SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi...

100
RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN-KOKBAUN: SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS IMAN KRISTIANI SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Program Studi Ilmu Teologi Filsafat Agama Katolik Oleh KORNELIS TILIS NPM: 16. 75. 5906 SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO 2020

Transcript of SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi...

Page 1: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN-KOKBAUN: SEBUAH

KAJIAN TEOLOGIS IMAN KRISTIANI

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat

Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat

Agama Katolik

Oleh

KORNELIS TILIS

NPM: 16. 75. 5906

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

2020

Page 2: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

ii

Page 3: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

iii

Page 4: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

iv

Page 5: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

v

KATA PENGANTAR

Kebudayaan merupakan sebuah tradisi yang melekat dalam diri masyarakat

dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut dapat

diekspresikan dalam pelbagai bentuk praktik hidup masyarakat. Ritus-ritus yang

ditemukan dalam setiap masyarakat merupakan warisan dari kebudayaan itu sendiri.

Ritus-ritus yang dipraktikan dalam masyarakat merupakan hasil usaha manusia yang

dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan dan kesukaran-kesukaran hidup, guna

mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

tentu selalu berusaha untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi ritus-ritus yang

telah diwariskan leluhur mereka.

Masyarakat suku Lopo Metan yang ada di wilayah Kokbaun pun memiliki

tradisi-tradisi yang melekat dalam keseharian hidup mereka dan hingga saat ini pun

masih dipraktikkan. Salah satu tradisi yang masih dipraktikkan oleh masyarakat suku

Lopo Metan saat ini ialah ritus fua pah. Bagi masyarakat suku Lopo Metan, ritus fua

pah dipahami sebagai sebuah tradisi yang khas dalam memahami alam khususnya

dalam kebudayaan pertanian tradisional dan melalui tradisi ini, mereka melakukan

penyembahan terhadap Roh alam dan leluhur karena mereka yakin bahwa melalui

ritus ini mereka akan memperoleh keuntungan serta akan dijauhkan dari segala

malapetaka. Hal ini terjadi karena masyarakat suku Lopo Metan dalam kehidupannya

masih bergantung pada alam sebagai sumber memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pandangan mereka terhadap alam sangat kental dan alam dilihat sebagai suatu kosmos

yang perlu disembah dan dihormati.

Dewasa ini, pelbagai pemahaman serta cara pandang manusia terhadap praktik

ritus kebudayaan khususnya seperti ritus fua pah dalam masyarakat suku Lopo Metan

dilihat sebagai sebuah praktik penyembahan berhala. Namun sebenarnya di balik ritus

Page 6: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

vi

Fua Pah tersebut, terdapat nilai-nilai luhur yang turut membentuk cara hidup dan pola

tingkah laku serta relasi yang baik antar sesama dalam masyarakat maupun dengan

Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh alam. Nilai-nilai itu antara lain, persatuan,

kerukunan, keharmonisan, kesejahteraan, kesetiaan dan ketaatan. Nilai-nilai ini pun

terungkap dalam ajaran iman Kristiani. Sebagai umat Kristiani, masyarakat suku Lopo

Metan pun menghidupi nilai-nilai tersebut seperti kebenaran, kekudusan, cinta kasih,

kesetiaan dan ketaatan. Nilai-nilai tersebut mendorong masyarakat suku Lopo Metan

untuk mengakui bahwa Allah sungguh hadir sebagai pribadi atau perantara yang

memprakarsai seluruh siklus hidup dan karya mereka. Selain itu, nilai-nilai tersebut

juga menjadi dasar dan pedoman hidup bagi semua kaum beriman yang mengakui

Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia termasuk masyarakat suku Lopo Metan.

Hasil penulisan karya ilmiah ini merupakan sebuah usaha kerja keras penulis.

Namun penulis pun menyadari bahwa proses penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas

dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya. Oleh

karena itu, penulis ingin menyampaikan syukur dann terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu.

Pertama-tama, penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang telah membimbing dan menjiwai penulis dalam terang Roh Kudus-Nya selama

proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan limpah terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Andreas Tefa Sa’u, Lic., yang

dengan setia mendamping dan membimbing penulis sehingga karya ilmiah ini dapat

dirampung pada waktunya. Terima kasih juga kepada dosen penguji Dr. Yohanes

Masneno, yang telah menguji, memperkaya dan mempertajam pemahaman penulis

berkenaan dengan isi tulisan ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada komunitas Seminari Tinggi St.

Paulus Ledalero yang selalu mendukung dan menjawabi berbagai kebutuhan penulis.

Terima kasih kepada orangtua, saudara/i, segenap keluarga, yang dengan caranya

masing-masing selalu mendukung penulis. Terima kasih kepada kedua formator dan

teman-teman di Unit St. Arnoldus-Ledalero yang telah menyemangati dan

mendukung penulis.

Page 7: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

vii

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pembaca yang setia dan

penuh antusias membaca karya ilmiah ini. Namun penulis pun menyadari bahwa

karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dengan rendah hati, penulis

mengharapkan kritik dan perbaikan dari pembaca untuk membenahi dan memperkaya

karya ilmiah ini.

Ledalero, Mei 2020

Penulis

Page 8: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

viii

DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL .......................................................................................... i

LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL............................................................... ii

LEMBARAN PENGESAHAN .......................................................... iii

LEMBARAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penulisan ............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 6

1.4 Metode Penulisan .......................................................................................... 6

1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................... 7

BAB II MENGENAL RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN DI WILAYAH

KOKBAUN ............................................................................................ 8

2.1 Sejarah Suku Lopo Metan ............................................................................... 8

2.1.1 Asal-Usul Nenek Moyang Suku Lopo Metan ................................................ 10

2.1.2 Keadaan Geografis ....................................................................................... 13

2.1.3 Mata Pencaharian ......................................................................................... 14

2.1.3.1 Bercocok Tanam ....................................................................................... 14

2.1.3.2 Berternak ................................................................................................... 15

2.1.4 Sistem Kekerabatan ...................................................................................... 16

Page 9: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

ix

2.1.4.1 Kekerabatan karena Garis Keturunan (Uem Kanaf) .................................... 17

2.1.4.2 Kekerabatan karena Perkawinan (Fe Mone) ............................................... 18

2.1.5 Sistem Kepercayaan ..................................................................................... 19

2.1.5.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno) ..................................... 20

2.1.5.2 Kepercayaan kepada Roh Leluhur (Uis Nitu) ............................................. 22

2.1.5.3 Kepercayaan kepada Roh Alam (Uis Pah) ................................................. 24

2.2 Gambaran Ritus Fua Pah ................................................................................ 26

2.2.1 Pengertian Fua Pah ...................................................................................... 26

2.2.2 Struktur Tata Pelaksanaan Ritus Fua Pah ..................................................... 27

2.2.3 Fungsi Ritus Fua Pah ................................................................................... 31

2.2.3.1 Fungsi Magis ............................................................................................. 31

2.2.3.2 Fungsi Mitos ............................................................................................. 32

2.2.3.3 Fungsi Religius ......................................................................................... 34

2.2.3.4 Fungsi Intensifikasi ................................................................................... 35

2.2.3.5 Fungsi Faktitius ........................................................................................ 35

2.3 Kesimpulan ..................................................................................................... 36

BAB III KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP RITUS FUA PAH ..................... 38

3.1 Pengantar ........................................................................................................ 38

3.2 Gambaran tentang Teologi .............................................................................. 38

3.2.1 Model-Model Teologi ................................................................................. 39

3.2.2 Nilai-Nilai Teologi Kristiani ......................................................................... 42

3.3 Pandangan Gereja Katolik terhadap Kebudayaan ............................................. 44

3.4 Pandangan Masyarakat Suku Lopo Metan terhadap Alam .............................. 48

3.5 Ritus Fua Pah sebagai Tanggapan Moral atas Manifestasi Diri Wujud

Tertinggi Kepada Manusia .............................................................................. 49

3.6 Makna Ritus Fua Pah dalam Hidup Kristiani .................................................. 52

3.6.1 Puji Syukur ................................................................................................... 52

3.6.2 Permohonan .................................................................................................. 54

Page 10: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

x

3.7 Pentingnya Teologi Inkarnasi bagi Masyarakat Suku Lopo Metan ................... 55

3.8 Makna Kurban dalam Ritus Fua Pah ............................................................... 57

3.9 Nilai-Nilai Positif dalam Ritus Fua Pah .......................................................... 59

3.9.1 Nilai Sosial ................................................................................................... 60

3.9.2 Nilai Religius ............................................................................................... 61

3.9.3 Nilai Ekonomis ............................................................................................ 63

3.10 Pemahaman tentang Ritus Fua Pah dalam Terang Iman Kristiani .................. 64

3.10.1 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Persekutuan ................................................ 64

3.10.2 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Ekspresi Iman Tradisional .......................... 65

3.10.3 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Pengakuan akan Adanya

Yang Transenden ....................................................................................... 69

3.10.4 Tinjauan atas Pemahaman tentang Ritus Fua Pah ....................................... 72

3.11 Dampak Ritus Fua Pah Bagi Penghayatan Iman Kristiani Masyarakat

Suku Lopo Metan .......................................................................................... 74

3.12 Relevansi Nilai-Nilai Luhur dalam Ritus Fua Pah Bagi

Karya Pastoral ............................................................................................... 75

3.12.1 Merencanakan Karya Pastoral dalam Hubungan dengan

Masyarakat Adat ....................................................................................... 75

3.12.2 Peran Nilai-Nilai Ritus Fua Pah dalam Pewartaan Iman Kristiani .............. 77

3.12.3 Mendorong Masyarakat Lopo Metan Untuk Lebih Mencintai Allah ........... 78

3.12.4 Meningkatkan Keasadaran Umat Suku Lopo Metan akan Pentingnya Hidup

Menggereja ................................................................................................. 79

BAB IV PENUTUP ........................................................................ 83

4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 83

4.2 Saran ............................................................................................................... 85

4.2.1 Bagi Para Pelayan Pastoral ........................................................................... 86

4.2.2 Bagi Masyarakat Suku Lopo Metan .............................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88

Page 11: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Kebudayaan dan masyarakat adalah dua realitas sosial yang tak

terpisahkan.1 Keberadaan masing-masing mengandaikan satu sama lain. Artinya,

masyarakat dan kebudayaan merupakan kesatuan wujud yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang

hidup tanpa memiliki kebudayaan itu sendiri atau sebaliknya tidak akan ada

kebudayaan tanpa masyarakat.

Secara eksplisit tradisi hidup manusia selalu diidentikkan dengan

kebudayaan. Tidak ada makhluk hidup lain di dunia ini yang memiliki tradisi

hidup seperti manusia. Dengan ini, kita dapat berasumsi bahwa kebudayaan telah

menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan tradisi

hidup yang diwariskan secara turun-temurun kepada setiap kelompok masyarakat.

Konsep tentang kebudayaan pertama kali dirumuskan oleh para antropolog

dengan berbagai definisi seperti berikut ini. Misalnya, menurut Edward B. Tylor

seorang antropolog Inggris sebagaimana dikutip oleh Ali Saifullah, “culture is

that complex whole which includes knowledge, belief, artl, moral, law custom,

and any other capabilities and habits aquired by man as a member of society”.2

Konsep kebudayaan yang dirumuskan Tylor ini mau menunjukkan kepada kita

bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kompleksitas realitas kehidupan

manusia. Hal ini karena di dalam kebudayaan terdapat seperangkat nilai dan

pedoman hidup serta hasil cipta dan karya manusia. Selanjutnya, menurut Ralph

Linton dalam bukunya“The cultural background of person” sebagaimana dicatat

1Bernad Raho, Sosiologi, Sebuah Pengantar, (Maumere: Ledalero, 2008), hlm.58. 2Drs. ALI Saifullah H.A., Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (Surabaya: Usaha Nasional,

1982), hlm. 24.

Page 12: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

2

oleh Raymundus Rede Blolong bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi

tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku manusia, yang unsur-unsur

pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.3 Setiap

kelompok masyarakat memiliki kebudayaan secara turun temurun. Artinya bahwa

kekayaan dari kebudayaan suatu masyarakat selalu merupakan warisan dari para

pendahulu (nenek moyang) yang tidak boleh direduksi atau dihilangkan oleh para

penerus. Hal inilah yang akan membentuk pribadi manusia dalam kehidupan

masyarakat menjadi makhluk yang berbudaya.

Manusia dalam kehidupannya selalu dibentuk oleh unsus-unsur

kebudayaan. Unsur-unsur pembentuk seperti simbol-simbol, bahasa, nilai-nilai,

norma-norma dan kepercayaan merupakan kekhasan dari masing-masing

budaya. 4 Setiap unsur mempunyai makna tersendiri sebagaimana simbol yang

digunakan seperti benda-benda selalu memiliki arti yang berbeda. Begitu juga

bahasa menjadi mutlak perlu dalam suatu kebudayaan guna menangkap dan

memahami hal-hal yang diproyeksikan dalam simbol-simbol yang digunakan

dalam kebudayaan tersebut. Sedangkan nilai-nilai merupakan standar-standar di

mana pendukung-pendukung dalam suatu kebudayaan mendefinisikan apa yang

dianggap baik, indah, layak dan juga dikehendaki oleh seluruh lapisan

masyarakat.

Melalui norma seorang individu dapat menentukan bagaimana ia

bertingkah laku sekaligus menilai tingkah laku orang lain sesuai dengan harapan

masyarakat. Dengan bertolak pada unsur-unsur kebudayaan inilah, manusia

menaruh harapan pada realitas yang tertinggi yakni kepercayaan pada Wujud

Ilahi. Hal ini karena manusia dalam penghidupannya selalu meyakini bahwa

eksistensi Wujud Ilahi dalam peranannya mengatasi segala kemampuan

manusiawi.

Berdasarkan pemahaman tentang konsep-konsep kebudayaan dan unsur-

unsurnya, maka konsep tentang kebudayaan dapat dipahami sebagai sebuah

tradisi leluhur. Tradisi yang diturunkan dari para leluhur dapat diekspresikan

dalam pelbagai bentuk dan yang paling umum ditonjolkan dalam setiap

3Raymundus Rede Blolong, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Ende: Nusa Indah, 2012), hlm.

56. 4Bernad Raho, op. cit., hlm. 59-66.

Page 13: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

3

kebudayaan ialah ritus-ritus khas dari setiap budaya setempat. Praktik ritus

sebagai hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam

dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan di mana terbukti kejayaan

hidup manusia untuk mengatasi berbagai tantangan dan kesukaran di dalam hidup

dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada

lahirnya bersifat tertib, damai dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

kelompok masyarakat memiliki tradisi masing-masing yang diwariskan secara

turun temurun.

Indonesia merupakan sebuah negara yang plural, termasuk nilai-nilai

budayanya. Misalnya di Papua dengan budayanya sendiri yang tentu setiap suku

di Papua memiliki cara yang khas untuk melestarikan budayanya sendiri. Begitu

pula di Nusa Tenggara Timur, setiap daerah memiliki tradisi dan budayanya

masing-masing, Manggarai memiliki tradisi budayanya yang berbeda dengan

Ende, begitu juga Larantuka dengan Sumba. Keberagaman budaya ini tentu

berdampak pada pembentukkan pribadi setiap individu dalam cara bertingkah

laku.

Pulau Timor sendiri khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan

mayoritas penduduk dari suku Dawan memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas

pula. Masyarakat Timor Tengah Selatan khususnya suku Lopo Metan di wilayah

Kokbaun memiliki sebuah tradisi ritus yang masih dipraktikkan hingga saat ini.

Tradisi itu disebut dalam istilah etnis Dawan yakni ritus “Fua Pah”. Tradisi ritus

“Fua Pah” ini diwariskan secara turun temurun menjadi kekhasan masyarakat

suku Lopo Metan. Jika dilihat secara lebih mendalam, tradisi ritus “Fua Pah” ini

merupakan warisan leluhur yang mencirikan keyakinan atau kepercayaan

tradisional. Secara historis, masyarakat suku Lopo Metan umumnya bekerja

sebagai petani dan berladang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup mereka sangat bergantung

dari alam. Di sini alam dapat membawa kesejahteraan hidup dan kebahagiaan

bagi mereka tetapi juga bisa mendatangkan malapetaka jika masyarakat bersikap

serakah. Hal ini tergantung bagaimana manusia mengusahakannya. Masyarakat

suku Lopo Metan memiliki tradisi-tradisi lisan yang umumnya berkaitan erat

dengan bahasa-bahasa ritus dan upacara formal di mana tradisi-tradisi lisan ini

Page 14: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

4

menjadi satu kekuatan bagi masyarakat suku Lopo Metan itu sendiri. Semua ritus

itu khususnya dalam melakukan pekerjaan bertani (sebagai mata pencaharian

sehari-hari) sangat berkaitan erat dengan keyakinan religius tradisional (misalnya

memberi sesajian sebagai penghargaan dan penghormatan kepada Realitas

Tertinggi melalui alam dan roh para leluhur).

Tradisi-tradisi lisan yang berada di etnis Dawan dengan berbagai ritus

yang dipraktikkan oleh masyarakat suku Lopo Metan, mengartikan bahwa mereka

benar-benar yakin akan relasi Realitas Tertinggi dengan mereka melalui alam

semesta. Mereka meyakini adanya Realitas Tertinggi yang tak dapat dibahasakan,

tak berwujud atau suatu misteri yang tak terselami namun Realitas Tertinggi itu

mewujudkan diri-Nya dalam bentuk tanda dan simbol yang dapat diinderai di

dalam alam semesta. Realitas Ilahi itu mewahyukan diri secara alamiah artinya

Allah menggunakan sarana-sarana atau instrumen-instrumen yang cocok dengan

kondisi manusia untuk menyatakan diri dan menyelamatkan umat manusia (dan

alam semesta), agar manusia dapat memahami dan menerimanya, yaitu dalam

bahasa dan kategori-kategori pemikiran dan tindakan manusia.5Oleh sebab itu,

kehidupan masyarakat Dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus dalam setiap

kegiatan hidup mereka. Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan dipraktikkan

oleh masyarakat Dawan hingga kini adalah Fua Pah. Ritus ini diciptakan untuk

menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Ritus Fua Pah

juga merupakan salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem

kepercayaan masyarakat Dawan mengenai Roh Leluhur dan Alam Semesta.

Ritus Fua Pah merupakan bentuk penyembahan terhadap Roh-Roh dari

leluhur yang sebenarnya tidak dapat diinderai dan dijangkau oleh daya nalar

manusia. Akan tetapi, kehadiran dari wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai

sesuatu yang dahsyat melebihi kekuatan manusia. Hal ini tidak akan kita pahami

tanpa mengetahui hubungan antara Tuhan, pekerjaan suku Lopo Metan (bercocok

tanam), dan pemujaan terhadap roh dalam ritus Fua Pah. Dengan adanya ritus ini,

maka alam selalu dipandang sebagai manifestasi diri Allah yang bebas dan

5Remigius Ceme, Mengungkap Relasi Dasar Allah Dan Manusia (Maumere: Ledalero, 2012),

hlm. 74.

Page 15: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

5

personal yang memanggil manusia untuk memberikan jawaban iman yang bebas

dan personal pula.6

Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat

dalam ritus ini untuk mengatasi berbagai problem yang bisa terjadi yakni

pertama, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin

maju, di satu pihak manusia memahami konsep ritus Fua Pah sebagai upacara

penyembahan berhala, namun di lain pihak di balik ritus Fua Pah terdapat nilai-

nilai religius. Kedua, ritus Fua Pah merupakan warisan leluhur yang perlu

dipertahankan oleh anak-anak muda dewasa ini dan tidak boleh dihilangkan oleh

manusia siapa pun. Hal ini karena ritus Fua Pah memiliki nilai-nilai mulia yang

menjadi landasan iman terhadap wujud tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh nalar

manusia. Oleh karena itu, dengan berpijak pada uraian tentang kebudayaan etnis

Dawan khususnya tradisi ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun,

maka penulis memilih judul: RITUS FUA PAH SUKU DAWAN LOPO

METAN-KOKBAUN: SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS IMAN KRISTIANI.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah pokok yang menjadi titik fokus dari penulisan ini adalah untuk

mencari dan menemukan nilai-nilai teologis di balik tradisi ritus Fua Pah

masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun. Dengan demikian, masalah pokok dari

penelitian dan pembahasan tema ini ialah bagaimana hubungan antara nilai-nilai

ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun dengan nilai-nilai

Kristiani?

Masalah-masalah lain yang timbul dari masalah utama di atas dan yang

dapat dirumuskan untuk dijadikan pedoman dalam penelitian adalah:

1. Sejauh mana kesadaran masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun akan nilai-

nilai positif di balik ritus Fua Pah?

2. Apa makna dan fungsi dari ritus Fua Pah bagi masyarakat suku Lopo Metan-

Kokbaun?

3. Nilai-nilai positif apa saja yang terkandung dalam ritus Fua Pah?

6Remigius Ceme, op. cit., hlm. 77.

Page 16: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

6

4. Sejauh mana dampak yang dirasakan oleh masyarakat suku Lopo Metan-

Kokbaun terkait tradisi ritus Fua Pah bagi penghayatan iman Kristiani mereka

di masa kini?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini berdasarkan kajian

penelitian penulis adalah sebagai berikut.

Pertama, untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat yang menjadi

tuntutan akademis dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero demi

memperoleh gelar Sarjana (S1).

Kedua, untuk menjelaskan secara detail dari arti kebudayaan dan

komponen-komponen yang ada dalam setiap kebudayaan dan pentingnya nilai-

nilai religius dalam tradisi ritus setiap kebudayaan serta relevansinya bagi iman

Kristiani masa kini. Khususnya menggali kekayaan nilai-nilai teologis yang

terkandung dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun.

Ketiga, untuk mendeskripsikan dan merumuskan nilai-nilai teologis dalam

ritus Fua Pah suku Dawan Lopo Metan yang secara jelas menjadi sarana dalam

mengakarkan nilai-nilai Kristiani ke dalam budaya lokal khususnya dalam budaya

masyarakat suku Lopo Metan.

Keempat, untuk meningkatkan rasa cinta dan penghargaan terhadap

kekayaan nilai-nilai kebudayaan lokal. Selain itu, untuk membantu masyarakat

suku Lopo Metan agar semakin menyadari kekayaan nilai-nilai budaya dan tradisi

leluhur.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan dua metode yakni metode penelitian

kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Dalam metode kepustakaan penulis

berusaha mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia dalam berbagai buku,

literatur, dan ensiklopedi kebudayaan baik yang langsung berhubungan dengan

tradisi ritus Fua Pah maupun tidak langsung. Sumber-sumber yang dikaji dalam

metode ini digunakan sebagai referensi sekunder dalam melengkapi hasil

Page 17: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

7

penelitian lapangan. Metode kepustakaan ini digunakan karena

mempertimbangkan variabel lain dalam judul tulisan ini.

Sedangkan metode penelitan lapangan, penulis menggunakan metode

wawancara langsung dan metode observasi partisipatoris. Metode wawancara

langsung dengan tokoh-tokoh adat sebagai informasi kunci. Dalam metode

wawancara langsung ini, penulis mengumpulkan sebanyak mungkin informasi

seputar tradisi ritus Fua Pah.

1.5 Sistematika Penulisan

Demi mendapat suatu kajian penulisan yang runtut maka dalam

menyusun, mengolah, dan menyelesaikan penulisan ini, penulis membaginya

dalam empat bab dengan perinciannya sebagai berikut:

Dalam bab I, penulis memuat pendahuluan sebagai bahasan atas kajian

latar belakang tema dan judul tulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode

penulisan, serta sistematika penulisan yang menjadi pedoman kajian penulis

dalam menyelesaikan penulisan ini.

Dalam bab II, penulis menguraikan tentang gambaran umum masyarakat

Lopo Metan-Kokbaun. Pada bagian ini akan dibahas sejarah asal usul nenek

moyang suku Lopo Metan, keadaan geografis, mata pencaharian, sistem

kekerabatan, sistem kepercayaan asli sebelum agama katolik masuk. Dalam

bagian ini juga akan menguraikan tentang apa itu Fua Pah, bagaimana tata

pelaksanaan praktek tradisi ritus Fua Pah serta fungsi dan makna ritus Fua Pah

bagi masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun.

Dalam bab III, penulis akan membahas dan menganalisa secara teologis

tradisi ritus Fuah Pah yang berpijak pada penghayatan iman Kristiani. Pada

bagian ini, penulis juga akan mengkaji perjumpaan nilai-nilai potitif dalam ritus

Fua Pah dengan nilai-nilai Kristiani.

Dalam bab IV, merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan, usul,

dan saran. Penulis merangkum kesimpulan dari tulisan yang dibahas sebelumnya

dan menyertakan usul dan saran bagi masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun dan

bagi masyarakat seluruhnya.

Page 18: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

8

BAB II

MENGENAL RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN DI WILAYAH

KOKBAUN

Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan sejarah suku Lopo Metan,

keadaan geografis, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, dan pengenalan ritus

Fua Pah suku Lopo Metan. Pada bagian sejarah suku Lopo Metan, akan diuraikan

mengenai asal-usul nenek moyang masyarakat suku Lopo Metan dan mengapa

disebut suku Lopo Metan. Pada bagian keadaan geografis akan diuraikan

mengenai kondisi alam di wilayah-wilayah tempat masyarakat suku Lopo Metan

menetap. Pada bagian sistem kekerabatan, akan diuraikan mengenai sistem relasi

sosial kemasyarakatan dan faktor-faktor pembentuk relasi tersebut. Pada bagian

sistem kepercayaan akan diuraikan mengenai kepercayaan asli masyarakat suku

Lopo Metan sebelum masuknya agama Kristen. Sedangkan pada bagian

pengenalan ritus Fua Pah, akan dibahas mengenai pengertian, tata pelaksanaan,

fungsi, dan makna ritus Fua Pah yang menjadi dasar pembahasan dalam tulisan

ini.

2.1 Sejarah Suku Lopo Metan

Suku Lopo Metan merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan

barat Kecamatan Kokbaun, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Suku Lopo Metan

tergolong sebagai suku mayoritas di wilayah Kokbaun karena pada masa silam

kebudayaan suku Lopo Metan merupakan suku pertama yang mendiami wilayah

tersebut dan memperanakan suku-suku lain misalnya suku Manu dan suku Bien.

Kebudayaan suku Lopo Metan memiliki kekhasan di seluruh wilayah Kokbaun.

Kesamaan kekhasan budaya yang dimiliki oleh masing-masing suku adalah cerita

rakyat, pantun-pantun dan dongeng.

Suku Lopo Metan menyebar di seluruh wilayah Kokbaun yang meliputi

beberapa kampung atau desa yakni desa Niti, desa Sapnala, desa Benahe, desa

Page 19: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

9

Kol’Oto dan desa Lotas. “Suku Lopo Metan merupakan suku terbesar yang terdiri

dari beberapa klan kecil yang disatukan menjadi klan besar yang disebut kanaf.”7

Sebagai suku terbesar di wilayah Kokbaun, peran setiap klan dalam suku Lopo

Metan harus turut mengambil bagian dalam pelaksanaan ritus adat yang

merupakan warisan leluhur dalam komunitas suku. Selain itu, mereka memiliki

kekhasan berbahasa adat dan ritus adat yang sama. Bahasa ritus yang sering

digunakan dalam praktik-praktik ritus ialah bahasa Dawan dalam bentuk syair-

syair adat atau dalam bahasa Dawan disebut dengan natoni adat.

Bahasa ritus merupakan bahasa yang bernilai tinggi, karena penuh dengan

simbol-simbol dan metafora serta berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-

hari.8 Dalam setiap kebudayaan memiliki bahasa ritusnya masing-masing yang

menunjukkan kekhasan setiap budaya. Kekhasan berbahasa pun diturunkan sesuai

latar belakang setiap suku. Suku Lopo Metan sebenarnya merupakan salah satu

suku yang memiliki kekhasan bahasa yakni bahasa Dawan atau disebut sebagai

uab meto. Sama seperti wilayah lain pada umumnya, suku Lopo Metan

menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa daerah, namun memiliki dialek dan

aksentuasi yang cukup berbeda dengan suku-suku lain. Bahasa Dawan atau uab

meto memiliki kekhasan tersendiri pada saat pelaksanaan ritus.

Pada umumnya penggunaan bahasa ritus di semua masyarakat etnis dawan

yang ada di pulau Timor sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-

hari. Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan pun demikian. Bahasa yang

digunakan sehari-hari jauh berbeda dengan bahasa ritus yang dianggap sebagai

bahasa yang bernilai tinggi. Dengan demikian, bahasa ritus bagi mereka sebagai

cara penggunaan kosakata yang khas untuk mengungkapkan perasaan dan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan

keindahan dalam menyampaikan pesan dan juga untuk mengungkapkan identitas

budaya mereka.

7Kanaf secara harafiah diartikan sebagai nama dari suatu klan besar yang mendiami satu suku.

Kanaf berarti nama yang menjadi identitas diri seseorang. Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh

adat suku Lopo Metan, Kokbaun 29 Juni 2019. 8James J. Fox, Bahasa, Sastra dan Sejarah (Jakarta: Djambatan, 1986), hlm. 236-238.

Page 20: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

10

2.1.1 Asal-Usul Nenek Moyang Suku Lopo Metan

Dalam tradisi suku Lopo Metan, ada orang-orang tertentu yang dipercaya

dan mengetahui dengan sangat jelas bahasa adat setempat. Orang yang dituakan

dalam suku yang boleh menggunakan bahasa ritus ketika melaksanakan ritus adat.

Hal ini sangat berkaitan dengan hubungan manusia dengan kosmos dan bagi Fox

artikulasi alam semesta selalu dikaitkan dengan peranan akan unsur supernatual,

di mana dimensi tidak kelihatan seharusnya didekati dengan cara tertentu yakni

dengan melaksanakan ritus dengan menggunakan bahasa ritus atau metafora-

metafora.9 Konsep suku Lopo Metan sama seperti yang diuraikan oleh Fox dan

bahasa ritus dianggap sakral dalam suku sebagai warisan leluhur mereka hingga

dewasa ini.

Pada umumnya, setiap suku yang ada di wilayah Kokbaun memiliki

riwayat asal-usulnya masing-masing. Meskipun mereka memiliki riwayat asal-

usul masing-masing, namun mereka semua memiliki kesamaan kisah yang hampir

mirip. Hal ini karena tergantung bagaimana nenek moyang dari setiap suku

menceritakan asal-usul suku mereka dari versi yang berbeda. Ada yang

menceritakan asal-usul kedatangan nenek moyang dari tempat yang jauh dan tidak

mengetahui tempat asal yang sebenarnya. Ada pula suku yang secara persis

mengenal asal-usul kedatangan nenek moyang dari suku-suku terdekat, sehingga

masih ada kesinambungan cerita yang hampir mirip dan kadang mereka

menggunakan syair adat.

Dalam bahasa dawan syair adat disebut takanab, dan orang yang

mengucapkannya disebut mafefa, juga sering dipakai nama lais tonis dan

orangnya juga disebut apiot lasi.10 Secara garis besar akan dikisahkan mengenai

kedatangan nenek moyang suku Lopo Metan atau sejarah asal-usul nenek moyang

suku lopo metan berdasarkan mitologi dan cerita-cerita rakyat yang hidup dan

sudah diwarisi secara turun temurun. Kisahnya adalah sebagai berikut.

9James J. Fox, op. cit., hlm. 143. 10ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor, diedit oleh Drs. Gregor Neonbasu, SVD

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 24.

Page 21: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

11

Bahasa dawan “Un-unu sin be’i ma na’i kan

mui fa uim le’u. Ton natun

mese ma mese sin na’i npoi na

ko pah timor leste ka makana

fa. Sin nao-naon neman ntea

noemuti ka natambok fa msat.

Oke sin nao-naon neman ntea

pah mollo, sin tokon kian nbi

bale nae lalo. Oke sin

nakanbok nbin pah molo, mes

am nemat namfaun nabua nok

sin le he kase askolat le nem

piut Ma natan sin, mes sin ka

makana es sinan etun sin

kanan nak Lopo. Na ko nae sin

nahakeb nan lopo ma nhal

nana. Oke sin fam es halla ma

lopo. Mes nmui uable nak neu

sin nak ume nae hit teana lopo

metan-metan. Sin natenab

namaebok oke nfen he naon

nten mes fe n’etun usif na

Oematan. Sin be’i ma na’i

fenan nbin nae nao-naon

neman ntea pah es in kana

Sabun, Amanatun Selatan sin

toko nbin bale nae. Nbin nae

msa nmui tubu es ma sin nsae

ma nlolon manu mtasa, oke

nsanun na ko tubu nae atoni

bife fentaha neu sen pen muti

ma pena pnais. Oke sin na

pleob fatu teun ma nlolon

manu neuna ma sin natam

manu neu noah in nanan le nak

nek nhanik ai maputu. Na ko

nae sin nfenan nten neo Sona

ma ntokon nbin, oke sin nema

neu Sono mes sin ka ntokon

lalo nbin nae ma sin neman

nten neu kuan noe nok nain

mnasi, an usif an tob. Sin fenan

nten na ko kuan Noe oke

neman ma ntokon nbin

Nausenu, oke nfenan nten neo

Terjemahan bahasa Indonesia

Dahulu kala nenek moyang suku Lopo

Metan tidak memiliki rumah adat. Tahun

seratus satu (101), mereka keluar dari Timor

Leste, Lalu mereka pindah dan menetap di

Noemuti. Setelah itu, mereka pindah lagi ke

wilayah Mollo dan menetap lama di situ.

Pada saat itu, banyak kaum terdidik yang

datang untuk berkunjung sambil mempelajari

asal-usul dari nama suku mereka yakni suku

lopo. Pada saat itulah mereka mulai

membangun sebuah rumah adat dan

memasang para-para, itulah nama suku

mereka Lopo dan Halla. Namun berbagai

kritikan terhadap mereka karena rumah yang

mereka diami itu dalam keadaan Gulita.

Dengan kritikan-krikan itu, mereka pun malu

lalu memberitahukan kepada raja Oematan

untuk meninggalkan wilayah Mollo. Mereka

keluar dari Mollo dan mereka beranjak lagi

kewilayah Sabun di Amanatun Selatan lalu

menetap di tempat itu. Di Sabun ada sebuah

gunung yang memungkinkan mereka untuk

melakukan upacara ritus lalu mereka pun

membawa seekor ayam merah ke atasnya

dan membunuh ayam merah itu untuk

memohon kesuburan tanah serta hujan.

Setelah itu, mereka semua laki-laki dan

perempuan turun dari atas gunung lalu mulai

menanam jagung yang telah disediakan

sebagai bibit khusus untuk ditanam. Mereka

lalu meletakan tiga buah batu pelat dan darah

ayam yang disembelih itu dan mereka

teteskan di atas batu-batu tersebut. Setelah

itu memasukkan ayam tersebut ke dalam

buah kelapa sebagai tanda pendinginan atas

api panas atau musim panas yang

berkepanjangan. Setelah itu, mereka lalu

pindah lagi ke Sona dan menetap di situ,

namun tidak betah di situ mereka lalu

singgah di Sono dan tidak lama menetap di

situ. Mereka pindah lagi dari Sono ke Kuan

Noe bersama-sama dengan tua-tua adat, raja

dan masyarakat. Setelah itu mereka lalu

pindah lagi dari kuan Noe ke Nausenu dan

dari situ mereka ke Oenunuh pun tidak

Page 22: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

12

Oe Nunuh mes kan malan fa

nbi bale nae ok sin neman nten

neu Kiu Naek un ma ntok nbin

nae tala nabal-nabal. Nbin

bale nae sin lopo nahakeb nan

ma nasufab nan lopo ma manu.

Onane ma ntek sin nak ume

nua esa ume lopo metan ma

ume manu.”11

bertahan dan pada akhirnya mereka menetap

di Kiunaek hingga saat ini. Di Kiu Naek

mereka membangun rumah adat di situ

karena bertambahnya anggota suku Lopo

dan Manu. Dengan demikian, rumah adat

mereka secara umum disebut suku Lopo

Metan

Secara singkat, kehidupan awal masyarakat suku Lopo Metan berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh

kondisi alam dan keadaan finansial yang menjadi pemenuhan akan kebutuhan

hidup mereka sehari-hari. Di lain pihak, keadaan tersebut memberi mereka

peluang untuk menetap dan menjadi satu masyarakat utuh dalam satu

kebudayaan yang didasari oleh cita-cita dan keinginan bersama sebagai satu

keluarga besar suku Lopo Metan.

Berdasarkan kronologi historis di atas sebenarnya bisa dibilang

masyarakat suku Lopo Metan bukanlah masyarakat asli melainkan masyarakat

pendatang yang kemudian berkumpul dalam satu tujuan polis (masyarakat

tradisional). Sebagai satu polis masyarakat suku Lopo Metan dalam

perkembangannya mermbangun sebuah kehidupan baru yang didasari oleh tujuan

bersama. Atas tujuan bersama itu, akhirnya masyarakat suku Lopo Metan mampu

membuka ruang kehidupan baru dalam situasi yang mereka alami dengan

membentuk sebuah tradisi kebudayaan bersama sebagai ungkapan akan rasa

kegembiraan, syukur, sekaligus permohonan kepada alam yang telah

menyediakan mereka sebuah tempat kehidupan baru. Oleh karena itu, dalam

kronologi historitas di atas sebenarnya mengungkapkan proses pembentukan

sebuah kebudayaan yang nampak dalam cara hidup masyarakat suku Lopo Metan

sebagai pendatang sekaligus menjadi penduduk yang berpindah-pindah dari satu

iklim – alam ke iklim – alam yang lain sambil mencari dan menemukan rumah

sebagai tempat kediaman bagi pembentukkan atau wadah bagi mereka

menyatukan satu hasrat bersama sebagai masyarakat suku Lopo Metan. Dengan

11Hasil wawancara dengan Stefanus Halla, Tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 2 Juli

2019 di kuan Upun.

Page 23: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

13

demikian itulah secara singkat cikal bakal pembentukkan kebudayaan

masyarakat suku Lopo Metan.

2.1.2 Keadaan Geografis

Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai masyarakat

suku Lopo Metan yang menyebar di sisi barat Kecamatan Kokbaun, Kabupaten

Timor Tengah Selatan. Penyebaran suku Lopo Metan ini pada umumnya meliputi

wilayah kampung Upun, kampung Noe, Sapnala, Taupi, Oenunuh, Oken,

Haunenes, Pini, Ayo Kokle’o dan Bestobe. Secara umum, keadaan geografis di

wilayah-wilayah itu merupakan wilayah-wilayah yang berbukit dengan

kemiringan yang cukup curam serta padang rumput yang luas. Pada umumnya

wilayah-wilayah perbukitan memiliki tanah yang subur sehingga tumbuh berbagai

jenis pohon, sedangkan pada wilayah padang rumput memiliki kandungan tanah

yang kurang subur sehingga di sekitarnya tidak tumbuh pepohonan.

Kondisi geografis yang demikian, sangat mempengaruhi pola pemanfaatan

alam lingkungan. Dengan demikian, masyarakat suku Lopo Metan sering

memanfaatkan wilayah yang berbukit dan lembah untuk dijadikan sebagai lahan

perkebunan. Sedangkan di wilayah padang rumput yang ditumbuhi rerumputan

sering dijadikan tempat merumput untuk hewan-hewan peliharaan. Di wilayah

padang rumput juga sering diolah sedemikian rupa sehingga tanahnya dapat

dimanfaatkan untuk berkebun.

Keadaan iklim di wilayah-wilayah suku Lopo Metan pada umumnya tidak

jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Nusa Tenggara Timur, yakni

beriklim tropis. Dengan demikian, hanya terdapat dua musim dalam setahun yakni

musim hujan dan musim kemarau. Akan tetapi, dewasa ini curah hujan tidak

menentu seperti adanya pergeseran musim sehingga wilayah-wilayah yang ada

terancam kekeringan. Keadaan ini sangatlah berbeda dengan keadaan alam pada

masa lampau yang memiliki hutan-hutan nan lebat dan memiliki tingkat

kesuburan tanah yang sangat baik. Sehingga pada masa sekarang dengan keadaan

alam yang tak menentu seperti curah hujan yang rendah telah mengakibatkan

kekeringan pada wilayah barat Kecamatan Kokbaun.

Page 24: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

14

2.1.3 Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat suku Lopo Metan pada umumnya adalah

bertani. Aktivitas bertani dilakukan dengan mengolah tanah atau kebun sendiri

dengan cara-cara yang tradisional tanpa bantuan mesin atau traktor. Pengolahan

tanah dilakukan dengan menggunakan alat cangkul seperti pacul, linggis, tajak

dan parang. Mereka hidup dengan mengandalkan bantuan alam seperti curah

hujan di musim menanam. Mereka memiliki filosofi tersendiri bahwa alam adalah

ibu yang dapat memberi makan dan menolong mereka untuk mempertahankan

hidup di bumi serta dapat memberikan kesejahteraan bagi mereka. Selain

pekerjaan bertani yang mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka

juga berternak atau memelihara hewan-hewan yang memiliki nilai ekonomis

tinggi seperti sapi, babi, anjing, dan ayam dan hewan-hewan peliharaan tersebut

dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan adat.

2.1.3.1 Bercocok Tanam

Pada umumnya masyarakat Dawan hidup dari pertanian, sehingga ada

pula mitologi yang bersifat agraris, yang sekaligus mengungkapkan hubungannya

secara harmonis kosmos. Dengan adanya mitologi-mitologi yang mengisahkan

asal usul manusia dari makhluk dunia, maka keterikatan antara manusia dan

kosmos sangatlah erat.12 Masyarakat suku Lopo Metan merupakan masyarakat

agraris. Sebagai masyarakat agraris, mata pencaharian utama ialah bercocok

tanam.

Dengan bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan selalu menaruh

harapan hidup mereka pada alam. Ketergantungan inilah yang membuat mereka

untuk membangun relasi yang sangat intim dengan alam. Mereka meyakini bahwa

alam memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap keberhasilan mereka dalam

usaha pertanian. Sistem bercocok tanam selalu mengikuti siklus musim dalam

setahun. Ketika musim kemarau, mereka membuka atau membersihkan kebun

baru sehingga ketika musim hujan tiba mereka mulai menanam. Proses bercocok

tanam dimulai dari membersihkan lahan, menanam jagung, ubi kayu, pisang,

12Dr. Stephan Ozias Fernandez, SVD, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini

(Maumere: Ledalero, 1990), hlm. 114

Page 25: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

15

kacang hijau, lombok, dan pepaya sampai pada memanen hasil. Dan dalam proses

tersebut selalu disertai dengan ritus adat seturut tahapan-tahapan dalam bercocok

tanam. “Ritus adat yang dimaksud merupakan suatu bentuk permintaan berkat

dari Wujud Tertinggi, roh alam dan roh leluhur agar aktivitas bercocok tanam

dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan panenan yang berlimpah.”13

Selain itu, dalam aktivitas bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan

memiliki tradisi gotong-royong dalam bentuk kelompok yang disepakati bersama.

Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin bekerja

secara individual. Mereka yang bekerja secara individual ini bukan berarti bahwa

mereka tidak menghargai dan mengikuti tradisi dalam suku Lopo Metan. Cara

kerja seperti ini dikenal dengan nama “meup tanoeb”14 yang merupakan suatu

sistem kerja gotong royong dari kebun yang satu ke kebun yang lain atau

dilakukan secara bergilir. Bagi masyarakat suku Lopo Metan, “cara kerja gotong

royong seperti ini merupakan suatu bentuk ungkapan persaudaraan dalam suku

dan dapat meringankan pekerjaan anggota suku yang lain.”15 Pola kerja meup

tanoeb ini masih dilakukan hingga saat ini dan sudah menjadi tradisi bagi

masyarakat suku Lopo Metan ketika melakukan pekerjaan bercocok tanam.

2.1.3.2 Beternak

Selain bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan juga beternak.

Dalam komunitas suku Lopo Metan, aktivitas beternak bukan suatu aktivits

pokok, melainkan aktivitas sampingan demi menunjang kehidupan ekonomi

dalam keluarga. Semua anggota suku Lopo Metan memiliki kebiasaan yang sama

yakni beternak. Hal ini pun sudah dilakukan sejak dahulu sampai sekarang

sehingga kebiasaan beternak terus dilakukan dan dipelihara dalam wilayah suku

mereka. Jenis ternak atau hewan peliharaan mereka seperti sapi, babi, anjing,

ayam dan lain-lain. Hewan-hewan peliharaan seperti sapi dan babi sangat

13Hasil wawancara dengan Andreas Lopo, Tokoh Adat Suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 28 Juni

2019, di kuan Upun. 14Meup tanoeb dari bahasa dawan yaitu meup berarti kerja dan tanoeb berarti bergilir. Secara

harafiah meup tanoeb berarti kerja bergilir atau bekerja secara bergilir dari satu tempat ke tempat

lain atau dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Hasil wawancara Kornelis Tanu, tokoh adat

suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 27 Juni 2019 di Taupi. 15Hasil wawancara Kornelis Tanu, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 27 Juni 2019 di

Taupi.

Page 26: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

16

didukung oleh keadaan geografis wilayah tersebut yakni, terdapat padang-padang

rumput yang luas. Sistem pemeliharaannya dilakukan dengan cara mengikat

hewan-hewan tersebut dengan seutas tali yang panjang pada tumpuan yang kokoh

di sekitar padang yang berumput atau mengikatnya di sekitar rumah. Hal ini

dilakukan agar lebih mudah untuk mengontrol hewan-hewan peliharaan mereka.

Selain itu, hewan yang dikandangkan atau dilepas di sekitar kompleks

kampung seperti babi, ayam dan anjing dilakukan dengan cara yang sangat

tradisional dan masih dipraktikkan hingga kini, yakni ketika hari mulai sore,

setiap anggota keluarga mulai memukul sebatang bambu atau dengan cara

memanggilnya dengan panggilan yang khas. Menarik bahwa keakraban

masyarakat dengan hewan peliharaan begitu dekat sehingga dengan cara apa pun

hewan peliharaan mereka akan secepatnya masuk kandang.

Hewan-hewan peliharaan tersebut pada umumnya memiliki nilainya

tersendiri bagi masyarakat suku Lopo Metan. Hal itu sangat tampak di mana

hewan-hewan peliharaan bisa digunakan sebagai bahan kurban dalam ritus adat,

sebagai sarana utama dalam tata adat perkawinan serta dijual untuk menunjang

kebutuhan rumah tangga dan juga untuk membantu melancarkan kebutuhan

sekolah pada anak-anak mereka. Berhubungan dengan hewan yang digunakan

dalam tata adat perkawinan dalam masyarakat suku Lopo Metan sangatlah

berbeda. Misalnya di setiap suku yang ada di bagian Pulau Flores, umumnya

hewan digunakan untuk mengantarkan belis. Selain itu, hewan-hewan lain

digunakan untuk membantu mereka seperti anjing yang digunakan untuk berburu

atau menjaga rumah dan kebun mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh suku

lain di pulau Flores, sangatlah berbeda dengan wilayah suku Lopo Metan. Dalam

tata adat suku Lopo Metan, mereka tidak mengenal istilah belis. Hewan-hewan

peliharaan yang mereka miliki dikhususkan untuk ritus adat Fua Pah. Sedangkan

dalam adat perkawinan, hanya digunakan untuk melancarkan acara-acara dalam

upacara-upacara adat maupun pernikahan secara sah dalam gereja.

2.1.4 Sistem Kekerabatan

Kekerabatan merupakan suatu ikatan keanggotaan seorang individu ke

dalam bentuk keluarga melalui perkawinan atau turunan darah. Hal ini dapat

Page 27: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

17

menciptakan suatu ikatan atau hubungan antar individu dan kelompok.

Kekerabatan yang dibentuk karena hubungan darah dan perkawinan ini akan

mengikat orang-orang yang terlibat di dalamnya dan akan membentuk suatu

hubungan yang berlangsung secara turun-temurun. Hubungan antar suku ialah

hubungan kekeluargaan yang dimulai dengan hubungan kawin-mawin secara

eksogami.16

Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun, hubungan

kekerabatan yang terjalin atas dasar hubungan garis keturunan di mana keluarga

inti yang disebut ume17dan membentuk suatu klan besar yang disebut kanaf. Klan

besar kanaf ini terbentuk dari gabungan antara klan-klan kecil. Selain kekerabatan

karena garis keturunan darah, juga terdapat suatu kekerabatan dalam perkawinan

antar suku maupun antar klan besar yang disebut kanaf.

2.1.4.1 Kekerabatan Karena Garis Keturunan (Uem Kanaf)

Masyarakat suku Lopo Metan mengenal suatu sistem kekerabatan yang

dihasilkan oleh kesamaan garis keturunan darah. Melalui kekerabatan yang

dibentuk, keluarga inti atau ume yang satu membentuk ikatan dengan keluarga inti

yang lain berdasarkan garis keturunan ayah. Kumpulan keluarga inti yang satu

dengan keluarga inti yang lain berdasarkan genealogis patrilineal ini akan

membentuk suatu klan besar yang disebut kanaf. Relasi ini berlangsung dan

mengikat secara turun temurun yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah oleh

siapa pun.

Bagi masyarakat suku Lopo Metan, anggota keluarga yang memiliki hak

penuh dalam uem kanaf adalah anak laki-laki sulung yang disebut atonen amaf.

Anggota kelurga yang dimaksud ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang

belum kawin. Bentuk perkawinan dalam masyarakat suku Lopo Metan bersifat

patrilineal, sehingga setiap pasangan muda yang baru saja menikah akan tinggal

di lingkungan keluarga isteri selama beberapa tahun lamanya. Alasan pasangan

muda tinggal di rumah keluarga isteri karena dari pihak keluarga laki-laki belum

16ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja di Timor, diedit oleh Gregor Neonbasu, SVD,...,

op. cit., hlm. 100. 17Ume mnasi dan lopo mnasi memiliki makna yang sama. Ume mnasi atau lopo mnasi adalah

rumah adat setiap suku yang mendiami satu wilayah tertentu. Ume mansi juga merupakan tempat

di mana semua anggota suku berkumpul untuk melaksanakan upacara-upacara adat.

Page 28: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

18

memenuhi tuntutan adat. Jika proses pertunangan dan tuntutan adat selesai, maka

suatu saat pasangan muda ini akan pindah ke tempat di mana pihak keluarga asal

suami untuk menetap di situ.

Selain itu, setiap klan besar kanaf memiliki rumah adatnya masing-masing

yang disebut lopo. Setiap upacara adat atau pembicaraan mengenai kehidupan

anggota klan akan dilangsungkan di lopo. Dalam tradisi adat suku Lopo Metan,

“anak perempuan sulung bife naek diberi hak untuk mendiami lopo tersebut dan

dianggap sebagai penjaga rumah suku atau ume mnasi atau lopo mnasi.” 18

Meskipun lopo atau ume mnasi didiami oleh perempuan sulung, namun yang

berhak memberikan petuah ialah laki-laki sulung atau yang tertua. Peran

perempuan sulung sebagai penjaga sedangkan peran laki-laki sulung sebagai

petuah dalam melakukan ritus di rumah suku atau lopo mnasi ume mnasi. Selain

itu, mereka pun bersama-sama memiliki tanggung jawab besar untuk bersatu hati

dalam melestarikan segala tradisi leluhur.

2.1.4.2 Kekerabatan karena Perkawinan (Fe Mone)

Di seluruh pulau Timor terdapat dua sistem perkawinan segi satu

(unilateral) yaitu patriarkat dan matriarkat. 19 Sistem perkawinan dalam

masyarakat suku Lopo Metan ialah sistem perkawinan patriarkat. Namun dalam

masyarakat suku Lopo Metan sistem perkawinan patriarkat tersebut lebih sering

disebut dengan sistem kekerabatan yang terjadi oleh perkawinan (fe mone).

Kekerabatan ini terjalin antara suku pemberi dan penerima dari kedua belah pihak

atau istri-suami (fe mone). Relasi antar suku di wilayah masyarakat Kokbaun

menunjukkan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan dapat menghubungkan kedua suku yang ada. Sistem relasi ini bersifat

tetap dan turun-temurun.

Sistem perkawinan yang dianggap baik menurut masyarakat suku Lopo

Metan ialah perkawinan antara dua klan yang sudah terikat oleh hubungan

perkawinan. Dalam tradisi mereka, “jika hubungan antar klan semakin kuat, maka

mas kawin yang harus diberikan pula harus sesuai dengan permintaan dari klan

18Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 Juli 2019 di kuan Upun. 19ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja di Timor, diedit oleh Drs Gregor Neonbasu,

SVD,,..., op. cit., hlm. 105.

Page 29: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

19

yang lain yang menjadi satu ikatan klan besar. Semua anggota yang ada dalam

ikatan kekerabatan merupakan hasil dari sebuah klan patrilineal yang berjumlah

banyak. Dalam ikatan klan-klan yang ada biasanya disebut menurut nama benda

suci nono yang menjadi barang pusaka milik mereka.”20

Dalam tradisi perkawinan menurut sistem perkawinan fe mone, seorang

istri diakui sebagai warga dalam klan suaminya. Hal ini berarti bahwa seorang

istri sudah menjadi tanggung jawab dalam seluruh warga klan dan menjadi bagian

dari keluarga besar klan suami. Selain itu kedua orang tua dari seorang istri yakni

ayah dan ibu pun termasuk dalam ikatan nono dari klan suami. Klan-klan yang

ada dalam satu suku pun biasanya digolongkan dalam tiga kelompok klan yakni

“mereka yang berkuasa atas tanah yang diduduki atau disebut sebagai kua tuaf,

kaum pendatang baik atas hasil kawin-mawin maupun mereka yang datang dan

menetap sendiri di tempat yang telah diduduki atau disebut sebagai atone amafet,

dan para pendatang yang berstatus mengungsi di tempat kua tuaf tinggal atau

disebut sebagai atone amnemat.”21

2.1.5 Sistem Kepercayaan

Masyarakat suku Lopo Metan dewasa ini, pada umumnya telah menganut

agama-agama modern yakni agama Katolik Roma. Jauh sebelum menganut

agama Katolik, masyarakat suku Lopo Metan telah memiliki kepercayaan asli.

Dalam kepercayaan asli itu, mereka mengenal dan mengakui adanya dewa-dewi

dan kekuatan-kekuatan lain yang melampaui kemampuan manusia. Artinya

bahwa sebelum masuknya agama Katolik dengan sistem kepercayaan yang baru

sebagaimana telah dibawa oleh para misionaris Portugis, masyarakat suku Lopo

Metan telah memiliki kepercayaan tradisional. Selain itu, mereka juga memiliki

kepercayaan pada kekuatan-kekuatan lain yang termanifestasi dalam roh para

leluhur dan roh alam. Dengan demikian, pada bagian ini akan diuraikan sistem

kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan dalam tiga bagian yakni kepercayaan

20Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 Juli 2019 di

Kuan Upun. 21Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di

kuan Upun.

Page 30: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

20

kepada Wujud Tertinggi atau Uis Neno, roh leluhur atau uis nitu dan roh alam

atau uis pah.

2.1.5.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno)

Sistem kepercayaan masing-masing daerah di Nusa Tenggara Timur

terhadap Wujud Tertinggi, pada umumnya memiliki sebutan nama yang berbeda-

beda. Pada intinya bahwa masing-masing kebudayaan mengungkapkan

keyakinan mereka kepada Wujud Tertinggi sesuai dengan latar belakang budaya,

bahasa dan pola pikir dalam komunitas hidup mereka. Hal ini dapat kita jumpai

seperti dalam masyarakat Sikka menyebutnya dengan nama Ina Ni’ang tana

Wawa dan Ama Lero Wulang Reta, masyarakat Flores Timur menyebutnya

dengan nama Lera Wulan Tana Ekan, masyarakat Ende Lio menyebutnya

dengan nama Du’a Ngga’e, masyarakat Ngada menyebutnya dengan nama Ga’e

Dewa atau Dewa Zeta Ga’e Zale, masyarakat Manggarai menyebutnya dengan

nama Mori Kraeng, masyarakat Belu menyebutnya dengan nama Nai Maromak,

masyarakat Dawan atau Atonne menyebutnya dengan nama Usi Neno Mnanu Uis

Neno Pala.22

Menarik bahwa meskipun masing-masing kebudayaan di Nusa Tenggara

Timur memiliki ungkapan dan sebutan nama yang berbeda-beda akan Wujud

Tertinggi, namun pada dasarnya bahwa semua kebudayaan yang ada telah

memiliki satu keyakinan akan Wujud Tertinggi itu sendiri. Pemahaman masing-

masing kebudayaan akan eksistensi Wujud Tertinggi dalam setiap kebudayaan di

Nusa Tenggara Timur selalu memiliki makna yang sama. Ungkapan akanadanya

yang transenden dalam kebudayaan masing-masing daerah merupakan suatu

bentuk kepercayaan yang kokoh.

Sebagai salah satu komunitas suku budaya yang ada di wilayah Nusa

Tenggara Timur khususnya wilayah Timor Tengah Selatan, masyarakat suku

Lopo Metan-Kokbaun mengenal dan menyebut Wujud Tertinggi dengan atribut

Usi Neno. Secara historis, ketika awal mula sebelum agama Kristen masuk ke

pulau Timor, khususnya pada zaman penjajahan, orang Dawan telah memiliki

satu konsep tentang Yang Ilahi dalam kehidupan. Konsep tentang Yang Ilahi ini

22Dr. Stephanus Ozias Fernandez, SVD, op. cit., hlm. 298-320.

Page 31: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

21

dilatarbelakangi oleh pemikiran dan pengalaman orang Dawan dengan adanya

“sesuatu” yang memiliki daya kekuatan melampaui kekuatan manusia. Bagi

orang Dawan matahari merupakan salah satu representasi ciptaan dari Yang Ilahi

di mana Yang Ilahi dianggap memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan ciptaan lainnya. Ada dua pendekatan yang dapat mengartikan Uis Neno

yakni pendekatan sosiologis dan kosmologis. Dalam pendekatan sosiologis Uis

Neno dipahami dengan status kekuasaan strukturalisme dalam sebuah wilayah.

Di mana, dalam sebuah wilayah terdapat seorang tua adat atau raja yang

memiliki hak khusus sebagai status sosial yang diembani. Artinya bahwa seorang

tua adat atau raja memiliki kuasa untuk dihormati dan disegani, yang dalam suku

Lopo Metan biasa disebut dengan Usi yang artinya adalah raja. Sedangkan dalam

pendekatan kosmologis Uis Neno, dipahami sebagai realitas alam yang dirasakan

dan dijumpai setiap harinya. Hal ini menerangkan tentang situasi, keadaan dan

kondisi alam. Di mana berbagai peristiwa dan kejadian akibat situasi dan

keadaan alam ini menjadi begitu terikat dengan sesuatu Yang Transenden (yang

melampau daya pikir manusia), yang dalam suku Lopo Metan biasa disebut Usi

artinya Raja, Dewa atau Tuhan dan Neno artinya hari atau langit. Dengan

demikian, Uis Neno dapat diartikan sebagai Raja, Dewa atau Tuhan yang

memiliki kuasa atas langit dan alam semesta.

Selain itu, masyarakat Dawan pada umumnya dan masyarakat suku Lopo

Metan pada khususnya mengenal dewa matahari Uis Neno sebagai penguasa

langit dan hari. Bagi mereka, nama dewa-dewi terutama dewa tertinggi tidak

boleh disapa dengan nama yang asli. Sebutan atribut Uis Neno dilihat sebagai

sesuatu yang sakral dan sebagai sang penguasa langit dan bumi. Nama Uis Neno

pun dilihat sebagai matahari yang merentangkan naungannya kepada seluruh

umat manusia. Sebagaimana matahari yang menyinari permukaan bumi, dalam

pemahaman mereka bahwa Uis Neno pun demikian. “Matahari merubah

pergantian musim dan menyinari seluruh alam semesta, sebaliknya Uis Neno

dilihat sebagai Dia yang menyediakan bagi mereka suatu tempat, lahan, untuk

tanaman padi dan jagung serta yang menjaga kesuburan tanah.”23

23Hasil wawancara Andreas Lopo, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 28 Juli 2019 di

kuan Upun.

Page 32: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

22

Sangat menarik bahwa keyakinan masyarakat suku Lopo Metan akan

Wujud Tertinggi ini dapat dipahami dengan berbagai versi. Dengan berbagai

versi inilah, mereka melihat keseluruhan eksistensi Wujud Tertinggi itu sebagai

atetus ma amnit. 24 Mereka mensakralkan sebutan atribut Uis Neno karena

mereka meyakini bahwa Uis Neno merupakan suatu realitas yang sangat jauh,

suci dan keramat. Anggapan-anggapan seperti inilah yang mendorong mereka

untuk memberi penghormatan khusus kepada Uis Neno karena Allah yang

mereka imani ialah Allah yang tidak berwujud, tidak berwajah dan tidak

bernama, tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan atas hidup mereka.

Masyarakat Dawan pada umumnya berpikir asosiatif, polaris, dan

integralistis, sehingga tidak cukup bila yang maha tinggi hanya digelari “Uis

Neno”: raja matahari.25 Secara historis, kepercayaan masyarakat Dawan pada

umumnya begitu kuat terhadap kekuatan planet-planet di angkasa yakni

matahari, bulan dan bintang yang diyakini sebagai dewa-dewi tertinggi. Matahari

dilihat sebagai yang paling berkuasa karena menurut pandangan para leluhur atau

mitos dari para leluhur bahwa matahari seperti sebuah sosok jantan atau

termasuk dalam kategori jantan, sedangkan bulan dan bintang dikategorikan

sebagai sosok betina. Selain itu, bulan disebut sebagai istri dari matahari dan

bintang-bintang sebagai adik atau saudara bulan. Dengan adanya mitos dari

leluhur inilah, mereka menaruh kepercayaan akan adanya hubungan yang intim

antara matahari dan bulan. Atas kepercayaan ini, keduanya selalu dihormati dan

disembah karena dianggap memiliki kesucian.

2.1.5.2 Kepercayaan kepada Roh Leluhur (Uis Nitu)

Selain percaya kepada wujud tertinggi Usi Neno, dalam konteks

masyarakat suku Lopo Metan memiliki kepercayaan pula terhadap roh para

leluhur atau uis nitu. Dengan demikian, mereka selalu melakukan kultus

penghormatan terhadap roh para leluhur dengan cara memberi sesajian. Kultus

penghormatan kepada roh para leluhur ini pada dasarnya mengandaikan adanya

iman akan Wujud Tertinggi. Artinya bahwa keyakinan mereka sangat kuat akan

24Atetus ma amnit secara harafiah atetus diartikan sebagai penyokong atau penegak, sedangkan

amnit sebagai penadah atau pemangku. 25Dr. Stephanus Osiaz Fernandez, op. cit., hlm. 318.

Page 33: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

23

kehidupan roh para leluhur yang kemudian menjadi perantara bagi mereka.

Keyakinan akan roh para leluhur ini merupakan kesalehan religius dalam

membangun relasi dengan Wujud Tertinggi yang agung di hadapan mereka.

Penghormatan kepada roh para leluhur pada hakikatnya didorong oleh keyakinan

bahwa mereka memiliki kedekatan dengan Wujud Tertinggi. 26 Dengan ini,

konsep akan roh para leluhur dianggap sebagai perantara bagi mereka untuk

sampai pada Wujud Tertinggi karena roh para leluhurlah yang dianggap paling

dekat dengan Wujud Tertinggi. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa kedekatan

roh para leluhur dengan Wujud Tertinggi menghantar mereka pada kesanggupan

untuk mengkomunikasikan kehendak Wujud Tertinggi.

Eksistensi antara Wujud Tertinggi dan roh para leluhur yang memiliki

kedekatan diyakini mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan

manusia sehingga bagi masyarakat suku Lopo Metan roh para leluhur berperan

sebagai penghubung antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Di satu sisi

mereka sebagai perantara doa dan permohonan dan di sisi lain mereka sebagai

penyalur rahmat bagi manusia dari Wujud Tertinggi. Sesuai dengan konsep

inilah, masyarakat suku Lopo Metan masih mempertahankan penghormatan

khusus terhadap roh para leluhur hingga kini.

Roh para leluhur merupakan cikal bakal keberadaan suku Lopo Metan

dan selalu menjadi perantara mereka kepada Wujud Tertinggi. Maka

penghormatan terhadap roh para leluhur merupakan hal yang niscaya mereka

lakukan pada setiap musim. Penghormatan kepada roh para leluhur merupakan

struktur keluarga, pertalian keluarga, dan keturunan.27 Keyakinan masayarakat

suku Lopo Metan akan relasi yang begitu dekat dengan roh para leluhur yang

menjadi perantara bagi Wujud Tertinggi, maka masyarakat suku Lopo Metan

selalu mengundang roh leluhur untuk hadir dalam setiap upacara adat yang mana

leluhur mereka mempunyai peranan penting dalam setiap kebutuhan mareka.

26Alex Jebadu, Bukan Berhala, Penghormatan Kepada Para Leluhur (Maumere: Ledalero, 2009),

hlm. 53. 27Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 82.

Page 34: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

24

2.1.5.3 Kepercayaan kepada Roh Alam (Uis Pah)

Menurut para antropolog kepercayaan kepada roh alam merupakan

tingkat tertua dalam evolusi religi tradisional. Roh alam ini mendiami tempat-

tempat tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia. 28

Masyarakat suku Lopo Metan juga percaya kepada roh alam atau uis pah atau uis

nain. Meskipun hidup di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

keyakinan mereka terhadap roh alam masih ada hingga dewasa ini. Keyakinan

mereka terhadap roh alam merupakan respons terhadap pengalaman sehari-hari

yang mereka alami dan rasakan bahwa roh alam mempunyai andil bagi hidup

mereka.

Kepercayaan suku Lopo Metan terhadap roh alam boleh jadi merupakan

suatu keyakinan yang sangat kokoh. Hal ini karena mereka masih percaya

terhadap daya atau kekuatan alam semesta. Mereka yakin bahwa ada suatu

kekuatan besar yang melampaui segala sesuatu di balik tempat-tempat yang

dianggap sakral. Selain keyakinan akan hal-hal ajaib dalam alam semesta, mereka

juga yakin bahwa roh alam akan memberi mereka panenan yang berlimpah. Roh

alam diyakini sebagai sang penguasa alam semesta sehingga suku Lopo Metan

sering melaksankan ritus-ritus adat dengan tujuan agar memohon perlindungan

dari sang penguasa alam semesta uis pah.

Di samping percaya kepada uis pah, suku Lopo Metan juga percaya

kepada beberapa jenis binatang yang dianggap sebagai pembawa berita atau pesan

bagi hidup mereka, misalnya cicak dan buaya. Keduanya menempati tempat yang

unik dalam keyakinan religius suku dawan. Binatang-binatang itu diyakini

sebagai representasi dari yang kudus. Misalnya, kalau keluarga sedang melakukan

percakapan dan tiba-tiba saja terdengar bunyi tokek, mereka akan bersukacita

karena ini pertanda bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi mengikuti dan merestui hal

yang mereka percakapkan.29 Dalam keyakinan suku Lopo Metan simbol cicak

atau buaya sangat kental. Keyakinan yang kuat akan kedua simbol inilah yang

mendorong mereka untuk melaksanakan ritus fua pah sebagai tanda

28Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 13. 29Dr. Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Upaya Menjejaki Makna Allah Dalam

Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 140.

Page 35: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

25

penghormatan terhadap cicak dan buaya. Mereka percaya bahwa kedua hewan ini

merupakan representasi diri Dewa yang harus disembah. Lebih lanjut, suku dawan

meto menyembah buaya karena dianggap sebagai penguasa lautan, sungai,

pemberi hujan kesejukan, kesuburan, dan kesejahteraan.30Dengan demikian, suku

Lopo Metan pun selalu melakukan praktek ritus untuk menghormati buaya

sebagai sang penguasa air dan darat.

Makna simbolis terkandung dalam tradisi ritus fua pah berkaitan dengan

proses pelaksanaan ritus. Tempat di mana dilangsungkan ritus dan barang-barang

yang digunakan merupakan simbol penyerahan diri seutuhnya terhadap alam. Hal

ini berarti bahwa konsep mereka mengenai simbol sama dengan pemberian diri.

Sebagai contoh, dalam lasi tonis atau syair adat mereka mengungkapkan bahwa

“neon i ma leku i, lol nait nan nafuf mese haef mese nak’kluibe neu kit na’nakbe

neu kit” (pada hari ini, detik ini, kami menyembelih sehelai bulu dan sepotong

kaki, untuk mengarahkan kepadamu dan memberikan kepadamu).31 Ungkapan ini

bermakna simbolis karena yang mereka sembelih itu untuk memurnikan diri

mereka terhadap Dewa-Dewi. Penyerahan diri yang total kepada sang penguasa

langit dan bumi akan menyadarkan mereka melalui “tae lilo” 32 hewan yang akan

disembelih itu. Setelah mengungkapkan mantra dan menyembelih hewan itu, akan

ada petunjuk khusus melalui tae lilo hewan itu. Jika simbol yang mereka lihat

melalui tae lilo hewan itu dianggap baik, maka mereka meyakini bahwa

persembahan mereka diterima. Sedangkan kalau ada tanda buruk maka mereka

akan melihat itu sebagai malapetaka. Dengan demikian makna simbolis dari ritus

Fua Pah sangat penting bagi masyarakat suku Lopo Metan.

30Dr. Eben Nuban Timo, loc. cit. 31Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di

kuan Noe. 32“Tae lilo atau tae paku berkaitan dengan kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan terhadap

peran para leluhur dalam upacara ritus. Istilah Tae lilo ialah melihat tali perut dari ayam merah

yang telah disembelih. Tujuan dari tae lilo ini untuk mengetahui apakah tali perut dari ayam

tersebut dalam keadaan berdiri atau tidur. Jika tali perut dalam keadaan tidur maka pertanda bahwa

akan ada malapetaka yang menimpa mereka. sebaliknya jika tali perut dalam keadaan berdiri

berarti itu pertanda bahwa apa yang mereka minta pasti dikabulkan Dewa-Dewi”.

Page 36: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

26

2.2 Gambaran Ritus Fua Pah

Praktik-praktik ritus kebudayaan memiliki arti dan makna tersendiri bagi

setiap masyarakat dalam suku tertentu. Ritus Fua Pah suku Lopo Metan memiliki

makna mendalam serta artinya bagi kehidupan mereka. Hal ini karena ritus Fua

Pah dilihat sebagai ritus penghormatan terhadap roh leluhur dan roh alam.

2.2.1 Pengertian Fua Pah

Secara etimologis, Fua Pah berasal dari dua kata benda dalam bahasa

Dawan, yaitu Fua dan Pah. Kata “Fua artinya menyembah, bersujud,

menengadah, sedangkan kata Pah artinya bumi, dunia atau alam.” 33 Dengan

demikian, secara harafiah Fua Pah dapat diartikan sebagai penyembahan terhadap

bumi, dunia atau alam. Dalam hubungannya dengan dunia agraris Fua Pah berarti

meyembah tuan, raja atau penguasa bumi, dunia atau alam. Berdasarkan

pengertian diatas, dalam pelaksanaannya Fua Pah memiliki makna yang sangat

luas. Secara konseptual ada dua bentuk pemahaman dari arti kata Fua Pah yakni

pemahaman religius dan pemahaman mitologis.

Dalam pemahaman religius, Fua Pah dapat dipahami sebagai permohonan

dan syukur kepada Dewa-Dewi dengan melaksanakan upacara persembahan

korban kepadanya melalui perantara leluhur dan dewa-dewi. Pemahaman tersebut

bahwa Dewa merupakan kekuatan supranatural yang diyakini sebagai manifestasi

diri Dewa kepada manusia yang perlu dihormati. Sedangkan dalam pemahaman

mitologis, Fua Pah dapat dipahami sebagai bentuk pemberian korban sesajian

kepada roh alam dan roh leluhur sebagai upacara yang harus dijalankan karena

jika tidak, maka akan ada malapetaka yang menimpa manusia khususnya

masyarakat suku Lopo Metan. Pada saat membuka lahan pertanian, tempat yang

biasanya dijadikan lokasi pelaksanaan upacara Fua Pah adalah di kebun, gunung

atau bukit. Tempat-tempat ini dipandang sebagai tempat suci karena

sesungguhnya tempat-tempat tersebut memiliki sifat magis religius.34

33Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 3 Juli 2019 di kuan upun. 34Andreas Tefa Sawu, op. Cit, hlm. 107.

Page 37: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

27

2.2.2 Struktur Tata Pelaksanaan Ritus Fua Pah

Masyarakat suku Lopo Metan masih menjalani tradisi ritus Fua Pah

hingga saat ini. Ritus Fua Pah yang mereka lakukan merupakan bentuk

pemberian kurban terhadap Dewa-Dewi yang biasanya dilakukan pada saat

sebelum kegiatan menebas hutan dan pada saat penanaman benih. Dalam

melaksanakan ritus Fua Pah, masyarakat biasanya mengikuti struktur dalam tata

pelaksanaan ritus tersebut. Secara terperinci, susunan tata pelaksanaan ritus Fua

Pah sebagai berikut.

Pertama, persiapan. Tahap persiapan ini merupakan tahap awal sebelum

upacara adat ritus Fua Pah dilaksanakan. Dalam tahap persiapan ini ada beberapa

hal yang harus dipersiapkan seperti, ayam berbulu merah, babi berbulu merah,

kambing, makanan berupa jagung, pisang ubi kayu, kelapa muda, sirih pinang dan

padi sesuai dengan kesepakatan bersama anggota suku.

Kedua, memberitahukan kepada tobe35 bahwa semua warga berkeinginan

untuk melaksanakan ritus Fua Pah. Pemberitahuan ini diwakili oleh beberapa

warga 36 saja yang didahului dengan makan sirih pinang, lalu mereka

menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka dengan membawa serta

okomama (tempat sirih) berisi uang sebagai “alas pembicaraan”.37 Kepala suku

akan menerima okomama tersebut dan menyatakan persetujuannya untuk

melaksanakan upacara.

Ketiga, setelah proses pemberitahuan kepada kepala suku, hal berikut

yang perlu dibuat ialah penentuan tempat. Penentuan tempat ini biasanya dilihat

35Tobe secara harafiah diartikan sebagai imam atau orang yang dianggap pintar dalam berbasa

adat. Tobe juga dianggap sebagai orang yang dipercayakan oleh keluarga suku dan apa yang ia

tuturkan pasti diterima oleh wujud yang mereka yakini akan mengabulkan permohonan mereka.

Selain itu Tobe diyakini memiliki charismanya tersendri dalam menyampaikan dan

mengungkapkan mantra Lasi Tonis. 36 Beberapa warga tersebut merupakan utusan dari masyarakat yang dipercayakan untuk

menyampaikan pesan kepada kepala suku bahwa semua masyarakat bersedia dan siap untuk

melaksanakan ritus Fua Pah. 37 Alas pembicaraan adalah dasar atau pokok pembicaraan. Hal ini bertujuan untuk dapat

mengambil hati ketua suku agar dapat mengabulkan permohonan mereka. Di samping itu, dalam

tradisi suku Lopo Metan, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat, okomama merupakan salah

satu bentuk penghargaan terhadap ketua suku. Di samping itu, “alas pembicaraan” tersebut

merupakan sebuah tradisi awal dalam menyampaikan keinginan dari maksud yang akan

disampaikan. Yang dalam masyarakat suku Lopo Metan, alas pembicaraan disimbolkan dalam

wujud okomama yang menjadi bentuk penghormatan terhadap orang-orang yang memiliki

kedudukan dan jabatan tinggi dalam masyarakat adat maupun dalam kedudukannya sebagai

pemerintah.

Page 38: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

28

dari segi kosmos. Di samping itu tempat yang ditentukan dapat memberi rasa

nyaman baik secara jasmani maupun bantiniah masyarakat seluruhnya. Oleh

karena itu, ritus Fua Pah biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang diyakini

sebagai tempat berdiam uis pah (raja bumi) seperti gunung, bukit atau ladang.

Keempat, para peserta. Biasanya peserta yang hadir dalam pelaksanaan

ritus Fua Pah ialah semua warga suku baik pria maupun wanita dan umumnya

merupakan orang-orang dewasa dan orang-orang yang dituakan dalam suku.

Kelima, inti pelaksanaan ritus fua pah. Pada saat melakukan ritus Fua

Pah, formula mantra atau lasi tonis yang diucapkan oleh seorang Tobe merupakan

bentuk ungkapkan pujian dan syukur serta permohonan dari seluruh masyarakat

yang diwakili oleh seorang Tobe tersebut. Mantra yang diucapkan memiliki

beragam syair atau biasa disebut natoni.38 Berikut ungkapan bahasa ritus atau

natoni yang menggambarkan keteguhan iman akan keberadaan leluhur dan dewa-

dewi sebagai penguasa alam semesta dan sang pemberi hidup bagi mereka.

Bahasa dawan

“Uis Neno, ma Uis pah, etko

fat biana mne bian.

Apohot ana’at neo pah ma

nifu netu ma nonof.

Haim totem akum ma tani, ao

mina ma nekaf uf, ma mfe

man kai lanan ma musona

kai lanan amneot neu to tafa

Oh Uis Neno ma Uis pah

Amnen hai han sananet ma

hai han sakoit

On pah ma nifu ma on Uis

Terjemahan bahasa Indonesia

Raja langit dan bumi di balik batu

dan kayu

Pelindung dan penunggu bukit,

kolam dan lembah

Kami memohon kesehatan dan

keteguhan hati serta bersihkanlah

kami dan tunjukkanlah jalan yang

benar bagi kami umatmu

Oh raja langit dan bumi

Dengarkanlah suara permohonan dan

suara permintaan kami

Bagiakan raja langit dan bumi

38Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 3 Juli 2019 di Kuan Upun. Semua

warga yang turut hadir di tempat perayaan ritus Fua Pah mengambil sikap duduk atau berdiri

mengelilingi tobe dan mesbah serta bahan-bahan kurban. Setelah itu tobe akan mengajak semua

warga yang hadir dalam perayaan tersebut untuk mengarahkan hati dan pikiran mereka kepada

Dewa-Dewi dan Roh Leluhur yang akan disembah. Ketika semuanya sudah siap maka tobe mulai

mengucapkan mantra atau lasi tonis sebagai ujud permohonan kepada Dewa agar menyucikan dan

melindungi mereka semua dalam perayaan ritus fua pah tersebut. Hal ini sebagai pengakuan atas

segala kesalahan dan kelalaian yang telah dibuat oleh semua warga suku terhadap Dewa-Dewi dan

Roh Leluhur mereka.

Page 39: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

29

Neno pah mnatu nifu ne

mnatu.

Haim totem lais mafut nekaf

neu to tafa kai nait mhaket on

mese ma mfenat on mese

mifena pah ma nifu neto ma

nonof. Mutonan kai lanan

amneot ma mfe kai pah

manikin ma oe tena. Mpao

ma mpanat kai na ko lasi

huma-huma he nait hai meup

bale nok alekot ma musona

kai na ko amleut huma-huma.

Onen ma uab tuk-tuka ma

tonja pal-pala.” 39

mengaruniakan isi bumi dengan

danau dan emas. Kami memohon

satukanlah hati kami umatmu agar

kami duduk atau berdiri selalu

bersama-sama bersatu hati demi

membangun tanah pusakamu.

Tunjukanlah jalan kebenaran dan

berikanlah kami air kesegaran dan

daerah kesejukkan. Jagalah dan

lindungilah kami dari segala tutur

dan tingkah salah kami yang tidak

sesuai agar kami tetap setia

merancang tempat pusakamu dengan

baik dan bebaskanlah kami dari

segala macam bahaya. Inilah doa dan

tuturan kami.

Setelah mengucapkan lasi tonis (doa atau mantra) oleh Tobe, ritus ini

dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Sebelumnya, hal yang

dilakukan oleh tobe ialah “hewan kurban (ayam) dicabut bulunya lalu disisihkan

diantara batu-batu. Setelah itu, hewan tersebut akan dibunuh atau lol lalu darah

dari hewan kurban tersebut diteteskan pada faut bena (batu pelat) yang telah

disediakan yang berfungsi sebagai mesbah. Kemudian daging hewan kurban yang

telah disembelih dimasak secara adat lalu diletakkan pada faut bena sebagai

bentuk persembahan kepada Uis Neno-uis pah. “Umumnya daging yang

dipersembahkan oleh suku Lopo Metan kepada Uis Neno-uis pah ialah daging

pilihan terbaik.”40 Setelah itu, daging terbaik yang telah mereka pilih tersebut,

diletakkan bersamaan dengan nasi di atas mesbah. Setelah hasil persembahan

diletakkan di atas mesbah, tobe atau pemimpin ritus mulai membacakan lasi tonis

khusus sebagai berikut.

Bahasa dawan

“Uooo ….

Terjemahan bahasa Indonesia

Uooo....

39 Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar dan tokoh adat suku Lopo Metan, pada

8 Juli 2019 di kuan Noe. 40 Daging pilihan terbaik ini, dipilih berdasarkan masing-masing bentuk hewan yang dikurbankan

dan biasanya memiliki pengecualiannya masing-masing terhadap hewan kurban baik yang berkaki

empat, berkaki dua maupun hewan reptil lainnya. Untuk hewan yang berkaki empat seperti babi

atau kambing biasanya mereka mengambil hati dan daging has sebagai daging terbaik untuk

dipersembahkan kepada Dewa. Sedangkan untuk unggas seperti ayam biasanya mereka

mengambil bagian paha dan dada.

Page 40: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

30

Lasa net sen

Tonja net sen

In abo sin

An honi kai

An ta’o

Neno i

Ma leku i,

Lol

Nait nan nafuf mese

Haef mese

Nak’klui be neu kit

Na’nak be neu kit

Es olas i

Na biku na nen

Nane nak ni ma kane

Ma sis hana

Es utonim

Ma u’latan

Nbi humak

Tonan ntea ben

Tabu ntea ben

Hen nha’taen hil poan

Hi lof es mpao neten

Ma es ampao kobe

Es nbi pah

Es Ena Mnasi

Es Ama Mnasi

Lasi tuk-tuka

Maksud kami hendak persembahkan

Tutur kami hendak antarkan

Kepada leluhur kami semua

Anak kandungmu

Anak ciptaanmu

hari ini

dan saat ini,

Kami menyembelih

kami mengambil sehelai bulu

sepotong kaki

menyerahkan kepadamu

memberikan kepadamu

karena pada saat ini

kami sedang mengerjakan

itulah nasi sudah sedia

dan lauk

karena itu saya tuturkan

dan saya panjatkan

di hadapanmu

tahunnya telah tiba

musimnya sudah datang

untuk menguatkan halaman kami

karena kamulah yang menjaga bukit

dan lembah

yang ada di bumi

bagi ibu Tua

bagi bapak Tua

maksud kami sesingkat ini

Page 41: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

31

Tonja pal-pala.”41 tutur kami sesingkat ini

Bentuk tuturan lasi tonis khusus ini berisi undangan kepada dewa-dewi

untuk turut hadir bersama-sama dengan masyarakat. Di samping itu masyarakat

juga berharap agar dewa-dewi dapat mengabulkan permohonan yang mereka

sampaikan. Setelah pemimpin ritus membacakan lasi tonis dalam suasana sakral

dan kudus, seluruh anggota yang hadir dalam perayaan tersebut bersama-sama

mencicipi persembahan berupa daging dan nasi yang diletakkan di atas altar. Usai

mencicipi hasil sesajian, semua warga kembali mengikuti instruksi dari pemimpin

ritus. Biasanya dalam instruksi yang dilakukan oleh pemimpin ritus memberikan

kesempatan bagi seluruh warga untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sekaligus menjadi tanda bahwa ritus yang dirayakan telah berakhir.

Oleh karena itu, keseluruhan struktur pelaksanaan ritus Fua Pah yang

dilaksanakan oleh masyarakat suku Lopo Metan telah digambarkan sebelumnya

dan memang semuanya membutuhkan proses yang lama. Sehingga dari awal

sampai bagian akhir ritus yang dirayakan masyarakat suku Lopo Metan pun

bergantung pada peranan dari masing-masing warga serta yang paling penting

ialah kesungguhan dalam mengikuti perayaan yang sakral dan kudus tersebut.

2.2.3 Fungsi Ritus Fua Pah

Ritus Fua Pah memiliki fungsi yang sangat membantu perkembangan

hidup setiap suku yang ada di pulau Timor khususnya masyarakat suku Lopo

Metan. Fungsi ritus Fua Pah tidak sekedar berciri mitis, tetapi juga bisa berciri

sosiologis. Dengan demikian fungsi ritus Fua Pah dapat dakategorikan dalam

lima bagian yaitu fungsi magis, mitis, religius, intensifikasi, dan fungsi faktitius.

2.2.3.1 Fungsi Magis

Kepercayaan magis adalah salah satu penjelmaan pertama dan mencolok

dari bangkitnya kayakinan diri manusia.42Masyarakat suku Lopo Metan mengenal

fungsi magis karena hal ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan bahan-bahan

dalam upacara ritus Fua Pah yang memberi kekuatan karena adanya daya mistis. 41Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar dan tokoh adat suku Lopo Metan, pada

8 Juli 2019 di kuan Noe. 42Ernst Cassirer, op. cit, hlm. 139.

Page 42: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

32

Mereka melaksanakan ramalan melalui hati hewan korban yang telah disembelih.

Melalui pelaksanaan ramalan tali perut (urat perut) hewan korban, mereka selalu

beranggapan bahwa hal ini merupakan sebuah tindakan magis, di mana mereka

dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Roh alam (Uis Pah). Dengan

demikian, ritus Fua Pah akan mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian

bahasa ritus (tonis) dan ramalan hati hewan kurban dibuat dengan maksud agar

tidak mengganggu dan merusak tanaman. Bahkan ramalan ini sebagai simbol

kekuatan yang meyakinkan mereka akan apa yang hendak mereka lakukan.

Simbol yang mereka terima dalam bentuk ramalan ini sebagai bentuk persetujuan

antara roh alam dan Dewa di mana roh alam selalu memberi malapetaka bagi

mereka.

Tindakan magis yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya-daya mistis.43Keyakinan masyarakat terhadap Dewa dilihat

sebagai penunjuk jalan kebenaran bagi mereka. Dewa sebagai sang pemberi tanpa

menerima dan sang penenun kebaikan yang tidak bisa diutarakan. Dengan

demikian, ramalan hati hewan yang mereka sembelih akan menunjukkan baik

atau buruknya apa yang akan mereka lakukan. Jika ramalan dianggap baik dan

dapat membantu, maka mereka akan menaruh kepercayaan mereka bahwa Dewa

telah memberi jalan yang baik dan permohonan mereka pasti dikabulkan. Akan

tetapi, jika ramalan hati hewan itu dianggap buruk atau tidak sesuai, maka mereka

pun merasa cemas bahkan kehilangan harapan. Mereka mulai berasumsi bahwa

akan ada malapetaka seperti musim kemarau yang berkepanjangan dan kutukan

dari Dewa bagi mereka. Dengan ini, mereka mulai mencari tahu kesalahan-

kesalahan dan berusaha untuk menyenangkan hati Dewa dengan membuat ritus

Fua Pah.

2.2.3.2 Fungsi Mitos

Mitos dimengerti sebagai buah emosi dan latar belakang emosional itu

mewarnai buah-buahnya dengan warna khas. 44 Dalam masyarakat tradisional,

perilaku-perilaku ritus umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis.

43Mariasusai Dhavamony, loc. cit. 44Ernst Cassirer, op. cit, hlm. 124.

Page 43: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

33

Istilah Mitos ini bertujuan untuk memberikan pembenaran atas berbagai macam

upacara. Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritus pada masa silam

berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat

diamati dua fenomena: ritus dan mitos, berjalan seiring. Hal ini dapat dibenarkan

dalam kehidupan masyarakat suku Lopo Metan di wilayah Kokbaun. Fungsi

mitos dalam suku ini dianggap masih berlaku hingga dewasa ini. Mereka tidak

terlepas dari mitos-mitos yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi

mereka sering melakukan ritus karena adanya mitos yang sudah menjadi tradisi

dalam suku.

Mitos sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu

kepada sekelompok orang. Lewat mitos itu, manusia dapat turut serta mengambil

bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya

kekuatan alam.45 Masyarakat suku dawan Lopo Metan mempraktikkan ritus Fua

Pah sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Bagi mereka, Jika ritus ini tidak

dijalankan, maka jelas akan ada malapetaka yang akan menimpa mereka. Hal ini

sudah diayakini bahwa ritus ini sebagai warisan dari leluhur yang merupakan

suatu keharusan yang perlu dijalankan secara turun temurun.

Berhubungan dengan fungsi mitos yang dimaksud, masyarakat memang

mengakuinya ketika gereja masuk dan mengubah semua cara pandang tradisional

dalam setiap budaya. Akan tetapi, nilai-nilai budaya ini jika ditelusuri lebih dalam

sangatlah bermanfaat bagi masyarakat. Di sini fungsi mitos dapat dikategorikan

oleh Prof. Dr. C. A. Van Peursen dalam dua bagian yakni pertama, menyadarkan

manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Kedua, memberi jaminan bagi masa

depan.46 Manusia harus mampu untuk menghayati daya-daya yang dapat memberi

kekuatan yang mempengaruhi kehidupannya dan berkuasa atas alam semesta.

Melalui penghayatan akan kekuatan-kekuatan tersebut, manusia akan selalu

berusaha melakukan upacara-upacara korban kepada alam dunia untuk dapat

bersatu padu dengan alam Yang Transenden. Dalam mitos pun ada harapan dari

manusia untuk masa depannya dan ketika ia bercocok tanam ia akan menyerahkan

semuanya pada yang berkuasa atas langit dan bumi untuk memperoleh

kesejahteraan hidup.

45Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 37. 46Prof. Dr. C. A. Van Peursen, op. cit, hlm. 38-39.

Page 44: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

34

2.2.3.3 Fungsi Religius

Para filsuf dan para antropolog berpendapat bahwa sumber hakiki dan

sumber sejati dari agama adalah rasa ketergantungan manusia.47 Religi muncul

ketika manusia terus-menerus menggantungkan hidupnya terhadap sesuatu yang

dianggap bisa memberikan kenyamanan baginya dan juga keselamatan.

Ketergantungan ini ialah bahwa manusia memiki keyakinan penuh akan sesuatu

yang ada di luar dirinya. Sesuatu yang supranatural yang melampaui hidup dan

keberadaannya di dunia. Dengan demikian, manusia selalu mencari dan

melakukan apa yang hendak dibuat agar mencapai apa yang diharapkan.

Demikian pun dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan, keyakinan mereka

selalu bergantung pada rangkaian ritus adatFua Pah dengan tujuan agar apa yang

diharapkan dapat tercapai.

Umumnya pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan

sebagai sebuah tindakan religius yang bersifat kreatif dan berdimensi sosial.

Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan berkumpul

bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama

seluruh anggota suku. Konsep mereka bahwa kultus para leluhur juga bekerja

dengan cara ini dan dapat dikategorikan sebagai tindakan religius asli. Bagi

mereka ritus Fua Pah memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal. Dalam

kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan, jika dalam pelaksanaannya benar-

benar diungkapkan secara radikal, maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan

bermuara kepada kepasrahan terhadap wujud Tertinggi yakni Uis Neno.

Keyakinan yang teguh akan sesuatu Yang Transenden inilah yang mendorong

mereka untuk tetap setia melaksanakan upacara ritus dalam religi budaya lokal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat terhadap sesuatuYang

Transenden ini telah menjadi tradisi dan telah membudaya hingga saat ini.

Selain itu, keberfungsian religius ritus Fua Pah ini sebagai sesuatu yang

sangat nampak dan merubah pola pikir mereka serta mengarahkan mereka kepada

sesuatu Yang Transenden. Hal ini berarti bahwa mereka melaksanakan upacara

ritus Fua Pah bukan merupakan bentuk persembahan mereka terhadap alam,

melainkan di balik semuanya itu ada sesuatu yang dianggap bisa menerima dan 47Prof. Dr. C. A. Van Peursen, op. cit, hlm. 138.

Page 45: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

35

mengabulkan setiap permohonan yang diutarakan. Bentuk persembahan terhadap

alam yang mereka sembah merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Yang

Transenden. Dengan demikian, bagi mereka segala hasil yang mereka peroleh dari

alam merupakan pemberian paling luhur dari yang Ilahi.

2.2.3.4 Fungsi Intensifikasi

Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah

kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan panenan. Jika

dapat didefinisikan kata intensifikasi memiliki arti yang lebih terarah pada proses

peningkatan suatu kegiatan yang lebih hebat.48 Upacara ritus Fua Pah terutama

dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan

berhasil. Ketergantungan terhadap alam membuat masyarakat suku Lopo Metan

harus setia menjaga dan melindungi alam dengan baik. Alam dilihat sebagai ibu

yang merawat dan membesarkan mereka. Dengan anggapan seperti ini, setiap

ritus yang dibuat selalu dipersembahkan dengan memberi sesajian sebagai

ungkapan rasa syukur atas semua keberhasilan yang mereka peroleh.

Selain itu, ketika mereka memberi korban persembahan, hal pertama yang

mereka pikirkan ialah bahwa apa yang mereka peroleh merupakan hasil

pemberian yang cuma-cuma atau anugerah terindah bagi mereka. Anggapan

seperti inilah yang mendorong mereka untuk mempersembahkan apa yang mereka

peroleh kepada Allah melalui korban ekaristi kudus. Oleh karena itu, fungsi

intensifikasi dalam ritus kelompok ini dilihat sebagai ungkapan rasa syukur

mereka atas keberhasilan yang diperoleh dari semua anggota suku mereka.

2.2.3.5 Fungsi Faktitius

Fungsi faktitius berkaitan dengan peningkatkan produktivitas, kekuatan,

pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan

materi.49 Sangat jelas bahwa anggapan masyarakat suku Lopo Metan tentang ritus

Fua Pah merupakan suatu tindakan faktif dengan motivasi meningkatkan

kesejahteraan material anggota suku. Mereka tidak hanya mewujudkan korban

48 Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Lux,

(Semarang: Widya Karya, 2011), hlm 187. 49Mariasusai Dhavamony, loc. cit.

Page 46: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

36

sesajian untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, tetapi juga pelaksanaan

tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular

mereka. Segala tindakan kesalahan yang dibuat oleh kelompok suku maupun

anggota akan menjalani pemurnian diri. Proses pemurnian dibuat karena

kesalahan-kesalahan terhadap alam tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki

oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Untuk mencari perhatian dari dewa-dewi inilah,

mereka berusaha untuk meningkatkan produktifitas, kekuatan, pemurnian dan

perlindungan dengan cara memberi sesajian terhadap alam atau yang disebut

dengan Fua Pah.

Faktitius merupakan hal yang sengaja dibuat atau diadakan dan tidak asli

atau dengan kata lain bahwa buatan atau rekaan.50Melalui alam yang mereka

sembah, ada suatu kekuatan yang melampaui segala sesuatu sehingga pemberian

mereka terhadap alam hanyalah hasil rekaan atau simbol dan tujuannya bukan

untuk alam saja melainkan untuk yang lebih berkuasa atas alam itu sendiri.

Selain itu, mereka pun membuat perjanjian untuk tidak lagi membuat

kesalahan yang sama dan pada waktu yang bersamaan pun mereka menyerahkan

seluruh hidup mereka kepada alam. Kebergantungan hidup mereka terhadap alam

inilah yang mendorong mereka untuk terus-menerus meminta perlindungan dari

leluhur dan dewa-dewi. Mereka selalu menjaga keharmonisan dengan alam

karena alam dilihat sebagai yang sakral. Jika tidak sesuai dengan perjanjian yang

dibuat, maka akan terjadi kesenjangan antara alam dan manusia. Mereka tidak

lagi memperoleh hasil sesuai yang diharapkan dan mereka anggap itu sebagai

malapetaka yang menimpa hidup mereka.

2.3 Kesimpulan

Sejarah asal-usul nenek moyang suku dawan Lopo Metan-Kokbaun

umumnya telah dilukiskan sebelumnya bahwa nenek moyang mereka awalnya

berasal dari tempat yang jauh yakni Timor Leste. Setelah melewati perjalanan

yang panjang akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal menetap di wilayah

Kokbaun. Dalam perjalanan waktu, mereka membentuk rumpun keluarga besar

dalam suku hingga menjadi suku yang sangat besar dan juga dapat

50Ibid.

Page 47: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

37

mengeneralisasi suku-suku yang lain di wilayah Kokbaun. Hal ini berawal dari

kekerabatan karena garis keturunan dalam suku mau pun perkawinan antar suku.

Tradisi ini masih dipegang hingga dewasa ini. Bahasa yang digunakan sehari-hari

ialah bahasa dawan. Penggunaan bahasa ini bukan hanya di dalam suku Lopo

Metan melainkan berlaku untuk semua wilayah yang ada di Kabupaten Timor

Tengah Selatan. Penggunaan bahasa sehari-hari sangat berbeda dengan

penggunaan bahasa dalam praktek ritus. Hal ini karena bahasa ritus merupakan

bentuk ungkapan untuk melukiskan keberadaan dan keluhuran Wujud Tertinggi

atau Uis Neno. Dengan demikian yang boleh menggunakan bahasa ritus atau

natoni hanyalah mereka yang dianggap mampu berbicara dengan baik dan pintar

dalam berbahasa adat.

Tradisi ritus Fua Pah suku Lopo Metan merupakan tradisi leluhur yang

masih dipraktekan hingga dewasa ini. Dalam prakteknya, masyarakat suku Lopo

Metan memiliki keyakinan bahwa apa yang mereka minta pasti akan dikabulkan.

Masyarakat suku Lopo Metan pun percaya akan Wujud Tertinggi atau Uis Neno

sebagai sang penguasa langit dan bumi. Menurut mereka, eksistensi Uis Neno

merupakan sesuatu yang sangat jauh atau tidak bisa dijangkau oleh manusia siapa

pun. Oleh karena itu, cara mereka untuk mendekatkan diri dengan Uis Neno ialah

dengan memberi sesajian kepada roh alam uis pah dan roh leluhur uis nitu sebagai

perantara mereka.

Page 48: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

38

BAB III

KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP RITUS FUA PAH

3.1 Pengantar

Dalam bab ini, penulis mengemukakan aspek-aspek yang terkadung dalam

ritus Fua Pah sebagai dasar perbandingan dengan nilai-nilai teologis yang

terdapat dalam Gereja Katolik. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya tentang

pengertian dan maksud ritus Fua Pah, penulis menemukan beberapa nilai positif

yang ditemukan juga dalam teologi Kristiani, seperti kebersamaan (communio),

permohonan, dan persembahan.

Ritus Fua Pah dilakukan dalam kelompok dengan jumlah anggota yang

cukup banyak dan dipimpin oleh ketua adat atau ketua suku. Ketua suku berperan

sebagai pelaku utama sekaligus nahkoda untuk memperlancar pelaksanaan ritus

tersebut. Penulis meyakini bahwa dalam ritus Fua Pah yang dilakukan dan

dihayati oleh masyarakat Suku Lopo Metan di desa Kokbaun, terdapat nilai-nilai

teologis yang tidak dapat diabaikan. Keyakinan ini berangkat dari pemahaman

bahwa Allah telah lebih dahulu hadir dan bekerja di dalam kebudayaan-

kebudayaan masyarakat lokal dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat

tersebut.51

3.2 Gambaran tentang Teologi

Teologi 52 secara harafiah berarti ilmu tentang Tuhan. Berbicara atau

bertanya jawab akan Tuhan tentu suatu hal yang tidak mudah dan tidak akan

51 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam

Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2005), hlm. v. 52 Teologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu theos yang berarti “Allah” dan logos yang berarti

“kata” atau “pikiran”. Maka, secara etimologis, teologi adalah kata atau pikiran, atau berkata atau

berpikir tentang Allah. Bagi kaum Skolastik teologi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu theos yang

berarti “Allah” dan logos yang berarti “kata” atau “pikiran”. Maka, secara etimologis, teologi

adalah kata atau pikiran, atau berkata atau berpikir tentang Allah. Berdasarkan pengertian ini,

maka Teologi secara langsung dapat dimengerti sebagai suatu refleksi manusia tentang Allah yang

merupakan objek pengetahuan. Menurut pemahaman Skolastik konsep teologi ini dapat diterima.

Page 49: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

39

pernah berakhir. Hal ini dikarenakan ilmu atau naluri manusia sekalipun tidak

mampu untuk mendefinisikan secara tuntas tentang siapa itu Tuhan. Oleh karena

keterbatasan itu, maka manusia berjuang untuk memahamiNya melalui media

atau perantara. Agama menjadi satu-satunya cara atau jalan bagi manusia untuk

memahami Tuhan (Wujud Tertinggi). Di dalam agama Katolik, Kitab Suci adalah

sumber utama untuk mengenal Tuhan dengan ditunjang oleh dogma-dogma dan

tulisan-tulisan para teolog. Semua ini merupakan sarana bagi manusia untuk dapat

mengenal Tuhan secara nyata. Selain Alkitab dan dogma-dogma tersebut, akal

budi pun diikutsertakan dengan tujuan membantu manusia dalam menjawabi

pertanyaan mendasar mengenai apa itu teologi dan bagaimana keraguan-keraguan

manusia akan Tuhan dapat dijawab secara logis. Untuk memperoleh gambaran

teologi Kristiani secara jelas, baik dan benar, maka hal pertama yang perlu

dilakukan ialah mendalami secara penuh pengertian teologi itu sendiri. Selain

pengertiannya, perlu dipahami juga nilai-nilai teologi Kristiani yang terkandung

di dalamnya sebagai tonggak dasar bagi setiap orang atau suku yang percaya

kepada Allah.

3.2.1 Model-Model Teologi

Dalam memahami teologi, terdapat beberapa model teologi yang

ditawarkan sebagai jembatan penghubung antara realitas manusia, iman dan akal

budi, antara lain model terjemahan, model antropologis, model praksis, dan model

sintesi, model transendental dan model budaya tandingan.53 Model-model teologi

ini memiliki kekhasannya masing-masing. Akan tetapi, setiap model tersebut

saling berkaitan dan berpengaruh satu dengan yang lainnya. Itu berarti setiap

model yang ada tidak bersifat eksklusif, tetapi inklusif. 54 Tidak ada model

Namun, persoalannya bahwa Allah tidak dapat ditempatkan sebagai objek pengetahuan manusia.

Menurut kaum Skolastik, Allah senantiasa menjadi subjek karena hakikat Allah adalah misteri

yang tidak terpecahkan oleh hasil pemikiran manusia, sehingga untuk memahami Allah, tidak

hanya mengandalkan akal budi tetapi dibutuhkan iman dan kepercayaan. Hal ini dimaksudkan

agar apa yang dicemaskan manusia terkait teologi tidak saja dijawabi melalui refleksi ilmiah

namun lebih dari itu dibutuhkan juga sebuah refleksi iman manusia dalam menjawabi pertanyaan

tentang teologi khususnya tentang Allah. Lih. Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif

Global, (Maumere: Ledalero, 2013), hlm. 11 dan 51. 53Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan (Maumere:

Ledalero, 2002), hlm. 51-248. 54Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global..., op. cit., hlm. 234.

Page 50: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

40

berteologi dalam konteks yang lengkap dan utuh serta tuntas. Setiap model pada

dasarnya mengacu kepada keberagaman pendekatan yang digunakan dalam

mengembangkan teologi kontekstual. Hal ini karena konteks turut mempengaruhi

model seperti apa yang cocok digunakan dalam berteologi. Berikut merupakan

penjelasan singkat mengenai keenam model teologi kontekstual.

Pertama, Model Terjemahan. Model terjemahan adalah model yang paling

umum dipakai dalam teologi kontekstual. Umumnya model ini paling banyak

dipakai dalam bidang liturgi. Terjemahan yang dimaksud dalam model ini

bukanlah terjemahan kata demi kata, melainkan terjemahan kreatif dan idiomatik

untuk mencari padanannya dengan konteks budaya di mana Injil itu

diterjemahkan. Akan tetapi, dalam proses terjemahan tersebut, inti Injil atau

ajaran Kristiani tetapi dipertahankan. Inti dari pewartaan dalam model terjemahan

adalah bahwa Injil tidak pernah berubah, sebab ia bersifat adi-budaya atau adi-

kontekstual.55 Sementara itu, hal yang berubah adalah konteks kebudayaan. Jika

dilihat, model ini sungguh mengindahkan dan memberikan penekanan pada

pewartaan Kitab Suci berdasarkan tradisi dan jati diri Kristiani. Model ini pun

mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat di dalam setiap budaya di mana Gereja

bertumbuh. Akan tetapi, model ini memberikan penekanan berlebihan terhadap

jati diri Kristiani tanpa melihat keunikan budaya-budaya lain.

Kedua, Model Antropologis. Kekhasan model antropologis ialah

pengakuan atau pelestarian jati diri budaya. Model ini merujuk pada pemahaman

bahwa kekristenan bukan terutama menyangkut amanat tertentu atau seperangkat

doktrin, melainkan berkaitan erat dengan pribadi manusia dan kepenuhan

hidupnya.56 Model ini memungkinkan orang untuk melihat agama Kristen dari

perspektif yang lebih baru sesuai dengan kekhasan budaya dan kenyataan hidup

orang bersangukutan. Dalam perwujudannya, model antropologis mengindahkan

dan mendayagunakan sumber-sumber dari ilmu-ilmu sosial, yakni antropolologi

dan etnografi. Oleh karena itu, model antropologi sering disebut sebagai model

“etnografis” atau “pribumian.”57

55Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi..., op.cip., hlm. 64-67. 56Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global..., op. cit., hlm. 241. 57Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi..., op.cip., hlm. 97-98.

Page 51: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

41

Ketiga, Model Praksis. Model praksis dalam teologi kontekstual lebih

memfokuskan perhatian pada upaya untuk memperjuangkan suatu perubahan

sosial dengan bertumpu pada refleksi dan aksi yang terus berkelanjutan.58 Dalam

model praksis pewahyuan merupakan kehadiran Allah dalam sejarah, peristiwa

hidup sehari-hari, aneka pengalaman penindasan dan penderitaan, di mana Allah

itu hadir sebagai pembebas dan penyembuh. Dalam berteologi menggunakan

model praksis, seseorang dituntut untuk bersikap peka, analitis dan kritis terhadap

keadaan di sekitarnya. Sikap-sikap itu kemudian mendorongnya untuk mengambil

tindakan transformatif yang tepat dengan berlandaskan pada inspirasi Kitab Suci.

Keempat, Model Sintesis. Model berteologi ini berupaya untuk

memadukan pendekatan model terjemahan, model antropologis, dan model

praksis. Model sintesis juga menjangkau berbagai wawasan dari konteks orang

lain yang mencakup pengalaman, kebudayaan dan cara berpikir orang tersebut.59

Model sintesis ini sebagai sebuah model “jalan tengah” atau model dialogis antara

tradisi iman, konteks, dan dinamika yang terjadi dalam praksis. Keunikan dari

model teologi ini terletak pada kemampuannya untuk bersikap terbuka dan

mendengarkan semua pihak dalam suatu dialog. Akan tetapi, model ini sering kali

berbenturan dengan pihak-pihak yang bersikap eksklusif dan plin-plan berkaitan

dengan pandangannya mengenai doktrin tradisional dan pengalaman kehadiran

Allah dalam Gereja lokal.

Kelima, Model Transendental. Kekhasan model ini yaitu bahwa diri

adalah subjek dari sebuah komunitas beriman. Itu berarti subjek yang mengenal

realitas terlibat secara penuh dalam menentukan bentuk hakiki dari realitas

tersebut. Model ini selalu dimulai dari pengalaman religius sendiri dan dengan

pengalaman menyangkut diri sendiri. berhadapan dengan sebuah pengalaman,

sesuatu yang bersifat privat dan personal dapat pula mengungkapkan pengalaman-

pengalaman orang-orang lain yang mengambil bagian dalam pengalaman

tersebut. Di sini, model transendental memberi penekanan terhadap autentisitas

subjek atau pribadi manusia.60

58Ibid., hlm. 127. 59Ibid., hlm. 161. 60Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi…, op.cit., hlm. 192-196.

Page 52: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

42

Keenam, Model Keterlibatan. Model teologi ini bukan sebuah model yang

anti-budaya. Sebaliknya, model ini menampilkan sebuah fungsi kritis terhadap

konteks manusiawi dengan tetap menghargai konteks tersebut dan membiarkan

Injil menjadi penuntun bagi seluruh proses berteologi.61

3.2.2 Nilai-Nilai Teologi Kristiani

Segala sesuatu akan dikatakan memiliki nilai apabila dianggap berguna,

baik, benar, indah, dan religius. Pada dasarnya nilai itu bersifat ideal. Oleh karena

itu, “nilai” itu dapat dilihat sebagai “sesuatu yang abstrak” dan tidak dapat

disentuh oleh panca indera. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Kristiani

pada dasarnya bermaksud untuk mengarahkan kaum beriman dalam memahami,

mengenal dan mengalami perjumpaan dengan Allah.

Nilai-nilai yang perlu ditanamkan kepada seluruh kaum beriman Kristiani

adalah nilai-nilai yang tidak terlepas dari sifat-sifat Allah sebagaimana yang

ditandaskan dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bahwa “Allah itu

Mahasempurna dalam segala hal. Artinya, Tuhan mempunyai semua sifat yang

baik tanpa batas yang tidak bisa dibayangkan.”62 Lebih lanjut, Allah menunjukkan

jati diri-Nya melalui pribadi Yesus Kristus. Kesaksian hidup kaum beriman

Kristiani harus sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki Allah yakni

“kebenaran, cinta kasih, kekudusan, kesalehan, kesetiaan dan keutamaan.”63

Pertama, nilai kebenaran memiliki makna yang sangat penting bagi kaum

beriman Kristiani. Setiap orang perlu memegang kebenaran dan juga dapat

mengajarkan kebenaran sesuai dengan ajaran Alkitab sebagaimana ditegaskan

dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum [DV]) nomor 6

bahwa:

“Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan

membuka diri-Nya sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang

abadi tentang keselamatan manusia, yakni untuk

61Ibid., hlm. 221-222. 62Konferensi wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141-142. 63Ibid.

Page 53: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

43

mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama

sekali melampaui daya tangkap akal budi insani”.64

Kedua, nilai cinta kasih manusia terhadap sesama harus sama seperti cinta

kasih Allah dalam diri Yesus Kristus yang adalah ciri kehidupan umat Kristiani

yang selalu dinantikan oleh orang-orang di sekitarnya sebagaimana ditegaskan

dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes [AG]) nomor 12

bahwa:

“Akan tetapi Gereja sama sekali tidak bermaksud mencampuri

pemerintahan masyarakat duniawi. Gereja tidak menghendaki

kewibawaan lain bagi dirinya kecuali untuk bantuan Allah,

dengan cinta kasih dan dalam pengabdian yang setia, melayani

umat manusia.”65

Ketiga, nilai kekudusan kaum beriman Kristiani merupakan syarat

seseorang yang dapat melihat Allah, dan masuk menghadap hadirat-Nya dalam

Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes [GS]) nomor

14 berbicara tentang:

“Oleh karena itu, manusia tidak boleh meremehkan hidup

jasmaninya, melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik

serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh

Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi karena

manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada

badannya. Maka dari itu martabat manusia menuntut, supaya

meluhurkan Allah dalam badannya, dan jangan membiarkan

badan itu melayani kecondongan-kecondongan hatinya yang

tidak baik.”66

Keempat, nilai kesalehan. Nilai ini lebih mengutamakan relasi manusia

dan Allah melalui kesederhanaan hidup. Dalam Konstitusi Pastoral Gereja di

Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes [GS]) nomor 15 menguraikan bahwa “berkat

kurnia Roh Kudus, manusia dalam iman makin mendekat untuk berkontemplasi

tentang misteri Rencana ilahi serta menikmatinya.”67

Kelima, nilai kesetiaan. Dalam Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia

Dewasa Ini (Gaudium et Spes [GS]) nomor 16 tentang kesetiaan menyatakan

64Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirayana SJ, cetakan XI

(Jakarta: Obor, 1993), hlm. 330. 65Ibid., hlm. 429. 66Ibid., hlm. 536. 67Ibid., hlm. 537.

Page 54: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

44

bahwa seluruh umat Kristiani hendaknya selalu bersatu hati mencari kebenaran

dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi. Menurut dokumen ini, “hati

nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang

diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.”68

Keenam, nilai keutamaan. Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja

(Ad Gentes [AG]) nomor 3 berbicara tentang semangat untuk memberikan yang

terbaik kepada Tuhan dan sesama tentunya diilhami oleh Allah sendiri yang telah

memberikan yang terbaik, yakni Anak-Nya Yang Tunggal bagi dunia. Dokumen

ini menandaskan:

“Rencana Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia itu

terlaksana bukan saja seolah-olah secara tersembunyi dalam jiwa

manusia, atau pun melalui usaha-usaha mereka, juga yang

bersifat keagamaan, untuk mencari Allah dengan pelbagai cara,

kalau-kalau mereka dapat menjamah atau menemukan-Nya,

meskipun ia tidk jauh dari kita masing-masing (Kis 17:27).

Sebab usaha-usaha ituperlu diterangi dan disembuhkan,

sungguhpun, atas rencana penyelenggaraan Allah yang murah

hati, itu semua akhirnya juga dapat dipandang sebagai

pendidikan menuju Allah yang benar atau sebagai persiapan

injili.”69

Nilai-nilai teologi Kristiani yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa

Gereja menghargai setiap kegiatan manusia sebagai kaum beriman. Hal ini karena

semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara perorangan maupun

bersama untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka merupakan suatu

bagian dari perwujudan rencana Allah. Manusia diciptakan menurut gambar Allah

dan diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi beserta segala sesuatu yang ada

di dalamnya berdasarkan prinsip keadilan dan kesucian (GS 56).

3.3 Pandangan Gereja Katolik terhadap Kebudayaan

Sebelum Konsili Vatikan II, imperatif misi pewartaan Gereja adalah extra

ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Namun, setelah

adanya Konsili Vatikan II imperatif misi pastoral Gereja berubah menjadi

68Ibid., hlm. 538. 69Ibid., hlm. 413.

Page 55: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

45

Ecclesia semper reformanda (Gereja senantiasa memperbaharui diri). 70

Pernyataan extra Ecclesiam nulla salus, lebih menekankan pewartaan Gereja pada

penaklukan kebudayaan non-Barat dan mengkristenisasikan bangsa-bangsa lain di

seluruh jagat ini. Sementara itu Ecclesia semper reformanda, lebih menekankan

keterbukaan Gereja terhadap keberagaman agama atau budaya dan berusaha

untuk membangun dialog antar agama atau budaya tertentu demi menumbuhkan

iman seluruh kaum Kristiani dari setiap budaya. Setelah munculnya Konsili

Vatikan II, Gereja mulai terbuka dan tidak lagi mengutuk agama-agama lain atau

praktik-praktik agama asli dari kebudayaan tertentu.

Konsili Vatikan II merupakan tonggak dasar yang menentukan

keterbukaan Gereja terhadap dunia khususnya kebudayaan-kebudayaan. Gereja

mulai sadar dan membuka diri terhadap kebudayaan-kebudayaan. Kesadaran ini

didasarkan pada realitas di mana Gereja hidup di tengah dunia yang kompleks

akan tradisi atau warisan budaya. Kesadaran ini pula tidak terlepas dari semangat

para bapa konsili saat itu yang mendorong Gereja untuk tidak hanya terarah pada

budaya Yahudi, melainkan lebih terbuka dan menghormati kebenaran budaya-

budaya lain. Dengan semangat para Bapa Konsili ini, Gereja pun terus

mengevaluasi, menilai dan mengarahkan dirinya untuk menyikapi perjumpaan

dengan pelbagai kebudayaan. Namun, Gereja pun selalu berhati-hati dalam

menerima kebudayaan sebagai suatu kekayaan kultural dan sejarah hidup umat

manusia. Gereja sadar bahwa penolakan terhadap budaya berarti penolakan

terhadap manusia. 71 Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Gaudium et Spes

bahwa Gereja dewasa ini perlu memahami kebudayaan sebagai segala upaya

manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-

pembawaan jiwa-raganya, dan manusia itu “berusaha menguasai alam semesta

dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial,

dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui

kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya, di sepanjang masa ia

mengungkapkan, menyalurkan, dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani

70Jacob Kavunkal, “Penaklukkan atau Kehadiran: Misi di Asia dalam Milenium Ketiga”, dalam

Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, Mendengarkan dan Mewartakan, (Ende: Nusa

Indah, 2002), hlm. 211. 71 Cristhologus Dhogo. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan Ekaristi

(Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 148.

Page 56: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

46

serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karyanya supaya berfaedah bagi

kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia” (GS 53).

Gereja pada dasarnya menempatkan budaya sebagai wahana yang

digunakan manusia dalam menentukan etos dan pandangan hidupnya. Kendati

demikian, budaya memungkinkan manusia untuk bisa menempatkan tatanan nilai-

nilai kehidupan yang ada. Misalnya, cara menggunakan benda-benda,

menjalankan karya-karya, mengungkapkan diri, membentuk adat istiadat dan

mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan

sarana untuk mengatasi dan menjawabi kesulitan hidup manusia. Lebih jauh,

dalam upaya membangun Gereja yang autentik seturut Konsili Vatikan II, Gereja

mesti dibangun di atas perjumpaan dengan pelbagai budaya. Dalam perjumpaan

tersebut, Gereja semakin diperkaya dengan mengenal pelbagai tradisi, simbol,

adat-istiadat dan kekayaan lain dalam suatu budaya di mana Gereja itu berada.

Selain itu, perjumpaan dengan pelbagai budaya juga dapat mengubah dan

membaharui nilai-nilai budaya dari dalam, dan sekaligus membuka penafsiran

kreatif atas nilai-nilai injil yang diwartakan Gereja ke dalam ungkapan-ungkapan

yang baru atau membuka jalan baru dalam memahami injil dan kekayaannya.

Konsep teologis tentang Gereja tidak lagi hanya terbatas pada persekutuan

murid-murid Kristus yang kelihatan, yang mana Gereja “sebagai sakramen (LG

1), yaitu sakramen keselamatan bagi semua orang (LG 48). Akan tetapi, konsep

teologis tentang Gereja juga mencakup wawasan Gereja yang bersifat misioner

(AG 1).” 72 Keterbukaan Gereja terhadap budaya bangsa-bangsa lain menjadi

keterbukaan universal. Artinya, Gereja tidak hanya tertuju pada para murid Yesus

melainkan untuk semua orang. Dengan ini, pewartaan teologi semakin meluas dan

benih-benih sabda yang diwartakan dapat merasuki hati semua manusia dalam

setiap budaya. Di sini Gereja tidak menutupi dirinya dan berasumsi bahwa di luar

Gereja tidak ada keselamatan melainkan mulai terbuka dan memperbaharui

dirinya dengan menggali dan menyikapi kekayaan nilai-nilai teologis dari setiap

budaya yang dijumpai. Dengan demikian, Gereja tidak hanya menjurus pada

persekutuan para murid melainkan persekutuan seluruh kaum beriman. Atas dasar

72Stephen B. Bevans, “Mitra dan Nabi-Gereja dan Globalisasi”, dalam Georg Kirchberger dan

John Masfort Prior, Mendengarkan dan Mewartakan (Ende: Nusa Indah, 2002), hlm. 68-69.

Page 57: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

47

itulah Gereja dipahami sebagai Gereja universal yang terbuka bagi semua umat

beriman di seluruh dunia.

Sejak konsili vatikan II Gereja pun melihat dan memperbaharui diri secara

radikal, mengubah seluruh pandangannya tentang agama-agama lain, tentang

praktik keagamaan masyarakat tradisional serta tentang kebudayaan bangsa-

bangsa pada umumnya. Sambil tetap memegang teguh keunikan Yesus Kristus

sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Gereja Katolik mulai membenahi

diri dan menerima nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam praktik-praktik budaya.

Gereja Katolik sadar bahwa iman tidak selamanya harus dipahami secara rasional

tetapi harus dihayati dan dilihat secara nyata. “Sejak saat itu, Gereja Katolik

mengimbau putra-putrinya untuk merangkul nilai-nilai baik dan luhur di dalam

kebudayaan mereka dan tradisi-tradisi iman agama-agama lain melalui inkulturasi

dan dialog antar-agama.”73Gereja menyadari kekayaan nilai-nilai budaya yang

berpengaruh bagi kehidupan manusia, sehingga turut secara langsung menentukan

kemanjuran pewartaan dan keberakarannya di dalam dunia.

Dengan demikian, keterbukaan Gereja terhadap keberagaman budaya pada

dasarnya merupakan keniscayaan, serentak gema pewartaan harus sungguh-

sungguh berakar agar benih-benih sabda yang diwartakan itu tumbuh dalam hati

setiap orang Kristen dalam kebudayaannya masing-masing. Oleh karena sikap

baru dari Gereja Katolik yang diilhami Konsili Vatikan II ini, “agama-agama

tradisional dalam pandangan dan ritusnya terus memainkan sebuah peran penting

di dalam kehidupan sejumlah besar orang Katolik di berbagai wilayah dalam

mempraktikkan iman dengan memakai tata cara agama Katolik dan juga melalui

tata cara keagamaan asli mereka.”74

Atas dasar pemahaman ini, di dalam praktik keagamaan tradisional

terkandung nilai-nilai Kristiani yang bervariasi. Hal ini dikarenakan praktik

budaya atau tradisi yang dilakukan masyarakat bervariatif atau berbeda-beda.

Sebagaimana diuraikan secara panjang mengenai pandangan Gereja terhadap

kebudayaan tradisional, maka secara gamblang dapat dikatakan bahwa praktik-

praktik ritus kebudayaan memiliki nilai-nilai yang luhur yang bisa disandingkan

dengan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu, pandangan Gereja terhadap agama

73Alex Jebadu, op. cit, hlm. 3. 74Ibid., hlm. 4.

Page 58: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

48

tradisional dapat diterima serta ritus kebudayaan sebagai ritus keagamaan

tradisional dapat dipertahankan.

Oleh karena itu, mereka yang berpandangan negatif terhadap pandangan

dan ritus keagamaan tradisional cenderung menganggap pandangan agama

tradisional sebagai pandangan yang terlalu dominan oleh hal-hal yang magis.

Selain itu, praktik keagamaan tradisional adalah berhala, kepercayaan sia-sia atau

takhayul. 75 Hal yang patut disayangkan adalah hingga saat ini Gereja tidak

mempunyai teologi praktis yang dapat menjembatani pertentangan di atas. Gereja

juga tidak mempunyai pedoman pastoral yang bisa menolong agen pastoral untuk

mengintegrasikan secara harmonis pandangan dan praktik keagamaan asli ke

dalam teologi dan praktik keagamaan Katolik.76

3.4 Pandangan Masyarakat Suku Lopo Metan terhadap Alam

Ketergantungan masyarakat suku Lopo Metan terhadap alam sangat

kental, hal ini tampak dalam segala jenis perkakas seperti ike-suti dan suni-auni

yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Peralatan-peralatan ini sangat

berguna dan penting bagi masyarakat yang bernaung di bawah suku Lopo Metan.

Masyarakat dapat menggunakan peralatan-peralatan tersebut untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi demi mempertahankan hidup. Bahan-bahan yang digunakan

dalam membuat peralatan atau perkakas ini semuanya berasal dari alam.

Ketergantungan ini membuat mereka untuk memperlakukan alam layaknya

seperti mereka memperlakukan seorang manusia yaitu dengan menjaga, merawat

dan melindunginya. Atas dasar ini, maka relasi antara mereka dengan alam sangat

dekat. Alam dianggap seperti saudara dan bumi dianggap sebagai ibu mereka.

“Bagaimana mungkin mereka dapat menyakiti dan melukai saudara dan ibu

mereka sendiri.”77 Masyarakat Atoni Meto memiliki prinsip bahwa alam selalu

membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Dengan demikian,

dalam seluruh siklus hidup mereka, semua kekayaan alam dilihat sebagai

pemberian dari Yang Ilahi yang patut untuk dilestarikan tanpa merusaknya.

75 Fransiskus Bonevasio Rodos, Ritus Paki Kaba Kelas Mese dalam Masyarakat Sipi dan

Pandangan Kristen Tentang Hidup Sesudah Mati, Sebuah Upaya Mencari Model Inkulturasi

Budaya, dalam Jurnal Ledalero Volume 11 No. 2, Juli 2012, hlm 86. 76Ibid. 77Dr. Eben Nuban Timo, op. cit., hlm. 36.

Page 59: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

49

Orang Timor memiliki pandangannya tersendiri terhadap alam. Alam

terutama dilihat sebagai saudara sekaligus sumber hidup manusia. Hutan, air,

udara, musim untuk menanam, memetik hasil, mengolah lahan, hujan, dan api,

misalnya, dilihat sebagai satu kesatuan yang membentuk kosmos.78 Agar tetap

menjalin relasi yang baik dengan kosmos, masyarakat suku Lopo Metan selalu

menjaga dan melestarikan kosmos tersebut. Anggapan mereka bahwa jika

keharmonisan antara mereka dengan alam retak maka timbulah malapetaka yang

datang untuk membinasakan mereka. Misalnya, kesuburan tanah, kegagalan

panen, dan kekeringan. Semua kegagalan ini dilihat sebagai satu ekspresi

kemarahan dari Dewa-Dewi atau Leluhur akibat kelalaian mereka dalam

memperlakukan alam yang adalah saudara mereka sendiri. Akibat lanjutan dari

kelalaian tersebut, mengakibatkan relasi antara mereka dan Dewa-Dewi atau

Leluhur semakin renggang. Bagi Masyarakat suku Lopo Metan, semua

malapetaka yang mereka terima adalah satu teguran dari Dewa-Dewi atau

Leluhur. Sebagai bentuk ungkapan rasa bersalah dan pemurnian diri dari segala

bentuk kelalaian yang telah dibuat, maka ritus Fua Pah adalah hal penting yang

perlu dilakukan sebagai jembatan mereka untuk membangun kembali relasi yang

intim dengan Leluhur atau Dewa-Dewi

3.5 Ritus Fua Pah sebagai Tanggapan Moral atas Manifestasi Diri Wujud

Tertinggi kepada Manusia

Alam dan manusia adalah ciptaan Allah dalam wujud atau bentuk yang

berbeda. Meskipun berbeda wujud, namun keduanya saling melengkapi. Hal ini

tampak nyata dalam perkembangan spiritualitas manusia akan Wujud Tertinggi.

Manusia tidak mampu untuk menangkap, memahami dan menjelaskan segala

sesuatu dengan akal-budinya. Oleh karena keterbatasan ini, maka ia

membutuhkan wadah lain untuk memahami realitas sekitarnya termasuk realitas

tentang Wujud Tertinggi. Wadah lain yang dibutuhkan adalah keseluruhan

kosmos. Melalui kosmos yang meliputi batu, air, udara, api, pohon dan tanah

manusia mampu untuk mengenal karya agung Wujud Tertinggi secara nyata.

78Piet Manehat, SVD, Pandangan Orang Timor Terhadap Alam Sekitar, dalam Gregor Neonbasu,

SVD, Ph. D., ed, Kebudayaan: Sebuah Agenda, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013),

hlm. 76.

Page 60: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

50

Semuanya ini sangat penting bagi manusia, sebab bagi manusia Wujud Tertinggi

adalah sesuatu yang bersifat misteri atau yang tak terselami. Meskipun demikian,

manusia yakin dan percaya bahwa Wujud Tertinggi selalu mempunyai cara untuk

memperlihatkan diri. Cara Wujud Tertinggi menyatakan diri ialah melalui wahyu

dalam bentuk alamiah yang bersifat analogis.79 Allah menggunakan sarana-sarana

atau instrumen-instrumen yang cocok dengan kondisi manusia untuk menyatakan

diri dalam karya penyelamatan kepada umat manusia dan alam semesta sehingga

manusia senantiasa memahami dan menerima karya penyelamatan tersebut.

Selain itu, Allah juga mewahyukan diri kepada manusia dalam ha-hal biasa atas

pengalaman riil harian manusia, sehingga manusia dapat mengenal dan

mengimani-Nya.

Ajaran Kristen menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang

terbatas. Sebagai ciptaan yang terbatas manusia memiliki tujuan yang kodrati.

Melalui wahyu Allah, manusia diberikan kehendak bebas sebagai jawaban atas

panggilan Allah untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Allah yang kodratnya

melampaui manusia atau yang transendental. Itu berarti manusia memiliki tujuan,

yang sebenarnya tidak sesuai dengan kodratnya. Tujuan itu ditambahkan

kepadanya.80 Dengan demikian, manusia dapat mengenal Allah melalui pelbagai

sarana atau instrumen. Di samping itu, pelbagai sarana dan instrumen yang ada

hanyalah sebagai simbol bahwa Allah benar-benar ada. Allah itu adalah misteri

yang tidak terselami yang tidak dapat dimengerti secara holistik oleh pikiran

manusia. Manusia memerlukan pemahaman analogis agar dapat memahami dan

menyakinkan dirinya mengenai berbagai simbol sebagai bagian dari pewahyuan

Allah. “Manusia mengenal Allah, namun hanya melalui perantara yaitu pelbagai

simbol. Sebaliknya Allah benar-benar menyatakan diriNya dan benar-benar hadir

secara nyata kepada manusia dalam simbol-simbol.”81

Seturut pemahaman Kristiani, penghormatan dan penghargaan terhadap

alam dapat mengantar manusia untuk semakin mengimani Tuhan. Alam semesta,

termasuk manusia di dalamnya, dilihat sebagai ciptaan Tuhan. Adanya alam

membuktikan secara nyata tentang kemahakuasaan dan keagungan Tuhan.

79Millard J. Erickson, Cristian Theology (Mighigan: Baker Books, 1998), hlm 204-206. 80Sefrianus Juhani, Teologi Penciptaan (ms), (Diktat Kuliah STFK Ledalero 2017), hlm 120. 81Remigius Ceme, op.cit., hlm. 75.

Page 61: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

51

Penghormatan terhadap alam juga dibuat oleh masyarakat suku Lopo Metan.

Penghormatan itu lahir dari pemahaman bahwa alam semesta adalah hasil ciptaan

Wujud Tertinggi atau yang disebut Uis Neno. Hal ini dapat dilihat secara jelas

dalam pelaksanaan ritus Fua Pah oleh masyarakat setempat. Di dalam

pelaksanaan ritus ini, masyarakat kerap menggunakan sarana-sarana atau

instrumen-instrumen sebagai simbol pengenalan akan Allah, seperti bahasa

simbol dan metafora untuk menganalogikan Allah sedemikian rupa sehingga

dikenal oleh semua anggota yang ikut ambil bagian dalam upacara tersebut.

Umumnya simbol yang digunakan dalam ritus Fua Pah adalah bahasa-bahasa

adat (natoni) dan hewan-hewan sebagai korban dalam upacara tersebut. Bagi

masyarakat suku Lopo Metan, bahasa yang dituturkan dalam bentuk natoni ini

mewakili keseluruhan perasaan mereka kepada Wujud Tertinggi. Natoni menjadi

simbol bagi mereka dalam mengungkapkan segala persoalan yang dialami kepada

Wujud Tertinggi, baik itu yang menyenangkan maupun yang mengecewakan.

Hewan-hewan korban menjadi ungkapan persembahan mereka kepada Leluhur

Atau Dewa-Dewi. Masyarakat suku Lopo Metan yakin dan percaya bahwa

dengan natoni dan persembahan lewat hewan-hewan yang dikorbankan, dewa-

dewi selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan dalam hidup mereka. Bahkan,

terkabul-tidaknya doa-doa permohonan pun dapat dilacak dan diketahui melalui

tanda-tanda yang ada pada hewan korban, seperti ayam dan babi. Tanda-tanda itu

dapat dilihat secara khusus pada tali perut dan hati hewan kurban tersebut.

Tindakan ini dinamakan tae lilo.

Ritus Fua Pah adalah suatu cara yang digunakan oleh masyarakat untuk

mendekatkan diri dan menghadirkan Leluhur di tengah-tengah mereka. Dalam

ritus ini, masyarakat berkumpul dan merayakan kebersamaan melalui makan

bersama. Lebih dari itu, ritus ini mengarahkan masyarakat suku Lopo Metan

untuk masuk dalam kesakralan dan keintiman relasi bersama dengan Leluhur.

Kesakralan itu dirasakan melalui mantra-mantra yang dibawakan oleh ketua adat

(natoni). Pada saat natoni berlangsung, semua mereka menunduk dalam diam.

Masyarakat Suku Lopo Metan sadar akan keterbatasan dalam diri untuk mengenal

Wujud Tertinggi maka dengan melaksanakan ritus, mereka dapat mengalaminya

secara simbolis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa di dalam dan melalui ritus

Page 62: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

52

Fua Pah, Leluhur memanifestasikan diri secara simbolis dan masyarakat suku

Lopo Metan dapat menyatakan sembah bakti dan syukur kepada-Nya.

3.6 Makna Ritus Fua Pah dalam Hidup Kristiani

Terdapat makna yang mendalam dalam ritus Fua Pah. Bahkan, makna itu

pun dapat dilihat dalam hubungannya dengan hidup Kristiani. Makna dari ritus ini

yaitu sebagai ungkapan permohonan dan puji-syukur dari kesadaran terdalam

masyarakat suku Lopo Metan.

Sebagaimana sudah diuraikan bahwa seluruh siklus kehidupan dan pola

perkembangan masyarakat berpijak pada ritus-ritus. Melalui ritus ini seluruh

eksistensi hidup masyarakat suku Lopo Metan diarahkan kepada Wujud Tertinggi,

yang berkuasa atas kehidupan manusia dan seluruh alam semesta. Berikut ini akan

dijelaskan mengenai makna ritus Fua Pah itu sendiri.

3.6.1 Puji-Syukur

Puji-syukur adalah ekspresi rasa keterpesonaan manusia atas kebaikan

yang diterima dari Dewa. Ungkapan “syukur kepada Allah!” adalah sebuah

ungkapan yang biasanya dilantunkan oleh seorang beriman. Ungkapan ini bukan

sebuah ungkapan rasa terima kasih untuk sesuatu yang lampau, melainkan

kegembiraan karena kebaikan Tuhan yang sekarang.82 Ungkapan syukur yang

disampaikan manusia kepada Leluhur merupakan suatu reaksi kegembiraan atas

segala peristiwa yang dialami. Ungkapan rasa syukur ini menyadarkan mereka

bahwa pelbagai peristiwa gembira yang dialami merupakan bukti

penyelenggaraan kebaikan Leluhur. Sebagai misal, pengalaman kesuksesan,

pengalaman situasi-situasi tapal batas, dan kesehatan yang baik, dan sebagainya

82Ibid., Dalam pembahasan mengenai “puji syukur” ini Remigius Ceme lebih menekankan pada

aspek kesadaran atas kebaikan Allah kepada manusia. Bukan saja terbatas pada ungkapan syukur

atas kebaikan yang telah Allah berikan namun lebih mengarah kepada sebuah iman persona untuk

menyadari bahwa Allah selalu mengaruniakan kebaikanNya kepada manusia dalam realitas harian

manusia. Kesadaran atas kebaikan ini yang menghantar manusia kepada kepenuhan akan suka cita

dalam menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah. Meskipun demikian dalam praktik “puji

syukur” yang dilaksanakan oleh manusia, manusia kerap memiliki kecenderungan untuk

mengungkapkan hasratnya atas dasar bahasa ucapan sebagai ungkapan hati atas kebaikan Allah

kepada dirinya dan tidak melihat lebih jauh bahwa tindakkan kasih Allah yang tercurah dalam

kegembiraan dan kebaikan itulah yang menghantar kita kepada kepenuhan dalam membahasakan

syukur dan pujian kepada Allah melalui sesama dan alam semesta yang ada dan hadir dalam

realitas hidup kita.

Page 63: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

53

diyakini secara pasti oleh manusia bahwa itu semua merupakan rahmat yang

diberikan dari Dewa secara cuma-cuma. Perolehan rahmat dan pelbagai peristiwa

yang dialami manusia dalam hidup mendorong manusia untuk mengungkapkan

rasa syukur atas kebaikan Dewa padanya.

Masyarakat suku Lopo Metan pada hakikatnya hidup bertani atau

berladang. Ini membuktikan bahwa mereka hidup bergantung pada alam. Atas

kebergantungan ini, mereka selalu memandang “alam sebagai ibu” yang selalu

memberi tanpa menerima atau selalu mendengarkan setiap permohonan yang

dipanjatkan. Permohonan ini bermaksud untuk meminta kesuburan tanah,

kesejahteraan hidup dan memperoleh panenan yang berlimpah.83 Ketika mereka

memperoleh hasil yang memuaskan, seperti panenan yang berlimpah atau

kesejahteraan hidup, misalnya, mereka pun tidak segan-segan untuk

menyampaikan rasa syukur terhadap pemberian itu. Mereka menyadari bahwa

yang mereka peroleh merupakan penyelenggaraan Yang Ilahi, sehingga salah satu

caranya untuk menyampaikan rasa syukur adalah melalui ritus Fua Pah.

Ritus Fua Pah dilihat sebagai suatu jalan bagi masyarakat suku Lopo

Metan untuk mengungkapkan rasa syukurnya kepada Leluhur dan Dewa-Dewi.

Ungkapan rasa syukur itu disertai dengan pemberian atau persembahan korban.

Melalui ritus Fua Pah, masyarakat menyadari bahwa mereka adalah makhluk

yang terbatas, rapuh, memiliki keterbatasan dalam diri, dan bergantung

sepenuhnya pada penyelenggaraan Yang Ilahi tersebut. Alam tempat manusia

hidup, tinggal dan berkarya adalah bukti nyata kemurahan kasih Yang Ilahi

tersebut. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebentuk ungkapan syukur yang tiada

tara dari pihak masyarakat suku Lopo Metan terhadap kemurahan Yang Ilahi

tersebut.

Perayaan syukur masyarakat suku Lopo Metan melalui ritus Fua Pah ini

melibatkan para leluhur (be’e-na’i). Para leluhur diyakini sebagai perantara doa-

doa mereka kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno). Dengan melibatkan para leluhur

dalam ritus ini, masyarakat tidak hanya menghormati para leluhur sebagai figur-

figur yang telah terlebih dahulu hidup dan meletakkan dasar-dasar yang baik

menyangkut nilai-nilai dan pelaksanaan ritus Fua Pah. Lebih dari itu, para leluhur

83Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 4 Juli 2019, di kuan Upun.

Page 64: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

54

adalah perantara antara anggota masyarakat yang masih hidup dengan Wujud

Tertinggi. Ungkapan puji-syukur di satu sisi sebagai bentuk ekspresi iman

religiositas asli masyarakat suku Lopo Metan melalui pelaksanaan ritus Fua Pah

dan di lain sisi sebagai bentuk ungkapan kegembiraan mereka terhadap seluruh

siklus hidup yang telah dialami dalam dunia.

3.6.2 Permohonan

Doa permohonan sesungguhnya tidak hanya menyangkut kebutuhan

manusia, tetapi sekaligus juga berkaitan dengan kebaikan Tuhan yang senantiasa

memperhatikan kebutuhan makhluk ciptaan-Nya. 84 Kesadaran dalam diri

manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan merupakan suatu keniscayaan.

Hal ini disebabkan oleh kesadaran manusia atas keterbatasan dalam dirinya dan

merupakan makhluk yang fana, maka ia perlu membangun relasi yang intim

dengan roh leluhur dan roh alam sebagai perantara untuk memperoleh

penyelenggaraan dari Wujud Tertinggi Uis Neno.

Atas dasar itu, manusia selalu menyampaikan permohonan-permohonan

untuk memperoleh kepenuhan hidup dari penyelenggaraan Wujud Tertinggi Uis

Neno. Permohonan-permohonan tersebut disampaikan melalui perantara roh para

leluhur atau roh alam. Setiap permohonan yang disampaikan merupakan hasil dari

pengalaman kelompok atas pelbagai peristiwa yang dihadapi. Misalnya memohon

penyelenggaraan Dewa-Dewi atas situasi-situasi sulit yang dihadapi,

kesejahteraan hidup, peningkatan produktivitas, dan kesuksesan dalam hidup.

Masyarakat suku Lopo Metan dalam siklus dan pola kehidupan di dunia

telah menyadari keterbatasan-keterbatasan dalam diri. Kesadaran akan

keterbatasan dalam diri ini telah mengarahkan hidup mereka kepada sesuatu yang

dianggap memiliki kekuatan supra-natural. Keterarahan hi

dup mereka seluruhnya diselenggarakan melalui upacara ritus-ritus. Dalam

penyelenggaraan ritus Fua Pah ini, mereka mengharapkan setiap permohonan

84Artinya bahwa doa permohonan tidak semata dilihat sebagai ungkapan sujud dari setiap pribadi

kepada Allah untuk sekadar dikabulkan namun yang mau diterangkan ialah ungkapan relasi belas

kasih yang dijalin oleh manusia dan Allah. Allah menjadi tujuan dan Yesus Kristus sebagai

perantara agung dalam doa permohonan menyadarkan manusia akan kebaikan Allah kepada

seluruh umat-Nya yang merupakan sebuah janji atas karya keselamatan yang dijalani dan yang

terlaksana dalam kisah perjanjian Allah kepada manusia melalui Adam baru. Tom Jacobs SJ,

Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 239.

Page 65: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

55

yang mereka sampaikan akan dikabulkan. Upacara ritus Fua Pah merupakan

momen bagi mereka untuk mengungkapkan setiap permohonan dan penyerahan

diri secara total kepada leluhur. Upacara ritus Fua Pah merupakan upacara adat di

mana seluruh anggota ikut ambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa sakral

di dalamnya.

Pelaksanaan ritus Fua Pah memungkinkan masyarakat suku Lopo Metan

untuk menyampaikan permohonannya secara bebas, penuh keyakinan atau iman,

dan dengan penuh harapan. Pengalaman iman yang diungkapkan oleh Masyarakat

suku Lopo Metan menunjukkan bahwa “iman dalam arti tertentu datang dari

pelaksanaan kebebasan manusia sendiri, di mana manusia menerima tanpa

paksaan undangan batiniah rahmat Allah untuk mengambil bagian dalam relasi

intim dengan Allah sendiri.”85 Oleh karena itu, iman terungkap dalam kegiatan

manusia sebagaimana yang diselenggarakan dalam upacara ritus Fua Pah oleh

masyarakat suku Lopo Metan.

3.7 Pentingnya Teologi Inkarnasi Bagi Masyarakat Lopo Metan

Metode teologi Kristiani dalam Gereja Katolik merupakan cara terbaik

untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam mengenai iman Kristiani. Di

sini sebagai manusia Kristiani setiap orang perlu memiliki cara pandang yang

khas atas dunia untuk melakukan teologi. Hakikat kekatolikan dan prinsip utama

metode teologi Katolik adalah analogi keberadaan, prinsip bahwa terdapat suatu

kesinambungan antara keberadaan manusia dan keberadaan Allah, dan bahwa

pengetahuan tentang hal-hal di dunia ini dapat mengantar ke satu pengetahuan

nyata, meskipun tidak sempurna, tentang Allah. 86 Untuk melakukan teologi

Katolik seseorang mesti memiliki imajinasi analogis. Artinya, pendasaran atas

realitas dunia mesti berupa sesuatu yang menangkap kesamaan dalam perbedaan

yang merupakan dasar dalam semua realitas.

Selain memerlukan imajinasi analogis dalam melakukan teologi Katolik,

cara lain untuk melukiskan kecerdasan pikiran ialah perlunya berbicara dalam

kerangka prinsip dasar sakramentalisme. Cara pandang Gereja Katolik terhadap

85Remigius Ceme, op. cit., hlm. 155. 86 “Analogi keberadaan” adalah paham filosofis yang hemat Bevans merupakan intipati cara

pandang Katolik atas dunia, dalam Stephan Bevans, op. cit., hlm 264.

Page 66: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

56

realitas dunia sebagai jalan perjumpaan dan dialog dengan Allah ialah melalui

hal-hal yang kelihatan maupun sejarah yang merupakan wahana aktual dari

kehadiran Allah yang sesungguhnya. Sebuah perspektif sakramental adalah sisi

tilik di mana yang sekular dapat menyatakan yang sakral, yang imanen dapat

menyatakan yang transenden, yang partikular dan parsial dapat menyatakan

kesatuan dari keseluruhan.87 Artinya prinsip sakramental yang dialami melalui

pelbagai simbol dalam realitas dunia yang dijumpai mengarahkan kita pada

kehadiran Allah yang sungguh-sungguh nyata. Kepercayaan iman Katolik

menyatakan bahwa kehadiran Allah yang menyelamatkan itu tidak hanya tampak

dalam doktrin, tetapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup setiap hari.

Oleh karena itu, selain pelbagai mediasi yang digunakan dalam mengalami

kehadiran Allah, Gereja Katolik juga dapat dilihat sebagai bentuk nyata dari

perjumpaan antara yang insani dan Ilahi. Persepsi tentang hakikat sakramental

realitas tercipta juga jika kita benar-benar memahami makna kata Katolik. Artinya

bahwa perlu adanya keterbukaan terhadap kebenaran dan nilai yang terkandung di

dalamnya.

Melalui pelbagai mediasi yang dijumpai sebagai wujud teologis yang

berakar pada cara pandang sakramentalis mengenai dunia membutuhkan realisme

kritis. Filosofi realisme kritis akan membantu setiap rumusan yang berciri

teologis. Realisme kritis ini adalah posisi yang sekaligus menghindari ekstrem

realisme naif atau empirisme mentah di satu pihak yakni, “apa yang sekarang

sudah ada di luar sana adalah nyata”, dan idealisme “apa yang nyata adalah apa

yang ada dalam pikiran saya” di lain pihak. Artinya bahwa jika prinsip

sakramentalisme sebagai keyakinan dasar kekatolikan, maka pengetahuan tentang

Allah dalam perjumpaan dengan wahyu merupakan sebuah pengalaman yang

diperantarai oleh konteks realitas individual dan kultural historis yang dapat

diabsahkan secara objektif, empiris dan rasional. Dengan demikian, realisme kritis

akan menghindari setiap pengertian yang naif terhadap realitas seluruhnya dan

setiap gagasan tentang wahyu selalu berpijak pada cara pandang Katolik.88

Selain itu, prinsip inkarnasi merupakan pijakan refleksi iman mengenai

Allah dan sebagai salah satu prinsip yang benar-benar teologis dalam melakukan

87Ibid., hlm. 265. 88Ibid., hlm. 271.

Page 67: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

57

teologi. Yesus Kristus, Firman yang menjadi daging (Yoh 1:14), benar-benar

Allah dan benar-benar manusia (DS 301; ND 614), pada ujung-ujungnya

merupakan alasan untuk cara pandang iman Katolik dan sakramental atas dunia,

alasan mengapa harus ekuivalen antara yang insani dan Ilahi, dan mengapa kita

dapat benar-benar mengetahui dengan akal budi kita yang dikondisikan secara

historis dan kultural. 89 Melalui prinsip teologis inkarnasi kita dapat memiliki

implikasi-implikasi mendalam dalam melakukan teologi. Inkarnasi sebagai

pernyataan Allah secara total melalui sabda yang telah menjelma menjadi daging

dalam Kristus yang benar-benar jasmani dan rohani dengan menghantar manusia

untuk dapat membangun relasi dengan Allah. Pelbagai peristiwa sejarah dan

realitas dunia yang dijumpai manusia merupakan simbol-simbol teologis yang

menghantar manusia dengan membangun dialog dengan Allah serta pengenalan

akan Yesus sebagai perantara Allah. Oleh karena itu, inkarnasi sebagai salah satu

prinsip dalam berteologi Katolik yang merupakan simbol dalam memaknai hidup

manusia melalui perjumpaan dan dialog dengan realitas dunia.

3.8 Makna Kurban dalam Ritus Fua Pah

Upacara kurban mempunyai tempat utama karena dengannya masyarakat

Suku Lopo Metan mengadakan persembahan diri kepada dewa lewat suatu

pemberian dan hubungan serta komunikasi yang erat antara manusia dengan dewa

yang ditetapkan lewat keikutsertaan dan partisipasi dalam persembahan yang

disucikan.90 Sebagaimana telah diuraikan dalam pengakuan akan adanya yang

Transenden, maka dalam pelaksanaan ritus Fua Pah selalu disertakan korban

sembelihan. Tujuan utama dari pemberian korban sembelihan ialah sebagai

bentuk ungkapan permohonan ketika membuka kebun baru dan sebelum

menanam serta ungkapan rasa syukur dan terima kasih setelah memperoleh hasil

panenan yang berlimpah.

Pelaksanaan doa dan persembahan kurban sembelihan merupakan ekspresi

lahiriah masyarakat suku Lopo Metan, karena mereka menyadari bahwa hidup

mereka selalu bergantung dalam penyelenggaraan roh alam dan roh leluhur. Salah

89Ibid., hlm. 272. 90Bdk. Marisusai Dhavamony, op. cit. hlm. 203.

Page 68: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

58

satu alasan untuk menyampaikan permohonan dan syukur yaitu bahwa mereka

menyadari keterbatasan hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dalam pengalaman

hidup mereka, seperti memperoleh panenan yang berlimpah, segala peristiwa

dalam hidup mereka yang dapat diselesaikan dan pengalaman situasi batas yang

dapat dilalui.

Selain itu, “upacara kurban adalah suatu tindakan religius yang melalui

penyucian kurban, mengubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya

ataupun keadaan benda-benda tertentu.”91 Kurban yang hendak dipersembahkan

telah disucikan sebelumnya sehingga kurban yang dari awal dianggap kotor atau

belum disucikan berubah menjadi suci lewat penyucian itu. Ketika upacara

kurban telah disucikan maka konteks pandangannya berbeda. Artinya bahwa

bukan lagi dianggap sebagai barang duniawi melainkan sudah masuk dalam

kategori disucikan.

Pelaksanaan ritus Fua Pah dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan

juga merupakan suatu bentuk permohonan, syukur dan terima kasih mereka

kepada Wujud Tertinggi. “Permohonan, syukur dan terima kasih lahir dari

kesadaran mereka sebagai manusia yang memiliki keterbatasan dalam diri. Segala

peristiwa yang mereka alami baik dalam memperoleh kelimpahan, kesuksesan

bahkan situasi batas, semuanya berasal dari kehendak Yang Transenden.”92 Atas

dasar itulah, segala peristiwa yang dialami dalam siklus hidup mereka di dunia

sebagai manusia merupakan bukti penyelenggaraan Yang Transenden.

Oleh karena itu, “sebelum mereka menikmati hasil panenan perdana yang

mereka peroleh, hal utama yang mereka lakukan ialah melaksanakan upacara ritus

Fua Pah dengan memberikan kurban sesajian sebagai bentuk persembahan

91H. Hubert dan M. Mauss, “Sacrifice: Its Nature and Function”, dalam Marisusai Dhavamony, op.

cit., hlm. 217. Artinya bahwa kurban persembahan yang telah dikurbankan dalam situasi atau

konteks ritual merupakan sebuah kurban persembahan totalitas atas diri kepada roh alam dan roh

para leluhur sebagai bagian atas iman akan Wujud Tertintinggi dalam tradisi imanen. Kurban

persembahan ini, memberi ruang bagi setiap individu untuk mengalami kebebasan atas rasa syukur

dan permohonan sebab melalui kurban tersebut setiap individu percaya bahwa Wujud Tertinggi

atau Uis Neno dalam bentuk alam dan roh para leluhur mampu menjadi perantara antara iman

mereka atas rahmat Wujud Tertinggi. Dengan demikian, kurban persembahan mampu

membebaskan moril setiap individu yang melaksanakan ritus tersebut karena dikehendaki oleh

kebebasan setiap pribadi tanpa didesak atau sekadar dipaksa dengan keharusan sehingga atas dasar

kehendak bebas ini setiap individu mampu mengalami hubungan yang lebih terbuka dan harmonis

antara sesama dan bentuk lain dari Wujud Tertinggi. 92Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di

Kuan Upun.

Page 69: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

59

mereka kepada roh dewa-dewi.”93 Setelah kurban sesajian ini dipersembahkan,

maka mereka akan menikmati hasil yang telah mereka peroleh. Seluruh anggota

yang ikut ambil bagian dalam upacara tersebut akan menikmati hasil sesajian

sebagai ungkapan rasa solidaritas dan keterikatan sosial dalam kehidupan mereka

sehari-hari. Artinya bahwa Yang Ilahi tidak memiliki cacat cela sehingga apa

yang mereka berikan pun demikian. Kurban persembahan atau sesajian yang

diselenggarakan dalam ritus Fua Pah merupakan ekspresi kebahagiaan atas

penyelenggaraan Yang Ilahi dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat agraris.

Kesakralan yang tercipta dalam ritus Fua Pah memberi ruang atas rahmat Yang

Ilahi melalui kesadaran secara langsung oleh masyarakat suku Lopo Metan

sebagai anugerah paling berharga.

Oleh karena itu, ritus Fua Pah merupakan bentuk penyembahan kepada

Yang Transenden yang mencerminkan kesetiaan dalam keseluruhan pola hidup

masyarakat suku Lopo Metan untuk membalas segala kebaikan yang telah

diterima secara cuma-cuma dari Yang Ilahi.

3.9 Nilai-Nilai Positif dalam Ritus Fua Pah

Nilai-nilai positif yang ditemukan dalam ritus Fua Pah ialah kajian dari

simbol-simbol yang memiliki makna religius dan mempengaruhi iman serta sikap

hidup masyarakat Suku Lopo Metan. Nilai-nilai positif yang dimaksud seperti

nilai persekutuan, persaudaraan, kesetiaan, kekudusan, ketaatan, kesejahteraan

hidup dan kerukunan. Nilai-nilai ini memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai dalam

ajaran Kristiani. Dalam ajaran teologi Katolik, nilai-nilai Kristiani yang menjadi

dasar bagi kehidupan kaum beriman dalam Gereja adalah nilai kebenaran,

kesalehan, kesetiaan, kekudusan, dan kasih. Selain nilai-nilai di atas, nilai dasar

dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan yang ekuivalen dengan nilai

iman Kristiani dijelaskan sebagai berikut.

93Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di

Kuan Upun.

Page 70: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

60

3.9.1 Nilai Sosial

Tradisi ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan mempunyai nilai

sosial di dalamnya. Nilai sosial itu bertautan dengan tata adat, etika dan norma-

norma moral yang harus dipatuhi oleh seluruh warga demi tercapainya

keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, tradisi ritus Fua

Pah yang hidup dalam kebudayaan masyarakat suku Lopo Metan memiliki nilai

sosial yang bertujuan untuk membangun kesadaran sosial masyarakat suku Lopo

Metan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Dalam konsep mereka, nilai-nilai sosial dalam tradisi ritus Fua Pah

bermaksud untuk menjaga keharmonisan sosial yang telah diwariskan secara

turun-temurun. Keharmonisan sosial itu kemudian bermuara pada semangat

persatuan dan persaudaraan dalam kehidupan masyarakat. Nilai sosial dalam ritus

Fua Pah biasanya diungkapkan melalui bentuk tuturan fua pah. 94 Secara

menyeluruh dalam pelaksanaan ritus fua pah ini mengandung nilai-nilai sosial

yakni nilai kebersamaan dan nilai persekutuan. Nilai kebersamaan merupakan

refleksi dari keterbatasan manusiawi mereka sebagai individu. Dalam realitas

kehidupan sehari-hari, mereka tidak mungkin hidup sendiri-sendiri dan tentunya

membutuhkan orang lain untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik

termasuk kebersamaan dengan dewa-dewi dan roh leluhur. Kendati demikian,

Mereka menyadari esensi dan nilai kebersamaan itu dalam berbagai aspek

kehidupan termasuk nilai kebersamaan dalam ritus fua pah yang dirayakan.

Sedangkan nilai persatuan sangat menjunjung tinggi semangat persatuan

“Tmoin tabua nekaf mese ansaof mese” yang berarti hidup bersama sehati-

sepikiran. Ungkapan ini dalam praktik merupakan motif dasar yang mengilhami

setiap bentuk kerja sama dalam kehidupan sehari-hari. Konsep bekerjasama

sehati-sepikiran ini bertujuan mafit atau matuntakun95 untuk saling meringankan

beban. Semangat persatuan yang dibangun masyarakat suku Lopo Metan ini

terwujud dalam satu wadah kerja sama tmeup tabua yang berarti bahwa mereka

selalu kerja sama bahu membahu dengan semangat kekeluargaan saat

mempersiapkan serta memperlancar seluruh proses pelaksanaan ritus. Seluruh

94Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar, Kokbaun, 8 juli 2019, di Kuan Noe. 95Hasil wawancara Sefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 juli 2019 di kuan Upun.

Page 71: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

61

proses upacara ritus fua pah merupakan momen di mana seluruh warga

berkumpul bersama dan bersatu hati di tempat pelaksanaan ritus.

Selain itu, bentuk tuturan doa dan mantra ritus Fua Pah yang dirayakan

masyarakat suku Lopo Metan pada dasarnya berisi tentang nilai-nilai sosial

kemasyarakatan. Nilai-nilai tersebut menjadi simpul untuk mencapai

keharmonisan sosial. Dalam ungkapan “tok on mese thaek on mese ma nekaf

mese ansaof mese toit hit bei ma nai nfekit ao mina ma ao leko ma kais nfekit

maufinu huma-huma” (mereka duduk atau berdiri selalu bersama-sama untuk

bersatu hati memohon kepada roh-roh leluhur agar memberikan kehangatan dan

menjauhkan mereka dari segala mara bahaya) secara tersirat diungkapkan suatu

makna bahwa masyarakat suku Lopo Metan selalu memohon kepada roh para

leluhur untuk tetap menjaga dan melindungi mereka agar tetap hidup rukun dan

damai. Sebagai sebuah komunitas yang memiliki kesamaan sejarah, mereka harus

tetap bersatu dalam membangun kehidupan yang harmonis. Hal ini dianalogikan

secara metaforis seperti mafut nekaf tafen pah ma nifu onle bale fnekan (mengikat

hati melestarikan alam sebagai tempat pengharapan), hendak mengesahkan

semangat kebersamaan tersebut.

3.9.2 Nilai Religius

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan tradisional suku

Lopo Metan tentang keberadaan Uis Neno adalah sebagai penguasa langit dan

bumi yang menuntun arah hidup manusia di dunia. Eksistensi Uis Neno sebagai

penguasa alam semesta, selalu menyadarkan manusia untuk mengarahkan seluruh

hidup kepada-Nya. Ia dianggap sebagai yang tunggal dan memiliki kuasa atas

segala ciptaan, maka manusia patut menyerahkan seluruh keberadaan hidup

kepada-Nya. Uis Neno sebagai penggerak utama dan juga sebagai akhir dari

kehidupan manusia.96 Dengan demikian, melalui kesadaran mendasar ini orang-

orang suku Lopo Metan selalu membangkitkan semangat mereka untuk beriman

teguh kepada-Nya. Ketika mereka sungguh-sungguh mengimani-Nya, mereka

berusaha untuk melakukan segala sesuatu yang tidak melanggar perintah atau apa

96Hasil wawancara Ambrosius Bano, guru agama, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di kuan Upun.

Page 72: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

62

yang diyakini sebagai kehendak dari Uis Neno terutama dengan membuat upacara

ritus sebagai tanda penyembahan mereka kepada-Nya.

Selain mengenal lebih jauh mengenai eksistensi Uis Neno sebagai

penguasa langit dan bumi, konsep suku Lopo Metan mengenai roh leluhur adalah

sebagai perantara mereka dengan Uis Neno. Keberadaan roh leluhur tidak berada

pada posisi sejajar dengan Uis Neno, dalam pemahaman mereka bahwa

keberadaan roh leluhur dekat dengan-Nya.97 Hal ini berarti bahwa mereka tidak

menyembah roh leluhur tetapi hanya menghormatinya sebagai perantara

permohonan mereka. Bagi mereka, peranan roh leluhur dalam kehidupan mereka

tidak boleh diabaikan dan harus tetap disembah secara turun-temurun. Eksistensi

roh leluhur dalam pengetahuan mereka bahwa selain berada dekat dengan Uis

Neno juga berada dekat dengan mereka. Dalam syair adat ritus atau lasi tonis

seperti “Hi lof es mpao netu, Ma esa mpao kobe” (Karena kamulah yang menjaga

bukit dan menjaga lembah). Keberadaan roh leluhur yang dekat dengan mereka

inilah yang membuat mereka merasa nyaman akan kedekatan mereka dengan roh

leluhur. Ungkapan ini pula mau meyakinkan mereka bahwa roh leluhur mereka

sangat dekat dengan mereka sehingga apa yang mereka minta dan apa yang

mereka harapkan akan terpenuhi.

Suku Lopo Metan yang memberi penghormatan kepada roh leluhur, selain

karena keyakinan mereka bahwa roh leluhur sebagai perantara kepada Uis Neno,

tetapi juga mau menunjukkan bahwa roh leluhur dalam suku merupakan cikal

bakal keberadaan mereka sebagai suatu komunitas budaya. Peranan roh leluhur

sangat penting dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, penghormatan terhadap

roh leluhur merupakan suatu bentuk pengakuan akan keberadaan leluhur yang

begitu dekat dalam kehidupan mereka.

Sebagaimana suku-suku Dawan lainnya, penyebutan masyarakat suku

Lopo Metan akan nama Wujud Tertinggi sebagai Uis Neno adalah transformasi

dari segala atribut yang dikhususkan untuk mudah disebut karena nama Usi Neno

dianggap paling sakral. Uis Neno adalah Dia yang menciptakan dan menguasai

seluruh alam semesta. Masyarakat suku Lopo Metan pada masa silam selalu

menjaga keharmonisan dengan roh alam bahkan hingga kini dengan

97Hasil wawancara Ambrosius Bano, guru agama, Stasi Sapnala, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di

kuan Upun.

Page 73: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

63

mempertahankan kesakralan suasana pada tempat-tempat suci yang dianggap

keramat. Jika ada tindakan atau pelanggaran terhadap kesakralan pada tempat-

tempat tersebut, maka akan ada malapetaka bagi mereka. Pada umumnya semua

suku di Nusa Tenggara Timur memilki kepercayaan yang mirip akan malapetaka

dari roh alam yang akan menimpa mereka seperti jari terputus, bahkan penyakit di

bagian dalam tubuh, karena teriris-iris olehnya.

Melalui kepercayaan inilah, masyarakat selalu menata dan menjaga

keharmonisan dengan alam sekitar mereka. Masyarakat meyakini bahwa alam

semesta ini mempunyai pemilik dan penjaganya. Dalam konsep mereka, alam itu

dimiliki oleh Wujud Tertinggi yang disebut Uis Neno. Hal ini sangat jelas ketika

mereka melakukan upacara adat yang berhubungan dengan alam, seperti

membuka lahan baru selalu saja ada ungkapan-ungkapan bahasa ritusnya, yakni

“O Uis Neno pah pinan funam naeuk, fe man kai tetus neo kai he nait munseb

man pen fini ma aen fini” (Ya Tuhan Allah sang penguasa dunia, berikanlah kami

berkat agar kami dapat hasil panenan padi dan jagung yang melimpah).98 Dengan

ungkapan ini, mau menyiratkan bahwa masyarakat suku Lopo Metan harus

mejaga keharmonisan dengan alam, sebab alam ini diciptakan dan dikuasai oleh

Tuhan. Segala usaha manusia untuk mengolah alam ini demi memenuhi

kebutuhan hidupnya.

3.9.3 Nilai Ekonomis

Pelaksanaan ritus Fua Pah mengandung makna ekonomis bagi masyarakat

suku Lopo Metan. Upacara ini berkaitan dengan bagaimana mereka dapat

meningkatkan produktivitas mata pencaharian yakni bercocok tanam dan

berternak. Masyarakat suku Lopo Metan umumnya adalah petani. Karena itu,

mereka selalu berusaha untuk meningkatkan produktivitas hasil bumi mereka agar

dapat menopang hidup mereka dan juga membantu mereka untuk menyekolahkan

anak-anak.

Sebagaimana yang tersirat dalam pantun di atas bahwa “es utonim nbi

humak ma u’latan, tonan ntea ben tabu ntea ben hen ha’taen hai poan” (karena

98Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di

Kuan Noe.

Page 74: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

64

itu, kami tuturkan dan panjatkan doa di hadapanmu, tahunnya telah tiba dan

musimnya telah datang agar engkau menguatkan halaman kami). 99 Setiap

permohonan yang mereka panjatkan itu berkaitan dengan permohonan untuk

memperoleh kesejahteraan hidup dan peningkatan hasil bumi yang telah mereka

kerjakan. Ritus Fua Pah biasanya dilakukan dengan segenap hati. Oleh karena

itu, segala bentuk pengorbanan masyarakat, terutama pengorbanan materiil jarang

dilihat sebagai sesuatu yang membebankan. Mereka yakin bahwa dengan

memberi dan berkorban, mereka akan menerima dan memperoleh kemurahan dari

alam.

3.10 Pemahaman tentang Ritus Fua Pah dalam Terang Iman Kristiani

Berdasarkan penjelasan mengenai makna dan nilai yang terkandung dalam

ritus Fua Pah di atas, dapat dilihat bahwa ritus ini mengandung nilai-nilai luhur

yang berguna bagi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri,

orang lain alam ciptaan dan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, pada bagian ini

penulis berusaha menjelaskan pemahaman masyarakat suku Lopo Metan

mengenai ritus Fua Pah tersebut dan melihatnya dalam terang iman Kristiani.

3.10.1 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Persekutuan

Dalam ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan menunjukkan

persekutuannya yang erat, baik antar-anggota masyarakat, maupun antara mereka

dan para leluhur, alam semesta dan Wujud Tertinggi. Dapat dilihat bahwa ritus

Fua Pah tidak hanya menyangkut relasi fungsional dan sosial-horisontal, tetapi

juga relasi vertikal. Konsep mereka bahwa Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh

alam tidak bisa disamakan dengan manusia atau makhluk hidup lainnya. Wujud

Tertinggi Uis Neno, roh leluhur (uis nitu) dan roh alam (uis pah) sebagai wujud

yang tidak kelihatan dan tidak dapat dijangkau oleh manusia itu dianggap kudus

atau sakral.

Pada dasarnya, communio dan communicatio yang dibangun masyarakat

suku Lopo Metan dalam praktik ritus Fua Pah merupakan bentuk persekutuan

99Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di

Kuan Noe.

Page 75: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

65

dengan para leluhur. Artinya communio dan communicatio yang dibangun bukan

hanya diantara mereka sebagai perkumpulan kolektif, tetapi di dalamnya mereka

mengintensifkan secara khusus pada kuasa atau kekuatan roh yang dapat

mempersatukan mereka dengan-Nya. Persekutuan dan komunikasi yang intensif

antara mereka dengan leluhur dan sesama dilangsungkan secara simbolis dalam

upacara yang diselenggarakan tersebut. Oleh karena itu, dalam praktik

pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan dapat membangun

komunikasi dan persekutuan secara sosial horisontal baik antar manusia dalam

suku, maupun bercorak vertikal dengan leluhur.

3.10.2 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Ekspresi Iman Tradisional

“Kepercayaan bisa mempunyai suatu arti intelektual dalam

mengungkapkan suatu kekurangan atau suatu arti personal yang jauh lebih dalam

dari arti intelektual tadi.” 100 “Percaya di satu sisi memiliki perspektif yang

berbeda jika kepercayaan itu bersifat rasional. Manusia tidak akan mengetahui

secara pasti bahwa apa yang ia yakini merupakan sesuatu yang dapat

menggerakkannya. Manusia selalu mencari kebenaran yang pasti dan dapat

diterima oleh akal yang riil. Dengan demikian ketika ia mengatakan bahwa ia

percaya, namun hanyalah permainan rasionalitas, maka tindakan itu tidak sesuai

pernyataan.”101

Sedangkan di lain sisi, bahwa “arti personal yang jauh lebih dalam dari

arti intelektual ialah perkataan antar pribadi. Perkataan itu dapat meyakinkan

orang lain walaupun baru bertemu dalam sebuah relasi personal antara dua orang.

Kepercayaan antar pribadi dapat menjadi suatu kepercayaan kolektif, jika hal itu

100Georg Kirchberger, Teologi Iman, Perspektif Kristen (Maumere: Ledalero,2002), hlm. 55. 101Ibid.“Kepercayaan yang dimaksudkan tidak saja terbatas pada ungkapan rasionalitas yang logis

dalam memberi pendapat dan debat mengenai kebenaran iman. Namun, lebih dari itu kepercayaan

menggerakkan kita pada sebuah konsep pertanggungjawaban atas bahasa yang diungkapkan secara

logis-rasionalitas itu. Memang Iman selalu membutuhkan akal budi dalam mengaitkan

kepercayaan namun di samping itu akal budi yang dimaksudkan ialah akal budi mengenai

keyakinan yang mutlak melalui iman akan ajaran yang absolut yang memungkinkan adanya

pembaharuan dengan perubahan-perubahan yang dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan zaman. Dengan demikian kepercayaan hendaknya dilihat sebagai satu kesatuan

yang utuh dengan iman yang dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan sebagaimana

ungkapan Rasul Yakobus tentang “iman tanpa perbuatan adalah mati.”

Page 76: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

66

merupakan suatu keputusan hati dan dianggap baik serta bermanfaat bagi

kehidupan suatu kelompok tertentu.”102

Lebih jauh, “manusia pun harus mencari dasar itu di dalam suatu kekuatan

transenden, dalam kepercayaan akan Allah, sebagaimana sudah dilakukan

manusia sepanjang sejarahnya dalam pelbagai agama’”.103 Iman pada dasarnya

muncul karena adanya pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi. Dalam

perjumpaan itu, “manusia merasa terpesona, kagum dan tertarik kepada realitas.

Dalam perjumpaan itu juga manusia merasa takut atau terkejut terhadap realitas

yang ilahi.” 104 “Pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi ini mendorong

manusia untuk selalu mengarahkan diri kepada yang ilahi dan dengannya manusia

memiliki kerinduan untuk selalu mengalami perjumpaan itu.”105

Masyarakat tradisional memahami iman sebagai kepercayaan asli dalam

kehidupan suku mereka. Iman mereka tumbuh dalam suatu tradisi ritus dan nilai-

nilai yang hidup dalam kehidupan suku mereka. Iman tersebut dirasakan dan

dihayati dalam hubungannya dengan dewa-dewi. Suku Lopo Metan percaya

bahwa komunikasi antara mereka dan dewa-dewi dalam ritus Fua Pah terarah

kepada sesuatu Yang Ilahi. Komunikasi dalam ritus Fua Pah ini pun dilakukan

secara turun-temurun dan menjadi buah pengalaman ekspresi iman suku Lopo

Metan dalam kehidupan religiositas. Bahasa sebagai sarana atau jembatan untuk

berkomunikasi dengan dewa-dewi dalam pelaksanaan ritus Fua Pah dan yang

sering digunakan ialah bahasa ritus atau syair-syair adat (natoni).

“Bahasa memiliki posisi sentral dan amat utama dalam kajian yang

spektakuler mengenai tata ritusisme masyarakat. Pelbagai disiplin postur manusia

dalam melaksanakan segala struktur pelaksanaan ritus, semuanya mustahil tanpa

dipahami melalui bahasa.”106 “Satu hal sangat dasariah walau amat mengganggu,

102Ibid. 103Ibid., hlm. 58. 104 Agus M. Hadjana, Religiositas, Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.

30. 105Ibid. 106Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D, Manusia dan Bahasa: (Sebuah Permenungan dalam Perspektif

dan Kajian strukturalisme), dalam Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D., ed, Kebudayaan: Sebuah

Agenda, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 181. Dijelaskan bahwa bahasa

merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung terbentuknya sebuah budaya atau pun

suku. Tanpa bahasa sebuah budaya atau pun suku tidak dapat dimungkinkan untuk terbentuk.

Sehingga, bahasa sangat andil dalam kehidupan sebuah masyarakat sebab hanya melalui bahasa

Page 77: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

67

adalah pernyataan Levi-Strauss berkenaan dengan kelemahan berbahasa

masyarakat primitif, di mana diklaimnya bahwa masyarakat tradisional sangat

kikir memakai bahasa. Hal ini terutama dilihat ketika manusia memakai bahasa

untuk mengungkap realitas Yang Ilahi pada saat melaksanakan sebuah ritus.

Tidak saja pada perkara menyebut Yang Ilahi, melainkan semua bahasa yang

berkenaan dengan ritus diujar dengan sangat hati-hati di satu pihak, dan sering

tidak dimengerti oleh masyarakat luas pada pihak lain.”107

“Sementara itu ada etika dalam ritus bahwa nama Yang Ilahi tidak boleh

disebut secara langsung. Yang Ilahi harus diungkap dengan menggunakan

medium, sarana, jembatan yang bisa segera dimengerti.”108

Dalam konteks ritus Fua Pah yang dipraktikkan masyarakat suku Lopo

Metan, biasanya muncul ungkapan-ungkapan lisan maupun non-lisan. Ungkapan

bahasa lisan sebagai simbol utama yang digunakan yakni bahasa puitik yang kaya

akan metafora serta memiliki makna yang mendalam mengenai keseluruhan

realitas yang dihidupi oleh masyarakat bersangkutan. Menurut Christologus

Dhogo dalam bukunya “Su’i Uwi,” ungkapan non-lisan, religiositas tampak

dalam benda-benda yang digunakan, tata upacara, kebiasaan-kebiasaan dan

pandangan hidup.109 Pelaksanaan ritus Fua Pah sebagai ekspresi iman masyarakat

suku Lopo Metan. Mereka sadar akan keterbatasan dalam diri sehingga mereka

selalu mengarahkan diri kepada Leluhur dan Dewa-Dewi. Keterarahan kepada

Leluhur dan Dewa-Dewi membentuk kerohanian masyarakat primitif suku Lopo

Metan.

Gregor Neonbasu dalam bukunya berbicara mengenai relasi antara ekologi

dan simbol bahwa “manusia selalu memakai bahasa untuk melukis dengan indah

dan menarik perjumpaannya dengan ekologi. Namun, untuk memberi sebuah

gambaran yang mencukupi, manusia tidak saja memakai bahasa biasa. Ada sarana

dan ragam bahasa lain, yang dengannya manusia dapat melihat batas

sebtiap budaya bisa membahasakan nilai dan makna yang terkandung di dalamnya dan

memampukan setiap orang untuk memahami apa maksud dari tradisi ritual budaya tersebut. 107Ibid. 108Ibid., hlm 182. 109Cristologus Dhogo, op. cit, hlm 76.

Page 78: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

68

kerapuhannya untuk memahami ‘makna dan arti’ secara umum.”110 Lebih lanjut,

bahwa “manusia dapat melihat lintas, yakni segala keterbatasan akal-budi

kehendak dan perasaannya untuk kemudian mampu menemukan sebuah

perspektif yang lebih baru untuk menangkap realitas di balik segala kejadian yang

biasa. Perspektif yang lebih baru itulah yang kemudian disebut sebagai ‘yang

sakral’. Di sini, manusia membutuhkan simbol yang merupakan rekayasa arti di

balik realitas yang nampak bagi indera penglihatan untuk masuk dalam

perjumpaan dengan Yang Sakral.” 111

Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan, konsep tentang Yang Ilahi

adalah realitas yang kudus dan sempurna, sehingga selalu abstrak dan tidak dapat

dipahami manusia. Simbol-simbol dan metafora dijadikan sebagai cara terbaik

untuk menggambarkan realitas Yang Ilahi agar dapat ditangkap dan dipahami

dengan mudah. Atas dasar itu, ungkapan yang digunakan dalam pelaksanaan ritus

Fua Pah selalu menggunakan bahasa lisan sebagaimana yang dilukiskan

sebelumnya bahwa bahasa lisan itu terwujud dalam bahasa puitis atau bahasa

adat. Formulasi yang diberi dalam simbol dan tanda selalu berkenaan dengan

yang suci. Hal itu bertujuan untuk menciptakan suasana yang memungkinkan

terjadinya perjumpaan antara manusia dan “yang sakral”.112

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat suku Lopo

Metan memiliki mata pencaharian sebagai bertani dan bercocok tanam. Melalui

kesadaran tersebut, masyarakat suku Lopo Metan menyadari bahwa sebagai

masyarakat agraris harus selalu bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

keluarga maupun kelompok. Sebagai “makhluk pekerja (homo faber), mereka

selalu berusaha untuk mengelola alam lingkungan, baik secara individu maupun

kelompok dan berkerja secara gontong royong. Kerja gotong-royong ini bertujuan

untuk tetap mengikat tali persaudaraan di antara mereka sebagai makhluk sosial.

Mereka melihat kerja sebagai berkah, karena di dalamnya mereka bisa

mewujudkan eksistensinya.”113

110Gregor Neonbasu SVD, Ph.D., Citra Manusia Berbudaya (Jakarta: Antara Publishing, 2016),

hlm. 135-136 111Ibid., hlm. 136. 112Ibid., hlm. 137. 113Hasil wawancara Sefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 juli 2019 di kuan Upun.

Page 79: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

69

Sedangkan dalam kaitannya dengan “homo orans atau makhluk pendoa,

masyarakat suku Lopo Metan menyadari bahwa selain berkarya di dunia mereka

pun perlu mengikat diri secara mutlak kepada Wujud tertinggi atau dewa-dewi.”

Atas dasar itu, “mereka selalu menyerahkan seluruh pekerjaan dalam doa untuk

memohon, dan bersyukur kepada leluhur atau dewa-dewi melalui pelaksanaan

ritus Fua Pah.”114

Dengan demikian, iman masyarakat suku Lopo Metan merupakan suatu

religiositas asli yang membudaya sebab lahir dari pengalaman keterpesonaan,

ketertarikan, ketakutan dan keterkejutan akan keberadaan Leluhur dan dewa-dewi

dalam keseluruhan hidup mereka. Iman ini tumbuh dan berkembang menjadi

kesadaran mendasar dalam diri mereka dan dapat menjiwai seluruh siklus dan

pola kehidupan untuk mempertahankan serta melestarikan warisan-warisan

leluhur. Suku Lopo Metan juga mewarisi tradisi dalam membangun relasi yang

intim dengan Leluhur dan dewa-dewi Uis Neno, roh leluhur uis nitu dan roh alam

uis pah.

3.10.3 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Pengakuan akan Adanya Yang Transenden

“Kehidupan di alam semesta, dalam kesatuan sosial maupun sebagai

individu tidak dapat berlangsung, kalau tidak dipelihara dan dirangsang dengan

ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kosmis atau ilahi, begitulah

pemikiran manusia-manusia religius.”115 Sebagaimana yang telah dijelaskan pada

uraian sebelumnya bahwa kepercayaan mengandaikan akan adanya relasi dengan

yang transenden, maka ritus Fua Pah suku Lopo Metan pada dasarnya merupakan

sebuah bentuk penegasan akan adanya Yang Transenden itu. Dalam ritus Fua

Pah, iman tradisional merupakan dimensi dasar yang membentuk pergolakan

batin seluruh anggota masyarakat suku Lopo metan untuk melaksanakan ritus

tersebut. Selain itu, dalam ritus Fua Pah terkandung nilai-nilai budaya seperti

persekutuan, kerukunan, persaudaraan, keharmonisan, kesetiaan, kekudusan dan

keutamaan. Masyarakat suku Lopo Metan sungguh menyadari akan adanya Yang

Transenden. Kesadaran itu diungkapkan melalui pelaksanaan ritus Fua Pah.

114Hasil wawancara Ambrosius Bano, Guru Agama, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di kuan Upun. 115Marisusai Dhavamony, op. cit., hlm. 203.

Page 80: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

70

“Karena pengetahuan kita tentang Allah itu terbatas, maka pembicaraan

kita tentang Allah pun demikian terbatas. Kita hanya dapat berbicara tentang

Allah dari sudut pandang ciptaan dan sesuai dengan cara mengerti dan cara

berpikir manusiawi kita yang terbatas.” 116 Pengakuan akan adanya realitas

Transenden dalam keseluruhan pola hidup tampak pada kehidupan yang

berdimensi kosmik, yang mencakup alam, sosial dan simbol-simbol dalam suatu

keutuhan yang total. Itu berarti, setiap kegiatan yang dilakukan dan segala bentuk

kejadian yang dialami bahkan seluruh kosmos merupakan sesuatu yang sakral dan

kudus. Seluruh kosmos, termasuk dunia, diatur oleh adat, suatu peraturan kudus

atau Ilahi yang diwariskan.

“Pelanggaran terhadap adat entah dilakukan secara sadar atau tidak sadar,

mengganggu peraturan kosmos dan mengakibatkan bencana atau ancaman

terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian pada dasarnya tradisi pada

wilayah tertentu memiliki suatu kosmologi sakral, di mana seluruh alam semesta

bersifat Ilahi.”117 Atas dasar inilah, masyarakat suku Lopo Metan ketika membuka

kebun baru sampai pada memanen hasil kebun selalu melakukan ritus adat.

Pelaksanaan ritus adat ini bertujuan untuk memohon kepada Leluhur dan dewa-

dewi agar memberikan kesuburan dan kesejahteraan hidup.

Dalam ritus Fua Pah, keberadaan Yang Transenden juga ditegaskan

melalui ungkapan-ungkapan lisan yang sering dijumpai dalam pelaksanaan

upacara melalui doa-doa adat atau syair-syair adat Fua Pah. Misalnya dalam

upacara pelaksanaan ritus Fua Pah, “Yang Ilahi dilukiskan sebagai amoet ma

apakaet “yang mencipta dan mengukir.” Yang Ilahi sebagai pencipta senantiasa

mengukir dan mengatur serta menyusun struktur kehidupan manusia dalam

prinsip ekologi dan masyarakat. “Selain itu, Yang Ilahi disebut sebagai ahaot ma

afatis, “yang memberi makan dan memelihara”. Ungkapan ini merujuk pada sifat

Yang Ilahi, yang selalu hadir di setiap eksistensi manusia hic et nunc.”118

Istilah yang semirip adalah apean ma alikin “yang memecahkan dan

menetas” yang senantiasa berada di antara manusia di tengah pergaulan

116Kongregasi Ajaran Iman, Katekismus Gereja Katolik, penerj. P. Herman Embuiru SVD (Ende:

Propinsi Gerejawi Ende, 1995), hlm. 51. 117Georg Kirchberger, Allah Menggugat, (Maumere: Ledalero, 2012), hlm. 255. 118Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D., Citra Manusia Berbudaya (Jakarta: Antara Publishing), hlm.

218.

Page 81: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

71

masyarakat. “Di sini, Yang Ilahi senantiasa memberi “manikin ma oetene”

“rahmat dan anugerah”, tetus ma nit “hukum dan keadilan”, neo ma mafot

“perlindungan dan tempat berteduh”, kepada semua makhluk baik yang hidup

maupun yang mati.”119 “Masyarakat mengenal peran lain dari Yang Ilahi dengan

ungkapan aneot ma amafot, “yang melindungi dan menjaga”.120

Yang Ilahi itu sering kali dikaitkan dengan simbol-simbol alam seperti air

(oe), batu (fatu) dan kayu (hau). Dalam pelaksanaan ritus adat, air (oe) dilihat

sebagai unsur yang menyucikan dan membersihkan. Sementara itu, batu (fatu)

sesuai dengan sifatnya yang keras dan stabil merujuk pada suatu ketetapan batin

dalam melakukan suatu hal. Masyarakat pun seringkali melihat batu sebagai hal

yang menandakan kesulitan yang dihadapi manusia. Selain air dan batu, kayu

(hau) pun tidak dapat diabaikan perannya dalam ritus adat. Kayu atau pohon

dalam ritus adat masyarakat Timor dilihat sebagai kekuatan yang meneguhkan

semua usaha manusia pada pelbagai lini kehidupan. Kayu merujuk pada suatu

“komitmen tunggal dari seseorang untuk selalu berpikir pada pertumbuhan dan

perkembangan masa depan.”121

Dalam ungkapan doa dan syair-syair Fua Pah ini melukiskan tentang

bagaimana masyarakat suku Lopo Metan memahami yang Transenden melalui

ungkapan doa dan syair-syair Fua Pah dengan bahasa simbolis dan bahasa kiasan.

Oleh karena itu, masyarakat suku Lopo Metan pada dasarnya mengakui adanya

Yang Transenden yang dinyatakan dalam berbagai gelar. Itu berarti bahwa

eksistensi Yang Transenden selalu dapat dialami melalui berbagai simbol yang

dianggap sakral dan kudus. Dalam realitas kehidupan masyarakat suku Lopo

Metan, yang dianggap sakral dan kudus tidak boleh disebut sembarangan karena

dapat membawa atau menimbulkan malapetaka bagi mereka yang menyebut nama

tersebut tidak dengan hormat. “Istilah lokal yang lazim digunakan untuk merujuk

pada Yang Ilahi adalah ka mateka’fa lafu-lafu (tidak boleh disebut di sembarang

tempat). Ada pula istilah Dawan lain, seperti “tnona nimka ka ntea, ma tfit haeka

119Ibid., hlm. 218-219. 120Ibid., hlm. 219. 121Ibid.hlm. 142-145.

Page 82: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

72

ka nteafa msa” (tidak dapat dicapai dengan mengangkat tangan dan bahkan

angkat kaki pun tidak sampai [untuk mencapai Yang Ilahi]).”122

Kehidupan spiritual masyarakat suku Lopo Metan berawal dari

pengalaman hidup mereka sehari-hari, terutama pengalaman akan hal-hal di luar

batas kemampuan manusiawi mereka. Pengalaman itu tampak nyata dalam

simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan suasana kehidupan

spiritual yang telah melekat dalam sanubari bahwa ada kekuatan lain yang

melampaui kekuatan manusia. Kekuatan itu dimiliki oleh sesuatu Yang Ilahi.

Oleh karena itu, penyelenggaraan ritus Fua Pah adalah bagian dari upaya untuk

mengarahkan seluruh hidup masyarakat suku Lopo Metan kepada Yang Ilahi

tersebut.

3.10.4 Tinjauan atas Pemahaman tentang Ritus Fua Pah

Pemahaman masyarakat suku Lopo Metan tentang ritus Fua Pah

sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya ritus tersebut

bermakna bagi kehidupan mereka. Ritus itu mengantar mereka untuk semakin

bersatu hati sembari mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang terbatas.

Selanjutnya, hal itu mengantar mereka untuk mengekspresikan keyakinan bahwa

ada sesuatu Yang Transenden dan Ilahi yang melebihi kekuatan manusiawi dan

berpengaruh signifikan terhadap kehidupan mereka di alam semesta.

Berdasarkan model persekutuan eskpersi iman dan pengakuan akan

adanya Yang Transenden dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan,

bahwa sebenarnya dapat dipahami secara baru dalam iman Kristiani. Untuk

makna persekutuan, misalnya, seturut pemahaman Kristiani, “Gereja dipanggil

menjadi communio sebagai model, contoh, sakramen, agar semua manusia dan

bangsa memperoleh communio dan communicatio satu sama lain. Karena keadaan

dalam communio itu adalah keadaan selamat dan bahagia, maka Gereja sebagai

communio membangun antisipasi dan tanda atas kehadiran Kerajaan Allah

122Ibid., hlm. 202-203.

Page 83: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

73

sebagai karya keselamatan yang dijanjikan sebagai karya keselamatan

eskatologis.”123

“Manusia, baik sebagai kolektif maupun individu hidup berpisah-pisah

dan terasing satu sama lain. Artinya bahwa manusia selalu mengelompokan diri

ke dalam kesatuan darah, marga, suku, bahasa, dan sejarah. Dari tengah realitas

ini, Allah berinisiatif untuk menghimpun, mengumpulkan, menyatukan dan

mempersatukan mereka dalam satu komunitas yang bernama Gereja.”124 Selain

itu, “Allah dengan cara-Nya sendiri memanggil manusia keluar dari keterasingan

satu sama lain, untuk hidup dalam keterikatan relasi yang akrab. Inilah

persekutuan orang-orang percaya (congregatio fidelium) yang dinamakan

Gereja.”125

Sementara itu, berkaitan dengan ekspresi iman dan pengakuan akan

adanya Yang Transenden, Gereja melihat pentingnya wahyu ilahi. Dalam Konsili

Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei

Verbum (DV), ditegaskan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia

melalui Kristus, Sang Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus. Dengan

pewahyuan tersebut, Allah yang tidak kelihatan mau menyapa manusia dengan

cinta-Nya yang besar dan bergaul dengan manusia. Hal itu tampak dalam diri

Kristus, yang menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu (DV 2).

123Georg Kirchbereger, op. cit., hlm 424. Dalam hal ini, Gereja Katolik melalui karya keselamatan

yang terpenuhi melalui Yesus Kristus sebagai Adam baru memberi jawaban kepada manusia atas

sebuah kebebasan dalam hidup dan karya panggilannya masing-masing. Artinya bahwa Gereja

melalui kebangkitan Yesus Kristus menggenapi janji Allah bahwa manusia akan hidup kembali

dalam kedamaiannya bersama dengan Allah. Kehidupan baru yang dijanjikan ini merupakan

kehidupan setelah kematian. Itu berarti Gereja menjadi wadah bagi karya keselamatan umat

manusai menempatkan diri sebagai sebuah fondasi imanen untuk setiap manusia kembali dan

bertobat sehingga memungkinkan sebuah kehidupan yang harmonis dalam relasinya dengan Yang

Transenden. 124Dr. Eben Nuban Timo, op. cit., hlm. 71-72. Artinya bahwa Gereja merupakan sebuah communio

atau persekutuan umat Allah menjadi wadah berpulangnya seluruh umatnya. Hal ini didasari oleh

tubuh mistik gereja sebagai kesatuan yang akrab dengan Yang Transenden. Gereja sebagai tubuh

memberi ruang bagi setiap individu untuk kembali berkumpul dan menemukan dirinya secara

melalui jawaban atas panggilan Allah tersebut. Dengan demikian, Gereja hendaknya membuka

diri kepada siapa saja untuk masuk dan kembali sebagai manusia baru yang dimana dimampukan

oleh Gereja untuk dilahirkan kembali secara pribadi yang bersih melalui sakramen-sakramen yang

ada di dalamnya. Dalam hal ini Gereja telah terpenuhi terlebih dahulu oleh karya pewartaan dan

rahmat atas sabda yang telah menjadi daging. Di samping itu hubungan Gereja dengan umatnya

hendaknya menjalin hubungan sebagai Ayah dan anak di mana anak membutuhkan tubuh ayah

untuk selalu menguatkan dan menghantar anaknya agar lebih kokoh dalam menjalani dan

menjawabi panggilan realitas atas jalan hidupnya masing-masing. 125Ibid.

Page 84: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

74

Dari penjelasan di atas, kiranya jelas bahwa iman Kristiani itu bersumber

dan berpuncak pada pribadi Yesus Kristus itu sendiri. Dapat dilihat bahwa dalam

ritus Fua Pah, ekspresi iman ditujukan kepada para leluhur dan dewa-dewi,

sementara dalam perspektif Kristiani, ekspresi iman itu ditujukan kepada pribadi

Yesus Kristus sebagai Sabda Allah yang menjadi manusia dan menyelamatkan

manusia dari dosa dan kelemahan.

3.11 Dampak Ritus Fua Pah bagi Penghayatan Iman Kristiani

Masyarakat Suku Lopo Metan

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa pelaksanaan ritus Fua Pah

sebagai ungkapan permohonan lahiriah, syukur dan terima kasih kepada Yang

Ilahi. Atas dasar itu, pelaksanaan ritus Fua Pah memiliki pengaruh bagi

keseluruhan siklus kehidupan masyarakat suku Lopo Metan terutama dalam

kehidupan religius maupun dalam kehidupan sosial. Relasi yang dibangun seturut

fungsinya bukan hanya relasi sosial-horisontal antara manusia dan manusia dalam

suku, tetapi juga relasi sosial-vertikal dengan roh leluhur dan roh alam.

Ritus Fua Pah dalam masyarakat suku Lopo Metan memiliki dampak

positif dan dampak negatif terutama dalam hubungannya dengan penghayatan

iman Kristiani. Adapun beberapa dampaknya sebagai berikut:

Pertama, dampak positif. Sebelum masuknya kepercayaan agama Katolik

di wilayah suku Lopo Metan, kesadaran akan Yang Transenden sudah tumbuh

dalam kehidupan masyarakat suku Lopo Metan. Nilai-nilai yang telah diwariskan

oleh leluhur melalui ritus Fua Pah mengarahkan hidup mereka pada satu tujuan

yakni Yang Ilahi melalui para leluhur dan dewa-dewi. Hal ini memungkinkan

bagi sebuah upaya pastoral di tengah masyarakat suku Lopo Metan. Di dalam

ritus Fua Pah, terkandung nilai-nilai yang memiliki kemiripan dengan nilai-nilai

iman Kristiani. Nilai-nilai kebudayaan itu dapat diangkat dan diberi pemaknaan

seturut terang iman Kristiani yang berguna untuk penghayatan iman masyarakat

(yang adalah penganut agama Katolik) akan Yesus Kristus.

Kepercayaan akan leluhur melalui praktik ritus Fua Pah telah mendorong

mereka untuk tetap mempertahankan dan melestarikan ritus yang telah diwariskan

Page 85: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

75

bagi mereka serta mengambil nilai-nilai positif itu untuk membangun kehidupan

Kristiani sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah.

Kedua, dampak negatif. Tidak adanya pembedaan yang tegas dari

pemahaman antara iman dan kebudayaan dapat menjerumuskan masyarakat suku

Lopo Metan ke dalam praktik iman yang keliru. Keaktifan dalam kehidupan

menggereja menjadi berkurang karena orang lebih mengutamakan ritus Fua Pah

dengan alasan bahwa sama-sama merupakan bentuk ungkapan iman akan yang

ilahi.

3.12 Relevansi Nilai-Nilai Luhur dalam Ritus Fua Pah bagi Karya

Pastoral

Ada tiga hal pokok yang diangkat sebagai relevansi iman dari kesejajaran

nilai-nilai dalam ritus Fua Pah dengan nilai-nilai Kristiani. Pokok-pokok

relevansi yang diangkat ialah merencanakan karya pastoral dalam hubungan

dengan masyarakat adat, peran nilai-nilai ritus Fua Pah dalam pewartaan iman

Kristiani dan mendorong masyarakat suku Lopo Metan untuk ltbih mencintai

Allah. Semuanya ini berkaitan dengan kehidupan pastoral Gereja masa kini.

3.12.1 Merencanakan Karya Pastoral dalam Hubungan dengan Masyarakat Adat

Karya pastoral Gereja merupakan “tugas Gereja untuk meneruskan Missio

Dei, karya Allah Tritunggal sebagai Pencipta dan Penebus, demi kepentingan

dunia.” 126 Istilah yang sering dipakai untuk menyebut tugas Gereja ini yakni

“Misi” atau “Evangelisasi.” Kata “Misi” berasal dari bahasa Latin missio, yang

berarti pengutusan. Missio Dei = pengutusan yang berasal dari Allah/kepunyaan

Allah 127 sedangkan “Evangelisasi” merupakan semua tindakan pewartaan dan

pemakluman Kabar Gembira, Yesus Kristus, dalam berbagai cara. Evangelisasi

diperuntukkan kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus,

termasuk kepada agama-agama lain.128

126Peter C. Phan, Memperjuangkan Misi Allah di Tengah Dunia Dewasa Ini (Ende: Nusa Indah,

2004), hlm. 193. 127 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran Mengenai

Kontekstualisasi Teologi Di Indonesia (Kanisius: Yogyakarta, 2000), hlm. 161. 128E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta:

Kanisius, 2010), hlm. 123.

Page 86: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

76

“Kristus, Sabda Allah menciptakan Gereja lewat mana Ia bisa hadir dan

berbicara dalam sejarah manusia.”129“Gereja mengalami bahwa dirinya dipanggil

untuk bersekutu dalam iman dan diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang

pengalaman penyelamatannya, pengalaman berada dalam suasana kerajaan

Allah.”130

“Gereja melalui pelayan-pelayan pastoral di keuskupan-keuskupan

terutama di paroki-paroki menjalankan sedapat mungkin tugas meneruskan Missio

Dei melalui karya pastoralnya.”131 Di sini karya pastoral yang dilaksanakan harus

sesuai dengan situasi dalam wilayah pastoral. Gereja telah membuka diri

mewartakan Injilnya ke dalam masyarakat adat sehingga Yesus Kristus dikenal

dan diakui. Dengan demikian, nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki masyarakat

adat belum begitu digalih dan direfleksikan. Masyarakat suku Lopo Metan

menyadari bahwa ritus Fua Pah yang dipraktekkan kurang mendapat perhatian

dari para agen pastoral.132 Ritus Fua Pah yang dipraktikan masyarakat suku Lopo

Metan menampakan suatu religiositas asli. Hal ini berarti bahwa masyarakat suku

Lopo Metan telah memiliki religiositas asli dan karena itu perlu mendapat

perhatian khusus dari para agen pastoral.133

129Georg Kircberger, op. cit., hlm. 464. 130Edmund Woga, Misi, Misiologi, Evangelisasi Di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.

15. 131Para Bapa Konsili Vatikan II sudah meminta dalam dekret Inter Marifica agar “Hendaklah

semua putra-putri Gereja serentak dan secara sukarela mengusahakan agar upaya-upaya

komunikasi sosial dengan cekatan dan intensif mungkin memanfaatkan secara efektif dalam aneka

macam karya kerasulan, menanggapi tuntutan situasi setempat. Hendaklah para Gembala di

bidang itu pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas itu berhubungan erat

dengan kewajiban harian mereka mewartakan injil...”. Bdk. Frans Josef Eiler, Berkomunikasi

Dalam Pelayanan Misi, Sebuah Pengantar Komunikasi Pastoral dan Komunikasi Evangelisasi,

(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 251. 132Hasil wawancara Stefanus Halla dan Andreas Lopo, tokoh adat, Kokbaun, 4 Juli 2019, di kuan

Upun. 133Contoh Karya pastoral yang bisa dijalankan oleh agen-agen pastoral dalam kaitannya dengan

ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan sebagai berikut. Pertama, katekese. Katekese

dimaksudkan agar masyarakat sedapat mungkin memahami peranan iman kristiani di dalam

kehidupan sehari-hari mereka baik sebagai masyarakat awam maupun sebagai masyarakat adat.

Kedua, sharing kitab suci. Sharing kitab suci ini dimaksudkan agar masyarakat memahami Yesus

Kristus sebagai satu-satunya kurban yang menjadi pengatara antara realitas hidup yang dijalani

sehari-hari kepada Allah Yang Transenden itu. Ketiga, kunjungan pastoral. Melalui kunjungan

pastoral ini sedapat mungkin para agen pastoral membuka ruang komunikasi yang inheren dengan

masyarakat adat khususnya masyarakat suku Lopo Metan. Sehingga, bisa mendapat terang iman

yang lebih terarah dan jelas. Selain itu komunikasi yang dibangun harus mampu memberi peluang

adanya situasi saling mendengarkan dan memberikan masukkan yang sedapat mungkin

membangun kesadaran iman dan orientasi iman yang lebih terarah. Keempat, dialog. Melalui

Page 87: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

77

3.12.2 Peran Nilai-Nilai Ritus Fua Pah dalam Pewartaan Iman Kristiani

Masyarakat suku Lopo Metan menghidupi nilai-nilai budaya yang

dimiliki. Nilai-nilai budaya yang dimiliki sangat bergantung pada sejauh mana

usaha mereka untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut tanpa menolak arus

globalisasi dewasa ini. Mereka pun membutuhkan transformasi, tetapi sedapat

mungkin memahami makna dari perubahan tersebut dan bukan asal berubah

mengikuti perkembangan zaman.

Dewasa ini perkembangan globalisasi merupakan realitas yang tidak

disangkali lagi. Masyarakat suku Lopo Metan hendaknya merespons

perkembangan globalisasi dengan meyesuaikan kekayaan nilai-nilai budaya yang

ada, tanpa mengubah substansinya. Hal itu ditegaskan oleh I. Wibowo bahwa “hal

yang harus dilakukan adalah menyesuaikan diri sekreatif mungkin sehingga bisa

menunggangi gelombang globalisasi dan tidak tertindas olehnya.”134

Nilai-nilai dalam ritus Fua Pah suku Lopo Metan perlu diafirmasi dan

diangkat guna merefleksikan penghayatan iman Kristiani yang dianut oleh umat

atau masyarakat suku Lopo Metan. Hal ini dimaksudkan agar, di samping tetap

berpegang pada nilai-nilai tradisi budaya yang dimiliki, umat atau masyarakat

suku Lopo Metan pun dapat bertumbuh menjadi umat Katolik yang sejati. Nilai-

nilai positif dalam ritus Fua Pah perlu dipertahankan. Nilai-nilai itu antara lain

semangat persekutuan, cinta kasih, hidup dalam persaudaraan, hidup harmonis

dengan alam, saling membantu, semangat gotong royong dan setia menaati dan

menghayati aturan-aturan adat yang ada dalam suku.

Perkembangan globalisasi tidak dapat dibendungi. Salah satu jalan terbaik

bagi mereka untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif budaya yang ada ialah

harus terus-menerus merefleksikan dan mendalaminya. Mgr. Julianus Kemo

Sunarko, SJ menegaskan bahwa “penting disadari bahwa umat memerlukan kabar

dialog ini para agen pastoral diharapkan sedapat mungkin mendengarkan masyarakat sehingga

antara realitas iman kristiani dan realitas iman tradisional bisa menemukan konsep religiusitas

yang lebih terarah pada konsep kurban Yesus Kristus itu sendiri. Artinya bahwa dialog tersebut

memberi ruang untuk iman tradisional masuk ke dalam realitas iman kristiani dengan sedapat

mungkin menanamkan unsur-unsur iman akan Kristus sebagai yang utama. 134I. Wibowo, Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis-Suseno, (Yogyakarta: Kanisius,

2006), hlm. 178.

Page 88: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

78

Gembira sepanjang zaman, yang mempunyai relevansi dan urgensi untuk

menghadapi tantangan hidup yang kontekstual seturut perkembangan zaman.”135

3.12.3 Mendorong Masyarakat Suku Lopo Metan untuk Lebih Mencintai Allah

Masyarakat suku Lopo Metan umumnya beragama Katolik. Secara kasat

mata, mereka memiliki iman ganda yakni mereka percaya kepada leluhur yang

diajarkan oleh leluhur dan mereka juga percaya kepada Allah sesuai dengan

ajaran Kristiani. Mereka mengakui kehadiran Allah dalam seluruh hidup dan

karya serta memiliki keyakinan akan Allah.

Yesus Kristus adalah juga penyelamat suku Lopo Metan. Penyelamatan itu

ditunjukkan-Nya dengan memberi panenan yang berlimpah, meleburkan diri-Nya

di dalam kebun-kebun masyarakat hingga menumbuhkan tanaman mereka. Yesus

Kristus juga selalu memenuhi setiap permohonan mereka dengan menurunkan

hujan. Mgr. Petrus Boddeng Timang menegaskan bahwa “Allah berpihak kepada

manusia, selalu peduli dan menyertai, mewujudkan dalam sabda-terutama dalam

karya Yesus.”136

Oleh karena itu, para agen pastoral harus mampu memberikan penjelasan

realistis berkaitan dengan iman Kristiani dalam kaitannya dengan ritus-ritus yang

dijalankan oleh Masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa

pada dasarnya Allah itu hidup dalam selalu berpihak kepada manusia.

Keberpihakkan Allah kepada manusia tidak terbatas pada apa yang dilakukan oleh

individu-individu tertentu yang didasari oleh hal-hal baik namun Allah berpihak

kepada setiap manusia baik dan buruknya manusia. Dengan demikian melalui

keberpihakkan Allah tersebut Allah membuka ruang komunikasi yang intim

dengan meyakinkan kepada manusia bahwa Dialah Allah yang hidup dan hanya

kepada-Nya kita semua selamat sebab Dialah jalan kebenaran dan hidup.

135Julianus Kemo Sunarko, “Tulis dan Wartakan Kabar Gembira”, dalam: Majalah Hidup, No.

14/Tahun ke-67 (April, 2013), hlm. 42. 136Petrus Boddeng Timang, “Samudera Kasih Allah”, dalam: Majalah Hidup, No. 22/Tahun ke-69

(31 Mei 2015), hlm. 43. Dari penjelasan Petrus Boddeng Timang di atas, dapat disimpulkan

bahwa Allah selalu menyertai setiap umat-Nya yang berserah dan memohon kepada-Nya. Dalam

relasi yang harmonis antara Allah dan manusia dan manusia dengan Allah menjadi jalan untuk

menjembatani setiap syukur dan permohonan manusia atas rahmat yang telah dan ingin dialami.

Yang terpenting dari relasi tersebut adalah iman dan keterbukaan di mana iman menuntun pada

sikap dan perbuatan setiap kita.

Page 89: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

79

Berdasarkan nilai biblis tersebut para agen pasrtoral diharapkan agar sedemikian

rupa untuk membangun dialog cinta sambil memberi pedalaman iman dalam

komunikasi-komunikasi yang terbuka, lebih parstisipatoris dan Gereja melalui

agen pastoral jangan membiarkan pro – kontra dalam iman yang dianut oleh

masyarakat suku Lopo Metan. Namun diharapkan sedapat mungkin untuk

menetralisasikan kedua pemahaman akan iman itu dengan tetap menjadikan iman

akan Kristus yang bangkit sebagai acuan untuk membangun kesadaran bahwa

Allah selalu turut bekerja bersama mereka dalam setiap usaha dan permohonan

mereka.

3.12.4 Meningkatkan Kesadaran Umat Suku Lopo Metan akan Pentingnya Hidup

Menggereja

Berdasarkan penjelasan point-point dari bab sebelumnya dapat dikatakan

bahwa ritus fua pah merupakan sebuah upacara penyembahan terhadap roh alam.

Tradisi ritus ini juga merupakan sebuah warisan dari para leluhur (nenek

moyang). Sebagai sebuah warisan, ritus fua pah sangat mengakar dalam

keseharian hidup masyarakat suku Lopo Metan. Hal ini bisa dilihat dari

penghayatan hidup masyarakat suku Lopo Metan khususnya dalam segala

persiapan berkaitan dengan berlangsungnya perayaan ritus fua pah. Dalam

keadaan akan penghayatan yang mendalam ini, masyarakat suku Lopo Metan pun

tidak bisa menolak bahwa mereka juga menghayati realitas iman akan Kristus

dalam berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani. Iman akan Kristus yang

dihayati tersebut seolah membuka dualisme iman dalam keseharian mereka. Di

mana mereka masih tetap mempraktikkan realitas iman tradisional sekaligus

menjalani juga realitas iman akan Kristus. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis

ingin memberi tanggapan kritis atas realitas iman yang dihidupi dan dihayati oleh

masyarakat suku Lopo Metan. Kendatipun demikian, penempatan posisi penulis

dalam hal ini berkaitan dengan kedudukan akedemik penulis sebagai Mahasiswa

Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sehingga,

penulis tidak memprioritaskan pada satu subjek kajian realitas iman yang dijalani

oleh masyarakat suku Lopo Metan. Melainkan penulis ingin menempatkan diri

Page 90: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

80

dengan berusaha untuk menanggapinya secara netral tanpa memberi ruang pro

atau kontra dengan realitas iman yang dihayati tersebut.

Masyarakat suku Lopo Metan dalam perayaan ritus fua pah sebenarnya

memberi ruang atas ekspresi iman yang telah lama berakar dalam realitas hidup

mereka sehari-hari. Ekspresi iman ini lahir dari warisan para leluhur dalam

menanggapi keadaan mereka sebagai manusia lemah dihadapan kehidupan yang

dijalani saat itu. Kesadaran sebagai makhluk terbatas menghantar masyarakat

suku Lopo Metan kepada iman akan sesuatu yang Transendental yang melampaui

segala usaha mereka. Hal ini, tidak semata sebagai realitas semu yang dihayati

begitu saja. Namun lebih kepada sebuah kronologis historis atas pengalaman

hidup yang telah ditanamkan oleh para leluhur. 137 Keberakaran akan warisan

leluhur ini membentuk masyarakat suku Lopo Metan sebagai sebuah komponen

masyarakat yang taat akan budaya. Dengan demikian bukanlah hal yang mudah

jika Gereja ingin menghilangkan atau meluruskan beberapa unsur dalam ritus Fua

Pah yang telah dijalani dan dihayati oleh maryarakat suku Lopo Metan.

Keberakaran masyarakat suku Lopo Metan terhadap upacara ritus Fua Pah

merupakan pertanggungjawaban mereka sebagai masyarakat tradisional

(masyarakat yang berbudaya). Tanggung jawab ini menjadikan masyarakat suku

Lopo Metan semakin intens dalam memelihara dan menjaga keorisinalitas unsur-

unsur yang telah lama dipraktikkan. Sebenarnya, ungkapan ekspresi iman

masyarakat suku Lopo Mentan memberi jawaban atas rasa lapar dan haus dalam

menemukan jati diri mereka sebagai manusia yang ingin selalu dekat dengan

alam. Hal ini, nampak dalam pelbagai perspektif mengenai alam. Di mana,

masyarakat suku Lopo Metan percaya bahwa alam adalah sarana bagi mereka

dalam memenuhi kehidupan harian mereka, di samping itu, masyarakat suku

Lopo Metan juga percaya bahwa alam adalah ibu bagi mereka. Dengan demikian,

perspektif akan alam dalam versi kehidupan yang mereka jalani bisa disimpulkan

137Artinya berdasarkan sejarah terbentuknya suku Lopo Metan yang telah dijelaskan pada bab II di

atas dapat dilihat bahwa keadaan masyarakat suku Lopo Metan pada masa awal merupakan

masyarakat yang berpindah-pindah dari satu situasi alam ke situasi alam yang lain menjadikan

mereka semakin percaya bahwa adanya kekuatan lain yang menjadi pengantara atas hidup di dunia

dengan alam yang ingin ditempati. Hal ini nampak dengan perayaan ritus Fua Pah yang selalu

dijalani oleh masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu, bukan suatu kemustahilan bahwa jika

lahirnya ritus Fua Pah sebenarnya sebagai usaha atau tanggapan atas rasa khawatir akan alam

yang ingin ditempati oleh masyarakat suku Lopo Metan pada masa-masa awal sejarahnya.

Page 91: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

81

bahwa alam menjadi rahim atas seluruh keberhasilan pun kegagalan yang mereka

jalani, alami dan hidupi setiap harinya. Sehingga, ritus Fua Pah yang

dipraktikkan setiap saat menjadi satu-satunya sarana dalam mendekatkan mereka

pada rahim tersebut. Oleh karena itu, jika Gereja dalam hal ini agen-agen pastoral

berusaha untuk menginkulturasikan nilai-nilai ritus Fua Pah ke dalam unsur-

unsur iman Kristiani, tentu bukanlah hal yang mudah.

Berdasarkan uruaian di atas, masyarakat suku Lopo Metan masih menjadi

masyarakat yang sangat tertutup. Dalam hal ini, masyarakat suku Lopo Metan

masih cenderung berakar dalam tradisi warisan leluhur. Kendatipun demikian

secara gamblang masyarakat suku Lopo Metan, tidak bisa mengelak bahwa

mereka juga menghayati iman akan Kristus. Iman akan Kristus yang dihidupi oleh

masyarakat suku Lopo Metan pun bukanlah realitas iman semu yang bisa

digandakan dalam berbagai situasi yang dialami. Dalam keyakinan akan Kristus

sebenarnya masyarakat suku Lopo Metan perlu melihat lebih jauh bahwa

keseluruhan unsur yang dipraktikan dalam ritus Fua Pah merupakan hal yang

hampir sama dalam praktik iman akan Kristus. Hal ini bisa dilihat dari berbagai

sarana dan persiapan dalam upacara ritus Fua Pah. Di mana masyarakat suku

Lopo Metan dalam persiapannya membutuhkan sarana yakni faut bena (mesbah)

dan ritus Fua Pah dilakasanakan di tempat yang tinggi sperti, gunung atau bukit.

Hal ini sebenarnya bisa dilihat dalam iman Kristiani sebagai usaha untuk

mewartakan syukur dan permohonan mereka kepada wujud tertinggi. Faut bena

dalam ritus Fua Pah sebenarnya adalah mesbah yang juga dalam Gereja menjadi

simbol pewartaan, ucapan syukur, penyerahan diri, dan permohonan kepada

Allah. Selain itu, tempat tinggi seperti gunung dan bukit yang dalam masyarakat

suku Lopo Metan diyakini sebagai tempat yang mendekatkan mereka kepada

Wujud Tertinggi. Hal tersebut dalam iman akan Kristus tempat tinggi juga

diyakini sebagai sebuah bangunan fisik yang menjadi tempat bagi seluruh umat-

Nya untuk berkumpul dalam perayaan iman akan Kristus yang bangkit di mana

dapat dilihat dalam bentuknya yakni Gereja.

Hal lain dalam prkatik masyarakat suku Lopo Metan dapat dilihat

memiliki pemahaman yang sama dalam Gereja ialah mengenai tae lilo (lihat tali

perut). Tea lilo dalam praktik masyarakat suku Lopo Metan diartikan sebagai

Page 92: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

82

usaha untuk membaca tanda-tanda alam sebagai ekspresi akan tanggapan para

leluhur terhadap segala syukur dan permohonan yang disampaikan dalam ritus

Fua Pah. Tae lilo dalam praktik iman Kristiani dapat dilihat dalam diri Yesus

Kristus di mana Yesus Kristus sebagai penggenapan akan janji Allah kepada

bangsa Israel (mewakili seluruh dunia) akan datangnya sang Almasih yakni Yesus

Kristus itu sendiri. Sehingga dalam penggenapan-Nya itu Yesus Kristus diimani

sebagai “Jalan Kebenaran dan Hidup” (Bdk. Yoh. 14:6).

Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat suku Lopo Metan sebenarnya

memiliki unsur-unsur yang memungkinkan adanya interaksi yang lebih nyata dan

intim dengan Gereja sebagai realitas iman yang juga dihayati secara bersama.

Dengan demikian, masyarakat suku Lopo Metan perlu merefleksikan diri ke

dalam sarana iman akan Kristus sebagai satu-satunya pengantara akan manusia

dengan Allah sebagai wujud tertinggi. Hal ini, dikarenakan dalam upacara ritus

Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan belum mampu menemukan pendasaran

iman akan wujud tertinggi yang diayakini itu. Dengan kata lain, dalam praktiknya

masyarakat suku Lopo Metan memiliki kecenderungan melihat wujud tertinggi

dalam diri roh para leluhur. Sehingga, bukan tidak mungkin jika Gereja sebagai

sebuah communion (persekutuan) iman membuka diri sekaligus mengayomi

masyarakat suku Lopo Metan dalam iman akan Kristus sebagai jalan kebenaran

dan hidup.

Keterbukaan Gereja perlu mengintegrasikan seluruh nilai-nilai iman

tradisional dengan iman Gereja dalam satu wajah baru yang mana wajah baru ini

dilihat sebagai koorporasi dua iman dalam satu tujuan dasar iman yakni, Yesus

Kristus itu sendiri dalam perayaan syukur dan permohonan atau dengan kata lain

perayaan ekaristi. Dalam hal ini, keterbukaan Gereja tidak semata menghilangkan

nilai dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan namun Gereja lebih

mendekatkan diri dalam iman akan Kristus melalui dialog, komunikasi

partisipatoris dan sedapat mungkin memberi realitas iman yang perlu dilihat dan

dihayati secara nyata oleh masyarakat suku Lopo Metan. Sehingga Gereja tidak

saja memberi dan menanamkan sebuah teori iman dalam berbagai konsep yang

memperumitkan pemahaman iman akan Kristus namun lebih kepada praktik nyata

dalam kedekatan, dialog dan komunikasi yang dibangun

Page 93: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

83

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Masyarakat suku Lopo Metan pada umumnya bermatapencarian sebagai

petani. Pola kehidupan seperti ini membuat mereka begitu bergantung pada alam

sebagai sumber kehidupan mereka sehari-hari. Ada keyakinan bahwa

kebergantungan mereka pada alam mendatangkan kebahagiaan. Akan tetapi,

untuk dapat meraih kebahagiaan itu, mereka perlu bekerja keras mengolah alam.

Pengolahan atas alam dapat memberikan hasil panen yang melimpah. Di samping

itu, mereka juga percaya bahwa alam dapat mendatangkan malapetaka bagi

kehidupan mereka apabila mereka salah mengelolah dan menggunakan hasil alam

dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat mereka selalu berusaha untuk

senantiasa menjaga keharmonisan mereka dengan alam. Di lain sisi masyarakat

suku Lopo Metan memiliki konsep tersendiri berkaitan dengan alam. Bagi mereka

alam merupakan makro-kosmos yang adalah bagian lain dari diri Yang

Transenden, sehingga seluruh siklus kehidupan dan ritus yang dilakukan selalu

dianggap sakral dan kudus. Atas dasar itu, mereka selalu melaksanakan pelbagai

macam ritus. Salah satu ritus yang masih dipraktikkan hingga dewasa ini ialah

ritus Fua Pah itu sendiri.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa ritus

Fua Pah merupakan upacara penyembahan terhadap (roh) alam. Tradisi ritus ini

diwariskan secara turun-temurun dan menjadi kekhasan serta kekayaan bagi

masyarakat suku Lopo Metan. Dalam upacara ritus Fua Pah terdapat sejumlah

perangkat nilai yang memiliki fungsi dan makna yang sangat dalam bagi

kehidupan mereka. Sejumlah perangkat nilai tersebut turut membentuk cara hidup

dan pola tingkah laku serta relasi mereka baik antar-sesama dalam suku maupun

dengan Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh alam. Nilai-nilai itu antara lain nilai

Page 94: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

84

persatuan, kerukunan, keharmonisan, cinta kasih, persaudaraan, kesetiaan dan

ketaatan. Nilai-nilai ini mendorong mereka untuk mengakui bahwa Allah sungguh

hadir sebagai pribadi atau perantara yang memprakarsai seluruh siklus hidup dan

karya mereka. Selain itu, sebagai umat Katolik, mereka pun menghidupi nilai-

nilai Kristiani, seperti nilai kebenaran, kekudusan, cinta kasih, kesetiaan dan

ketaatan. Nilai-nilai dalam ajaran Katolik tersebut sebagai dasar bagi semua kaum

beriman yang mengakui Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia termasuk

masyarakat suku Lopo Metan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah suku Lopo Metan dapat

dimanfaatkan untuk membentuk dan memperkuat iman umat atau masyarakat

adat dewasa ini. Nilai-nilai positif yang hidup dalam budaya suku Lopo Metan

telah menjadi identitas atau jati diri budaya mereka. Selain itu, nilai-nilai dalam

ritus Fua Pah pada dasarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Hal

ini turut membantu dan memudahkan misi pewartaan nilai-nilai Injil dari para

pelayan pastoral dengan mengarahkan umat suku Lopo Metan untuk memaknai

kehadiran Allah melalui pribadi Yesus Kristus dalam kebudayaan lokal.

Masyarakat suku Lopo Metan yakin bahwa nilai-nilai yang terkandung

dalam ritus Fua Pah merupakan identitas budaya. Nilai-nilai tersebut dapat

menjadi pedoman hidup bagi karya mereka di dunia. Oleh karena itu, nilai-nilai

itu patut dipertahankan dan dihayati dalam hidup setiap hari.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung

dalam ritus Fua Pah memiliki banyak kesamaan. Kesamaan itu antara lain terlihat

jelas mengenai penekanan yang sama akan pentingnya nilai persekutuan,

persaudaraan, solidaritas, rela berkorban, dan sebagainya yang mendukung

kehidupan bersama. Walaupun demikian, masyarakat suku Lopo Metan adalah

juga pengikut Kristus. Mereka adalah umat Katolik yang juga memiliki hak yang

sama untuk diarahkan dan diberdayakan menjadi saksi Kristus yang sejati. Oleh

karena itu, dituntut suatu upaya dan kerja keras dari para pelayan pastoral untuk

menuntun dan mengarahkan masyarakat/umat suku Lopo Metan agar mereka

lebih mencintai Sabda Allah dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai

pengantara dan penyelamat satu-satunya.

Page 95: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

85

Nilai-nilai kebudayaan, sebagaimana yang terkandung dalam ritus Fua

Pah masyarakat suku Lopo Metan perlu diangkat dan dimaknai secara lebih baru

sesuai dengan semangat Injil Kristus. Ritus ini berhubungan dengan suatu upaya

penyembahan dan penghormatan terhadap roh alam dan para leluhur yang

berpengaruh signifikan terhadap usaha pengolahan lahan masyarakat suku Lopo

metan. Dari ritus ini, tampak bahwa masyarakat suku Lopo Metan meyakini

bahwa alam semesta itu adalah pemenuh segala kebutuhan manusia. Dengan ritus

tersebut, mereka memohon ijin kepada roh alam dan para leluhur untuk mengolah

alam sesuai dengan kebutuhan mereka. Pemahaman ini tentunya dapat

menggiring mereka untuk bertindak semena-mena terhadap alam, sebab walaupun

mereka berusaha menjaga keharmonisan dengan alam, alam tetap hanya dilihat

sebagai objek pemenuh kebutuhan manusia belaka. Di sini, pelayan pastoral,

berlandaskan pada terang ajaran Kristiani, perlu mengarahkan masyarakat bahwa

alam semesta adalah saudara/saudari sesama ciptaan Tuhan yang perlu dihormati.

Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berada dalam suatu relasi saling

tergantung satu sama lain dan diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama.

4.2 Saran

Pada dasarnya iman selalu tumbuh dan berkembang dalam setiap

kebudayaan. Hal ini karena manusia dan kebudayaan itu sendiri merupakan dua

realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa iman dan kebudayaan adalah dua hal yang

saling menyokong satu sama lain. Iman membutuhkan kebudayaan untuk dapat

mewujud, sementara kebudayaan membutuhkan iman agar kebudayaan itu tetap

langgeng bertahan. Iman itu sendiri merupakan jawaban manusia atas panggilan

Allah dan di dalam setiap kebudayaan juga terdapat perjumpaan antara Allah dan

manusia melalui nilai-nilai yang telah mereka hidupi. Atas dasar itu, di akhir

tulisan ini, penulis hendak menyarankan beberapa hal kepada masyarakat suku

Lopo Metan secara khusus sebagai penerus budaya lokal dan juga kepada para

agen pastoral.

Page 96: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

86

4.2.1 Bagi Para Pelayan Pastoral

Para pelayan pastoral tentunya melakukan pelayanan pastoral dengan

bertolak dari Kitab Suci, tradisi dan doktrin-doktrin Gereja sebagai sumber ajaran

iman Kristiani. Meskipun demikian, praktik pelayanan yang dijalankan tidak

hanya sebatas pada panduan iman tersebut, tetapi juga harus terbuka dan

menerima serta bertanggungjawab atas nilai-nilai budaya yang sudah ada di

sekitar mereka. Dengan demikian, kesatuan antara Gereja sebagai tubuh yang

menjembatani iman akan Allah dengan budaya memampukan pertumbuhan dan

perkembangan iman secara lebih mudah. Gereja perlu menjadi wadah yang

merangkul nilai-nilai luhur kebudayaan di mana Gereja itu bertumbuh dan

berkembang.

Di sini, para pelayan pastoral berperan penting dalam upaya tersebut. Para

pelayan pastoral hendaknya mengindahkan dan memurnikan nilai-nilai budaya

suatu masyarakat agar sesuai dengan pewartaan kabar sukacita Injili. Para agen

pastoral harus berusaha untuk menyusun bentuk-bentuk pewartaan yang sesuai

dengan konteks masyarakat suku Lopo Metan. Di samping itu, para agen pastoral

harus mampu membangun sebuah dialog iman untuk memurnikan berbagai nilai,

fungsi dan makna yang dihidupi dalam tradisi tersebut. Proses ini memberi

peluang bagi bertumbuhnya iman yang kokoh sehingga masyarakat lebih bebas

dalam menjalani dan menjawabi panggilan iman yang mereka alami. Dengan

demikian para agen pastoral hendaknya sedapat mungkin mencari hubungan

antara nilai-nilai dan fungsi ritus agar bisa diselaraskan dengan nilai-nilai iman

Kristiani berdasarkan sumber iman Kitab Suci.

Kiat nyata yang dapat dilakukan oleh para pelayan pastoral untuk

melakukan proses pendampingan terhadap umat atau masyarakat suku Lopo

Metan adalah dengan melakukan kegiatan pendalaman iman, seperti katekese,

sharing Kitab Suci, dan sosialisasi dokumen Gereja yang berkaitan dengan Ajaran

Sosial Gereja. Lebih lanjut, para pelayan pastoral pun perlu mendampingi umat

dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan ekonomi. Hal itu dapat dilakukan

melalui pelatihan-pelatihan ketrampilan yang berguna bagi peningkatan

Page 97: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

87

kesejahteraan hidup mereka, baik dalam bidang pertanian, pertukangan, maupun

peternakan. Semua upaya pemberdayaan umat tersebut akan berjalan baik apabila

para pelayan pastoral memiliki sikap kesetiakawanan yang sejati.

4.2.2 Bagi Masyarakat Suku Lopo Metan

Umumnya masayarakat suku Lopo Metan memiliki peranan penting dalam

mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah. Oleh karena

itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, masyarakat suku Lopo Metan harus tetap bertanggungjawab

untuk menjaga dan melestarikan kekayaan nilai-nilai budaya lokal, termasuk

nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah. Salah satu nilai dari ritus ini

yang perlu dipertahankan adalah tentang pentingnya menghargai atau

menghormati alam lingkungan sebagai penyedia berbagai kebutuhan hidup. Nilai

lain yang tampak dari ritus ini yaitu nilai perjuangan dan kerja keras. Masyarakat

suku Lopo Metan diingatkan bahwa untuk dapat memperoleh hasil yang

memuaskan dari suatu pekerjaan, dibutuhkan perjuangan dan kerja keras. Nilai-

nilai ini yang perlu diangkat kembali dan ditanamkan ke dalam hati dan benak

para generasi penerus (anak-anak).

Kedua, masyarakat suku Lopo Metan yang adalah juga anggota Gereja

diharapkan agar membuka diri terhadap pendampingan dan pelayanan dari para

pelayan pastoral mengenai pentingnya hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati.

Dalam hal ini, masyarakat perlu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang

berkaitan dengan pembinaan iman (seperti katekese, sharing Kitab Suci, dan

sebagainya), maupun yang berkaitan dengan pelatihan untuk meningkatkan

kesejahteraan ekonomi. Salah satu sikap yang mesti ditumbuhkembangkan dalam

diri umat atau setiap anggota masyarakat adalah sikap kesetiakawanan atau

solidaritas satu sama lain.

Page 98: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

88

DAFTAR PUSTAKA

I. Dokumen-Dokumen

Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru.

Ende: Propinsi Gerejawi Ende, 1995.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawirayana SJ. Cet.

II. Jakarta: Obor,1993.

Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Lux.

Semarang: Widya Karya, 2011.

II. Buku-Buku

Bevans, Stephen B. Teologi dalam Perspektif Global. Terj. Yosef Maria Florisan.

Maumere: Ledalero, 2013.

---------------. Model-Model Teologi Kontekstual. Terj. Yosef Maria Florisan.

Maumere: Ledalero, 2002.

Ceme, Remigius. Mengungkap Relasi Dasar Allah Dan Manusia. Maumere:

Ledalero, 2012.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Dhogo, Cristologus. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan

Ekaristi. Maumere: Ledalero, 2009.

Eiler Josef, Frans. Berkomunikasi Dalam Pelayanan Misi, Sebuah Pengantar

Komunikasi Pastoral dan Komunikasi Evangelisasi. Yogyakarta:

Kanisius, 2008.

Erickson, Milard J. Cristian Theology. Michigan: Baker Books, 1998.

Fernandez, Stephan Ozias. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan

Kini. Maumere: Ledalero, 1990.

Fox, James J. Bahasa, Sastra dan Sejarah. Jakarta: Djambatan, 1986.

Page 99: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

89

Gerrit Singgih, Emanuel. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran

Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Kanisius: Yogyakarta,

2000.

Hadjana, Agus. Religiositas, Agama dan Spiritusitas. Yogyakarta: Kanisius,

2005.

Jacobs, Tom. Paham Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Jebadu, Alex. Bukan Berhala, Penghormatan kepada Para Leluhur. Maumere:

Ledalero, 2009.

Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Maumere: Ledalero, 2012.

---------------. Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa

Indah, 1986.

---------------. Teologi Iman, perspektif Kristen. Maumere: Ledalero, 2002.

---------------. Mendengarkan dan Mewartakan. Ende: Nusa Indah, 2002.

Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Neonbasu, Gregor. Citra Manusia Berbudaya: Sebuah Monografi Tentang Timor

dalam Perspektif Melanesia, Jakarta: Antara Publishing, 2016.

---------------. (ed). Kebudayaan: Sebuah Agenda. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2013.

Nuban Timo, Eben. Sidik Jari Allah Dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna

Allah dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur. Cet.

II. Maumere: Ledalero, 2009.

Parera, ADM, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor, diedit oleh Neonbasu,

Gregor, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994.

Phan, Peter C. Memperjuangkan Misi Allah di Tengah Dunia Dewasa Ini. Ende:

Nusa Indah, 2004.

Raho, Bernad. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2008.

Rede Blolong, Raymundus. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Ende: Nusa

Indah, 2012.

Riyanto E., Armada. Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan,

Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Saifullah, ALI. Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Surabaya: Usaha

Nasional, 1982.

Page 100: SKRIPSI - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/KORNELIS TILIS 16.75.5906.pdfProgram Studi Ilmu Teologi ... mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat

90

Sawu, Andreas Tefa. Di Bawah Naungan Gunung Mutis. Ende: Nusa Indah,

2004.

Van Peursen, C. A. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Wibowo, I. Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis-Suseno,

Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Woga, Edmund. Misi, Misiologi, Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius, 2009.

III. Jurnal

Rodos, Fransiskus Bonevasio. “Ritus Paki Kaba Kelas Mese dalam Masyarakat

Sipi dan Pandangan Kristen Tentang Hidup Sesudah Mati, Sebuah Upaya

Mencari Model Inkulturasi Budaya”. Jurnal Ledalero, 11:2, Juli 2012.

Kleden, Paul Budi. “Yang Lain sebagai Fokus Berteologi Kontekstual di

Indonesia”. Jurnal Ledalero, 9:2, Desember 2010.

IV. Majalah dan Manuskrip

Juhani, Sefrianus. Teologi Penciptaan (ms.). Diktat Kuliah STFK Ledalero 2017.

Kemo Sunarko, Julianus. “Tulis dan Wartakan Kabar Gembira”. Majalah Hidup,

No. 14/Tahun ke-67 (April, 2013).

Timang Boddeng, Petrus. “Samudera Kasih Allah”. Majalah Hidup, No.

22/Tahun ke-69 (31 Mei 2015.

V. Wawancara

Bano, Ambrosius. Wawancara langsung, 10 Juli 2019.

Halla, Stefanus. Wawancara langsung, 3 Juli 2019.

Lopo, Andreas. Wawancara langsung, 28 Juli 2019.

Lopo, Sebastianus. Wawancara langsung, 8 Juli 2019.

Tanu, Kornelis. Wawancara langsung, 27 Juni 2019.