Skripsi Hendro

125
KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA (Studi Komparasi Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) oleh: Hendro Sucipto 05530002 JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2009

Transcript of Skripsi Hendro

Page 1: Skripsi Hendro

KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA

(Studi Komparasi Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

oleh:

Hendro Sucipto 05530002

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2009

Page 2: Skripsi Hendro
Page 3: Skripsi Hendro
Page 4: Skripsi Hendro

MOTTO

المنكر عن وينهون بالمعروف ويأمرون الخير ىإل يدعون أمة منكم ولتكن

المفلحون هم وأوالئك

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.

(Q.S. ali-Imran: 104)

iv

Page 5: Skripsi Hendro

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Kedua orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa

memberikan motivasi dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini,

Halimah Sa’diyah sahabat hidupku, serta Immawan/Immawati Ikatan

Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kabupaten Sleman dan seluruh

teman-teman di bangku kuliah.

Almamater tercinta Jurusan Tafsir & Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga Yogayakarta dan Pondok Pesantren Budi Mulia

Yogyakarta.

v

Page 6: Skripsi Hendro
Page 7: Skripsi Hendro

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji hanyalah pantas dipanjatkan kepada Allah swt,

hanya kepada-Mu lah kami memohon petunjuk dan meminta pertolongan serta

berserah diri. Allah Maha besar, tetapkanlah kami dalam petunjuk-Mu yang

diridhoi dan penuh berkah. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan

kepada baginda Nabi Muhammad saw, yang telah menghapus gelapnya

kebodohan dan kekufuran, melenyapkan rambu keberhalaan dan kesesatan, serta

mengangkat setinggi-tingginya menara tauhid dan keimanan.

Berawal dari sebuah kegelisahan pikir selama proses penyelesaian

program studi tafsir dan hadis, dalam realitas studi terdapat keberagaman

pemikiran yang mau tidak mau harus dijalani sebagai kekayaan kajian dalam

pengembangan dan kemajuan pemahaman Al-Qur’an, yaitu munculnya beragam

metode dalam memahami Al-Qur’an. Semenjak abad ke-17 hingga sekarang

bermunculan penafsiran yang selalu bergerak mengikuti perkembangan studi-

studi keilmuan dan realitas kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dihindari,

karena Al-Qur’an bukanlah milik satu bangsa saja, tetapi memiliki pesan salih l

kulli zaman wa makan.

i

Termasuk di dalamnya adalah munculnya tafsir feminis yang

mengupayakan untuk menjadikan analisis gender sebagai kerangka kerja

penafsiran mereka. Sebagai salah satu konsekuensi dalam penafsiran itu adalah

kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam memimpin keluarga. Dalam konteks

Inonesia pun juga bermunculan para penafsir yang menawarkan metode dalam

vi

Page 8: Skripsi Hendro

penafsiran Al-Qur’an tentang ayat-ayat yang bernilai teologis. Di antaranya

adalah Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, yang mempunyai penafsiran

berbeda dalam menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga.

Sebuah realitas objektif, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Oleh

karena itu, dengan segenap kebenaran, penulis dengan terbuka membuka wilayah

saran dan kritik dari segenap pembaca. Secara optimis karya ini tidak akan

mencapai harapan ideal tanpa keluhuran budi, keikhlasan hati, dan semangat

pikir kebenaran para khalifah fi ardl sehingga dengan menjunjung tinggi

kebenaran Al-Qur’an, penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada:

1. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Dr. Suryadi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan dan Dr. M. Alfatih Suryadilaga,

M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin.

3. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag, selaku Penasihat Akademik.

4. Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA, selaku Pembimbing I yang

selalu membimbing dengan tulus dan memberikan motivasi.

5. Adib Sofia, S.S, M.Hum, selaku Pembimbing II yang dengan sabar

mengajarkan tentang arti kebenaran sebuah bahasa.

6. Kedua orang tua saya, Bapak Slamet dan Ibu Tumirah yang telah

membimbing, membesarkan, mendidik, dan semua jasa-jasanya yang tak

ternilai dengan sepenuh hati.

7. Saudara-saudaraku, kedelapan kakak dan kedua adikku, yang dengan tulus

memberikan bantuan moral dan spiritual.

vii

Page 9: Skripsi Hendro

8. Halimah Sa’diyah yang telah mengajarkan tentang arti hidup sebenarnya,

dirimu selalu ada di saat sedihku dan bahagiaku.

9. Segenap Pengurus Pondok Pesantren, khususnya santri Angkatan X, Budi

Mulia Yogyakarta adalah tempat kita tumbuh berkembang.

10. Immawan dan Immawati, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah Kab. Sleman (Danuri, Kasyadi, Haris, Suhada, Desi,

Ariel, Huda, Tsania, Ihah, Pepizon, Sobiren, Mar’i, dan semua Pimpinan

periode 2008-2009), dari kalianlah saya mendapatkan hal berharga yang

tak mungkin terlupakan.

11. Immawan dan Immawati Pimpinan Komisariat se-Kab. Sleman, PK IMM

Uy (Herman, Lukman, dkk), PK IMM Ty (Dedi, Hartini, dkk), PK IMM

ST (Atik, Imam, dkk), PK IMM Ay (Amar, Alam, dkk), PK IMM Sy

(Ashabul, as-Syifa, dkk), PK IMM UII (Sahlan, Rahma dkk), PK IMM

Dy-Ishum (Dani, Tomi, dkk), Korkom IMM UIN Suka (Ramli, Husein,

dkk), dan DPD IMM DIY (Anang, Jefree, dkk) serta teman-teman

pergerakan mahasiswa dan kepemudaan lainnya.

12. Teman-teman satu Angkatan TH-A 2005, terlebih untuk Arif Nuh Safri,

kamulah sahabat pertama dalam bangku kuliahku, dan seluruh teman-

teman yang belum disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi yang sederhana ini, dapat diambil manfaatnya demi

kemajuan ilmu tafsir maupun ilmu lainnya.

Penulis,

(Hendro Sucipto)

viii

Page 10: Skripsi Hendro

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan

0543b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

Alif

ba’

ta’

sa’

jim

ha’

kha

dal

żal

ra’

zai

sin

syin

s ad

dad

t a

z a

‘ain

gain

fa

qaf

Tidak dilambangkan

b

t

s

j

h

kh

d

ż

r

z

s

sy

s

d

t

z

g

f

q

Tidak dilambangkan

be

te

es (dengan titik di atas)

je

ha (dengan titik di bawah)

ka dan ha

de

zet (dengan titik di atas)

er

zet

es

es dan ye

es (dengan titik di bawah)

de (dengan titik di bawah)

te (dengan titik di bawah)

zet (dengan titik di bawah)

koma terbalik

ge

ef

qi

ix

Page 11: Skripsi Hendro

ك

ل

م

ن

و

ه

ء

ي

kaf

lam

mim

nun

waw

ha’

hamzah

ya

k

l

m

n

w

h

y

ka

‘el

‘em

‘en

w

ha

apostrof

ye

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap

متعددة

عدة

ditulis

ditulis

Muta’addidah

‘iddah

C. Ta’ marbutah di Akhir Kata Ditulis h

حكمة

علة

آرامة األولياء

زآاة الفطر

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

Hikmah

'illah

Karāmah al-auliyā'

Zakāh al-fitri

D. Vokal Pendek

_____

فعل

_____

ذآر

_____

یذهب

fathah

kasrah

dammah

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

a

fa’ala

i

żukira

u

yażhabu

x

Page 12: Skripsi Hendro

E. Vokal Panjang

1

2

3

4

Fathah + alif

جاهلية

Fathah + ya’ mati

تنسى

Kasrah + ya’ mati

آریم

Dammah + wawu mati

فروض

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ā

jāhiliyyah

ā

tansā

i

karim

ū

furūd

F. Vokal Rangkap

1

2

Fathah + ya’ mati

بينكم

Fathah + wawu mati

قول

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ai

bainakum

au

qaul

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof

اانتم

اعدت

لئن شكرتم

ditulis

ditulis

ditulis

a’antum

u’iddat

la’in syakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam

Diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan

huruf "al".

القران

القياس

السماء

الشمس

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

al-Qur’ān

al-Qiyās

al-Samā’

al-Syam

xi

Page 13: Skripsi Hendro

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut penulisannya.

ذوى الفروض

اهل السنة

ditulis

ditulis

żawi al-furūd

ahl al-sunnah

xii

Page 14: Skripsi Hendro

ABSTRAKS

Kepemimpinan dalam keluarga masih menjadi kajian menarik bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi gerakan feminisme. Banyaknya kajian ini didorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan di masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam segala hal. Pada umumnya, perempuan memainkan peran sosial-ekonomi dan politik dengan porsi yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki. Hal ini dikarenakan posisi perempuan dianggap kurang memiliki daya saing terhadap lingkungan yang dihadapi. Salah satunya disebabkan oleh faktor pendidikan dari pihak perempuan yang lemah. Bagi sebagian masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda seperti di atas dianggap sebagai suatu hal yang alamiah atau kodrati. Anggapan itu dalam kajian feminisme ditolak dengan keras. Bagi feminisme, konsep seks dibedakan dengan gender. Menurut mereka, perbedaan biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang dimaksud dengan perbedaan fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah gender. Dalam konteks Indonesia, muncul tokoh-tokoh masyarakat yang melakukan peninjauan ulang terhadap makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah gender, seperti Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad.

Skripsi ini, akan membandingkan penafsiran kedua tokoh, mulai dari metode, inti panafsiran, relevasi dengan kondisi Indonesia sekarang, sehingga dari situ akan ditemukan persamaan dan perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat kepemimpinan dalam keluarga. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-komparatif, yaitu menggambarkan secara utuh pemikiran kedua tokoh, kemudian membandingkan pemikiran keduanya. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library reserch). Adapun sumbernya diambil dari karya Yunahar Ilyas, yaitu Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer serta Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an; Studi Penafsiran Para Mufasir dan buku karya Husein Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender serta Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren serta karya-karya beliau di berbagai media.

Tafsiran Yunahar dan Husein dapat dikatakan dalam bentuk tafsir bi al ra’yi, menggunakan metode maudu’i, sedangkan dari segi corak berbeda. Penafsiran Yunahar bercorak budaya kemasyarakatan sedangkan Husien bercorak fiqih atau hukum. Mereka menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga disandarkan pada surat an-Nisa 34. Awalnya mereka mempunyai pandangan yang sama, yaitu laki-laki dan perempun yang kemampuan intelektualnya lebih, dapat memimpin keluarga, dan menjadikan prinsip musyawarah sebagai poin penting dalam hubungan keluarga. Akan tetapi ada perbedaan pada penekanan selanjutnya, bahwa Yunahar melihat harus ada salah satu yang menjadi pemimpin agar tidak terjadi kebuntuan dalam keluarga, karena ia berpandangan kepemimpinan keluarga bersifat normatif bukan kontekstual. Sementara itu, Husein melihat kepemimpinan dapat dipegang suami atau istri, karena keduanya mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.

xiii

Page 15: Skripsi Hendro

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iii

HALAMAN MOTTO................................................................................ iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v

PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

PEDOMAN TRANSLASI......................................................................... x

ABSTRAK................................................................................................. xiv

DAFTAR ISI.............................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka............................................................................ 9

E. Kerangka Teori .............................................................................. 13

F. Metode Penelitian .......................................................................... 17

1. Jenis Penelitian ...................................................................... 17

2. Sumber Data .......................................................................... 17

3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 18

xiv

Page 16: Skripsi Hendro

4. Teknik Analisa Data .............................................................. 19

G. Sistematika Pembahasan ............................................................... 20

BAB II BIOGRAFI & POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG GENDER

YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD

A. Biografi Yunahar Ilyas................................................................... 22

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Yunahar Ilyas ....................... 22

2. Aktivitas dan Perjuangan Yunahar Ilyas ................................. 26

3. Karya Yunahar Ilyas ................................................................ 30

4. Pokok-pokok Pemikiran Yunahar Ilyas tentang Gender ........ 32

B. Biografi Husein Muhammad ......................................................... 34

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Husein Muhammad .............. 34

2. Aktivitas dan Perjuangan Husein Muhammad........................ 35

3. Karya Husein Muhammad ....................................................... 39

4. Pokok-pokok Pemikiran Husien Muhammad tentang Gender 42

BAB III METODE & PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN

MUHAMMAD TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

A. Metode Penafsiran Yunahar Ilyas.................................................. 50

B. Penafsiran Yunahar Ilyas tentang Kepemimpinan Keluarga ........ 54

C. Metode Penafsiran Husein Muhammad......................................... 63

D. Penafsiran Husein Muhammad tentang Kepemimpinan Keluarga 67

xv

Page 17: Skripsi Hendro

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN

MUHAMMAD TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

A. Komparasi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas

dan Husein Muhammad ................................................................. 76

1. Perbandingan Metode Penafsiran ............................................ 76

2. Perbandingan Penafsiran tentang Kepemimpinan Keluarga... 80

B. Relevansi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas

dan Husein Muhammad dengan Kondisi Indonesia Sekarang ...... 89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 101

B. Saran .............................................................................................. 103

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 104

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................. 108

LAMPIRAN............................................................................................... 109

xvi

Page 18: Skripsi Hendro

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan dalam keluarga masih menjadi kajian menarik bagi

masyarakat Indonesia, khususnya bagi gerakan feminisme.1 Banyaknya kajian ini

didorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan yang ada di masyarakat yang

beranggapan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam segala hal.

Pada umumnya, perempuan memainkan peran sosial-ekonomi dan politik

dengan porsi yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki.

Dalam hal ini dikarenakan posisi perempuan kurang memiliki daya saing

terhadap lingkungan yang dihadapi. Salah satunya disebabkan oleh faktor

pendidikan dari pihak perempuan yang lemah. Lemahnya pendidikan perempuan

ini dapat dilihat dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang

menyebutkan bahwa, SD/SLTP L:P (Seimbang laki-perempuan), SLTA L>P

(Perempuan DO meningkat), AK/PT LP (Perempuan DO tinggi), Buta Huruf L

5,85%, P 12,7% (1 Laki : 2/3 Perempuan).2

Bagi sebagian masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda

seperti di atas dianggap sebagai suatu hal yang alamiah atau kodrati. Anggapan

l l

1 Feminisme dapat diartikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Lebih lanjut lihat Kamla Bhasin dan Nighat Khan, Persoa an Pokok Mengenai Feminisme dan Re evansinya, terj. S. Herlina (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 5.

2 Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam www.menegpp.go.id, diakses tanggal 4 Januari 2009.

1

Page 19: Skripsi Hendro

2

itu dalam kajian feminisme ditolak dengan keras. Bagi feminisme, konsep seks

dibedakan dengan gender.3 Menurut mereka, perbedaan biologis dan fisiologis

adalah perbedaan seks, sedangkan yang dimaksudkan perbedaan fungsi, peran,

hak, dan kewajiban adalah gender. Singkatnya, gender adalah interpretasi budaya

terhadap perbedaan jenis kelamin, sedangkan seks adalah sesuatu yang ada pada

laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah swt sehingga manusia

tidak dapat mengubah dan menolaknya. 4

Budaya itu sendiri merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa.5 Dari

pengertian ini maka setiap komunitas masyarakat memiliki budaya yang

berbeda-beda. Misalnya, kebudayaan yang muncul, tradisi manusia mempercayai

kekuatan selain Allah swt, mereka bergantung pada kekuatan yang dianggap

lebih, baik secara fisik maupun non-fisik. Bentuk penyembahan terhadap hewan

buas dan matahari menjadi bukti bahwa seseorang berlindung kepada sesuatu

yang memiliki kekuatan lebih tinggi. Maka munculah anggapan bahwa seseorang

yang memiliki kekuatan lebih akan memimpin orang lain yang lemah. Seperti

t

l

r l

l

3 Gender beasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 265. Dalam Webster sNew World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Helen Tierney (ed), Women’s S udies Encyclopedia, vol. I, (New York: Green Wood Press), hlm. 153. Pengertian lain gender sebagaimana dirumuskan Mansur Fakih, Gender merupakan hasil konstruksi budaya yang menganggap laki-laki lebih kuat, rasional, jantan, perkasa, sementara perempuan lebih dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Mansor Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 8-9.

4 Waryono Abdul Ghofur, Tafsi Sosial Mendia ogkan Teks dengan Konteks (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm 103

5 Soerjono Soekanto, Sosio ogi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 300.

Page 20: Skripsi Hendro

3

sekarang ini, karena laki-laki dianggap lebih kuat dari perempuan maka laki-

lakilah yang menjadi pemimpin.

Al-Qur’an sendiri, sebagai pedoman hidup umat Islam, tidak

membedakan manusia. Tingkat iman dan takwa yang membedakan mereka di

hadapan Tuhan. Akan tetapi, ada beberapa ayat yang dijadikan sebagai

legitimasi pembedaan itu. Misalnya, masalah penciptaan perempuan,6 konsep

kesaksian dan kewarisan perempuan,7 termasuk juga kepemimpinan dalam

keluarga.8 Ayat-ayat tersebut sering sekali oleh mufasir hanya ditafsirkan secara

tekstual sehingga memposisikan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki.

Dari realitas tersebut munculah tafsir feminis9 yang mengupayakan untuk

menjadikan analisis gender sebagai kerangka kerja penafsiran mereka. Kajian

mereka yang berhubungan dengan kesetaraan gender dalam Al-Qur’an:

ند اهللا أتقاآم يآأيها الناس إنا خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعوبا وقبآئل إن أآرمكم ع

إن اهللا عليم خبير

Terjemah: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal” (Al-Hujuraat: 13).

i l

6 Q.S. An-Nisa’ 4:1 7 Q.S. Al-Baqarah 2:282 dan An-Nisa; 4:11 8 Q.S. An-Nisa’ 4:34 9 Tafsir feminis adalah hasil pemikiran para feminis dalam menafsirkan ulang ayat-ayat

Al Qur'an sebagai cara untuk mengungkapkan kepada dunia tentang hak-hak wanita yang selama ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Ayat-ayat Al-Qur’an dari periode awal sampai periode pertengahan kebanyakan ditafsirkan oleh mufasir-mufasir laki-laki yang menggunakan perspektif mereka dalam memahami Al-Qur’an sehingga kaum wanita terpinggirkan dan tidak dibela haknya sepenuhnya; Lihat Abdul Mustaqim, “Amina Wadud: Menuju Keadilan Gender” dalam Khudori Salaeh (ed.), Pem kiran Is am Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 65

Page 21: Skripsi Hendro

4

Sebagai salah satu konsekuensi tuntutan golongan feminisme terhadap

kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah tuntutan kesamaan dalam memimpin

rumah tangga. Beberapa penafsir feminis misalnya Asgar Ali Engineer, Riffa>t

H{asan, Fa>t}imah Marni>si>, dan Amina Wadu>d Muh}sin menggugat paham

keunggulan kaum lelaki atas perempuan atau keunggulan suami atas isteri dalam

rumah tangga yang selama ini sudah mapan di kalangan komunitas Muslim.

Mereka menggugat paham tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan

ide utama feminisme yakni adanya kesetaraan (al-musa>wa>h) antara laki-laki dan

perempuan.10 Misalnya Asgar Ali Engineer, menyatakan bahwa konsep

kepemimpinan suami terhadap istri tersebut berasal dari penafsiran yang

normatif terhadap firman Allah swt:

أموالهم من وبمآأنفقوا بعض على بعضهم اهللا فضل بما النسآء على قوامون الرجال

فعظوهن نشوزهن تخافون واالتي اهللا حفظ بما للغيب حافظات قانتات فالصالحات

عليا آان اهللا إن سبيال عليهن فالتبغوا طعنكمأ فإن واضربوهن المضاجع في واهجروهن

آبيرا

Terjemah: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (an-Nisa’: 34).

10 Wahib Wahab, “Kepemimpinan Keluarga Dalam Perspektif Feminisme” (Jurnal IAIN

Sunan Ampel, dikutip tanggal 17 Januari 2009).

Page 22: Skripsi Hendro

5

Secara normatif Al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status antara

laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual dinyatakan adanya kelebihan

dalam hal tertentu antara laki-laki atas perempuan. Para mufasir klasik hanya

memahami ini secara normatif, misalnya para fuqaha>’ memberikan status yang

lebih unggul bagi laki-laki, yakni suami sebagai qawwa>mu>n. Asgar Ali Engineer

mengkritik metode para mufassir yang hanya memahami ayat dengan nilai

teologis dan mengesampingkan nilai sosiologis.11

Interpretasi Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan tugas yang tidak

boleh berhenti, sebagai bentuk upaya memahami pesan Ilahi. Hal ini karena

sebagai kitab suci dan petunjuk umat Islam, Al-Qur’an memiliki berbagai

dimensi untuk dapat dijadikan sebagai pegangan hidup dan penuntun arah gerak

setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya. Kehidupan ini penuh dengan

keanekaragaman sehingga manusia mempunyai tugas untuk berpikir (tafakkur)

logis dan selalu mengingat (taz\akkur) akan kebesaran Allah swt.12

Bermacamnya metode dan pendekatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,

memunculkan pemahaman yang berbeda dalam memahami agama. Ditambah lagi

dengan latar belakang sejarah dan sosial budaya yang berbeda. Perempuan

Indonesia berbeda dengan di Barat maupun negara Islam, secara tidak langsung

itu akan mempengaruhi dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.13

r l Il

: r

11 Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm.57

12 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbica a tentang Aka dan mu Pengetahuan. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. ii

13 Richard E. Palmer, Hermeneutika Teo i Baru Mengenai Interpretasi terj. Masnur & Darmanhuri M (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 7-8

Page 23: Skripsi Hendro

6

Dari permasalahan itu penulis menilai perlu adanya penelitian tentang

konsep gender yang ditawarkan dari tokoh Indonesia yang sesuai dengan kultur

dan kepribadian bangsa Indonesia. Pada penelitian ini, penulis akan

mengkomparasikan penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad dalam

memahami ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan

kepemimpinan dalam keluarga.

Yunahar Ilyas adalah salah satu ilmuan Muslim di Indonesia yang

mempunyai peran strategis. Selain sebagai Ketua Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, ia juga menjabat sebagai Ketua MUI Pusat. Sewaktu ia

menggawangi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP Muhammadiyah

ia menggagas jama’ah pengajian tafsir mahasiswa yang diadakan di Aula PP

Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro. Pengajian ini dilaksanakan sekali dalam

seminggu, dimulai dari surah awal hingga berlanjut seterusnya. Belum lama ini

gelar Profesor dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pun telah didapatkan

karena pengabdian keilmuannya dalam bidang ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Di tengah

kesibukannya itu Yunahar tetap menyempatkan diri mengasuh santri mahasiswa

di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta.

Yunahar aktif menulis di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara

‘Aisyiyah. Ia termasuk orang yang konsen terdapat permasalahan gender. Dalam

hal ini dapat dilihat dari beberapa karyanya yang diterbitkan. Tesis dan

disertasinya pun juga meneliti permasalahan gender.

Di satu sisi, terdapat salah satu tokoh Indonesia yang juga konsen pada

permasalahan gender, yakni Husein Muhammad. Ia adalah salah satu deretan

Page 24: Skripsi Hendro

7

ulama di Indonesia yang melontarkan gagasan-gagasan pembacaan ulang

terhadap fiqih klasik terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan.

Husein Muhammad menjadi pengasuh PP Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon

Jawa Barat yang memiliki tradisi kitab kuning cukup kuat. Setidaknya ia mampu

membaca secara teliti dan kritis serta memetakan beragam referensi klasik yang

berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai relasi laki-laki dan perempuan yang

dianggapnya timpang.14

Husein aktif di berbagai kegiatan organisasi sosial, pondok pesantren,

masjid, partai politik, dan ormas NU. Ia juga berperan aktif dalam pendirian

yayasan pendidikan dan NGO antara lain: Rahima, Amal Hayati, Fahmina

Institut.

Pandangan kedua tokoh tersebut tentang kepemimpinan dalam keluarga

sangat urgen untuk diteliti yang bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap

perkembangan khazanah pemikiran Islam. Penelitian yang melihat aspek sosial

ini diharapkan dapat memunculkan keadilan dan kesetaraan yang pada akhirnya

dapat membangun peradaban, khususnya masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah, penelitian ini akan terfokus pada.

1. Bagaimanakah metode dan inti penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga?

i

14 Sahul Mahfud, “Kata Pengantar” dalam Husein Muhammad, F qih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. xi

Page 25: Skripsi Hendro

8

2. Apakah persamaan dan perbedaan Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga?

3. Bagaimanakah relevansi penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad dengan kondisi Indonesia sekarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini memiliki beberapa

tujuan, antara lain:

1. Untuk mengetahui metode dan inti penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran Yunahar Ilyas

dan Husein Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga.

3. Untuk mengetahui relevansi penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad dengan kondisi Indonesia sekarang.

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Bersifat Ilmiah

a. Penelitian ini merupakan langkah awal secara teoritis dalam

mengkaji Al-Qur’an secara tematik, sebagai upaya untuk

mengembangkan kajian terhadap Al-Qur’an.

b. Memberikan pemahaman tentang tafsir berperspektif feminis agar

tidak terjadi pemaksaan kehendak atau penindasan atas nama

agama sehingga keadilan dan kesetaraan bagi perempuan benar-

benar terwujud.

Page 26: Skripsi Hendro

9

c. Memberikan sumbangsih pemikiran bagi bangsa Indonesia dalam

menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan feminisme

Indonesia dengan memberikan sudut pandang baru dalam

memahami kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan

keluarga dan sosial kemasyarakatan dengan sosio-kultur

Indonesia.

2. Bersifat Akademik

a. Sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan di bidang Tafsir

dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian yang membahas tema perempuan sudah banyak dilakukan. Di

Indonesia, buku-buku yang berkaitan dengan persoalan perempuan sudah tidak

asing lagi bagi kalangan akademis. Penelitian tentang kepemimpinan dalam

keluarga juga cukup banyak. Akan tetapi, tulisan mengkaji secara khusus dan

membandingkan pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad belum

ditemukan. Beberapa tulisan yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan

dalam keluarga antara lain sebagai berikut.

MF Zenrif menulis dalam tulisannya yang berjudul “Kepemimpinan

Keluarga dalam Kajian Kontekstual”, menafsirkan surat al-Nisa>’: 34 secara

kontekstual. Dijelaskannya bahwa laki-laki menjadi pemimpin karena dua alasan;

pertama, mempunyai kelebihan; kedua, mereka telah menafkahkan sebagian harta

Page 27: Skripsi Hendro

10

mereka. Islam tidak memandang kelebihan dari yang provan, melainkan diukur

dari spiritualisme. Artinya, apabila ada perempuan yang mempunyai keutamaan

dalam stratafikasi sosial maka dia berhak memimpin keluarga juga. Masalah

keistimewaan memberikan nafkah adalah tanggung jawab terhadap

perekonomian keluarga, apabila perempuan mendapatkan kesempatan bekerja

maka dia berkewajiban memberikan nafkah pada keluarga sehingga perempuan

berhak memimpin keluarga.15

Bani Syarif Maula menulis, “Kepemimpinan dalam Keluarga Perspektif

Fiqh dan Analisis Gender”, dan menjelaskan bahwa kepemimpinan rumah tangga

dalam pandangan Al-Qur’an dan ananlisis gender, sama-sama menghendaki

keadilan, namun dengan sudut pandang yang berbeda. Al-Qur’an sebagaimana

dipahami para ahli fiqh, memandang bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan

memunculkan perbedaan peran suami dengan jenis kelaminnya, tetapi keduanya

adalah setara dan tidak saling mendominasi. Sementara itu, analisis gender

menilai bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan seharusnya tidak

memunculkan perbedaan peran karena perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin

cenderung akan menimbulkan ketidakadilan. Namun, apabila perbedaan peran itu

tidak menimbulkan ketidakadilan, maka tidak menjadi persoalan.16

Secara umum, penulisan masalah perempuan lebih banyak ditemukan.

Misalnya Asgar Ali Engineer dalam bukunya, Hak-hak Perempuan dalam Islam

l

t I l

15 MF Zenrif, “Kepemimpinan Keluarga dalam Kajian Konstekstual” dalam Musawa, Jurna Studi Gender dan Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1, 2004) hlm. 45-60

16 Bani Syarif Maula, “Kepemimpinan Kepemimpinan dalam Keluarga Perspektif Fiqh dan Analisis Gender” dalam Musawa, Jurnal S udi Gender dan s am (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1, 2004) hlm. 27-42

Page 28: Skripsi Hendro

11

melakukan kajian kritis terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan

dengan hak-hak perempuan dalam perkawinan, perceraian, pemilikan harta,

pewarisan, pemeliharaan anak, kesaksian, ganjaran dan hukuman, dan

kepemimpinan. Asgar berusaha mengembalikan hak-hak perempuan menurut

semangat Al-Qur’an yang telah terjadi penyimpangan. Ia mengatakan bahwa

surat an-Nisa ayat 34, tampaknya mempermalukan wanita secara kasar, dan saat

ayat ini turun wanita dibatasi hanya boleh berada di dalam rumah dan laki-

lakilah yang menghidupinya. Al-qur’an saat memperhitungkan kondisi ini dan

menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih superior terhadap wanita.

Akan tetapi yang harus dicatat bahwa Al-Qur’an tidak menganggap atau

menyatakan bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Struktur sosial dapat

berubah, jika perempuan bisa menghidupi keluarganya maka perempuan dapat

sejajar dengan laki-laki.17

Penelitian tesis tentang isu-isu perempuan yang penulis temukan adalah

Inayah Rohmaniyah dengan judul “Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi

Metodologi Asghar Ali Engineer”, dalam tulisannya Inayah mencoba

mendeskripsikan konsepsi Asgar tentang keberadaan perempuan yang mencakup

eksistensinya sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, serta bagaimana

sebenarnya Al-Qur’an memberikan penghargaan yang tinggi kepada

perempuan.18

l l17 Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan da am Is am terj. Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assedar, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994) 18 Inayah Rohmaniyah, “Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi Metodologi Asghar Ali

Angineer”, (Yogyakarta: Tesis PS UGM, 2001)

Page 29: Skripsi Hendro

12

Skripsi yang mencoba menulis masalah perempuan adalah salah satunya

Hanifah dengan judul “Paradigma Tafsir Feminis: Studi Komparasi Pemikiran

Amina Wadud dan Asgar Ali Engineer”, dia berpandangan bahwa Amina Wadud

menginterpretasi ayat-ayat gender yang berorentasi pada realitas historis-

patrialkis, dengan menggunakan nalar baya>ni> dan juga menggunakan

hermeunetik feminis. Sementara itu, Asgar Ali Engineer dilihatnya lebih

berorentasi pada realitas historis-ideologis, dengan menggunakan pendekatan

sosiologis dan selain menggunakan hermeneutika pembebasan menuju teologi

pembebasan.19

Tulisan tentang Yunahar Ilyas mengenai profilnya pernah dimuat dalam

majalah Kuntum, edisi januari 2009. Dalam tulisan ini, dijelaskan sejarah

perjuangan Yunahar Ilyas, mulai dari masa pendidikan dasarnya hingga ia

diangkat menjadi guru besar ‘Ulu>m al-Qur’a>n dari Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. Dalam aktivitas organisasi Yunahar pernah diamanahi sebagai

Ketua Umum DPC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kota Padang, dan

sampai sekarang ia masih aktivif di oraganisasi Muhammadiyah.20

Di sisi lain karya yang pernah menulis tantang Husein Muhammad adalah

Yuldi Hendri. Skripsinya berjudul “Wali Nikah Menurut Husein Muhammad

(Analisis Kritis Penafsiran Husen Muhammad dalam Konsep Wali Nikah)”,

mengulas metode dan penafsiran Husein Muhammad tentang Wali Nikah. Dalam

19 Hanifah “Paradigma Tafsir Feminis; Studi Komparasi Pemikiran Amina Wadud dan

Asgar Ali Engineer”, (Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2006) 20 “Kuntum”, edisi Januri 2009 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar

Muhammadiyah, 2009), hlm. 20-21

Page 30: Skripsi Hendro

13

skripsi ini dijelaskan bahwa secara metodologi, penafsiran Husein Muhammad

dapat dimasukkan dalam kategori tafsir bentuk bi al-ra’yi dengan metode

maud{u>’i>. Dalam pandangan Yuldi, sekarang ini pandangan bangunan fikih

munakahat masih didasarkan pada perspektif patrialki sehingga perlu ditempuh

analisis gender terhadap penafsiran yang lebih peka terhadap perkembangan

zaman serta ramah terhadap perempuan.21

Selain beberapa referensi di atas, masih banyak buku-buku dan tulisan

karya ilmiah yang secara umum membahas masalah perempuan. Akan tetapi,

dalam pengamatan yang terjangkau oleh penulis, belum ada penelitian yang

membahas secara khusus tentang kepemimpinan dalam keluarga dari sudut

pandang pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad. Hal inilah yang

membuat pengkajian pemikiran kedua tokoh tersebut perlu dilakukan secara

mendalam.

E. Kerangka Teori

Secara sosiologi kepemimpinan dapat dibagi menjadi dua macam, yakni

kepemimpinan formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi).

Kepemimpinan resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan

yang bersifat struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada struktur organisasi

secara resmi dalam suatu kelompok atau masyarakat, sedangkan kepemimpinan

informal adalah kepemimpinan karena adanya pengakuan masyarakat akan

21 Yuldi Hendri, “Wali Nikah menurut Husen Muhammad (Analisis Kritis Penafsiran

Husen Muhammad dalam Konsep Wali Nikah)”, (Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2009)

Page 31: Skripsi Hendro

14

adanya kemampuan (capability) seseorang untuk menjalankan kepemimpinan

yang bersifat fungsional, di mana kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi

sosial dalam suatu interaksi sosial.22

Dalam diskursus teori kepemimpinan, terdapat tiga teori yang menonjol

mengenai timbulnya seorang pemimpin, antara lain sebagai berikut.

1. Teori Genetis

Dalam teori ini pendapat yang muncul adalah bahwa seorang pemimpin

akan menjadi pemimpin karena ia merupakan keturunan pemimpin yang

telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan seperti apa

pun ditempatkan suatu saat ia akan muncul menjadi pemimpin karena ia

telah ditakdirkan atau sering disebut dengan istilah leaders are born and

nor made (pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat).

2. Teori Sosial

Teori ini lebih mengetengahkan bahwa setiap orang dapat menjadi

pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup

(leaders are made and nor born). Pada hakikatnya setiap orang dapat

menjadi pemimpin meskipun bukan keturunan dari seorang pemimpin.

3. Teori Ekologis

Teori ini mengedepankan bahwa seorang akan berhasil menjadi pemimpin

yang baik apabila ia sejak lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan

dan bakat-bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan

l 22 Soerjono Soekanto, Sosio ogi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 319

Page 32: Skripsi Hendro

15

yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk

mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimilikinya.

Dalam perkembangannya ada pendapat lain yang menyatakan bahwa

faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang pemimpin itu tidak hanya

bakat dan lingkungan, tetapi ada faktor lain yaitu kegiatan pribadi (kemauan dan

usaha sendiri). Hal inilah yang mendorong munculnya teori keempat, yaitu tiga

dimensi atau teori kontigensi. Artinya, ada tiga faktor yang mempengaruhi dalam

proses perkembangan menjadi seorang pemimpin atau tidak, yakni; pertama,

bakat kepemimpinan yang dimiliki; kedua, pendidikan, pengalaman dan latihan

kepemimpinan yang dimilikinya; ketiga, kegiatan sendiri untuk mengembangkan

bakat kepemimpinan tersebut. Disebut teori kontigensi karena dapat tidaknya

seorang menjadi pemimpin merupakan serba memungkinkan, bukan suatu yang

pasti. Sesorang bisa atau mungkin menjadi pemimpin jika bakat, lingkungan,

kesempatan, dan kepribadiannya sendiri memungkinkan (motivasi dan minat).

Jika dikaitkan dengan teori tiga dimensi atau teori kontigensi di atas,

seseorang menjadi pemimpin merupakan proses gabungan dari tiga faktor yang

terlibat yakni; bakat kepemimpinan yang dimiliki, pendidikan dan pengalaman,

serta kesempatan mengembangkan diri. Maka faktor kedua dan terakhir inilah

yang mengakibatkan peluang dan kesempatan perempuan terbatas dan terlambat

untuk mengembangkan diri tumbuh menjadi pemimpin.

Dari diskursus kepemimpinan di atas, baik teori genetis, sosial, dan

ekologis tidak satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau seks tertentu

sebagai pemilik dominan untuk menjadi seorang pemimpin, terlebih lagi bahwa

Page 33: Skripsi Hendro

16

kepemimpinan adalah suatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan suatu yang

melekat sejak lahir. Hal ini berarti bahwa laki-laki maupun perempuan

sesungguhnya sama-sama mempunyai hak kepemimpinan dalam keluarga,

tergantung siapa yang berhasil memperolehnya.

Dari penjelasan di atas dapat diambil penegertian bahwa kepemimpinan

merupakan sebuah proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok

untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.23 Sementara itu, keluarga adalah

sebuah institusi yang merupakan wahana untuk mewujudkan kehidupan yang

tenteram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang

antara suami dan istri. Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut

sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab.

Dalam pandangan sosiologis, keluarga meliputi semua pihak yang

mempunyai hubungan darah atau keturunan, secara khusus keluarga meliputi

orang tua (bapak & ibu) dan anak-anak yang tinggal dalam kesatuan sosial

ekonomi. Keluarga yang terdiri dari ketiga unsur tersebut mempunyai fungsi,

sebagai tempat pertama bagi proses sosialisasi dan enkulturasi anak-anak yang

dilahirkan dari ikatan pasangan suami dan istri. Ikatan suami dan istri dalam

keluarga merupakan kesetiaan cinta kasih. Dari pengertian itu keluarga

mempunyai peran sosial yang diikat oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam

bentuk pernikahan. Dalam hal ini, laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai

r l t l

23 Kholid Zulfa, “Belenggu Kepemimpinan Perempuan dalam Ranah Politik” dalam Musawa, Ju na S udi Gender dan Is am (Yogyakarta, Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1, 2004) hlm. 68

Page 34: Skripsi Hendro

17

istri dengan konsepsi istri adalah patner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Begitu

juga dalam kepemimpinan keluarga.24

Secara jelas kalau kita gabungkan dari pengertian kepemimpinan dalam

keluarga adalah termasuk dalam katerori kepemimpinan non formal. Artinya

seseorang dapat menjadi pemimpin atau dapat menduduki posisi yang ia inginkan

dengan catatan ia bisa memenuhi syarat dari posisi tersebut, karena dalam

keluarga tidak ada diskriminatif terhadap jenis kelamin. Adanya kerja sama yang

baik antara suami dan istri dengan masing-masing melaksanakan tugas dan

kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang disepakai kedua belah pihak.

F. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif-

komparatif. Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian, sumber data, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data sebagai berikut.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu

penelitian yang terfokus dengan mengumpulkan data dan meneliti buku-

buku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lain.

2. Sumber data

Data dari penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu, data primer dan data

sekunder. Data primer penelitian ini adalah penafsiran terhadap teks-teks

i l i24 Kartini Kartono, Psikolog Wanita Mengena Wanita sebaga Ibu dan Nenek,

(Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 215

Page 35: Skripsi Hendro

18

yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam keluarga menurut Yunahar

Ilyas dan Husein Muhammad, yakni karya Yunahar Ilyas Kesetaraan

Gender dalam Al-Qur’an; Studi Penafsiran Para Mufasir dan Husein

Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender, serta karya-karya mereka di media. Selain itu, penulis melakukan

wawancara, baik secara langsung maupun via internet sebagai data

pelengkap. Data sekundernya, akan diambil dari tulisan berupa buku,

jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan pandangan Yunahar Ilyas

dan Husein Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga.

Misalnya, karya Yunahar dalam majalah Suara Muhammadiyah dengan

judul ”Kepemimpinan dalam Keluarga”, dan tulisan Husein Muhammad

dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Metode Dokumentasi

Merupakan pengumpulan data dengan menghimpun dan

menganalisis dokumen berupa buku-buku, artikel, makalah yang

ditulis oleh Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad. Penulis

menekankan terhadap buku karya Yunahar Ilyas Feminisme dalam

Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer serta Kesetaraan

Gender dalam Al-Qur’an; Studi Penafsiran Para Mufasir dan buku

karya Husein Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas

Wacana Agama dan Gender serta Islam Agama Ramah

Page 36: Skripsi Hendro

19

Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren serta karya-karya beliau di

berbagai media.

Untuk pengumpulan ayat yang akan diteliti, baik pandangan

Yunahar dan Husein tentang kepemimpinan dalam keluarga,

diambil dari sumber primer tersebut, yaitu surat an-Nisa ayat 34.

b. Metode Wawancara

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai

Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, baik secara langsung

maupun melalui media komunikasi. Metode ini hanya akan

dijadikan sebagai pencari pelengkap data.

4. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan beberapa metode

antara lain:25

a. Deskripsi

Metode deskripsi dimaksudkan untuk menemukan pandangan

kedua tokoh berkaitan dengan penafsiran kepemimpinan dalam

keluarga (an-Nisa; 34). Dalam hal ini, penafsiran kedua tokoh

dipaparkan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk

memahami jalan pemikiran mereka tentang penafsiran ayat yang

dikaji secara utuh.

i25 Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodolog Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1990) hlm. 61

Page 37: Skripsi Hendro

20

b. Interpretasi

Dengan metode ini pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam keluarga

akan diselami. Selanjutnya, makna, arti, nilai serta maksud yang

dikehendaki akan digali sehingga ditemukan relevansinya dengan

konteks Indonesia sekarang.

c. Komparasi

Metode komparasi dimaksudkan untuk membandingkan

penafsiran kedua tokoh tentang kepemimpinan dalam keluarga.

Dari perbandingan inilah akan ditemukan adanya persamaan dan

perbedaan penafsiran di antara keduanya.

G. Sistematika Pembahasan

Pembahasan secara sistematis dan komprehensif merupakan salah satu

syarat terpenting dalam penulisan karya ilmiah agar dengan mudah dapat

dipahami. Karya ilmiah ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut.

BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Selanjutnya, secara singkat dalam BAB II akan dideskripsikan biografi

Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, yang memuat tentang riwayat hidup,

aktivitas dan perjuangan mereka serta buah karya intelektualnya yang menjadi

Page 38: Skripsi Hendro

21

kontribusi bagi umat Islam, selain itu juga akan dipaparkan pokok-pokok

pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad tentang Gender.

BAB III berisi pembahasan. Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi

penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad pada ayat kepemimpinan dalam

keluarga. Dalam pembahasan ini akan diketahui metodologi yang digunakan

dalam penafsiran serta hasil penafsirannya.

BAB IV mengulas analisis penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad yang akan dimulai dengan memaparkan perbandingkan pemikiran

kedua tokoh tersebut sehingga diketahui persamaan dan perbedaan penafsiran

mereka. Dari situ akan ditemukan relevansi penafsiran ayat kepemimpinan

keluarga oleh Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad pada kondisi Indonesia

sekarang.

BAB V adalah bagian penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran,

dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.

Page 39: Skripsi Hendro

22

BAB II

BIOGRAFI & POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG GENDER

YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD

A. Biografi Yunahar Ilyas

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Yunahar Ilyas

Yunahar Ilyas adalah anak dari pasangan Ilyas Bagindo Marajo

dan Syamsidar. Bapaknya seorang pedagang yang taat beragama dan

tidak pernah absen shalat berjamaah lima waktu di masjid. Bapaknya juga

sangat rajin mengingatkan semua anggota keluarga untuk shalat fardhu di

awal waktu. Sementara itu, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang

secara paruh waktu bertani, mengelola sawah ladang pusako tuo dengan

cara mengupahkan penggarapannya kepada buruh tani di kampung.

Menurut Yunahar, ibunya memiliki sifat kesabaran dan penyayang. Hal

ini tampak dari kesehariannya yang selalu memberi nasihat untuk

melaksanakan ibadah.1

Motivasi dan inspirasi terbesar dalam hidupnya adalah sosok ibu.

Ibunya selalu berpesan akan dua hal, pertama, jangan pernah

meninggalkan sholat. Kedua, belajar. Ibunya berprinsip bahwa pendidikan

harus terus berjalan, walaupun harus dengan menjual atau menggadaikan

yang ia miliki. Saat itu, yang paling ditakuti ibunya adalah pengaruh

1 Yunahar Ilyas, “Al-Qur’an al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi

Penafsiran”, Makalah pidato pengukuhan guru besar di Universitas Muhammdiyah Yogyakarta, pada 18 November 2008.

22

Page 40: Skripsi Hendro

23

bapaknya yang seorang pedagang. Ibunya menginginkan anaknya meraih

pendidikan seting-tingginya. Kata Yunahar, itu adalah cita-cita sang

bunda yang tertunda. Ibunya memberikan kesadaran, jika bekerja dengan

otot, itu sangat terbatas, maka cobalah bekerja dengan otak.2

Yunahar lahir di Bukittinggi pada 22 September 1956. Yunahar

menikah dengan Liswarni Syahrial pada 24 September 1987. Istrinya juga

orang Bukittinggi, seorang putri dari seorang pedagang. Dari pernikahan

ini mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Syamila Azhariya Nahar

(w. 2004, umur 16 th), Faiza Husnayeni Nahar, Muhammad Hasnan

Nahar, dan yang terakhir Ihda Rufaida Nahar.

Yunahar mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri

Taluk I Bukittinggi dan lulus tahun 1968. Selanjutnya, ia melanjutkan

Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun di Bukittinggi, lulus

tahun 1972, kemudian Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 tahun

di Padang, lulus tahun 1974. Untuk menuju ke sekolah, setiap harinya ia

harus menempuh jarak sejauh 4 kilometer dan melewati keramaian pasar.

Ia sering menyempatkan diri untuk mampir di pasar untuk mendengarkan

penjual obat.

“Orang penjual obat pintar-pintar, saya biasanya jika hari Rabu atau Sabtu mampir ke sana untuk melihat. Secara tidak langsung, itu memberi saya pelajaran cara berpidato,” tegas Yunahar.3

2 “Kumtum”, edisi Januri 2009 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar

Muhammadiyah, 2009), hlm. 20 3 “Kumtum”, edisi Januri 2009, hlm. 21

Page 41: Skripsi Hendro

24

Tahun 1978 Yunahar mendapatkan gelar sarjana muda (BA) dari

Jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Imam Bonjol Padang.

Semenjak tahun 1979 Yunahar melanjutkan studinya di Timur

Tengah, tepatnya ke Saudi Arabia pada Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud Riyadh. Tahun 1983 Yunahar

mampu menyelesaikan studinya dengan baik dan mendapatkan gelar Lc.

Sepulang dari Saudi Arabia, pada tahun 1984 Yunahar menyelesaikan

pendidikan sarjana lengkap (Drs) dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.4

Yunahar melanjutkan studinya di Pasca Sarjana IAIN (sekarang

UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1996 gelar Magister

Agama (M.Ag) ia dapatkan pada program studi Aqidah dan Filsafat

dengan judul tesis “Isu-isu Feminisme dalam Tinjauan Tafsir Al-Qur’an,

Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufassir dan Feminis Muslim

tentang Perempuan” ia dapatkan. Tahun 2004 Yunahar menyelesaikan

Program Doktor Tafsir Al-Qur’an dengan judul disertasi “Konstruksi

Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia Modern (Hamka dan M.

Hasbi ash-Shiddiqy)” di kampus yang sama.

Yunahar mengajar di strata satu Fakultas Agama Islam (FAI)

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga mengajar program

i4 Yunahar Ilyas, Tipolog Manusia Menurut Al-Qur’an, (Yogyakarta: Labda Press. 2007)

hal 133-134.

Page 42: Skripsi Hendro

25

Pascasarjana Magister Studi Islam (MSI) di kampus yang sama sejak

tahun 1987. Selain itu, Yunahar juga mengajar di Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Yunahar menjabat sebagai Dekan Fakultas Agama Islam sejak

tahun 2003-2007 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yunahar

juga pernah menjadi Guru di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah

Yogyakarta (1984-1990) dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa

Budi Mulia Yayasan Shalahuddin Yogyakarta (1990-sekarang).

Tahun 2008 Yunahar dikukuhkan sebagai guru besar bidang

‘Ulu>m al-Qur’a>n Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengukuhan

ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia No. 29728/A4.5/KP/20085. Dalam pidato pengukuhannya yang

berjudul “Al-Qur’an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan, dan Metodologi

Penafsiran”, Yunahar mengatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an yang

sampai kepada umat Islam sekarang ini benar-benar otentik dan valid

sebagaimana yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw,

tanpa mengalami penambahan atau pengurangan satu ayat, bahkan satu

huruf pun. Cara membacanya pun tidak berubah walaupun hanya satu

harakat karena Al-Qur’an ditransfer tidak hanya secara tertulis, tetapi

yang lebih utama lagi secara lisan turun temurun dengan sanad yang

bersambung dan dipercaya sampai kepada Rasulullah saw.

5 Sumber Komisi Infokom MUI, dalam [email protected] & [email protected],

diakses tanggal 19 Februari 2009.

Page 43: Skripsi Hendro

26

Yunahar juga menjelaskan tentang sejarah pengumpulan Al-

Qur’an pada zaman Rasulullah saw. Menurutnya, ketika Al-Qur’an

diturunkan, Nabi Muhammad saw segera berusaha menghafal karena

untuk beliau pribadi, itulah salah satunya cara memelihara Al-Qur’an.

Sebagaimana dicatat oleh sejarah, beliau seorang ummi> yang tidak bisa

membaca dan menulis. Namun demikian, Allah swt menganugerahkan

keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan

otomatis membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur’an.6

2. Aktivitas dan Perjuangan Yunahar Ilyas

Selain aktif dalam di bidang keilmuan akademik, Yunahar juga

aktif di berbagai kegiatan keagamaan dan sosial. Aktivitas organisasinya

dapat dilihat sejak ia masih menjadi mahasiswa. Yunahar pernah

menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN

Imam Bonjol Padang 1977-1979. Pada periode yang sama Yunahar diberi

amanah sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang Ikatan

Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kota Padang, organisasi otonom

dalam Muhammadiyah. Tahun 1982 Yunahar diberi amanah sebagai

Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh Saudi Arabia,

organisasi ini merupakan organisasi perhimpunan pelajar Indonesia di

sana.

6 QS. Al-Qiya>mah 75: 16-19>

Page 44: Skripsi Hendro

27

Yunahar pernah pula aktif dan bergabung dengan Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia Yogyakarta dengan jabatan sebagai

Wakil Ketua Divisi Pembinaan Umat tahun 1991-1995. Tahun 1995 ia

diberi amanah sebagai Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus

(MTDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Periode selanjutnya, Yunahar

diamanahi sebagai ketua majelis tersebut.

Semenjak Yunahar menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh dan

Dakwah Khusus (MTDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia aktif

menjadi penceramah pengajian tafsir mahasiswa mingguan sampai

sekarang. Pengajian tafsir ini bertempat di kantor Pimpinan Pusat

Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, setiap Kamis pagi, mulai pukul 06.00-

07.00. Pesertanya cukup beragam, baik dari mahasiswa yang aktif di

organisasi otonom Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM), maupun mahasiswa umum. Selain itu, juga para

pengurus Muhammadiyah dan ortomnya, seperti ‘Aisyiyah, Nasyiatul

‘Aisyiyah, dan lainnya.

Sejak tahun 2005, ia diberi amanah sebagai Ketua Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, dan pada periode yang sama juga diamanahi sebagai

ketua Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (2005-2010). Di

Muhammadiyah sebagai seorang ketua, Yunahar membidangi MTDK,

sedangkan di MUI, ia membidangi bagian luar negeri. Majelis Ulama

Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama dan

zu’ama>’ serta cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak

Page 45: Skripsi Hendro

28

dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita

bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 7 Rajab 1395 H,

bertepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan

atau musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu’ama>’ yang datang dari

berbagai penjuru tanah air. Kantor MUI Pusat bertempat di jalan

Proklamasi No.51 Menteng, Jakarta Pusat.7

Yunahar juga aktif memberikan ceramah tingkat nasional dan

internasional. Berbagai aktivitas pengalaman dakwahnya di dalam negeri

di antaranya ialah memberikan ceramah agama Islam di masjid-masjid,

kampus-kampus dan kantor-kantor di Yogyakarta, Solo, Semarang,

Cilacap, Jakarta, Bandung, Surabaya, Balik Papan, Bontang, Martapura,

Palangkaraya, Makassar, Palu, Denpasar, Mataram, Padang, Bukittinggi,

Padang Panjang, Batusangkar, Payakumbuh, Sawah Lunto, Pakanbaru,

Batam, Palembang, dan beberapa kota lain.

Pengalaman internasional didapatkannya pada tahun 1988 ketika

mengikuti Pelatihan Imam dan Da’i Internasional di Universitas Al-Azhar

Kairo selama dua setengah bulan. Yunahar memberikan ceramah agama

Islam dalam acara LKII VI (Latihan Kajian Islam Intensif) untuk

mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia di 10 negara bagian Amerika

Serikat selama 45 hari, September-Oktober 1999.

7 http://www.mui.or.id/konten/mengenai mui/sekilas tentang kami. diakses tanggal 19

Maret 2009

Page 46: Skripsi Hendro

29

Tahun 2000 Yunahar memberikan pengajian Ramadhan dan

Khutbah ‘Idul Fitri 1420 H untuk masyarakat Islam Indonesia Los

Angeles Amerika Serikat, 1-15 Januari. Pernah pula ia memberikan

ceramah agama Islam pada Muktamar IMSA (Indonesian Moslem Society

in America), Desember 2007. Terakhir, Yunahar juga pernah memberikan

ceramah agama Islam dalam acara LKII-ICMI North America 2008 untuk

mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia di sembilan negara bagian

Amerika Serikat selama 32 hari, Mei-Juni 2008.8

Keterlibatan Yunahar dalam kajian gender dimulai saat ia diminta

untuk mengisi pengajian masalah wanita dalam seninar dengan tema

wanita, tahta, dan harta di Wirobrajan, Yogyakarta. Mulai dari situ

Yunahar banyak diundang untuk memberikan ceramah masalah

perempuan. Selain itu, Yunahar banyak membaca buku-buku masalah

gender, misalnya Asgar Ali Engineer, Riffa>t H}asan, Fa>t}imah Marni>si>, dan

Amina Wadu>d Muh}sin. Di samping buku itu, Yunahar juga banyak

membaca buku-buku karya orang Indonesia, misalnya seperti karya Siti

Ruhaini. Karena keterbiasaannya, saat menulis tesis dengan tema masalah

gender, Yunahar dapat menyelesaikannya dalam waktu satu bulan.9

8 www.muhammadiyah.or.id, dikutip tanggal 19 februari 2009. 9 Hasil wawancara langsung dengan Yunahar Ilyas, tanggal 28 Maret 2009

Page 47: Skripsi Hendro

30

3. Karya Yunahar Ilyas

Jika diklasifikasikan, karya Yunahar akan terlihat menjadi dua

kategori, yakni naskah-naskah yang berbentuk buku dan naskah yang

dipublikasikan dalam makalah dan jurnal. Pada bagian ini penulis

membuat uraian singkat tentang berbagai karyanya, baik dari sumber data

primer (buku-buku Yunahar) maupun tulisan-tulisan orang lain tentang

Yunahar Ilyas.

Sampai sekarang Yunahar sudah menghasilkan sembilan buku

dengan judul antara lain:

a. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, 1992.

b. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan

Kontemporer, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

c. Kuliah Akh aq, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta, 1999.

l

d. Akhlaq Masyarakat Islam, Yogyakarta: MTDK PP

Muhammadiyah, 2002.

e. Tafsir Tematis Cakrawala Al-Qur’an, Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 2003.

f. Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir, Jakarta:

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama

Republik Indonesia, 2005.

g. Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006.

Page 48: Skripsi Hendro

31

h. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para

Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, 2006.

i. Tipologi Manusia dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Labda Press,

2007.

Sedangkan karya-karya Yunahar yang dipublikasikan dalam jurnal

dan majalah antara lain:

a. “Tafsir Kontekstual Nabi Ibrahim as (edisi berkelanjutan)”, Suara

Muhammadiyah, Yogyakarta; SM, 2004.

b. “Kepemimpinan Rasulullah saw dalam Konteks Modern”, Media

Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan. Yogyakarta: LP3 UMY,

2005.

c. “Kepemimpinan dalam Islam”, Suara Muhammadiyah Majalah

tengah bulanan, Yogyakarta; SM, 2005.

d. “Tafsir Kontekstual Nabi Yusuf as (edisi berkelanjutan)”, Suara

Muhammadiyah, Yogyakarta; SM, 2005.

Karya Yunahar yang dipublikasikan dalam majalah berupa tafsir

kontekstual lebih sering dipublikasikan di majalah tengah bulanan Suara

Muhammadiyah,10 dan juga majalah perempuan, Suara ‘Aisyiyah.11

10 Majalah yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) sebagai

media dakwah islamiyah amar makruf nahi mungkar organisasi Muhammadiyah. (Yayasan Badan Penerbit Pers Suara Muhammadiyah).

11 Majalah yang terbit sejak 1926. Majalah ini merupakan majalah perempuan Muhammadiyah yang memiliki tema kajian Agama dan Perempuan. (Suara ‘Aisyiyah)

Page 49: Skripsi Hendro

32

4. Pokok-pokok Pemikiran Yunahar Ilyas tentang Gender

Yunahar Ilyas dalam karyanya yang berjudul Kesetaraan Gender

dalam Al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir menjelaskan tentang

pengertian gender. Gender mempunyai arti yang sama dengan seks yaitu

jenis kelamin, akan tetapi kedua kata itu mempunyai makna yang

berbeda. Jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, oleh sebab

itu bersifat alami, kodrati, dan tidak bisa diubah. Sedangkan gender

adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan

sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah kehidupan

manusia, yang demikian tidak bersifat kodrati atau alami. Contoh konsep

gender adalah bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional,

keibuan, sementara laki-laki kuat, rasional, jantan, perkasa, dan lain

sebagainya.12

Menurut Yunahar konstruksi gender dalam perjalanan sejarah

peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yakni

sosial, kultural, ekonomi, politik termasuk penafsiran terhadap teks-teks

agama. Ia berpandangan untuk mengkaji secara kritis berbagai macam

konstruksi gender yang ada dan berkembang di masyarakat dengan

menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini mendapat

penegasan dalam Al-Qur’an di surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa semua

r t12 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gende dalam Al-Qur’an; S udi Pemikiran Para Mufasir,

(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 13

Page 50: Skripsi Hendro

33

manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan

yang bersifat pemberian mempunyai status sama di sisi Allah. Mulia dan

tidak mulianya manusia di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu

sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki

dan perempaun itu ditegaskan dalam surat Al-Ahzab ayat 35:

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين

والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين

والصآئمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاآرين والمتصدقات والصآئمين

اهللا آثيرا والذاآرات أعد اهللا لهم مغفرة وأجرا عظيما

Terjemah: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. Al-Ahzab:35)

Menurut Yunahar logika Al-Qur’an tidak pernah melihat

kesetaraan dan juga keadilan dari sisi segala sesuatu harus sama. Dari

pandangan itu Yunahar berpendapat bahwa kesetaraan tidaklah harus

sama dengan kesamaan, karena kesetaraan dan keadilan harus dipahami

dan dilaksanakan secara proposional dengan mempertimbangkan faktor-

faktor biologis, fisiologis, psikologis dari kedua belah pihak. Setiap laki-

laki mempunyai perbedaan secara fungsi bilogis dan secara psikologi.13

l13 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender da am Al-Qur’an, hlm. 247

Page 51: Skripsi Hendro

34

B. Biografi Husein Muhammad

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Husein Muhammad

Husein Muhammad adalah anak dari pasangan Muhammad

Asyrofuddin dan Ummu Salama Syathori. Husein lahir di Cirebon pada 9

Mei 1953. Isteri Husein bernama Nihayad Fuad Amin. Sampai kini, kedua

pasangan suami istri tersebut dikaruniai lima orang anak, dengan urutan

Hilya Auliya sebagai anak pertama, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz

Mumtaz, Najla Hammadah, dan Fazla Muhammad sebagai anak terakhir.

Husein lahir dari keluarga yang taat beragama. Ayah Husein adalah

salah seorang ulama yang menikah dengan seorang anak dari pengasuh

Pondok Pesantren Salaf di Kempek, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

Ayahnya sebagai guru, serta penulis syair dan puisi. Profesi guru

diperoleh sang ayah karena ada dari kebijakan pemerintah yang membuka

kesempatan guru-guru pondok pesantren menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Ibu Husein adalah salah satu putri Syathori, seorang pengasuh pondok

pesantren, ia juga pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR).

Tahun 1966, Husein menempuh pendidikan dasar, berlanjut ke

tingkat berikutnya, Husein sekolah di SLTP N I Arjawinangun pada

tahun 1969. Husein mendapatkan pendidikan agama di Pesantren

Lirboyo, Kediri tahun 1973, dan pendidikan tinggi di Perguruan Tinggi

Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta tahun 1980. Husein pernah juga

mengenyam pendidikan di Dirasah Khassah, Al-Azhar, Kairo, Mesir

tahun 1983.

Page 52: Skripsi Hendro

35

2. Aktivitas dan Perjuangan Husein Muhammad

Husein aktif di berbagai organisasi sejak ia mahasiswa. Jabatan

yang pernah diduduki adalah Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul

Ulama, Kairo Mesir, 1982-1983. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ

Jakarta, tahun 1978-1979. Seminar nasional dan internasional pun diikuti

oleh Husein, khususnya menyangkut isu agama, perempuan, dan gender,

baik di Belanda, Kairo Mesir, Kuala lumpur Malaysia, Colombo, maupun

Srilangka.14

Pada tahun 1982 ia dipercaya untuk memimpin Keluarga

Mahasiswa Nahdlatul Ulama cabang Kairo-Mesir. Organisasi ini

merupakan organisasi perkumpulan mahasiswa Indonesia di Mesir yang

berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama, meskipun tidak semuanya

berasal dari NU. Pada tahun yang sama Husein dipercaya menjadi

sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Husein

menyelesaikan studinya di Kairo-Mesir pada tahun 1983 kemudian ia

pulang ke Indonesia dan memimpin serta mengembangkan pendidikan di

Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat

bersama saudara-saudaranya.

Selain mengembangkan pendidikan di pondok pesantrennya, Husein

juga aktif dalam kegiatan organisasi, di antaranya ia diberi amanah

sebagai Direktur Pengembangan Wacana LSM Rahima sejak tahun 2000

t14 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesan ren

(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 343

Page 53: Skripsi Hendro

36

sampai sekarang. Yayasan ini bergerak dalam pendidikan dan informasi

Islam dan hak-hak perempuan di wilayah pesantren.

Husein juga aktif di Fahmina Institute, yaitu lembaga yang bekerja

untuk pengembangan wacana keagamaan kritis dan penguatan otonomi

kominitas basis. Fahmina pada awalnya diprogramkan untuk

mendiskusikan dan mendialogkan wacana Islam dan demokrasi pesantren.

Dalam perkembangannya Fahmina juga menfasilitasi pendidikan politik

dan mengadvokasi masyarakat akar rumput di perkotaan. Lebih lanjut,

lembaga ini menggarap Islam dan gender bagi para istri kiai di pesantren-

pesantren lokal, serta mendiskusikan isu-isu penjualan (trafficking)

perempuan dan anak.

Tahun 2001-2005 ia masuk dalam anggota Dewan Syuro DPP PKB.

Sebelumnya, Husein pernah menjadi wakil DPRD Kabupaten Cirebon,

yakni dari tahun 1999. Husein juga pernah mengikuti beberapa konferensi

dan seminar pada tingkat internasional. Misalnya, mengikuti konferensi

Internasional masalah Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi di Kairo,

Mesir Tahun 1998. Tahun 1996, ia menjadi peserta konferensi

Internasional tentang Al-Qur’an dan IPTEK yang diselenggarakan oleh

Rabithah Alam Islami, Makkah di Bandung.

Dalam forum-forum seminar internasional Husein juga sering

menjadi narasumber, di antaranya pada seminar dan lokakarya

Internasional tentang Islam dan Gender di Kolombo, Srilangka tahun

2003 yang diikuti oleh para aktivis perempuan se-Asia Selatan. Husein

Page 54: Skripsi Hendro

37

juga berceramah di beberapa tempat penting di Malaysia, antara lain

Universitas Malaysia, Universitas Saint Malaysia di Penang.

Pada 1998 Husein pernah diundang untuk mengikuti Konferensi

Internasional mengenai kesehatan reproduksi di Mesir, kemudian tahun

1999 Husein juga mengikuti konferensi Internasional se-Asia Pasifik yang

membicarakan tentang AIDS.

Terakhir, Husein membantu Women Crisis Mawar Balqis. LSM ini

bekerja untuk advokasi, konseling dan pendampingan bagi korban

kekerasan terhadap perempuan. Secara singkat, dari pemaparan tentang

aktivitas dan perjuangan Husein Muhammad dapat dilihat bahwa Husein

merupakan tokoh Indonesia yang konsen pada permasalahan perempuan.

Keterlibatan Husein dalam perkenalan dengan wacana gender

sebenarnya dimulai oleh ajakan Masdar Farid Mas’udi, yang ketika itu

menjadi direktur P3M (Perhimpunan Perkembangan Pesantren dan

Masyarakat). Masdar selalu mengundang Husein untuk selalu mengikuti

seminar. Tahun 1\993, Husein diundang dalam seminar “Perempuan dalam

Pandangan Agama-agama”. Sejak itu, Husein mengetahui ada masalah

besar mengenai perempuan. Dalam kurun waktu yang panjang kaum

perempuan mengalami penindasan dan sering diekploitasi. Dari

permasalahan itu Husein diperkenalkan dengan gerakan femenisme,

gerakan yang berusaha untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan

dan kesetaraan gender.

Page 55: Skripsi Hendro

38

Menurutnya dari seminar itu, Husein merasa disadarkan bahwa ada

peran ahli agama, bukan hanya Islam tetapi dari seluruh agama yang turut

memperkuat posisi subordinasi perempuan. Husein merasa kaget dan

mempertanyakan, bagaimana mungkin agama bisa menjustifikasi

ketidakadilan. Hal ini dipandangnya sebagai sesuatu yang bertentangan

dengan hakikat dan misi luhur diturunkannya agama untuk manusia.

Setelah itu, Husein mulai melakukan analisis tentang masalah tersebut

dari sudut basis keilmuan yang diterima dari pondok pesantren.15

Husein berpandangan demokrasi dan hak asasi manusia penting

dalan kajian ilmu. Paradigma Husein dalam feminisme adalah Islam

(fiqih) karena menurutnya kehidupan masyarakat Islam sangat

dipengaruhi oleh sifat keragamannya. Pola hidup masyarakat Indonesia

banyak dipengaruhi oleh norma keagamaan, khususnya dari teks-teks

agama karena itu pengaruh agama terhadap kebudayaan yang sangat besar

maka akan sangat strategis jika kajian-kajian perempuan juga dilihat dari

sisi agama. Analisis terhadap agama masih konservatif, itulah peyebab

dari ketimpangan sosial. Dengan demikian konsentrasi Husein pada

feminis adalah pengaruh agama terhadap perempuan.16

15 Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan (Perspektif Islam Pesantren),

(Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hlm. 116 16 Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan, hlm. 117

Page 56: Skripsi Hendro

39

3. Karya Husein Muhammad

Jika tulisan-tulisan Husein dikelompokkan, akan terlihat menjadi

beberapa kategori, yakni: naskah-naskah yang berbentuk buku,

terjemahan karya orang lain, dan naskah dalam bentuk makalah dan

jurnal.

Pada bagian ini penulis membuat uraian singkat dari berbagai

karyanya yang dapat ditemukan penulis, baik dari sumber data primer

(buku-buku Husein) maupun tulisan-tulisan orang lain tentang Husein,

antara lain:

a. Metodologi Kajian Kitab Kuning dalam Marzuki Wahid (ed.),

Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung 1999.

b. Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

LKiS, Yogyakarta, 2001.

c. Ta’li>q wa Takhri>j Syarh} ‘Uqu>d al Lujain, bersama kajian kitab

kuning, Jakarta, 2001.

d. “Gender di Pesantren” (Pesantren and The Issue of Gender

Relation), dalam majalah (The Indonesian Journal for Muslim

Culture), Center for Languages and Cul ures, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta 2002.

t

e. Tradisi Istinbath Hukum NU, Sebuah Kritik dalam M. Imaduddin

Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma

Bahtsul Masa’il, LAKPESDAM, Jakarta 2002.

Page 57: Skripsi Hendro

40

f. “Kelemahan dan Fitnah Perempuan” dalam Moqsith Ghazali,

et.all Tubuh, Seksual dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai

Pemikiran Ulama Muda, Rahima-FF-LKiS, Yogyakarta 2002.

g. “Kebudayaan yang Timpang”, dalam K.M. Iksanuddin, dkk.

Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, YKF-FF,

Yogyakarta 2002.

h. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,

LKiS, Yogyakarta 2004.

i. “Pemikir Fiqih yang Arif” dalam KH. Sahal Mahfudh, Wajah Baru

Fiqih Pesantren, Citra Pustaka, Jakarta 2004.

j. “Potret Penindasan atas nama Hasrat” dalam Soffa Ihsan, In the

name of sex; Santri, Dunia kelamin dan Kitab Kuning, JP Books,

Surabaya 2004.

k. Kembang Setaman Perkawinan; Analisis Kritis Kitab “’Uqu>d al-

Lujain, FK-3 bekerjasama dengan Kompas, Jakarta 2005.

l. “Counter Legal Draft; Merespon Realitas Sosial Baru” dalam

Ridwan, Kontroversi Counter Legal Draft; Ikhtiar Pembaruan

Hukum Keluarga Islam, PSW Purwokerto kerja sama Unggun

Religi, Yogyakarta 2005.

m. Islam dan Negara Bangsa, Pesantren dan Civil Society dan

makalah yang berjudul Islam dan Hak-hak Reproduksi.

Page 58: Skripsi Hendro

41

Beberapa tulisan yang terdapat dalam sejumlah buku kumpulan

(antologi), antara lain Kelemahan dan Fitnah Perempuan17 dan

Kebudayaan yang Timpang. Adapun karya-karya Husein dalam bentuk

terjemahan dari buku-buku antara lain:

a. Khutbah al-Jumu’ah wa al-‘I<dain, Lajnah min Kiba>r ‘Ulama>’ al-

Azha>r (Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Besar Al-Azhar), diterbitkan

oleh Bulan Bintang tahun 2005.

b. al-Syari>’ah al-Islami>yah baina al-Mujaddidi>n wa al-Muhaddi\s\i>n

(Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis), karya Dr.

Fa>ruq Abu> Zaid, diterbitkan oleh P3M, Jakarta 1986.

c. Mawa>t} n al-Ijtiha>d fi> al-Syari>’ah al-Isla>mi>yah (Syekh Muh}ammad

al-Mada>ni>), al-Taqli>d wa al-Talfi>q fi> al-Fiqh al-Islami> (Sayyid

Mu’i>n al-Di>n), al-Ijatiha>d wa al-Taqli>d baina al-D{awa>bit} al-

Syari>’ah fi> al-Haya>h al-Mu’a>s}irah (Dasar-dasar Pemikiran Hukum

Islam), karya Yusuf al-Qardhawi, diterbitkan oleh Pustaka

Firdaus, Jakarta 1987.

i

d. Ka>syifah al-Saja>, diterbitkan oleh penerbit Bandung tahun 1992.

e. T}abaqa>t al-Us}u>li>yi>n (Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah), Syekh

Must}afa> al-Mara>gi>, diterbitkan oleh LKPSM Yogyakarta 2001.

l t

i

17 Pengantar dalam Moqsith Ghazali, dkk. Tubuh, Seksua dan Kedaula an Perempuan;Bunga Rampai Pemik ran Ulama Muda (LKiS, Yogyakarta, 2002).

Page 59: Skripsi Hendro

42

Husein juga berperan dalam penafsiran ulang kitab ‘Uqu>d al-

Lujain, karya ini kemudian diberi judul Wajah Baru Kitab Syarh ‘Uqu>d

al-Lujain karya Imam Nawa>wi> al-Bantani> yang diterbitkan oleh LKiS

Yogyakarta 2001.

4. Pokok-pokok Pemikiran Husein Muhammad tentang Gender

Dalam kaitannya tentang konsep gender, Husein Muhammad

menjelaskan tentang persoalan relasi laki-laki dan perempuan dengan

berdasar pada Al-Qur’an. Menurutnya, Al-Qur’an memperlihatkan

pandangan yang egaliter.18 Sejumlah ayat diantara prinsip ini adalah.

يآأيها الناس إنا خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعوبا وقبآئل إن أآرمكم عند اهللا

أتقاآم إن اهللا عليم خبير

Terjemah: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal” (Al-Hujuraat: 13).

من عمل صالحا من ذآر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم

بأحسن ماآانوا يعملون

Terjemah: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl:97)

l i 18 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Ref eksi Kia atas Wacana Agama dan Gender,

terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LKiS, 2001). hlm 20-23

Page 60: Skripsi Hendro

43

عضهم أوليآء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن والمؤمنون والمؤمنات ب

المنكر ويقيمون الصالة ويؤتون الزآاة ويطيعون اهللا ورسوله أوالئك سيرحمهم

اهللا إن اهللا عزيز حكيم

Terjemah: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S>. At-Taubah:71)

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين

والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين

والصآئمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاآرين والمتصدقات والصآئمين

اهللا آثيرا والذاآرات أعد اهللا لهم مغفرة وأجرا عظيما

Terjemah: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. Al-Ahzab:35)

Husein memandang bahwa gender merupakan perbedaan antara

laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Laki-laki dan

perempuan memang memiliki perbedaan, akan tetapi itu hanya bersifat

biologis, kodrati, dan fitrah. Misalnya laki-laki mempunyai penis dan

perempuan mempunyai vagina, perempaun bisa melahirkan dan

menyusui, sedangkan laki-laki tidak. Perbedaan-perbedaan ini adalah hal-

hal yang bersifat biologis, sedangkan hak-hak politik, ekonomi, sosial,

Page 61: Skripsi Hendro

44

tidak atas dasar perbedaan biologis ini. Sehingga gender merupakan

sesuatu yang bisa dipertukarkan dan bisa dirubah, sedangkan hal-hal yang

biologis merupakan sesuatu yang kodrati tidak bisa dirubah.19

Menurut Husein runtuhlah pandangan-pandangan lama yang

membedakan laki-laki dan perempuan, termasuk dalam pandangan fiqih

klasik. Misalnya, dalam pandangan fiqih klasik tidak ada satu pun

pendapat yang membolehkan perempuan menjadi presiden, maupun

sebagai hakim pengadilan dalam hal-hal pidana ditolak mayoritas

pandangan ulama fiqih seperti Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.

Bahkan dalam kitab klasik, perempuan tidak bisa menjadi wakil rakyat,

atau pun menteri, akan tetapi sekarang telah terjadi perubahan yang luar

biasa. Zaman telah berubah, bahwa kemampuan perempuan tidak seperti

dahulu, perempuan sekarang memiliki kualitas intelektual, moral, dan

spiritual yang sama dengan laki-laki. Sehingga memposisikan perempuan

hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan pada kualitas merupakan suatu

tindakan yang tidak adil dan diskriminatif.

fl i19 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Re eksi Kia , hlm. 23

Page 62: Skripsi Hendro

45

BAB IIIBAB IIIBAB IIIBAB III

METODE METODE METODE METODE &&&& PENAFSIRAN PENAFSIRAN PENAFSIRAN PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEINHUSEINHUSEINHUSEIN MUHAMMAD MUHAMMAD MUHAMMAD MUHAMMAD

TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGATENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGATENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGATENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

Dalam pembahasan ini akan dipaparkan metode penafsiran Al-Qur’an

yang berkaitan dengan ayat kepemimpinan keluarga, baik penafsiran Yunahar

Ilyas maupun Husein Muhammad, sehingga dapat diketahui secara komprehensif

penafsiran mereka. Sebelum masuk dalam penafsiran mereka, akan dijelaskan

bentuk dan metode tafsir serta corak penafsiran kedua tokoh karena dalam

menafsirkan Al-Qur’an para penafsir dibatasi oleh kemampuan setiap manusia,

latar belakang pendidikan, serta sosial budaya yang berbeda-beda sehingga

metode dan bentuk penafsiran mereka pun juga berbeda,1

Menurut Nashuruddin Baidan dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir,

dikenal ada dua bentuk penafsiran, yaitu al-tafsi>r bi al-ma’s\u>r dan at-tafsi>r bi- ar-

ra’yi, dan empat metode yang dikembangkan oleh ulama, yaitu metode global

(ijmali>), metode analitis (tah}li>li>), metode perbandingan (muqa>rin), dan metode

tematik (maud}u>’i>). Di samping itu dari segi corak lebih beragam, ada yang

bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah, dan corak sastra

budaya kemasyarakatan.2

1 Ignas Goldziher, Mazhab Tafsir dari Klasik hingga Modern terj. M Alaika Salamullah,

dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm. xi 2 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),

hlm. 380. Di samping bentuk, ada juga yang menggunakan istilah metode. M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 83-85, misalnya, menggunakan istilah metode periwayatan untuk

45

Page 63: Skripsi Hendro

46

Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi hadis. Pada

masa ini riwayat-riwayat yang berisi tafsir dikelompokkan menjadi bab

tersendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, tafsir dipisahkan dari kandungan

kitab hadis dan menjadi kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu

sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan

sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain

pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk

al-tafsi>r bi al-ma’tsu>r. Maksud at-tafsi>r bi al-ma’s\u>r adalah menafsirkan Al-

Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunah Nabi saw dan Al-Qur’an

dengan pendapat atau penafsiran para sahabat dan tabi’in. Hal semacam ini

dinamai bi al-ma’tsu>r karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir

menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya sampai

kepada Rasulullah saw.3

Setelah ilmu pengetahuan berkembang pada masa Daulah ’Abbasiyah,

para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsu>r. Hal ini karena

perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir

dengan memperluas peranan ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan

penggunaannya pada bentuk bi al- ma’tsu>r. Tafsir dengan bentuk ini kemudian

dikenal dengan al-tafsi>r bi- al-ra’yi.4

at-tafsîr bi al-ma’tsûr dan metode penalaran untuk at-tafsîr bi ar-ra’yi. Sementara itu metode ijmali, tahlili, muqarin, dan maudu’i bagi Q. Shihab adalah corak dari metode penafsiran.

3 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 2 4 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,, hlm. 2

Page 64: Skripsi Hendro

47

Dalam al-tafsir bi al-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa

meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadis, dan tidak

meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini

mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan

seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira>’ah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, ushul

fiqih, ilmu sejarah, dan lain-lain sebagainya. Dinamai dengan al-tafsi>r bi al-ra’yi

karena yang dominan adalah penalaran atau ijtihad mufassir itu sendiri.

Dari segi metode, sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu

ijma>li>, tahli>li>, muqa>rin, dan maud}u>’i>. Metode ijma>li> adalah metode yang paling

awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi saw dan para sahabat. Nabi dan

para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail,

hanya secara ijma>li> atau global.5

Selain metode ijma>li>, dikenal metode tahli>li>. Dengan menggunakan

metode ini, seorang mufassir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-

Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asba>b al-nuzu>l, muna>sabah,

dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan

mufassir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf

Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.6

Setelah metode ijma>li> dan tahli>li>, muncul metode muqa>rin atau

perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan

5 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 3 6 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 6

Page 65: Skripsi Hendro

48

antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan

redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu

kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya

terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan

Al-Qur’an.7

Terakhir ialah metode maud}u>’i> atau tematik. Metode ini berbeda dengan

metode ijma>li> dan tahli>li> yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara

kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.

Metode maudu>’i> membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat yang

telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang

mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompromikan antara pengertian yang ‘a>m dan kha>s}, antara yang mut}laq dan

yang muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,

serta menjelaskan ayat na>sikh dan mansu>kh sehingga semua ayat tersebut

bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan

pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak

tepat.8

Sementara itu, jika dilihat dari segi corak, Nashuruddin membagi sebagai

berikut. (1) Corak sastra bahasa, yakni corak yang timbul akibat banyaknya

orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Selain itu, contoh ini merupakan

akibat dari kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga

7 Nashruddin Baidan,Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 65 8 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Suatu Pengantar, terj. Suryan A.

Jamrah (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 36

Page 66: Skripsi Hendro

49

dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan

arti kandungan Al-Qur’an; (2) Corak fiqih atau hukum, yakni corak yang muncul

akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, setiap

golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-

penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum; (3) Corak teologi dan atau filsafat,

yakni suatu corak yang muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang

mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama

lain ke Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempecayai beberapa

hal dari kepercayaan lama mereka; (4) Corak tasawuf, yakni corak dari akibat

timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai

pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang

dirasakan; (5) Corak penafsiran ilmiah, yakni corak yang muncul akibat

kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-

Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu; (6) Corak sastra budaya

kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-

Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah masyarakat berdasarkan

petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam

bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.9

Penjelasan di atas merupakan landasan dalam memahami metode

penafsiran kedua tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini. Ayat yang akan

9 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 72-73, Corak-corak ini juga dimuat dalam Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufasir (Yogyakarta: Labda Press, 2006), hlm 85-86.

Page 67: Skripsi Hendro

50

dijelaskan adalah ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Penentuan ayat ini

diambil dari sumber primer. Teks lengkap surat an-Nisa ayat 34, itu adalah

sebagai berikut.

� ا� ����� ��� ��� و���أ���ا � أا��� �ا�(#) ل &�ان ��� ا�$#"�ء �� ��

�� �: ت & 9� ت 3 �+ ت 456�� �� 2�3 ا� وا1�/0 /. �ن �-زه�� ��+ه�;� �

0� �ا��� )H واG(�ه�� �Fن أ �D$�E�6B/Aا 5����� A5BC إن� ا� آ ن 5��= واه>(وه�

آ5B(ا

Terjemah: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (an-Nisa’; 34).

A. Metode Metode Metode Metode Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran Yunahar IlyasYunahar IlyasYunahar IlyasYunahar Ilyas

Tafsir Yunahar apabila dilihat dari segi aliran dan bentuk, menggunakan

al-tafsi>r bi al-ra’yi. Bentuk ini digunakan oleh Yunahar dalam menafsirkan ayat-

ayat Al-Qur’an dengan mengedepankan kemampuan ijtihad atau pemikiran,

tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadis dan

tidak pula mengabaikan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in.

Sementara itu, kalau dilihat dari segi metode, Yunahar menggunakan metode

maud}u>’i> atau tematis. Dengan metode ini Yunahar membahas dengan

mengklasifikasikan ayat-ayat yang mempunyai tema-tema tertentu, khususnya

Page 68: Skripsi Hendro

51

tentang permasalahan kesetaraan gender.10 Di sisi lain, jika dilihat dari segi

corak, penafsiran Yunahar termasuk dalam tafsir bercorak budaya

kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-

Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah masyarakat berdasarkan

petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam

bahasa yang mudah dimengerti. Yunahar menggunakan metode maud}u>’i> dalam

mengelompokkan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan kesetaraan,

yaitu konsep penciptaan perempuan (Q.S. al-Nisa>’ 4:1), konsep kepemimpinan

dalam rumah tangga (Q.S. al-Nisa>’ 4:34), konsep kesaksian dan kewarisan

perempuan (Q.S. al-Baqarah 2:282 dan Q.S. al-Nisa>’ 4:11).

Penjelasan tentang bentuk yang dipakai oleh Yunahar tentang al-tafsi>r bi

al-ra’yi, dibuat berdasarkan pembacaan dan penelusuran langsung terhadap

uraiannya dalam menafsirkan ayat. Yunahar tidak hanya melihat penafsiran Al-

Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, tetapi secara selektif mengutip

penafsiran para sahabat dan tabi’in. Yunahar mengembangkannya dengan

pemikiran para mufasir lain sebelumnya dan dari sumber-sumber lain di luar

kitab tafsir di samping dari pengetahuan dan pengalamannya sendiri.

Penggunaan metode maud}u>’i>, disimpulkan bahwa Yunahar berusaha

menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema kesetaraan

gender. Ia berusaha mengklasifikasikan ayat-ayat yang masih dalam satu

permasalahan kesetaraan kemudian memaparkan penafsiran mufassir

10 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir,

(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 8.

Page 69: Skripsi Hendro

52

sebelumnya. Dari pemaparan itu, Yunahar menafsirkan ulang dengan perspektif

kesetaraan, seperti yang akan dicontohkan dalam pembahasan selanjutnya.

Meskipun Yunahar belum mempunyai karya kitab tafsir, tetapi dalam

penelitian ini ia dapat disebut sebagai mufasir karena beberapa karya yang

Yunahar tulis terdapat unsur-unsur tafsir, misalnya Yunahar menuliskan masalah

tipologi manusia menurut Al-Qur’an. Ia menafsirkan ayat-ayat tersebut mulai

dari ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia serta sifat-sifatnya mulai

dari ‘Iba>d al-Rah}ma>n, Ulu> al-Alba>b, Bani> Isra>’i>l, sampai dengan Munafik.11

Dalam penafsirannya, setelah Yunahar mengumpulkan ayat-ayat yang

satu tema ia menjelaskan dengan menggunakan sistematika deskriptif-analitis,

yaitu dengan memakai proses gabungan antara deduktif, induktif, dan

komparatif. Metode deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran

tentang pemikiran para mufasir klasik dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Yunahar juga mengambil pemikiran para mufasir kontemporer sebagai bentuk

kontekstualisasi penafsirannya. Metode induktif digunakan dalam rangka

memperoleh gambaran utuh tentang pemikiran para mufasir tentang tema yang

diteliti, yakni dengan cara mengungkapkan anatara mufasir klasik dan

kontemporer. Adapun metode komparatif dipakai untuk membandingkan antara

pemikiran sesama mufasir serta membandingkan pemikiran para mufasir klasik

dengan mufasir kontemporer, dan pemikir-pemikir lain yang dinilai masih

relevan dalam penafsirannya.

11 Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (Yogyakarta: Labda Press, 2007)

Page 70: Skripsi Hendro

53

Selain menggunakan metode itu, Yunahar juga memakai pendekatan

tafsir-hermeneutis dalam rangka mendeskripsikan dan menganalisis interpretasi

para mufasir terhadap ayat Al-Qur’an. Pendekatan hermeneutis, digunakan pada

saat Yunahar melakukan deskripsi terhadap pemikiran para mufasir dengan

menggunakan proses hermeneutika reproduktif. Sementara itu, dalam

menganalisis pemikiran para mufasir Yunahar menggunakan pendekatan

hermeunetika produktif untuk memproduksi interpretasi baru dengan cara

menghubungkan teks-teks ayat dan teks tafsirnya dengan melihat konteks

kekinian.12

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menafsirkan

ayat-ayat dalam karya tulisnya, Yunahar Ilyas menggunakan kemampuan

ijtihadnya. Dalam ilmu tafsir dikenal dengan bentuk tafsir bi al-ra’yi dengan

menggunakan metode maud}u>’i>, yakni mengelompokkan ayat-ayat yang masih

satu tema. Kalau dilihat dari segi corak penafsirannya lebih pada corak budaya

kemasyarakatan karena Yunahar berangkat dari masalah yang ada di masyarakat.

Selain itu, Yunahar juga menggunakan pendekatan tafsir-hermeneutis dalam

memahami penafsiran para mufasir dengan cara mengkontekskan dengan zaman

saat ia hidup.

12 Pendekatan hermeunetik reproduktif dan produktif yang digunakan oleh Yunahar mengacu pada hermeneutika Hans George Gadamer. Gadamer melihat bahwa kesenjangan waktu antara pembaca dan pengarang tidak harus dibatasi, melainkan harus dipikirkan sebagai penjumpaan pemahaman. Pembaca memperkaya pembacaannya dengan membandingkan dengan pengarang. Oleh karena itu, bagi Gadamer hermeneutika tidak hanya bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif. Menurutnya, makna teks tidak harus sama dengan makna pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Dengan demikian, hermeunetik adalah proses kreatif. Hans George Gadamer, Philosophical Hermeneutics, terj. David E.Linge (Barkeley: University of California Press, 1976).

Page 71: Skripsi Hendro

54

B. Penafsiran YunahaPenafsiran YunahaPenafsiran YunahaPenafsiran Yunahar Ilyas r Ilyas r Ilyas r Ilyas tentang tentang tentang tentang Kepemimpinan KeluargaKepemimpinan KeluargaKepemimpinan KeluargaKepemimpinan Keluarga

Dalam penafsiran tentang kepemimpinan keluarga Yunahar memulainya

dengan membahas kehidupan keluarga. Ia menjelaskan bahwa setelah

terlaksananya akad nikah, pasangan suami istri akan hidup bersama dalam sebuah

rumah tangga. Ibarat bahtera, mereka akan mengarungi lautan kehidupan untuk

mencapai pulau yang menjadi tujuan bersama. Mereka akan bekerja sama, bahu

membahu, melaksanakan segala tugas kehidupan, dan mengatasi segala rintangan

untuk mencapai keluarga yang bahagia. Supaya kerja sama tersebut dapat

berlangsung dengan baik, salah seorang harus menjadi pemimpin. Hal yang

menjadi persoalan ialah pemegang kemudi rumah tangga, suami atau istri.

Berikut ini dideskripsikan penafsiran Yunahar Ilyas tentang ayat kepemimpinan

keluarga yang disandarkan pada surat al-Nisa>’ ayat 34. 13

Yunahar merujuk pada Al-T}abari>, yang menjelaskan bahwa “kaum laki-

laki berfungsi mendidik dan membimbing istri-istri mereka dalam melaksanakan

kewajiban terhadap Allah swt dan para suami”. Menurut Ibn Ka\si>r “suami adalah

qayyim atas istri dalam arti dia adalah pemimpin, pembesar, penguasa, dan

pendidik jika seorang istri bodoh”. Yunahar juga mengutip pendapat, Muh}ammad

‘Abduh, bahwa tugas pemimpin hanyalah mengarahkan, bukan memaksa

sehingga yang dipimpin tetap bertindak dan berkehendak dengan pilihannya

sendiri bukan dalam keadaan terpaksa.

Kata qawwa>m dalam ayat di atas dijelaskan oleh Yunahar sebagai

seorang pemimpin. Alasan seorang laki-laki yang diberi hak dalam keluarga

13 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, hlm. 158

Page 72: Skripsi Hendro

55

untuk memimpin dan bukan perempuan atau bukan kolektif dijelaskan, (1)

karena Allah telah memberikan kelebihan laki-laki atas perempuan dan (2)

karena laki-laki telah menafkahkan sebahagian dari hartanya untuk biaya hidup

keluarga. Namun demikian, Yunahar tidak menjelaskan apa yang menjadi

kelebihan laki-laki atas perempuan.

Dalam pandangan Yunahar, para mufasir berbeda-beda dalam

menjelaskan hal ini. Ada yang memberi penjelasan tentang fisik, mental,

intelektual, peran keagamaan, atau semuanya sekaligus. Dari uraian terperinci

yang dikemukakan oleh para mufasir tentang keunggulan laki-laki tersebut

tampak bahwa mereka memperluas pembicaraan kepada laki-laki sebagai jenis

kelamin bukan dalam konteks laki-laki sebagai suami. Menurut Yunahar,

kelebihan yang dikemukakan tidak mempunyai relevansi dengan posisinya

sebagai pemimpin rumah tangga. Termasuk kelebihan fisik laki-laki: kuat, punya

jenggot, bahkan disebutkan juga berpakaian sorban misalnya sebagai sebuah

kelebihan. Demikian juga halnya perbedaan-perbedaan tugas dan peran dalam

upacara-upacara keagamaan, seperti laki-laki menjadi khotib, imam, muadzin,

dan sebagainya.

Menurut Yunahar perbedaan-perbedaan tersebut di atas tidak

menyebabkan secara otomatis laki-laki lebih unggul dari perempuan.14

Pembedaan seperti itu hanyalah pembagian tugas-tugas keagamaan, bukan

kelebihan dan kekurangan setiap jenis kelamin. Perempuan yang tidak shalat

karena haid tidak dapat lebih rendah nilainya daripada laki-laki yang terus

14 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, hlm. 242

Page 73: Skripsi Hendro

56

menerus sholat. Hal ini karena tidak shalatnya sewaktu haid seorang wanita

tersebut bukan sesuatu yang bernilai negatif atau menunjukkan kelemahannya.15

Yunahar lebih sepakat dengan penjelasan yang diberikan oleh

Thaba’thaba’i yang menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan

terletak pada kekuatan intelektual yang menyebabkan dia lebih tahan dan tabah

menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara itu, kehidupan perempuan

adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat kelembutan dan

kehalusan. Yunahar juga sepakat dengan pendapat Muh}ammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni>

yang menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah

tangga karena kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga

serta kemampuan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarga.

Yunahar berpandangan bahwa yang dimaksud dengan kelebihan

intelektual bukan potensi intelektual yang dimiliki dan bukan pula kecerdasan

yang mempunyai tenaga lebih dalam bertanggung jawab. Akan tetapi, kelebihan

intelektual itu dilihat pada saat terjadi benturan antara nalar dan rasa. Pada saat

yang demikian, laki-laki lebih mendahulukan nalar daripada rasa, sementara

perempuan lebih mendahulukan rasa daripada nalar. Sementara itu, kekuatan

emosional diperlukan perempuan, terutama tatkala berperan sebagai ibu, untuk

merawat dan membesarkan bayinya.16 Karena menurut Yuhanar, laki-laki dan

perempuan mempunyai kemampuan potensi intelektual yang sama bahkan bisa

jadi kemampuan intelektual perempuan lebih kuat daripada laki-laki. Masalah

15 Yunahar Ilyas, “Kepemimpinan dalam Keluarga (2),” (Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 1-15 Maret 2006), hlm. 20 16 Yunahar Ilyas, “Kepemimpinan dalam Keluarga (2)”, hlm. 21

Page 74: Skripsi Hendro

57

kecerdasan tergantung dari rangsangan saraf yang dilakukan terutama sewaktu

balita, pendidikan yang didapat, dan lingkungan masing-masing.

Menurut Yunahar, selain dua kelebihan yang telah dijelaskan di atas,

kandungan ayat selanjutnya dapat menjadi alasan tambahan yang mendukung

kesimpulan kepemimpinan suami atas istri.

…………0/� …واG(�ه�� ا��� )H �0 واه>(وه�� ��+ه�� �-زه�� /. �ن وا1

Termejah: …Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka…(an-Nisa:34)

Allah swt memberikan hak kepada suami untuk melakukan tiga tahapan

tindakan menghadapi istri yang nusyu>z\, yaitu menasihati, pisah ranjang, dan

memukul. Seandainya suami bukan pemimpin yang menempati posisi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan istrinya (dalam konteks keluarga) tentu ia tidak

mungkin dapat melakukan tiga tahapan tindakan tersebut.

Yunahar menambahkan bahwa, masalah kepemimpinan suami ini lebih

jelas terlihat dalam bagian akhir ayat yang menggunakan kata taat:

………… �� �6B/Aا أ �D$�E�Fن واG(�ه���5�� A5BC � …آ5B(ا 5��= آ ن ا� إن

Terjemah: …Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”…(an-Nisa:34)

Yunahar beranggapan, penggunaan kata taat menunjukkan hubungan

suami dengan istri yang bersifat struktural. Jika hubungan keduanya bukan

struktural, kata yang digunakan bukan menaati, tetapi menyetujui atau menerima

pandapatnya. Apabila dilihat dari penjelasan secara struktural, kata taat dapat

dipahami dalam arti kepatuhan. Konsep taat ini, menurut Yunahar, berlaku pada

Page 75: Skripsi Hendro

58

saat suami mengajak untuk menjalankan perbuatan yang ma’ruf, maka seorang

istri harus patuh pada suaminya.

Penafsiran Yunahar terhadap surat al-Nisa>’ ayat 34 menekankan bahwa

suami merupakan pemimpin dalam keluarga. Persoalan yang muncul dalam hal

ini ialah ketentuan itu bersifat normatif atau kontekstual. Apabila bersifat

normatif, maka kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bersifat permanen.

Sebaliknya, apabila bersifat kontekstual, kepemimpinan dalam keluarga

disesuaikan dengan konteks sosial tertentu. Dengan demikian, apabila konteks

sosialnya berubah, dengan sendirinya doktrin itu akan ikut berubah. Artinya,

belum tentu laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga.

Menurut Yunahar kelebihan normativitas kepemimpinan laki-laki dalam

keluarga terletak pada adanya kepastian siapa yang menjadi pemimpin, sehingga

tertutup peluang terjadinya perselisihan antara suami dan istri dalam menentukan

siapa yang memimpin. Kelemahannya terletak pada realitas, yaitu tatkala secara

fakta suami tidak memenuhi persyaratan menjadi pemimpin, baik yang bersifat

integritas pribadi maupun kemampuan finansial. Sebaliknya, kelebihan

kontekstualitas kepemimpinan rumah tangga memberikan peluang terpilihnya

pemimpin yang benar-benar memenuhi persyaratan. Namun, kelemahannya ialah

pada saat menentukan siapa yang lebih unggul secara fungsional. Jika salah

satunya mengakui tidak akan ada masalah. Akan tetapi, jika keduanya memiliki

keunggulan yang sama maka akan terjadi komunikasi yang tidak seimbang.

Selanjutnya Yunahar berpandangan bahwa kepemimpinan dalam keluarga

bersifat normatif, bukan kontekstual. Kepemimpinan kontekstual dalam keluarga

Page 76: Skripsi Hendro

59

menurut Yunahar menyebabkan tidak efektifnya kepemimpinan pada masa-masa

tertentu yang dapat berakibat kepada kebuntuan rumah tangga, maka hak

kepemimpinan secara apriori kepada laki-laki.17

Yunahar menambahkan bahwa sekalipun laki-laki secara normatif diberi

hak memimpin istrinya, tetapi dia tidak boleh menegakkan kepemimpinan

dengan otoriter atau dengan mengabaikan kemauan dan pertimbangan istri.

Menurut Yunahar prinsip musyawarah adalah hal penting dalam kepemimpinan

keluarga. Di samping itu, suami hendaklah memimpin istrinya dengan landasan

al-mu’a>syarah bi al-ma’ru>f dan penuh kesabaran, sebagaimana yang diperintah

oleh Allah swt dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 19:

��B� اBهI9� ��D� K� أن /(Jا ا�$#"�ء آ(ه و1 /���ه�:L1 ا$L أKL� ا��LI� ءا

O$#5BK و� N(وه�� � ���(وف �Fن آ(ه9�ه�� ��"� أن �ءا/95�ه�� إ O-3 �� �5/PL أن �Q

� ا� �5S T5(ا آ5R(ا�<Lو U5N اه)D/

Terjemah: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S an-Nisa: 19)

Sementara itu, normativitas kepemimpinan laki-laki dalam keluarga

menurut Yunahar tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender karena

kesetaraan tidak selalu sama dengan kesamaan. Kesetaraan dan keadilan gender

dipahami dan dilaksanakan secara proporsional dengan mempertimbangkan

17 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, hlm. 246

Page 77: Skripsi Hendro

60

faktor-faktor biologis, fisiologis, psikologis, dari kedua belah pihak (laki-laki dan

perempuan). Dalam artian secara kodrat laki-laki dan perempuan mempunyai

perbedaan secara biologis, secara fisiologis dan psikologis.18

Penafsiran Yunahar tentang nusyu>z\ berangkat dari penjelasan Rasulullah

saw yang memberikan penilaian tinggi kepada suami yang berakhlak mulia

terhadap istrinya. Beliau bersabda, yang artinya:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baiknya kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”. (H>.R. Tirmizi).

Sementara itu, menurut Yunahar tidak ada jaminan semua suami akan

melaksanakan kewajiban dan fungsinya dengan baik. Sebagaimana halnya istri,

suami juga ada yang melakukan nusyu>z\. Dalam hal ini surat al-Nisa>’: 128

memberi petunjuk bagaimana sebaiknya sikap istri:

:�V ��$5� :�;L ح 5����� أن $(A� Gا)�زا أو إ-� ���� � X� S أة)وإن ا

� وإن /:"$ا و/9��ا �Fن� ا� آ ن �� /��ZK-5( وأ3�(ت ا\��] ا�S Z�K;5(اوا�BS ن�

Terjemah: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyu>z\ atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. an-Nisa:128)

Dalam manafsirkan ayat ini Yunahar mengutip panafsiran tim penafsir

Departemen Agama yang menjelaskan bahwa.

Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil istri apabila ia melihat sikap nusyu>z dari suaminya. Sikap nusyu>z itu dapat berupa tidak melaksanakan kewajiban terhadap istri sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya, dan sebagiannya. Hal ini dapat ditimbulkan oleh kedua

18 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, hlm. 247

Page 78: Skripsi Hendro

61

belah pihak, baik suami maupun istri atau disebabkan oleh salah satu pihaknya saja. Jika demikian, istri hendaknya mengadakan musyawarah dengan suami, mengadakan pendekatan perdamaian, serta berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika istri bersikap mengalah kepada suami, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi, dan sebagainya. Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan istri itu, bukan berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebahagian haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya sehingga suami mengingat kembali kewajiban-kewajibannya yang telah ditentukan oleh Allah swt.19

Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian, maka ada

yang harus dilakukan oleh istri. Sejalan dengan Ima>m Ma>lik, Yunahar

menjelaskan bahwa istri boleh mengadukan suaminya kepada hakim

(pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada suami. Apabila

tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang istri untuk taat kepada suaminya,

tetapi suami tetap memberikan nafkah kepada istri. Hakim juga dapat

memperbolehkan istri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah

suaminya. Jika dengan cara demikian suami belum sadar, maka hakim dapat

menjatuhkan hukuman pukulan kepada suami. Setelah pelaksanaan hukuman

tesebut, sang suami belum memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan

perceraian jika istri menghendakinya. Pendapat terserbut menurut Yunahar

seimbang dengan sikap yang harus diambil oleh suami apabila menghadapi istri

nusyu>z sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa>’: 34 sebelumnya. Hanya,

19 Bustama A. Gani, dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Depeartemen Agama RI,

1990) hlm. 296

Page 79: Skripsi Hendro

62

untuk khusus nusyu>z suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu hakim

(pengadilan), bukan sang istri sendiri.20

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan masalah

kepemimpinan dalam keluarga Yunahar Ilyas berangkat dari surat al-Nisa>’: 34.

Dapat diambil kesimpulan dari penafsiran Yunahar bahwa, ia lebih berpandangan

normatif bukan kontekstual. Kepemimpinan kontekstual dalam keluarga

menyebabkan tidak efektifnya kepemimpinan pada masa-masa tertentu yang

dapat berakibat kebuntuan rumah tangga.

Meskipun pada awalnya ia memperbolehkan perempuan untuk dapat

memimpin, asalkan mempunyai kemampuan intelektual lebih akan tetapi dalam

penafsiran berikutnya Yunahar lebih menekankan bahwa kepemimpinan dalam

keluarga secara apriori adalah laki-laki. Seperti dapat dilihat dari penjelasan

sebelumnya, bahwa tiga tahapan menasehati, pisah ranjang, dan memukul

menjadi alasan kepemimpinan ada pada laki-laki ditambah harus menaatinya.

Dari situ Yunahar beranggapan secara struktural laki-laki lebih mempunyai hak

dalam memimpin keluarga, karena ia beranggapan laki-laki mempunyai posisi

yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan.

20 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 130

Page 80: Skripsi Hendro

63

C. Metode Metode Metode Metode Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran HuseinHuseinHuseinHusein Muhammad Muhammad Muhammad Muhammad

Sebagaimana Yunahar, Husein Muhammad belum mempunyai kitab

tafsir, tetapi ia dapat dikelompokkan sebagai seorang penafsir karena karya yang

ditulisnya mempunyai nilai-nilai tafsir. Tafsir Husein dapat dikatakan berbentuk

al-tafsi>r bi al-ra’yi. Hal ini terlihat dari tafsir fiqhnya yang istimbat-istimbat

hukum dari Al-Qur’an dan hadis dilakukan dengan cara ijtihad. Husein juga

dalam menafsirkan ayat merujuk pada hadis-hadis Rasulullah yang diperkuat

dengan penjelasan-penjelasan pemikir sebelumnya. Akan tetapi pemikir

sebelumnya hanya dijadikan sebagai pembanding, kerna yang lebih dominan

adalah hasil pemikiranya.

Secara metodologis, tafsir Husein dapat dikatakan sebagai tafsir maud}u>’i>

karena Husein berusaha menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan

dengan tema perempuan dan keadilan gender dengan cara mengelompokkan ayat-

ayat yang masih satu tema. Selain itu, Husein juga memakai perangkat-perangkat

penafsiran yang cukup beragam, tidak hanya dari segi normatif-ideologis, tetapi

juga hermeneutika-kontekstual. Pandangan itu disimpulkan dari penelusuran

karyanya dalam buku Fiqh Perempuan.21

Sementara itu, jika dilihat dari segi coraknya, penafsiran Husein termasuk

dalam corak fiqih atau hukum, yakni corak tafsir yang muncul akibat

berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, setiap

golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-

21 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LKiS, 2001)

Page 81: Skripsi Hendro

64

penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, begitu juga Husein. Dalam

menafirkan ayat Al-Qur’an ia mulai dengan penjelasan teks-teks ayat yang ia

lengkapi dengan penjelasan hadis. Ditambah lagi tema-tema yang diangkat oleh

Husein Muhammad berkaitan dengan permasalahan fiqih, misalnya tentang

kepemimpinan dalam sholat, kontekstualisasi fiqih munakahat, advokasi fiqih

mu’amalah-siyasah. Selain itu, Husein juga mengkontekskan dengan

perkembangan zaman.

Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan isu-isu perempuan

dan keadilan gender Husein berpandangan bahwa itu masuk dalam prinsip-prinsip

kemanusiaan. Hal itu dapat diwujudkan dengan upaya penegakan keadilan,

kesetaraan, kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak-hak orang

lain. Sebagai cita-cita, semua prinsip di atas harus menjadi dasar pemikir dalam

melakukan kajian ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan persoalan-persoalan

spesifik.

Pendekatan hermeneutika-kontekstual22 Husein dapat dilihat dari cara ia

memahami konteks budaya. Dalam menjelaskan surat an-Nisa ayat 34, Husein

menyatakan bahwa ayat itu harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis

dan kontekstual karena menunjukkan persoalan yang bersifat umum dalam

masyarakat.23 Menurut Husein, apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan

22 Secara ternimologis, hermeneutika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang

bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subjektif (maksud pengarang), kamus filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996) sedangkan kontekstual dapat mengambil pesan-pesan yang ada, dan dapat mengkontekskan dengan kondisi sosial budaya yang berkembang, Sahiron Syamsuddin, dkk Hermeneutika Al-Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003)

23 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 26

Page 82: Skripsi Hendro

65

kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan.

Dengan kata lain, posisi perempuan yang menjadi subordinat laki-laki juga

memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat kebudayaannya

yang sudah berubah. Dengan cara pandang demikian, setidaknya dapat dipahami

bahwa kita tidak terkurung oleh tradisi dan kebudayaan saat Al-Qur’an

diturunkan.

Ayat-ayat teologis, yang sementara ini diinterpretasikan bias gender juga

harus dikaji ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan

kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan (keadilan gender).

Hal ini, karena prinsip dasar Islam adalah persamaan dan keadilan antara laki-laki

dan perempuan. Seperti ayat-ayat penciptaan, semua harus merujuk pada ayat

yang secara tegas menyatakan bahwa penciptaan manusia adalah penciptaan

kesempurnaan (laki-laki dan perempuan).24

Husein mengatakan: “tafsiran adalah tetap tafsiran yang tidak menutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan perkembangan sosio-pengetahuan yang temporal”.25

Dalam hal ini Husein ingin menggugah kesadaran umat muslim yang

hanya mewarisi tradisi bangsa-bangsa sebelumnya yang terus menjalar ke

kalangan kaum muslim. Seperti yang ia ungkap tentang justifikasi keyakinan

bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga kualitas

perempuan menjadi lebih rendah. Semua itu harus dibaca dan ditafsirkan ulang

24 Q.S. at-Tin 95:4 25 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 26

Page 83: Skripsi Hendro

66

karena di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai satu pun ayat yang secara eksplisit

menyatakan hal itu.26

Pendekatan sosio-kontekstual Husein juga dapat diperkuat dengan

pernyataannya dalam menafsirkan isu-isu tentang perempuan. Menurut Husein,

sangat sulit dinafikan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam sosio-ekonomi,

politik dan kultural saat ini telah mengalami perubahan dan perkembangan

evolutif seiring dengan berkembangnya kesadaran mereka. Sejarah kontemporer

juga telah membuktikan bahwa sejumlah perempuan memiliki kelebihan yang

sama dengan laki-laki sehingga pekerjaan dan tugas yang saat ini dianggap hanya

dimonopoli kaum laki-laki terbantahkan dengan sendirinya.27

Fakta ini, menurut Husien dapat membuktikan bahwa perempuan adalah

sama dengan laki-laki sehingga segala tradisi, ajaran, dan pandangan yang

merendahkan, mendiskriminasikan, dan melecehkan kaum perempuan harus

dihapus. Dengan demikian, dalam teks-teks agama yang semestinya menjadi

dasar penafsiran adalah prinsip-prinsip ideal Islam tentang keadilan, kesetaraan,

kemashalatan, dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi oleh perbedaan jenis

kelamin, laki-laki dan perempuan.28

Demikian sekilas gambaran metode penafsiran Husein Muhammad.

Secara jelas ia menawarkan penafsiran baru terhadap teks-teks agama dengan

berperspektif gender. Husien berusaha menafsirkan secara rasional dan

26 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 28 27 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 29 28 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 32

Page 84: Skripsi Hendro

67

kontestual terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan yang selama ini

masih kuat dengan muatan patrialkal.

D. Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran HuseinHuseinHuseinHusein Muhammad Muhammad Muhammad Muhammad tentang tentang tentang tentang Kepemimpinan KeluargaKepemimpinan KeluargaKepemimpinan KeluargaKepemimpinan Keluarga

Husein memulai penafsiran kepemimpinan keluarga dengan penjelasan

tentang keluarga. Munurutnya, keluarga adalah sebuah lembaga yang pada

mulanya dimaksudkan sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang

tentram, aman, damai, sejahtera, dalam suasana cinta dan kasih sayang di antara

anggota keluarga. Husein merujuk pada ayat Al-Qur’an menegaskan maksud ini:

0� ��د�ة ورO�3 إن �D$5� �#� أ��"D� أزوا) �D"9#$ا إ5�� و)� �D� _�S أن T/ Lءا �و

�(ونD�9L مت �#� L\ a�ذ

Terjemah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. ar-Rum:21)

Menurut Husein, Melalui suasana kehidupan seperti yang digambarkan di

atas sangat mungkin bagi anggota keluarga untuk melakukan kerja-kerja yang

bergairah dan produktif. Pada sisi lain, anak-anak yang hidup bersama,

seharusnya mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari kedua ibu dan bapaknya

karena suasana semacam itu dapat menumbuhkan kepribadian mereka sehingga

mereka menjadi anak-anak yang baik dan saleh. Demi keberhasilan mewujudkan

tujuan di atas, sangat perlu adanya kebersamaan dalam mengemudikan rumah

Page 85: Skripsi Hendro

68

tangga. Husein menjelaskan permasalahan itu dengan mengacu pada surat al-

Nisa>’ ayat 34.29

Dalam penjelasan al-Nisa>’ ayat 34 Husein menjelaskan bahwa pendapat

para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwa>>m dalam ayat tersebut berarti

pemimpin, penanggung jawab, pengatur, dan pendidik. Kategori semacam itu

tidak akan menjadi persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan

tidak didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi, secara umum para

ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki adalah mutlak. Superioritas

ini diciptakan Tuhan sehingga tidak bisa diubah. Kelebihan laki-laki atas

perempuan sebagaimana ayat tersebut, oleh para penafsir Al-Qur’an karena akal

dan fisiknya. Misalnya ar-Razi, di dalam tafsirnya mengatakan bahwa kelebihan

laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: (1) ilmu pengetahuan (akal pikiran),

dan (2) kemampuan. Maksudnya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi

perempuan dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.30

Panafsiran-penafsiran tersebut, menurut Husein telah memberi arah bagi

pembagian peran tetap laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan pada sektor

publik (kemasyarakatan) dan perempuan berperan dalam wilayah domestik

(rumah tangga). Proses domestifikasi perempuan terus berlangsung dengan

justifikasi pikiran keagamaan. Ketika dikatakan bahwa perbedaan gender

tersebut bersifat kodrat, maka akan berarti penempatan peran-peran dan fungsi-

29 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm.165 30 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 24-25

Page 86: Skripsi Hendro

69

fungsi tersebut sebagai suatu yang normatif, yang berlaku tetap sepanjang

zaman.31

Husein juga menambahkan, kekuasaan dan kekuatan laki-laki yang

memperoleh dasar legitimasi pikiran keagamaan secara tidak disadari ternyata

menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, semata-mata

karena dia memiliki tubuh dan jenis kelamin perempuan. Pada gilirannya, hal ini

memberikan dampak lebih luas bagi langkah-langkah perempuan di tengah-

tengah kehidupan sosial mereka. Misalnya, perempuan tidak boleh keluar rumah

kecuali dengan membungkus seluruh tubuhnya dan membiarkan laki-laki

berpakaian apa saja. Dalam pengembangan intelektual, pendidikan perempuan

juga dibatasi sehingga mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Inferioritas dan

rendahnya tingkat intelektualitas perempuan ini akhirnya menghalangi mereka

untuk menduduki posisi-posisi kekuasaan publik sehingga perempuan dianggap

sebagai subordinitasnya laki-laki.32

Husein berpandangan, semua superioritas laki-laki tersebut tidak dapat

dipertahankan lagi sebagai suatu yang berlaku umum dan mutlak. Hal ini bukan

saja karena dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan

dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial

sendiri yang telah membantahnya. Menurut Husein zaman telah berubah,

sekarang sudah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan bisa

melakukan peran-peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi

31 Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,

Nuruzzaman, dkk (ed.), (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 83 32 Husein Muhammad. Islam Agama Ramah, hlm. 84

Page 87: Skripsi Hendro

70

milik laki-laki. Banyak perempuan di berbagai ruang kehidupan yang mampu

tampil dalam peran kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang

politik, ekonomi dan sosial. Dari penjelasan itu Husein menganggap

kepemimpinan keluarga tidak hanya terpaku pada laki-laki, tetapi perempuan

juga mampu.33

Karakterisrik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki

bukanlah suatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa, melainkan ia merupakan

produk dari sebuah proses sejarah, yakni sebuah proses perkembangan yang terus

bergerak maju dari nomaden menuju berkehidupan tetapi, dari ketertutupan

menuju keterbukaan, dari kebudayaan tradisional menuju kebudayaan rasional,

dari pemahaman tekstual ke pemahaman substansial. Semuanya merupakan

sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis.34

Husein memahami teks ini harus dipahami sebagai teks yang bersifat

sosiologis dan kontekstual karena merujuk pada persoalan partikuler. Posisi

perempuan yang ditempatkan sebagai bagian dari laki-laki, dan laki-laki sebagai

pemimpin dalam keluarga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarki

atau peradaban laki-laki, di mana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki

dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Oleh karena itu, redaksi ayat

tersebut juga datang dalam bentuk narasi (i’tibar) yang dalam disiplin ilmu fiqh

hanya sebatas pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran perintah

agama. Hal ini karena penafsiran-penafsiran yang mengatakan bahwa

33 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 30 34 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 26

Page 88: Skripsi Hendro

71

kepemimpinan dalam keluarga hanya hak laki-laki bukan hak perempuan adalah

interpertasi yang sarat dengan muatan sosio-politik saat itu.

Apabila ayat ini dipahami secara sosiologis dan kontekstual, maka

terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain,

perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan untuk diubah pada

waktu sekarang, mengingat kebudayaannya sudah berubah. Menurut Husein,

dengan cara pandang demikian setidaknya kita dapat memahami bahwa

perempuan bukan makhluk Tuhan yang harus dan selamanya dipandang rendah

hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan

kebudayaan patriarki. Pada saat yang sama, juga tidak seharusnya dianggap salah

ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung, dan

pengayom bagi komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka

kerahmatan, keadilan, dan kemaslahatan atau kepentingan masyarakat luas. Dari

penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan juga mempunyai hak

memimpin keluarga.

Penafsiran dengan paradigma ini tidak sebatas pada hubungan laki-laki

dan perempuan dalam ruang domestik (suami-istri), tetapi juga berlaku untuk

semua masalah hubungan kemanusian secara lebih luas atau persoalan-persolan

partikuler lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya. Ia juga

menambahkan bahwa persoalan yang paling signifikan dalam hal ini adalah cara

mewujudkan prinsip-prinsip agama, kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia

dalam relasi kehidupan laki-laki dan perempuan. Permasalahan ini tergambar

Page 89: Skripsi Hendro

72

dengan dalam relasi suami-istri, seperti dijelaskan dengan kata-kata bi al-ma’ru>f

(dengan cara yang baik atau patut) dalam firman Allah swt surat an-Nisa ayat 19:

D� K�:L1 ا$� أن /(Jا ا�$#"�ء آ(ه و1 /���ه�� I9�هBا L ��B� أKL� ا��LI� ءا

O$#5BK و� N(وه�� � ���(وف �Fن آ(ه9�ه�� ��"� أن O-3 �� �5/PL أن �Qإ ��ءا/95�ه�

S T5� �� ا�<Lو U5N اه)D/5(اR5(ا آ

Terjemah: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S an-Nisa: 19)

Kata ini jelas terkait dengan kata dasarnya, yaitu al-‘urf yang berarti

kebiasaan atau tradisi. Para mufasir menjelaskan bahwa al-ma’ru>f adalah adat,

kebiasaan, atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat,

serta tidak menyimpang dari dasar-dasar agama. Ma’ru>f merupakan kebaikan

yang berdimensi lokal dan temporal, atau berdimensi kontekstual. Dengan

demikian, kebaikan jenis ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu

tempat ke tempat yang lain yang tetap berada dalam kerangka al-akhla>q al-

kari>mah35.

Mengenai mu’a>syarah bi al-ma’ru>f dalam hal-hal yang berkaitan dengan

kemanusiaan, Husein menjelaskan bahwa suami dan istri harus saling menghargai

dan menghormati. Masing-masing harus berlaku sopan, saling menyenangkan,

tidak boleh saling menyakiti atau memperlihatkan kebencian, dan tidak boleh

35 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 29

Page 90: Skripsi Hendro

73

pula saling mengungkap-ungkap jasa baiknya. Yang paling penting dalam

masalah ini adalah antara mereka berdua harus memiliki pandangan yang sama

tentang kesetaraan manusia; yang tidak mensubordinasikan yang lain, dan juga

sebaliknya.

Husein juga mengungkapkan bahwa ayat-ayat teologis yang dijelaskan di

atas, yang sementara ini diinterpretasikan bias gender, harus dikaji ulang dan

ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan

relasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kerena prinsip dasar ideal Islam,

seperti yang dinyatakan dalam ayat kepemimpinan keluarga, adalah persamaan

dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

Berbicara masalah relasi suami dan istri dalam hal ini, Husein juga

menjelaskan masalah tangung jawab nafkah keluarga. Husein menjelaskan bahwa

tanggung jawab nafkah istri dan keluarga dibebankan kepada suami. Kewajiban

suami dalam hal ini, memberikan yang terbaik bagi keluarganya, sejauh yang dia

miliki dan diusahakannya. Kewajiban nafkah suami tersebut meliputi pangan

(makanan), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal). Al-Qur’an

menjelaskan hal ini:

…………و��� ا���د T� رز&��� وآ"/��� � ���(وف …………

Terjemah: “…Dan kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada ibu anaknya dengan cara yang ma’ruf…”(Q.S. Al-Baqarah:233)

Husein menjelaskan bahwa para ulama ahli fiqih klasik menyimpulkan

bahwa nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya meliputi: makan-

minum berikut lauk-pauknya, pakaian, tempat tinggal, pembantu jika diperlukan,

Page 91: Skripsi Hendro

74

alat-alat untuk membersihkan tubuh, dan perabot rumah tangga. Sementara

nafkah untuk alat-alat kecantikan bukanlah merupakan kewajiban suami, kecuali

sebatas untuk menghilangkan bau badannya. Kalau menurut Ima>m al-Nawa>wi>

dari madzhab Sya>fi’i>, suami tidaklah berkewajiban memberikan nafkah untuk

alat-alat kecantikan lainnya yang semuanya dimaksudkan untuk menambahkan

gairah seksual.

Penjelasan di atas menurut Husein bebeda dengan para pemikir fiqih

kontemporer, mereka tidak menyetujui pandangan sebagaimana diuraikan di atas.

Menurut Wahbah az-Zuhaili>, para ahli fiqih klasik didasarkan pada tradisi yang

berkembang pada masa mereka yang tidak menganggap obat-obatan dan biaya

kesehatan sebagai kebutuhan pokok mereka. Tentu saja ini berbeda dengan

tradisi masyarakat sekarang, yang menempatkan kebutuhan akan kesehatan telah

menjadi kebutuhan pokok sama seperti makanan.

Dari keterangan itu, Husein menyimpulkan bahwa pada dasarnya seorang

istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan

hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga

yang menjadi kebutuhan pokok adalah kewajiban suami untuk memenuhinya.

Jika suami tidak memberikannya, maka istri berhak menuntutnya atau

mengambilnya meskipun tanpa izin suami.36

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan masalah

kepemimpinan dalam keluarga Husien Muhammad berangkat dari surat al-Nisa>’:

34. Dapat diambil kesimpulan dari penafsiran Husein, bahwa ia berpandangan

36 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 168-169

Page 92: Skripsi Hendro

75

perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.

Berkaitan dengan tanggung jawab, suami dan istri mempunyai tanggung jawab

masing-masing. Misalnya, suami berkewajiban memberikan nafkah kehidupan

pada keluarga, sedangkan istri berhak memintanya.

Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad di atas dari segi bentuk

dan metode hampir sama, tetapi dari segi corak sangat berbeda. Hal ini, dapat

dilihat dari penjelasan keduanya. Dalam penafsiran tentang kepemimpinan dalam

keluarga, keduanya memakai surat al-Nisa>’: 34 yang dilengkapi dengan ayat-ayat

penjelas dan hadis sebagai pelengkap. Kemudian dengan kemampaun ijtihad

keduanya, mengkontekskan dengan zaman saat mereka hidup. Dalam penafsiran

tentang kepemimpinan keluarga, Yunahar dan Husein sangat berbeda. Yunahar

berpandangan bahwa kepemimpinan keluarga bersifat normatif bukan

kontekstual, sehingga dari penjelasan itu Yunahar beranggapan secara apriori

laki-laki yang berhak memimpin. Sementara itu, Husein berpandangan antara

suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.

Page 93: Skripsi Hendro

76

BAB IV

ANALISIS PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD

TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

A. Komparasi Metode dan Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas

dan Husein Muhammad

Mengkomparasikan dua penafsiran tokoh berarti mencari titik

persamaan di satu pihak dan mencari titik perbedaan di pihak lain.

Pembandingan dilakukan terhadap karya tulis yang dimaksud serta

pemikiran-pemikiran dalam karya yang lain. Untuk menjaga melebarnya

pembahasan, penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan

dengan dua subpokok bahasan, yaitu metodologi dan penafsiran kedua tokoh.

Dalam masalah kepemimpinan keluarga, Yunahar dan Husein

berangkat dari ayat yang sama, yakni surat al-Nisa>’:34. Pada bagian awal

akan dijelaskan persoalan metode yang mereka gunakan, kemudian

pembahasan terhadap penafsiran mereka.

1. Perbandingan Metode Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat, Yunahar mengedepankan kemampuan

ijtihad atau pemikiran, tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-

Qur’an atau dengan hadis dan tidak pula mengabaikan sama sekali

penafsiran para sahabat dan tabi’in. Artinya penafsiran Yunahar termasuk

dalam bentuk al-tafsi>r bi al-ra’yi. Sementara itu, dilihat dari segi metode,

76

Page 94: Skripsi Hendro

77

Yunahar menggunakan metode maud}u>’i> atau tematis. Dengan metode ini

Yunahar membahas dengan mengklasifikasikan ayat-ayat yang

mempunyai tema-tema tertentu, khususnya permasalahan kesetaraan

gender.1

Selain itu, Yunahar juga memperhatikan kontekstualisasi dengan

menggunakan pendekatan tafsir-hermeneutis, dalam rangka

mendeskripsikan dan menganalisis interpretasi para mufasir terhadap ayat

Al-Qur’an yang dibahas dalam tema kepemimpinan dalam keluarga.

Secara khusus Yunahar menggunakan pendekatan hermeneutis. Pada saat

melakukan deskripsi terhadap pemikiran para mufasir ia menggunakan

proses hermeneutika reproduktif, sedangkan dalam menganalisis

pemikiran para mufasir Yunahar menggunakan pendekatan hermeneutika

produktif. Hal ini dilakukan dengan memproduksi interpretasi baru yakni

memakai langkah menghubungkan teks-teks ayat dengan teks tafsirnya

dan melihat konteks kekinian.

Sejalan dengan Yunahar dalam menafsirkan ayat, Husein lebih

banyak menafsirkan ayat dengan menggunakan bentuk al-tafsi>r bi al-

ra’yi. Hal ini terlihat dari tafsir fiqihnya yang istimbat-istimbat hukum

dari Al-Qur’an dan hadis yang dilakukan secara ijtihad. Husein juga

dalam menafsirkan ayat merujuk pada hadis-hadis Rasulullah yang

diperkuat dengan penjelasan-penjelasan pemikir sebelumnya. Akan tetapi

r l t i1 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gende da am Al-Qur’an; S udi Pem kiran Para Mufasir,

(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 8.

Page 95: Skripsi Hendro

78

pemikir sebelumnya hanya dijadikan sebagai pembanding, karena yang

lebih dominan adalah hasil pemikiranya. Secara metodologis tafsir Husein

dapat dikatakan sebagai tafsir maud}u>’i> karena Husein berusaha

menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema

perempuan dan keadilan gender dengan cara mengelompokkan ayat-ayat

yang masih satu tema.

Husein tidak hanya menggunakan metode itu, ia juga memakai

perangkat-perangkat penafsiran yang cukup beragam. Selain segi

normatif-ideologis, ia juga menggunakan perangkat hermeneutika-

kontekstual. Pendekatan tafsir hermeneutika-kontekstualnya dapat dilihat

dari bagaimana ia memahami konteks budaya yang ada. Husein

memaknai surat al-Nisa>’ ayat 34, sebagai teks yang bersifat sosiologis

dan kontekstual karena menunjukkan persoalan yang umum dalam

masyarakat.2

Dengan pandangan seperti di atas dapat diketahui bahwa Yunahar

dan Husein menggunakan metode yang sama dalam menafsirkan ayat Al-

Qur’an. Keduanya menafsirkan dengan mengedepankan kemampuan akal

serta lebih kontekstual melihat perkembangan zaman saat mereka hidup.

Yang dimaksudkan dengan metode tafsir tematik ialah, kedua tokoh ini

belum mempunyai kitab tafsir tetapi mereka memberikan bukti bahwa

mereka menafsirkan dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang masih

l t2 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Ref eksi Kiai a as Wacana Agama dan Gender,

terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 26

Page 96: Skripsi Hendro

79

satu tema. Misalnya Yunahar mengelompokkan ayat-ayat yang masih

satu tema tentang kesetaraan, mulai dari penciptaan perempuan,3 konsep

kepemimpinan rumah tangga,4 sampai dengan konsep kesaksian dan

kewarisan perempuan,5 sedangkan Husein mengelompokkan ayat-ayat

kesetaraan gender, mulai dari masalah penciptaan masusia,6 hak kawin

muda,7 sampai dengan masalah kepemimpinan dalam keluarga.8

Sementara itu, dari segi corak, penafsiran Yunahar dan Husein

memiliki perbedaan. Tafsir Yunahar lebih bercorak budaya

kemasyarakatan misalnya corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-

ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ada dalam

masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan

petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Yunahar lebih banyak melihat pada konteks budaya kemasyarakatan.

Di lain pihak, tafsiran Husein dapat dikatakan bercorak fiqih atau

hukum, yakni corak penafsiran akibat dari berkembangnya ilmu fiqih, dan

terbentuknya mazhab-mazhab fiqih. Pada masa ini, setiap golongan

berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-

penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, demikian pula penafsiran

yang dilakukan oleh Husein. Penafsiran Husien cenderung melihat pada

3 Q.S. Al-Nisa>’: 1 4 Q.S. Al-Nisa>’: 34 5 Q.S. Al-Baqarah: 282 dan Q.S. Al-Nisa>’: 11 6 Q.S. Al-H}ujura>t: 13 7 Q.S. Al-T{ala>q: 4 dan Q.S. Al-Nu>r: 32 8 Q.S. An-Nisa>’: 34

Page 97: Skripsi Hendro

80

hukum-hukum yang ada. Misalnya ia menafsirkan ayat dengan

menjelaskan ayat dengan ayat dan dengan hadis baru dikontekskan.

2. Perbandingan Penafsiran tentang Kepemimpinan dalam Keluarga

Bagian ini akan membandingkan penafsiran kedua tokoh tentang

kepemimpinan keluarga yang berangkat dari surat al-Nisa>’:34. Sumber ini

diambil dari karya tulis mereka yang dibukukan.

Dalam pandangan Yunahar para mufassir berbeda-beda dalam

menjelaskan masalah kepemimpinan dalam keluarga, tetapi mayoritas

berangkat dari kata qawwa>m yang berarti seorang pemimpin. Dalam segi

makna mereka juga berbeda-berbeda dalam memahaminya. Kelebihan

laki-laki sebagai pemimpin oleh sebagian ada yang menjelaskan bersifat

fisik, mental, intelektual, peran keagamaan atau semuanya sekaligus.

Allah swt menjelaskan dengan alasan, (1) Allah telah memberikan

kelebihan laki-laki atas perempuan dan (2) laki-laki telah menafkahkan

dari hartanya untuk biaya hidup keluarga.

Berbeda dengan Yunahar, ia lebih sepakat dengan penjelasan yang

diberikan oleh Thaba’thaba’i yang menyatakan bahwa kelebihan laki-laki

atas perempuan terletak pada kekuatan intelektual yang menyebabkan dia

lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara

itu, kehidupan perempuan adalah kehidupan emosional yang dibangun di

atas sifat kelembutan dan kehalusan. Pendapat Yunahar juga berangkat

dari pendapat Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni> yang juga menyatakan bahwa

Page 98: Skripsi Hendro

81

kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga karena

kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga serta

kemampuan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarga.

Akan tetapi, anggapan Yunahar yang lebih kuat ialah laki-laki dan

perempuan mempunyai kemampuan potensi intelektual yang sama

bahkan bisa jadi kemampuan intelektual perumpuan lebih kuat dari laki-

laki. Masalah kecerdasan tergantung dari rangsangan syaraf yang

dilakukan terutama di waktu masih balita dan pendidikan yang didapat

dan lingkungan masing-masing.

Sejalan dengan itu, Husein juga menjelaskan bahwa rendahnya

tingkat intelektualitas perempuan akhirnya menjagal dan menghalangi

mereka untuk menduduki posisi-posisi kekuasan publik sehingga

perempuan dianggap sebagai subordinitas laki-laki. Hal ini, sama halnya

dengan kepemimpinan dalam keluarga. Karena tingkat intelektual

perempuan lebih lemah, maka mayoritas pemimpin dalam keluarga hanya

dipegang oleh laki-laki.

Kepemimpinan sendiri, dapat dibagi menjadi dua macam yakni

kepemimpinan formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi).

Kepemimpinan resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu

jabatan yang bersifat struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada

struktur organisasi secara resmi dalam suatu kelompok atau masyarakat.

Sementara itu, kepemimpinan informal adalah kepemimpinan karena

adanya pengakuan masyarakat akan kemampuan (capability) seseorang

Page 99: Skripsi Hendro

82

untuk menjalankan kepemimpinan yang bersifat fungsional. Dalam hal

ini, kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi sosial dalam suatu

interaksi sosial.9 Dari penjelasan itu, kepemimpinan keluarga dapat

dikelompokkan dalam kepemimpinan informal atau kepemimpinan tidak

resmi.

Keluarga adalah sebuah institusi yang dimaksudkan sebagai

wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan

sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang antara suami dan istri.

Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut sangat diperlukan

adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab.

Dalam pandangan sosiologis keluarga meliputi semua pihak yang

mempunyai hubungan darah atau keturunan, secara khusus keluarga

meliputi orang tua (bapak & ibu), dan anak-anak yang tinggal dalam

kesatuan sosial ekonomi. Keluarga yang terdiri dari ketiga unsur tersebut

mempunyai fungsi sebagai tempat pertama bagi proses sosialisasi dan

enkulturasi anak-anak yang dilahirkan dari ikatan pasangan suami dan

istri. Ikatan suami dan istri dalam keluarga merupakan kesetiaan cinta

kasih. Dari pengertian itu keluarga mempunyai peran sosial yang diikat

oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam bentuk pernikahan. Dalam

keluarga laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dengan

l9 Soerjono Soekanto, Sosio ogi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 319

Page 100: Skripsi Hendro

83

konsepsi istri adalah partner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Demikian

pula dalam kepemimpinan keluarga.10

Jika pengertian kepemimpinan ini dikaitkan dengan pengertian

keluarga, perempuan dan laki-laki mempunyai potensi yang sama dalam

memimpin keluarga. Artinya, adanya relasi yang seimbang dalam

menentukan keharmonisan keluarga. Karena dari diskursus

kepemimpinan, tidak satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau

seks tertentu sebagai pemilik dominan untuk menjadi seorang pemimpin.

Terlebih lagi bahwa kepemimpinan adalah suatu yang harus dilatih dan

diupayakan, bukan suatu yang melekat sejak lahir. Hal ini berarti bahwa

laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama mempunyai hak

dalam kepemimpinan keluarga. Hal ini tergantung pada yang berhasil

memperolehnya. Dalam pandangan Yunahar dan Husein kepemimpinan

ini dilihat dari segi kemampuan intelektualitas.

Selanjutnya, Yunahar berbeda dengan Husein dalam menafsirkan,

Yunahar menjelaskan bahwa Allah swt memberikan hak kepada suami

untuk melakukan tiga tahapan tindakan menghadapi istri yang nusyu>z},

yaitu menasihati, pisah ranjang, dan memukul. Andaikata suami bukan

pemimpin yang menempati posisi yang lebih tinggi dibanding istrinya

(dalam koteks keluarga) tentu tidak mungkin dia dapat melakukan tiga

tahapan tindakan tersebut.

i l10 Kartini Kartono, Psikolog Wanita Mengena Wanita sebagai Ibu dan Nenek,

(Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 215

Page 101: Skripsi Hendro

84

Kepemimpinan suami tersebut lebih jelas dalam bagian akhir ayat

yang menggunakan kata taat:

“Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”.

Menurut Yunahar penggunaan kata taat menunjukkan hubungan

suami dengan istri bersifat struktural. Jika bukan struktural, kata yang

digunakan bukan menaati, melainkan menyetujui atau menerima

pandapatnya. Dengan demikian, penafsiran Yunahar terhadap surat al-

Nisa>’ ayat 34, menekankan bahwa suamilah yang menjadi pemimpin

dalam keluarga. Kata taat dapat dipahami dalam arti kepatuhan, saat

suami mengajak untuk menjalankan perbuatan yang ma’ru>f, maka seorang

istri harus patuh pada suaminya.

Selain itu, Yunahar juga menjelaskan sebagaimana halnya istri,

tentu juga ada suami yang melakukan nusyu>z\. Dalam hal ini, apabila

dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian, penjelasan Yunahar

sejalan dengan Ima>m Ma>lik, bahwa istri boleh mengadukan suaminya

kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat

kepada suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang

kepada istri untuk taat pada suaminya, tetapi suami tetap memberikan

nafkah pada istri. Hakim juga membolehkan istri untuk pisah ranjang,

bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian

suami belum sadar, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan

kepada suami. Setelah pelaksanaan hukuman tesebut, sang suami belum

Page 102: Skripsi Hendro

85

memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian jika istri

menghendakinya. Pendapat tersebut menurut Yunahar seimbang dengan

sikap yang harus diambil oleh suami apabila menghadapi istri nusyuz

sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa>’: 34 sebelumnya. Hanya

bedanya, untuk khusus nusyu>z\ suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu

hakim (pengadilan), bukan sang istri sendiri.11

Akan tetapi, dalam penafsiran selanjutnya, masih ada pembelaan

terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Hal ini dapat dilihat

dari pendapat Yunahar bahwa kepemimpinan dalam keluarga bersifat

normatif, bukan kontekstual. Dengan penjelasan yang menunjukkan

bahwa kepemimpinan kontekstual dalam keluarga menyebabkan tidak

efektifnya kepemimpinan pada masa-masa tertentu yang dapat berakibat

pada kebuntuan rumah tangga. Sementara itu, secara normatif hak

kepemimpinan secara apriori kepada laki-laki. Dalam arti di saat ada

kebuntuan harus ada salah satu yang menjadi pemimpin untuk mengambil

keputusan yang dalam konteks ini adalah laki-laki.12

Dalam pandangan peneliti, Yunahar belum konsisten dalam

memaparkan masalah kepemimpinan dalam kelaurga. Misalnya, pada

awal penafsiran, ia berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai hak dalam memimpin asalkan kemampuan intelektualnya

lebih, akan tetapi pada penjelasan selanjutnya Yunahar masih

l r

l

11 Yunahar Ilyas, Feminisme da am Kajian Tafsir Al-Qu ’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 130

12 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender da am Al-Qur’an, hlm. 246

Page 103: Skripsi Hendro

86

menganggap kemampuan intelektual ini dari segi rasio dan rasa. Pada

penafsiran selanjutnya pun Yunahar masih bersifat normatif dalam

memahami ayat, misalnya saat ia menyatakan posisi laki-laki lebih tinggi

dari perempuan yang diperkuat dengan tiga tahapan menasehati, pisah

ranjang, dan memukulnya.

Berbeda dengan Yunahar, Husein menafsirkan bahwa

kepemimpinan keluarga harus dipahami sebagai teks yang bersifat

sosiologis dan kontekstual karena merujuk pada persoalan yang

berkembang dalam masyarakat. Posisi perempuan yang ditempatkan

sebagai bagian dari laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin dalam

keluarga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patrialki atau

peradaban laki-laki. Pada peradaban ini, ketergantungan perempuan

terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Oleh

karena itu, redaksi ayat tersebut juga datang dalam bentuk narasi (i’tibar)

yang dalam disiplin ilmi fiqih hanya sebatas pemberitaan yang tidak

mengindikasikan suatu ajaran perintah agama. Hal ini karena penafsiran-

penafsiran yang mengatakan bahwa kepemimpinan dalam keluarga hanya

hak laki-laki bukan hak perempuan adalah interpertasi yang sarat dengan

muatan sosio-politik saat itu.

Menurut Husein, apabila ayat ini dipahami secara sosiologis dan

kontekstual maka terbuka kemungkinan terjadinya proses perubahan.

Dengan kata lain, perempuan sebagai subordinat laki-laki juga

memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat

Page 104: Skripsi Hendro

87

kebudayaannya sudah berubah. Dari penjelasan ini dapat dipahami Husein

lebih kontekstual dalam menjelaskan ayat masalah kepemimpinan

keluaraga.

Selain itu, Husein juga menjelaskan masalah tanggung jawab

dalam rumah tangga. Menurutnya, bahwa pada dasarnya seorang istri

dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi

kebutuhan hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri

dan rumah tangga yang menjadi kebutuhan pokok adalah kewajiban

suami untuk memenuhinya. Jika suami tidak memberikannya, maka istri

berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa izin suami.13

Dari perbedaan itu, ada penafsiran yang mempunyai muatan yang

sama antara Yunahar dan Husein. Hal ini terlihat pada saat Yunahar

mengungkapkan bahwa landasan yang paling penting dalam sebuah

keluarga adalah musyawarah. Menurutnya, suami hendaklah memimpin

istrinya dengan landasan al-mu’a>syarah bi al-ma’ru>f dan penuh

kesabaran, sebagaimana yang diperintah oleh Allah swt. Husein juga

menjelaskan hal yang sama yaitu prinsip musyawarah yang terpenting

dalam relasi sebuah keluarga.

Yunahar berpandangan bahwa sekalipun laki-laki secara normatif

diberi hak memimpin istrinya, tetapi dia tidak boleh menegakkan

kepemimpinan dengan otoriter atau dengan mengabaikan kemauan dan

pertimbangan istri. Sependapat dengan itu, Husein menjelaskan persoalan

fl13 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Re eksi, hlm. 168-169

Page 105: Skripsi Hendro

88

yang paling signifikan, yaitu cara mewujudkan prinsip-prinsip agama,

kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia dalam relasi kehidupan laki-laki

dan perempuan. Permasalahan ini tergambar dengan jelas pada saat kita

membaca relasi suami-istri, seperti dijelaskan dengan kata-kata bi al-

ma’ru>f (dengan cara yang baik atau patut) dalam firman Allah swt.

Antara Yunahar dan Husein sama-sama berangkat dari penjelasan surat

al-Nisa>’ ayat 19.14

Di pihak lain, dilihat dari aplikasi penafsiran, kedua tokoh ini

sangat terlihat memiliki perbedaan. Yunahar masih sebatas masuk dalam

ruang kajian, belum diwujudkan pada praksis gerakan. Sampai laporan

penelitian ini ditulis belum ditemukan data yang menunjukkan bahwa

Yunahar termasuk dalam aktivis perempuan. Ia baru dapat dikatakan

sebagai ilmuan yang peduli terhadap permasalah perempuan.

Sementara itu, Husein sudah masuk pada aplikasi gerakan. Sampai

laporan ini ditulis Husein masih terus aktif dalam gerakan-gerakan

perempuan. Hal ini dapat dilihat dari perjuangannya dalam mendirikan

Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan

perempuan. Kontribusi yang tampak adalah pengaruh pemikirannya

berupa model pembacaan perspektif gender yang selama ini masih jarang

diperkenalkan di wilayah pesantren.

l l

i

14 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender da am A -Qur’an, hlm.247 dan Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleks , hlm. 28

Page 106: Skripsi Hendro

89

Dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa antara Yunahar dan

Husein yang menggunakan metode panafsiran yang sama, ternyata

mempunyai produk hasil penafsiran yang berbeda dalam menafsirkan

tentang kepemimpinan keluarga.

B. Relevansi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad dengan Kondisi Indonesia Sekarang

Instabilitas politik yang terjadi setelah reformasi telah melahirkan

kelompok Muslim liberal dan fundamentalis.15 Setelahnya jatuhnya rezim

otoriter Orde Baru di tahun 1998, pertarungan identitas keagamaan,

khususnya Islam, muncul secara cepat. Presiden Habibie, yang menggantikan

Soeharto, memberikan kebebasan pers. Penerusnya, Abdurrahman Wahid,

melanjutkan usaha menjaga kebebasan berekspresi. Kondisi ini sangat jelas

terlihat dari banyaknya idiom dan simbol politik Islam yang dipakai oleh

beberapa kelompok masyarakat.

Selain simbol politik, transisi kekuasaan itu juga memiliki dampak

terhadap fragmentasi kepentingan umat Islam dan mobilisasi gerakan

keagamaan. Masyarakat menciptakan ruang publik tanpa ada rasa takut dari

ancaman penguasa. Banyak kelompok baru lahir dengan orientasi yang

beragam serta mengusung beraneka aliran pemikiran Islam. Masyarakat

sangat mungkin terlibat dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan pilihan

l l j li15 Suciati, Mempertemukan Is am Libera (JIL) dengan Ma e s Tarjih Muhammadiyah,

(Yogyakarta: CV Arti Bima Intara, 2006), hlm. 1

Page 107: Skripsi Hendro

90

akademis dan religius mereka. Misalnya, dari kalangan Muhammadiyah

muncul Yunahar Ilyas yang peduli dengan permasalahan perempuan,

sedangkan dari kalangan Nahdhatul Ulama muncul Husein Muhammad yang

juga fokus pada masalah perempuan yang berkembang di masyarakat

Indonesia.

Reformasi telah memberikan wadah bagi para generasi Muslim untuk

melahirkan entitas changing santri atau metamorfosis santri16 sebagai ganti

dari entitas santri tradisional dan modern yang pada level tertentu diisi oleh

kalangan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Secara sederhana, alam

santri ini dibangun oleh dua aliran pemikiran Islam yang saling kontradiktif,

yaitu liberal dan fundamentalis. Perbedaan tajam antara kelompok modernis

dan tradisionalis pada tahun 70-an sampai 90-an dilanjutkan oleh kelompok

ini. Bahkan, hubungan dan perdebatan antara dua kelompok itu berlangsung

semakin intensif. Kelompok pertama tidak hanya menuntut kontekstualisasi

fikih agar mampu menjawab persoalan sosial, tetapi juga pendekatan modern

untuk memahami doktrin Islam secara kritis, seperti hak-hak non Muslim,

kebebasan berpikir, dan pluralisme.

Michael Feener menyebut kelompok ini next generation fiqh atau

generasi fikih lanjut karena sebagian besar aktivis yang terlibat adalah

generasi baru ilmuwan dan aktivis. Keberadaan mereka telah memberikan

I

16 Istilah santri baru (jenis baru santri) untuk menyebut fenomena santri kontra tidak sepenuhnya tepat. Sedangkan santri kota yang meliputi mahasiswa ilmu eksakta dan menyerukan purifikasi serta implementasi syariat Islam dapat disebut sebagai santri baru. Sebaliknya, mereka yang berasal dari NU dan Muhammadiyah dan terlibat dalam tema diskusi dekonstruksi dan liberalisasi adalah metamorfosis santri. Nur Khalik Ridwan, Santri Baru; Pemetaan, Wacana deologi, dan Kritik (Yogyakarta: Gerigi Pustaka, 2004).

Page 108: Skripsi Hendro

91

warna, dan secara signifikan mempengaruhi, diskursus hukum Islam di

Indonesia. Penampilan mereka pada ranah publik Indonesia juga memiliki

peran penting dalam menentukan masa depan hukum keluarga Muslim.

Kelompok liberal garis muda, di antaranya Jaringan Islam Liberal

(JIL) dapat dijadikan sebagai contoh. Jaringan ini menawarkan pembacaan

baru terhadap teks-teks keagamaan dengan memakai pendekatan post-

tradisionalis, seperti dekonstruksi-rekonstruksi. JIL juga mengkampanyekan

pemahaman lokal dan plural terhadap doktrin Islam.17

Di samping NU, generasi muda yang tergabung dalam

Muhammadiyah juga menyuarakan agenda perubahan atas cara pandang

Muhammadiyah terhadap reformasi modern. Diinspirasi oleh A. Syafii

Maarif, Kuntowijoyo, dan Moeslim Abdurrahman, mereka melihat konsep

Islam modern yang elitis dan kecenderungan ideologisasi dan politisasi Islam

yang mengarah terhadap tersebarnya konservatisme reaksioner. Kelompok

intelektual muda ini menyebut dirinya dengan Jaringan Intelektual Muda

Muhammadiyah (JIMM). JIMM juga menuntut Muhammadiyah untuk

mengakomodasi tradisi lokal dan liberalisasi, sebagai ganti purifikasi,

melawan hegemoni kekuasaan, serta terlibat dalam gerakan sosial.

Para intelektual Muslim progresif tidak setuju dengan ide bahwa

Islam merupakan agama yang statis, yang ajarannya hanya didasarkan pada

praktik generasi pertama Islam. Bagi mereka, interpretasi kreatif terhadap

I l l t

I

17 Khamami Zada, s am Radika : Pergula an Ormas-Ormas Islam Garis Keras di ndonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 97.

Page 109: Skripsi Hendro

92

sumber doktrin Islam menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, pendekatan

humanitarian dan teori sosial mutlak diperlukan. Mereka juga mengusahakan

untuk membuat kelompok yang selalu mempromosikan nilai-nilai humanis

dalam Islam. Seperti yang tersebut di atas, kelompok yang paling terkenal

dalam arus ini adalah JIL yang didirikan di Jakarta Timur pada 8 Maret 2001.

Ahmad Bunyan Wahib menemukan dua faktor kunci yang

berkontribusi terhadap pendirian jaringan ini. Pertama, faktor internal yang

berupa kondisi masyarakat Indonesia yang sudah cukup akrab dengan ide

liberalisasi pemikiran Islam sejak awal tahun 70-an. Kedua, faktor eksternal

yang meliputi kondisi global, yaitu perkembangan Islam liberal di dunia

Muslim dan perkembangan ilmu-ilmu sosial serta dukungan finansial dari

organisasi donor internasional, seperti The Asia Foundation.

Selain JIL dan JIMM, terdapat ratusan lebih Non Governmental

Organisations (NGO) di seluruh Indonesia yang bergerak dalam kajian kritis

atas ajaran Islam. Mereka tidak hanya melakukan studi dan penelitian, tetapi

juga melakukan aktivitas pemberdayaan dan pendampingan masyarakat.

Sebagai contoh, sebuah organisasi bernama Lembaga Kajian Islam dan Sosial

(LKiS) yang berdiri di awal tahun 90-an di Yogyakarta, berkiprah dalam

penerbitan, pemberdayaan masyarakat, seperti penelitian dan pendidikan.

Huruf non kapital “i” pada kata islam dimaksudkan untuk merujuk islam

dengan pesan universal, toleran, dan humanis. Aktivis JIL dan LKiS adalah

generasi baru ilmuwan berbasis pesantren. Mayoritas mereka berafiliasi

Page 110: Skripsi Hendro

93

dengan NU, organisasi masyarakat Muslim terbesar di Indonesia, dan

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Di luar tema liberalisasi, sejumlah organisasi di luar pesantren,

universitas misalnya, juga memberikan perhatian terhadap persoalan gender

dan kekerasan dalam rumah tangga. Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, sebagai contoh, sangat aktif dalam mengkampanyekan

konsep kesetaraan gender melalui peninjauan ulang terhadap penafsiran ayat

al-Qur’an tentang hak-hak dan keadilan dalam keluarga dan persoalan lain

yang terkait dengan isu gender dalam Islam. Pusat Studi Wanita ini juga

mengadakan pelatihan bagi para hakim agama, pimpinan keagamaan,

pimpinan partai Islam, pimpinan ormas Islam, dan guru-guru madrasah untuk

meingkatkan kesadaran mereka terhadap keadilan gender, hak asasi manusia,

dan demokrasi.18

Masih di Yogyakarta, organisasi lain yang bergerak di bidang

penguatan gender adalah Pusat Studi Islam (PSI-UII) Universitas Islam

Indonesia. Sekarang, PSI-UII sedang mengembangkan program penguatan

pemahaman dan sikap keagamaan yang adil gender dalam keluarga bekerja

sama dengan Cordaid, organisasi donor berbasis di Belanda.

Gerakan liberalisasi juga disuarakan oleh tim Paramadina. Paramadina

merupakan institusi akademik berbasis wakaf yang diprakarsai oleh

Nurcholish Madjid, salah satu intelektual yang mempromosikan gagasan

18 PSW UIN Sunan Kalijaga, “Draf Profil Pusat Studi Wanita (Center for Women’s

Studies) UIN Sunan Kalijaga”, (Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2009)

Page 111: Skripsi Hendro

94

pembaharuan pemikiran Islam di awal tahun 1970-an. Tim ini terdiri atas

intelektual muda dan penulis kajian Islam. Komaruddin Hidayat, Zainun

Kamal, Mun’im A. Sirry dan Zuhairi Misrawi adalah orang kunci dalam tim

tersebut. Mereka gelisah dengan realitas fikih yang telah menjadi konsep

statis dan telah digunakan untuk membenarkan rasa kebencian terhadap

penganut agama lain. Mereka mengusahakan rekonseptualisasi fikih yang

lebih dinamis, multikultural, dan egalitarian. Sebagai hasil, hal ini didukung

oleh yayasan wakaf Paramadina dan the Asia Foundation, mereka

menerbitkan sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama: Membangun

Masyarakat Inklusif-Pluralis pada tahun 2004.19

Apabila melihat realitas yang ada di masyarakat Indonesia sekarang

ini, dimana transformasi sosial bergerak cukup cepat, laju modernitas dan

globalisasi yang melahirkan isu-isu demokrasi dan arus pemikiran baru yang

memberikan tantangan baru seperti dijelaskan di atas cukup memberikan

informasi, bahwa ruang-ruang kesetaraan sudah terbuka. Misalnya,

munculnya gerakan-gerakan pemberdayaan pada perempuan, sangat

memberikan ruang kebebasan untuk pengembangan intelektual. Di antaranya

berupa pemberian kesempatan luas bagi perempuan untuk mengenyam

pendidikan tinggi, sejajar dengan laki-laki, atau lebih khusus lagi dengan

pernah terpilihnya Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia.

: t -19 Norcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyaraka Inklusif

Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & TAF, 2004)

Page 112: Skripsi Hendro

95

Sementara itu, realitas yang terjadi di masyarakat kalangan bawah

masih menunjukkan peran dan kemampuan perempuan dianggap sebagai

peran kedua seperti dalam kepemimpinan keluarga. Padahal, jika melihat arus

perkembangan pemikiran di Indonesia peran dan kemampuan perempuan

tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam keadaan yang demikian perempuan

tidak dapat dianggap memiliki kekurangan pada akalnya, sehingga tidak

diperbolehkan menjadi pemimpin dalam keluarga.20 Banyak jabatan-jabatan

strategis diduduki oleh perempuan, mulai dari jabatan hakim pengadilan,

perdana menteri, presiden, dan jabatan lainnya. Semua itu, seharusnya

mendapatkan respons yang positif, karena ternyata perempuan yang

mendapatkan jabatan itu mampu melaksanakan amanah dengan baik dan

bertanggung jawab. Artinya, anggapan laki-laki mempunyai kemampuan

yang lebih apabila dibandingkan dengan perempuan dapat terbantahkan oleh

fakta sekarang ini.

Dalam konteks pembahasan kepemimpinan keluarga yang ditawarkan

oleh Yunahar dan Husein, pandangan Yunahar kurang relevan. Pada awal

penafsiran menurut Yunahar kepemimpinan keluarga dapat dijalankan oleh

laki-laki atau perempuan, asalkan mempunyai kelebihan dalam kapasitas

intelektual. Akan tetapi pada penjelasan selanjutnya Yunahar menekankan

kepemimpinan secara apriori adalah laki-laki yang didasarkan pada

penjelasan tahapan suami terhadap istri disaat nusyuz. Berbeda dengan

ji i i20 Hamin Ilyas, dkk. Perempuan Tertindas?; Ka an Hadis-Had s “Misog nis”,

(Yogyakarta: PSW UIN Suka & The Ford Foundation Jakarta, 2003), hlm. 39

Page 113: Skripsi Hendro

96

Yunahar, pandangan Husein sangat relevan untuk menjadi pedoman bagi

intelektual Muslim karena dalam suatu peraturan undang-undang, cukup

mengakomodasi segala potensi dan kreativitas kaum perempuan, sebagai

makhluk yang mempunyai kapasitas intelektual. Apalagi apabila kita lihat

dari penjelasan sebelumnya, munculnya arus pemikiran baru di Indonesia

merupakan sebagai bentuk terbukanya ruang publik bagi perempuan untuk

mengembangkan kemampuan intelektualnya.

Dalam kajian sosiologi, berkembangnya pemikiran kepemimpinan

keluarga karena adanya konsep strukturalistik. Pandangan ini kemungkinan

besar dipengaruhi oleh strukturalisme secara umum, khususnya dalam kajian

sosiologi politik. Oleh karana itu, beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam

kepemimpinan keluarga adalah mampu bersikap adil, mempunyai

pengetahuan yang luas, dan mampu menunjukkan kemampuannya dalam hal

kesehatan jasmani dan rohani. Kepemimpinan keluarga berbeda dengan

kepemimpian politik, karena yang dimaksudkan bukan kepemimpinan dalam

arti kekuasaan, melainkan dipahami sebagai amanat untuk menegakkan

kebaikan, mengarahkan dan mendidik anggota keluarga.21

Masalah relasi perempuan dan laki-laki telah banyak disebutkan

dalam Al-Qur’an. Dijelaskan laki-laki dan perempuan adalah bagian dari

bangsa manusia yang digambarkan menjadi bangsa yang satu,22 sebagai

l

21 MF Zenrif, “Kepemimpinan Keluarga dalam Kajian Konstekstual” dalam Musawa, Jurna Studi Gender dan Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1, 2004) hlm. 53

22 Q.S. Al-Baqarah:213

Page 114: Skripsi Hendro

97

keturunan Adam digambarkan menjadi orang-orang yang mulia oleh Allah

swt.23 Dengan demikian, menurut Al-Qur’an perempuan dan laki-laki setara

dengan ukuran kemuliaan di antara mereka yang bertaqwa.24

Al-Qur’an juga menjelaskan kejiwaan wanita yang kompleks, di

dalamnya terdapat kisah tentang Zulaikha yang agresif, istri Fir’aun yang

shaleh, ratu Balqis sebagai seorang pengusa dan kisah istri Luth yang

durhaka. Berangkat dari itu, perempuan memiliki otonomi di dunia,

sebagaimana laki-laki, perempuan juga merupakan khila>fah di dunia,

termasuk dalam keluarga.

Sejalan dengan itu, menurut Yunahar adanya pembedaan fisik antara

laki-laki dan perempuan bukan faktor penting dalam pemilihan siapa yang

menjadi pemimpin dalam keluarga. Hal ini karena menurut Yunahar prinsip

musyawarah yang penting dalam kepemimpinan keluarga. Akan tetapi,

adanya pernyataan Yunahar, bahwa ia lebih sepakat dengan normativitas,

yakni menganggap kepemimpinan keluarga adalah laki-laki yang memegang

peran dalam pengambilan keputusan, kurang relavan dengan adanya

penjelasan bahwa perempuan mempunyai hak setara dengan laki-laki. Dari

penjelasannya itu, Yunahar masih menganggap perempuan adalah

subordinitas laki-laki. Padahal terbukanya ruang-ruang demokrasi tidak

menutup kemungkinan akan adanya relasi dalam sebuah kesatuan keluarga.

23 Q.S. Al-Isra>’:70 24 Q.S. Al-H{ujara>t:13

Page 115: Skripsi Hendro

98

Berbeda dengan Husein, penjelasan tentang kelebihan fisik,

menimbulkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Pernyataan Husein

kiranya cukup relevan karena zaman sudah berkembang. Perempuan sudah

semakin banyak yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang

selama ini dipandang hanya menjadi milik laki-laki. Ditambah dengan

banyaknya lembaga-lembaga yang konsen dengan pemberdayaan perempuan,

secara tidak langsung proses itu memberikan ruang interaksi bagi perempuan

untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Dari penjelasan sebelumnya, maka pandangan serta penafsiran

Yunahar kurang mempuayai relevansi dengan masyarakat Indonesia,

sedangkan penafsiran Husein sangat memiliki relevansi dengan konteks

sosio-kultur di Indonesia. Hal ini karena masyarakat Indonesia yang telah

memberikan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh akses yang

sama dalam hak-hak dasar kepada laki-laki dan perempuan. Pelibatan yang

seimbang dalam memperoleh sumber daya, keterlibatan dalam pengambilan

keputusan, merupakan bentuk keadilan dan kesetaraan laki-laki dengan

perempuan dalam relasi memimpin keluarga.

Dalam konteks realitasnya, penafsiran Yunahar masih bersifat kajian

saja. Ia hanya memposisikan dirinya sebagai ilmuan yang peduli terhadap isu-

isu perempuan. Berbeda dengan Husein yang telah berjalan dengan

konsepnya untuk masuk dalam wilayah pemberdayaan perempuan. Artinya,

relevasi konsep kepemimpinan keluarga Yunahar perlu di perkenalkan

terhadap masyarakat kalangan bawah, seperti yang dijelaskan sebelumnya

Page 116: Skripsi Hendro

99

bahwa mereka masih memerlukan ruang-ruang untuk berinteraksi secara

sama. Husein sudah berpartisipasi aktif dalam memberdayakan masyarakat

kalangan bawah.

Kalau konsep itu memiliki pesan yang sampai kepada orang yang

belum mengetahuinya, maka akan menjadi poin penting dalam perkembangan

pola pikir masayarakat Inodonesia. Konsep kepemimpinan keluarga yang

ditawarkan oleh Yunahar dan Husein, seharusnya bisa masuk ke seluruh

lapisan masyarakat, karena memang kalau kita melihat kondisi Indonesia

sekarang ini, masyarakatlah yang perlu kita pahamkan. Dengan apa seperti

itu, konsep kepemimpinan dalam keluarga sejalan dengan perkembangan

dengan masyarakat Indonesia.

Page 117: Skripsi Hendro

100

Dari perbandingan pemikiran antara Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad dapat disimpulkan dengan tabel persamaan dan perbedaan

sebagai berikut.

TABEL PERSAMAAN

Yunahar Ilyas Husein Muhammad

Bentuk tafsir bi al-ra’yi Bentuk tafsir bi al-ra’yi

Metode tafsir maud}u>’i> Metode tafsir maud}u>’i>

Kontekstual Kontekstual

Laki-laki dan perempuan mempunyai

hak yang sama dalam kepemimpinan

asalkan mempunyai kemampuan

intelektual

Laki-laki dan Perempuan mempunyai

hak yang sama dalam kepemimpinan

asalkan mempunyai kemampuan

intelektual

Nilai Musyawarah menjadi hal penting

dalam kepemimpinan keluarga

Nilai Musyawarah menjadi hal penting

dalam kepemimpinan keluarga

Laki-laki dan perempuan setara

(gender)

Laki-laki dan perempuan setara

(gender)

TABEL PERBEDAAN

Yunahar Ilyas Husein Muhammad

Bercorak budaya kemasyarakatan Bercorak fiqih atau hukum

Menjelaskan tentang khuluq Relasi suami dan istri

Ilmuan yang peduli dengan masalah

gender

Aktivis pemberdayaan perempuan

Normatif: harus ada salah satu yang

mengambil keputusan dalam perbedaan

pendapat (laki-laki)

Dalam perbedaan pendapat,

penyelesaian dengan cara

bermusyawarah

Page 118: Skripsi Hendro

101

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis terhadap pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein

Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga yang terdapat dalam karya

tulis mereka ditemukan hal-hal berikut.

1. Penafsiran Yunahar Ilyas termasuk dalam bentuk tafsir bi al-ra’yi, dengan

menggunakan metode tafsir bi al-maud}u>’i>. Dari segi corak penafsiran, ia

lebih banyak melihat permasalahan-permasalah masyarakat sehingga dapat

dimasukkan dalam corak budaya kemasyarakatan. Sementara penafsiran

Husein Muhammad juga masuk dalam bentuk tafsir bi al-ra’yi, yang

memakai metode tafsir bi al-maud}u>’i>, sedangkan corak penafsirannya

bersifat fiqih atau hukum karena dalam menafsirakan ia lebih banyak

mengangkat permasalahan hukum.

2. Yunahar dan Husein mencoba memaparkan secara rasional yaitu dalam

menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Keduanya

mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu pada awal penafsiran Yunahar

berpandangan siapa yang mempunyai kemampuan intelektual lebih dapat

memimpin keluarga, tetapi pada penafsiran selanjutnya Yunahar

mengatakan kepemimpinan keluarga bersifat normative bukan kontekstual,

jadinya secara apriori kepemimpinan ada pada laki-laki. Berdeda dengan

Yunahar, Husein lebih melihat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai

101

Page 119: Skripsi Hendro

102

hak dalam kepemimpinan keluarga asalkan kemampuan intelektualnya

lebih.

3. Yunahar dan Husein Sama-sama menjadikan prinsip musyawarah sebagai

poin penting dalam hubungan keluarga, dan sebagai bentuk hubungan relasi

suami dan istri. Akan tetapi mereka berbeda dalam penekanan

kepemimpinan dalam kelaurga. Yunahar melihat harus ada salah satu yang

menjadi pemimpin agar tidak terjadi kebuntuan. Sementara itu, Husein

melihat bahwa keluarga adalah sebuah institusi bersama, oleh karena itu

maka diselesaikan bersama.

4. Yunahar dan Husein mempunyai metode yang sama dalam menafsirkan

ayat tentang kepemimpinan keluarga. Akan tetapi, dalam pendekatan

penafsiran keduanya berbeda sehingga memunculkan corak penafsiran yang

berbeda. Dalam ranah aplikasi pun mereka cukup berbeda. Yunahar hanya

dapat dikatakan sebagai ilmuan yang peduli terhadap permasalahan gender,

sedangkan Husein sudah ikut terlibat sebagai aktivis yang konsen dalam

masalah gender.

5. Dalam konteks kekinian, penafsiran Yunahar dan Husein tentang

kepemimpinan keluarga cukup memberikan khasanah pemikiran peradaban

Islam, karena keduanya menafsirkan dengan melihat konteks sosial budaya

masyarakat yang berkembang tempat mereka hidup. Akan tetapi penafsiran

Yunahar kurang relevan, karena ia masih menafsirkan secara normatif,

berbeda dengan Yunahar, penafsiran Husein cukup relevan karena ia lebih

kontekstual. Dengan terbukanya ruang-ruang demokorasi di Indonesia

Page 120: Skripsi Hendro

103

cukup memberikan peluang besar untuk menerapkan konsep kepemimpinan

dalam keluarga pada setiap lapisan masyarakat, karena laki-laki dan

perempuan mempunyai hak yang sama.

B. Saran

Mempertimbangkan hasil kajian terhadap penafsiran Yunahar Ilyas dan

Husein Muhammad yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai

berikut.

1. Mengingat yang digambarkan dalam skripsi ini hanyalah sedikit dari

pemikiran Yunahar dan Husein, karya ini bermaksud dan diharapkan

sebagai salah satu usaha menelusuri dari pemikiran keduanya, sebagai

seorang pemikir atau sekaligus menjadi praktisi dalam bidang

pemberdayaan perempuan.

2. Perlu dilakukan penelitian lapangan tentang sejauh mana terjadi

kesalahpahaman terhadap ayat-ayat tentang kesetaraan gender dalam

masyarakat, dan bagaimana dampaknya dalam perilaku sosial masyarakat.

Dalam hal ini adalah kepemimpinan dalam keluarga, apakah adanya

kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh pemahaman yang keliru

terhadap surat al-Nisa>’: 34.

3. Karya tulis ini merupakan usaha maksimal, akan tetapi masih terdapat

banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk perbaikan karya

penyusun selanjutnya, kritik, saran, pikiran dan masukan dari pembaca

sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat. Amin…

Page 121: Skripsi Hendro

104

DAFTAR PUSTAKA

A. Gani, Bustama dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1990.

Al-Akkad, Abbas Mamoud. Wanita dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i, Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Alfarisi, M. Zaka dan H.A.A Dahlan (ed.) A babun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Bandung: Diponegoro, 2000.

s

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis, Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan paraMufasir Kontemporer. Bandung: Nuansa, 2005.

Baker, Anton & Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1990.

Burhanuddin, Jajat & Oman Fathurahman (ed.) Tantangan Perempuan Islam; Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Engineer, Asgar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam (terj.) Farid Wajidi dan Cici Farkha Assedar. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.

Engineer, Asgar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan (terj.) Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Echol, John M & Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1983.

Fakih, Mansor. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Gadamer, Hans George. Philosophical Hermeneutics, (terj.) David E. Linge. Barkeley: University of California Press, 1976

Goldziher, Ignas. Mazhab Tafsir dari Klasik hingga Modern (terj.) M Alaika Salamullah, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.

Ghofur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks. Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.

104

Page 122: Skripsi Hendro

105

Hendri, Yuldi. “Wali Nikah Menurut Husen Muhammad (Analisis Kritis Penafsiran Husein Muhammad dalam Konsep Wali Nikah)”, Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2009.

Hanifah. “Paradigma Tafsir Feminis; Studi Komparasi Pemikiran Amina Wadud dan Asgar Ali Engineer”. Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2006.

Hasim, Syafiq (edt). Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Jakarta: TAF Indonesia.

Ilyas Hamim, dkk. Perempuan Tertindas; Kajian-kajian Hadis Misoginis. Yogyakarta: PSW UIN Yk dan The Ford Foundation, 2003.

Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an K asik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

l

. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an; Studi Pemikiran para Mufasir. Yogyakarta: Labda Press, 2006.

. Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an. Yogyakarta: Labda Press, 2007.

. “Al-Qur’an al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi

Penafsiran”, Makalah pidato pengukuhan guru besar di Universitas Muhammdiyah Yogyakarta, pada 18 November 2008.

. “Kepemimpinan dalam Keluarga (2)”. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah:1-15 Maret 2006.

Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Kartono, Kartini. Psikologi Wanita Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: al-Bayan, 1995.

Katsoff, Louis. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemaryono. Yogyakarta: Tiara Wacana,1987.

Khan, Nighat dan Kamla Bhasin. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya terj. S. Herlina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Madjid, Nurcholish dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & TAF, 2004.

Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001.

Page 123: Skripsi Hendro

106

. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta, LKiS, 2004.

. Spiritualitas Kemanusiaan (Perspektif Islam Pesantren). Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006.

Moghisi, Haideh. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (terj.) Maufur. Yogyakarta: LkiS, 2004.

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: NUN Pustaka, 2003.

Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki; Telaah Kritis Penafsiran Dekonstruktif Rifaat Hasan. Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986.

PSW UIN Suka. Musawa; Jurnal Studi Gender dan Islam. Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga. Vol 3, no 1. Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2004.

PSW UIN Sunan Kalijaga, “Draf Profil Pusat Studi Wanita (Center for Women’s Studies) UIN Sunan Kalijaga”. Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2009.

Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Masnur & Darmanhuri M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (terj.) Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Ridwan, Nur Khalik. Santri Baru; Pemetaan, Wacana Ideologi, dan Kritik. Yogyakarta: Gerigi Pustaka, 2004.

Rochmaniyah, Inayah. “Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi Metodologi Asghar Ali Angineer”. Yogyakarta: Tesis PS UGM, 2001.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan, 1992.

. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.

Sholeh Khudori, dkk. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Cet ke-1. Penerbit Jendela. 2003.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Page 124: Skripsi Hendro

107

Suciati, Mempertemukan Islam Liberal (JIL) dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: CV Arti Bima Intara, 2006.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta: CV Rajawali, 1994.

Syamsuddin, Sahiron dkk. Hermenetika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Futuh Printika, 2003.

Wahab, Wahib. Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Feminisme. Jurnal IAIN Sunan Ampel. Dikutip tanggal 17 Jan 2009.

Nuryanah, Sinta dkk. Wajah Baru Relasi Suami-Istri; Telaah Kitab ’Uqud Al-Lujjayn. Yogyakarta: LkiS, 2001.

Wadud, Amina. Wanita di dalam Al-qur’an, (terj) Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1992.

Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.

Page 125: Skripsi Hendro

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hendro Sucipto

TTL : Lampung, 22 Juni 1986

Alamat : Jl. Raya Pekalongan, Desa Siraman, Dusun V

RT.17 RW.08, Pekalongan, LamTim, Lampung

Telp./Hp : 081392244646

Alamat Jogja : PP Budi Mulia, Perum Banteng 3

Jl. Kaliurang Km 8, Sleman, Yogyakarta

Ayah : Slamet

Ibu : Tumirah

Pekerjaan : Petani/Wiraswata

Riwayat Pendidikan

Pendidikan Formal

1. TK ABA Pekalongan, Lampung tahun 1990-1992

2. MI Muhammadiyah I Pekalongan, Lampung tahun 1992-1998

3. SLTP N 4 Kota Metro, Lampung, tahun 1998-2001

4. SMA Muhammadiyah I Pekalongan, Lampung tahun 2001-2004

5. Fak. Ushuluddin/Jur. Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun

2005-sekarang

Pendidikan Non Formal

Pondok Pesantren BUDI MULIA, Yogyakarta (2007 – Sekarang)

Pengalaman Organisasi

1. Sekretaris Umum PK IMM Ushuluddin UIN Suka, tahun 2006-2007

2. Direktur Eksekutif Pusat Studi Gender PC IMM Kab. Sleman, 2007-2008

3. Senat Santri Mahasiswa PP Budi Mulia Yogyakarta, tahun 2007-2009

4. Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis, tahun 2007-2008

5. Ketua Umum PC IMM Kab. Sleman, tahun 2008-2009

108