Makalah SSJ Tren Isu
-
Upload
liviatanesi114 -
Category
Documents
-
view
127 -
download
7
description
Transcript of Makalah SSJ Tren Isu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) akhir-akhir ini sering diberitakan di media
massa. Penyakit ini adalah penyakit yang mengakibatkan kulit terbakar hebat yang
biasanya disebabkan karena efek dari hipersensitivitas terhadap obat tertentu.
Meskipun nama penyakit ini sudah lama dikenal di kalangan medis, namun karena
penderitanya jarang sehingga kurang diketahui masyarakat. SJS bisa terjadi
karena adanya kompleks imun di dalam tubuh. Ketika terjadi ikatan antara antigen
dan antibodi yang disebut sebagai kompleks imun, kompleks imun tersebut
menimbulkan reaksi pada tempat dimana dia mengendap sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan. SJS ini secara khusus melibatkan kulit dan membran mukosa
atau selaput lendir organ tertentu. Di kalangan medis nama penyakit ini dikenal
juga dengan sebutan Ektodermosis erosiva pluriorifisialis, eritema multiformis
tipe Hebra, eritema bulosa maligna, sindrom mukokutaneaokular, serta minor
form of TEN (toxic epidermal necrolysis).
SSJ merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang
ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium, serta
mata disertai gejala umum berat. ( Black, 2001 ) Sinonimnya antara lain: sindrom
de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain. Nama ini
berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss Johnson, dokter
anak di Amerika yang mempublikasikan kumpulan gejala ini di tahun 1922.
Sindrom Steven Johnson ialah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari
erupsi di kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis etiologi yang belum
diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab ialah : infeksi oleh
microorganisme seperti virus dan bakteri, obat-obatan, alergi yang hebat, faktor
endokrin dan faktor fisik seperti sinar matahari, hawa dingin, dan sinar-X. Ciri-
ciri penyakit SSJ meliputi gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan
syndrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
1
Angka kejadian SSJ sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta
penduduk. Syndrom ini tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, karena pada usia
anak dibawah 3 tahun masih mendapatkan imunisasi oleh karena itu daya tahan
tubuhnya masih kuat. Gejala SSJ dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada
mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa
waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, dapat timbul demam,
sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka
seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun
seperti HIV dan AIDS serta lupus angka kejadiannya dapat meningkat secara
tajam. Mengingat morbiditas dan mortalitas SSJ maka, perawat sangat berperan
dalam membantu proses kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis,
mengayomi, memberi motivasi dan menjaga pasien.
2.1 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tren dan isu tentang penyakit Syndrom Steven
Johnson.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus '' Asuhan Keperawatan Klien dengan Syndrom Steven
Johnson '', ini disusun supaya :
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian, penyebab,
klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, serta komplikasi dari Syndrom Steven
Johnson.
b. Mahasiswa dapat mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien
dengan Syndrom Steven Johnson.
c. Mahasiswa dapat mengidentifikasi pendidikan kesehatan yang
diperlukan pada pasien yang dirawat dengan keluhan Steven Johnson.
2
BAB II
KONSEP DASAR
2.1 Konsep Dasar Sindrom Steven Johnson
1. Pengertian
SSJ adalah syndrom penyakit kulit akut dan berat (Junadi, 1982), berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993), dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk. (Mansjoer, A, 2000).
2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Namun dari berbagai kasus yang
terjadi salah satu penyebabnya adalah alergi obat, biasanya obat yang diberikan
secara sistemik (langsung melalui aliran darah/disuntik.
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, anti-peuritik).
Penisilline dan semisintetiknya. Sterptomecine, Sulfonamida, Tetrasiklin
Anti piretik/analgetik (dentat, salisil/perazolon, metamizol, metampiron, dan
paracetamol).Kloepromazin, Karbamazepin, Kirin antipirin, Tegretol.
2. Inspeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit).
3. Neoplasma dan faktor endoktrin.
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X).
5. Makanan. Untuk kasus yang belum diketahui penyebabnya ada 25-50% kasus.
Penyakit SJS ini kebanyakan timbul pada anak-anak dan laki-laki muda.
Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2:1. Namun jarang dijumpai
pada anak usia 3 tahun ke bawah.
2.3 Gejala dan Tanda-tanda
Gejala penyakit SJS ini sangat bervariasi mulai dari yang ringan sampai
yang berat. Pada yang berat penderita dapat mengalami koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala berupa demam tinggi 39-40°C, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis (radang
mulut) merupakan gejala awal dan paling mudah terlihat Pada sindrom ini terlihat
adanya 3 gejala kelainan berupa: 1. Kelainan kulit, kelainan kulit terdiri atas
eritema (kemerahan pada kulit), vesikel (gelembung berisi cairan) dan bula
3
(seperti vesikel namun ukurannya lebih besar). Vesikel dan bula kemudian pecah
sehingga terjadi erosi yang luas.
Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainan
tersebut terjadi di seluruh tubuh. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium, yang
tersering adalah di selaput lendir mulut (100 persen) kemudian disusul oleh
kelainan di lubang alat genital (50 persen), di lubang hidung dan anus jarang.
Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.
Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
2.4 Manifestasi Klinis
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 8 tahun kebawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada syndrom ini terlihat adanya
trias kelainan, berupa :
1. Kelainan kulit.
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikeldan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga dapat
terjadi purpura, pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100 %)
kemudian disusul oleh kelainan alat dilubang genetol (50 %), sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8 % dan 4 %).
3. Kelainan mata.
Kelainan mata merupakan 80 % diantara semua kasus yang tersering telah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis parulen,
peradarahan, alkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan
tersebut dapat pula dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : notritis, dan
onikolisis.
Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan
esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat menyebabkan penderita
sukar/tidak dapat menelan dan juga sukar bernafas. 3. Kelainan mata, kelainan
mata merupakan 80 persen diantara semua kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis (radang konjungtiva). Dan yang terparah menyebabkan
4
kebutaan. Disamping kelainan tersebut terdapat juga kelainan lain seperti radang
ginjal, dan kelainan pada kuku.
Penderita yang mengalami SJS ini bisa mengalami komplikasi berupa
kelainan pada paru yaitu bronkopneumonia. Komplikasi lain yaitu kehilangan
cairan dan darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Dapat pula terjadi
kebutaan.
2.5 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif
tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komlemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim
dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target- organ). Reaksi
hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi
radang.
Reaksi hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (elayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
5
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah
80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syoek pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku dalam
menegakkan diagnosis.
1. CBC (complek blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal
atau leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan
disebabkan karena infusi bakteri.
2. Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab
infeksi.
Tes lainya : Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma. Adanya
mikrosis sel epidermis
Infiltrasi limposit pada daerah ferifaskulator
1. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh sukup diobati dengan
predisone 30–40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kartikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksamate dan intravena dengan dosis
permulaan 4–6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasienstevenjohnson
berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah
masa kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan table
kortikosteroid, misalnya prendnisone yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit (K,
6
Na dan CI) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3x500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis
25-50 mg untuk devasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat di beri antibiotik yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrom luas dan bersifat sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg. Infus dan transfusi darah. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan
nutrisi penting karena pasien sukaratau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut
dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus
misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2 3 hari, maka daapt diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg intravena sehari dan hemostatik.
3. Topikal
Terapi topikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfadiazine perak.
2. Asuhan Keperawatan Sindrom Steven Johnson
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang
sistematik untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang
melibatkan lima fase berikut ini : pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan,
implementasi, evaluasi ( Jos dan Kate, 2006 : 256 dalam Evi Agustini, 2006).
Proses Asuhan Keperawatan terdiri dari beberapa tahap :
1. Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan (Jos dan Kate,
2006:270 dalam Evi Agustini,2006).
Data yang dikumpulkan meliputi :
1. Identitas
7
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register,
diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut
untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan
dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan
alamat.
2. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien
saat pengkajian.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien,
regional (R) yaitu nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang
bagaimana yang dapat mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan
Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri tersebut.
3. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau
pernah di riwayat sebelumnya.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita
penyakit sindrom steven Johnson.
3. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
1. Penampilan Umum
Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien
8
2. Kesadaran
Kesadaran mencakup tentagn kualitas dan kuantitas keadaan klien.
3. Tanda-tanda Vital
Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi (TPRS)
2. Sistem integument
Mengkaji tentang keadaan kulit
3. Sensori
1. Mata
Mengkaji tentang penglihatan, dan keadaan konjungtiva
2. Mulut
Mengkaji tentang mukosa bibir, fungsi menelan, dan fungsi bicara
4. Pola aktivitas
1. Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2. Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan
aktivitas dan anjuran bedrest
3. Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan
suasana hati
1. Aspek penunjang
1. Hasil pemeriksaan Laboratorium
2. Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien Sindrom Steven
Johnson
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermis dan
epidermis
2. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
menelan
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
9
4. Intoleransi aktivitas terganggu berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Gangguan persepsi sensori: Kurang penglihatan berhubungan dengan
konjungtivitas
6. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan akativitas berorientasi tujuan dan sistemik dimana
rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana
keperaawatan.
Perencanaan pada klien Sindrom Steven Johnson yaitu :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermis dan
epidermis
Tujuan : Mempertahankan integritas kulit dalam 3 x 24
Kriteria Hasil :
1. Eritema dan bula tidak timbul
2. Mukosa bibir tidak tampak stomatitis ulseratif spectrum luas
3. Edema kemerahan tidak tampak
Intervensi keperawatan :
1. Cuci area kemerahan dengan lembut
Rasional : untuk mencegah terjadinya pecahnya bula
2. Masase dengan lembut kulit sehat di sekitar area yang sakit
Rasional : untuk merangsang sirkulasi
2. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
menelan
Tujuan : Memenuhi kebutuhan nutrisi dalam 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat menelan tanpa rasa nyeri
2. BB meningkat
3. Mukosa bibir tidak tampak stomatitis ulseratif spectrum luas
Intervensi keperawatan :
1) Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
10
Rasional : memberikan klien/orang terdekat rasa kontrol,
meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan
2) Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
3) Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Rasional : meningkatkan nafsu makan
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
Tujuan : Memperoleh rasa nyaman dalam 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
o Klien sudah tidak merasa Nyeri,pegal
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional : Mengetahui derajat nyeri
2) Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan
umum
3) Pantau TTV
Rasional : untuk memaksimalkan efek obat
4. Intoleransi aktivitas terganggu berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : Intorelansi aktivitas terpenuhi dalam 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
o Klien tampak segar
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari
2) Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan
yang dimiliki klien
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
3) Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional : klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
11
5. Gangguan persepsi sensori: Kurang penglihatan berhubungan dengan
konjungtivitas
Tujuan : Meningkatnya persepsi sensori penglihatan dalam 3 x 24
Kriteria Hasil :
o Konjungtivitas dan edema kemerahan tidak terdapat pada mata
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional : Menetukan kemampuan visual
2) Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional : Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
3) Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan
Rasional : Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan
6. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
Tujuan : Mencegah terjadinya infeksi dalam 2 x 24 jam
Kriteria Hasil :
- Suhu 36-37 C
- Tidak terdapat pemasangan NGT dan IVFD Nacl
- Tidak timbul eritema dan bula
Intervensi Keperawatan :
1) Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut untuk klien
Rasional: meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
2) Jaga kebersihan alat tenun
Rasional : untuk mencegah infeksi
4. Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat melakukan proses asuhan
keperawatan yang sesuai dengan tujuan yang spesifik (Jos dan
Kate,2006:320 dalam Evi Agustini,2006).
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001 :63 dalam Evi Agustini,2006).
12
5. Evaluasi
Perawat dapat melakukan evaluasi terhadap respon klien dari tindakan
keperawatan yang dilaksanakan pada klien unutk mendapatkan kasus sebagai data
dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada klien untuk
mendapatkan kasus sebagai data dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang
berkesinambingan.
Evaluasi adalah proses yang terus menerus kerena setiap intervensi dikaji
efektivitasnya dan intervensi alternative digunakan sesuai kebutuhan (Bobak,
2005 :195,Evi Agustini,2006).
Evaluasi adalah tindakan intelektual unutk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rnecana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam,2001:71 dalam Evi
Agustini,2006)
Evaluasi adalah fase akhir proses keperawatan (Jos dan Kate,2006:330
dalam Evi Agustini, 2006). Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan SOAP sebagai pola pikirnya (Keliat,1999:15 dalam Evi
Agustini,2006).
S : respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : Respon Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
A : analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi
dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien
EVALUASI PADA KLIEN SSJ
Dx : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermis dan
epidermis
Evaluasi :
S : -
O :
- Hampir seluruh permukaaan tubuhnya timbul eritema dan bula
- Mukosa bibir tampak stomatitis ulseratif spectrum luas
13
A : Masalah belum teratasi
P : Lajutkan intervensi
Dx : Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesulitan menelan
Evaluasi :
S : Klien mengeluh nyeri ketika menelan
O :
- BB = 55 kg
- Mukosa bibir tampak stomatitis ulseratif spectrum luas
A : Masalah belum teratasi
P : Lajutkan intervensi
Dx : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
Evaluasi :
S : -
O :
TTV : 20/80 cmHg
N : 100x/menit
R : 24x/menit
A : Masalah belum teratasi
P : Lajutkan intervensi
DX : Intoleransi aktivitas terganggu berhubungan dengan kelemahan fisik
Evaluasi :
S : -
O: Terdapat pemasangan NGT dan IVFD
A : Masalah belum teratasi
P : Lajutkan intervensi
Dx : Gangguan persepsi sensori: Kurang penglihatan berhubungan dengan
konjungtivitas
14
Evaluasi :
S :-
O: Mata terdapat konjuntivitas dan tampak edema kemerahan sehingga klien sulit
membuka mata
A : Masalah belum teratasi
P : Lajutkan intervensi
Dx : Risiko infeksi berhubungan dengan Kerusakan Jaringan Kulit
Evaluasi :
S : -
O : Tanda tanda infeksi tidak ada
A : Masalah teratasi.
15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 TREN dan ISU
3.1.1 Sindrom Steven Johnson, Sebuah Malpraktek ?
Ratna Ningsih, warga Jakarta Timur tubuhnya melepuh setelah menjalani
pengobatan di Puskesmas Ciracas. Kadinkes DKI Dien Emawati menyebut
penyakit Ratna adalah Sindrom Steven Johnson (SSJ). Seperti biasa bila kasus
SSJ timbul pada seorang pasien, maka saat ini opini masyarakat dan media masa
terlalu mudah memvonis suatu kesalahan dokter atau malpraktek. Bila dicermati
sebenarnya kasus SSJ bukanlah sekedar sebuah malpraktek. Tampaknya tidak ada
seorang dokterpun bahkan seorang dokter yang paling ahli atau berpengalaman
dapat menghindarinya.
SSJ merupakan suatu kumpulan gejala klinis kulit melepuh kemerahan
pada seluruh bagian kulit, bagian lunak seperti bibir, mata dan daerah kelamin.
Penyakit SSJ sebenarnya bukan sekedar penyakit alergi obat biasa. Banyak faktor
dan kondisi yang mempengaruhinya. Penyebab atau faktor yang mempengaruhi
SSJ sangat rumit dan sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ biasanya diawali adanya
infeksi virus, jamur, bakteri, parasit yang ditambah adanya alergi obat, makanan
tertentu, penyakit kolagen, keganasan, kehamilan.
Keterlibatan obat yang diberikan sebelum masa awal setiap gejala klinis
yang dicurigai dapat sampai 21 hari. Bila pemberian obat diteruskan dan gejala
klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang
diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai
mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab
adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan, etambutol, tegretol,
tetrasiklin, digitalis, kontraseptif dan obat antiinflamasi non-steroid. Sindrom ini
dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan
keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
16
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab seperti virus, partikel
obat atau metabolitnya atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik. Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
Gejala awal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lemas, batuk, mata
merah, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa
kemerahan, bercah merah, bintil air yang melebar , pecah dan seperti melepuh
seperti luka bakar meluas secara cepat secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Pada mata bisa terjadi iritasi dan peradangan berupa konjungtivitas kataralis,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi rusaknya kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang
dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan
faktor penyebab.
Penanganan penderita SSJ adalah terapi suportif dengan pemberian cairan
dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral.
Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat.
Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali
normal. Luka di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
Untuk infeksi, diberikana antibiotika spektrum luas, Pada kasus yang tidak berat
biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara
17
5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat
dan tidak memadai. Keadaan lebih berat bila luka melepuh lebih luas. Kematian
biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, pnemoni
(infeksi paru) atau sepsis (infeksi berat).
Benarkah Malpraktek ?
Penyakit SSJ pada umumnya sering dianggap malpraktek justru
sebenarnya jarang merupakan kesalahan dokter. SSJ bukan sekedar alergi obat
biasa tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya. Tidak ada seorang dokterpun
yang dapat menduga hal ini akan terjadi. Meski seorang dokter telah mengikuti
prosedur pengabatan yang benar juga tidak bisa menjamin mencegah terjadinya
kejadian SSJ. Dokter hanya bisa berhati-hati dan waspada saat penderita terdapat
riwayat alergi obat. Namun, tidak setiap alergi obat dapat terjadi seperti kasus
SSJ. Bahkan seorang yang tidak pernah mengalami alergi obat seperti kasus Ratna
Ningsih tetapi akhirnya dapat terkena SSJ. Tiada seorang profesor atau dokter
yang paling ahlipun dapat memprediksi dapat mencegah dan menghindari
terjadinya SSJ.
Sehebat apapun seorang dokter tiada yang bisa memprediksi akan
terjadinya SSJ. Bahkan tidak ada sebuah pemeriksaan laboratorium atau tes yang
dapat mencegah untuk terjadinya SSJ. Tes alergi obatpun kalaupun dilakukan dan
hasilnya negatif belum tentu dapat mencegah kasus SSJ karena penyebabnya
multifaktorial.
Bukan hanya kasus SSJ berbagai kasus yang merupakan dampak suatu
pengobatan dan penyakit, seringkali masyarakat bahkan media masa terlalu
mudah memvonis sebagai malpraltek. Memang kasus malpraktek dokter juga
harus diakui masih banyak terjadi. Tetapi hal ini bukan alasan untuk selalu
memvonis malpraktek bila terjadi sebuah masalah dalam tindakan kedokteran. Hal
ini bisa dimaklumi bahwa harapan masyarakat terhadap penyembuhan terhadap
penyakit pasien demikian tinggi. Dan hal ini juga menyangkut biaya dan resiko
nyawa yang dipertaruhkan saat terserang penyakit. Bila harapan sembuh, biaya
yang sudah dikeluarkan sangat besar dan komunikasi antara pasien dengan dokter
tidak terjalin baik maka label malpraktek itu akan terlalu sering dan terlalu mudah
diucapkan oleh media dan masyarakat.
18
3.1.2 Dokter Spesialis Kulit Rumah Puan
dr. Amaranila Lalita Drijono, Sp.KK, dokter spesialis kulit Rumah Puan –
Perempuan Clinic menjelaskan bahwa Steven-Johnson Syndrome (SJS) adalah
kondisi kulit di mana sel epidermis terpisah dari sel dermis (kulit mengelupas).
Tak hanya kulit, SJS juga menyerang membran mukosa yang antara lain terdapat
pada mata, mulut, hidung, telinga, daerah kemaluan, dan anus.
"SJS bukan sindrom langka. Namun, tingkat keparahannya sangat ekstrem
dan darurat, dengan kemungkinan kematian yang cukup tinggi. Padahal, dengan
penanganan dini dan tepat, SJS bisa hilang sepenuhnya. Pada kasus yang sampai
menyebabkan kematian, sering kali pasien terlambat ke dokter, yaitu setelah
kulitnya sudah melepuh atau mengelupas parah," ujar dr Amaranila.
Menurut dr Amaranila, SJS bisa disebabkan oleh infeksi dan kanker.
Namun, penyebab terbesarnya adalah alergi obat-obatan. Semua jenis obat
berpotensi menimbulkan alergi. Antibiotik adalah salah satu jenis obat yang dapat
menimbulkan alergi. Selain itu, jenis obat penghilang nyeri atau analgesik (nama
obat-obat yang berakhiran –gin) juga dapat menimbulkan reaksi alergi.
"Pasien yang menderita alergi saat mengonsumsi beberapa jenis atau
kombinasi obat biasanya lebih sulit untuk ditangani. Sebab, dokter harus
mengidentifikasi obat mana yang menjadi penyebab alerginya (alergen), sebelum
memberi penanganan yang tepat. Reaksi alergi pun dapat berbeda-beda pada tiap
individu. Antara lain, gatal, bengkak, sesak napas, demam, mual, pusing, atau
buang-buang air," tuturnya.
Seseorang yang memiliki alergi terhadap obat tertentu tidak akan
mengalami reaksi alergi jika tidak mengonsumsi obat tersebut. Namun, dengan
kemajuan masyarakat yang makin pesat, kemungkinan orang untuk mengonsumsi
obat-obatan jadi lebih tinggi. Sehingga, kemungkinan timbulnya reaksi alergi pun
juga makin besar.
Hal ini bisa dicegah dengan beberapa langkah edukatif. Setiap kali pergi
ke dokter dan menerima resep, sebaiknya pasien mengetahui jenis-jenis obat yang
akan diminum atau disuntikkan. Terlebih lagi, jika seseorang memiliki ayah atau
ibu yang memiliki riwayat alergi obat tertentu, sebaiknya ia tidak mengonsumsi
obat tersebut.(PRIMARITA S.SMITA)
19
3.1.3 Waspada Konsumsi Obat, Hindari Steven-Johnson Syndrome
Penyebabnya terkadang obat yang sering digunakan sehari-hari seperti
obat turun panas parasetamol, obat penghilang rasa sakit golongan non-steroid,
juga antibiotika seperti golongan sulfa dan penisili. Satu kasus Steven Johnson
Syndrome (SJS) yang pernah terjadi: seorang pasien terserang penyakit SJS.
Dokter yang merawatnya bilang bahwa pasien tersebut keracunan obat. Menurut
pengakuan keluarga, pasien memnag mengonsumsi obat berupa jamu yang berasal
dari China.
Gejala awalnya berupa sariawan pada bibir kemudian telapak tangan dan
kaki tumbuh gelembung air seperti cacar dan sangat sakit, setelah itu baru timbul
kemerahan di sekujur badan hingga badannya mirip orang yang terluka bakar.
Mungkin sebagian masih asing dengan istilah penyakit ini. Penyakit ini
sebenarnya memang jarang terjadi, namun nyatanya sesekali bisa dijumpai di
sekitar kita. Gangguan ini sulit diprediksi sebelumnya.
Yang lebih penting lagi, penyebabnya kadang adalah obat yang sering
digunakan sehari-hari seperti obat turun panas parasetamol, obat penghilang rasa
sakit golongan non-steroid, seperti diklofenak, piroksikam, juga antibiotika (yang
paling sering golongan sulfa dan penisilin), dan lain-lain. Tak kurang, FDA di
Amerika pun telah memberi edaran peringatan untuk berhati-hati terhadap risiko
terjadinya SJS oleh parasetamol/asetaminofen.
Bisa dikatakan ini adalah salah satu bentuk “alergi” obat yang berat,
namun berbeda dengan alergi yang biasa. Sindrom sendiri artinya adalah
sekumpulan gejala (symptom), di mana pada penyakit ini terdapat aneka gejala,
mulai dari lesi merah di kulit, sariawan di rongga mulut, sampai luka lepuh di
kulit dan alat genital, dan lain-lain.
Manisfestasi klinis gangguan SJS ini sangat bervariasi antar-pasien, dari
yang ringan sampai berat. Yang berat bisa cukup fatal dan mengakibatkan
kematian, terutama jika terjadi komplikasi. Nama Steven-Johnson merujuk pada
nama dua orang dokter, Steven dan Johnson yang pertama kalinya
mengidentifikasikan adanya sindrom ini.
20
Penyebab
Penyebab pada umumnya tidak diketahui dan sulit diprediksikan
sebelumnya, namun umumnya merupakan respons imun tubuh yang berlebihan
terhadap zat asing. Hampir seperti reaksi alergi, tapi bentuknya khas dan lebih
berat. Secara patofisiologi, mekanisme terjadinya alergi tidak sama dengan
mekanisme SJS, dalam hal antibodi yang terlibat dan mediatornya. Jika reaksi
alergi biasa melibatkan antibodi imunoglobulin E (IgE), SJS melibatkan IgG dan
IgM dan merupakan reaksi imun yang kompleks.
Beberapa obat dilaporkan dapat menyebabkan reaksi SJS, terutama adalah
obat-obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) dan obat antibiotik golongan sulfa.
Selain itu unsur makanan, cuaca, infeksi (jamur, virus, bakteri) juga diduga dapat
merupakan faktor penyebab. Susahnya, reaksi ini sulit untuk diprediksi
sebelumnya jika belum kejadian.
Penanganan
Tidak ada obat yang spesifik untuk mengatasi SJS, sehingga
pengobatannya adalah berdasarkan gejala yang ada. Istilahnya diberi terapi
suportif, untuk mendukung dan memperbaiki kondisi pasien. Jika keadaan umum
pasien cukup berat, maka perlu diberi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein
secara parenteral melalui infus. Karena infeksi juga merupakan salah satu
penyebab SJS terutama pada anak-anak, maka diberi pula antibiotik dengan
spektrum luas, yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik yang sesuai dengan
kuman penyebab.
Untuk menekan sistem imun, digunakan pula kortikosteroid, walaupun
penggunaannya masih kontroversial, terutama bentuk sistemik. Contohnya adalah
deksametason dengan dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-
0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Untuk gatalnya bisa diberi anti histamin jika perlu.
Untuk perawatan lesi pada mata diberi antibiotika topikal. Kulit yang melepuh
ditangani seperti menangani luka bakar. Lesi kulit yang terbuka dikompres
dengan larutan saline atau Burowi. Lesi di mulut bisa dirawat dengan antiseptik
mulut. Dan jika ada rasa nyeri bisa diberikan anestesi topikal.
21
Semua terapi ini akan diberikan oleh dokter sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pasien. Kesembuhan pasien sangat tergantung dari berat ringannya
gejala yang muncul.
Pencegahan
Pencegahannya? Jika belum pernah terjadi, sulit untuk mencegahnya
karena tidak bisa diprediksikan.
Jika sudah pernah terjadi sekali saja, maka upayakan untuk mengenali
faktor penyebab, dan sebisa mungkin menghindar dari faktor penyebab
tersebut.
Jika disebabkan karena obat, perlu dipastikan nama obat tersebut dalam
nama generik, dan hindarkan penggunaan obat yang sama dalam berbagai
nama paten yang ada.
Jika perlu, tanyakan kepada apoteker macam-macam obat yang ada pada
resep Anda. Contoh nama generik adalah parasetamol, dan obat ini bisa
dijumpai dalam berbagai merek dagang, seperti: Panadol, Sanmol,
Tempra, Thermorex, Paramex, Bodrex, dan lain-lain. Kadang masyarakat
tidak mengetahui nama generik obat dan hanya mengenal nama patennya
sehingga hanya menghindari obat dengan nama paten tersebut, padahal
bisa jadi obat pemicu SJS tersebut terdapat pula pada merek obat yang
lain.
Jika Anda berobat ke dokter untuk suatu penyakit, sampaikan kepada
dokter bahwa Anda sensitif dan pernah mengalami SJS dengan obat
tertentu (sebut nama obatnya), agar dokter tidak meresepkan obat tersebut.
SJS bisa saja terulang lagi jika terkena paparan bahan yang menjadi
pemicu.
22
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Syndrom steven johnson (SSJ) merupakan syndrom yang mengenai kulit,
selaput lendir, di orifisum dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa edema, vesikel atau bula dapat disertai
purpura.Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi
alergi obat (misalnya, penisilin, analgetik, anti peuritik). Infeksi mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit). Neoplasma dan faktor endoktrin, faktor fisik, dan
makanan.
Pada syndrom ini terlihat adanya kelainan, berupa : kelainan kulit yang
terdiri daribatuk eritema, vesikel dan bula, kelainan selaput lendir di orivisium,
dan kelainan mata yang ditemukan konjungtivitis kornea. SSJ juga dilaporkan
sebagai akibat pemakaian obat herbal yang tidak umum yang mengandung
ginseng.
SSJ dapat juga disebabkan pemakaian cocaine. Seandainya anda
mengalami alergi obat, makanan, paparan sinar matahari, dan perubahan udara,
maka seharusnya anda mencatat dan memberikan informasi kepada tenaga
kesehatan, perawat, dokter untuk menghindari SSJ.
4.2 Saran
1 Bagi Rumah Sakit
Rumah sakit mampu memberikan pelajaran yang baik pada klien
Rumah sakit membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan
2 Bagi sesama profesi/perawat
1. Perawat selalu melakukan pengawasan 1x24 jam pada klien
2. Perawat harus mengetahui sejauh mana perkembangan kesehatan klien
3. Bagi keluarga/klien
1. Keluarga harus mengawasi dan membatasi aktivitas klien
2. Keluarga hasur memberikan nutrisi yang adekuat kepada klien agar
kesehatan klien cepat membaik
23
DAFTAR PUSTAKA
No Name, (1982). Kapita Selekta Kedokteran edisi ke 2. Jakarta FKUI : Media
Aesculapius
Doenges (2001). Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran
Levere, G.M (2005). Penyakit Kulit. Jakarta : ESIS
Grabe, Mark ( 2006 ). Buku Saku Dokter Keluarga edisi ke 3. Jakarta: EGC
Siregar, Charles ( 2004 ). Farmasi Klinik. Bandung: EGC
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/08/07/sindrom-steven-johnson-
sebuah-malpraktek-386213.html. diakses pada tanggal 17 September 2014
http://www.femina.co.id/isu.wanita/kesehatan/stevenjohnson.syndrome/
005/005/261. diakses pada tanggal 17 September 2014
http://sinarharapan.co/sehat/read/20158/waspada-konsumsi-obat-hindari
stevenjohnson-syndrome. diakses pada tanggal 17 September 2014
24