Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

36
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Bahan Seminar : Proposal Hasil Judul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Makassar, Sulawesi Selatan Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K. Stambuk : M. 111 05 043 Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc 2. Asrianny S.Hut, M.Si BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eboni (Diospyros celebica Bakh) atau yang lebih dikenal dengan nama kayu hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh endemik di hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan kayu hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal tanaman ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan pada warna dan serat kayunya yang berwarna hitam. Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari 1

Transcript of Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Page 1: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Bahan Seminar : Proposal HasilJudul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis

pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Makassar, Sulawesi Selatan

Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K.Stambuk : M. 111 05 043Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc

2. Asrianny S.Hut, M.Si

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eboni (Diospyros celebica Bakh) atau yang lebih dikenal dengan nama

kayu hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh

endemik di hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan

kayu hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal

tanaman ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan

pada warna dan serat kayunya yang berwarna hitam.

Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat

dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari Eboni

yang memiliki pertumbuhan lambat merupakan faktor penyebab utama. Maka

untuk mencegah kelangkaan spesies eboni yang mengarah pada kepunahannya,

pemerintah sejak awal tahun 1990-an telah melakukan tindakan perlindungan dan

pelestarian. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan (SK)

No. 950/IV-PPHH/1990 yang intinya melarang kegiatan tebang baru terhadap

pohon eboni kecuali mendapatkan ijin khusus. Word Conservation Union (IUCN),

dalam daftarnya juga mencantumkan Eboni ke dalam kategori vulnerable (VU AL

cd) yang artinya berada pada batas beresiko tinggi untuk punah di alam.

1

Page 2: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Tingkat regenerasi Eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan

oleh sifatnya yang semitoleran, dimana pada tingkat semai eboni membutuhkan

tanaman penaung dan pada saat percabangan sekundernya terbentuk dia

membutuhkan intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan

tingkat pertumbuhannya. Hubungan ketergantungan antara Eboni dan tanaman

penaungnya inilah yang akan membentuk suatu pola asosiasi. Dan dari kekuatan

asosiasi yang terbentuk ini dapat terlihat seberapa besar jenis pohon penaung

memberikan dampak terhadap tingkat pertumbuhan dari Eboni.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada survei awal lokasi

penelitian, maka didapati bahwa kerapatan populasi Eboni dipengaruhi oleh

keberadaan vegetasi jenis tertentu. Hal ini dicirikan oleh jumlah dan tinggi Eboni

yang dipengaruhi oleh keberadaan beberapa jenis vegetasi yang ada. Dapat

terlihat pertumbuhan Eboni yang baik apabila pohon penaungnya adalah Pinang

(Areca catechu) ataupun Aren (Arenga saccharifera).

Dengan melihat adanya hubungan ketergantungan antara Eboni dengan

tanaman penaungnya, maka penelitian mengenai asosiasi Eboni adalah sangat

penting. Penelitian mengenai asosiasi Eboni dengan tanaman penaungnya dapat

digunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan jenis tanaman yang menjadi

penaung agar pertumbuhan Eboni menjadi optimal.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui asosiasi jenis Eboni dengan

jenis-jenis pohon lainnya di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin,

Bengo-bengo.

Manfaat penelitian ini adalah merupakan ukuran dasar terhadap asosiasi

Eboni di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, sehingga dapat

dimanfaatkan oleh stakeholder untuk pengelolaan Eboni di Kawasan Hutan

Pendidikan tersebut.

2

Page 3: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi

Menurut Riswan (2002), klasifikasi jenis Diospyros celebica Bakh, secara

lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub kelas : Sympetalae

Bangsa : Ebenales

Suku : Ebeneceae

Marga : Diospyros

Spesies : Diospyros celebica Bakh

Eboni adalah pohon yang berukuran sedang sampai besar, tinggi pohon

dapat mencapai 40 m. Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 40 m.

Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 150 cm atau lebih di atas

akar papan yang tingginya dapat mencapai 4 m di atas permukaan tanah. Batang

bersisik dan berwarna hitam (Riswan, 2002).

Daun tunggal, bentuk memanjang sampai jorong, dengan panjang 12-35

cm dan lebar 2,5-7cm. Bagian dasar daun tumpul sampai agak menjantung dan

ujung daun lancip sampai agak lancip, tulang daun menjala tersier dan nyata jika

di raba baik muka daun atas dan bawah (Riswan, 2002).

Sistem perbungaan berbentuk payung menggarpu, pada bunga jantan ada

3-7, dengan masing-masing 4 petal dan mempunyai 16 benangsari, sedangkan

pada bunga betina, dijumpai 1-3 perbungaan yang seperti payung menggarpu, 4

petal dengan kelopak yang bergelombang dan berkatup, rapat dan kaku di sebelah

luar. Tajuk bunga seperti terbagi dua, bakal buah mempunyai 4-8 ruang bakal biji

yang menyatu (Riswan, 2002).

3

Page 4: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Buah berbentuk bulat telur, dengan ukuran rata-rata 3,5-5cm x 3-3,5 cm,

kulit buah halus seperti sutera, berbulu tipis pada dasar dan ujung buah.

Diospyros celebica mulai berbunga dan berbuah pertama kali pada umur 5-7

tahun. Periode dari bunga betina matang dan dibuahi sampai menjadi buah masak

memerlukan waktu kurang lebih selama 4 tahun (Riswan, 2002).

Sifat fenologi eboni menunjukkan bahwa buah Eboni sudah masak secara

fisiologis pada sekitar bulan November dan Desember. Pengumpulan buah

sebaiknya dilakukan dengan memanjat pohon untuk memilih buah yang baik

karena buah yang sudah jatuh ke lantai hutan biasanya bercampur dengan buah

yang muda dan yang rusak karena terserang hama dan penyakit. Biji Eboni yang

sehat ditandai dengan warna biji cokelat kehitaman dan memiliki radikel

berwarna kuning kecoklatan. Berhubung sifat biji Eboni adalah rekalsitran

maka tidak dapat disimpan dalam waktu lama (Samuel dan Nurkin, 2002).

B. Penyebaran

Eboni (Diospyros celebica Bakh) sesuai dengan nama spesiesnya

merupakan jenis endemik di Pulau Sulawesi (Celebes) terutama di Sulawesi

Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, penyebarannya

terutama di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaan Mongondow. Sulawesi

tengah merupakan tempat sebaran utama jenis ini dan juga di enam

kabupaten yaitu Poso, Donggala, Parigi, Toli-toli, Kolonodale dan Luwu,

sedangkan di Sulawesi Selatan Eboni tersebar di dua kabupaten yaitu Luwu

dan Gowa (Samuel dan Nurkin, 2002).

Eboni dijumpai pada hutan dataran rendah sampai daerah pegunungan

rendah, 400 m di atas permukaan laut. Jenis pohon ini tumbuh alami di hutan

tropika basah dan di hutan monsoon atau hutan yang beriklim musiman, di mana

jenis ini merupakan jenis utama atau jenis paling dominan di tipe-tipe hutan

tersebut. Eboni dapat tumbuh di tanah-tanah latosol, tanah podzol dan tanah

berkapur (Riswan, 2002).

4

Page 5: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Eboni dapat ditemukan di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin yang

secara administratif terletak di wilayah Desa Limampoccoe, Kec Cenrana Kab

Maros. Ditinjau dari segi astronomis kawasan hutan pendidikan Unhas terletak

pada posisi antara 119˚44’33” - 119˚46’17” BT dan 04˚58’7” - 05˚00’30” LS,

dengan ketinggian antara 300 – 1100 m dari permukaan laut. Kawasan hutan

pendidikan Unhas merupakan bagian dari kawasan Hutan Bulusaraung yang

berada dalam Resort Polisi Hutan (RPH) Bengo, bagian Hutan Lebbo Tengae, sub

dinas kehutanan (Anonim, 2009).

C. Karakteristik

Berdasarkan hasil penelitian regenerasi hutan yang dilakukan oleh Harun

(2002) di kelompok hutan alam Eboni di Sulawesi tengah menunjukkan bahwa

pembukaan tajuk yang terlalu terbuka dan penyinaran yang terlalu kuat tidak baik

untuk perkembangan dan pertumbuhan anakan Eboni. Begitu pula pada daerah

yang naungan berat (kurang cahaya) anakan banyak yang mati. Sedang anakan

yang berada pada naungan ringan menunjukkan pertumbuhan yang baik, namun

demikian setelah anakan mencapai tingkat sapling secara bertahap naungan harus

sudah mendapat cahaya penuh agar pertumbuhannya cepat. Dengan demikian,

Eboni tergolong jenis pohon semi toleran terhadap cahaya.

Dari aspek ekologi, yang paling menarik dari Eboni adalah tipe

tumbuhnya yang mengelompok, sifat kayunya sangat keras, dan tahan terhadap

serangga perusak kayu. Penelitian produksi buah dan pemencaran biji, serta

predator dalam populasi jenis ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan

menarik dalam mempelajari populasi dan penyebaran Eboni di hutan alamnya

(Riswan, 2002).

D. Struktur Vegetasi

5

Page 6: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Struktur vegetasi sebagai suatu organisasi dari kumpulan individu-individu

yang membentuk suatu tegakan (berdasarkan tipe vegetasi atau asosiasi

tumbuhan) dan elemen dasar dari struktur vegetasi itu sendiri adalah bentuk

tumbuh, stratifikasi dan penutupan tajuk (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), membagi struktur vegetasi

menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu:

1. Fisiognomi vegetasi berupa penampilan fisik dari suatu vegetasi.

merupakan hasil dari struktur biomassa, wujud fungsional (misalnya:

rontoknya daun di hutan), dan karakteristik penyusunnya (misalnya:

kesuburan tanah)

2. Struktur biomassa mengarah pada jarak dan tinggi dari vegetasi yang

membentuk matriks dari penutupan vegetasi

3. Struktur bentuk hidup mengarah pada komposisi dari bentuk

pertumbuhan suatu vegetasi. Konsep struktur benttuk hidup

mengelompokkan individu dari spesies dengan bentuk morfologi yang

sama ke dalam suatu tipe bentuk tumbuh

4. Struktur floristik merupakan gabungan dari struktur horizontal

(penyebaran spasial dari populasi spesies dan individu) dan struktur

kuantitatif (kelimpahan tiap spesies dalam komunitas)

5. Struktur tegakan mengarah kepada penyebaran dari tiap individu dalam

kelas ukuran yang berbeda dari jenis pohon tertentu pada tegakan

hutan.

Stratifikasi sering dihubungkan dengan struktur vertikal dan horizontal

dari vegetasi dan khususnya stratifikasi vertikal atau lapisan-lapisan dari vegetasi.

Penampakan dari beberapa lapisan berurut dari vegetasi yang didasarkan pada

perbedaan tinggi adalah pendekatan struktural dari gambaran tumbuhan dan yang

menjadi ciri pengklasifikasian bentuk kehidupan tumbuhan. Pendekatan

struktural dapat digunakan untuk menyederhanakan dan mendeskripsikan

organisasi dari tipe vegetasi yang kompleks. Masing-masing lapisan

dideskripsikan lewat tinggi total pohon dan informasi floristik lainnya yang dapat

mendukung kelanjutan dari pendeskripsian ini (Moore dan Chapman, 1988).

6

Page 7: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria dari klasifikasi

bentuk tumbuh. Oleh karena itu, klasifikasi bentuk tumbuh memberikan ide

mengenai stratifikasi dalam komunitas. Bagaimanapun juga, stratifikasi bisa

diindikasikan dalam bentuk diagram, jika tinggi dan penutupan setiap strata turut

diambil selama analisis di lapangan. Dengan menggunakan diagram abstrak lebih

memungkinkan dalam memberi gambaran mengenai pembentukan stratifikasi.

Diagram abstrak ini lebih dikenal dengan nama diagram profil (Mueller-Dombois

dan Ellenberg, 1974).

E. Asosiasi

Asosiasi yang digunakan dalam ekologi tak lain sebagai indera semu yang

mengarah ke penggabungan karakteristik yang sama dari dua spesies yang

berbeda yang membentuk suatu komunitas yang sama dari spesies yang berbeda

sebagai satu unit kesatuan vegetasi atau dalam arti yang sebenarnya sebagai suatu

ukuran dari kesamaan kejadian pada dua spesies yang berbeda (Moore dan

Chapman, 1988).

Konsep asosiasi sangat memungkinkan untuk membagi unit vegetasi

menjadi beberapa bagian. Suatu hubungan asosiasi tidak harus memperlihatkan

satu lapisan tajuk yang terdiri dari satu jenis dominan. Sebaliknya dalam setiap

lapisan tajuk terdiri dari lebih dari satu jenis yang dapat digunakan untuk

menetapkan suatu hubungan asosiasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Pada pengertian sebenarnya asosiasi dapat dideskripsikan menggunakan

statistik, misalnya dengan chi_squared (x2). Kehadiran tiap spesies akan direkam

dalam jumlah dari plot yang dibuat dan data yang dimasukkan ke dalam

Contingency table 2x2. Hasilnya dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan

tabel x2. Hasilnya dapat mengidentifikasi asosiasi yang terjadi apakah positif atau

negatif. Hasilnya akan bergantung pada ukuran plot karena data yang dihasilkan

berasal dari frekuensi kemunculan (Moore dan Chapman, 1988).

Berdasarkan sebuah resolusi dari Kongres Botani Internasional di Brussel

pada tahun 1910, disepakati bahwa bentuk asosiasi hanya diaplikasikan pada

komunitas dengan: komposisi floristik tertentu, fisiognomi yang seragam dan

7

Page 8: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

ketika terjadi pada kondisi habitat yang seragam. Akan tetapi syarat yang

menyatakan bahwa habitatnya seragam. Sangat susah untuk dipenuhi. Habitat

yang seragam dapat ditemukan di beberapa situasi lapangan, akan tetapi sampel

vegetasi yang telah dikelompokkan ke dalam suatu tipe asosiasi tidak pernah

memiliki habitat yang identik, karena tidak ada 2 tempat di muka bumi ini yang

mempunyai kombinasi faktor tempat tumbuh yang benar-benar sama (Mueller-

Dombois dan Ellenberg, 1974).

F. Analisis Komunitas

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan

atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan,

satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang

merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu

habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas

adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu

wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2005).

Beberapa penelitian spesifik tentang vegeasi didasarkan pada gambaran

dan pembelajaran dari komunitas tumbuhan atau tipe vegetasi harus terlebih

dahulu diketahui di lapangan. Kemudian dari masing-masing tipe vegetasi

dilakukan pengambilan sampel yang mewakili tegakan di dalamnya dan dilakukan

analisis. Penelitian secara 100% dari tiap vegetasi untuk tujuan apapun akan

banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, gambaran dari masing-masing tipe

vegetasi harus berdasarkan pengambilan sampel, juga harus ditentukan apa yang

menjadi parameter yang harus diamati dan ukuran serta bentuk sampel yang harus

diamati (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Berikut ini empat tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan sampel

dari vegetasi, menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974):

a. Membagi wilayah berdasarkan penutupan tajuk

b. Mengadakan pilihan atas sampel dari masing-masing tipe vegetasi

8

Page 9: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

c. Menetapkan ukuran dan bentuk sampel yang harus diambil

d. Menetapkan ukuran plot yang akan digunakan

Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), bagaimanapun metode

yang digunakan dalam analisis lapangan, sampel tegakan harus memenuhi

persyaratan di bawah ini:

1. Sampel harus cukup besar untuk mengandung semua spesies yang ada

dalam komunitas tumbuhan

2. Habitat harus seragam pada wilayah tegakan, sedapat mungkin dapat

dibedakan dari habitat yang lain

3. Penutupan tajuk sebisa mungkin homogen. Contohnya: Penutupan

tajuk tidak harus memperlihatkan gap yang besar, atau tidak

didominasi 1 jenis dari setengah luasan areal.

Menurut Indriyanto (2005), dalam mengambil contoh untuk analisis

komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot),

metode jalur, ataupun metode kuadrat.

Prosedur dalam melaksanakan penelitian tentang asosiasi didasarkan pada

kehadiran dan ketidakhadiran dari suatu spesies dalam plot–plot pengamatan.

Kita dapat menunjukkannya dengan mengelompokkan data secara berpasangan.

Unit sampel dapat bersifat alami maupun buatan. Terdapat dua masalah yang

sering didiskusikan dalam meneliti asosiasi, yakni: ukuran dan bentuk dari unit

sampel. Dua masalah tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil analisis

asosiasi. Ketergantungan ini dapat dikurangi jika pemilihan unit sampel dibuat

berdasarkan ukuran, bentuk, penyebaran dari spesies yang pernah diteliti. Unit

sampel harus besar dan berpeluang mengandung sekurangnya satu individu dari

setiap jenis dan tidak harus terlalu besar jika salah satu spesies terdapat dalam

setiap unit sampel (Ludwig dan Reynolds, 1988).

9

Page 10: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Oktober

2009 hingga Januari 2009. Pengambilan data dilakukan di Hutan Pendidikan

Universitas Hasanuddin, yang berlokasi pada Laboratorium Alam Konservasi,

Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Meteran roll, digunakan untuk membuat plot

2. Kompas, digunakan untuk mengukur sudut plot

3. Abney level, digunakan untuk mengukur kelerengan plot

4. Tali rafiah, digunakan untuk menandakan batas plot

5. GPS, digunakan untuk menentukan koordinat plot

6. Peta, digunakan untuk menentukan penempatan plot

7. Alat tulis menulis, digunakan untuk mencatat data

8. Tally sheet, digunakan untuk mengisi data hasil pengamatan di lapangan

9. Buku panduan lapangan (Field guides), digunakan untuk mengidentifikasi

spesimen

10. Pita diameter, digunakan untuk menghitung keliling pohon

11. Haga meter, digunakan untuk mengukur tinggi total pohon

12. Alkohol 70%, digunakan untuk membuat herbarium basah.

13. Kertas koran, digunakan sebagai media penyimpanan herbarium basah

14. Trash bag, digunakan untuk menyimpan herbarium basah

15. Etiket gantung, digunakan untuk menandai spesimen

16. Kertas milimeter, digunakan untuk menggambar proyeksi tajuk pohon

17. Kamera digital, dipakai untuk mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan.

10

Page 11: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

C. Metode Pengumpulan Data

1. Orientasi Lapangan

Kegiatan orientasi dilakukan untuk menunjang kegiatan pengamatan yang

dilakukan. Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan

vegetasi yang terdapat tegakan Eboni pada berbagai kelas penutupan tajuk

dan kelas ketinggian. Hal ini mempermudah untuk menetapkan di mana kelak plot

sampel akan diletakkan dengan mempertimbangkan faktor tutupan tajuk dan kelas

ketinggian.

Dalam kegiatan tersebut dilakukan pengukuran, penentuan batas – batas

dan pembuatan peta kawasan hutan Eboni. Dan dilakukan perencanaan untuk

menentukan lokasi pengambilan data dengan menggambar perencanaan

penempatan plot secara Purposive Sistematik Sampling di atas peta kawasan hutan

Eboni yang terletak di Hutan Pendidikan Univesitas Hasanuddin. Setelah lokasi

ditentukan di atas peta, maka dilakukan pembuatan plot di lapangan dengan

memberikan tanda berupa tali rafia.

Tabel 1. Model Tally Sheet Hasil Pengukuran Batas Luar Kawasan Hutan Eboni

No. PatokUTM

KeteranganKoordinat X Koordinat Y

1.

2.

3.

....

2. Pengambilan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Metode

Purposive Sistematik Sampling. Dimana peneliti menentukan titik awal

11

Page 12: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

pembuatan plot dan dari titik awal tersebut dibuat jalur ke arah utara sepanjang

lokasi penelitian, adapun jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur dengan jarak antar

jalur 100m. Model plot yang digunakan dalam pengambilan data adalah model

jalur berpetak. Dimana pada masing-masing jalur, dibuat plot bujur sangkar

berukuran 20m x 20m secara berkesinambungan tanpa adanya jarak antar plot.

Pengamatan dimulai dari plot satu pada jalur penelitian pertama, kemudian

berlanjut pada plot dua pada jalur penelitian pertama, demikian seterusnya.

Ketika plot pada jalur penelitian pertama telah diselesaikan maka penelitian

dilakukan pada plot pertama jalur penelitian kedua, kemudian plot dua jalur

penelitian kedua, demikian seterusnya. Dalam penelitian, setiap vegetasi yang

berada dalam tahapan tiang dan pohon (diameter >10cm), dilakukan pencatatan

diameter batangnya dan dilakukan pencatatan nama spesies. Sedangkan, setiap

vegetasi yang berada dalam tahapan semai dan pancang (diameter <10cm)

dilakukan pencatatan jumlah masing-masing vegetasi dan dilakukan pencatatan

nama spesiesnya. Jika ada jenis spesies yang tidak diketahui, maka diambil

sampel daun, batang dan buahnya (jika ada) kemudian dibuat menjadi herbarium

basah yang nantinya akan diidentifikasi ketika kembali di laboratorium

Bentuk Purposive Sistematik Sampling pengamatan Eboni diperlihatkan

pada gambar 1.

Jalur penelitian

12

Page 13: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Gambar 1. Bentuk penempatan jalur penelitian dengan jarak antar jalur 100m secara Purposive Sistematik Sampling

Pengambilan data Eboni dengan metode jalur berpetak diperlihatkan pada

gambar 2.

20mPlot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Jalur penelitian

20m

Gambar 2. Cara pengambilan data Eboni dengan menggunakan metode jalur berpetak

Untuk mempermudah kegiatan pengamatan maka dibuat tally sheet

pengamatan. Model tally sheet yang dipakai untuk pengambilan data, adalah

sebagai berikut :

Tabel 2. Model Tally Sheet dengan menggunakan metode Purposive SamplingBlok penelitian/Plot penelitian : Hal :Tipe habitat :Hari/tanggal pengamatan :       

No. Nama Tumbuhan DiameterJumlah

Semai Pancang

1  …………………… ...../...../...../...../...../...../...../

2  …………………… ...../...../...../...../...../...../...../

3  …………………… ...../...../...../...../...../...../...../

…..    

Kegiatan pengamatan dilakukan pada pagi hari hingga sore hari dimulai

pada pukul 07.30 WITA dan berakhir pada pukul 17.00 WITA.

13

Page 14: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

D. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk menentukan asosiasi eboni dengan jenis

pohon lainnya, dengan menggunakan Tabel Contingency 2 x 2, sebagai berikut:

Tabel 3. Model Tabel Contingency 2 x 2

 Spesies B

Ada Tidak Ada Jumlah

Spesies AAda a b a + bTidak Ada c d c + dJumlah a + c b + d N= a + b + c + d

Keterangan:

a = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies B

b = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A sajac = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies B sajad = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies

B N = Jumlah titik pengamatan

Dalam melakukan penelitian ini, maka ditetapkan terlebih dahulu

hipotesisnya sebagai bahan uji terhadap hasil akhir yang ingin dicapai, sebagai

berikut:

Ho : Tanaman Eboni berasosiasi dangan tanaman lain dalam pertumbuhannya.

Hi : Tanaman Eboni tidak berasosiasi dengan tanaman lain dalam pertumbuhannya.

Untuk mengetahui adanya kecenderungan berasosiasi atau tidak,

digunakan Chi-square test dengan formulasi sebagai berikut:

Chi-square hitung = N (ad-bc)2 (a+b) (a+c) (c+d) (b+d)

Keterangan :

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis Bb = Jumlah titik pengamatan yang hanya mengandung jenis A c = Jumlah titik pengamatan yang hanya mengandung jenis Bd = Jumlah titik pengamatan yang tidak mengandung jenis A dan jenis B

saja

14

Page 15: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

N = Jumlah titik pengamatan

Nilai chi square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square

tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 10% (nilai 2,704) dan 5% (nilai 3,841).

Apabila nilai Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 10%

dan < dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 5% , maka asosiasi bersifat nyata.

Dan apabila nilai Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji

5%, maka asosiasi bersifat sangat nyata. Sedangkan apabila nilai Chi-square

hitung < dari nilai Chi-square tabel , maka asosiasi bersifat tidak nyata.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kekuatan asosiasi digunakan rumus

sebagai berikut:

E (a) = (a+b) (a+c) N

Keterangan :

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis Bb = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B sajaN = Jumlah titik pengamatan

Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat dua jenis asosiasi yaitu: (1)

asosiasi positif, apabila nilai a > E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama lebih

sering dari yang diharapkan (2) asosiasi negatif, apabila nilai a < E berarti

pasangan jenis yang terjadi bersama kurang sering dari yang diharapkan. Hasil

perhitungan asosiasi dari jenis – jenis yang diharapkan.

Selanjutnya hasil ini diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi Ochiai

untuk mengetahui nilai kekuatan asosiasinya, dengan rumus berikut ini:

IO = a

v/a+b . v/a+c

Keterangan :

IO = Indeks Ochiai

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B

b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja

c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja

15

Page 16: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Pemetaan lokasi dan jalur penelitian

Pemetaan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk memberi batasan

cakupan wilayah lokasi dan jalur penelitian yang jelas, dan juga sebagai bahan

informasi tentang letak geografis dan luasan wilayahnya. Pemetaan lokasi ini

dilakukan dengan bantuan kepala dusun Bontojai pak Husain, dikarenakan beliau

yang mengetahui persis tentang batas-batas terluar dari kawasan hutan Eboni ini.

Peta kawasan hutan Eboni di Laboratorium Alam Konservasi, Hutan

Pendidikan UNHAS Bengo-bengo, sebagai berikut:

Gambar 2. Peta kawasan hutan Eboni di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Bengo – Bengo.

16

Page 17: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Berdasarkan peta kawasan hutan Eboni yang ada dan hasil pengamatan

dari orientasi lapangan yang ditemani langsung oleh Prof.Dr.Ir.Amran achmad

M.Sc. Maka, ditetapkanlah penempatan jalur penelitian seperti pada gambar di

bawah ini:

Gambar 3. Peta lokasi penempatan jalur penelitian pada kawasan hutan Eboni Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Bengo – Bengo.

17

Page 18: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

2. Pengamatan Eboni ( Diospyros celebica )

Dalam Penelitian ini jumlah jalur penelitian yang digunakan sebanyak 3

jalur, dengan total panjang 1.380 m. Dengan total plot yang dibuat sebanyak 69

plot bujur sangkar, berukuran 20m x 20m.

Data yang dikumpulkan meliputi diameter pohon dan tiang, serta jumlah

semai dan pancang masing-masing spesies yang terdapat pada setiap plot

penelitian. Hasil pengukurannya dimasukkan ke dalam tally sheet pengukuran

seperti yang terdapat pada Lampiran 3 hingga Lampiran 7.

Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan table

contingency 2x2, sebagai tahapan awal untuk mendapatkan nilai a, b,c, dan d.

Keempat nilai ini akan digunakan untuk mencari chi square hitung pada masing-

masing tingkat pertumbuhan vegetasi. Dimulai dari tingkat semai, pancang, tiang,

pohon dan gabungan dari semua tahapan pertumbuhan.

Berdasarkan pada hipotesis yang telah ditetapkan, maka: apabila nilai Chi-

square hitung > dari nilai Chi-square tabel , maka Ho diterima. Jika, nilai Chi-

square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 10% dan < dari nilai

Chi-square tabel pada taraf uji 5% , maka asosiasi bersifat nyata. Dan jika nilai

Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 5%, maka asosiasi

bersifat sangat nyata. Dan, apabila nilai Chi-square hitung < dari nilai Chi-square

tabel , maka Ho ditolak atau asosiasi bersifat tidak nyata. Kemudian dianalis

tingkat kekuatan asosiasinya dan juga nilai indeksnya berdasarkan model Ochiai,

seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Hasil analisis asosiasi Eboni (Dyospirous celebica Bakh) dengan tanaman lainnya pada berbagai tahapan pertumbuhan dimana didapati bahwa terjadi asosiasi

Tahapan semai :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni    

18

Page 19: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Nangka 6.18 - 0.44

Pinang 5.86 + 0.86

Sp 4 5.18 + 0.71

Sp 16 7.96 + 0.31Tahapan pancang :

Uji chi-square

Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni    

Kemiri 2.83 - 0.17Petai 5.99 -

Sukun 5.99 - 0.00

Sp 6 5.99 - 0.00

Sp 9 7.20 + 0.20

Sp 12 12.54 - 0.07

Tahapan tiang :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni

Kayu manis 2.71 + 0.28

Langsat 2.71 + 0.28

Tahapan pohon :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni    

Mangga 12.78 - 0.11

Gabungan tahapan :

Uji chi-square Tingkat asosiasi

19

Page 20: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Eboni

Angsana 31.97 - 0.26Aren 5.11 +

Dao 15.19 + 0.12

Jambu 3.27 + 0.68

Langsat 3.03 + 0.81

Lento-lento 4.37 + 0.85

Pinang 6.11 + 0.94

Sp 12 6.22 + 0.79

Sp 17 16.65 - 0.22

Keterangan : = Asosiasi bersifat sangat nyata

  = Asosiasi bersifat nyata

  = Asosiasi bersifat positif

B. Pembahasan

Berdasarkan jumlah Eboni pada tahapan Eboni pada setiap tahapan

pertumbuhan dilihat dari tingkat kelerengan, maka dapat terlihat bahwa Eboni

pada tahapan semai dan pancang tersebar hingga kelas kelerengan sangat curam,

adapun jumlahnya sangat tergantung pada pohon induk dan adanya bukaan (gap)

pada tumbuhan bawah. Sedangkan pada tahapan tiang dan pohon hanya dapat

tumbuh dengan baik hingga kelas kelerengan curam. Pada kelerengan sangat

curam tahapan pohon jarang dijumpai, bahkan tahapan tiang tidak didapati pada

kelas kelerengan sangat curam ini.

Eboni pada tahapan semai berhubungan asosiasi sangat nyata dengan lima

tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: nangka, pinang, sp 4,

dan sp 16. Akan tetapi, tidak semuanya berasosiasi positif, ada juga yang

berasosiasi negatif. Kekuatan asosiasi Eboni pada tingkatan semai, positif dengan

20

Page 21: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

pinang, Sp 4 dan Sp 6, akan tetapi berkekuatan negatif dengan nangka. Dan yang

mempunyai hubungan asosiasi terkuat berdasarkan indeks asosiasi Ochiai adalah

pinang dengan nilai sebesar 0,86.

Eboni pada tahapan pancang berhubungan asosiasi sangat nyata dengan

lima tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: petai, sukun, sp 6,

sp 9, dan sp 12. Dan juga berhubungan asosiasi nyata dengan satu tumbuhan,

yakni kemiri. Akan tetapi, tidak semuanya berasosiasi positif, ada juga yang

berasosiasi negatif. Kekuatan asosiasi Eboni pada tingkatan pancang, positif

dengan sp 9, akan tetapi berkekuatan negatif dengan kemiri, petai, sukun, sp 6, sp

9, dan sp 12. Dan yang mempunyai hubungan asosiasi terkuat berdasarkan indeks

asosiasi Ochiai adalah sp 9 dengan nilai sebesar 0,20.

Eboni pada tahapan tiang asosiasi sangat nyata dengan dua tanaman

berdasarkan hasil uji chi-square, yakni kayu manis dan langsat. Keduanya

memiliki kekuatan asosiasi positif terhadap Eboni. Keduanya memiliki nilai yang

sama berdasarkan indeks asosiasi ochiai yakni sebesr 0.28.

Eboni pada tahapan pohon berhubungan asosiasi yang nyata dengan satu

tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: mangga. Dan kekuatan

asosiasinya negatif terhadap Eboni dengan nilai sebesar 0.11 berdasarkan nilai

indeks Ochiai.

Eboni pada semua tahapan pertumbuhan berhubungan asosiasi nyata

dengan jambu dan langsat, serta memiliki hubungan asosiasi sangat nyata dengan

tujuh tanaman lainnya, yakni: angsana, aren, dao, lento-lento, pinang, sp 12 dan sp

17. Akan tetapi, tidak semuanya memiliki kekuatan positif, seperti: aren, dao,

lento-lento, pinang, sp 12 dan sp 17. Sedangkan angsana dan sp 17 memiliki

kekuatan negatif. Berdasarkan nilai indeks asosiasi Ochiai maka didapati bahwa

pada gabungan semua tahapan yang mempunyai hubungan asosiasi tertinggi

dengan Eboni, adalah pinang dengan nilai sebesar 0.94. Disusul oleh aren dengan

nilai sebesar 0.93, dan pada urutan ketiga disusul oleh lento-lento dengan nilai

sebesar 0,85.

21

Page 22: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

22

Page 23: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

Anonim. 2009. Laporan Praktek Umum gelombang XIX. Makassar: Pengelola

Praktek Umum Fakultas Kehutanan, UNHAS.

Chapman, S.B. and P.D. Moore. 1986. Methods in Plant Ecology. London: Blackwell Scientific Publication, Oxford University.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Group.

Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. United States of America.

McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.

23

Page 24: Skripsi Jadi Argha F'O5 Ni Loh

Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.

Paembonan, S.A. dan Baharuddin, N. 2002. Kajian Biologi Ekologi Dan Kajian Budidaya Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Dyospyros celebica Bakh). Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

24