Ssp 1
Transcript of Ssp 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia dan mamalia memiliki sistem oleh karena itu diperlukan
suatu jaringan komunikasi internal yang mampu mengkordinasi aktifitas
setiap sistem dan terhadap berbagai kondisi lingkungan.
Pada dasarnya manusia memiliki dua bentuk komunikasi utama yang
meadukan berbagai fungsi tubuh, kedua bentuk komunikasi dalam adalah
sistem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf merupakan salah satu sistem
yang penting dalam mengatur fungsi kerja biologis. Sistem saraf
didefinisikan sebagai suatu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan
rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem
saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam.
Pada hewan banyak ditemukan klasifikasi sistem saraf. Umumnya
sistem saraf yang cukup terkenal adalah sistem saraf pusat dan tepi. Setelah
menerima rangsangan atau stimulus baik yang berasal dari dalam maupun
luar tubuh, rangsangan tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat atau saraf
tepi kemudian diintegrasikan dalam bentuk informasi guna menentukan
respon yang akan diberikan oleh tubuh.
Dalam memahami proses penjalaran impuls pada suatu sel saraf
dibutuhkan pengetahuan mendasar tentang sifat konduktivitas membran dan
mekanisme transportasi dalam sel saraf.
Pada praktikum kali ini yang akan dilakukan adalah cara pemberian
obat dan mekanisme kerja obat terhadap hewan coba mencit.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini untuk mengetahui sistem saraf pusat 1
I.2.2 Tujuan Percobaan
1. Untuk mengetahui efek dari eter yang diberikan pada mencit
2. Untuk mengetahui efek dari kloroform yang diberikan pada mencit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Sistem saraf merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun oleh
milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan
(Carlsson dkk, 2000). Sistem saraf terbagi menjadi dua tipe sel, yaitu neuron
dan neuroglia. Neuron merupakan stuktur dasar dan unit fungsional pada
sistem saraf (Fox, 2004). Sel neuroglia merupakan sel penunjang tambahan
neuron yang berfungsi sebagai jaringan ikat dan mampu menjalani mitosis
yang mendukung proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003).
Sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf lainnya di dalam
tubuh dibagi dua golongan, yaitu (Alole, 1989):
1. Sistem saraf pusat (SSP) atau system saraf sentral (SSS), terdiri dari otak
dan sum-sum tulang belakang (spinal cord)
2. Sistem saraf perifer yang terdiri dari:
a. Saraf otak dan sumsum tulang belakang
b. Susunan saraf otonom
Rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, suara, mula-mula diterima
oleh sel-sel penerima (reseptor), kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum
tulang belakang. Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan
saraf pusat yang tidak spesifik misalnya sedative-hipnotik. Obat yang dapat
merangsang SSP disebut analeptik (wekamin) dan obat antidepresi (Alole,
1989).
II.1.1 Neurotransmisi dalam SSP
Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam SSP sama dengan
sistem saraf otonom (SSO) . Misalnya, transmisi informasi dalam SSP dan
di perifer keduanya menyangkut lepasnya neurotransmiter yang melintas
pada celah sipnatik untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron
post sipnatik. Dalam kedua sistem pengenalan neurotransmiter oleh
membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan intraselular
(Evelyn, 2002).
Beberapa perbedaan utama terdapat antara neuron dalam SSO perifer
yang ada pada SSP. Percabangan SSP lebih kompleks dari SSA, dan
jumlah sinaps dalam SSP jauh lebih banyak. SSP beda dengan SSA
perifer, mempunyai anyaman neuron inhibitif yang kuat, aktif dalam
modulasi kecepatan transmisi neuron. Selain itu, SSP menggunakan lebih
dari 10 dan barangkali sampai 50 neurotransmiter yang berbeda.
Sebaliknya sistem otonom hanya menggunakan dua neurotransmiter utama
asetilkolin dan norepinefrin (Evelyn, 2002).
II.1.2 Obat Anastetik
Anastesi umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat
menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan tidak sadar
sedangakn otot – otot mengalami relaksasi dan penekanan refleks yang tak
dikehendaki. Tak ada obat tunggal yang dapat mencapai efek-efek ini
secara cepat dan aman. Walaupun, beberapa kategori obat yang berbeda
digunakan untuk menghasilkan “keseimbangan anestesi”. Misalnya
tambahan terhadap anastesi terdiri dari pengobatan preanestetik, dan
pelemas otot rangka (Myceck, 2002).
Pengobatan preanestetik menyebabkan penderita tenang,
menghilangkan sakit, dan melindungi terhadapp efek yang tidak
dikehendaki dari pemberian anestetik atau prosedur pembedahan yang
berikutnya. Pelemas otot rangka ,memelihara intubasi dan menekan tonus
otot sampai pada tingkat yang diperlukan untuk operasi. Anastetik umum
yang paten diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena (Myceck,
2002).
Tahap – tahap anastesi (Myceck, 2002):
1. Analgesia : kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria
(rasa nyaman) yang disertai impian – impian yang menyerupai
halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida memberikan analgesia yang
baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental tahap berikutnya.
2. Eksitasi : kesadaran hilang dan terjadi kegelisahan (tahap edukasi)
3. Anestesi : pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur,
gerakan bola mata dan refleks mata hilang, otot lemas
4. Pangumpulan sumsum tulang : kerja jantung dan pernapasan berhenti.
Tahap ini harus dihindari.
Anastetik umum yang ideal, adalah mempunyai sifat analgetik,
relaksasi otot, onset cepat, tidak ada efek samping seperti gelisah dan
perangsangan mukosa, kembalinya kesadaran cepat tanpa rasa kacau,
mual, muntah, tidak memperbesar pendarahan. Karena tidak ada anastetik
lokal yang ideal, maka ditambah obat lain sebagai premedikasi dan
postmedikasi untuk mencapai keadaan ideal tersebut, misalnya morfin,
petidin, klorpromazin, diazepam, pentobarbital, untuk menghilangkan
kegelisahan, atropine, skopolamin untuk menghilangkan sekresi ludah dan
dahak ditenggorokan, tubokurarin dan galamin untuk mendapatkan
relaksasi otot. Klorpromazin untuk mual dan gelisah (Myceck, 2002).
II.1.3 Faktor Penderita dalam Pemilihan Anestesi
Faktor penderta dalam pemilihan anestesi sebagai berikut (Santoso, 2001):
1. Hati dan ginjal
Karena hati dan ginjal tidak hanya mempengaruhi distribusi jangka
lama dan pembersihan obat – obat anestetik, tetapi juga berlaku sebagai
organ sasaran untuk efek toksik, status fisiologi organ – organ ini harus
diperhatikan.
2. Sistem respirasi
Kondisi sistem respirasi harus diperhatikan jika ada indikasi pemberian
anestetik. Misalnya, asma atau perfusi yang abnormal mengganggu
kontrol suatu anestetik inhalasi.
3. Sistem kardiovaskular
Selain efek hipotensi kebanyakan anastetik yang kadang – kadang
timbul, iskemia jaringan dapat terjadi mengikuti berkurangnya tekanan
perfusi. Bila episode hipotensi selama suatu prosedur pembedahan
memaksa suatu pengobatan, substansi vasoaktif harus dipilih setelah
dipertimbangkan adanya anastetik dapat menyebabkan jantung peka
terhadap efek aritmogenik obat – obat simpatomimetik.
4. Sistem saraf
Adanya kelainan neurologi (misalnya epilepsy, miastenia gravis)
mempengaruhi pemilihan anestetik. Jadi, juga riwayat penderita
mengingatkan pada penentuan sensitivitas genetik terhadap hidrokarbon
halogenasi yang menginduksi hipertermia maligna.
II.1.4 Obat yang Bekerja pada SSP
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek
yang sangat luas (merangsang atau menghambat secara spesifik atau
secara umum). Kelompok obat memperlihatkan selektifitas yang jelas
misalnya analgesik antipiretik khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu
pusat nyeri tanpa pengaruh jelas (Tjay, 2002).
Hipnotika dan sedativa dapat menekan fungsi SSP seluruhnya secara
tidak spesifik yang mengakibatkan kesadaran impuls eksogen turun dan
aktivitas fisik dan mental berkurang. Namun, obat-obat ini tidak
mempengaruhi tingkah laku secara spesifik serta mampu mempengaruhi
semangat dan suasana jiwa (Tjay, 2002).
Obat yang bekerja terhadap SSP dapat dibagi dalam beberapa
golongan besar, yaitu (Tjay, 2002):
a. Psikofarmaka (psikotropika), yang meliputi Psikoleptika (menekan
atau menghambat fungsi-fungsi tertentu dari SSP seperti hipnotika,
sedativa dan tranquillizers, dan antipsikotika); Psiko-analeptika
(menstimulasi seluruh SSP, yakni antidepresiva dan psikostimulansia
(wekamin).
b. Untuk gangguan neurologis, seperti antiepileptika, MS (multiple
sclerosis), dan penyakit Parkinson.
c. Jenis yang memblokir perasaan sakit: analgetika, anestetika umum,
dan lokal.
d. Jenis obat vertigo dan obat migrain (Tjay, 2002).
Umumnya semua obat yang bekerja pada SSP menimbulkan efeknya
dengan mengubah sejumlah tahapan dalam hantaran kimia sinap
(tergantung kerja transmitter) (Katzung, 1985).
Dalam menjalankan fungsi sistem saraf diperlukan bantuan suatu zat
kimia endogen yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter yang
dikenal adalah asetilkolin (terlibat dengan memori dan pembelajaran),
norepinefrin (terlibat dengan mania-depresi dan emosi), dan serotonin
(terlibat dengan ritme biologis, tidur, emosi, dan rasa sakit) (Sunardi,
2009).
Berdasarkan fungsinya neurotransmiter dibagi menjadi dua, yaitu
(Sunardi, 2009):
1. Neurotransmiter (NT) peransang (pengeksitasi), bekerja menurunkan
potensial membran neuron pasca sinaptik sehingga suatu impuls baru
dapat dibangkitkan melintasi sinaps. NT perangsangan utama pada SSP
adalah asetilkolin. Obat-obat stimulan sistem saraf pusat dapat
memprofokasi terjadinya peningkatan neurotransmiter perangsangan,
contohnya obat amfetamin dan derivatnya.
2. Neurotransmiter penghambat (penginhibisi), bekerja menghambat
penghantaran impuls pada suatu sinaps. Contoh NT penghambatan
antara lain GABA (Gamma Amino Butyric Acid). Obat-obat depresan
sistem saraf pusat terlibat dalam pelepasan neurotransmiter
penghambatan, contohnya obat kelompok barbiturat.
Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf
pusat (SSP) yang berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam dosis
yang meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturate, akan
menimbulkan efek berturut-turt peredaan, tidur dan pembiusan total
(anesthesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi koma, depresi
pernapasan dan kematian (Tjay,2007).
Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon
terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyerupai tidur fisiologis. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat
yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali
untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat
ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari
dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka
dinamakan sedatif (Tjay,2002).
Secara kimiawi hipnotika dapat digolongkan menjadi lima, yaitu
(Tjay,2003)::
1. Golongan barbiturat (fenobarbital, butobarbital, siklobarbital,
heksobarbital, dan lain-lain);
2. Benzodiazepin (temazepam, nitrazepam, flunitrazepam, dan tiozepam);
3. Alkohol-alkohol dan aldehid-aldehid, kloralhidrat dan turunannya
(triklofos dan dikloralfenazon), paraldehida;
4. Bromida (kalium, natrium, dan amoniumbromida), dan
5. Turunan ureida (ureida karbomal dan bromisoval); serta obat-obat
lainnya seperti senyawa-senyawa piperidindion (glutetimid, termasuk
juga talidomida) dan metaqualon.
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif
sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa
penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan
benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan (Tjay,2003).
Golongan barbiturat mekanisme kerjanya yaitu bekerja pada seluruh
sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis
nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps. Pengghambatan
hanya terjadi pada sinaps GABA- nergik. Walaupun demikian efek yang
terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA seagai mediator.
Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan
inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA
sebagian menyerupai kerja benzoldiazepin, namun pada dosis yang lebih
tiinggi bersifat sebagai agonis GABA – nergik, sehingga pada dosis tinggi
barbiturate dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat
(Ganiswara, dkk, 1995).
Untuk pengobatan sedatif-hipnotik, barbiturat biasanya diberikan
secara oral. Dosis tersebut diabsorpsi dengan cepat dan mungkin, secara
sempurna; garam natrium diabsorbsi lebih cepat dari formulasi cair. Rute
intravena biasanya disediakan untuk menangani status epileptikus
(fenobarbital natrium) atau untuk menginduksi dan/atau mempertahankan
anastesia umum (misalnya tiopental,metoheksital) (Tjay,2007).
Barbiturat yang digunakan sebagai hipnotik sedatif tidak memiliki
waktu paruh yang cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam
24 jam. Jadi semua barbiturate akan diakumulasikan selama pemberian
berulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis yang cermat. Selain itu,
menetapnya obat dalam plasma sepanjang hari mempermudah terjadinya
toleransi dan penyalahgunaan (Ganiswara, dkk, 1995).
Rute onset permulaan PO yaitu 30-60, puncaknya tidak diketahui,
dengan durasi 10-16 jam. Dengan rute onset permulaan IV yaitu 5 menit,
dengan puncaknya 30 menit, dan durasi 10-16 jam. Rute onset permulaan
IM 10-30 menit, puncaknya tidak diketahui, dan durasi 10-16 jam
(Ganiswara, dkk, 1995).
Golongan benzoldiazepin mempunyai efek yang meruapakan kerja
golongan yang efek utamanya sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap
rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikkonvulsi. Hanya dua
efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer:
vasodilatasi koroner stetlah pemberian dosis terapi benzoldiazepin tertentu
secara IV, dan blokade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian
dosis sangat tinggi (Ganiswara, dkk, 1995).
Peningkatan dosis benzoldiazepin menyebabkan depresi SSP yang
meningkat dari sedasi ke hypnosis, dan dari hypnosis ke stupor ; keadaan
ini sering dinyatakan sebagai efek anestesia ,tapi obat golongan ini tidak
benar-benar memperlihatkan efek anestesia umum yang spesifik, karena
kesadaran penderita biasanya tetap bertahan dan relaksasi otot yang
diperlukan untuk pmebedahan tidak tercapai (Ganiswara, dkk, 1995).
Mekanisme kerja benzoldiazepin yaitu yaitu potensiasi inhibisi
neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator.
Pendapat ini ditunjang oleh hasil elektrofisiologik dan prilaku hewan coba
yang menunjukkan adanya penghambatan efek benzoldiazepin oleh
antagonis GABA,seperti bikukulin atau penghambat sintesis GABA
misalnya tiosemikarbasid (Ganiswara, dkk, 1995).
Benzoldiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh beberapa sistem
enzim mikrosom hati. Beberapa benzoldiazepin dimetabolisme menjadi
metabolit yang aktif. Metabolit aktif umumnya dimetabolisme lebih
lambat dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja benzoldiazepin tidak
sesuai dengan waktu paruh eliminasi obat asalnya; misalnya waktu paruh
flurazepam adalah 2,0-3,0 jam, tetapi waktu paruh metabolit aktifnya
adalah 50,0 jam (Ganiswara, dkk, 1995).
Diazepam adalah obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu
golongan dengan alprazolam (Xanax), klonazepam, lorazepam,
flurazepam, dan lainnya. Diazepam dan benzodiazepin lainnya bekerja
dengan meningkatkan efek GABA (gamma aminobutyric acid) di otak.
GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh sel
saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak.
Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat menyebabkan
kecemasan dan gangguan jiwa lainnya (Ganiswara, dkk, 1995).
Efek relaksan otot diazepam 10 x lebih selektif dibandingkan
meprobamat, namun tingkat selektifitas ini tidak jelas terlihat pada
manusia (Ganiswara, dkk, 1995).
Absorpsi diazepam dalam tubuh yaitu 1,5 sampai 4,0 jam. Rata-rata
paruh waktu diazepam adalah 20-50 jam. Diazepam dan midazolam dosis
preanestetik memdepresi ringan ventilasi alveolar dan menyebabkan
asidosis respirator, lebih karena perangsangan hipoksia daripada karena
penurunan rangsangan hiperkapnia (Ganiswara, dkk, 1995).
Mekanisme kerja diazepam adalah bekerja pada sistem GABA, yaitu
dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor
Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan
kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di
hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan
bekerja sebagai antagonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas
farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat
ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat.
Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka
sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.
Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang
berkurang (Ganiswara, dkk, 1995).
Depresi adalah gangguan jiwa yang paling umum di dunia. Teori
monoamine menunjukkan sebagai penyebab depresi terganggunya
keseimbangan antara neurotransmitter di otak. Khususnya akibat terutama
kekurangan serotonin dan/atau noradrenalin di saraf-saraf otak
(Tjay,2007).
Keadaan depresif lazimnya diiringi dengan daya tangkis tubuh yang
berfungsi buruk, sehingga terdapat resiko besar dihinggapi segala macam
penyakit. Antidepressiva adalah obat-obat yang mampu memperbaiki
suasana jiwa (“mood”) dengan mengilangkan atau meringankan gejala
keadaan murung, yang tidak disebabkan oleh kesulitan social-ekonomi,
obat-obatan atau penyakit (Tjay,2007).
Penanganan depresi dapat dibantu dengan menggunakan obat
antidepresi. Pilihan obat pada umumnya menggunakan ATC (Anti-
depressiva TriCyclics). Lazimnya obat-obat antidepresi dibagi dalam 4
kelompok besar, yakni .(Tjay,2007):
1. Antidepresiva klasik: obat-obat ini menghambat resorpsi kembali dari
serotonin dan noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.
a. Zat trisiklis (ATC): amitriptilinm doksepin, imipramin, desipramin.
Obat-obat ini memiliki struktur dasar cincin tiga, mirip dengan
struktur antipsikotika kelompok fenotiazin dan thioxanten.
b. Zat tetrasiklis: maprotilin, miaserin, dengan struktur tetrasiklis,
tetapi dengan sifat yang hampir sama.
2. Obat generasi ke-2 dengan strukutur kimiawi lain, yang menimbulkan
lebih sedikit efek samping, khususnya berkurangnya efek jantung dan
kerja antikolinergis, maka lebih aman pada overdose dan bagi pasien
lansia.
a. SSRIs (Selective serotonin Re-uptake Inhibitors): fluvoxamin,
sertralin dan citalopram
b. NaSa (Noradrenalin and Serotonin Antidepressants): mirtrazapin
dan venlafaxin (efexor).
c. MAO-blocker: obat ini menghambat enzi mono-amin-oksidase
(MAO), yang menguraikan zat-zat monoamine setelah selesai
aktivitasnya. Contoh: fenelzin.
d. Lainnya: tryptofan, okstriptan dan pridoksin.
II. 2 Uraian Hewan Uji
Mencit (Mus musculus)
a. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
b. Morfologi
Ukuran lebih kecil, bulu berwarna putih, dan warna kulit lebih pucat,
mata berwarna hitam dan kulit berpigmen.
c. Karakteristik
Lama hidup : 1-2 tahun bisa sampai 3 tahun
Lama bunting : 19-21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Siklus eksterus : 4-5 hari
Lama ekstrus : 12-24 jam
II. 3 Uraian Bahan
1. Kloroform (FI Edisi III hal 151-152)
Nama Resmi : CHLOROFORM
Nama Lain : Kloroform
RM : CHC13
BM : 119,38
Pemerian : Cairan mudah menguap, tidak berwarna, bau
khas, Rasa manis dan membakar.
Kelarutan : Larut dalam kurang lebih 200 bagian air, mudah
larut dalam etanol mutlak P,dalam sebagian
pelarut organik dalam minyak atsiri dan minyak
lemak.
2. Eter (FI Edisi IV hal 65)
Nama Resmi : AETHER
Nama Lain : Eter
RM : C4H100
BM : 74,12
Pemerian : Cairan mudah mengalir, mudah menguap, tak
berwarna, berbau khas
Kelarutan : Larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol,
dengan bensena dengan Kloroform, dengan pelarut
heksana, minyak Lemak minyak menguap.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat