ssj 1

13
Sindrom Stevens-Johnson Akibat Alergi Obat I. PENDAHULUAN Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rong mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. enyebab pasti dari Sindrom Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbul Sindrom Stevens-Jhonson seperti obat-obatan atau in!eksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens-Jhonson adalah reaksi hipersensiti! terhada memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama setelah obat di diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubunga dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. #eaksi hipersens sukar diramal, paling diketahui jika ada ri$ayat penyakit sebelumnya dan itu kad disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok ana!ilaktik jika pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Sindrom Steven membutuhkan $aktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian sepe syok ana!ilaktik. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multi!orme mayor te ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat ba Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (%&') merupakan penyakit dengan mani!estasi yang berbeda. engan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan Sindrom Stevens-Johnson atau %ekrolisis &pidermal 'oksik. Skenario Anak laki-laki, * tahun,dira$at di #S dengan keluhan melepuh pada kedua l badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum obat sejak + hari yang lalu. II. PEMBAHASAN Anamnesis 1

description

makalah pbl ssj

Transcript of ssj 1

Sindrom Stevens-Johnson Akibat Alergi Obat

I. PENDAHULUANSindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens-Jhonson seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens-Jhonson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Sindrom Stevens-Johnson akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan Sindrom Stevens-Johnson atau Nekrolisis Epidermal Toksik.

Skenario Anak laki-laki, 13 tahun,dirawat di RS dengan keluhan melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum obat sejak 2 hari yang lalu.II. PEMBAHASANAnamnesisSeorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien di bawah umur atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari dokter. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi.Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Seperti dalam skenario anak laki-laki 13 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu.Riwayat Penyakit Sekarang. Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Dalam melakukan anamnesis diusahakan mendapatkan data-data sebagai berikut: 1) Sebelum timbul lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha, pernah mengkonsumsi obat atau sesuatu yang dicurigai sebagai pencetus timbulnya lepuh tersebut. Hal ini perlu ditanyakan karena sindrom Stevens Johnson biasanya disebabkan oleh alergi obat; 2) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali; 3) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, atau keluahan lain yang bersamaan dengan serangan; 4) Bentuk efloresensi primer sebelum pasien dibawa ke rumah sakit.Riwayat Penyakit Keluarga. Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, seperti alergi.Riwayat Pribadi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. 1Pemeriksaan FisikSindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Pada SSJ ini dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi. Pasien akan menunjukkan trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata. Kelainan kulitKelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel sedangkan vesikel adalah gelembung berisi cairan serum beratap berukurab kurang dari 0,5 cm garis tengah dan mempunyai dasar dan bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir di orifisiumKelainan selaput lendir yang tersering ialah kelainan mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga terjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta bewarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mataKelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Selain trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.Untuk memastikan kelainan yang diderita pasien perlu pula dilihat adanya epidermolisis. Pada Nekrolisis Epidermolisis Toksik (bentuk parah dari SSJ) yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.Pemeriksaan PenunjangHasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, ini menunjukkan kemungkinan penyebabnya adalah infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menentukan jenis kuman penyebabnya. Kalau terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Di samping itu, juga ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria dan gangguan elektrolit serta adanya gambaaran gangguan fungsi organ tubuh yng terkena.2HistopatologiGambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal yang menyeluruh berupa : Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. Spongiosis dan edema intrasel epidermis.3DiagnosisWorking DiagnosisSindrom Stevens-JohnsonSindrom Stevens-Johnson secara khas mengenai kulit dan membran mukosaSindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS) adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa , mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Sindrom Stevens Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya kasus sindrom Stevens Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya.Diagnosis Sindrom Stevens johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadat IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkan diagnosis.4Differential DiagnosisNekrolisis Epidermal Toksik (NET).NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ. Pada stadium dini NET tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh sub-epidermal. Epidermolisis yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit kan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinalis.Eksantema fikstum multipel generalisata. Pada penyakit ini lesi timbul pada tempat yang sama dan biasanya tidak menyeluruh. Jika sembuh meninggalkan bercak hiperpigmentasi menetap. Kelainan eksantema fikstum multipel berupa eritem atau hiperpigmentasi dengan vesikel atau bula berbentuk bulat tau lonjong, di atasnya, berukuran lentikular, numular sampai plakat. Lesi dapat timbul di seluruh tubuh, paling sering di sekitar mulut, penis. Lesi di bibir dan genitalia eksterna dapat berupa erosi. Bila sembuh lesi akn meninggalkan warna hiperpigmentasi yang akan menghilang dalam jangka waktu yang lama.Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome ( SSSS ). Penyakit ini umumnya menyerang usia yang lebih mudah. Anak-anak merupakan faktor resiko pada SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin (toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal. SSSS merupakan bentuk berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit yang berlepuh yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaanya adalah impetigo bulosa hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan SSS dengan TEN adalah infeksi SSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal).Manifestasi Klinis.Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan. Didahului panas tinggi dan nyeri kontinu. Erupsi timbul mendadak. Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias: stomatis, konjungtivitis dan uretritis. Gejala prodormal tidak spesifik dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, tetapi beberapa penderita mengalami kerusakan permanen. Kelainan di sekitar lubang badan (mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pada selaput lendir, mulut, dan bibir selalu ditemukan, dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat, penderita tidak dapat makan dan minum. Pada bibir; sering dijumpai krusta hemoragik.5EpidemiologiInsidens SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.EtiologiSampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat mengatakan, SSJ merupakan eritema multiforme derajat berat dan disebut sebagai eritema multiforme mayor. Penyebab utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 taun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgesik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis sedangkat CD8 pda epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat.2Alergi Obat SulfaSulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamid kemudian terdesak oleh antibiotik. Sulfonamida bersifat mikrobiostatik untuk sejumlah besar bakteri gram positif dan gram negatif, dan berbagai protozoa (seperticoccidia, Plasmodium spp). Sulfonamida digunakan biasanya dengan kombinasi agen kemoterapi lainnya untuk merawat infeksi saluran kencing, malaria, coccidiosis dll. Sulfonamida bertindak sebagai analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA), yang menghambat PABA saat pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam folat. Organisme yang membuat sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan eksogen dari vitamin menjadi sensitif terhadap sulfonamida, karena selnya dapat menyerap obat ini, sementara organisme yang memerlukan asam folat eksogen untuk pertumbuhannya tidak sensitif. Penundaan periode beberapa generasi terjadi antara paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan penghambatan pertumbuhan; pada saat ini sel menghabiskan pasokan asam folat endogen yang telah dibuat sebelumnya. Efek penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai bersama dengan antibiotik (misalnya penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang tumbuh.Efek samping penggunaan sulfonamid sering timbul (sekitar 5%) pada pasien. Reaksi ini dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensititasi, pemkaiannya secepat mungkin dihentikan. Mereka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut, untuk seterusnya tidak boleh diberi sulfonamid. Efek samping penggunaan sulfonamid adalah : Gangguan sistem hematopoetik. Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD. Kebanyakan pasien sembuh kembali dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberian sulfonamid dihentikan. Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal. Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik langsung. Trombositopenia berat jarang terjadi, jarang terjadi pada pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ringan selintas lebih sering terjadi. Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Eosinofilia dapat terjadi dan bersifat reversibel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensitivitas terhadaap sulfonamid. Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau mendapatkan kemoterapi dengan mielosupresan sering menimbulkan hambatan sumsum tulang yang bersifat reversibel. Gangguan saluran kemih. Pemakaian sistemik dapat menimbulkan komplikasi pada saluran kemih, meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulfa yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol. Reaksi alergi. Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan morbiliform, skarlatiniform, urtikariform, erisipeloid, pemfigoid, purpura, petekia, juga timbul eritema nodusum, eritem multiformis tipe Sindrom Stevens Johnson, sindrom Behcet, dermatitis eksfoliativa dan fotosensitivitas. Gejala umumnya timbul setelah minggu pengobatan terapi mungkin lebih dini pada pasien yang telah tersensititasi. Kekerapan terjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin dan 2% dengan sulfisoksazol. Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum (serum sickness) dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamid. Hipersensitivitas sistemik difus kadang-kadang dapat pula terjadi. Sensitivitas silang dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa. 6PatogenesisPatogenesisnya belum jelas, diduga disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi hipersensitifitas tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas system komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran(target organ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesis berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.2Reaksi Hipersensitif tipe IIIHal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan disebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan dapat menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat tgerjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.7Reaksi Hipersensitif tipe IVPada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehinggan terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. PenatalaksanaanObat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu atau zat adiktif. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunanaan obat kortikosteroid merupakan tidakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari. Seorang pasien SSJ yang berat harus segera dirawat inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari) masa kritis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis telah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid misalnya prednison yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian obat tersebut ditutunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason karena termasuk dalam golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen) misalnya pemfigus.Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetpi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yng terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spirtus dilutus dengan kasa steril selma jam untuk menghindari kontaminasi. Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul milaria kristalia yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasein akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopnemonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi atau obat sulfa. Hal ini untuk mencegah sensititasi silang. Obat yang memenuhi syart tersebut misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas juga cukup efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan k dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per os.Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 0,9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan selama 2 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan. Jadi indikasi pemberian transfusi darah SSJ dan NET adalah : Bila terlah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosisi adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg sehari. Bila terdapat purpura generalisata. Jika terdapat leukopenia.Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat sedikit naik namun cepat turun. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.2Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pasien dimandikan dengan larutan permananfan kalikus 1 : 10.000. Lesi pada bibir dioleskan dengan kanalog in orabase. Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata memberikan airmata artifisial atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder. Secara rutin pasien juga kita konsultasikan ke bagian kulit kelamin untuk perawatan yang komprehensif. Konsultasi ke bgian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.8PrognosisJika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia serta sepsis.PencegahanObat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat adiktif lainnya.KesimpulanDiagnosis Sindrom Stevens Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada umumnya disebabkan reaksi terhadap obat terutama sulfa, -lactam, imidazol dan NSAID, kemungkinan infeksi juga harus dipikirkan. Lesi kulit terutama vesikel dan bula. Penatalaksanaan lebih bersifat simtomatik dan konservatif, kecuali lesi terbuka perlu kooardinasi dengan unti luka bakar.Prognosis cukup baik dengan kemungkinan timbulnya simblefaron dan angk akematian kurang dari 0,5%.

Daftar Pustaka1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2861-8.2. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h.163-7.3. Darmstadt GL, Sidbury R. Stevens johnson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Textbook of pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h.2191-4.4. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. 8th Ed. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005. h.152-4.5. Mariana Y, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.599-604.6. Prof. Dr. R. S. Siregar, SpKK. Saripati Penyakit Kulit 3th Ed. Jakarta : EGC; 2003. h.1437. Corwin, Elizabeth. J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.20018. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am. 2004. h.357-71.

13