Ssp 1

26
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Manusia dan mamalia memiliki sistem oleh karena itu diperlukan suatu jaringan komunikasi internal yang mampu mengkordinasi aktifitas setiap sistem dan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Pada dasarnya manusia memiliki dua bentuk komunikasi utama yang meadukan berbagai fungsi tubuh, kedua bentuk komunikasi dalam adalah sistem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang penting dalam mengatur fungsi kerja biologis. Sistem saraf didefinisikan sebagai suatu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam. Pada hewan banyak ditemukan klasifikasi sistem saraf. Umumnya sistem saraf yang cukup terkenal

Transcript of Ssp 1

Page 1: Ssp 1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Manusia dan mamalia memiliki sistem oleh karena itu diperlukan

suatu jaringan komunikasi internal yang mampu mengkordinasi aktifitas

setiap sistem dan terhadap berbagai kondisi lingkungan.

Pada dasarnya manusia memiliki dua bentuk komunikasi utama yang

meadukan berbagai fungsi tubuh, kedua bentuk komunikasi dalam adalah

sistem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf merupakan salah satu sistem

yang penting dalam mengatur fungsi kerja biologis. Sistem saraf

didefinisikan sebagai suatu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan

rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem

saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam.

Pada hewan banyak ditemukan klasifikasi sistem saraf. Umumnya

sistem saraf yang cukup terkenal adalah sistem saraf pusat dan tepi. Setelah

menerima rangsangan atau stimulus baik yang berasal dari dalam maupun

luar tubuh, rangsangan tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat atau saraf

tepi kemudian diintegrasikan dalam bentuk informasi guna menentukan

respon yang akan diberikan oleh tubuh.

Dalam memahami proses penjalaran impuls pada suatu sel saraf

dibutuhkan pengetahuan mendasar tentang sifat konduktivitas membran dan

mekanisme transportasi dalam sel saraf.

Page 2: Ssp 1

Pada praktikum kali ini yang akan dilakukan adalah cara pemberian

obat dan mekanisme kerja obat terhadap hewan coba mencit.

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

Adapun maksud dari percobaan ini untuk mengetahui sistem saraf pusat 1

I.2.2 Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui efek dari eter yang diberikan pada mencit

2. Untuk mengetahui efek dari kloroform yang diberikan pada mencit

Page 3: Ssp 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum

Sistem saraf merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun oleh

milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan

(Carlsson dkk, 2000). Sistem saraf terbagi menjadi dua tipe sel, yaitu neuron

dan neuroglia. Neuron merupakan stuktur dasar dan unit fungsional pada

sistem saraf (Fox, 2004). Sel neuroglia merupakan sel penunjang tambahan

neuron yang berfungsi sebagai jaringan ikat dan mampu menjalani mitosis

yang mendukung proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003).

Sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf lainnya di dalam

tubuh dibagi dua golongan, yaitu (Alole, 1989):

1. Sistem saraf pusat (SSP) atau system saraf sentral (SSS), terdiri dari otak

dan sum-sum tulang belakang (spinal cord)

2. Sistem saraf perifer yang terdiri dari:

a. Saraf otak dan sumsum tulang belakang

b. Susunan saraf otonom

Rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, suara, mula-mula diterima

oleh sel-sel penerima (reseptor), kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum

tulang belakang. Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan

saraf pusat yang tidak spesifik misalnya sedative-hipnotik. Obat yang dapat

merangsang SSP disebut analeptik (wekamin) dan obat antidepresi (Alole,

1989).

Page 4: Ssp 1

II.1.1 Neurotransmisi dalam SSP

Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam SSP sama dengan

sistem saraf otonom (SSO) . Misalnya, transmisi informasi dalam SSP dan

di perifer keduanya menyangkut lepasnya neurotransmiter yang melintas

pada celah sipnatik untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron

post sipnatik. Dalam kedua sistem pengenalan neurotransmiter oleh

membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan intraselular

(Evelyn, 2002).

Beberapa perbedaan utama terdapat antara neuron dalam SSO perifer

yang ada pada SSP. Percabangan SSP lebih kompleks dari SSA, dan

jumlah sinaps dalam SSP jauh lebih banyak. SSP beda dengan SSA

perifer, mempunyai anyaman neuron inhibitif yang kuat, aktif dalam

modulasi kecepatan transmisi neuron. Selain itu, SSP menggunakan lebih

dari 10 dan barangkali sampai 50 neurotransmiter yang berbeda.

Sebaliknya sistem otonom hanya menggunakan dua neurotransmiter utama

asetilkolin dan norepinefrin (Evelyn, 2002).

II.1.2 Obat Anastetik

Anastesi umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat

menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan tidak sadar

sedangakn otot – otot mengalami relaksasi dan penekanan refleks yang tak

dikehendaki. Tak ada obat tunggal yang dapat mencapai efek-efek ini

secara cepat dan aman. Walaupun, beberapa kategori obat yang berbeda

digunakan untuk menghasilkan “keseimbangan anestesi”. Misalnya

Page 5: Ssp 1

tambahan terhadap anastesi terdiri dari pengobatan preanestetik, dan

pelemas otot rangka (Myceck, 2002).

Pengobatan preanestetik menyebabkan penderita tenang,

menghilangkan sakit, dan melindungi terhadapp efek yang tidak

dikehendaki dari pemberian anestetik atau prosedur pembedahan yang

berikutnya. Pelemas otot rangka ,memelihara intubasi dan menekan tonus

otot sampai pada tingkat yang diperlukan untuk operasi. Anastetik umum

yang paten diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena (Myceck,

2002).

Tahap – tahap anastesi (Myceck, 2002):

1. Analgesia : kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria

(rasa nyaman) yang disertai impian – impian yang menyerupai

halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida memberikan analgesia yang

baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental tahap berikutnya.

2. Eksitasi : kesadaran hilang dan terjadi kegelisahan (tahap edukasi)

3. Anestesi : pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur,

gerakan bola mata dan refleks mata hilang, otot lemas

4. Pangumpulan sumsum tulang : kerja jantung dan pernapasan berhenti.

Tahap ini harus dihindari.

Anastetik umum yang ideal, adalah mempunyai sifat analgetik,

relaksasi otot, onset cepat, tidak ada efek samping seperti gelisah dan

perangsangan mukosa, kembalinya kesadaran cepat tanpa rasa kacau,

mual, muntah, tidak memperbesar pendarahan. Karena tidak ada anastetik

lokal yang ideal, maka ditambah obat lain sebagai premedikasi dan

Page 6: Ssp 1

postmedikasi untuk mencapai keadaan ideal tersebut, misalnya morfin,

petidin, klorpromazin, diazepam, pentobarbital, untuk menghilangkan

kegelisahan, atropine, skopolamin untuk menghilangkan sekresi ludah dan

dahak ditenggorokan, tubokurarin dan galamin untuk mendapatkan

relaksasi otot. Klorpromazin untuk mual dan gelisah (Myceck, 2002).

II.1.3 Faktor Penderita dalam Pemilihan Anestesi

Faktor penderta dalam pemilihan anestesi sebagai berikut (Santoso, 2001):

1. Hati dan ginjal

Karena hati dan ginjal tidak hanya mempengaruhi distribusi jangka

lama dan pembersihan obat – obat anestetik, tetapi juga berlaku sebagai

organ sasaran untuk efek toksik, status fisiologi organ – organ ini harus

diperhatikan.

2. Sistem respirasi

Kondisi sistem respirasi harus diperhatikan jika ada indikasi pemberian

anestetik. Misalnya, asma atau perfusi yang abnormal mengganggu

kontrol suatu anestetik inhalasi.

3. Sistem kardiovaskular

Selain efek hipotensi kebanyakan anastetik yang kadang – kadang

timbul, iskemia jaringan dapat terjadi mengikuti berkurangnya tekanan

perfusi. Bila episode hipotensi selama suatu prosedur pembedahan

memaksa suatu pengobatan, substansi vasoaktif harus dipilih setelah

dipertimbangkan adanya anastetik dapat menyebabkan jantung peka

terhadap efek aritmogenik obat – obat simpatomimetik.

Page 7: Ssp 1

4. Sistem saraf

Adanya kelainan neurologi (misalnya epilepsy, miastenia gravis)

mempengaruhi pemilihan anestetik. Jadi, juga riwayat penderita

mengingatkan pada penentuan sensitivitas genetik terhadap hidrokarbon

halogenasi yang menginduksi hipertermia maligna.

II.1.4 Obat yang Bekerja pada SSP

Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek

yang sangat luas (merangsang atau menghambat secara spesifik atau

secara umum). Kelompok obat memperlihatkan selektifitas yang jelas

misalnya analgesik antipiretik khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu

pusat nyeri tanpa pengaruh jelas (Tjay, 2002).

Hipnotika dan sedativa dapat menekan fungsi SSP seluruhnya secara

tidak spesifik yang mengakibatkan kesadaran impuls eksogen turun dan

aktivitas fisik dan mental berkurang. Namun, obat-obat ini tidak

mempengaruhi tingkah laku secara spesifik serta mampu mempengaruhi

semangat dan suasana jiwa (Tjay, 2002).

Obat yang bekerja terhadap SSP dapat dibagi dalam beberapa

golongan besar, yaitu (Tjay, 2002):

a. Psikofarmaka (psikotropika), yang meliputi Psikoleptika (menekan

atau menghambat fungsi-fungsi tertentu dari SSP seperti hipnotika,

sedativa dan tranquillizers, dan antipsikotika); Psiko-analeptika

(menstimulasi seluruh SSP, yakni antidepresiva dan psikostimulansia

(wekamin).

Page 8: Ssp 1

b. Untuk gangguan neurologis, seperti antiepileptika, MS (multiple

sclerosis), dan penyakit Parkinson.

c. Jenis yang  memblokir perasaan sakit: analgetika, anestetika umum,

dan lokal.

d. Jenis obat vertigo dan obat migrain (Tjay, 2002).

Umumnya semua obat yang bekerja pada SSP menimbulkan efeknya

dengan mengubah sejumlah tahapan dalam hantaran kimia sinap

(tergantung kerja transmitter) (Katzung, 1985).

Dalam menjalankan fungsi sistem saraf diperlukan bantuan suatu zat

kimia endogen yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter yang

dikenal adalah asetilkolin (terlibat dengan memori dan pembelajaran),

norepinefrin (terlibat dengan mania-depresi dan emosi), dan serotonin

(terlibat dengan ritme biologis, tidur, emosi, dan rasa sakit) (Sunardi,

2009).

Berdasarkan fungsinya neurotransmiter dibagi menjadi dua, yaitu

(Sunardi, 2009):

1. Neurotransmiter (NT) peransang (pengeksitasi), bekerja menurunkan

potensial membran neuron pasca sinaptik sehingga suatu impuls baru

dapat dibangkitkan melintasi sinaps. NT perangsangan utama pada SSP

adalah asetilkolin. Obat-obat stimulan sistem saraf pusat dapat

memprofokasi terjadinya peningkatan neurotransmiter perangsangan,

contohnya obat amfetamin dan derivatnya.

2. Neurotransmiter penghambat (penginhibisi), bekerja menghambat

penghantaran impuls pada suatu sinaps. Contoh NT penghambatan

Page 9: Ssp 1

antara lain GABA (Gamma Amino Butyric Acid). Obat-obat depresan

sistem saraf pusat terlibat dalam pelepasan neurotransmiter

penghambatan, contohnya obat kelompok barbiturat.

Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf

pusat (SSP) yang berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam dosis

yang meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturate, akan

menimbulkan efek berturut-turt peredaan, tidur dan pembiusan total

(anesthesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi koma, depresi

pernapasan dan kematian (Tjay,2007).

Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon

terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik

menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur

yang menyerupai tidur fisiologis. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat

yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali

untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat

ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari

dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka

dinamakan sedatif (Tjay,2002).

Secara kimiawi hipnotika dapat digolongkan menjadi lima, yaitu

(Tjay,2003)::

1. Golongan barbiturat (fenobarbital, butobarbital, siklobarbital,

heksobarbital, dan lain-lain);

2. Benzodiazepin (temazepam, nitrazepam, flunitrazepam, dan tiozepam);

Page 10: Ssp 1

3. Alkohol-alkohol dan aldehid-aldehid, kloralhidrat dan turunannya

(triklofos dan dikloralfenazon), paraldehida;

4. Bromida (kalium, natrium, dan amoniumbromida), dan

5. Turunan ureida (ureida karbomal dan bromisoval); serta  obat-obat

lainnya seperti senyawa-senyawa piperidindion (glutetimid, termasuk

juga talidomida) dan metaqualon.

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif

sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa

penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan

benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang

memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan (Tjay,2003).

Golongan barbiturat mekanisme kerjanya yaitu bekerja  pada seluruh

sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis

nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps. Pengghambatan

hanya terjadi pada sinaps GABA- nergik. Walaupun demikian efek yang

terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA seagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan

inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA

sebagian menyerupai kerja benzoldiazepin, namun pada dosis yang lebih

tiinggi bersifat sebagai agonis GABA – nergik, sehingga pada dosis tinggi

barbiturate dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat

(Ganiswara, dkk, 1995).

Untuk pengobatan sedatif-hipnotik, barbiturat biasanya diberikan

secara oral. Dosis tersebut diabsorpsi dengan cepat dan mungkin, secara

Page 11: Ssp 1

sempurna; garam natrium diabsorbsi lebih cepat dari formulasi cair. Rute

intravena biasanya disediakan untuk menangani status epileptikus

(fenobarbital natrium) atau untuk menginduksi dan/atau mempertahankan

anastesia umum (misalnya tiopental,metoheksital) (Tjay,2007).

Barbiturat yang digunakan sebagai hipnotik sedatif tidak memiliki

waktu paruh yang cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam

24 jam. Jadi semua barbiturate akan diakumulasikan selama pemberian

berulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis yang cermat. Selain itu,

menetapnya obat dalam plasma sepanjang hari mempermudah terjadinya

toleransi dan penyalahgunaan (Ganiswara, dkk, 1995).

Rute onset permulaan PO yaitu 30-60, puncaknya tidak diketahui,

dengan durasi  10-16 jam. Dengan rute onset permulaan IV yaitu 5 menit,

dengan puncaknya 30 menit, dan durasi 10-16 jam. Rute onset permulaan

IM 10-30 menit, puncaknya tidak diketahui, dan durasi 10-16 jam

(Ganiswara, dkk, 1995).

Golongan benzoldiazepin mempunyai efek yang meruapakan kerja

golongan yang efek utamanya sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap

rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikkonvulsi. Hanya dua

efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer:

vasodilatasi koroner stetlah pemberian dosis terapi benzoldiazepin tertentu

secara IV, dan blokade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian

dosis sangat tinggi (Ganiswara, dkk, 1995).

Peningkatan dosis benzoldiazepin menyebabkan depresi SSP yang

meningkat dari sedasi ke hypnosis, dan dari hypnosis ke stupor ; keadaan

Page 12: Ssp 1

ini sering dinyatakan sebagai efek anestesia ,tapi obat golongan ini tidak

benar-benar memperlihatkan efek anestesia umum yang spesifik, karena

kesadaran penderita biasanya tetap bertahan dan relaksasi otot yang

diperlukan untuk pmebedahan tidak tercapai (Ganiswara, dkk, 1995).

Mekanisme kerja benzoldiazepin yaitu yaitu potensiasi inhibisi

neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator.

Pendapat ini ditunjang oleh hasil elektrofisiologik dan prilaku hewan coba

yang menunjukkan adanya penghambatan efek benzoldiazepin oleh

antagonis GABA,seperti bikukulin atau penghambat sintesis GABA

misalnya tiosemikarbasid (Ganiswara, dkk, 1995).

Benzoldiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh beberapa sistem

enzim mikrosom hati. Beberapa benzoldiazepin dimetabolisme menjadi

metabolit yang aktif. Metabolit aktif umumnya dimetabolisme lebih

lambat dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja benzoldiazepin tidak

sesuai dengan waktu paruh eliminasi obat asalnya; misalnya waktu paruh

flurazepam adalah 2,0-3,0 jam, tetapi waktu paruh metabolit aktifnya

adalah 50,0 jam (Ganiswara, dkk, 1995).

Diazepam adalah obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu

golongan dengan alprazolam (Xanax), klonazepam, lorazepam,

flurazepam, dan lainnya. Diazepam dan benzodiazepin lainnya bekerja

dengan meningkatkan efek GABA (gamma aminobutyric acid) di otak.

GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh sel

saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak.

Page 13: Ssp 1

Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat menyebabkan

kecemasan dan gangguan jiwa lainnya (Ganiswara, dkk, 1995).

Efek relaksan otot diazepam 10 x lebih selektif dibandingkan

meprobamat, namun tingkat selektifitas ini tidak jelas terlihat pada

manusia (Ganiswara, dkk, 1995).

Absorpsi diazepam dalam tubuh yaitu 1,5 sampai 4,0 jam. Rata-rata

paruh waktu diazepam adalah 20-50 jam. Diazepam dan midazolam dosis

preanestetik memdepresi ringan ventilasi alveolar dan menyebabkan

asidosis respirator, lebih karena perangsangan hipoksia daripada karena

penurunan rangsangan hiperkapnia  (Ganiswara, dkk, 1995).

Mekanisme kerja diazepam adalah bekerja pada sistem GABA, yaitu

dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor

Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan

kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di

hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan

bekerja sebagai antagonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas

farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat

ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap

reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat.

Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka

sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.

Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel

bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang

berkurang (Ganiswara, dkk, 1995).

Page 14: Ssp 1

Depresi adalah gangguan jiwa yang paling umum di dunia. Teori

monoamine menunjukkan sebagai penyebab depresi terganggunya

keseimbangan antara neurotransmitter di otak. Khususnya akibat terutama

kekurangan serotonin dan/atau noradrenalin di saraf-saraf otak

(Tjay,2007).

Keadaan depresif lazimnya diiringi dengan daya tangkis tubuh yang

berfungsi buruk, sehingga terdapat resiko besar dihinggapi segala macam

penyakit. Antidepressiva adalah obat-obat yang mampu memperbaiki

suasana jiwa (“mood”) dengan mengilangkan atau meringankan gejala

keadaan murung, yang tidak disebabkan oleh kesulitan social-ekonomi,

obat-obatan atau penyakit (Tjay,2007).

Penanganan depresi dapat dibantu dengan menggunakan obat

antidepresi. Pilihan obat pada umumnya menggunakan ATC (Anti-

depressiva TriCyclics). Lazimnya obat-obat antidepresi dibagi dalam 4

kelompok besar, yakni .(Tjay,2007):

1. Antidepresiva klasik: obat-obat ini menghambat resorpsi kembali dari

serotonin dan noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.

a. Zat trisiklis (ATC): amitriptilinm doksepin, imipramin, desipramin.

Obat-obat ini memiliki struktur dasar cincin tiga, mirip dengan

struktur antipsikotika kelompok fenotiazin dan thioxanten.

b. Zat tetrasiklis: maprotilin, miaserin, dengan struktur tetrasiklis,

tetapi dengan sifat yang hampir sama.

2. Obat generasi ke-2 dengan strukutur kimiawi lain, yang menimbulkan

lebih sedikit efek samping, khususnya berkurangnya efek jantung dan

Page 15: Ssp 1

kerja antikolinergis, maka lebih aman pada overdose dan bagi pasien

lansia.

a. SSRIs (Selective serotonin Re-uptake Inhibitors): fluvoxamin,

sertralin dan citalopram

b. NaSa (Noradrenalin and Serotonin Antidepressants): mirtrazapin

dan venlafaxin (efexor).

c. MAO-blocker: obat ini menghambat enzi mono-amin-oksidase

(MAO), yang menguraikan zat-zat monoamine setelah selesai

aktivitasnya. Contoh: fenelzin.

d. Lainnya: tryptofan, okstriptan dan pridoksin.

II. 2 Uraian Hewan Uji

Mencit (Mus musculus)

a. Klasifikasi

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

b. Morfologi

Ukuran lebih kecil, bulu berwarna putih, dan warna kulit lebih pucat,

mata berwarna hitam dan kulit berpigmen.

c. Karakteristik

Page 16: Ssp 1

Lama hidup : 1-2 tahun bisa sampai 3 tahun

Lama bunting : 19-21 hari

Umur dewasa : 35 hari

Siklus eksterus : 4-5 hari

Lama ekstrus : 12-24 jam

II. 3 Uraian Bahan

1. Kloroform (FI Edisi III hal 151-152)

Nama Resmi : CHLOROFORM

Nama Lain : Kloroform

RM : CHC13

BM : 119,38

Pemerian : Cairan mudah menguap, tidak berwarna, bau

khas, Rasa manis dan membakar.

Kelarutan : Larut dalam kurang lebih 200 bagian air, mudah

larut dalam etanol mutlak P,dalam sebagian

pelarut organik dalam minyak atsiri dan minyak

lemak.

2. Eter (FI Edisi IV hal 65)

Nama Resmi : AETHER

Nama Lain : Eter

RM : C4H100

BM : 74,12

Pemerian : Cairan mudah mengalir, mudah menguap, tak

berwarna, berbau khas

Page 17: Ssp 1

Kelarutan : Larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol,

dengan bensena dengan Kloroform, dengan pelarut

heksana, minyak Lemak minyak menguap.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat