SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

38
Tugas Ujian Psikiatri SKIZOFRENIA dan GANGGUAN SKIZOAFEKTIF Disusun Oleh : Khonita Adian Utami G0007202 Pembimbing: Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

Transcript of SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Page 1: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Tugas Ujian Psikiatri

SKIZOFRENIA dan

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Disusun Oleh :

Khonita Adian Utami G0007202

Pembimbing:

Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA

SURAKARTA

2012

Page 2: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar

pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan

bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang

kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi

nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan

kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Mansjoer, 2000). Sedangkan

gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan

adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif diaman

keduanya sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari

yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama (Sadock, dkk.,

2003 ; Maslim, 2002).

Maramis (2006) menyebutkan skizofrenia dan gangguan skizoafektif

merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi

(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability

(ketidakmampuan). Ketidakmapuan penderita skizofrenia atau dengan gangguan

skizoafektif dalam mencapai berbagai keterampilan hidup inilah yang menyebabkan

penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat.

Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari

tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin

dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin

buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki

prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif maupun

gangguan bipolar, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan

skizofrenia (Sadock dkk., 2003).

Page 3: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA

A. Definisi

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock,dkk., 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu

gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar

(waham), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi),

gangguan perasaan, perilaku aneh atau tak terkendali (disorganized). Gejala negatif

adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri

dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif,

apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak

atau inisiatif (Maharatih, 2010).

B. Fase atau Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.

Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa

fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003;

Buchanan, 2005).

Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah

(gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien

dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala

somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah

pencernaan Perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari

sampai beberapa bulan (Sadock,dkk., 2003).

Page 4: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara

klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian

pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk

sampai tidak ada (Buchanan, 2005).

Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis

skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang

tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan

perilaku aneh (Buchanan, 2005).

C. Etiologi

Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara

pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa

penyebab skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-

keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka

kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;

bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila

kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur

(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang

disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat

mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang

berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada

gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini

(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia

semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang

memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

Page 5: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-

neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa

skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di

bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal

terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine

yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter

lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan

(Durand & Barlow, 2007).

3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin

lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan

orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi

penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak

memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua

terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan

anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan

tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).

D. Patogenesis

1. Skizofrenia dan Dopamin

Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala

skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya

neurotransmiter dopaminergic mengurangi gejala dari pasien dengan skizofrenia

Page 6: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang diterapi dengan

obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan penurunan munculnya

halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam mengatur kebiasaannya.

Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.

Pertama Blokade pada neurotransmitter dopaminergik tidak sepenuhnya

mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia

berkurang ketika neurotransmitter dopaminergic diturunkan dengan obat

antipsikotik, level metabolit dopamin dan receptor dopamin ketika diukur

sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,

peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara sederhana

dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang yang menderita

skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor dopamin yang

berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan ligan radioaktif

dari single-photon-emission yang tertomografi. Bagaimanapun juga, penurunan

aktivitas dopaminergik pada korteks serebral pada lobus frontal dapat menjadi

satu faktor konstribusi dalam penanganan gangguan kognitif yang sering

ditemukan pada pasien yang menderita skizofrenia. Oleh karena itu, investigasi

pada patofisiologi skizofrenia mengembangkan lebih jauh lagi mengenai

dopamin, para peniliti menggali lebih dalam mengenai pengobatan farmakologi

dari skizofrenia, yang tidak mengabaikan dopamin sebagai target, telah

memperluas bidang penyelidikan mereka termasuk neurotransmiter yang lain.

Tidak ada lesi tunggal yang dapat menyebabkan skizofrenia. Tapi,

adanya peran dari faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi dan

perkembangan dari otak hal tersebut juga yang dapat menyebabkan skizofrenia.

Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat ditunjukan dengan

adanya penurunan jumlah dari mereka, pengeluaran enzim yang mensintesis

penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang menurun, penurunan

pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan somatostatin yang

dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan migrasi neuron ke korteks

dari lapisan putih otak. Sebagai tambahan pada perubahan spesifik pada

interneuron, terdapat pengurangan secara umum dari neuropil kortikal, seperti

Page 7: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

dendrit dan akson yang mengubungkan neuron, menggambarkan proses

kerusakan pada pyramidal maupun penghambat neuron menjadi bentuk

penghubung sinapsis. Pada beberapa area dalam otak, terjadi berkurangnya

jumlah total neuron secara nyata.

2. Penemuan Neuropatologi

Pada penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging

(MRI) menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari

beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks

temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa

terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada korteks

prefrontal, yang diindikasikan dengan level dari neuronal asam amino N-

asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan otak

secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional

menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal

lateral dorsal, mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat

fungsi neuron.

3. Temuan genetika pada skizofrenia

Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan adanya

keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi, seperti

adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar

monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak yang

diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat resiko

sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia tidak terlihat sebagai monogen,

dan terdapat sejumlah kromosom locus yang nantinya akan bekaitan terhadap

penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid tunggal berhubungan

dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi

neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini, termasuk regulator Protein

G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan

struktur sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan

dengan pertumbungan sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang

mempengaruhi N-metil D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom

Page 8: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

15 untuk asetilkolin dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi

metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan

dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan berbagai

macam aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan dalam perasaan

dan pengingat.

Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari patogenesis

pada skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk kerusakan otak

ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial selama masa

kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).

E. Pedoman Diagnostik

Menurut PPDGJ-III

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :

a. Isi Pikiran

1) ”thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda.

2) ”thought insertion or withdrawl” = isi pikiran yang asing dari luar

masukke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar

oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl)

3) ”thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain

atau umum mengetahuinya.

b. Waham

1) ”delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar

2) ”delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar

3) ”delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar

Page 9: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

4) “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

c. halusinasi auditorik

1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien

2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai

suara yang berbicara)

3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, mislanya perihal keyakinan

agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia

biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan

makhluk asing dari dunia lain)

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang

menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan terus menerus.

b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor

c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan atau neologisme.

d. Gejala gejala ”negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

response emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja

sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh

depresi atau medikasi neuroleptika.

Page 10: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),

bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam

diri sendiri, tidak berbuat sesuatu, dan penarikan diri secara sosial. (Maslim,

2002)

F. Klasifikasi

1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Sebagai tambahan:

1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol

a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi

pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing)

b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau

lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang

menonjol

c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau

passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar

beraneka ragam, adalah yang paling khas

2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.

2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja

atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Page 11: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang

menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan

diagnosis. 

d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan

pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan

bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan : 

1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta

mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan

perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan

2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau

perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati, tertawa

menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan

hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang

3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

serta inkoheren. 

e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir

umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya

tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination)

hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita

memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.

Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap

agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang

memahami jalan pikiran pasien.

3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi gambaran

klinisnya:

1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan

dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)

Page 12: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang

tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan

mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)

4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap

semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke

arah berlawanan)

5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan

upaya menggerakkan diri)

6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam

posisi yang dapat dibentuk dari luar)

7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara

otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-

kalimat

c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari

gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai

diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting

untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik

untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,

gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi

pada gangguan afektif

4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,

atau katatonik

c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca

skizofrenia

5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)

Pedoman Diagnostik

a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:

Page 13: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum

skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini

2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi

mendominasi gambaran klinisnya), dan

3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling

sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu

paling sedikit 2 minggu

b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis

menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,

diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0

– F 20.3)

6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi

semua:

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan

psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan

ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,

komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak

mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial

yang buruk

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa

lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia

c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia

d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi

kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif

tersebut.

Page 14: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)

a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena

tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan

progresif dari:

1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat

halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.

2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat

sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial

b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe

skizofrenia lainnya

8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)

G. Penatalaksanaan

1. Terapi Medikamentosa

Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia dikembangkan selama

tahun 1950an. Obat ini disebut sebagai antipsikotik konvensional atau generasi

pertama.

Ada berbagai obat antipsikotik ‘konvensional’, seperti haloperidol

chlorpromazine, fluphenazine, droperidol, pimozine, sulpiride, perphenazine,

flupenthixol, zuclopenthixol, dan trifluoperazine (APA, 2004). Kelebihan utama

obat ini adalah mengobati gejala positif skizofrenia (APA, 2004; Keith et al,

2004). Namun, obat ini kurang efektif terhadap gejala negatif skizofrenia. Obat

ini tersedia dalam bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan jangka

panjang.

Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk

berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi pasien

telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini

dikenal sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua. Obat baru

ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine, paliperidone, quetiapin, dan

risperidone (Lieberman et al, 2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup efek

Page 15: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

yang lebih luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini efektif

untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan delusi serta dapat juga

membantu dalam mengobati gejala negatif. Obat ini juga tersedia dalam bentuk

tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (APA, 2004).

Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan “dosis

awal” sesuai “dosis anjuran”, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai

mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis

dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, “dosis optimal”

dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan

setiap 2 minggu sampai ke “dosis maintenance”, dosis dipertahankan selama 6

buulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu), selanjutnya

dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat

dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).

Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang

lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang

timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang

menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan

otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam

hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku

penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak

dapat beristirahat.

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki.

Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya

benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau

mengobati efek samping ini.

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana

terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan

facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi

dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila

penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive

Page 16: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional

dengan antipsikotik atipikal.

Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia

yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan

antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini

(Sadock, dkk.,2003; Maramis, 2009)

2. Terapi Psikososial

a. Terapi perilaku

Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan

ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan

memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.

Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat

ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di

rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau

menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat,

dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Sadock dkk, 2003).

b. Terapi berorientasi keluarga

Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali

dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien

skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga

yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan

segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses

pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota

keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang

terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.

Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan

tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan

penyakitnya.

Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia

tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati (Sadock,dkk., 2003).

Page 17: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

c. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada

rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok

mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika

atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan

isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes

realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara

suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi

pasien skizofrenia (Sadock dkk, 2003).

d. Psikoterapi individual

Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang

ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan

hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali

kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan

kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika

seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,

perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap

kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur

dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau

profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan

dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi (Sadock

dkk, 2003)

e. Perawatan di Rumah Sakit

Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan

diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan

bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan

adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.

Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit

Page 18: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh

serta keluarga pasien tentang skizofrenia.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan

membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan

rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya

fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit

harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan

diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah

sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan

termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga

pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.

(Sadock,dkk., 2003)

H. Prognosis

Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan

masih memiliki gejala sisa dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Sampai

saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang menjadi

sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya

seperti usia tua, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial yang baik,

menikah, riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,

riwayat keluarga gangguan mood sistem pendukung baik, dan gejala positif ini

akan memberikan prognosis yang baik.

Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat

sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia,

system pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, sering relaps dan

riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk (Maramis, 2006).

Page 19: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

A. Definisi

Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai

dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan

afektif. Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui, tetapi empat model

konseptual telah diajukan, antara lain:

1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe

gangguan mood

2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari

skizofrenia dan gangguan mood

3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang

berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu

gangguan mood

4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok

gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan yang pertama

(Sadock,dkk., 2003).

B. Patofisiologi

Pada prinsipnya patofisiologi dari skizoafektif sama dengan skizofrenia yaitu

dimana mungkin melibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, terutama

norepinefrin, serotonin, dan dopamine (Sadock dkk, 2003). Namun, proses

patofisiologi gangguan skizoafektif masih belum diketahui secara pasti. Penelitian

yang mempelajari fungsi neurotransmitter pada penderita gangguan skizoafektif

sangatlah sedikit, dan kebanyakan menggunakan sampel dari cairan serebrospinal

atau plasma. Telah dilaporkan pola abnormalitas neurotransmiter yang serupa antara

penderita gangguan skizoafektif, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Tidak ada

perbedaan yang signifikan antara kadar norepinefrin, prostaglandin E1 dan platelet

5HT pada pasien skizofrenia dan skizoafektif (Abrams, dkk, 2008).

Secara umum, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa gangguan

skizoafektif dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian temporal

(termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari

Page 20: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

sejumlah peneltian ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan

adalah daerah hippocampus dan parahipocampus (Abrams, dkk, 2008). Pada

penelitian neuroimaging pasien dengan gangguan skizoafektif, ditemukan penurunan

volume thalamus dan deformitas thalamus yang serupa dengan pasien skizofrenia,

tetapi abnormalitas pada nucleus ventrolateral penderita gangguan skizoafektif tidak

separah penderita skizofrenia. Penderita skizoafektif juga menunjukkan deformitas

pada area thalamus medius, yang berhubungan dengan sirkuit mood (Smith, dkk,

2011).

Gambar 1. Permukaan thalamus penderita skizofrenia (SCZ), skizoafektif, dan

kelompok kontrol

Penelitian genetik penderita gangguan skizoafektif cenderung menunjukkan

adanya gangguan afek dan skizofrenia pada sanak saudara penderita (Trimble dan

George, 2010). Hodgkinson dkk (2004) melaporkan bahwa penderita gangguan

skizoafektif memiliki gangguan pada kromosom lq42, yaitu abnormalitas pada DISC

1 (Disrupted-In-Schizophrenia-1). DISC 1 berfungsi dalam perkembangan neuron

dan diekspresikan pada lobus frontal. Abnormalitas pada gen ini juga menyebabkan

disfungsi pada regulasi emosi dan proses informasi (Ishizuka, dkk, 2006).

Page 21: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

C. Pedoman Diagnostik

Menurut PPDGJ-III

1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif

adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang

bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu

episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode

penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau

depresif.

2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan

gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.

3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami

suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (depresi pasca-skizofrenia).

Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis

manik (F25.0) maupun depresif (F 25.1) atau campuran dari keduanya (F 25.5).

Pasien lain mengalami satu atau dua episode skizoafektif terselip diantara episode

manik atau depresif (F30-33) (Maslim, 2002).

D. Klasifikasi

1. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Pedoman diagnostik:

a. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang

tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode

skizoafektif tipe manik

b. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak

begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang

memuncak.

c. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi

dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia)

2. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif (F25.1)

Pedoman diagnostik:

Page 22: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

a. Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang

tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar episode

didominasi oleh skizoafektif tipe depresif

b. Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik

depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk

episode depresif (F.32)

c. Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya ada

dua gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman diagnosis

skizofrenia (F.20).

3. Gangguan skizoafektif tipe campuran (F25.2)

Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia berada secara bersama-sama dengan

gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6)

4. Gangguan skizoafektif lainnya (F25.8)

5. Gangguan skizoafektif YTT (F25.9)

(Maslim, 2002).

E. Penatalaksanaan

Penanganan pasien gangguan skizoafektif meliputi :

1. Farmakoterapi

a. Gejala manik : antimanik

b. Gejala depresi : antidepresan

Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan

anti depresan dan terapi elektrokonvulsan (ECT) sebelum mereka diputuskan

tidak responsif terhadap terapi anti depresan.

c. Gejala bipolar : antipsikotik. harus mendapatkan percobaan lithium,

carbamazepine (Tegretol), valporate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-

obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif (Sadock, dkk., 2003).

2. Psikoterapi

a.  Psikoterapi suportif

Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta terapi

kelompok

Page 23: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

b. Psikoterapi reedukatif

1) Terhadap Pasien :

a) Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai penyakit

yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-faktor penyebab,

pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan agar pasien

tetap taat meminum obat dan segera datang ke dokter bila timbul gejala

serupa di kemudian hari

b) Memotivasi pasien untuk berobat teratur

c) Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah ataupun

akan marah sehingga diharapkan pasien dapat mengontrol marahnya

dan mengemukakan amarahnya dengan cara yang lebih halus.

2) Terhadap Keluarga :

a) Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien, gejala,

faktor-  faktor pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko

kekambuhan di kemudian hari.

b) Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu penyakit

pasien saat ini adalah keluarga pasien yang mengabaikan pasien

c) Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat setelah sakit

agar pasien dapat mengalami remisi.

F. Prognosis

Prognosis buruk pada pasien dengan gangguan skizoafektif umumnya

dikaitkan dengan sejarah premorbid yang buruk, onset yang tidak diketahui, tidak

ada faktor pencetus, psikosis yang dominan, gejala negatif, onset awal, kekambuhan

yang tak henti-hentinya, atau mereka yang memiliki anggota keluarga dengan

skizofrenia (Brannon, 2012).

Page 24: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct clinical condition?. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4(6) 1089–1109

APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. 2004. Practice Guidelines for the treatment of patients with schizophrenia.

Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder. http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Buchanan RW, Carpenter TW. 2005. Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, Inc.

Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove, CA: Wadsworth

Freedman R. 2003. Schizophrenia. The New England Journal of Medicine. Colorado: University of Colorado Health Sciences Center

Hodgkinson CA, Goldman D, Jaeger J, et al. 2004. Disrupted in schizophrenia 1 (DISC1): association with schizophrenia, schizoaffective disorder, and bipolar disorder. Am J Hum Genet, 75:862–72.

Ishizuka K, Paek M, Kamiya A, et al. 2006. A review of Disrupted-In-Schizophrenia-1 (DISC1): neurodevelopment, cognition, and mental conditions. Biol Psychiatry, 59:1189–97.

Keith et al. 2004. Psychiatric Services. 55: 997-1005

Lieberman et al. 2003. Pharmacol Rev, 60: 358-403

Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer Arief, et al. (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapis.

Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.

Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Page 25: SKIZOFRENIA & GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG. 2011. Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378–385.

Tandon et al. 2008. Psyconeuroendocrinology.; 28 (suppl 1): 9-26

Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.

Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama