikasi
status gizi. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini
(sekarang). Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen terhadap umur.
(Anggraeni, 2012).
d. Indeks Masa Tubuh/IMT Anak ( IMT/U )
IMT/U adalah indikator yang terutama bermanfaat untuk penapisan kelebihan berat
badan dan kegemukan. Biasanya IMT tidak meningkat dengan bertambahnya umur seperti
yang terjadi pada berat badan dan tinggi badan, tetapi pada bayi peningkatan IMT naik
secara tajam karena terjadi peningkatan berat badan secara cepat relatif terhadap panjang
badan pada 6 bulan pertama kehidupan. IMT menurun pada bayi setelah 6 bulan dan tetap
stabil pada umur 2-5 tahun. (Anggraeni, 2012)
Indikator IMT/U hampir sama dengan BB/PB atau BB/TB. Ketika melakukan
interpretasi resiko kelebihan berat badan, perlu mempertimbangkan berat badan orang tua.
Jika seseorang anak mempunyai orang tua yang obes akan meningkatkan resiko terjadinya
kelebihan berat badan pada anak. Anak yang mempunyai salah satu orang tua yang obesitas,
kemungkinan 40 % untuk menjadi kelebihan berat badan. Jika kedua orang tuanya obes,
kemudian meningkat sampai 70 %. Perlu diketahui bahwa anak yang pendek pun dapat
mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. (Anggraeni, 2012)
PengertianGIZI BURUK adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat
berat akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit
dalam waktu lama. Ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap
TB) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor
atau marasmik kwashiorkor.
Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah
keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (RI dan WHO, Rencana Aksi Pangan dan
Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta, Agustus 2000).
Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan karena
kekurangan asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama.
Anak disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai (selama 3
bulan berturut-turut tidak naik)
Gizi buruk atau malnutrisi dapat diartikan sebagai asupan gizi yang buruk. Hal
ini bisa diakibatkan oleh kurangnya asupan makanan, pemilihan jenis makanan yang
tidak tepat ataupun karena sebab lain seperti adanya penyakit infeksi yang
menyebabkan kurang terserapnya nutrisi dari makanan. Secara klinis gizi buruk
ditandai dengan asupan protein, energi dan nutrisi mikro seperti vitamin yang tidak
mencukupi ataupun berlebih sehingga menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan.
Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan
ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk dapat
berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan anak, juga kecerdasan anak.
Pada tingkat yang lebih parah, jika dikombinasikan dengan perawatan yang buruk,
sanitasi yang buruk, dan munculnya penyakit lain, gizi buruk dapat menyebabkan
kematian.
Perbedaan gizi buruk dengan kelaparan
Gizi buruk berbeda dengan kelaparan. Orang yang menderita kelaparan
biasanya karena tidak mendapat cukup makanan dan kelaparan yang diderita dalam
jangka panjang dapat menuju ke arah gizi buruk. Walaupun demikian, orang yang
banyak makan tanpa disadari juga bisa menderita gizi buruk apabila mereka tidak
makan makanan yang mengandung nutrisi, vitamin dan mineral secara mencukupi.
Jadi gizi buruk sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, tanpa mengenal struktur
sosial dan faktor ekonomi
Orang yang menderita gizi buruk akan kekurangan nutrisi yang dibutuhkan
oleh tubuh untuk tumbuh atau untuk menjaga kesehatannya. Seseorang dapat
terkena gizi buruk dalam jangka panjang ataupun pendek dengan kondisi yang
ringan ataupun berat. Gizi buruk dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.
Orang yang menderita gizi buruk akan mudah untuk terkena penyakit atau bahkan
meninggal dunia akibat efek sampingnya. Anak-anak yang menderita gizi buruk juga
akan terganggu pertumbuhannya, biasanya mereka tidak tumbuh seperti
seharusnya (kerdil) dengan berat badan di bawah normal.
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun. Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang
badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan
menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah
standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk Gizi
buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.
2. Indikasi Gizi BurukUntuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak
adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Tinggi dan berat badan kurang
dari standar deviasi ukuran normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Berat
badan yang kurang menandai kalau gizi buruk yang dideritanya akut (belum lama).
Sedangkan jika tinggi badan kurang dan berat badan kurang berarti kondizi gizi
buruk sudah kronis (menahun)
Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan
menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari marasmus adalah
1. Wajah seperti orang tua
2. Sering disertai: peny. infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC)
3. Tampak sangat kurus (tulang terbungkus kulit)
4. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (~pakai celana
longgar-baggy pants)
5. Perut cekung
6. Iga gambang
7. diare kronik atau konstipasi (susah buang air)
8. mudah menangis/cengeng dan rewel
Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari kwasiokor adalah
1. Mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran nafas dan diare.
2. Edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah)
membulat dan lembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit
dan mudah rontok
5. Terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel
6. Terjadi pembesaran hati
7. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
8. Terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis)
9. Sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.
3. Dampak Gizi Buruk
Dampak gizi buruk pada anak terutama balita
1. Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa
terhambat.
2. Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi
3. Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.
4. Pencegahan Gizi Buruk
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan
dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal
yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah
beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu,
anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang
sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,
lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal
10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya
karbohidrat.
3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu.
Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai,
segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah
sakit.
5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa
diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan
energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya.
Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah
berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum.
Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan
akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
5. Pengobatan Gizi BurukPengobatan gizi buruk
Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.
Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing
penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di Rumah Sakit
untuk mendapat perhatian medis secara penuh.
Pengobatan pada penderita MEP (Malnutrisi Energi Protein) tentu saja harus
disesuaikan dengan tingkatannya. Penderita kurang gizi stadium ringan, contohnya,
diatasi dengan perbaikan gizi. Dalam sehari anak-anak ini harus mendapat masukan
protein sekitar 2-3 gram atau setara dengan 100-150 Kkal.
Sedangkan pengobatan MEP berat cenderung lebih kompleks karena
masing-masing penyakit yang menyertai harus diobati satu per satu. Penderita pun
sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh.
Sejalan dengan pengobatan penyakit penyerta maupun infeksinya, status gizi anak
tersebut terus diperbaiki hingga sembuh
Selama ini kita mengetahui bahwa zat gizi sangat diperlukan bagi untuk menjalankan fungsi tubuh agar tetap sehat dan dapat menjalankan aktifitas sehari-hari. Sehingga kita selalu berusaha untuk makan dan tak jarang mengkonsumsi suplemen untuk memenuhi kebutuhan harian tersebut. Namun, beberapa orang tidak mengetahui berapa sebenarnya angka kecukupan gizi sehingga kecukupan gizi biasanya dikira-kira saja. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1593/MENKES/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Nilai AKG ini sesuai rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2012.
Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia selanjutnya disingkat AKG adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. AKG hampir sama dengan Recomended Dietary Allowance (RDA) yang diambil dari nilai rata-rata asupan yang cukup untuk memenuhi asupan hampir semua (97-98%) orang sehat. AKG sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu dan cadangan zat gizi dalam tubuh. Nilai AKG ini diambil dari sekitar Kegunaan AKG diutamakan untuk:
1. Acuan dalam menilai kecukupan gizi2. Acuan dalam menyusun makanan sehari-hari termasuk perencanaan makanan di institusi;3. Acuan perhitungan dalam perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun
nasional4. Acuan pendidikan gizi5. Acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi
Perlu diketahui bahwa AKG hanya berlaku bagi orang sehat dan kondisi khusus yaitu ibu hamil dan ibu menyusui pada semester pertama dan kedua. AKG tidak mempertimbangkan faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan zat gizi seperti genetik, kondisi kesehatan, tingkat defisiensi, gaya hidup (merokok dan alkoholik), dan penggunaan obat.
Istilah angka kecukupan gizi berbeda dengan angka kebutuhan gizi. Menurut Almatsier (2009) Angka Kebutuhan Gizi (Nutrient Requirement) adalah jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang/individu agar dapat hidup sehat, diantaranya untuk mempertahankan hidup, melakukan kegiatan internal/eksternal, menunjang pertumbuhan, melakukan aktivitas fisik, pemeliharaan tubuh, basal metabolisme,
pernapasan dan evaporasi, serta pencernaan dan eksresi. Kebutuhan gizi mempertimbangkan segala aspek yang mempengaruhi kebutuhan gizi yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh, genetik, kondisi kesehatan, gaya hidup (merokok dan alkoholik), dan penggunaan obat. Angka kebutuhan gizi sifatnya lebih personal yangmana kebutuhannya dihitung berdasarkan kebutuhan perorangan.
Standar Gizi LainSelain istilah angka kecukupan dan kebutuhan gizi, terdapat beberapa istilah lain tentang standar konsumsi zat gizi, yaitu:
1. Estimated Average Requirements (EAR) adalah kebutuhan akan zat gizi yang diharapkan memenuhi kebutuhan setidaknya 50% pada kelompok usia tertentu dalam berdasarkan tinjauan literatur ilmiah.
2. Adequate Intake (AI) adalah jumlah zat gizi yang cukup memadai untuk suatu kelompok demografis tertentu. Nilai AI ini digunakan ketika belum adanya angka kecukupan gizi yang terstandar. Jumlah zat gizi yang ditentukan biasanya tidak setegas AKG/RDA.
3. Tolerable Upper Intake Levels (UL) adalah batas jumlah tertinggi zat gizi yang dapat dikonsumsi oleh manusia sehingga penggunaannya tidak berlebihan dan berdampak bahaya bagi tubuh.
4. Suggested Dietary Target (SDT) adalah jumlah zat gizi yang dibutuhkan untuk mencegah atau mengurangi resiko penyakit degeneratif.
5. Estimated Energy Requirement (EER) adalah jumlah energi yang diperlukan untuk menjaga berat badan dan memelihara kesehatan berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan aktifitas.
6. Acceptable Macronutrient Distribution Ranges (AMDR) adalah rentang asupan untuk sumber energi (karbohidrat, lemak dan protein) yang berhubungan dengan penurunan resiko penyakit kronis. Jika seseorang mengkonsumsi lebih dari AMDR maka memiliki resiko terkena penyakit kronis. Asupan dalam AMDR ini ditetapkan dalam persentase dibandingkan dengan kebutuhan total energi.
izi.depkes.go.id/permenkes-tentang-angka-kecukupan-gizi
Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak dengan indeks antropometri
berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) < - 2 SD atau ditemukan tanda-tanda klinis
marasmus dan kwashiorkor. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun. Anak balita yang sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat
diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur atau berat badan
menurut tinggi, apabila jauh dibawah standar disebut gizi buruk. Bila gizi buruk disertai
dengan tanda-tanda klinis seperti : anak sangat kurus, wajah seperti orang tua, perut cekung,
kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak seluruh tubuh terutama pada kaki,
wajah membulat dan sembab, rambut tipis, kemerahan, mudah dicabut, otot mengecil disebut
kwashiorkor.
1. Besar situasi masalah penyakit dan gizi menurut daerah dan waktu
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil
diturunkan dari 33,57% pada tahun 1992 menjadi 24,66% pada tahun 2000. Namun terdapat
kecenderungan peningkatan kembali pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu jika melihat
pertumbuhan dan jumlah penduduk dan proporsi balita dari tahun ke tahun, sebenarnya
jumlah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung meningkat.
2. Alasan melaksanakan surveilens
Untuk menanggulangi terjadinya KLB atau kasus gizi terutama gizi buruk, maka perlu
diupayakan suatu sistem kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk tersebut.
Maka melalui kegiatan surveilens dan informasinya diharapkan tercapainya peningkatan
sikap tanggap kesiapsiagaan, dilakukannya upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan
kejadian luar biasa yang cepat dan tepat. Upaya perbaikan gizi dengan ruang lingkup
nasional dimulai pada tahun 1980. Diawali dengan berbagai survei dasar, disusun strategi dan
kebijakan yang pada umumnya melibatkan berbagai sektor terkait. Keberhasilan program
perbaikan gizi dinilai berdasarkan laporan rutin dan juga survei berkala melalui survei khusus
maupun diintegrasikan pada survei nasional seperti Susenas, Survei Kesehatan Rumah
Tangga dan lain-lain.
Status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara
berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang
telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi
baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar
dikatakan gizi buruk. Namun penghitungan berat badan menurut panjang badan lebih
memberi arti klinis. Pengertian gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
dengan indeks antropometri berat badan terhadap tinggi badan (BB / TB) < - 3 SD atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor.
Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot,
pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit,
infeksi, kelainan organ dan fungsinya (akibat atrophy / pengecilan organ tersebut). Bila gizi
buruk disertai dengan tanda-tanda klinis seperti : wajah sangat kurus, muka seperti orang tua,
perut cekung, kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki,
wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor.
Malnutrisi adalah keadaan gangguan gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupaN
makanan dalam waktu yang lama. Malnutrisi merupakan masalah utama kesehatan di dunia.
Malnutrisi berkaitan dengan kemiskinan, berat badan lahir rendah, gagal tumbuh sehingga
kurangnya daya tahan tubuh yang dapat menimbulkan penyakit infeksi (Kanarek, Robin B,
1991)
Penyebab
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab
anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering
sakit / terkena infeksi.
1. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
a. Tidak tersedianya makanan secara adekuat.
Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Kemiskinan
merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Makin kecil pendapatan penduduk,
makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
b. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang.
Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak
mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan
berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang
tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
c. Pola makan yang salah.
Suatu studi "positive deviance" mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di
suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya
petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya
gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya
berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun
sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh
pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh
oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan
yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga
dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk.
Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar
dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum
bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada
makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini
menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang
cukup.
2. Sering sakit (frequent infection)
Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan
meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada
sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi
A. Klasifikasi
Gizi buruk dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Marasmus
Tanda-tanda :
Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Perut cekung
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
Sering disertai diare kronik atau konstipasi serta penyakit kronik
Tekanan darah, detak jantung dan pernapasan berkurang
2. Kwashiorkor
Tanda-tanda :
Edema umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki (dorsum pedis)
Wajah membulat dan sembab
Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak
berbaring terus menerus
Cengeng, rewel kadang apatis
Anak sering menolak segala jenis makanan
Pembesaran hati
Sering disertai infeksi, anemia dan diare
Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut
Gangguan kulit berupa bercak merah dan meluas dan berubah menjadi hitam dan terkelupas
(Crazy Pavement Dermatosis)
Pandangan mata anak tampak sayu
3. Marasmus Kwashiorkor
Tanda-tanda :
Merupakan gabungan tanda-tanda dari marasmus dan kwashiorkor
B. Cara diagnosa
Status gizi dapat ditentukan dengan empat cara yaitu: antropometri, klinis, riwayat gizi dan
biokimia. Status gizi (gizi lebih, baik, kurang atau buruk) dapat diketahui dengan
membandingkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dengan baku antropometri yang digunakan
di Indonesia yaitu baku WHO-NCHS. Penentuan status gizi buruk dapat dilakukan dengan
cara melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan balita seperti yang
tersebut diatas, jika setelah diplot pada KMS ternyata BB anak berada di bawah garis merah
(BGM), maka lihat kembali apakah BB/U atau BB/TB < - 3 SD, jika ya maka dapat
dikategorikan sebagai balita gizi buruk.
Diagnosis kurang gizi selain ditegakkan melalui pemeriksaan antropometri (penghitungan
berat badan menurut umur /panjang badan) dapat juga melalui temuan klinis yang dijumpai.
Keadaan klinis gizi buruk dapat dibagi menjadi kondisi marasmus, kwasiorkor dan bentuk
campuran (marasmik kwasiorkor). Apabila ditemukan balita dengan wajah sangat kurus,
muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak
terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor. Marasmus
kwashiorkor merupakan gabungan tanda-tanda dari marasmus dan kwashiorkor. Pada balita
gizi buruk harus dicari juga apakah ada penyakit penyerta lainnya yang dapat memperburuk
kondisi status gizinya.
C. Prevalensi
Keadaan status gizi balita mengalami perbaikan yaitu dengan menurunnya prevalensi gizi
kurang dari 31.6 % pada tahun 1995 menjadi 26.1 % pada tahun 2001, demikian pula
prevalensi gizi buruk mengalami penurunan dari 11.6 % pada tahun 1995 menjadi menjadi
6.3% pada tahun 2001. Selanjutnya terjadi peningkatan secara perlahan prevalensi gizi
kurang menjadi 27.5% pada tahun 2003, demikian pula prevalensi gizi buruk meningkat
menjadi 8.3 % pada tahun yang sama. Pada tahun 2004, terjadi sedikit penurunan prevalensi
gizi kurang menjadi 25.4% dan gizi buruk menjadi 7.2 %.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada Tahun 2004 diperkirakan sekitar 5 juta balita
menderita gizi kurang (berat badan menurut umur), 1,4 juta di antaranya menderita gizi
buruk. Dari balita yang menderita gizi buruk tersebut ada 140.000 menderita gizi buruk
tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor, yang
memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di Puskesmas dan Rumah Sakit. Berdasarkan
hasil surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember 2005, total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita. Kasus gizi buruk yang
dilaporkan menurun setiap bulan. Semua anak gizi buruk mendapatkan penanganan berupa:
perawatan di Puskesmas dan di Rumah Sakit serta dilakukan tindak lanjut paska perawatan
berupa rawat jalan, dan melalui posyandu untuk dipantau kenaikan berat badan dan
mendapatkan makanan tambahan.
Pada bulan Mei 2005, kasus gizi buruk dilaporkan dari propinsi NTB dan NTT dengan
jumlah kasus sebanyak 9.592 kasus. Pada bulan Juni jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan
meningkat 49.754, hal ini disebabkan jumlah propinsi yang melapor meningkat menjadi 26
propinsi. Di samping itu peningkatan jumlah kasus yang besar karena adanya kegiatan
pencarian kasus baru secara aktif melalui operasi timbang dengan target semua balita
ditimbang dan diukur status gizinya.
Pada bulan Juli 2005 jumlah propinsi yang melapor meningkat menjadi 28 propinsi dengan
total kasus yang dilaporkan sebanyak 1.445 anak. Pada bulan Agustus tahun 2005, propinsi
yang melapor menjadi 29 propinsi dengan jumlah baru yang dilaporkan sebanyak 10.355
anak, penjaringan kasus pada bulan ini dilakukan bersamaan dengan kampanye pemberian
kapsul Vitamin A. Bulan September dan Oktober 2005 jumlah kasus yang dilaporkan
menurun menjadi 471 anak dan 440 anak. Pada bulan November 2005 kasus yang dilaporkan
sebanyak 164 kasus. Pada bulan Desember 2005 dilaporkan sebesar 3.957 anak (Grafik 2).
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dilaporkan dari bulan Januari 2005 sampai
Desember 2005 adalah 293 balita (Grafik 3). Kasus gizi buruk yang meninggal tersebut pada
umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria.
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal tertinggi terjadi pada bulan Juni sebanyak 107
kasus, selanjutnya pada bulan-bulan berikutnya kasus gizi buruk yang meninggal cenderung
menurun. Namun demikian pada bulan Desember 2005 kasus gizi buruk yang dilaporkan
meninggal dunia sebanyak 56 kasus yang merupakan laporan dari 9 propinsi yaitu dari Jatim
14 kasus, Sulsel 13 kasus, Gorontalo 13 kasus,NTB 2 kasus, NTT 6 kasus, Lampung 4 kasus,
Sulteng 2 kasus, serta Maluku dan Malut masing-masing 1 kasus.
Faktor Risiko / Gizi yang mempengaruhiBanyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan.
Secara langsung, pertama: anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup
lama, dan kedua: anak menderita penyakit infeksi. anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit
infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan
pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang
baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan
rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.
INDIKATOR SURVEILANS GIZIIndikator merupakan suatu alat yang dipakai untuk mengamati dan mendapatkan informasi.
Indikator dirancang dari serangkaian pengukuran.
I. SIFAT-SIFAT UMUM INDIKATOR
Prinsip indikator berdasar pengukuran, tetapi mempunyai arti yang lebih daripada hanya hasil
pengukuran. Suatu indicator mungkin tersusun dari hasil pengukuran-pengukuran di antara
suatu kelompok masyarakat atau suatu daerah.
a. Titik Putus dan Titik Aksi
Nilai yang menjadi batas keadaan yang masih diterima atau batas normal, disebut titik putus
bagi perorangan atau satuan data. Salah satu keuntungan dari penggunaan titik putus adalah
usaha system pengamatan gizi dapat memusatkan diri pada sumber pengukuran deretan
variable yang jatuh bebas.
Pengamatan bagian populasi yang terdapat dibawah titik putus, yang menjadi syarat
dimulainya suatu tindakan dapat disebut titik aksi.
b. Sifat-sifat Indikator Sehubungan dengan Pengukuran dan Arti Pentingnya
Kecenderungan yang Terlihat
Indikator harus bersifat peka terhadap perubahan-perubahan dalam status gizi masyarakat
pada waktu sekarang ataupun waktu yang akan datang.
Perkataan kunci yang penting dan menentukan disini adalah kritis, yang berarti bahwa suatu
perubahan dalam status gizi yang cukup besar sehingga memerlukan tindakan
penanggulangan, haruslah jelas tercermin dalam perubahan dan pada indicator. Titik aksi
yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk saat memulai tindakan penanggulangan, dapat
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi dan hal ini akan berpengaruh pada pemilihan
dan penentuan indicator dan titik aksinya. Suatu perubahan dalam indicator atau dalam
gambaran kecenderungannya, akan merupakan tanda yang dapat dipercaya untuk memulai
tindakan penanggulangan, hanyalah bila perubahan atau kecenderungan itu terletak di luar
daerah nilai-nilai normal atau di luar variasi yang biasa terdapat. Tingkat ketepatan
interpretasi dari perubahan itu tergantung pula pada teknik standar bagi pengukuran sampel
dalam jangka waktu tertentu.
Sifat spesifik suatu indikator, akan berbeda nilainya bagi sistem surveilans gizi dalam situasi
yang berbeda. Sebagai contoh, bila defisiensi zat besi di suatu daerah merupakan sebab utama
timbulnya anemia, maka perubahan dalam prevalensi kadar hemoglobin rendah akan
merupakan indicator baik bagi status gizi zat besi. Namun hal ini tidaklah benar untuk daerah
yang mempunyai penyakit malaria sebagai sebab utama timbulnya anemia tersebut.
Demikian pula indicator bagi situasi bahan pangan di pasar perkotaan mungkin akan
mempunyai manfaat kecil saja untuk memahami situasi di daerah pedesaan yang terpencil,
yang secara praktis menghasilkan sendiri bahan pangan yang dikonsumsinya.
c . Sifat-sifat indikator sehubungan dengan sampel
Struktur dan sifat-sifat sampel mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku indikator dan
terhadap interpretasinya. Idealnya suatu sampel sebaiknya dipilih mewakili populasi yang
sedang dilakukan usaha system pengamatan gizi terhadapnya, serta dibagi dalam kelompok-
kelompok yang bersifat relative homogen. Bila hal ini tercapai, maka indicator akan bersifat
mempunyai sesivitas dan spesifitas optimum, maka dapat diambil berbagai interpretasi
dengan tingkat ketepatan tertentu dan diketahui bahwa mewakili populasi induknya dengan
cukup.
Dalam pelaksanaannya, keadaan yang ideal ini mungkin sulit dicapai, disebabkan
keterbatasan biaya atau sukarnya mencapai kelompok-kelompok masyarakat tertentu, atau
dapat pula karena sumber-sumber data yang tersedia tidak mampu meliputi seluruh populasi
yang dituju, sehingga hasilnya tidaklah mewakili secara representatif, misalnya catatan suatu
Klinik Kesehatan Ibu dan Anak, mungkin masih dapat dipergunakan bahkan mungkin sangat
berarti tetapi sebaiknya tidak dipakai untuk ekstrapolasi kesimpulan secara umum.
d. Sifat-sifat Operasional
Nilai suatu indikator atau gambaran haruslah seimbang dengan pertimbangan praktis tertentu,
yaitu :
- Mudahnya pengukuran
Data yang dicapai dengan mudah dengan peralatan minimum dan sedikit memerlukan
pengolahan jelas, mempunyai kelebihan keuntungan terhadap yang memerlukan metode yang
berliku-liku. Namun ada beberapa keterangan akan lebih mudah didapat dengan pertolongan
teknologi canggih, misalnya : dengan teknik fotogrametik udara.
- Kecepatan dan frekuensi tersedianya data.
Bila data dihasilkan secara berkesinambungan, maka indikatornya mempunyai kelebihan
dalam hal waktu. Hal ini sangat penting bagi penemuan dini perubahan-perubahan yang
mungkin terjadi. Nilai indicator dapat pula ditingkatkan dengan semakin besarnya frekuensi
pengumpulan data, tetapi sebaliknya hal ini haruslah dipertimbangkan dengan tambahan
biaya. Pengukuran yang dilakukan berkesinambungan tidaklah sinonim dengan tersedianya
data untuk dipergunakan secara terus menerus. Sebagai contoh, data dari suatu sampel yang
representative yang mungkin dikumpulkan secara berkesinambungan, tetapi hanyalah akan
mempunyai arti bila seluruh sampelnya telah terkumpul. Maka tidaklah ada gunanya untuk
mengusahakan tersedianya data lebih cepat ataupun lebih sering, jika tidak dapat cepat masuk
atau siap pakai.
- Biaya
Biaya untuk usaha mendapatkan data merupakan kendala menyeluruh yang harus
dipertimbangkan dalam menilai suatu indicator. Biaya mempunyai hubungan dengan semua
pertimbangan pelaksanaan dan dipengaruhi oleh sifat-sifat yang telah dikemukakan terlebih
dahulu. Karena itu, diperlukan pengambilan keputusan besar dalam segi pelaksanaan dan
mempertimbangkan sumber-sumber data yang tersedia, dalam rangka keseimbangan anatara
nilai data dan biaya untuk mencapainya.
II. JENIS-JENIS INDIKATOR SURVEILANS GIZI
A. Indikator SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi)
Indikator yang digunakan dalam SKPG harus dapat menggambarkan perubahan situasi
pangan dan gizi. Indikator dimaksud meliputi situasi produksi pangan dan faktor-faktor
utama yang mepengaruhinya, distribusi dan konsumsi pangan serta status gizi.
Indikator SKPG dapat dikelompokkan menurut sifat penerapannya yaitu :
1. Indikator yang bersifat universal (berlaku umum) seperti jumlah keluarga miskin, status gizi
dan harga pangan pokok
2. Indikator yang bersifat spesifik lokal seperti meningkatnya penjualan aset rumah tangga,
meningkatkan jumlah pengangguran, meningkatkan kriminalitas dan lain sebagainya.
Indikator spesifik lokal dapat dikembangkan oleh Tim Pangan dan Gizi (TPG) di masing-
masing daerah
Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya, indikator SKPG dikategorikan dalam 3 kelompok
utama, yaitu:
1. Indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi kecamatan, yaitu prevalensi KEP, luas
kerusakan dan jumlah keluarga miskin
2. Indikator untuk peramalan produksi dan distribusi pangan, yaitu luas tanam, luas kerusakan,
luas panen, harga panen, harga pangan pokok dan status gizi masyarakat
3. Indikator untuk pengamatan kejadian rawan pangan dan gizi, yaitu kejadian lokal (indikator
lokal) yang dapat dipakai untuk mengamati ada tidaknya kejadian rawan pangan dan gizi
http://bidansrimulyanti.blogspot.co.id/2011/04/surveilans-gizi.html