SKILL NEURO hiii

165
1 BAB I TAHAP PEMERIKSAAN NEUROLOGI Pemeriksaan neurologi adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada penderita yang dimulai dengan Kesan umum, pengambilan Anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi vital, pemeriksaan Interna yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus untuk memeriksa keadaan anatomi dan fungsional susunan saraf, pemeriksaan tambahan dimana sedapat mungkin dilakukan pemeriksaan dan pendekatan secara Holistik. Kesan Umum Anamnesa 60 – 75 % Pemeriksaan 20 – 30 % Laborat 10% DIAGNOSA : Klinis Topis Etiologis Sekunder PERWATAN + PENGOBATAN REHABILITASI Pada pemeriksaan khusus neurologi ada tiga kemampuan yang harus kita pahami dan mampu kita lakukan yaitu : 1. Kemampuan skill 2. Kemampuan menginterprestasi 3. Kemampuan memaknai atau menganalisa.

description

ffff

Transcript of SKILL NEURO hiii

1

BAB I

TAHAP PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Pemeriksaan neurologi adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada penderita yang dimulai

dengan Kesan umum, pengambilan Anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi vital,

pemeriksaan Interna yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus untuk memeriksa

keadaan anatomi dan fungsional susunan saraf, pemeriksaan tambahan dimana sedapat mungkin

dilakukan pemeriksaan dan pendekatan secara Holistik.

Kesan Umum

Anamnesa 60 – 75 %

Pemeriksaan

20 – 30 %

Laborat

10%

DIAGNOSA :

Klinis

Topis

Etiologis

Sekunder

PERWATAN + PENGOBATAN

REHABILITASI

Pada pemeriksaan khusus neurologi ada tiga kemampuan yang harus kita pahami dan

mampu kita lakukan yaitu :

1. Kemampuan skill

2. Kemampuan menginterprestasi

3. Kemampuan memaknai atau menganalisa.

2

Dalam melakukan pemeriksan neurologi, skill atau cara pemeriksaan harus benar benar

kita kuasai. suatu misal kita melakukan pemeriksaan Meningeal Sign (kaku kuduk) maka kita

harus mengetuhui dan menguasai skillnya.

Cara pemeriksaan kaku kuduk : Penderita tidur terlentang, pemeriksa berdiri di kanan penderita,

tangan kiri dibawah kepala, tangan kanan di atas dada, menjaga tubuh tidak terangkat, ayunkan

kepala ke kiri – ke kanan dengan gentle supaya leher relaksasi. Kemudian fleksikan leher

sampai menyentuh dagu.

Setelah kita dapat melakukan pemeriksaan dengan benar tahap selanjutnya adalah kita harus

menginterprestasikan pemeriksaan tersebut : kaku kuduk positif bila didapatkan tahanan saat

fleksi kepala atau dagu tidak menyentuh dada. Kemudian kita memaknai dan menganalisa

hasil pemeriksaan tersebut : bila positif berarti ada iritasi meningen (selaput otak). Apa yang

mengiritasi tergantung nanti kasus yang kita hadapi apakah infeksi (meningitis) atau perdarahan

(SAH).

Tujuan

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis

maupun diagnosa etiologis.

Contoh kasus

Dari anamnesa didapatkan penderita laki- laki 18 tahun datang dengan keluhan utama sakit

kepala disertai panas sejak satu minggu yang lalu, dua hari yang lalu kejang dan tidak sadarkan

diri. Dari pemeriksaan didapatkan GCS 224, Papil edema dan kaku kuduk +. Apa diagnosanya ?.

Didalam bidang neurlogi kita selalu menggunakan 3 Diagnostik yaitu :

Diagnosa klinis

sakit kepala , panas , kejang ,tidak sadar, GCS 224, Papil edema dan kaku kuduk +.

Diagnosa Topis

Karena pada pemeriksaan tidak sadar, GCS 224, kaku kuduk + dan kejang, maka

topisnya adalah : meningen dan Encephlaon (otak).

]Diagnosa Etiologis

Karena sebelumnya disertai panas maka kemungkinan disebabkan infeksi dan infeksi

pada meningen dan encephalon adalah : meningoencephalitis.

Tahap- tahap pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa ini mengikuti ” POMR (problem

oriented medical record) ” seperti dibawah ini.

3

ILMIAH MEDIK

Logika hipotiko verifikasi problem oriented

Observasi DATA BASE

PROBLEM IDENTIFIKASI PROBLEM LIST

HIPOTESA

TESTING PLANING

KESIMPULAN PROGESS NOTE

INDENTIFIKASI MASALAH

PROBLEM LIST

Cara menemukan problem list atau daftar masalah adalah sebagai berikut :

ANALISA DATA

PROBLEM LIST

Penemuan daftar masalah ini akan menentukan planing atau perncanaan untuk mengatasi

masalah tersebut.

1. Profil penderita, indentifikasi penderita (nama penderita, nomor register, jenis kelamin,

tanggal MRS, tanggal KRS dan perjanjian kontrol.

DATA BASE

Data base atau pengumpulan data dasar merupakan langkah awal pendekatan kepada

penderita. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan data dasar adalah sebagai

berikut :

2. Riwayat penderita (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,riwayat penyakit

keluarga dan keadaan psikososial)

3. Status interne

4. Status psikiatri singkat

5. Status neurologi

6. PEMERIKSAAN TAMBAHAN (laboratorium dasar. Radologi, EKG, CT Scan, MRI

dll).

4

1. DIAGNOSTIK : diagnostik ini harus (sensitif,spesifik dan prediktif value)

INITIAL PLAN

Initial plan atau perncanaan awal terdiri dari perencanaan :

2. THERAPI / pengobatan : pengobatan ini harus memenuhi kriteria 4 tepat (tepat indikasi,

tepat penderita, tepat obat, tepat dosis ) ditambah waspada akan efek samping obat.

3. MONITORING : keberhasilan diagnosa dan pengobatan ini dapat diketahui pada batas

waktu tertentu, lewat monitoring.

4. EDUKASI : penjelasan kepada penderita dan keluarga, terdiri dari :

- penyakitnya apa ?

- prosedur diagnosa dan terapinya bagaiman ?

- perjalanan penyakitnya bagaiman ?

- prognosanya bagaimana ?

- pengawasan diri atau pantanganya .

Masalah baru yang timbul

PROGRES NOTE

Progres note merupakan tindak lanjut penanganan (catatan kemajuan) penderita dan

merupakan umpan balik dalam perencanaan ulang. Yang tercakup dalam menilai tingkat

kemajuan penderita adalan sebagai berikut :

S = Subyek berisi peryataan atau keluhan yang dirasakan penderita

O = Obyek berisi pemeriksaan dokter saat itu

A = Assesment berisi penilaian kondisi penderita berdasar subyek dan obyek

P = Planing berisi pengelolaan data / perencanaan lebih lanjut dari hasil diagnosa,

pengobatan, monitoring dan edukasi pada perencanaan awal.

Tujuan dalam memantau perkembangan penderita adalah untuk mengetahui :

Hasil pengobatan yang telah diberikan

Perbaikan dan penurunan kondisi penderita sehingga bisa timbul perubahan

planing karena ada perubahan masalah .

Fungsinya adalah untuk mengetahui dan menilai :

1. Kedaan penderita :

Apakah yang telah dilakukan benar ?

Apa yang perlu direncanakan selanjutnya sehubungan dengan masalah yang

baru ?.

2. Pelayanan bisa dinilai berkala.

3. Proses penyakit : membaik atau memburuk.

5

MACAM – MACAM PEMERIKSAAN NEUROLOGI

a) Pemeriksaan dengan sistem fungsi

(1) Pemeriksaan kesadaran

(2) Pemeriksaan rangsangan meningen

(3) Pemeriksaan nervus cranialis

(4) Pemeriksaan motorik

(5) Pemeriksaan sensorik

(6) Pemeriksaan Reflek fisiologis

(7) Pemeriksaan reflek patologis

(8) Pemeriksaan sistem saraf autonom

(9) Pemeriksaan sensorik khusus

(10) Pemeriksaan collumna vertebralis.

b) Pemeriksaan dengan sistimatik per regio

(1) Kepala

(2) Leher

(3) Trunkus

(4) Anggota gerak atas

(5) Anggota geraka bawah

6

BAB II

RIWAYAT PENYAKIT (ANAMNESA)

ANAMNESIS

Anamnesis merupakan langkah utama dalam rencana menegakkan diagnosis,

pengelolaan dan pengobatan. Dengan ”anamnesis” atau ”interview” yang baik, mendukung

diagnosa lebih dari 60%. Selain itu anamnesis yang baik dapat menghemat waktu, pemeriksaan

dan penggunaan penunjang diagnostik sehingga biaya pelayanan kesehatan akan lebih murah.

Dalam memeriksa penyakit syaraf, riwayat penyakit merupakan hal yang sangat penting.

Pada saat datang ke dokter penyakit pasien biasanya sedang berlangsung atau sudah sembuh

dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu terdapat pula penyakit yang

gejalanya dalam bentuk serangan atau timbul pada waktu-waktu tertentu. Diluar serangan

pasien biasanya dalam keadaan sehat. Oleh karena itu dokter memerlukan bantuan laporan yang

dikemukakan oleh pasien (Autoanamnesis) dan orang yang menyaksikanya (allo-anamnesis).

Perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis

kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh

bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit kita dapat mendekati diagnosisnya,

dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari sehingga dapat menghemat

biaya.

Dalam melakukan anamnesis gunakanlah cara yang sistematis. Biasanya wawancara

dengan penderita dimulai dengan menanyakan dan mencatat kapan penderita datang dan

indetitas penderita. Semakin banyak data yang dapat kita kumpulkan semakin akurat diagnosis

yang kita buat. Oleh karena itu, belajar tentang pasien sebagai manusia dan gejala-gejala dari

penyakit yang diderita, serta mulai membina suatu hubungan saling percaya antara dokter

dengan penderita sangat penting diperlukan dalam usaha mencari informasi tentang riwayat

kesehatan yang kita butuhkan.

Adapun riwayat kesehatan yang perlu kita catat dan tanyakan kepada penderita meliput i:

TANGGAL

Kapan pengumpulan riwayat kesehatan pasien tersebut bermanfaat sebagai catatan medik

untuk mengetahui perjalanan penyakit dari seorang pasien. Apabila seorang pasien

datang untuk kesekian kalinya, maka dokter mudah untuk mereview perjalanan penyakit

pasien dari dokumen dalam catatan medik tersebut.

7

IDENTITAS PASIEN :

• Nama

• Usia

• Jenis Kelamin

• Status perkawinan

• Kelompok etnis/suku dan agama

• Pekerjaan

• Pendidikan

• Tempat tinggal

Kemudian kita tanyakan keluhan utama dari pasien. Keluhan utama adalah keluhan yang

menyebabkan penderita tersesebut datang berobat, kemudian kita lengkapi anamnesa kita

dengan Empat Pokok Pikiran (The Fundamental Four) dan Tujuh Butir Mutiara

Anamnesis ( The Sacred Seven ) yang terdapat dalam Riwayat Penyakit Sekarang (salah satu

bagian dari The Fundamental Four) .

Yang dimaksudkan dengan Empat Pokok Pikiran adalah menuangkan anamnesis dalam:

1. Riwayat penyakit sekarang

2. Riwayat penyakit dahulu

3. Riwayat kesehatan keluarga

4. Riwayat pribadi serta sosial

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Tanyakan apa yang menjadi keluhan utama dan usahakan memperoleh rincian yang jelas dari

gejala utama atau kelompok gejala (sindrom). Disini perlu dimengerti bahwa gejala atau

symtoms adalah manifestasi dari penyakit yang dirasakan oleh penderita sedangkan tanda atau

signs adalah manifestasi penyakit yang dilihat dan ditemukan oleh pemeriksa. Tanda atau signs

biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Sedangkan dalam mendalami symtoms jangan

lupa mengejar anamnesisnya dalam tujuh butir mutiara anamnesis ( The Sacred Seven ) yaitu:

Lokasi sakit

Waktu terjadinya dan kronologinya

Sifat sakit ( kualitas )

Derajat sakit (kuantitas )

Faktor yang memperberat sakit

Faktor yang memperingan sakit

Keluhan lain yang menyertai

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Cari penyakit yang relevan dengan keadaan sekarang ( penyakit-penyakit kronik, penyakit

terdahulu yang sama dengan penyakit sekarang), perawatan inap, imunisasi, riwayat pengobatan,

dan riwayat pembedahan. Juga tanyakan kesehatan pada umumnya sebelum menderita penyakit

yang sekarang.

8

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Perlu ditanyakan apakah ada penyakit yang menurun dalam keluarga atau riwayat penyakit

menular.

Riwayat Pribadi serta Sosial

Cari masalah sosial yang berkaitan misalnya keluarga, kawan-kawan, tetangga, hobi, kebiasaan-

kebiasaan pribadi ( pola tidur, minum alkohol atau kopi, mengisap rokok, penggunaan obat),

sumber keuangan dan asuransi, kehidupan spiritual, agama, falsafah hidup dan kepercayaan.

Adapun alur pikiran yang perlu dikembangkan dalam anamnesis adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan sistematik

Gunakanlah konsep Fundamental Four dan Sacred Seven di atas.

b. Mulai berfikir atas organ mana yang terkena dan jangan berfikir akan penyakit apa.

Dengan menggunakan pengetahuan anatomi, fisiologi maka dokter akan sampai pada

organ mana yang abnormal kerjanya.

c. Mengingat waktu yang makin lama makin terbatas tidak mungkin dikerjakan anamnesis

yang menyeluruh lengkap, maka dikembangkan Problem Centered Interview (PCI),

yaitu suatu uraian yang rinci dari gejala-gejala dari keluhan utama pasien ditambah

dengan fakta-fakta yang relevan dari riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga dan

riwayat pribadi atau sosial.

d. Anamnesis menggunakan ketrampilan interpersonal dan untuk itu dibutuhkan

pengetahuan sosiologi, psikologi maupun antropologi.

e. Kembangkan cara sendiri yang paling sesuai untuk anda.

Untuk mendapatkan anamnesa yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh

perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesa sebaiknya dilakukan ditempat

tersendiri, supaya tidak didengar orang lain karena riwayat penyakit adalah merupakan rahasia

antara dokter dan penderita. Selain itu banyak penderita yang tidak suka penyakitnya diketahui

orang lain. Pada perinsipnya pengambilan anamnesa mengikuti 2 pola, yaitu :

1. Penderita dibiarkan secara bebas mengemukakan semua masalah dan keluhan serta

kelainan yang diderita.

2. Pemeriksa (dokter ) membimbing penderita mengemukakan keluhanya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan yang tertuju.

Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.

9

Pada penderita penyakit saraf sering datang dengan keluhan utama ( Keluhan yang

menyebabkan penderita datang ke dokter ) adalah :

1) Lemah atau lumpu separoh badan (hemiprese)

2) Lemah atau lumpuh kedua tungkai (paraparese)

3) Lemah atau lumpuh keempat anggota gerak (tetra parese)

4) Kejang

5) Mulut mencong

6) Pusing – pusing (vertigo)

7) Sakit kepala

8) Gangguan bicara (afasia, disartria)

9) Penurunan kesadaran dan koma

10) Trauma kepala

11) Kepala tambah besar (hidrocephalus)

12) Ataksia

13) Gangguan tumbuh kembang pada anak

14) Baal atau rasa kesemutan seperti terbakar

15) Melihat dobel (diplopia)

16) Penglihatan menurun

17) Sulit menelan (disfagia).

Untuk melengkapi pengetahuan dalam penyusunan anamnesis kasus penyakit saraf

(neurologi) , dibawah ini ada bebrapa contoh contoh penyusunan anamnesis sekaligus pelukisan

berbagai gejala dan sindroma neurologik. Dengan pengetahuan ini pengarahan anamnesis akan

lebih dimengerti.

Sakit kepala :

apakah anda sakit kepala ?, bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus ?,

dimana lokasinya?, apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering ? apakah

sampai mengganggu aktifitas sehari-hari ?. Sudah berapa lama sakit kepala?, Setiap kali merasa

sakit kepala, berapa lama sakit itu berlangsung?, Bagian kepala mana yang terasa sakit? Selalu

belahan kanan atau kiri saja, terutama di pelipis, di daerah mata, dahi, suboksipital, di ubun-

ubun atau seluruh kepala? kemudian :

a. Lukiskanlah sakit kepala itu, seperti apakah rasanya?

b. Kapan dan dalam keadaan apa sakit kepala bangkit?

10

c. Bagaimana awal timbulnya? Langsung menjadi sakit? Secara berangsur-

angsurkah? Setelah kurang tidur malam, setelah flu? Didahului oleh bangkitnya

gejala-gejala lain, seperti mual, penglihatan berkunang-kunang, dsb.

d. Gejala-gejala apakah yang mengiringi sakit kepala?

e. Faktor-faktor apa yang meredakan sakit kepala tersebut?

f. Faktor-faktor apa yang memperberat sakit kepala tersebut?

Pusing / Vertigo :

a. Sudah berapa lama anda pusing?

b. Apakah setiap hari pusing atau sekali-kali saja?

c. Berapa lama pusing itu berlangsung?

d. Coba anda ceritakan apa yang anda rasakan kalau pusing tersebut timbul?

e. Kapan dan keadaan apa yang mencetuskan pusing?

f. Bagaimana awal timbulnya, setelah kurang enak tidur malam atau setelah

mengidap penyakit demam?

g. Gejala-gejala apa yang juga timbul ketika anda pusing?

h. Anda berbuat apa untuk meringankan pusing?makan obatkah atau tidurkah?dsb.

Motorik / kelumpuhan :

a) Adakah bagian tubuh yang menjadi lemah atau lumpuh (tangan , kaki dsb) ?

b) Bagaimana sifatnya , hilang timbul atau menetap, makin lama makin berat atau

malah berkurang ?

c) Bagaimana kejadianya , mendadak, progresif atau kronis ?

d) apakah ada gerakan tubuh atau ekteremitas mengalami gangguan atau gerakan

abnormal dan tidak dapat dikendalikan ?

Sensibilitas :

a) Adakah perubahan atau gangguan perasaan bagian tubuh atau ekstremitas, adakah rasa

baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar?

b) Dimana tempatnya ?

c) Apakah rasa tersebut menjalar ?

d) Mulai kapan kejadianya ?

e) Apakah yang menyebabkan keluhan tersebut bertambah berat atau bertambah ringan ?

11

METODE ANAMNESA MEMAKAI POLA 7W

AKUT SUB AKUT CHRONIS

Trauma - Imunisasi - Tumor

Vaskuler - Intoxikasi - Endokrin

- metabolit - Degnerasi

- Infeksi - Infeksi

Sifat Perjalanan Berat-Ringannya Faktor yang memperberat/presipitasi Factor memperingan Mula timbulnya

SIAPA ? WHO ?

APA ? WHAT ?

DIMANA ? WHERE ?

KAPAN ? WHEN ?

MENGAPA? WHY ?

BAGAIMANA ? WHO ?

BAGAIMANA ? WHO ?

Identitas Riwayat Pribadi Riwayat Penyakit Dulu Riwayat Keluarga

Keluhan Utama dan Pengiring Presenting Systom Gejala (system) + tanda (sign)

Lokasi/Topis Gejala/Tanda Penjalaran Tipe/Pola

Onset - Akut Jam Sedang apa - Sub Akut Hari Lama - Sub Chronis Minggu Frekuensi - Chronis Bulan Kronologis Time table

PENYEBAB / ETIOLOGI

Kesadaran Fungsi luhur Motorik Sensorik Autonom Aktivitas sehari-hari?ADL Pekerjaan

12

BAB III

KESADARAN

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkunganya. Orang normal

dapat berada dalam keadaan sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh

rangsang, misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak.

Definisi kesadaran

Menurut GILROY derajat kesiagaan dan kesadaran yang baik dapat dibuktikan dengan

adanya orientasi yang baik terhadap :

Tempat

Waktu

Ruang

Untuk definisi kerja, kesadaran adalah :

Mencerminkan integrasi yang baik antara impuls aferen dan eferen atau input dan output.

Pemeriksaan kesadaran harus dibedakan antara pemeriksaan tingkat kesadaran dan isi

kesadaran. Penilaian tingkat kesadaran (level of conciousness) berhubungan dengan

“AROUSAL” sedangkan isi kesadaran berkaitan dengan fungsi kortikal, seperti fungsi membaca,

menulis, menghitung, bahasa, daya ingat, kecerdasan dan sebagainya, yang akan dibicarakan

dalam bab mengenai fungsi luhur.

Sedangkan kualitas kesadaran merupakan modalitas kesadaran yang ditentukan oleh

pengolahan integratif asupan sensori difus (oleh ARAS) dan asupan sensoris spesifik (melalui

jaras spinothalamikus). Dalam pengolahan ini hampir semua kortek kedua belah hemisfer ikut

ambil bagian.

Kerusakan struktural dan kelainan metabolik yang menyeluruh pada kedua hemisfer

akan menimbulkan gangguan kualitas kesadaran. Gangguan tersebut tampak pada aktivitas

seseorang.

Anatomi kesadaran

Menurut Magoun (1945) yang dikutip Plum dan Posner (1989), ada dua pusat anatomik yang

mengatur kesadaran adalah :

1. Korteks serebri secara keseluruhan

2. Batang otak yang disebut formatio retikulars

Secara fisiologs disebut ARAS (Ascending Reticular Activating System)

Menurut Posner (1992) yang dikutip Misbach Y, ARAS mengatur tinggi rendah kesadaran (on-

off quality). Korteks serebri mengatur isi (content) kesadaran secara fisiologik. Dua bagian otak

13

ini saling isi mengisi dan saling mengaktivasi (reciprocal activation dan stimulation) yang

mengatur secara optimal fungsi masing – masing. Bila kesadaran menurun maka fungsi otak

yang lain menurun juga

Misal :

Fungsi luhur

Fungsi emosi

Fungsi intelegensi

Fungsi gerak motorik terkendali

Kecuali :

Reflek subkortkal

Reflek batang otak

Reflek medula spinalis

Faal kesadaran

Fungsi kesadaran yang baik perlu adanya interaksi yang terus menerus dan efektif antara

kedua hemisfer otak yang baik dengan formasio retikularis di batang otak, dengan demikian

kesadaran yang baik harus ada integrasi yang baik antara input dan output.

Input susunan saraf pusat ada 2 yaitu :

1. Input spesifik / khas

Impuls aferen khas ini menghasilkan kesadaran yang khas juga.

Misal : Impuls aferen proprioseptif, panca indera dan lain – lain

2. Input aspesifik / tidak khas

Input / asupan tidak spesifik ini merupakan sebagian dari impuls aferen yang disalurkan

melalui lintasan aferen tidak spesifik.

Lintasan ini terdiri dari serangkaian neuron di subtansia retikularis medula spinalis dan batang

otak, dan selanjutnya impuls ini disalurkan ke inti intra laminar thalamus.

Cara penyaluran ini bersifat : Multisinaptik, unilateral atau bilateral dan aspesifik / tidak khas

Kerusakan intra laminar thalamik dan substansia grisea sekitar aquaductus sylvii menyebabkan

penyaluran impuls “Ascenden aspesifik” tersumbat. Sesampainya di inti intra laminar impuls

akan menggalakkan inti intra laminar yang kemudian dipancarkan untuk menggiatkan seluruh

korteks serebri secara difus dan bilateral (lihat gambar 1)

Oleh karena itu neuron ini tersebut dinamakan “neuron penggalak kewaspadaan” (weakfullness)

Sedangkan neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan disebut “ pengemban

kewaspadaan” (awareness)

14

Gambar 1

Pembagian tingkat kesadaran

Menurut Gilroy tingkat kesadaran dibagi :

1. Obtundity : Penderita dapat dibangunkan dengan rangsangan, dan akan memberikan respon

bila ditanya atau diperintah, penderita terjaga selama rangsangan diberikan.

2. Stupor : Terjadi gerakan spntan, disertai dengan keluhan (arousable unrespnsiveness)

3. Semi koma : Ada gerakan menarik diri (withdrawal) selama diberi rangsangan nyeri

4. Koma : Tidak ada respon waktu diberi rangsangan nyeri (unrousable unresponsiveness)

pembagian di atas dapat menimbulkan perbedaan penilaian pada setiap pemeriksa.

Oleh karena itu pada literatur yang lain kesadaran dibedakan menjadi :

I. Kualitas Kesadaran ( Ilmu Jiwa ) :

1. Persepsi & Orientasi

2. Cipta / Daya pikir :

- Berfikir / berkhayal – Penalaran - Penialain

- Pembedaan - Keputusan

3. Rasa : Afek – Emosi

4. Karsa : - Nafsu

5. Kepribadian

6. Karya : – Psikomotor

II. Derajat Kesadaran :

GCS = Glasgow Coma Scale

ARAS

15

Dalam memeriksa derajat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi, dan

bila perlu memberikan rangsang nyeri.

1. Inspeksi.

Caranya perhatikan apakah pasien berespon secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar

dan taktil yang ada disekitarnya.

2. Konversasi.

Caranya adalah perhatikan apakah pasien berespon secara wajar terhadap suara konversasi

atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang

kuat.

3. Nyeri.

Apabila pada inspeksi dan konversasi kiata tidak mendapatkan respon maka penderita kita

berikan rangsangan / respon nyeri.

Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale/GCS)

Untuk mengurangi perbedaan penilaian terhadap derajat kesadaran ini dipakai skala dari

Glasgow (Glasgow Coma Scale) atau lazim disebut GCS ini pertama kali dikemukakan oleh

Teasdale dan Janet tahun 1974 untuk menilai penderita dengan cidera kepala namun sekarang

dipakai untuk menlai penderita dengan kesadaran menurun oleh sebab apapun. Pada Glasgow

Coma Scale terdapat 3 skala penilaian :

1. Respon buka mata / Eye opening skala 1 – 4 (E)

2. Respon Verbal terbaik nilai 1 – 5 (V)

3. Respon motorik terbaik skala 1 – 6 (M)

TINGKAT KESADARAN SCALA

1. Tanggapan dengan membuka mata (E)

- Spontan

- Terhadap bicara

- Terhadap nyeri

- Tak ada tanggapan

4

3

2

1

2. Tanggapan verbal (V)

- Beorientasi

- Bicara kacau

- Kata-kata tak tepat

- Bunyi tanpa arti (mengerang)

- Tak ada jawaban

5

4

3

2

1

16

3. Tanggapan motorik (M)

- Menurut perintah

- Mengetahui lokasi nyeri

- Reaksi menghindar

- Gerakan fleksi abnormal (dekortikasi)

- Gerakan ekstensi (deserebrasi)

- Tak ada gerakan

6

5

4

3

2

1

Pemeriksaan kesadaran (GCS )

17

Gangguan kesadaran

Penurunan kesadaran

1. Penilaian beratnya penurunan kesadaran secara kwalitatif dibagi :

a. Apatis

b. Somnolent

c. Sopor : menunjukkan tingkat keterlibatan batang otak

d. Koma

2. Penilaian beratnya penurunan kesadaran secara kwantitatif memakai skala:

a. Glasgow Coma Score / scale

b. Pittsburg Brain Stem Scoring / PBSS : untuk melihat kedalaman koma

Penyebab penue\runan kesadaran menurut Prof B Chandra dibagi CEMENTED (diambil dari

huruf awal masing – masing kelainan)

C irculasi

E ncephalomeningitis

M etabolisme dan elektrolit

E ndokrin

N eoplasma

T rauma

E pilepsi

D rug

Sengkan menurut DESMND dalam handbook of Neurologic Emergencies

a. Gangguan sirkulasi otak

Syncope, sensitvitas sinus caroticus

Penyakit jantung : dekompensasi, aritmi, arest

Pembuntuan pembuluh darah otak : misal : Thrombosis atau emboli,

jarang menimbulkan koma bila hanya mengenai satu hemisfer, lebih

sering berhubungan dengan coma apabila mengenai

midbrain/mesencephalon atau pons

Perdarahan otak

b. Gangguan Metabolisme otak

Penyakit metabolik : Metabolik asidosis, hiperinsulin, hyperthyroidism,

hypoadrenalin, elektrolit in balance dll.

Toxic metabolik : renal failure, hepatic failure

Keracunan : alcohol, barbiturate, bromide, opiate dan obat – obat lain

18

Edema otak : akibat tekanan intra cranial meningkat atau infeksi, abses

otak, tumor atau trauma kepala.

c. Gangguan aktivitas listrik otak

Epilepsi

Komosio dan lain – lain

Beberapa definisi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran

Coma

Menurut Plum “Coma is unarousable unresponsiveness atau coma is the absence of any

psychological under standable responses to external stimulus or inner need”. Jadi koma

ialah keadaan dimana kesadaran menurun pada tingkat yang paling rendah, sehingga

tidak ada respon sama sekali dengan rangsangan apapun.

Persistent Vegetative State (PVS)

The patient is awake but not aware

Dalam keadaan vegetatif ini korteks serebri tidak berfungsi, tetapi aktivitas pemeliharaan

fisiologi batang otak tidak apa – apa, seperti ritme bangun – tidur, buka mata, posisi

anggota gerak, dan lain – lain

Lock in Syndrome (Ventral Pontine Syndrome)

Terjadi kerusakan jaras motoris di ventral pons di bawah nervus III, formatio retikularis

masih baik (wakefulawareness). Sehingga kesadaran tidak terganggu, komunikasi dapat

dilakukan dengan gerakan otot muka dan kedipan mata

Encefalopati

Gangguan metabolic dan toksik yang secara primer tidak merusak substansi otak pada

tahap awal, kecuali pada iskemia global.

Klasifikasi KOMA

KOMA Bihemisfer :

@ Koma Metabolit = Encephalopathi @ Koma Diabetik / Hipoglikemia @ Koma Hepatikum @ Koma Uremia @ Shock @ Koma Hipoksia @ Elektrolit @ Hipertensi Encefalopathi @ dll

KOMA Diencefalik : Supra / Infra Tentorial @ Semua TIK meningkat / SOP @ Tumor / Absces @ CVA ICH @ Epidural Bleeding @ Subdural Bleeding @ Contusio serebri @ Epilepsi

19

BAB IV PEMERIKSAAN KEPALA WAJAH

INSPEKSI :

Asimetris atau tidak

Besar : normal atau tidak

Dwang stan : menoleh karena nyeri

Ekspresi wajah, missal miopatik : otot – otot wajah turun

Fullmoon, wajah bulat

Impresi akibat trauma

Rambut kepala, bulu mata, alis

Wajah topeng : Parkinson

Tortikolis : menoleh karena spasme m.sternocleido mastoideus

PALPASI :

Raba adanya :

o Tonjolan

o Cekungan

o Kekerasan

o Fontanela membuka / menutup

o Sutura membuka / menutup

PERKUSI

o Kepala / Crack Pot sign : seperti pot pecah

o Processus mastoideus

AUSKULTASI

Adakah : Bruit pembuluh darah di mata, pelipis. Leher dan processus mastoid.

20

BAB V TANDA RANGSANGAN MENINGEN

( MENINGEAL SIGN)

Definisi dari meningeal sign adalah tanda-tanda adanya perangsangan selaput otak.

Terjadinya perangsangan selaput otak bisa disebabkan oleh infeksi (meningitis), zat kimia

(bahan kontras), darah (perdarahan subarachnoid / SAH), atau invasi neoplasma (meningitis

carcinomatosa). Tanda-tanda perangsangan selaput otak dan gejalanya bervariasi tergantung

pada berat-ringan proses yang terjadi.

Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan ini adalah timbulnya gejala yang disebut

” meningismus ” di mana pada pemeriksaan fisik didapatkan meningeal sign positif tetapi tidak

ada proses patologis di daerah selaput otak tersebut. Keadaan meningismus ini bisa disebabkan

oleh adanya proses radang di dekat meningen (misalnya mastoiditis) atau di luar tengkorak

(sepsis). Kadang-kadang sulit juga membedakan antara meningitis dengan keadaan sepsis,

terutama untuk meningitis yang tidak disertai gejala defisit neurologis (reflek patologis negatif).

Demikian juga untuk membedakan meningitis dengan mastoiditis yang belum menimbulkan

komplikasi meningitis. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya dilakukan lumbal pungsi untuk

memastikan diagnosa. Pada keadaan meningismus, meningeal sign positif tetapi hasil lumbal

pungsi normal.

Pengertian Adanya tahanan pada saat leher digerakkan ke segala arah Otot : spame Kelainan muskulo skeletal Tulang : trauma, fraktur arthritis Diskus : herniasi discus intervertebralis Meningitis Kelainan meningen – kaku kuduk Ensefalitis (nuchal rigidity) Perdarahan subaracnoid Parkinson Kelainan Extrapiramidal Distonia Abses

Kelainan di Myelum Neoplasma

Cervical rigidity

21

ALGORITMA Tanda – tanda rangsangan meningeal Tanda – tanda tanda-tanda Tekanan tekanan Intracranial N intracranial

o Nyeri kepala o Muntah o Papil edema

Lumbal punksi CT scan Kepala + Kontras SOP- SOP + SDP > 5 sel/mm3 xantochrom Lumbal punksi Infeksi Perdarahan Infeksi subarachnoid OPISTOTHONUS (Baca : AH – PISS – TAH – TONUS) HIPEREXTENSI otot – otot extensor tubuh Trauma Karena Lesi otak kronis Cerebral palsy Mental retardasi Iritasi meningen Meningitis Ensefalitis Perdarahan subarachnoid Hipertonus refleks extensor decerebrate Rigidity Tetanus Rabies Kelainan mental Histeris Catatonic schizophrenia

22

KAKU KUDUK (NUCHAL RIGIDITY / NR)

Nuchal berarti belakang leher

NR : yaitu penderita tidak dapat menfleksikan kepala (dagu tidak bisa menyentuh

dada)

Sebab : Refleks spasme otot nucha (extensor)

Akibat : Iritasi meningen / ruang subaracnoid

Misal :

Meningitis

Ensefalitis

Perdarahan subarachnoid

Mekanisme : Bila ada rangsangan nyeri (Ingat meningen termasuk struktur yang peka nyeri) Timbul mekanisme perlindungan tubuh untuk melokalisir nyeri Dengan cara mengadakan spasme m.extensor leher (nucha) TES ADANYA RANGSANGAN MENINGEN TES KAKU KUDUK

Cara :

Penderita : Tidur terlentang

Pemeriksa : Berdiri di kanan penderita, tangan kiri dibawah kepala, tangan kanan di atas

dada, menjaga tubuh tidak terangkat, ayunkan kepala ke kiri – ke kanan dengan

gentle supaya leher relaksasi. Kemudian fleksikan leher sampai menyentuh

dagu

Penilaian : kaku kuduk positif bila terdapat tahanan saat fleksi kepala atau dagu tidak

menyentuh dada

Maknanya : bila positif berarti ada iritasi meningen

23

TES KERNIG

Cara : Penderita tidur terlentang, fleksikan sendi panggul tegak lurus tubuh dan

tungkai atas dan bawah juga tegak lurus kemudian ekstensikan sendi lutut.

Penilaian : tes kernig posoitip

- Bila sendi lutut tidak bisa diekstensika > 135 ° karena nyeri atau spasme otot hamstring,

sehingga sendi panggul ikut fleksi

- Bila terjadi fleksi involunter pada lutut kontralateral

Maknanya : bila positif berarti ada iritasi meningen

Kernig test

BRUDZINSKI I (Brudzinski ‘s neck sign)

Cara : pasien tidur terlentang

Pemeriksa :

- Berdiri di sebelah kanan pasien

- Tangan kanan di bawah kepala, tangan kiri diletakkan di atas dada supaya tubuh

tidak terangkat

- Fleksikan kepala secara pasif sehingga dagu menyentuh dada

Tes kaku kuduk

24

Test (+) : bila gerak pasif tadi disusul dengan gerak fleksi sendi lutut dan panggul kedua

tungkai secara reflektorik, kadang – kadang hanya satu tungkai bila pasien

mengalami hemiparese.

Maknanya : bila test + berarti ada iritasi meningen

(Brudzinski ‘s neck sign)

BRUDZINSKI II (Brudzinski ‘ Contralateral sign)

Cara : Pasien tidur terlentang dengan salah satu tungkai diangkat, fleksi sendi panggul

dan ekstensi sendi lutut

Test + : Bila tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi

panggul. Bila responnya ekstensi sendi panggul dan sendi lutut kontralateral

maka disebut Brudzinski reciprocal contralateral leg sign

Maknanya : bila test + berarti ada iritasi meningen

(Brudzinski ‘ Contralateral sign)

25

BRUDZINSKI III (Brudzinski ‘s Check sign)

cara : Pasien tidur terlentang

tekan pipi kiri – kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat di bawah os zygomaticum

test + : Bila disusul gerakan fleksi reflektorik kedua siku ke atas sejenak

Maknanya : bila positif berarti ada iritasi meningen

BRUDZINSKI IV (Brudzinski symphisis sign)

Cara : Pasien tidur terlentang

Tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksa

Test + : Bila timbul fleksi reflektorik kedua sendi lutut .

Maknanya : bila positif berarti ada iritasi meningen

TANDA LASEQUE

Cara :

Pasien rileks berbaring telentang dan dilakukan fleksi pada sendi panggul sewaktu tungkai

dalam keadaan ekstensi. Selama fleksi sendi panggul dilakukan perlahan-lahan ditanyakan pada

pasien apakah ia merasa nyeri dan dimana rasa nyeri itu terjadi

Tanda Laseque positif, jika timbul rasa nyeri di lekuk ischiadikus atau adanya tahanan pada

waktu dilakukan fleksi < 60°. Hasilnya false positive pada keadaan-keadaan seperti pada tes

Kernig.

Tanda Laseque ini selain menunjukkan adanya iritasi pada meningen juga bisa menunjukkan

adanya iritasi pada saraf Ischiadicus .

26

Epitelium olfactorius di atap

rongga hidung

Selaput lender Atap cavnasi, yang memiliki

silia yang menonjol ke ronga hidung

Serabutnya Tdk Bermielin (FILA OLFAKTORIA)

Lamina cribosa Dari os etmoidalis

Bulbus olfactorius

n. olfactorius

perifer

Juluran sentral sel2 bipolar

dlm epitelium Masuk rongga

tengkorak

menembus

BAB VI

PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL

PEMERIKSAAN SARAF I ( N. OLFACTORIUS ) Anatomi

• Satu- satunya saraf otak yg tak melewati batang otak.

• N.olfactorius : serabut-serabut yang menghubungkan epitelium olfaktorius (yang

berada di atap rongga hidung) dengan bulbus olfaktorius

• Serabut tersebut merupakan juluran dari sel bipolar yang berada di dalam epitelium

olfaktorius.

Perjalanan N. I

Serabut saraf besinap di bulbus olfaktorius, yang terdiri dari dua lapis: sel mitral menuju ke kortek lobus piriformis dan inti amigdala untuk kesadaran thd bau- bauan, sel berjambul menuju hipotalamus untuk reflek olfakto kinetik.

27

Pada pemeriksaan N.I ada syarat yang harus dipenuhi supaya hasil pemeriksaan bisa falid.

syarat tersebut adalah :

• Penderita sadar

• Tidak terjadi penyumbatan pada lubang hidung (Penyakit pada mukosa hidung, baik

yang obstruktif (rhinitis) atau atropik (ozaena) akan menimbulkan positif palsu)

• Bahan yang digunakan biasanya bersifat aromatik dan tidak merangsang, (golongan

minyak, sabun, kopi dan vanili) Bahan yang merangsang mukosa hidung seperti

alcohol,amoniak tidak digunakan karena akan merangsang saraf V.

Cara Pemeriksaan :

Sewaktu pemeriksaan, kedua mata ditutup, satu lubang hidung ditutup, sementara bahan

aromatik diletakkan pada lobang hidung yang lain dan penderita diminta untuk

menghirup/mencium dan sebaliknya. Kemudian diminta untuk mengidentifikasi bahan tersebut.

Pemeriksaan pembauan

KLINIK GANGGUAN PENGHIDUAN

• Anosmia ( hilangnya daya penghiduan) dapat terjadi pada: trauma kapitis, meningitis,

meningioma yang menekan bulbus olfaktorius. Anosmia unilaterl/ bilateral diseratiatrofi

n. optikus ipsilateral dan papil oedama kontralateral disebut sindroma FOSTER

KENNEDY o/k tumor lobus frontalis.

• Hiperosmia (daya penghiduan yang lambat) terjadi pada orang berusia lanjut.

• Parosmia (daya penghiduan yang tidak sesuai), kakosmia ( tercium bau tidak enak)

dapat terjadi pada konversi histerik dan trauma kapitis.

• Halusinasi olfaktorik ( tercium bau tetapi sebenarnya tidak ada) dapat terjadi pada

psikosis dan epilepsi.

28

Penyebab Anosmia

- Radang hidung akut flu

Kronik perokok

Rhinitis alergica

Subarachnoid meningitis

- Usia Tua

- Trauma kepala kerusakan lamina cribosa

- Malformation

- Tumor meningioma, pituitari, lobus frontalis

PEMERIKSAAN SARAF II ( N. OPTICUS )

Anatomi

• Reseptor adalah sel batang dan kerucut.

• Tempat terbanyak sel kerucut adalah makula lutea.

• Serabut2 aferen berkumpul di papila nervi optisi dan membentuk nervus optikus.

• Nervus optikus berjalan ke intra cranial melalui foramen optikum.

• Nervus optikus kiri dan kanan bergabung di kiasma, di depan tuber sinerium.

• Serabut dari retine bagian nasal menyilang garis tengah menuju kontralateral,

sedangkan serabut retina temporal tetap ipsilateral.

• Setalah melewati kiasma disebut sebagai traktus optikus.

• Serabut traktus optikus yg bersinap di korpus geniculatum lateral. Jaras visual, yg berakir

di kolikulus superior adalah reflek optosomatik

29

• Di korpus genikulatum lateral diteruskan oleh serabut genikulo kalkarina menuju ke

kortek kalkarina (area 17).

Fisiologi

• Reseptor sel batang untuk penerangan intensitas rendah.

• Reseptor sel kerucut untuk pengenalan warna.

• Serabut optik yg berakhir di kolikulus superior membangkitkan reflek optosomatik

• Serabut yg bersinap di korpus genikulatum lateral dilanjutkan ke kortek visual primer

(area 17) yg menjadi sensasi visual sederhana, bersama kortek area 18 & 19

membentuk gambaran visual komplek.

Pemeriksaan meliputi :

A. Ketajaman penglihatan (Visual Acuity)

B. Luas lapang pandang.

C. Buta warna.

D. Funduscopy.

30

A. Ketajaman penglihatan(Visual Acuity)

Untuk membedakan apakah penurunan ketajaman penglihatan oleh karena kelainan refraksi

atau kelainan pada retina digunakan PIN HOLE , apabila penglihatan lebih jelas, berarti

gangguan visus akibat kelainan refraksi.

Ketajaman penglihatan diperiksa dengan menggunakan :

Kartu Snellen

Cara :

Membaca kartu Snellen pada jarak 6 meter. Pencahayaan dlm ruangan cukup. Mata kiri

dan kanan diperiksa bergantian, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan telapak

tangan. Baris terbawah yg masih dapat dilihat, jika sulit, baca baris di atasnya ⇒ catat

PEMERIKSAAN KETAJAMAN PENGLIHATAN

Jari tangan

Cara :

Normal jari tangan bisa dilihat dari jarak 60 m. Jadi seseorang yang tidak dapat melihat

jari tangan pada jarak 3 m tapi bisa melihat pada jarak 2 m, maka visusnya diperkirakan

2/60.

31

Gerakan tangan

Cara :

Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 300 m, jadi seseorang yang tidak bisa

melihat lambaian tangan pada jarak 3 m tapi bisa melihat pada jarak 2 m, maka visusnya

diperkirakan 2/300.

Cahaya lampu senter

Cara :

Apabila masih bisa membedakan gelap dan terang ketajaman penglihatannya 1/ tak

terhingga.

B. Luas lapang pandang (visual Field).

Diperiksa dengan Cara :

- Test Konfrontasi

Jarak antara dokter dan pasien 60 – 100 cm. Yang penting jari tangan pemeriksa

yang digerakkan berada tepat di tengan obyek tersebut. Obyek yang digunakan

digerakkan mulai dari lapangan pandang kanan dan kiri (lateral-medial) sekitar

750-1000, atas 500 dan bawah 600 dimana mata yang lain dalam keadaan tertutup

dan mata yang diperiksa harus menatap lurus kedepan (ke mata pemeriksa) dan

tidak boleh melirik ke arah obyek tersebut.

Pemeriksaan konfrontasi

- Perimetri/Kampimetri

cara yang lebih sesitif untuk melohat lapangan pandang yaitu dengan suatu benda

yang bergerak mamakai metode MECHANICAL PERIMETER. Pandangan

penderita difiksasi / difokuskan pada titiksentral. Suatu benda putih digerakkan

32

sesuai arcus perimeter ke central sampai penderita melihat benda tersebut. Sering

dipakai pada bagian mata.

Pemeriksaan perimeter Medan penglihatan normal

Tangent screen

Lebih akurat untuk mengetes lapangan pandang central + 30 derajat.

Gangguan lapang pandang dikaitkan dengan letak lesi sistem penglihatan, misalnya :

1. Lesi n. Opticus mengakibatkan gangguan penglihatan unilateral

2. Lesi chiasma mengakibatkan bitemporal hemianopsia

3. Lesi antara chiasma sampai cortex occipital menimbulkan homonymous

hemianopsia.

4. Lesi lobus temporalis yang mengenai radiasi retina inferior akan menyebabkan

superior contra lateral quadrant anopsia.

33

C. Pemeriksaan Buta Warna.

Tes Buta warna dengan menggunakan kartu “ ISHIHARA”

D. Pemeriksaan Funduscopy

Dengan melakukan pemeriksaan Funduscopi kita dapat melihat papil dan perubahanya.

Papil adalah tempat serabut N II memasuki mata. Yang perlu diketahui adalah apakah papil

normal, atropi (primer/sekunder),sembab (papil oedem). Apabila didapatkan papil edema

kemungkinan disebabkan oleh proses peradangan (neuritis optic/papilitis) dan bendungan

yang disebabkan oleh karena tekanan intracranial yang meningkat.

Pemeriksaan Funduscopi meliputi :

- Pemeriksaan emetrop & ametrop

Pemeriksa visus baik 6/6 dapat melihat arteri retina pasien dengan jelas, jika tidak

lensa optalmoskop pilih lensa optalmoskop yang dapat memperjelas. Maka lensa

tersebut diperlukan untuk koreksi refraksi pasien.

- Pemeriksaan gambar retina

Fundus okuli normal warnanya merah ke oranyean, arteri dan vena keluar dari

pusat papil nervi optisi, yang tampak hanya arteri. Pulsasi pada arteri adalah

patologis, dijumpai pada glaukoma, penyakit jantung dan anemia berat.

Makula berwarna pucat letak di temporal papil nervi optisi.

- Pemeriksaan gambar papil nervi optisi

Warnanya lebih pucat . Batas papil dibentuk oleh cincin berlapis dua.

Pusatnya cekung (ekskavatio), terdapat lubang2 kecil (lamina kribosa)

Pada glaukoma dan atrofi nervus optikus pada cekungan tidak tampak lubang2

kecil. Pada papil oedema cekungan hilang dan tidak tampak lubang2 kecil.

TES BUTA WARNA

34

Pemeriksaan funduskopi

papil normal papil edema

PEMERIKSAAN NERVI OKULARES ( N III, N IV,NVI ) Anatomi dan Fisiologi

1. N. Okulomotorius (N III)

Nukleus Motorik

• Di depan substansia grisa periakuaduktal

• Bertanggung jawab untuk persarafan otot rectus medialis, superior dan inferior ;

otot obligus inferor dan otot kuator pelpebra superior

Nukleus Otonom (Edinger-Westphal)

• Di dalam substansia grisea periakuaduktal yang bernyelin sangat sedikit

• Muson-muson kecilnya memberikan serat parasimpatik untuk mensarafi otot-otot

mata interna (sfingter pupil, otot siliaris)

35

Nukleus Perlia Parasimpatik

• Terletak diantara nukleus Edinger-Westphal

• Saraf ini berjalan diantara a. cerebi posterior dan a. cerebellaris superior

• Sebelum memasuki sinus cavernosus, menyebrangi lig. Sfenopetrosal dan

menjadi rentan terhadap tekanan ok herniasi ukus.

• Masuk orbita via fisura orbita superior, lalu serat parasimpatik meninggalkan

saraf dan bergabung dengan ganglion silier untuk mensarafi otot-otot mata

interna.

• Setelah masuk orbita, serat somatik dibagi menjadi 2 cabang :

o Cabang dorsal (atas) : ke otot levator palpebra dan rektus superior

o Cabang ventral (bawah) : mensarafi otot rectus medius, inferior dan

obligus inferior.

2. N. Troklearis ( N IV)

• Nukleus saraf IV : setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea

priakuaductal dan segera di bawah nukleus saraf III

• Saraf IV meninggalkan otak tengah di bawah kolikulus inferior.

• Satu-satunya saraf yang keluar dari sisi dorsal batang otak

• Dari sinus kavernosus, saraf IV masuk orbita bersama dengan saraf III

• Mensarafi : m. obligus superior

3. N. Abdusens (N VI)

• Nukleus saraf VI : pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula

Oblongata.

• Saraf VI berjalan ke atas via spasium sub arachnoid pada sisi a. basilaris ke

spasium subdural di depan klivus, bergabung dengan 2 saraf (III, IV) dalam sinus

kavernosus.

• Mensarafi : m. rectus lateralis

• Bila lumpuh : terjadi strabismus konvergen (Esotropia).

Otot – otot penggerak bola mata dipelihara oleh saraf kranial N III, N IV.dan N VI.

Nervus Ocolomtorius (N III)

• Sifat : motoris

• Fungsi : mengangkat kelopak mata keatas(m.Rectus superior), kebawah (m.

Rectus Inferior), ke medial ( m, Rectus medialis) dan ke medial atas (m. Obligus

inferior)

36

Nervus Trochlearis (N IV)

• Sifat : motorik

• Fungsi : memutar mata kebawah medial (m. Obligus superior).

Nervus Abducens

• Sifat : motoris

• Fungsi : memutar mata ke lateral (m. Rectus Lateralis).

Ketiga saraf otak ini dinamakan nervi okularis yang di dalam klinik diperiksa secara

bersama-sama. Pemeriksaan terhadap fungsi nervi okulares mencakup:

I. Observasi terhadap kelopak mata

II. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil

III. Pemeriksaan gerakan bola mata.

IV. Pmeriksaan Konvergensi dan Akomodasi

I. OBSERVASI KELOPAK MATA

Dalam observasi yang perlu diperhatikan adalah :

Adakah retraksi kelopak mata atas?

Retraksi kelopak mata atas adalah kelopak mata atas yang terlampau banyak

berelevasi yaitu menjadi ciut.

Retraksi bilateral yang sering dijumpai ialah retraksi yang menimbulkan tanda

matahari terbit pada anak-anak dengan hidrosefalus.

Adakah ptosis?

Bentuk fisura palpebral seseorang adalah sama-dan sebangun.Penyempitan fisura

sesisi harus diperhatikan,oleh karena gejala ini adalah selamanya patologik.Penyempitan

fisura palpebrale disebabkan oleh menurunnya kelopak mata atas,yang dapat timbul

akibat tonus otot levator palpebrale menurun atau akibat kelumpuhan otot

tersebut.Menurunnya kelopak mata atas itu di namakan Ptosis.

Ptosis tanpa kelemahan atau kelumpuhan otot-otot pengangkat kelopak mata atas

dinamakan pseudoptosis.

Cara pemeriksaan :

Pasien diminta untuk mengangkat kelopak mata atasnya secara sadar .Jika mata

tetap tertutup dan dahi menunjukkan lipatan kulit,maka terbuktilah adanya ptosis tulen.

Lipatan-lipatan pada kulit dahi menandakan kontraksi muskulus frontalis yang

menunjukkan kelopak mata benar- benar diangkat sekuat-kuatnya. Pada ptosis histerik

dapat ditetapkan dengan cara pemeriksaan tersebut diatas akan teapi lipatan kulit dahi

tidak tampak.

37

.Pada blefarospasmus pasien memejamkan matanya secara berulang-ulang dan

kuat. Tic dan spasmus fasialis merupakan pemejaman mata involuntary. Gejala ini dapat

timbul sebagai manifestasi post paralisis fasialis perifer,khorea Huntington dan khorea

sydenham.

Pasien yang neurotic ,histerik,gelisah dan psikotik memejamkan kedua matanya

bilamana mata hendak diperiksa.

II. PEMERIKSAAN FUNGSI DAN REAKSI PUPIL

Pupil yang normal mempunyai diameter yang berkisar antara 2 sampai 6 mm.Rata - rata

diameter pupil adalah 3 ½ mm.Orang-orang sehat tidak semuanya mempunyai diameter pupil

yang sama. Diantaranya 17% menunjukan aniskoria dengan selisih sampai 1 mm dan dianggap

tidak patologik selama kedua pupil bereksi terhadap penyinaran dengan sama cepatnya.

Pupil yang sempit dinamakan miosis dan pupil yang lebar midriasis.Pada nyeri,

ketakutan dan cemas terjadi midriasis dan tidur,koma yang dalam dan tekanan intracranial yang

meninggi terjadi miosis.

Midriasis dan miosis unilateral adalah patologik.Iritasi terhadap nervus okulomotorius

membangkitkan miosis. Miosis dapat juga dijumpai sebagai tanda paralysis saraf simpatetik

bagian torakal atas (Horner Syndrom).

Cara Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil mencakup:

1. Observasi bentuk dan ukuran pupil

2. Perbandingan pupil kanan dan kiri

3. Pemeriksaan refleks pupil.

Observasi bentuk dan ukuran pupil

Pada umumnya pupil adalah bundar dan batasnya rata dan licin.Perubahan bentuk pupil

mempunyai arti klinik. Penyakit di iris selalu merubah bentuk pupil.Perlekatan dengan

lensa,keloboma congenital atau bekas operasi iris selalu menimbulkan perubahan bentuk pupil

yang jelas.Sedangkan sifilis dapat menimbulkan perubahan bentuk pupil yang ringan sekali,

misalnya batas pupil yang berliku–liku, bentuk yang menjadi lonjong atau agak bersegi tiga.

Dalam hal itu terdapat atrofi iris.

Ukuran kedua pupil dapat berubah-ubah setiap saat, karena terjadi kontriksi dan dilatasi

pupil secara berselingan menurut irama tertentu. Gejala tersebut dikenal sebagai Hipus. Arti

patologi tidak penting, hanya informasi tentang adanya goncangan dalam keseimbangan

ortosimpatetik dan para simpatetik terungkap oleh hipus itu. Keguncangan dalam keseimbangan

itu terjadi pada tahap permulaan dan regenerasi paralysis nervus okulomotoris. Juga pada sifilis

susunan syaraf neoplasma intracranial dan multiple sclerosis dapat timbul hipus yang sama

sekali yang tidak mempunyai arti lokalisotorik atau diagnostic.

38

Secara praktis kedua pupil adalah sama dan sebangun akan tetapi selisih sampai 1mm

antara diameter pupil kanan dan kiri masih dapat dianggap normal. Perbedaan yang lebih dari 1

mm sudah menunjuk pada adanya aniskoria tidak selamanya patologis. Hanya anisokoria yang

disertai kelainan reflek cahaya adalah patologik.

Cara pemeriksaan reflek cahaya

Persiapan, sebelum melakukan test reflek pupil, kamar periksa harus sedikit digelapkan.

Pasien yang akan menjalani test tersebut harus memendang jauh kedepan, agar reflek pupil

akomodatif tidak mempengaruhi hasil test reaksi pupil terhadap cahaya. Siapkan satu lampu

baterai yang memberikan sinar terang yang konvergen.

Pemeriksaan, reflek pupil yang akan diperiksaadalah :

a. reflek cahaya langsung

b. reflek konsensual/reflek cahaya tak langsung

c. reflek pupil akomodatif atau konvergensi

a. Reflek cahaya langsung

Dengan tangan kirinya pemeriksa melakukan fiksasi kepada pasien. Dengan tangan

kanannya pemeriksa menyoroti pupil dari samping agar pupil yang lain sisi yang lain tidak

ikut tersoroti. Bila sorotan lampu baterai itu tiba pada retina, impuls visual optokinetik akan

dikirimkan ke kolikulus superior untuk mencetuskan potensial aksi yang akan merangsang

inti Edinger-Westphal, sehingga kontriksi pupil terjadi. Jika sorotan lampu meninggalkan

pupil, pelebaran pupil akan terjadi. Utuhnya lintasan eferen dan aferen serta utuhnya efektor

menjamin reflek cahaya yang positif.

b. Reflek cahaya konsensual/tak langsung

Penyinaran terhadap pupil sesisi akan menimbulkan miosis pada pupil kedua sisi.

Miosis pada pupil yang tidak disinari, yang terjadi karena pupil sisi yang lain disoroti sinar

lampu, dikenal sebagai reaksi pupil konsensual atau reaksi cahaya tak langsung.

Pemeriksaan pupil

39

III. PEMERIKSAAN GERAKAN BOLA MATA

a. Gerakan bola mata voluntary

Gerakan konyugat

Gerakan bola mata dilaksanakan oleh otot-otot okularis yang diurus oleh syaraf

otak ke-III, ke-IV dan ke-VI. Dalam gerakan tersebut kedua mata bertindak sebagai

organ visual yang tunggal, yang berarti bahwa hasil mencerapan mata kedua sisi adalah

suatu penglihatan yang tunggal. Hasil tersebut hanya dapat diperoleh bila mana gambar

obyek yang tiba diretina kedua sisi menduduki tempat yang identik. Gerakan istimewa

itu dikenal sebagai gerakan konyugat. Bila bola mata melirik kekiri maka bola mata

kanan melirik pula kekiri secara sinkron, tanpa selisih dalam arah dan kecepatan baik

dalam arti linear, tangensial atau rototorik. Bila terdapat selisih yang sedikitpun dalam

sinkronisasi itu, kedua bola mata tidak lagi bertindak sebagai organ visual yang tunggal

dan hasilnya ialah penglihatan yang kembar atau diplopia.

Gerakan diskonyugat atau gerakan konvergen

Gerakan kedua bola mata untuk menatapkan mata pada sesuatu tidak selalu

berjalan searah, melainkan bisa juga berjalan kearah yang berlawanan. Gerakan bola

mata yang sinkron dengan arah yang berlawanan hanyalah gerakan kedua bola mata

kearah nasal. Dalam gerakan itu, bola mata kiri bergerak kekanan dan bola mata kanan

bergerak kekiri. Gerakan kedua bola mata kearah nasal dinamakan gerakan konvergen,

yang terjadi karena kedua otot rektus medialis (internus) berkontraksi.

Sinkron dengan gerakan otot rektus medialis kedua sisi itu, terjadi pula kontraksi

muskulus sfingter pupilae sehingga gerakan konvergen selalu bergandengan dengan

menguncupnya pupil serta mengendornya kapsul lensa yang mengakibatkan lensa

menjadi lebih konveks. Mekanisme komplek ini diperlukan untuk melihat dekat yang

40

dalam penghidupan sehari-hari (membaca). Istilah yang digunakan untuk perubahan

dioptri lensa sesuai dengan jarak melihat dekat jarak akomodasi

b. Gerakan bola mata involuntar

Nistagmus

Gerakan bola mata involuntary yang dinamakan nistagmus ialah osilasi atau

getaran bola mata yang timbul secara spontan. Nistagmus sebagian besar adalah bilateral

dan gerakannya bersifat konyugat asosiatif atau diskonyugat.

Nistagmus mempunyai arah dan kecepatan arahnya dapat bersifat horizontal,

vertical, oblik rotatorik atau campuran antara sifat-sifat tersebut. Kecepatan osilasi bola

mata itu dapat sama bagi mata kedua sisi. Nistagmus semacam ini dikenal sebagai

nistagmus pendular jika osilasi mata tidak sama cepatnya, maka terdapatlah komponen

yang cepat dan komponen yang kurang cepat. Nistagmus semacam ini dinamakan

nistagmus ritmik. Julukan bagi nistagmus ialah menerut komponen gerak cepatnya.

Nistagmus ritmik adalah patologik, sedangkan nistagmus pendular tidak mempunyai arti

klinik

Gerakan okologirik

Gerakan bolamata involuntary tersebut diatas timbul dalam serangan, dimana

kedua bolamata memutar keatas secara konyugat dengan sedikit menyimpang kekiri atau

kekanan. Setiap serangan okulogirik dapat berlangsung sejenak atau dapat berlangsung

berjam-jam. Gejala ini merupakan manifestasi iritasi terdapat pusat lirikan atau area

delapan dilopus frantalis.

IV. PEMERIKSAAN KONVEGENSI DAN AKOMODASI.

Apabila mata melihat dekat maka, kedua otot rektus medialis berkontraksi dan mata

bergerak konsensual kearah nasal itu dikenal sebagai konvergensi. Dengan gerakan

konvergensi itu gambaran benda diproyeksikan pada fovea. Bersamaan dengan gerakan

konvergensi, otot silier berkontraksi juga sehingga menimbulkan kontriski pupil

(Akomodasi). Dalam melaksanakan test tersebut, penerangan dikamar periksa diatur

sedemikian rupa sehingga sinar lampu tidak menimbulkan miosis tetapi penerangan masih

cukup untuk mengamat-amati bentuk dan ukuran pupil.

Cara pemeriksaan

Dengan mengacungkan jari pemeriksa mendekatkan jarinya kearah mata pasien

dengan cepat dan pasien diminta untuk terus menatapkan matanya pada jari itu yang semakin

mendekati matanya. Pupil pasien yang semakin menyempit pada pendekatan obyek yang

41

dilihatnya dan kedua otot rektus medialis berkontraksi dan mata bergerak konsensual kearah

nasal menandakan bahwa test konvergensi dan reaksi pupil akomodatif adalah baik

Pemeriksaan konvergensi dan akomodasi

Otot otot Penggerak bola mata

Kelainan nervus III,IV dan VI

Kelumpuan total N. III

• Mata tidak dapat digerakan ke atas, ke bawah dan ke nasal

• Waktu istirahat posisi mata ke lateral bawah karena aktivitas m. rectus lateralis dan

m. obligus superior.

• Diplopia atau melihat ganda

• Ptosis karena kelumpuhan m. levator palpebra

• Pupil midriasis karena paralisis m. spincter pupilae

• Gangguan reflek akomaodasi.

42

Kelumpuan total N. III kanan

Kelumpuan N. IV

• Terjadi diplopia jika melihat kebawah karena kelumpuhan m. obligus superior

• mata memutar kemedial bawah

• penderita biasanya kesulitan turun tangga dan membaca.

Kelumpuan N. VI

• Tidak bisa melirik kelateral.

• Bila melihat kedepan akan terjadi diplopia da strabismus konvergen.

Kelumpuhan N.IV D Keluhan : - Diplopia & Strabismus saat melirik kebawah / saat miring ke sakit - Takut turun tangga

43

NERVUS TRIGEMINUS (N V) N. Trigeminus memberikan tiga cabang, yaitu :

1. Cabang pertama (oftalmik):

Menghantarkan impuls eksteroseptif dari kulit dahi, pelipis, kepala sampai verteks,

kelopak mata atas, hidung bagian anterior, bola mata, konjungtiva atas, kornea, korpus

siliar, iris dan selaput lendir dindang sinus frontalis, sebagian sinus etmoidalis dan

rongga hidung bagian atas.

2. Cabang kedua (maksilar) :

Menghantarkan impuls eksteroseptif dari kulit hidung bagian posterior, kulit kelopak

mata bawah, pipi atas, bagian depan pelipis, bibir atas dan selaput lendir kelopak mata

bawah, sinus maksilaris, sebagian sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis, rongga hidung

bawah, bibir atas, rongga mulut bagian atas berikut palatum molle dan uvula.

3. Cabang ketiga (mandibular) :

Terdiri dari serabut motorik dan sensorik. Serabut aferen berasal dari kulit wajah di

bawah kawasan cabang maksilaris dan selaput lendir bibir bawah, bagian bawah rongga

mulut berikut selaput lendir lidah, ginggiva bawah dan gigi geligi bawah.

A. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK :

Kelumpuhan N.Trigeminus tidak menimbulkan asimetris wajah pada inspeksi. Paralisis

nervus trigeminus harus diungkapkan dengan meneliti kerjasama otot-otot yang

dipersyarafinya. Otot-otot yang melakukan gerakan mengunyah dapat diperiksa sebagai

berikut :

a. Pasien diminta untuk menggigit giginya sekuat mungkin. Selama pasien melakukannya,

pemeriksa melakukan palpasi pada kontraksi otot maseter dan temporalis sisi kanan dan

kiri. Bila ada kelumpuhan unilateral, maka pada sisi ipsilateral tidak terjadi kontraksi

atau berkontraksi lemah.

b. Pasien lalu diminta membuka mulut. Pemeriksa berdiri didepan pasien dan mengawasi

rahang bawah. Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke sisi

ipsilateral pada waktu mulut dibuka karena m. Pterigoideus eksternus yang sehat

mendorong kondilus mandibulae dan rahang bawah ke depan tanpa dorongan yang

mengimbangi dari sisi yang lain.

c. Selanjutnya pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawahnya ke samping, dan

sewaktu pasien melakukannya, pemeriksa menahan gerakan rahang tersebut. Jika

terdapat kelumpuhan sesisi, maka gerakan ke samping yang lumpuh kuat sedangkan

gerakan ke samping yang sehat lemah atau tidak ada sama sekali. Tindakan ini untuk

menilai kekuatan kontraksi bersama otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.

44

d. Untuk memeriksa kekuatan otot maseter dilakukan dengan cara berikut. Letakkan

penekan lidah di atas deretan geraham kiri, lalu pasien diminta untuk menggigit kayu itu

sekuatnya. Lakukan pada sisi kanan juga. Bekas gigitan pada kayu dibandingkan.

B. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK :

Sensibilitas yang harus diperiksa adalah sensibilitas kulit dan mukosa dalam kawasan

N. Trigeminus. Modalitas sensorik yang harus diteliti mencakup rasa nyeri, panas, dingin

dan raba.

ONION SKIN

C. PEMERIKSAAN REFLEK TRIGEMINAL :

1. Reflek maseter atau reflek rahang bawah:

Pasien diminta untuk sedikit membuka mulut. Diupayakan penderita tidak dalam kondisi

tegang. Pasien diminta untuk membuka mulut sambil mengeluarkan bunyi ”aaaaaaaaa”.

Pemeriksa menempatkan jari telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu dan dengan

palu reflek dilakukan pengetukan dengan tangan kanan pada jari telunjuk kiri. Jawaban

yang diperoleh berupa kontraksi otot maseter dan temporalis bagian depan yang

menghasilkan penutupan mulut secara tiba-tiba.

Gb.Ciri Lesi Perifer

Gb.Ciri “ Perioral = Onion “ Lesi Central di A di : Pons B di : Medulla Oblongata

45

2. Reflek zigomatikus :

Merupakan modifikasi reflek maseter. Dengan palu reflek dilakukan pengetukan pada os

zigomatikus. Pada orang sehat tidak didapatkan respon. Pada orang dengan lesi pada N.

Trigeminus akan terjadi penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral.

3. Reflek retraksi kepala :

Reflek ini terjadi apabila terdapat lesi bilateral di jaras piramidalis antara medulla

oblongata dan bagian servical medula spinalis. Dilakukan pengetukan pada bibir atas

tepat di bawah hidung dengan posisi kepala yang sedikit dianggukkan. Bila terdapat lesi

akan terjadi gerakan kepala berfleksi ke belakang secara tiba-tiba.

4. Reflek kornea :

Pasien diminta untuk melirik keatas atau ke samping. Goreskan seutas kapas pada

kornea. Secara normal akan terjadi kedipan kelopak mata atas secara bilateral.

5. Reflek korneo-mandibular :

Perangsangan pada kornea yang dijawab dengan timbulnya gerakan reflektorik dari

rahang bawah ke samping kolateral dengan pemejaman mata ipsilateral.

Pemeriksaan Nervus Trigeminus

NERVUS FASIALIS (N. VII) Anatomi dan Fisiologi

N. VII mengandung 4 macam serabut :

1. Serabut somato sensorik, mensarafi otot2 ekspresi wajah (kec. m.levator palpebra /

N.III), otot platisma,stilohiod, digastricus bag post dan stapedius di telinga tengah

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) dari nukleus salivatorius superior ⇒ glandula dan

mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal dan glandula submaksilar serta

sublingual dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3 bagian depan lidah

46

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (rasa suhu & raba) dari sebagian daerah kulit dan

mukosa yg disarafi oleh N.V. Daerah overlapping (disarafi oleh > 1 saraf terdapat di

lidah, palatum, meatus akustikus eksterna & bag luar gendang teling

Serat UMN n.VII berasal dr cortex cerebri hingga nukleus n.fasialis adalah sebagai berikut:

1. Daerah motorik pertama (1st motor area) berasal dr 1/3 bwh girus presentralis

menuju genu dari kapsula interna (TRAKTUS KOTIKOPONTIN) ⇒ basis

pedunkuli ⇒ N.VII kontralateral.

2. Komponen n.VII yg menginervasi bag atas muka berasal dari korteks kedua sisi,

muka dr korteks kontralateral.

3. Daerah motorik kedua (2nd motor area) terletak di lobus temporalis

Serat LMN berasal dari nukleus N.VII ke bawah. Nukleus N.VII terletak di sebelah

ventrolateral dari formatio retikularis di pons dan terdiri atas tiga nuklei yaitu :

• Nuklei motorik (gerakan otot)

• Nuklei salivatorius superior ( parasimpatis )

• Nuklei traktus solitarius (sensorik)

Kemudian perjalanannya dibagi dalam beberapa segmen yaitu :

• Segmen Cerebro Pontine Angle (CPA)

N.VII-N.VIII-N.Intermedius (sekretorius)

PadA CPA n.VII tanpa selubung perineural, berhubungan langsung

dengan Cairan Serebro spinal.

Kelaiananya TUMOR CPA,MENINGITIS KARSINOMATOSA

• Segmen canalis auditorus internus

Meatus Akustikus Internus ⇒canalis auditorius internus (selubung

perineural tdk ada) ⇒ nVII pisah dr N.VIII masuk ke kanalis fasalis

(Falopi)

Kelainannya OTITIS MEDIA,MENINGITIS KARSINOMATOSA

• Segmen Labirintin

Canalis fasialis menuju ganglion genikulatum (3-4 mm) kemudian

membelok tajam sebagai 1st genu (serat motoris) menuju n.petrosus

superfisialis mayor

• Segmen timpani (horisontal)

Ganglion genikulatum menuju canalis semisirkularis lateralaris (12-

13mm) dan membelok tajam membentuk 2nd genu menuju m.stapedius.

47

• Segmen mastoid (vertikal)

o 2nd genu menuju foramen stilomastoideus (15-20mm) sebagai segmen piramidal

dan memberikan cabang n.corda timpani (rasa pengecapan lidah 2/3 anterior dan

serabut sekresi untuk kelenjar submaksilaris dan sublingualis.

• Segmen foramen stilomastoideus

o For stilomastoideus menuju lateral prosesus stiloideus dan melengkung ke lateral

dan anteror sampai pada glandula parotis.

Kelainannya tumor parotis

• Segmen ekstratemporal

o Gl. parotis menuju cabang temporofasialis dan cabang servicofasalis dan

melingkari isthmus kelejar parotis dan bercabang ke

temporal,zygomaticus,bukals,mandibularis marginal, dan cervcalis menuju

pleksus pes anserius

Perjalanan n. Fascialis

48

Otot-otot wajah mendapat persarafan dari dua sisi

Pemeriksaan terhadap fungsi N. Fasialis mencakup :

A. Pemeriksaan motorik nervus fasialis

B. Pemeriksaan sensorik dan sensorik khusus (viserosensorik dan viseromotorik )

A. Pemeriksaan motorik :

Kawasan motorik nervus fasialis adalah wajah.

Inspeksi (kondisi diam)

Perhatikan kerutan dahi, kedipan mata, lipatan nasolabialis dan sudut mulut. Pada sisi

yang lumpuh, kedipan mata lambat dan tidak kuat, sudut mulut letaknya lebih rendah dan

lipatan nasolabialis lebih datar.

Observasi gerakan otot wajah voluntar (kondisi bergerak) :

Kontraksi otot fasialis masing-masing diteliti dengan meminta pasien untuk melakukan

gerakan :

a. Mengerutkan kulit dahi atau mengangkat alis.

b. Mengerutkan alis

c. Menutup mata.

d. Meringis.

49

e. Memperlihatkan barisan gigi atasnya.

f. Mengembungkan pipinya.

g. Menjungurkan bibirnya.

h. Bersiul.

i. Mengetatkan kulit dagunya.

Gerakan otot wajah voluntar (kondisi bergerak)

Parese nervus VII perifer kiri

LAGOLPTALMUS

Parese N VII Kanan Tipe UMN / Central LESI Cortex/ Subcortex

N

N

ABN

ABN

ABN

ABN

50

Observasi gerakan otot wajah involuntar :

Gerakan ini dapat bersifat spontan atau reflektorik. Adapun gerakan involuntar adalah :

1. Gerakan fasial involuntar spontan fisiologis :

Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah, lipatan nasolabialis mendatar.

Pada saat tertawa otot tidak ikut bergerak.

2. Gerakan fasial involuntar spontan iritatif patologik :

Karena terjadi lesi di ganglia basalis, dapat timbul gerakan otot wajah spontan yang

menyerupai gerakan meringis-ringis, menjungur-jungurkan bibir, memejamkan mata,

mengerutkan dahi berselingan dengan mengerutkan kulit di antara kedua alis.

3. Gerakan fasial reflektorik :

a. Reflek glabela :

Setiap glabela diketuk, kedua mata berkedip, tetapi setelah diketuk berturut-turut

3-4 kali kedipan mata tidak akan timbul lagi pada orang yang sehat.

b. Tanda Myerson:

Ketukan pada pangkal hidung menimbulkan kedipan sekali saja pada orang sehat.

c. Reflek visual palpebra :

Sinar yang terang benderang atau adanya ancaman pada mata akan menimbulkan

gerakan pemejaman mata pada orang sehat.

d. Reflek aurikulo palpebra :

Timbulnya gerakan memejamkan kedua mata bila terdengar suara secara tiba-tiba

dan tidak terduga.

e. Snout reflek :

Pengetukan pada bibir atas akan terjadi kontraksi bibir atas serta penarikan kedua

sudut mulut ke atas dan timbulnya kerutan-kerutan pada kulit dagu sejenak dan

serentak dimana hal ini terrjadi pada lesi bilateral di jaras kortikospinalis

kortikobulbaris.

f. Reflek palmomental :

Pada penderita dimensia akan terjadi gerakan muskulus mentalis dan orbikularis

oris ipsilateral sebagai jawaban atas rangsangan di daerah tenar tangan.

g. Tanda chvostek :

Tanda ini muncul pada kasus tetani. Dengan ujung jari telunjuk, tengah dan

manis, cabang nervus fasialis di depan lubang telinga diketuk. Positif bila timbul

kontraksi otot-otot fasialis.

51

B. Pemeriksaan sensorik dan sensorik khusus (viserosensorik dan viseromotorik)

viserosensorik :

Perasaan viserosensorik khusus yaitu citarasa. Untuk menilai digunakan 4

perasaan pengecapan pokok, yaitu: manis, asin, asam dan pahit. Bagian yang

akan diteliti adalah 2/3 bagian depan lidah. Bahan perangsang yang digunakan

larutan Bornstein terdiri dari glukosa 4% untik rasa manis, NaCl 2,5 % untuk

rasa asin, larutan citric acid 1% untuk rsa asam dan HCl quinine 0.0075% untuk

rasa pahit.

Caranya : penderita menjulurkan lidah selama pemeriksaan dilakukan,

dikeringkan dahulu kemudian dengan lidi kapas bahan tersebut disentuhkan pada

2/3 depan lidah. Rasa manis diperiksa pada bagian ujung lidah, asin dan asam

pada pinggir lidah dan paling akhir rasa pahit digian belakng lidah (untuk n, IX).

Penderita menunjukkan kertas yang bertuliskan manis, asam, asin, pahit tentang

apa yang dirasakan. Tiap kali setelah pemeriksaan penderita kumur – kumur

dahulu dengan air hangat, lidah dikeringkan lagi dan baru dilanjutkan

pemeriksaan dengan bahan lain.

viseromotorik

Lakrimasi ⇒ Tes Schirmer

Caranya :

Kertas lakmus merah ukuran 5x50 mm,. salah satu ujung kertas dilipat dan

diselipkan pada conjungtival sac di dekat sudut mata medial kiri dan kanan,

biarkan 5 menit dengan mata terpejam.

Interprestasi :

Normal ⇒ air mata conjunctival sac membasahi lakmus merah menjadi

biru sepanjang 20-30 mm dlm waktu 5 menit

< 20 mm atau (-) berarti produksi air mata berkurang.

False ⇒ Conjungtivitis

Refleks Stapedius (Stethoscope loudness balance test)

Caranya :

Stetoskop kita letakkan pada telinga penderita kemudian kita ketuk lembut diafragma

stetoskop atau dengan garputala 256 Hz dekat diafragma stetoskop

Bila terjadi hiperakusis pada salah satu telinga maka terdapat lesi pada n.VII tersebut.

52

Penyebab gangguan n.VII

• Sentral : CVA

• Perifer :

o Bell’s palsy (vaskuler,viral,imunologi)

o Tumor sudut serebelopontin

o Otitis media

o Meningitis karsinomatosa

o Tumor parotis

o Fraktur dsr tulang tengkorak

NERVUS AKUSTIKUS (N. VIII). Fungsi nervus akustikus dapat dibagi dalam fungsi pendengaran (nervus kokhlearis) dan

fungsi keseimbangan (nervus vestibularis).

Tes Pendengaran :

1. Tes Berbisik

2. Gesekan jari didepan telinga

3. Detik jam tangan kuno

4. Audiometri

Jenis TULI :

1. Tuli Konduksi

2. Tuli Persepsi

B A

Tipe TULI Persepsi

Tipe TULI Konduksi

53

Pemeriksaan daya pendengaran

Pemeriksaan tersebut dapat menggunakan suara gesekan jari, arloji, garpu tala atau audiometer.

Pemeriksaan dengan suara :

Pendengaran diperiksa secara bergantian Pasien diminta untuk menutup lubang telinganya

dengan ujung jari telunjuknya secara bergantian. Pasien diminta juga untuk memejamkan mata.

Pemeriksa mengeja kata dan angka secara berselingan. Intensitas suara harus sekeras bisikan

sejauh 30 cm dari telinga.

pemeriksaan pendengaaran dengan gesekan jari

Pemeriksaan dengan arloji saku :

Arloji yang disarankan adalah arloji saku. Secara mendasar sama dengan pemeriksaan dengan

suara.

Pemeriksaan dengan garpu tala :

Tes Schwabach:

Setelah garpu tala dibunyikan, pemeriksa menempatkan garpu tala didekat lubang telinga

dan menanyakan apakan pasien dapat mendengar bunyi, maka pasien diminta untuk menirukan

bunyi itu. bila bunyi garpu tala itu sudah berhenti, maka dialihkan ketelinga pemeriksa. Bila

pemeriksaan masih dapat menagkap bunyi garpu tala, maka penderita mengalami tuli persepsi

dan bila pemeriksa tidak mendengar suara gataran garpu tala maka pendengaran pasien normal

atau tuli konduksi.

Tes Schwabach

54

Tes Rinne:

Untuk membandingkan penghantaran suara melalui tulang dan udara. Secara normal

melalui udara lebih baik daripada melalui tulang. Garpu tala dibunyikan dan kakinya diletakkan

di atas tulang mastoid pasien. Pasien diminta untuk memberitahukan bila sudah tidak terdengar

suara lagi. Selanjutnya pemeriksa menempatkan ujung garpu tala di dekat lubang telinga pasien

ipsilateral. Bila masih terdengar dikatakan rinne test positif kemungkinanya adalah penderita

normal atau mengalami tuli persepsi, bila penderita tiadak mendengar maka dikatakan rinne test

negatif, pada pnederita ini mengalami tuli konduksi.

Garpu tala yang sering digunakan dengan frekwensi 128,256,512 Hz.

Tes Weber :

Tes ini untuk membandingkan pendengaran telinga kanan dan kiri. Garpu tala

dibunyikan dan oleh pemeriksa, kaki garpu tala diletakkan di verteks. Garpu tala yang

sering digunakan dengan frekwensi 64 sampai dengan 2048

Bila pendengaran normal, maka suara garpu tala akan terdengar sama di kedua telinga.

Bila ada leteralisasi kearah telinga yang sakit berarti ada tuki konduksi dan sebaliknya

bila ada leteralisasi kearah telinga yang sehat berarti ada tuli persepsi.

Penyebab Tuli persepsi :

– Reseptor di telinga dalam rusak (senile,obat toksik (streptomisin,aspirin,kina),

suara keras dan lama,Meniere syndrome, otosklerosis dan trombosis a.auditer

interna)

55

– Kerusakan n.cochlearis (trauma,tumor,meningitis)

– Gangguan pada inti2 serabut pendengaran di brainstem.

– Korteks auditif (kerusakan lobus temporalis bilateral)

Penyebab tuli konduksi

– Gangguan telinga luar dan telinga tengah

– Sumbatan liang telinga luar serumen, air, darah, eksudat pada membran timpani,

perforasi m.timpani, otitis media

– Gangguan nasofaring (obstruksi pd tuba eustachii)

Pemeriksaan fungsi keseimbangan (vestibular)

Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Observasi sikap berdiri dan sikap badan sewaktu bergerak.

Tes Romberg:

Pasien diminta berdiri dengan kedua kaki dekat satu dengan yang lain, mata

dipejamkan. Pada pasien yang normal hal ini dapat dilakukan dengan baik.

2. Observasi nistagmus spontan

3. Observasi nistagmus yang dibangkitkan.

Tes Romberg

56

Perangsangan dengan perangsangan kalorik

Tes Kalori

Untuk mengetes kelainan pada kanalis semi sirkularis vertikalis maka kepala harus

tunduk 60 derajat sedang untuk mengetes kelainan pada kanalis semi sirkularis

horizontalis kepala harus tengadah 30 derajat.

– Spuit 20 cc, jarum ukuran 15 ujung dilindungi karet diisi dg air suhu 30 derajat

untuk rangsangan dingin dan 44 derajat untuk rangsangan panas (± 7 derajat

dengan suhu tubuh normal 39 derajat.

– Semprotkan ke liang telinga 1 cc/detik

– Amati arah gerak nistagmus, frekuensi, lamanya

– Istirahat

– Tes telinga lain, bandingkan kanan dan kiri

– Normal pada suhu dingin nistagmus akan berlawanan dengan tempat

rangsanganya, sedan pada suhu panas searah dengan tempat rangsangannya.

(COWS : Cold Opposite Warm Site )

Perlu diperhatikan : pada tes kalori untuk orang sehat dengan vertigo jangan menggunakan air

es karena bisa menyebabkan muntah-muntah hebat. Rangsangan untuk tes kalori pada penderita

koma bila (+) akan timbula gerakan mata kesisi rangsangan karena pada koma tidak ada

nistagmus sedangkan untuk air hangat akan timbul gerakan mata kesisi kontra lateral.

Manuver :

Nylen Barany atau Hallpike manuver

57

N. Glosofaringeus (N IX) dan N. Vagus (N X) Anatomi n. IX

1. Serabut motorik, sifat :

Somato motorik

Sekreto motorik

2. Serabut sensorik (merupakan serabut eferen), sifat :

Somato sensorik

Visero sensorik khusus (hantarkan impuls

Ganglion ke-2 serabut eferen, yakni :

Ganglion petrosum

Ganglion yugulare

Anatomi N X

Saraf otak yg plg panjang, terdiri dari :

Serabut eferen somato motorik & sekreto motorik

Serabut eferen somato sensorik & sekreto sensorik

Serabut somato motorik

mensarafi : otot lurik palatum molle, faring dan laring (kecuali otot tensor veli

palatini dan stilo faringeus)

Serabut eferen : konstraksi seluruh tract digestivus

Dari farings sampai kolon desendens

Mengurusi sekresi kelenjar2 GIT & pankreas

Serabut2 ini termasuk serabut visero motorik

Fs : - motorik (konstraksi ot polos)

- sekretorik

Serabut eferen yg somatomotorik : sarafi otot2 larings

Di rongga thorax; N X Dextra :

– Ikuti vena cava dari belakang ke bronkus kanan

– Sebagian mensarafi permukaan posterior paru

– Sebagian berjalan di belakang esofagus dan beranastomose dg N X Sinistra

didepan esofagus

ke 2 cab N X ini membentuk pleksus esofagus posterior.

58

Setinggi arkus aorta ;

– N X Sinistra memberikan cabang yang berbalik ke atas melalui kolon arkus aorta

(≈N rekurnes)

– Cab N X Dextra (≈N rekurnes D) berbalik ke atas melalui permukaan bawah a.

subklavia

– semua otot larings, kecuali otot krikotiroid, sfingter faring dan kriko faringeus

Bersama esofagus : menemembus diafragma via hiatus esofagus dan tiba di ruang abdomen

Di perjalanan dlm rongga thorax & abdomen membentuk pleksus2

– Di thorax : pleksus esofagus, pulmonalis anterior & posterior

– Di abdomen : rami gastrisi anterior

Pemeriksaannya :

Pemeriksaan fungsi N IX dan N X tidak dapat mengungkapkan semua segi

fungsionalnya. Adapun pemeriksaan klinis yang diselenggarakan untuk meneliti fungsi syaraf

otak ialah:

1. Orofarings

2. Larings

1. Orofarings

Pemeriksaan orofarings dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan rongga mulut,

dimana gigi geligi, lidah dan mukosa rongga mulut diamati. Khusus terhadap orofarings

pemeriksaan dapat dibagi dalam :

• Inspeksi orofarings dalam keadaan istirahat

• Inspeksi orofarings dalam keadaan berfonasi

• Pembangkitan refleks

Cara pemeriksaan Inspeksi orofarings :

- Pasien diminta membuka mulut selebar-lebarnya dengan lidah dikeluarkan sejauh-

jauhnya

- Amati arcus faringeus, uvula, dinding belakang farings, dan epiglotis dengan

menggunakan senter/lampu baterai

- Gambaran orofarings sehat : uvula ditengah, pangkal lidah merupakan bagian dari

palatum mole yang menjulur kesamping untuk membentuk arcus faringeus. Dibelakang

tampak dinding farings dan diantara pangkal lidah dan dinding posterior farings dapat

terlihat epiglotis. Arcus faringeus pada kedua sisi praktis sama dan sebangun. Ujung

uvula kalau tidak terlalu panjang menunjuk kebawah tepat digaris tengah.

59

- Paresis/paralisis ipsilateral N IX/X :

Uvula melebar sesisi, arcus faringeus sesisi menjadi kendor dan tampak melengkung

kesisi yang lain

Pasien disuruh berfonasi; arcus faringeus tidak ikut tertarik ke atas saat pasien

berfonasi, ujung uvula menunjuk ke arah yang sehat (suara sengau)

Pasien disuruh menelan air menimbulkan kesukaran menelan, pasien tersedak air

keluar dari hidung

2. Larings

- Paresis vagus unilateral menimbulkan suara serak

- Yang paling sering dijumpai ; paresis postikus yaitu kelumpuhan otot krikoaritenoideus

posterior, sehingga abduksi pita suara terbatas.

- Pita suara berabduksi sewaktu inspirasi dan beraduksi sewaktu fonasi dan batuk

- Berdasarkan gerakan pita suara, maka dengan laringoskopi diteliti gerakan aduksi dan

abduksi pita suara

Gambaran orofarings sehat

Parese n. IX kiri

60

Pemeriksaan terdiri dari :

suara bicara

apakah biasa, parau,tak bersuara (aphonia) karena plica vocalis disarafi oleh n. Vagus,

sedang semua otot larinx disarafi oleh n. laryngeus n. Vagus. pergerakan pita suara diperiksa

dengan laryngoccope.

Proses menelan

Apakah bisa ataukah sulit ( disfagi)

Kedudukan Arcus Pharinx Atau Uvula

Apakah arcus pharinx kanan dan kiri simetris atau tidak. Bila terjadi kelumpuhan n. IX kiri

maka arcus parinx atau uvula akan tertarik kekanan

Vernet Rideu Phenomena

yaitu saat mengucapkan “aaaaaaa” Arcus faringeus pada kedua sisi praktis sama dan

sebangun, ini adalah dalam keadaan normal (Vernet Rideu Phenomena posoitip)

bila terdapat kelumpuhan maka dinding belakang pharinx akan bergerak kedepan atau

terangkat sehingga mengecil, sedang bagian yang lumpuh akan tertinggal.

Vernet Rideu Phenomena posoitip Parese n. IX kiri

Reflek muntah

Menyentuhkan ujung kayu penekan lidah/spatel pada arcus faringeus atau uvula

akan timbul refleks batuk atau muntah

Klinik gangguan N IX

N IX merupakan syaraf motorik utama bagi farings, yang memegang peran penting

dalam mekanisme menelan. Ia mensyarafi otot stilofaringeus yang merupakan levator dari

farings. Bersama-sama dengan kontraksi otot-otot arkus faringeus, musculus stilofaringeus

melaksanakan tugas memindahkan makanan dari mulut ke farings. Bagian lain dari farings

disyarafi oleh nervus vagus. Disamping tugas motorik N IX mengurus inervasi sensorik

eksteroseptif permukaan orofarings dan pengecapan 1/3 bagian belakang lidah. Maka gangguan

terhadap N IX akan menimbulkan : gangguan menelan, gangguan pengecapan dan gangguan

perasaan protopatik di sekitar orofarings

61

Klinik gangguan N X

Lesi pada N X sebelum meninggalkan foramen jugulare menyebabkan paralysis farings.

Pada keadaan tersebut daya pendorong makanan kearah esophagus hilang, sehingga farings

tertimbun dengan lendir dan makanan, karena lesi vagus tersebut, palatum mole, sfingter larings

dan otot krikofaring ikut lumpuh.

Nervus Asesorius ( N XI) Nervus Accessorus di bentuk oleh gabungan antara kranial dan spinal, keduanya bersifat

motorik.

• Nervus Accessorus akar kranial memelihara otot-otot pallatum molle ( kecuali m. tensor

veli pallatini), otot pharinx ( kecuali m. stylophringeus) dan otot larynx ( kecuali m.

Cricothyroideus)

• Nervus Accessorus akar spinal memelihara m. sternocleidmastoideus dan trapezius.

Anatomi Nervus Accessorus

Pemeriksaan

Untuk menilai fungsi musculus trapezius dan sternokleidomastoideus, pasien dapat diperiksa

dalam posisi duduk atau baring.

Penilaian fungsi muskulus trapezius

- Pasien diminta untuk mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan

elevasi bahu (menekan kedua bahu penderita kebawah), sebaiknya posisi penderita

duduk dan pemeriksa berada di belakang pasien.

- Kelumpuhan otot trapezius dapat diketahui dari kelemahan gerakan elevasi bahu dan

hilangnya kontur otot, juga elevasi lengan melewati tingkat bahu sangat terganggu.

62

Pemeriksaan muskulus trapezius

Penilaian fungsi muskulus strenokleidomastodius

- Pasien disuruh memutarkan kepalanya (gerakan fleksi lateral) dengan penahanan yang

dilakukan oleh si pemeriksa pada rahang bawah pasien. Otot yang menarik oksiput

tampak jelas dan konsistensinya keras

- Jika otot tersebut lumpuh secara bilateral, maka kepala bersikap anterofleksi.

Pemeriksaan muskulus strenokleidomastodius

Klinik Gangguan N XI

- Asimetri yang timbul akibat posisi leher/kepala biasanya disebabkan oleh disfungsi

unilateral muskulus sternokleidomastoideus dan trapezius.

- Kepala miring dengan wajah menoleh kesalah satu sisi dengan dagu sedikit terangkat.

Posisi ini dikenal sebagai Tortikolis

- Tortikolis dapat bersifat paralitik : oksiput sedikit tertarik ke sisi yang sehat atau iritatif :

oksiput tertarik ke sisi yang tidak sehat/sakit

- Tortikolis non paralitik : biasanya bersifat spasmodik yaitu kepala/leher bergoyang-

goyang secara involunter karena kontraksi dan relaksasi musculus sternocleidomastodius

dan trapezius secara berulang-ulang.

63

Nervus Hipoglosus (N XII)

Anatomi N XII

• Inti : di nukleus N XII, terletak disamping dorsal fasikulus longitudinalis medial, pada

tingkat caudal medula. oblongata.

• mengandung serabut somato motorik, meng-inervasi :

- otot. extrinsik lidah

- otot. intrinsik lidah

• Fs ot. extrinsik lidah : menggerakkan lidah.

• Fs ot. intrinsik lidah : merubah bentuk lidah.

Nervus Hipoglosus mepersarafi semua otot intrinsik lidah dan m. styloglosus, hypoglosus dan

genioglosus yang mengatur bentuk dan pergerakan lidah, kecuali m. palatoglosus.

Nervus Hipoglosus tidak ada hubungannya dengan fungsi pengecapan.

Pemeriksaan - Pasien diminta untuk mengeluarkan lidahnya secara lurus di garis tengah.

- Pada kelumpuhan sesisi lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus digaris tengah,

melainkan menyimpang ke sisi yang lumpuh.

- Pada kelumpuhan unilateral yang bersifat UMN, lidah tidak dapat dikeluarkan lurus

digaris tengah, tetapi secara volunter lidah masih dapat digerakkan ke kanan dan kekiri.

pada belahan lidah yang lumpuh tidak tampak tampak adanya atrofi dan fasikulasi.

64

- Jika kelumpuhan unilateral dan bersifat LMN, lidah akan menyimpang ke sisi yang

lumpuh dan tidak mampu bergerak kearah sisi yang sehat, lagipula atrofi dan fasikulasi

belahan lidah yang lumpuh tampak dengan jelas.

- Untuk menilai kekuatan otot lidah dengan cara : ujung jari pemeriksa ditempatkan pada

salah satu pipi penderita, kemudian penderita diminta mendorong ujung jari tersebut

dengan ujung lidahnya. Bandingkan kekuatan dorongan kiri dan kanan.

Pemeriksaan n. XII

Klinik gangguan N XII

- Kelumpuhan bilateral yang bersifat UMN, gerakan lidah secara volunter adalah lambat

dan kaku, sehingga pengucapan kata-kata kurang jelas dan dinamakan ’pelo’. Perintah

untuk mengeluarkan lidah tidak dapat dilaksanakan

- Kelumpuhan lidah unilateral yang bersifat LMN memperlihatkan atrofi, dimana garis

tengah lidah menjadi cekung dan belahan lidah yang lumpuh menjadi tipis dan

berkeriput, bila lidah lumpuh LMN secara bilateral, maka seluruh lidah menjadi tipis,

gepeng dan berkeriput, bicara dan menelan akan terganggu.

65

BAB VII

PEMERIKSAAN MOTORIS

Pemeriksaan motoris harus benar-benar dipahami dan dilakukan dengan mahir. Karena

sebagian besar manifestasi objektif kelainan saraf bermanifestasi berupa gangguan gerakan otot

(motorik)(gambar 1.). Perlu diperhatikan bahwa kelumpuhan bukan merupakan kelainan

yang harus ada pada tiap gangguan gerak (motorik), oleh karena gangguan gerak/ motorik

akibat kelainan pada sistem ekstrapiramidal dan serebellum tidak didapatkan kelumpuhan.

Manifestasi objektif inilah yang merupakan bukti riil adanya suatu kelainan atau penyakit.

Gambar 1. Representasi otot lurik di koteks motoris (gyrus presentralis)

Pada perisnsipnya untuk mendapatkan gerakan motorik yang kuat indah dan lues

diperlukan kerjasama tiga sistem yang bekerja secara bersama yaitu :

1. Jaras Piramidalis

2. Jaras Extrapiramidalis

3. Cerebellum

66

1. LINTASAN PIRAMIDAL

UMN

UMN

Perjalan jaras Piramidalis( UMN) dimulai dari kortek motorik di otak, bersama-sama

traktus kortikobulbaris, setelah tiba di batang otak, menuju piramid medula oblongata,

menyilang garis tengah (dekusasio piramidalis), berada di kolumna lateralis medula spinalis,

sampai ke inti-inti motorik di kornu anterior medula spinalis (disebut traktus kortikospinalis

lateralis). Sebagian kecil (kira - kira 10%) tidak menyilang melalui dekusasio piramidalis, tetapi

langsung menuju kolumna anterior medula spinalis (ipsilateral) dan pada akhrnya menyilang di

tingkat cervical medula spinalis menuju inti-inti motorik di kornu anterior disebut traktus

kortikospinalis anterior)

67

LMN :

Dari inti-inti motrik di kornu anterior medula spinalis, menuju radiks anterior, saraf-saraf spinal,

mengikuti perjalanan saraf-saraf tepi, menuju keotot-otot tubuh dan anggota gerak.

Fungsi :

Berkaitan dengan gerakan-gerakan tangkas otot-otot tubuh dan anggota gerak

2. LINTASAN EKSTRAPIRAMIDAL

Yaitu semua jaras, inti dan srkuit yang mempengaruh aktvitas somatomotorik, selain lintasan piramdal. Terdiri dari :

1. Korteks motorik

2. Basal ganglia

3. Inti – inti talamus dan subtalamus

4. Nukleus ruber dan substansia nigra (mesensefalon)

5. Inti – inti di formasio retikularis (pons dan medula oblongata)

6. Sirkuit feedback, jaras dan lintasannya )kotikospinalis, kortikoretikulospinalis, dan vestibulospinalis)

Fungsi :

Berkaitan dengan fungsi lntasan piramidal, terutama dalam memulai dan memperhalus

gerakan – gerakan tubuh dan anggota gerak (terutama jari – jari)

Untuk setiap kelainan motoris perlu dibedakan apakah itu lesi / sindrome upper motor

neuron (UMN) atau sindroma lower motor neuron (LMN). Sindroma UMN ditemukan pada

kerusakan sistem piramidal, gejalanya : lumpuh, hipertoni, hiper refleksi dan klonus serta refleks

patologis. Sindroma LMN mempunyai gejala : lumpuh, atonia, atrofi dan arefleksia. Hal ini

didapatkan pada kerusakan di neuron motorik, myoneural junction dan otot.

68

Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan

otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan, gangguan kelancaran gerakan otot volunter dan

gangguan gerak-otot asosiatif.

Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan sikap dan

tonus. Selain itu juga terjadi ataksia, dismetria dan tremor.

Tiga fungsi serebelum adalah keseimbangan, pengatur tonus dan pengkoordinasi gerakan

volunter

Ruang lingkup pemeriksaan motoris

1. INSPEKSI : Jalan , Sikap , Atropi dll

2. TONUS

3. KEKUATAN

4 KOORDINASI (. Pemeriksaan serebellum )

INSPEKSI

Pengamatan pasien dimulai sejak pasien masuk kedalam kamar praktek (saat berjalan,

melepas baju, melepaskan sepatu dan pada saat pasien naik tempat periksa), saat pasien

berbaring diperhatikan tubuh simetris atau asimetris, kelumpuhan, kedipan kelopak mata dan

sebagainya.

Perhatikan pasien saat jalan, sikap, atropi dll

• Cara jalan :

o Hemiplegi gait : kaki diputar keluar dan diseret keluar

o Parkinson gait : Langkah pendek serta fleksi (seperti robot)lengan statik dan

tangan tremor, punggung agak membungkuk. Penderita cenderung berjalan

semakin cepat seperti terdorong kedepan (propulsif) maupun kebelakang

(retrupulsif) dan penderita sulit membalikkan badan (berputar)

o Walding gait : Jalan seperti bebek karena kelumpuhan m. gluteus maximus.

o Tabetik gait : berjalan seoerti ayam jantan karena kelumpuhan n. peroneus.

o Ataxic gait,Wide base gait,cerebellar gait, drnken gait :penderita cenderung jatuh

kesisi yang sakit.

69

• Sikap : Ape hand, claw hand, drop hand, claw foot, drop foot, dystonik, wajah topeng

o Ape hand : tangan monyet akibat paralysis N. Medianus dan terjadi hipestesia

jari 1, 2 , 3, ½ volar, parese flexor Jari 1 2 3 dan atropi thena.

o Claw hand : akibat paralysis N. Ulnaris dan terjadi hipestesia jari 4 , 5 volar,

parese flexor jari 4 , 5 Inter Ossei dan atropi hipothenar.

o Tindakan Froment untuk menilai paralysis N. Ulnaris dengan jalan pasien

diminta untuk memegang sehelai kertas dengan menggunakan jari telunjuk dan

ibu jari pada kedua tangan, kemudian kedua ujung kertas ditarik

o Drop hand : akibat paralysis N. Radialis dan terjadi hipestesia dorsum tangan

jari 1 2 3, parese extensor tangan, extensor jari 1 2 3

70

o Untuk menilai paralysis N Radialis dengan jalan pasien diminta untuk mengambil

dan mengangkat benda

o Drop foot : akibat paralysis N. Peroneus, dan terjadi hipestesia betis lateral

dorsum kaki, parese extensor kaki

o Untuk menilai paralysis N Peroneus dengan jalan pasien diminta untuk berjalan

diatas tumit

• Gerak Involunter :

o Fibrilasi : kontraksi acak dan spontan dari serabut otot tersebut, bisa

dilihat dengan jelas pada EMG.

o Fasikulasi : sentakan atau tarikan acak yang sepontan dari sekelompok

kecil otot yang bisa dilihat dengan mata telanjang atau EMG.

o Myoklonik jerk : kontraksi spontan dan tiba-tiba sebuah otot atau sekelompok

otot yang mengejutkan.

o Tics : sederetan kontraksi otot yang sepontan dan stereotip, terlihat

jelas pada otot wajah penderita dengan Obsesive convulsive

o Chorea : gerakan yang cepat, spontan seoala-olah sebagai bagian dari

gerakan yang normal, biasanya lebih jelas pada anggota gerak.

o Athetosis : gerakan spontan, meliuk-liuk pada jari dan extremitas kadang

kadang mengenai wajah dan otot punggung.

o Dystonia : gerakan spontan terutama mengenai sebagaian besar badan

dan lemngan terjadi gerakan bergantian antara kontrksai agonis dan antagonis

o Ballismus : kontraksi sekelompok otot, involunter, tiba-tiba biasanya

terjadi pada separoh tubuh (hemiballismus)

o Tremor : gerak ritmis tanpa tujuan dan terjadi berturut-turut.

Macam – macam tremor : resting tremor, intension tremor dan postural tremor.

71

• Bentuk dan ukuran : atropi / hiperttophy / pseudohipertrophy seperti pada penderita

Duchene Muscular Dystropi (Gower sign)

Setiap kali pemeriksaan motoris agar membandingkan otot tiap belahan tubuh antara satu

dengan yang lainnya

Penilaian status otot :

- Inspeksi : perhatikan bentuk dan ukuran otot, gerakan abnormal

- Pengukuran : bila asimetris maka perlu dilakukan pengukuran

- Palpasi : otot yang normal terasa kenyal, sebaliknya otot yang lumpuh LMN ;

lembik, kendor dan konturnya hilang, otot yang lumpuh UMN, konsistensinya

masih cukup kenyal, kadang lebih tegang. Dalam palpasi tindakan pemeriksaan

harus dilakukan pada otot masing-masing dan dibandingkan untuk kelompok otot

yang sepadan

- Perkusi : otot akan berkontraksi jika diperkusi, bersifat setempat dan berlangsung

hanya 1 atau 2 detik saja

PSEUDO HIPERTROPI

ATROPI

72

TONUS

Cara pemeriksaan :

Sarat terpenting pemeriksaan tonus otot adalah pasien harus relax tidak melawan (pasif),

memberikan gerakan pasif pada semua sendi (lower, upper) kiri maupun kanan, untuk

mengalihkan konsentrasi alihkan perhatian penderita dengan cara diajak bicara atau dengan

prasat jendrasik. Tonus adalah ketengan otot pada waktu istirahat.

Interprestasi :

• Menurun (hipotoni) Tonus otot menurun tidak ada gerakan perlawanan terdapat

pada lesi LMN dan cerebellum.

• Normal R

• Meningkat (hipertoni) :

Spastis :

Tahanan meningkat pada awal gerakan sesudah itu tidak menunjukkan adannya

tahanan. Fenomena Pisau Lipat (flash knife): ada tahanan awal gerakan

membuka/menutup.

Rigiditas : sendi sulit digerakan :

a. Fenomena Pipa Timah (lead pipe) : ada tahanan sepanjang gerakan

b. Coghweel phenomenon (roda gigi) : tahanan dan tidak ada tahanan terjadi

selang seling.

Spastic terjadi pada kelainan sistem piramidal sedang Rigid terjadi pada kelainan

extrapiramidal.

KEKUATAN OTOT

Penilaian kekuatan otot memerlukan pengetahuan fungsi berbagai kelompok otot dan

membutuhkan pengalaman. Tenaga otot diukur berdasarkan penderajatan. Penderajatan tenaga

otot antara normal dan sub-normal adalah yang paling sukar, penderajatan antara lumpuh total

dan tenaga otot yang normal adalah yang paling mudah.

Pada perinsipnya pemeriksaan kekuatan otot penderita harus aktif hal inilah yangmembedakan

dengan pemeriksaan tonus otot dimana penderita harus rilek (pasif). Dalam pemeriksaan

kekuatan otot dapat dilakukan 4 cara yang sedikit berbeda :

1. Pasien disuruh menahan usaha si pemeriksa untuk menggerakkan salah satu bagian

anggota geraknya. Metoda ini mudah dimengerti oleh pasien dan tidak sulit untuk

dilaksanakan pasien yang mempunyai kekurangan tenaga yang ringan.

73

2. Pasien diminta untuk menggerakkan bagian anggota geraknya dan si pemeriksa menahan

gerakan yang akan dilaksanakan pasien itu. Metode ini untuk memeriksa pasien dengan

kekurangan tenaga ringan sampai sedang.

3. Pasien diminta untuk melakukan gerakan kearah yang melawan gaya tarik bumi, dan

yang mengarah ke jurusan gaya tarik bumi. Metoda ini untuk menilai tenaga otot yang

sangat kurang.

4. Penilain dengan cara inspeksi dan palpasi gerakan otot, jika metoda a dan b kurang

cocok dilaksanakan seperti menilai otot maseter atau otot temporalis

Untuk menilai kekuatan otot kita gunakan kriteria sebagai berikut :

There is a 0 to 5 rating scale for muscle strength:

0/5 No movement

1/5 Barest flicker of movement of the muscle, though not enough to move the structure to which it’s attached.

2/5 Voluntary movement which is not sufficient to overcome the force of gravity. For example, the patient would be able to slide their hand across a table but not lift it from the surface.

3/5 Voluntary movement capable of overcoming gravity, but not any applied resistance. For example, the patient could raise their hand off a table, but not if any additional resistance were applied.

4/5 Voluntary movement capable of overcoming “some” resistance 5/5 Normal strength

‘+’ and ‘-‘ can be added to these values, providing further gradations of strength. Thus, a patient who can overcome “moderate but not full resistance” might be graded 4+ or 5- . This is quite subjective, with a fair amount of variability amongst clinicians. Ultimately, it’s most important that you develop your own sense of what these gradations mean, allowing for internal consistency and interpretability of serial measurements.

Anggota gerak bawah

Iliopsoas. Pasien berbaring fleksi disendi panggul atau duduk , kemudian penderita

memfleksikan tungkai atas dan pemeriksa menahan.. daerah ini dipersyarafi oleh L1 –L3 dan

nervus femoralis.

74

Kuadriseps femoris. Lutut (tungkai bawah) dalam posisi fleksi kemudian diekstensikan, sambil

kita tahan. Otot ini dipersyarafi L2 – L4, n. femoralis.

Pemeriksaan otot kuadriseps femoris.

Biseps femoris (hamstring). Pasien dalam posisi tengkurap, lutut (tungkai bawah) dalam posisi

fleksi, dan dipertahankan, sambil kita ekstensikan. dipersyarafi L4-5, S1-2 n. Peroneus komunis

dan n. tibialis

Pemeriksaan otot biseps femoris

Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada pada posisi ekstensi, kemudian

tungkai diaduksikan sambil ditahan. Daerah ini dipersyarafi oleh L2 – L4 dan nervus

obturatorius. Sedangkan untuk otot abduktor, otot di abduksikan melawan tahanan, dipersyarafi

L 4-5 S1 dan n gluteal superior

a b

Pemeriksaan otot aduktor (a) dan otot abduktor (b).

75

Otot gastroknemeus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien berbaring atau duduk,

kemudian disuruh memfleksikan dorso kakinya. Daerah ini dipersyarafi oleh L5, S1, S2 dan

nervus tibialis.

Pemeriksaan otot gastroknemeus

Otot fleksor digitorum longus. Pemeriksaan dilakukan dengan jari – jari kaki diplantar

fleksikan, sambil diberi tahanan oleh pemeriksa. Dipersyarafi oleh S1, S2 dan nervus tibilalis.

Pemeriksaan otot fleksor digitorum longus.

Otot gluteus maksimus. Dipersyarafi oleh L4, L5, S1, S2 dan n. gluteus inferior. Pasien

tengkurap, tungkai bawah berada dalam keadaan fleksi pada sendi lutut, kemudian disuruh

mengangkat lututnya sambil ditahan oleh pemeriksa

Pemeriksaan otot gluteus maksimus

76

Anggota gerak atas

Otot pektoralis mayor. Inspeksi pada bagian dada atas dan lipatan aksilaris anterior.

Kemudian pasien disuruh menekukkan lengannya pada sendi siku , pemeriksa memberi tahanan.

Sewaktu pasien menekankan kedua telapak tangannya, dapat dilakukan palpasi otot pektoralis

mayor. Dipersyarafi oleh C5 – T1, n. pektoralis lateralis dan medialis.

Pemeriksaan Otot pektoralis mayor

Latisimus dorsi. Pasien disuruh merentangkan lengan ke samping. Kemudian lengan ini disuruh

gerakkan ke bawah sambil kita tahan. Daerah ini dipesyarafi C6 – 7 – 8 dan N torako dorsalis

dan N latisimus dorsi.

Pemeriksaan otot latisimus dorsi

Otot seratus anterior. Perhatikan posisi skapula, bila terdapat paralisis m. seratus anterior maka

sudut inferior skapula mendekati vertebra. Untuk memperjelasnya pasien disuruh meluruskan

lengannya ke depan dan menekan telapak tangannya ke dinding, skapula akan menonjol.

Dipersyarafi oleh C5, C6, C7 dan n. toraksis longus.

Pemeriksaan Otot seratus anterior

77

Otot deltoideus. Pasien disuruh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping sampai

bidang horisontal. Di persyarafi oleh C5, C6 dan n. aksilaris.

Pemeriksaan Otot deltoideus.

Otot biseps. Lengan yang sudah disupinasi disuruh fleksi pada persendian siku, kemudian

ditahan oleh pemeriksa. Dipersyarafi oleh C5, C6 dan n. muskulokutaneus.

Pemeriksaan otot biseps

Triseps. Lengan bawah yang sudah difleksikan di suruh ekstensi, sambil ditahan oleh pemeriks.

Dipersyarafi oleh C6, C7, C8 dan n. radialis.

Pemeriksaan otot triseps

78

Otot supraspinatus. Di persyarafi oleh C4 – C6 dan n. supraskapularis. Lengan diabduksikan

dari samping badan, sambil ditahan oleh pemeriksa.

Pemeriksaan otot supraspinatus

Otot rombhoid. Dipersyarafi oleh C4, C5 dan n. supraskapularis dorsalis. Pasien disuruh untuk

menggedikkan bahunya ke belakang, sambil ditahan oleh pemeriksa.

Pemeriksaan otot rombhoid.

79

Otot ekstensor karpi ulnaris. Dipersyarafi oleh C7 – C8 dan n. radialis. Persendian

pergelangan tangan diekstensikan ke arah ulnaris, sambil ditahan pemeriksa .

Pemeriksaan otot ekstensor karpi ulnaris

Otot supinator. Dipersyarafi oleh C5 – C7 dan n. radialis. Tangan disupinasikan sambil diberi

tahanan (lengan dalam posisi ekstensi disamping). Tahanan diberikan dengan memegang lengan

bawah pasien dekat pergelangan.

Pemeriksaan otot supinator.

Otot ekstensor karpi radialis longus. Dipersyarafi oleh C5 – C6 dan n. radialis. Pergelangan

tangan diekstensikan dan diabduksikan ke arah radialis sambil jari tetap dalam keadaan ekstensi

dan menahan kekuatan pemeriksa.

Pemeriksaan Otot ekstensor karpi radialis

80

Otot interosei palmaris. Tehnik pemeriksaannya adalah pasien dan pemeriksa menjepit satu

kertas diantara jari – jarinya, kemudian saling tarik – menarik. Daerah ini dipersyarafi oleh C8,

T1 dan n. ulnaris.

Pemeriksaan otot interossei palmaris

Otot interossei dorsalis. Pasien disuruh untuk mengembangkan jari – jarinya, yang ditahan oleh

pemeriksa. dipersyarafi oleh C8, T1 dan n. ulnaris.

Pemeriksaan otot interossei dorsalis

Otot abduktor polisis longus. Dipersyarafi oleh C7 – C8 dan n.radialis. Tehnik pemeriksaan

penderita mengabduksikan jari pertama pada sendi karpo metakarpal, seperti tampak pada :

Pemeriksaan Otot abduktor polisis longus

81

Otot ekstensor digitorum. Jari diekstensikan pada persendian metakarpo-falang, sambil diberi

tahanan oleh pemeriksa. Dipersyarafi oleh C7, C8 dan n. Interosseous posterior.

Pemeriksaan Otot ekstensor digitorum

Otot ekstensor polisis longus. Dipersyarafi oleh C7 – C8 dan n. Interosseous posterior. Tehnik

pemeriksaan ibu jari pasien diekstensikan pada sendi interphalangeal dan melawan tahanan

pemeriksa.

Pemeriksaan Otot ekstensor polisis longus

Otot fleksor polisis longus. Dipersyarafi oleh C7 – C8, T1 dan n. Interosseous anterior. Tehnik

pemeriksaan pasien dalam posisi fleksi dintal phalanx dari ibu jari, pemeriksa melawan.gerakan.

Pemeriksaan Otot fleksor polisis longus

KOORDINASI

Untuk melihat fungsi CEREBELLUM , pada dasarnya fungsi cerebellum dibagi menjadi

tiga yaitu : Keseimbangan, koordinasi dan tonus.jadi pemeriksaanya mencakup ketiga fugsi

tersebut.

Fungsi Gangguan

@ Gerakan halus Ataxia

82

@ Keseimbangan Ataxia , Varian Romberg ,tandem gait

@ Tepat jarak Dysmetri

@ Gerak ritmik Dysdiadokokinesia

@ Rem gerak Rebound fenomena

Gerakan diskoordinatif merupakan gerakan kehilangan sifat koordinatifnya yang dapat

tampak pada sikap duduk atau berdiri, pada waktu berdiri dan pada waktu melakukan gerakan-

gerakan koordinatif.

MOTOR LONCAT

Untuk melihat adanya diskoordinatif dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara pasien

diminta untuk berdiri dan mengangkat/meloncat pada salah satu kaki bergantian

MOTOR PRONASI

Dalam memelihara suatu sikap orang sehat tidak memerlukan bantuan visual, tetapi

pasien dengan lesi serebelar unilateral memerlukan mata, jika mata ditutup akan terjadi deviasi

sikap anggota gerak disisi lesi. Gejala ini dapat diungkap dengan jalan, meminta pasien

mengangkat kedua tangan lurus kedepan dengan mata tertutup selama beberapa detik, lengan

pada sisi lesi akan menyimpang kearah lesi.

Dalam posisi kedua lengan lurus, salah satu lengan diturunkan dan diminta untuk menempatkan

lengan itu pada posisi semula. (Arm bounce), lengan sisi lesi tidak mampu untuk mengambil

kembali posisi semula .

Pemeriksaan Arm bounce

Fenomena Rebound :

Pasien diminta untuk menekukkan lengan disendi siku, pemeriksa menahan gerakan

yang dilakukan pasien, pada waktu penahanan dihilangkan pasien terlanjur berfleksi sehingga

tangannya dapat memukul pipinya sendiri. Pada orang sehat lengan bawah tidak terlanjur

memukul pipinya melainkan akan berhenti bergerak.

83

Pemeriksaan Fenomena Rebound

84

ROMBERG TEST

Test ini sebenarnya adalah untuk menilai fungsi Funikulus Dorsalis (proprioseptif)

(tabes dorsalis). Cara melakukan test Romberg ini pasien diminta berdiri dengan kedua kakinya

berdekatan satu dengan yang lain, saat berdiri pasien diminta dengan mata terbuka dan mata

tertutup. Seorang dengan lesi diserebelum pada saat mata terbuka sudah tidak dapat berdiri

dengan sikap yang tegak, ia akan bergoyang-goyang dan jatuh kesalah satu sisi, tetapi seorang

dengan degenerasi funikulus dorsalis (tabes dorsalis) dapat berdiri dalam sikap tersebut, bila

kedua mata tertutup akan jatuh.

TANDEM WALKING

Cara memeriksanya dengan meminta pasien untuk berjalan menuruti garis yang lurus

atau pasien berjalan memutari kursi atau meja. Saat berjalan pasien diminta berjalan dengan

mata terbuka dan mata tertutup. Dengan test tersebut akan terlihat kesimpangsiuran gerakan

berjalan. Pada lesi unilateral diserebelum kecenderungan untuk jatuh kesisi lesi, jika lesi terletak

divermis, badan bergoyang-goyang dan berangguk-angguk sewaktu berdiri dan juga waktu

berjalan.

Tandem walking

DYSDIADOKOKINESIS

Kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara berselingan dinamakan

diadokokinesis. Untuk anggota gerak bagian bawah cara memeriksanya dengan cara pemeriksa

menepuk plantar pedis pasien, kemudian pasien diminta dengan plantar pedis untuk menepuk

tangan pemeriksa. Awal gerakan pelan-pelan kemudian gerakan dilakukan dengan cepat

Untuk anggota gerak bagian atas cara memeriksanya dengan meminta pasien melakukan

gerakan mempronasi-supinasi tangan

Pemeriksaan gerakan diadokokinesis

85

Pasien melakukan dorsofleksi dan volarfleksi dipergelangan tangan secara berselingan

seperti menepuk-nepuk paha.

. Pemeriksaan gerakan diadokokinesis

Pasien membolak-balik tangan diatas paha secara berulang-ulang, atau menyentuh ujung

jari telunjuk dan ujung ibu jari secara berulang-ulang. Pemeriksaan dilakukan pada tangan kiri

dan kanan atau bolak-balik. Awal gerakan pelan-pelan kemudian gerakan dilakukan dengan

cepat

Pemeriksaan gerakan diadokokinesis

DYSMETRIA

Dysmetria adalah gangguan kemampuan untuk mengelola kecepatan gerakan,

kekuatannya dan jangkauannya. Adapun test-testnya sebagai berikut :

Heel – Knee – toe testing :

- Meminta pasien menempatkan salah satu tumitnya diatas lutut tungkai lainnya, kemudian

tumit itu harus meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tulang tibia dan

memanjat dorsum pedis untuk menyentuh ibu jari kaki

Pemeriksaan dilakukan pada kaki kiri maupun kaki kanan

86

Finger-nose testing : (gambar a)

- Meminta pasien untuk menyentuh ujung jari telunjuk pemeriksa/pasien dengan hidung

pasien

Finger-finger testing : (gambar b)

- Meminta pasien untuk menyentuh ujung jari telunjuk dengan ujung jari telunjuk tangan

lainnya

Pemeriksaan dilakukan dengan mata tertutup maupun dengan mata terbuka

Gambar b. Pemeriksaan gerakan dysmitria

gambar a

87

BAB VIII

SUSUNAN SYARAF AUTONOM (SSA)

Susunan syaraf otonom adalah bagian susunan syaraf yang mengurus proses badaniah

yang involunter dan simbul secara refleksionik. Manifestasi gangguan syaraf otonom yang

sering dijumpai diklinik meliputi :

Gangguan miksi

Gangguan saluran pencernaan dan defekasi,

Hipertensi ortostatik

Impotensia, vasofagal reflek

Anhidrosisi

Gangguan salvias

Gangguan suhu tubuh.

Adapun substrat anatomik susunan syaraf autonom (SSA) terdiri dari SSA perifer yang

meliputi komponen tharakolumbal yang bersifat simpatik dan komponen kraniosakral yang

bersifat parasimpatik. Bagian pusatnya mencakup susunan limbic dan hipotalamos sebagai

regulasi system autonom.

II BEBERAPA PEMERIKSAAN NEUROLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN

SUSUNAN SYARAF OTONOM

1. Pemeriksaan Sistem Urogenital / Miksi

Pada anamnesa penderita akan kita tanyakan bagaimana buang air kecilnya (miksi) :

apakah ngompol (incontinnentia urine), tertahan (retensio urine), atau kadang-kadang

terganggu (uninhabited blader) .

2. Pemeriksaan Gastrointestinal dan Sfingter Anal (defikasi)

Pada gangguan gastrointestinal dapat terjadi karena sekresi asam lambung yang

berlebihan (biasanya: mual, muntah, nyeri ulu hati). Pada gangguan sfingter anal (fungsi

defekasi) akan kita tanyakan bagaimana buang air besarnya : apakah tidak terasa

(incontinensia alvi), tertahan (retensio alvi) atau ada gangguan lain.

3. Pemeriksaan Suhu Tubuh

Disebabkan karena kerusakan regulasi suhu di hipotalamus, biasanya oleh karena infeksi

otak, stroke, tumor intracranial.

4. Pemeriksaan Reflek Vasofagal

Reflek Vasofagal yang sering terjadi adalah sincop, dimana penderita hilang kesadaran

sejenak, lemes, mual, wajah pucat, banyak berkeringat, akhirnya terjatuh. Bisa di

88

sebabkan stress fisik / psikis. Jarang terjadi pada posisi duduk dan terbaring. Bisa

didiagnosis banding dengan penyakit epilepsy.

5. Pemeriksaan Gangguan Salivator dan Lakrimasi

Bisa terjadi pada paralysis N VII karena trauma, infeksi, tumor, operasi telingga dan

pada Bell’s Palsy. Pada kasus ini terjadi reinervasi yang salah, sehingga apa bila

penderita mengunyah makanan disertai air liur, akan merangsang lakrimalis dan

hiperhidrasis.

6. Pemeriksaan Gangguan Keringat

Pada palpasi : bagian tubuh yang terkena gangguan kulit akan terasa kering dan kasar.

Pada gangguan medula spinalis kita lakukan test keringat / test lugol (perspirasi test)

untuk mengetahui batas lesi.

Cara Pemeriksaan Test Keringat ( perspirasi test)

Setengah jam sebelum dilakukan pemeriksaan penderita disuruh minum obat antipiretik

(parasetamol /Asam Salisilat (Aspirin) 2 biji (1000 mg)) .

a. Penderita ditidurkan berbaring (terlentang)

b. Bagian tubuh yang akan diperiksa, dibersihkan dulu dengan alkohol 70% lalu

dikeringkan

c. Bagian yang sudah dibersihkan tadi diolesi dengan larutan lugol (Iodin 7-10%),

kemudian ditaburi dengan amilum (tepung kanji)

d. kemudian penderita dimasukkan kedalam cerobong yang diberi lampu 75 W empat

buah.

e. Kurang lebih 1 jam di evaluasi, bila bagian yang ditaburi amilum berubah warna

menjadi biru kehitaman berarti normal (karena terdapat keringat) dan bila warna

amilum tidak berubah tetap putih berarti ada gangguan. (karena tak ada keringat)

• Normal : Test Negatif

• Ada gangguan : Test Posittif

89

BAB IX

PEMERIKSAAN REFLEKS

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa refleks adalah jawaban atas rangsang. Refleks

neurologik merupakan suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri atas jalur aferen yang

dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktivasi organ efektor, serta hubungan

antara kedua komponen ini. Misalnya refleks tendon lutut timbul karena adanya rangsang

(ketokan), reseptor, serabut aferen, gangglion spinal, neuron perantara, sel neuron motorik,

serabut eferen dan efektor (otot). Hal ini dinamakan lengkung refleks (reflex arc), bila lengkung

ini rusak, maka refleks akan hilang. Selain itu, juga terdapat adanya hubungan dengan pusat

yang lebih tinggi diotak yang bertugas memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan ini

terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini dapat mengakibatkan refleks

meninggi.

Pemeriksaan refleks kurang bergantung pada kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada

orang yang menurun kesadarannya, bayi, anak, orang yang rendah intelegensinya dan orang

yang gelisah. Oleh karena itu, pemeriksaan refleks penting nilainya, karena lebih objektif

dari pemeriksaan lainnya.

Jenis Refleks

Dalam praktek sehari – hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu refleks dalam

dan refleks superfisial.

Refleks Dalam (refleks regang otot)

Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan sebagai

jawabannya maka otot akan berkontraksi. Refleks dalam disebut juga refleks regang otot

(muscle stretch reflex), refleks tendon, refleks periostal, refleks miotatik atau refleks fisiologis.

90

Refleks Superfisialis

Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa, yang mengakibatkan

berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau disekitarnya.

Teknik Pengetukan

1. Sikap Anggota gerak simetris

Bila ada peninggian reflex secere bilateral belum tentu keadaan patologis

Bila ada asimetri : suatu proses patologis

2. Pengetukan tepat pada tendon

Bila tendon tdk berlandasan pada bangunan yang kuat, maka jari pemeriksa

ditempatkan pada tendon itu bila tidak maka jawaban reflek lemah / kurang

nyata. Metode ini untuk Reflek bisep brakhialis.

Teknik Pengetukan

Tingkat Jawaban Refleks

Dalam menilai tingkat jawaban reflek kita harus memperhatikan :

1. Jawaban reflek (intensitas)

2. Adakah perluasan area reflek

3. Selalu kita bandingkan kanan dan kiri

4. Adakah klonus

Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu :

- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali

+ 1 : hanya ada kontraksi otot

+ 2 : ada gerakan sendi (jawaban normal)

+ 3 : ada gerakan sendi dan ada perluasan refleks (tempat memberikan respon

biasanya bertambah luas).

+ 4 : hiperaktif, sering disertai klonus, sering merupakan indikator suatu penyakit.

91

Sebenarnya tidak ada batas yang tegas antar tingkat refleks seperti yang telah dikemukakan.

Pada refleks yang meningkat, daerah tempat memberikan respon biasanya bertambah luas.

Kontraksi otot pun bertambah hebat, sehingga mengakibatkan gerakan yang kuat pada

persendiannya. Jika meningkatnya refleks hebat, kadang – kadang didapatkan klonus, yaitu otot

yang berkontraksi secara klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk

mengetahui apakah ada kontraksi. Terkadang kita perlu juga melakukan sedikit upaya untuk

memperjelas refleks yang lemah. Misalnya dengan membuat otot yang diperiksa berada dalam

keadaan kontraksi ringan sebelum dirangsang. Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks

kuadriseps femoris, kita suruh pasien mendorongkan tungkai bawahnya sedikit kedepan sambil

kita menahannya, baru kemudian kita beri rangsang (ketok) pada tendon patella.

Membangkitkan refleks pada lutut.

Waktu mengetok refleks, perhatian pasien dapat dialihkan dengan menyuruhnya menarik pada

kedua tangannya yang saling bertautan.

92

Refleks yang meningkat tidak selalu berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila

refleks berbeda pada sisi kanan dan kiri, maka besar kemungkinannya hal ini disebabkan oleh

keadaan patologis.

”Simetri penting dalam penyakit syaraf ”. Oleh karena itu pada pemeriksaan refleks jangan

lupa selalu membandingkan bagian – bagian yang simetris (kiri dan kanan). Asimetri dapat

menunjukkan adanya proses patologis.

Dasar pemeriksaan refleks :

1. Alat yang dipakai biasa disebut reflex hammer yang umumnya terbuat dari bahan karet,

untuk mencapai hasil yang baik dan tidak menimbulkan nyeri pada pasien, agar tidak

mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Macam- macam bentuk Hammer reflek.

2. Penderita harus dalam posisi yang santai dan paling nyaman menurut penderita. Bagian

tubuh yang akan diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot

yang nantinya akan terjadi dapat muncul secara optimal.

3. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung; kerasnya pukulan harus dalam

batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras.

4. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus

dalam keadaan ‘ sedikit kontraksi ’. Apabila akan membandingkan refleks sisi kiri dan

kanan maka posisi ekstremitas harus simetris.

Pemeriksaan Refleks Refleks yang lazim diperiksa pada pemeriksaan rutin adalah :

1. Refleks Biseps. (BPR)

Cara pemeriksaan :

Kita pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas tendon

otot biseps. Kemudian ibu jari diketok; hal ini akan mengakibatkan gerakan fleksi lengan

bawah. Pusat refleks ini terletak di C5 – C6.

93

Refleks biseps

2. Refleks Triseps (TPR).

Cara pemeriksaan :

Kita pegang lengan bawah pasien yang disemifleksikan. Setelah itu diketok pada tendon

insersi m.triseps, yang berada sedikit diatas olekranon. Sebagai jawaban, maka lengan bawah

akan mengadakan gerakan ekstensi. Lengkung refleks ini melalui n.radialis yang pusatnya

terletak di C6 – C8.

Refleks triseps

3. Refleks- dalam dinding perut.

Cara pemeriksaan :

Pasien dalam keadaan berbaring, ditekan dinding perutnya dengan jari telunjuk atau

penggaris kemudian diketok. Otot dinding perut akan berkontraksi. Terlihat pusar akan

bergerak ke arah otot yang berkontraksi. Lengkung refleks ini melalui Th6 -Th12. Pada

orang normal, kontraksi dinding perut sedang saja, sedangkan pada penggeli reaksi ini dapat

kuat. Reaksi dinding perut ini mempunyai nilai yang penting bila ditinjau bersama –sama

dengan refleks superfisialis dinding perut. Bila refleks-dalam dinding perut meningkat,

sedangkan refleks superfisialnya negatif, maka hal ini dapat menandakan adanya lesi

piramidal pada tempat yang lebih atas dari Th6.

4. Refleks Patella (R. tendon lutut, R. kuadriseps femoris). Istilah KPR masih sering

digunakan untuk refleks ini, yaitu singkatan dari bahasa Belanda : Kniepeesreflex, yang

berarti refleks tendon lutut.

94

Cara pemeriksaan :

Tungkai difleksikan atau digantung (misalnya pada tepi tempat tidur), kemudian diketok

pada tendon m. kuadriseps femoris; dibawah atau di atas patella (biasanya di bawah patella).

Kuadriseps femoris akan berkontraksi dan akan mengakibatkan gerakan ekstensi tungkai

bawah . Lengkung refleks ini melalui L2 - L4.

Refleks patella

Refleks Achilles. Dalam bahasa Belanda refleks ini disebut Achillespeesreflex (APR).

Cara pemeriksaan :

Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya untuk

memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah itu tendong Achilles diketok. Hal ini

akan mengakibatkan berkontraksinya m.triseps sure dan memberikan gerak plantar fleksi

pada kaki. Lengkung refleks ini melalui S1-S2.

95

Refleks Achilles

96

5. Refleks Glabela.

Cara pemeriksaan :

Pukulan singkat pada glabela atau disekitar daerah supraorbitalis mengakibatkan kontraksi

singkat kedua otot orbikularis okuli. Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini menurun

atau negatif, sedangkan pada sindroma parkinson refleks ini meningkat. Pusat refleks ini

terletak di pons.

Refleks Glabela

6. Refleks Rahang bawah.

Cara pemeriksaan :

Penderita disuruh membuka mulutnya sedikit dan telunjuk pemeriksa ditempatkan melintang

di dagu. Setelah itu telunjuk diketok dengan hammer reflex, yang akan mengakibatkan

berkontraksinya otot maseter, sehingga mulut merapat/ menutup. Pusat refleks ini terletak di

pons.

Refleks rahang bawah

Klonus

Salah satu gejala kerusakan piramidal adalah adanya hiper-refleksi, bila hiper-refleksi ini

hebat dapat terjadi klonus. Klonus adalah kontaksi ritmik dari otot, yang timbul bila otot

diregangkan secara pasif. Klonus merupakan refleks-regang-otot (muscle stretch reflex) yang

97

meningkat, dan dapat dijumpai pada lesi supranuklear (upper motor neuron / piramidal). Ada

orang normal yang mempunyai hiper-refleksi fisiologis; pada mereka ini dapat terjadi klonus,

tetapi berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama (terus

berlangsung selama rangsang diberikan), hal ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap

sebagai rentetan refleks regang otot, yang meningkat. Pada lesi piramidal [UMN (upper motor

neuron), supranuklear] kita sering mendapatkan klonus dipergelangan kaki, lutut dan

pergelangan tangan.

Macam –macam klonus :

Klonus Angkle (kaki).

Cara pemeriksaan :

Dapat dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot triseps sure betis (untuk membuat

dorsofleksi berlebihan). Pemeriksa menempatkan tangannya ditelapak kaki penderita,

kemudian telapak kaki ini didorong dengan cepat (dikejutkan), sehingga terjadi dorso fleksi

sambil seterusnya diberikan tahanan ringan. Hal ini mengakibatkan teregangnya otot betis.

Bila ada klonus, maka terlihat gerakan ritmik (bolak – balik) dari kaki, yaitu berupa plantar

fleksi dan dorso fleksi secara bergantian.

Klonus ankle

Klonus patela.

Cara pemeriksaan :

Dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot kuadriseps femoris. Kita pegang patella

penderita, kemudian didorong dengan kejutan (tiba – tiba, dengan cepat) ke arah distal

sambil diberikan tahanan ringan. Bila terdapat klonus, akan terlihat kontraksi ritmik otot

kuadriseps femoris, yang mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan

ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan.

98

Refleks Superfisial

1. Refleks Kornea.

Cara pemeriksaan :

Kornea disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dibuat runcing. Hal ini

mengakibatkan dipejamkannya mata (m. orbikularis okuli). Pada pemeriksaan ini harus

dijaga agar datangnya kapas ke mata tidak dilihat oleh pasien, misalnya dengan

menyuruhnya melirik ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya kapas. Pada

gangguan n.V sensorik, refleks ini negatif atau berkurang. Refleks kornea juga

menghilang atau berkurang bila terdapat kelumpuhan m.orbikularis okuli, yang

dipersyarafi oleh nervus Vll (fasialis).

Refleks kornea

2. Refleks dinding perut superfisial.

Cara pemeriksaan :

Dibangkitkan dengan menggores dinding perut dengan benda yang agak runcing,

misalnya kayu geretan atau kunci. Positif, bila otot (m. rektus abdominins) berkontraksi.

Refleks ini dilakukan pada berbagai lapangan dinding perut, yaitu epigastrium (otot

yang berkontraksi diinervasi oleh Th 6, Th 7), perut bagian atas (Th 7, Th 9), perut

bagian tengah (Th 9, Th 11), perut bagian bawah (Th 11, Th 12 dan lumbal atas). Pada

kontraksi otot , terlihat pusar bergerak ke arah otot yang berkontraksi.

Refleks dinding perut superfisial

99

Pemerikssaan ini sering terjadi “ false negatif “ pada wanita normal dengan banyak anak

(multipara), orang gemuk, lanjut usia, bayi baru lahir sampai usia 1 tahun.

Pada orang muda, bila refleks ini negatif mempunyai nilai patologis. Bila refleks dinding

perut superfisial negatif disertai refleks-dalam dinding perut meningkat, hal ini

menunjukkan adanya lesi traktus piramidalis di tempat yang lebih atas dari Th 6. Refleks

ini biasanya mudah lelah, setelah beberapa kali dilakukan, akan menghilang.

3. Refleks Kremaster.

Cara pemeriksaan :

Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggores atau menyentuh bagian medial pangkal

paha. Akan terlihat skrotum berkontraksi . Pada lesi traktus piramidalis diatas L1, refleks

ini negatif; selain itu juga dapat negatif pada orang lanjut usia, penderita hidrokel,

varikokel, orkhitis atau epididimitis. Lengkung refleks melalui L1, L2.

Reflek, Kremester

4. Refleks telapak kaki (plantar reflex).

Cara pemeriksaan :

Kaki dilemaskan, kemudian telapak kaki digores dengan benda yang agak runcing. Pada

orang normal terlihat jawaban berupa kaki melakukan gerakan plantar fleksi. Pada orang

penggeli gerakan ini disertai gerakan menarik kaki. Pada lesi traktus piramidalis

( UMN), didapatkan gerakan atau jawaban : Dorsofleksi ibu jari kaki serta gerakan

mekar jari – jari (funning) lainnya. Hal ini disebut refleks patologis.

100

Refleks Patologis

Refleks patologis telapak kaki. Refleks patologis pada telapak kaki dapat dilakukan /

dibangkitkan dengan bermacam cara yang diberi nama (dikenal) sesuai dengan penemunya.

Antara lain :

Cara Babinski : Penderita berbaring dengan tungkai diluruskan. Kita pegang

pergelangan kaki supaya tetap pada tempatnya. Untuk merangsang

dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak runcing. Goresan

harus dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan nyeri, sebab

hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki (flight reflex). Goresan

dilakukan pada telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju

pangkal jari.

Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral maleolus.

Cara Gordon : dibangkitkan dengan memencet (mencubit) betis.

Cara Oppenheim : dengan mengurut kuat tibia dan otot tibialis anterior. Arah mengurut ke

bawah (distal).

Cara Gonda : dengan memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian

melepaskannya dengan sekonyong – konyong.

Cara Schaefer : dengan memencet (mencubit) tendon Achilles.

Cara Bing : dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit yang menutupi

metatarsal ke lima

”Positif “ jika terdapat gerakan “dorsofleksi ibu jari kaki”, yang dapat disertai dengan

“gerak mekarnya jari – jari lain (funning) “.

Refleks patologis

Dorsofleksi ibu jari kaki

funning

101

Disamping respon kaki yang terdiri atas dorso fleksi ibu jari kaki dengan pengembangan

serta ekstensi jari-jari kaki lainnya (funning), terdapat juga gerakan jari-jari kaki yang

befleksi sejenak pada sendi – sendi interfalangealnya (plantar fleksi) setiap kali telapak kaki

bagian terdepan diketuk – ketuk ( refleks Rossolimo) atau setiap kulit dorsum pedis yang

menutupi os cuboid diketuk – ketuk (refleks Mendel-Bechtrew).

Refleks patologis di tangan

Refleks Hoffman Trommer. Pada orang normal, refleks ini biasanya tidak ada atau

ringan saja, karena ambang refleks menjadi rendah dan kita dapatkan refleks yang kuat. Dalam

beberapa buku refleks ini masih dianggap sebagai refleks patologis dan senada dengan refleks

Babinski, meskipun mekanisme refleks fleksor jari – jari tangan sama sekali berbeda dengan

refleks Babinski. Ia merupakan refleks regang otot, jadi sama dengan refleks kuadriseps. Refleks

ini dapat positif pada lesi piramidal, atau akibat peningkatan refleks yang fungsional. Akan

tetapi, bila refleks pada sisi kanan berbeda dari yang kiri, maka hal ini dapat dianggap sebagai

keadaan patologis.

Reflek Babinski

Reflek Rossolimo

102

Refleks Hoffman

Cara pemeriksaan :

Tangan penderita kita pegang dengan pergelangan dan jari – jarinya di suruh fleksi

ringan. Kemudian jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan jari tengah kita.

Kemudian dengan ibu jari kita ‘gores- kuat’ (snap) ujung jari tengah penderita. “positip”

bila ibu jari, telunjuk, serta jari- jari lainnya fleksi sejenak setiap kali kuku jari tengah

pasien digores.

Refleks Trommer.

Cara pemeriksaan :

Tangan penderita dalam posisi supinasi relaks, selanjutnya kita stimulus dengan

mencolek-colek ujung jari tengah. Respon yang positif adalah berupa : jari telunjuk,

terutama ibu jari dan jari – jari lainnya berfleksi setiap kali ujung jari tengah tersebut

tercolek.

Refleks Hoffman Trommer

Refleks Leri.

Cara pemeriksaan :

Lengan pasien diluruskan dengan bagian ventralnya menghadap keatas. Kemudian kita

tekukkan dengan kuat (fleksi) jari – jari serta pergelangannya. Pada orang normal,

gerakan ini akan diikuti oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas pada siku. Refleks ini

akan negatif bila terdapat lesi piramidal. Tidak adanya refleks ini dinyatakan sebagai

”gejala Leri positif ”.

103

Refleks Mayer.

Cara pemeriksaan :

Pasien diminta untuk mensupinasikan tangannya, telapak tangan ke atas dan jari – jari di

fleksikan ringan serta ibu jari difleksikan ringan dan diabduksikan. Kemudian tangannya

kita pegang. Dengan tangan yang satu lagi kita tekukkan jari tengah dan menekannya

pada telapak tangan (fleksi maksimal). Pada orang normal, hal ini mengakibatkan aduksi

dan oposisi ibu jari. Respon seperti ini tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak

adanya respon seperti ini disebut sebagai ”gejala Mayer positif ”.

Refleks patologik petanda regresi Gerakan reflektori yang dibangkitkan secara fisiologik pada bayi tidak lagi dijumpai

pada anak – anak yang sudah besar. Bila hal ini dapat ditimbulkan kembali pada orang dewasa,

maka fenomena tersebut menandakan kemunduran fungsi susunan syaraf pusat. Refleks yang

menandakan proses regresi itu adalah :

Refleks menetek.

Stimulus : sentuhan jari pada bibir. Respons berupa gerakan bibir, lidah dan rahang bawah

seolah – olah menetek.

Snout reflex.

Stimulus : perkusi pada bibir atas, akan memberikan respons berupa gerakan bibir atas dan

bawah yang menjungur atau kontraksi otot – otot disekitar bibir atau bawah hidung.

Refleks genggam (grasp reflex).

Refleks ini normal pada bayi sampai usia kira – kira 4 bulan. Penekanan atau penempatan jari

pemeriksa pada telapak tangan pasien akan direspon dengan mengepalkan tangan(memegang

tangan pemeriksa).

Refleks palmomental.

Stimulus berupa goresan dengan ujung pensil atau ujung gagang palu refleks terhadap kulit

telapak tangan bagian tenar akan direspon dengan kontraksi m.mentalis dan orbikularis oris

ipsilateral.

104

BAB X

PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK

Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika tidak tahu adanya bahaya yang

mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat,

mendengar, mencium dan merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas dingin dan sebagainya.

Inilah yang disebut sistem sensorik. Sistem sensorik menempatkan manusia berhubungan

dengan sekitarnya. Pada dasarnya sistem sensorik dapat dibagi 5 jenis, yaitu :

A. Sensasi superfisial atau eksteroseptif :

1. Rasa raba

2. Rasa suhu

3. Rasa nyeri

B. Sensasi dalam atau propioseptif :

1. Rasa getar

2. Rasa posisi

C. Sensasi viseral atau interoseptif

D. Sensorik Khusus yang mencakup fungsi pembauhan,penglihatan, pengecapan,

pendengaran yang diatur oleh saraf kranialis.

E. Combined sensation atau rasa kombinasi :

1. Stereognosis

2. Barognosis

3. Graphestesia

4. Two point tactile discrimination

5. Sensory extinction

6. Loss of body image

Pemeriksaan sensoris bertujuan untuk:

1. Menetapkan adanya gangguan sensoris

2. Mengetahui modalitasnya

3. Menetapkan polanya

4. Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensoris (yang akhirnya

perlu dinilai secara integratif dangan hasil pemeriksaan dan penilaian gangguan motorik,

kesadaran dan syaraf otonom).

105

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan sensorik adalah:

1. Jarum pentul (untuk rasa nyeri)

2. Tabung reaksi yang berisi air hangat (40-45oC) dan dingin (5-10oC)

3. Kapas atau bulu (untuk rasa raba ringan)

4. Garpu tala (untuk rasa getar), digunakan 128 Hz dan 256 Hz

5. Untuk rasa tekan, kita menggunakan tekanan jari kita sendiri atau benda-benda lain yang

tumpul.

6. Untuk rasa gerak, kita gerakkan ibu jari tangan/kaki pasien dengan memegang pada

sampingnya.

Berikut ini adalah berbagai macam istilah modalitas sensorik

a. Analgesia, hipalgesia, hiperalgesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan rasa nyeri

b. Termoanestesia, termohipestesia, termohiperestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan rasa suhu

c. Anestesia, hipestesia, hiperestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan perasa raba ringan

d. Kinhipestesia, kinanestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan perasa gerak

e. Palhipestesia, palanestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan perasa getar

f. Stathipesthesia, statanestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan perasa sikap

g. Barhipestesia, baranestesia

modalitas rasa yang berhubungan dengan perasa tekan

h. Parestesia

rasa kesemutan

i. Disestesia-hiperptahia

rasa nyeri panas dingin tidak karuan

j. Stereognosis

pengenalan bentuk dan ukuran suatu benda dengan jalan perabaan dengan mata tertutup

k. Barognosia

hilangnya kemampuan untuk membedakn berat.

l. Grafestesia

pengenalan angka/huruf yang digoreskan diatas kulit dengan mata tertutup

106

Grafestesia Two point tactile discrimination Stereognosis

Supaya pemeriksaan sensibilitas ini dapat berlangsung dengan baik, maka ada beberapa

syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

a. Penderita itu harus sadar, kooperatif dengan kecerdasan yang cukup.

b. Pemeriksaan hendaknya dapat dilakukan secara santai dan penderita memejamkan mata.

c. Sebelum melakukan sesuatu uji, hendaknya terlebih dahulu diterangkan kepada

penderita, respons apa yang diharapkan dari penderita (misalnya pada pemeriksaan

perasa posisi (proprioseptif), respons yang diharapkan adalah “ke atas/ke bawah”).

PEMERIKSAAN

Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan lebih dahulu apakah ada keluhan

mengenai sensibilitas. Bila ada, penderita disuruh menunjukkan tempatnya (lokalisasi). Dari

bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah gangguan bersifat sentral, perifer atau

berbentuk dermatom.

Bila tidak terdapat persangkaan, bahwa pada penderita ini terdapat gangguan sensibilitas,

maka pemeriksaan itu dapatlah dilakukan dengan singkat. Tetapi bila terdapat persangkaan,

bahwa pada penderita itu ada gangguan sensibilitas, maka pemeriksaan itu hendaknya dilakukan

dengan teliti. .

CARA PEMERIKSAAN SENSIBILITAS Eksteroseptif.

Rasa raba

107

Untuk pemeriksaan ini, kita sentuh kulit penderita dengan kapas. Respons, yang kita

harapkan adalah, jawaban “ya”, bila kulitnya tersentuh. Sewaktu pemeriksaan kita

bandingkan keadaan perasa raba disisi kanan dengan yang di sisi kiri atau di bagian

proksimal dengan yang di bagian distal. Bila terdapat suatu perbedaan, misalnya di suatu

daerah terasa lebih baik daripada di daerah lainnya, maka pemeriksaan perasa raba di tempat

itu harus dilakukan dengan lebih teliti. Bila perasa raba di suatu tempat menurun, maka kita

katakan bahwa telah terdapat anestesia di daerah tersebut. Untuk menentukan batas lesi

maka kita raba dari yang mengalami penurunan rasa kearah yang rasanya normal.

Rasa suhu

Untuk pemeriksaan perasa suhu ini kita pergunakan tabung yang berisi air hangat

(40-45oC) dan tabung yang berisi air dingin (5-10oC). Dengan tabung-tabung ini kita sentuh

kulit itu secara silih-berganti. Respon yang kita harapkan dari penderia adalah

“panas/dingin.“ Bila perasa suhu itu terganggu, maka kita katakan bahwa di tempat

tersebut, terdapat termanestesia.

Rasa nyeri

Untuk pemeriksaan perasa nyeri ini kita pergunakan jarum pentul. Penderita hendaknya

dapat membedakan antara “tajam atau tumpul.” Bila perasa nyeri itu terganggu, maka kita

katakan bahwa di tempat tersebut terdapat analgesia.

Rasa raba Rasa suhu Rasa nyeri

Untuk pemeriksaan nyeri dalam dapat kita lakukan seperti berikut:

a. Pijat pada betis penderita

b. Pijat tendon Achilles

c. Pijat testikel. Propioseptif : Rasa posisi

108

Dalam pemeriksaan rasa posisi, kita gerakan jari kaki/tangan penderita secara pasif ke

atas atau ke bawah.

Pada awal dari uji ini, kita perbolehkan penderita melihat sendiri apa yang kita lakukan

pada jari-jari tangan atau kakinya. Kemudian penglihatannya kita halang-halangi dengan

kertas. Dengan memegang jari (tangan/kaki) itu di permukaan lateralnya lantas kita

gerakkan jari itu ke atas atau ke bawah.

Testing Proprioception

Rasa getar

Kita menggunakan garpu tala 128 Hz dan 256 Hz. Kita awali uji ini seperti berikut: Kita

taruh ujung gagang garpu tala kita yang bergetar di atas sternum penderita. Bila penderita

merasa adanya getaran, maka ia katakan : “Getar.” Bila penderita tidak merasa adanya

getaran, maka ia katakan “Tidak getar.” Kemudian kita tekankan ujung gagang garpu tala

yang bergetar itu pada: Bagian dorsal falang terakhir dari ibu jari kaki, pada maleolus, pada

tuberositas tibiae, pada spina iliaka anterior superior, pada falang akhir ibu jari tangan, pada

prosessus stiloideus radii dan ulna, pada epikondilus humeri, pada olekranon dan pada

akromion. Perasa getar (vibrasi) yang terganggu dinamakan palanestesi.

128 Hz tuning fork Testing vibratory sensation

Interoseptif

Rasa interoseptif adalah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), rasa yang timbul dari

organ-organ internal. Seseorang pasien mungkin mengemukakan gangguan perasaan berupa rasa

nyeri mules atau kembung. Nyeri visceral ini biasanya difus, tidak tegas lokalisasinya. Pada

109

pemeriksaan neurologi rasa interoseptif ini sukar dievaluasi dan diperiksa. Selain lokasinya yang

difus, kita tidak dapat melakukan tes pada organ yang letaknya dalam.

110

Rasa Kombinasi : Stereognosis

Stereognosis dan grafestesi adalah fungsi dari korteks serebri. Bila terdapat astereognosis

atau grafanestesia di suatu sisi tubuh maka dapat disimpulkan, bahwa ada lesi di korteks

serebri di sisi kontralateral.

Cara pemeriksaan :

Pada penderita, yang tidak memperlihatkan tanda-tanda gangguan sensibilitas seperti

misalnya anestesia, termanestesia atau gangguan proprioseptif, kita letakkan suatu benda

yang dipakainya sehari-hari di dalam tangannya. Dalam keadaan normal, penderita akan

dapat mengenal benda tersebut (misalnya kancing atau uang logam 100 rupiah) dengan

mudah.

Bila penderita tidak dapat mengenal benda tersebut maka kita katakan, bahwa ia

memperlihatkan astereognosis. Bila penderita dapat mengenal bentuk dan ukuran benda

itu, tetapi tidak dapat mengatakan nama benda tersebut, maka kita namakan keadaan itu

suatu agnosi taktil.

Grafestesia

Cara pemeriksaan :

Dengan pensil kita tulis suatu huruf atau suatu angka (penderita tentu tidak boleh buta

huruf) misalnya pada kulit di daerah telapak tangan lengan atau daerah paha penderita.

Dalam keadaan normal penderita dengan mudah akan dapat mengenal apa yang di tulis

itu.

111

Bila pada penderita tidak menderita gangguan sensibilitas, tetapi tidak dapat mengenal

apa yang di tulis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ia telah memperlihatkan suatu

agrafestesia.

Barognosis

Pengenalan berat suatu benda dengan mata tertutup.

Cara pemeriksaan :

Untuk memeriksa ini kita gunakan benda-benda yang bentuk dan ukurannya sama serta

terbuat dari zat yang sama, namun beratnya dibuat berbeda, misalnya dengan

menambahkan pemberat di dalamnya. Hilangnya kemampuan untuk membedakan berat

disebut baragnosia.

Two point tactile discrimination

Kemampuan untuk merasakan 2 (dua) tusukan pada tempat yang berbeda pada saat yang

sama dengan mata tertutup (jaraknya bervariasi tergantung tempatnya:

o Lidah ( 1 mm)

o Jaringan tangan bagian ujung ( 2-7 mm)

o Dorsum manus ( 20-30 mm)

o Telapak tangan (8-12 mm)

o Daerah dada, lengan bawah dan tungkai bawah ( 40 mm)

o Punggung, lengan atas dan paha ( 70-75 mm)

o Jari kaki ( 3-8 mm)

Sensory extinction

Hilangnya kemampuan untuk merasakan rangsangan pada satu sisi tubuh jika

secara serentak dirangsang pada kedua sisi tubuh yang berpasangan (simetris)

Loss of body image

Keadaan dimana pasien hanya memperhatikan / sadar terhadap salah satu sisi tubuhnya

saja. Ia tidak merasa mempunyai sisi tubuh yang lain.

112

Untuk lebih memahami arti klinis dari fungsi sensorik, dibawah ini adalah lokasi gangguan

fungsi sensorik beserta sindromanya.

113

114

BAB XI

PEMERIKSAAN SENSORIK KHUSUS

Root compression

• nerve root compression akut a tau kronis menimbulkan nyeri, dengan karakteristik

nyeri:

– Mengikuti distribusi dermatom

– Dapat disertai dengan gejala paresthesia atau sensory loss pada daerah dermatom

– Hilangnya kekuatan motorik dari otot yg disarafi oleh nervus yg terkompresi

tersebut.

• Nyeri pinggang merupakan keluhan tersering pada kompresi saraf

• Pada herniasi diskus intervertebra, onsetnya akut, radicular pain yang ditimbulkan atau

diperberat dengan gerakan atau dg batuk/bersin.

• Ischialgia pain bersifat difus dan pendrita sulit untuk menunjukkan lokasi nyeri secara

pasti. Nyeri sepanjang saraf ischiadicus, radicular pain .

N. Ischiadicus posterior

• Nyeri sepanjang paha posterior dan posterolateral tungkai (radiculopathy S1 atau L5)

• Iritasi S1 menimbulkan nyeri pada lateral kaki, sementara L5 nyeri pada dorsum kaki

dan ibu jari

N. Ischiadicus anterior

• Nyeri menjalar sepanjang paha bagian anterior (radiculopathy L3 atau L4).

• Nyeri L2 pd anteromedial paha.

Cervical radiculopathies

• Nyeri pada kompresi radiks C6 dan C7 menimbulkan nyeri menjalar dari leher dan

sekitar bahu menuju lengan atas/bawah . C6 radiculopathy menyebabkan nyeri sepanjang

dorsal ibu jari. C7 menimbulkan nyeri pada jari2 tengah

115

MOTORIK

116

SENSORIK

117

Persiapan

Sebelum melakukan tes provokasi n.ischiadicus pertama kali kita lihat adanya kelainan pada

sendi sakroiliaka :

yaitu PATRICK’S SIGN (FABERE SIGN=FLEXI,ABDUKSI,EKSTERNAL ROTASI,

EKSTENSI), dan CONTRA PATRICK’S SIGN.

Cara memeriksa Patrick’s sign

• Penderita dalam keadaan berbaring, maleolus eksterna (lateral) tungkai yang diperiksa

diletakkan pada patella tungkai yang lain, dilakukan penekanan lutut ke bawah.

• (+) ⇒ terasa nyeri pada sendi koksae.

Cara Memeriksa Contra Patrick’s sign

• Fleksi pada sendi lutut, kemudian kerjakan endorotasi serta adduksi, lalu tekan tungkai

tersebut sejenak pada lutut

• (+) ⇒ nyeri pada sendi sakroiliaka

• Tes Patrick’s dan contra patrick’s (+) pada penyakit sendi dan (-) pada gangguan

nervus ischiadicus

• Bila tes (+), tes provokasi pada n.ischiadicus tidak valid penilaiannya.

118

Tes Provokasi n.ischiadicus Ada 16 teknik pemeriksaan provokasi n. ischiadicus

1. Lasseque sign (Straight leg Raising Test = SLRT)

• Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut

• (+) bila terasa sakit menjalar mulai dari bokong sampai ujung kaki (perjalanan nervus

ischiadicus) pada sudut kurang dari 60 derajat

2. Croosed Lasseque

• Fleksi pada sendi paha yang tidak sakit dengan lutut tetap ekstensi

• (+) bila terasa nyeri pada sisi yg sakit

Tes Lasseque Silang

3. Reversed Lasseque

• Penderita posisi telungkup (pronasi), kemudian fleksikan lutut maksimal

• (+) bila terasa nyeri pada punggung menjalar ke sisi yg sakit.

4. Sicard’s sign :

• Dilakukan seperti pada tes lasseque dengan disertai dorsofleksi ibu jari kaki.

• (+) bila terasa nyeri sepanjang saraf ischiadicus

5. Bragard’s sign :

• Dilakukan spt pd tes lasseque dg disertai dorsofleksi kaki.

• (+) ⇒ terasa nyeri sepanjang n.ischiadicus.

119

6. Minor’s sign :

penderita pada posisi duduk, diminta untuk berdiri. pada saat berdiri, penderita

memfleksikan tungkai yang sakit, sambil satu tangannya memegang pinggang yang

sakit.

7. Neri’s sign :

penderita berdiri lurus, bila diminta membungkuk ke depan, tungkai yang sakit akan

ditekuk.

8. Sciatic tension test :

Dilakukan seperti pada tes lasseque, setelah timbul rasa nyeri dilakukan fleksi pada sendi

lutut kira2 20 derajat, kemudian dilakukan lagi fleksi pada sendi paha hingga timbul

rasa nyeri lagi. Penekanan pada fossa poplitea pada saat ini akan mengakibatkan

timbulnya rasa nyeri yg hebat pada daerah sepanjang n.ischiadicus

9. Chin-chest manuver :

Fleksi pasif pada leher sehingga dagu mengenai dada, akan terjadi tarikan pada akar

saraf terutama torakal bawah dan lumbal atas dan akan terasa nyeri.

10. Viets & Naffziger test :

Penderita dalam posisi tegak dilakukan penekanan pada v.jugularis dengan tangan

(Viets), tekanan dipertahankan sampai penderita mengeluh kepala terasa berat atau

minimal 2 menit atau penekanan dengan menggunakan manset sfigmomanometer pada

tekanan sebesar 40 mmHg selama 10 menit (Naffziger) akan nyeri radikuler pada akar

saraf yan g sakit.

120

11. Valsava test :

Dapat dilakukan pada waktu penderita duduk dan disuruh mengejan, responnya (+) bila

terdapat nyeri sepanjang n.ischiadicus.

12. Door bell sign :

Perkusi dengan hammer pada daerah lumbal bawah akan menyebabkan nyeri pada paha

dan tungkai (biasanya dirasakan nyeri pada daerah betis, tes ini diibaratkan kalau kita

menekan tombol bel, maka terjadi bunyi bel di tempat yang jauh)

13. Bonnet’s phenomenon :

Dilakukan seperti pada tes lasseque dengan disertai adduksi dan rotasi internal pada

tungkai akan nyeri sepanjang n.ischiadicus

14. Spurling’s sign :

Modifikasi tes lasseque dengan fleksi paha sampai pada sudut mendekati nyeri,

kemudian dilanjutkan dengan fleksi pada leher, akan timbul nyeri sepanjang

n.ischiadicus

15. O’Connell’s test :

Kedua paha difleksikan secara bersama2 sepert tes lasseque sampai pada sudut timbul

rasa nyeri. Kemudian tungkai yang normal (tidak sakit) diturunkan ke tempat tidur maka

terjadi eksaserbasi nyeri yg kadang2 disertai parestesia.

16. Kemp test :

Penderita pada posisi berdiri, diminta untuk melakukan gerakan laterofleksi, tulang

punggung (dalam ekstensi). (+) ⇒ terasa nyeri radikuler di sisi tubuh laterofleksi.

Cara Membangkitkan Nyeri untuk Menunjukkan Sumber Nyeri dapat dilakukan dengan :

a. Nyeri Tekan

Dapat terungkap dengan melakukan penekanan pada daerah keluhan. Nyeri yang timbul

bisa menunjukkan sumber nyeri, biasanya pada tempat tendon melekat pada tulang

(tuberositas), bagian tendon yang beralih ke otot, ototnya sendiri, fasia otot, kapsul, tulang

persendian, penonjolan tulang (epikondilus), tulang yang retak/patah, pembuluh darah dan

berkas syaraf (nervi periferes)

Tindakan pemeriksaan untuk membangkitkan nyeri tekan sekaligus menghasilkan nyeri

yang menjalar (nyeri syaraf) dikenal sebagai tindakan Tinel

Tes Tinel Terowongan Carpal

• Penekanan pada lig. Volare pergelangan tangan menimbulkan nyeri atau

parestesia di kawasan n. Medianus

121

• Apabila terowongan carpal menyempit seperti halnya denga sindrom carpal tunnel

Tes Tinel pd sulcus n.ulnaris

• Bilamana terdapat neurome nervus ulnaris atau entrapment neuritis di sulcus n.

ulnaris, maka penekanan pada n. Ulnaris di tempat tersebut akan menimbulkan

nyeri yang dirasakan berpangkal pada tempat penekanan dan menjalar sepanjang

perjalanan n. Ulnaris.

Tes Tinel pada lutut

• Caban g infrapatellar nervus saphenus yan g melewati bagian medial tuberositas

tibiae sering mengalmai trauma mekanik dan pada tempat itu dapat tumbuh

neuroma.

• nyeri pada lutut dapat disebabkan oleh penekanan pada neuroma secara tidak

sengaja.

• tes tinel pada lutut adalah penekanan pada n. Saphenus pada medial tuberositas

tibiae.

• Testersebut (+) bila pada penekanan timbul nyeri, di tempat penekanan yang

menjalar ke bagian perifer cabang n.saphenus tersebut.

b. Nyeri Gerak Pasif

Nyeri musculoskeletal dapat timbul pada waktu rehat, gerakan volunter, gerakan pasif atau

gerakan isometric yang dilakukan. Nyeri yang ditimbulkan pada gerakan pasif biasanya

menunjuk pada kapsul atau persendian yang menjadi sumber nyeri.

122

c. Nyeri Gerak Aktif

Bilamana suatu gerakan aktif membangkitkan nyeri, maka sumber nyeri terletak pada otot

atau tendon.

d. Nyeri Gerak Isometrik

Cara membangkitkan nyeri gerak isometric sama seperti melakukan test tenaga otot

dimana orang yang diperiksa disuruh untuk berkontraksi (fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi,

endorotasi/eksorotasi, supinasi atau pronasi) dengan melawan tahanan.

Beberapa Contoh Pemeriksaan untuk Sindroma Nyeri :

1. Tes Phalen

Jika terdapat penyempitan pada terowongan karpal di pergelangan tangan bagian volar

yang dilintasi cabang-cabang N. Medianus (pada Carpal Tunnel Syndrome), maka

penekukan tangan pada pergelangan tangan akan menimbulkan nyeri atau parestesia.

Kedua tangan pasien ditekukkan di sendi pergelangan tangan, kemudian menekankan

kedua dorsum manus satu dengan yang lain sekuat-kuatnya. Tangan yang merasakan nyeri

atau kesemutan mengungkapkan bahwa terowongan karpal menyempit

Tes Phalen

2. Tes Distraksi

Nyeri syaraf radikuler di daerah leher dapat terjadi karena kompresi pada radiks

dorsalis ditingkat servical. Jika kepala pasien diangkat, nyeri dapat lenyap atau berkurang

Tes Distraksi

123

3. Tes Kompresi ( lhermitte test)

Kepala pasien ditekan / dikompresi dalam berbagai posisi kepala (miring kanan, miring

kiri, tengadah, menunduk). Bila terdapat nyeri syaraf akibat kompresi di foramen

intervertebrale bagian servikal, maka kompresi pada kepala pasien akan menimbulkan

nyeri yang sesuai dengan tingkat kompresi.

lhermitte test

4. Tes Valsava

Pasien disuruh mengejan sewaktu pasien menahan napas. Tes ini positif apabila timbul

nyeri radikular yang berpangkal ditingkat leher dan menjalar ke lengan.

Tes Valsava

5. Tes Naffziger

Pasien disuruh mengejan dan kedua tangan pemeriksa menekan kedua vena jugularis,

pasien dalam posisi bediri atau berbaring. Jika ada proses desak ruang di kanalis

vertebralis maka radiks yang terbentang atau teregang mendapat perangsangan pada saat

dilakukan tes Naffziger, sehingga akan timbul nyeri radikuler yang melintasi kawasan

dermatomalnya

Tes Naffziger

124

BAB XII PEMERIKSAAN PENDERITA KOMA

Pada pennderita koma yang pertama kali kita pikirkan adalah apa kemungkinan

penyebab koma pada penderita tersebut. Tujuan pemeriksaan neurologis pada penderita koma

adalah untuk membedakan apakah komanya disebabkan oleh adanya lesi struktural atau karena

gangguan metabolik.

ANAMNESE

Pertama kali yang kita lakukan adalah menanyakan riwaayat sebelum penderita Koma yaitu :

1. Mulai kapan koma.

2. Gejala dan tanda sebelum panderita mengalami Koma (sakit kepala, trauma, minum

obat dll)

3. Riwayat penyakit dahulu.

4. Live Style ( drug,foot,toxic).

PEMERIKSAAN INTERN

Pada pemeriksaan intern harus dilakukan dengan teliti :

1. Tanda vital ( vital sign )

- Tekanan darah,nadi ,suhu badan, respirasi.

2. Bau pernafasan penderita (amoniak,aseton,alcohol,dll)

3. Kulit (turgor,warna,bekas injeksi dan luka-luka karena trauma).

4. Selaput mokosa mulut(adanya darah, bekas minum racun dll.

• Breathing pattern • Kelainan pupil • Refleks Cephalik • lateralisasi

Penurunan Kesadaran

Metabolik Neurologis

• Anamnesis • Defisit Neurologis • Meningeal Sign

125

5. Kepala :

- Keduduka kepala : Opistotonus (meningitis), miring kekanan atau kekiri ( tumor

fosa posterior)

- Apakah keluar darah dari hidung atau telinga ?

- Apakah ada tanda Brill hematoma, atau tanda mastoid (Battle Sign) ?.

- Apakah terdapat fraktur impressi dibawah rambut ?.

6. Leher.

- Apakah terdapat fraktur vertebra servikalis? Kalau yakin tidak ada

periksalah KAKU KUDUK

7. Toraks

- Periksalah jantung dan paru secara teliti

8. Ektremitas

- Apakah ada sianosis pada ujung jari ?.

- Apakah ada edema pada tungkai ?.

Untuk menetapkan proses di batang ontak pemeriksaanya adalah sebagai berikut :

• Observasi umum

o Jika penderita melakukan gerakan menelan,mengunyah,mengecap dan

membasahi bibir berarti fungsi batang otak masih baik.

o Gerakan multifokal (myoklonik jerk) menunjukkan kelainan yang sifatnya

difus (koma metabolik).

o Posisi lengan dalam keadaan fleksi (decorticate) ketika kita beri rangsangan

nyeri menunjukan lesi pada hemisfer yang berarti prognosa lebih baik.

o Pasisi lengan extensi (decerebrate) menunjukkan lesi pada batang otak,

prognosa lebih buruk.

• Pola pernafasan

o Cheyne – stokes (Periodic Breathing)

Pola pernafasan ini disebabkan karena proses di hemisfer (diencephalon) atau batang

otak bagian atas.

126

o CNH ( Central Neurogrnic Hyperventlation),Kussmaul, Biot.

Pola pernafasan ini disebabkan oleh karena proses yang terletak di antara

mesensephalon dan pons. Pola pernafasan ini menunjukka prognosis lebih buruk

bila dibanding Cheyne – stokes karena letak prosesnya lebih caudal.

o Pernafasan Apneustik (Apneustic breathing)

Ditandai suatu inspirasi yang dalam dan diikuti penghentian ekspirasi dalam

waktu yang lama.

Pola pernafasan ini disebabkan proses di pons, tentunya prognosisnya lebih

jelek dibanding CNH.

o Pola pernafasan Ataksik(Atacsic Breathing)

Ditandai pernafasan yang dangkal,cepat dan tidak teratur.

Pola ini terjado bila proses sudah sampai pada medula oblongata,sering

terlihat pada keadaan menjelang ajal (agonal).

• Reflek Cephalik

Batang otak merupakan tempat inti (nucleus central), maka dengan memeriksa

reflek-reflek yang melibatkan inti-inti tersebut kita dapat mengetahui letak proses

dibatang otak.

Reflek – reflek tersebut adalah :

o Reflek pupil ada dua yaitu reflek cahaya langsung dan tidak langsung bila

terdapat gangguan pada reflek pupil maka lesinya pada mesencephalon.

o Doll’s eye fenomen ( fenomena mata boneka / Oculo cephalic). Bila kepala

digerakkan kesamping maka bola mata akan bergerak berlawanan. Reflek ini

akan hilang bila letak proses di Pons.

127

o Reflek oculo auditorik (Auditory blink Reflex). Bila penderita dirangsang

dengan suara yang keras, maka penderita akan menutup matanya. Reflek ini akan

hilang bila Pons terganggu.

o Reflek oculovestibuler .( Kalori test). Reflek ini akan hilang bila Pons

terganggu.

o Reflek kornea. Memberikan rangsangan pada kornea akan terjadi penutupan

kelopak mata. Reflek ini akan hilang bila Pons terganggu.

o Reflek muntah. Dengan memberikan sentuhan pada dinding faring bagian

belakang akan menyebabkan reaksi muntah. Reflek ini akan hilang bila Medula

Oblongata terganggu.

• Reaksi terhadap Rangsang nyeri

Tiga cara yg dpt menimbulkan stimulus noxious (nyeri) pada penderita koma adalah :

1. Tekan kuat dengan ibu jari pada atap superior tulang cavum orbita.

2. Cubit nipple (puting susu ) pennderita dengan kuat.

3. Tekan kuat salah satu kuku jari penserita dengan pulpen

Penderita koma akan menunjukkan respon motorik yg mengindikasikan adanya refleks2

yg lebih luas.

Gerakan abduksi berarti fungsi hemisfer masih baik

Posisi decorticate terdiri atas adduksi lengan atas, fleksi lengan bawah.pergelangan

tangan dan jari. Posisi decerebrate terdiri atas adduksi lengan atas, ekstensi dan pronasi

lengan bawah, dengan ekstensi dari ekstremitas inferior

Secara umum, penderita dengan posisi decortcate memiliki prgnosis yang lebih

baik disbanding dengan penderita posisi decerebrate!!

• Fungsi traktus piramidalis

Traktus piramidalis adalah jaras yang paling panjang pada susunan saraf kita,

oleh karena itu bila terjadi kerusakan pada saraf pusat, amat sering terganggu. Bila

Traktus piramidalis tidak terganggu, kemungkinan besar koma yang kita hadapai adalah

koma metabolik.

128

Adanya gangguan pada traktus piramidalis dapat kita ketahui dengan melakukan

pemeriksaan sebagai berikut :

o Kelumpuhan ( paralisis). Kita dapat mengetahui adanya kelumpuhan pada

penderita koma dengan cara memberikan rangsang nyeri, memposisikan

penderita pada posisi yang sulit, tes lengan jatuh dan tes tungkai jatuh kemudian

kita lihat mana yang lebih aktif dan mana yang pasif..

o Reflek tendon. Pada lesi piramidalis (UMN) seharusnya reflek tendon akan

meningkat akan tetapi pada fase akut bisa menurun (spinal shock)

o Reflek Patologis. Pada lesi piramidalis (UMN) seharusnya reflek patologis positif

akan tetapi pada fase akut bisa negatif (spinal shock)

o Tonus. Pada lesi piramidalis (UMN) seharusnya tonus otot akan meningkat

(spastic)akan tetapi pada fase akut bisa menurun (spinal shock)

Untuk lebih memudahkan kita dalam memahami letak proses setinggi mana pada

penderita koma, dibawah ini kami berikan tabel tentang tahapan letak proses tersebut beserta

tanda dan gejalanya. ( Rostro Caudal syndrome )

Tahapan Rostro Caudal syndrome pada proses Herniasi

Stadium Klinis

Diensefalon Mesensefalon Pons Medulla Oblongata

Derajat Kesadaran

- Somnolens - Stupor

Koma Koma Koma

Pola pernapasan - Eupnea - Cheyne Stoke

CNH CNH Apneustic

Apneustic Ataxic

Tensi Stabil normal Tidak stabil Hipertensi Tensi drop Nadi Stabil normal Mulai

bradikardi Bradikardi Bradikardi

Suhu badan normal Mulai naik Hipertermia Hipertemia Kedudukan bola mata

Bergerak kian kemari konjugat

Strabismus divergen ipsilateral

Diam di tengah Diam di tengah

pupil Isokor Miosis

Anisokor iplisit Midrasis iplisit

Mid Position fixed (midriasis)

Midriasis ODS

Stadium Klinis

Diensefalon Mesensefalon Pons Medulla Oblongata

R. Cahaya +/+ +/- -/- -/- R. Bulu Mata +/+ +/+ -/- -/- R. Cornea +/+ +/+ -/- -/- R. Mata Boneka +/+ +/- iplisit +/- -/- R. Kulorik +/+ +/- iplisit +/- -/- R. Muntah +/+ +/+ +/+ -/- Sikap/tonus -Paratonia

-Decorticate R. Decorticate R. Decorticate R.

Decorebrate R. Flaccid

Neuro fokal + (unilateral) + (unilateral) Bilateral (sulit dinilai)

Sulit dinilai

129

BAB XIII

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

Evaluasi status mental merupakan penilaian fungsi kognitif yang sistematis. Status

mental sering kali tidak diperhatikan oleh penderita, keluarga maupun klinisi dan sering

dianggap suatu hal yang lumrah bila mengalami atau melihat seseorang menjadi pelupa,kognisi

yang nenurun dan dianggap hal yang biasa pada proses penuaan. Penurunan fungsi kognisi

merupakan salah satu bentuk defisit neurologis yang bisa merupakan tanda suatu penyakit yang

memerlukan penanganan yang segera (Stroke).

Pada pemeriksaan status mental dibutuhkan pemeriksaan yang berurutan oleh karena

untuk memeriksa fungsi memori tentunya penderita harus sadar dan Atensi juga harus baik. Jadi

urutan pemeriksaanya adalah sebagai berikut :

Pemeriksaan tingkat kesadaran Atensi dan Konsentrasi Orientasi Pemeriksaan fungsi bahasa Pemeriksaan memori Gnosis (pengenalan obyek) Praksis

PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN Tingkat kesadaran kita ukur dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale) yang

telah kita biarakan pada bab sebelumnya.

ATENSI DAN KONSENTRASI

Atensi adalah kemempuan untuk memusatkan perhatian pada masalah yang sedang

dihadapi.

Konsentrasi adalah kemampuan untuk mepertahankan pada fokus yang sedang

dihadapi.

Cara pemeriksaan :

• Tes mengulang angka

Pemeriksa menyebutkan angka dengan lambat dan jelas, satu angka satu detik

kemudian penderita disuruh mengulanginya. Saratnya angka yang disebutkan

tidak boleh berurutan.

130

Contoh

2-5-8 , 1-4-2-5, 4-2-6-8-2-9, 2-5-2-4-8-2-4-7-5 dst.

Dikatakan normal bila dapat mengulang enam sapai tujuh angka dengan benar,

bila tidak bisa dikatakan atensi atau perhatiannya kurang.

• Tes mengetukkan jari bila disebut angka atau huruf tertentu

Pemeriksa menyuruh pemderita untuk mengetukkan jarinya bila disebutkan

angka 5 atau huruf F kemudian pemeriksa menyebutkan dengan pelan dan jelas

satu angka atau huruf satu detik sederetan angka atau huruf yang didalam deretan

angka atau huruf tersebut terdapat angka 5 da n huruf huruf F.

Dikatan normal bila penderita dapat melakukan tanpa membuat kesalahan, bila

terjadi kesalahan mengetuk yang konstan berarti terdapat lesi pada lobus

frontalis.

ORIENTASI

Pemeriksaan orientasi dapat juga merupakan ukuran memori jangka pendek, dan

pemeriksaan orientasi meliputi :

• Orientasi tempat

• Orientasi waktu

• Orientasi orang

Kesalahan dalam orientasi mencerminkan memori jangka pendek juga terganggu.

PEMERIKSAAN FUNGSI BAHASA

Didalam berbahasa tercakup enam modalitas bahasa yaitu :

1. Bicara Spontan

2. Pemahaman (komprehensi)

3. Menamai (naming)

4. Mengulang (Repetition)

5. Membaca

6. Menulis

Bahasa merupakan instrumen dasar dalam komunikasi dan merupakan komponen

terpenting dari fungsi kognisi. Bila terdapat gangguan dalam berbahasa maka penilaian fungsi

131

Stimulasi auditif perifer Sistim auditif

Area auditif primer (girus Hischl) pd kedua

lubus temporalis

Hemisfer dominan

Hemisfer non dominan

Pusat Identifikasi kata AREA WERNICKE

Area asosiasi auditif

posterior lobus

temporalis sup

Corpus Calosum

kognisi yang lain seperti memori verbal,interprestasi pepatah (abstraksi), berhitung lisan dll.

Menjadi sulit dilakukan.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

TThhee mmaajjoorr llaanngguuaaggee cceenntteerrss ooff tthhee bbrraaiinn.. TThhee mmoottoorr aanndd sseennssoorryy aarreeaass aarree pprreesseenntteedd aass llaannddmmaarrkkss.. IInntteerrccoonnnneeccttiinngg ffuunnccttiioonnaall ppaatthhwwaayyss aarree iinnddiiccaatteedd bbyy lleetttteerrss:: AA)) TThhee ccoonnnneeccttiioonn bbeettwweeeenn WWeerrnniicckkee''ss aanndd BBrrooccaa''ss aarreeaass,, mmeeddiiaattiinngg eexxpprreessssiioonn ooff llaanngguuaaggee uutttteerraanncceess iinn ssppeeeecchh;; BB)) TThhee ccoonnnneeccttiioonn bbeettwweeeenn BBrrooccaa''ss aarreeaa aanndd tthhee pprriimmaarryy mmoottoorr aarreeaa;; CC)) CCoonnnneeccttiioonn bbeettwweeeenn pprriimmaarryy aauuddiittoorryy ppeerrcceeppttiioonn aanndd WWeerrnniicckkee''ss aarreeaa;; DD)) CCoonnnneeccttiioonn bbeettwweeeenn vviissiioonn aanndd WWeerrnniicckkee''ss aarreeaa,, mmeeddiiaattiinngg rreeaaddiinngg aabbiilliittyy;; EE)) CCoonnnneeccttiioonn bbeettwweeeenn ssoommaattoosseennssoorryy ppeerrcceeppttiioonn ((ttaaccttiillee,, ppaaiinn,, ccoolldd//hhoott,, ppoossiittiioonn sseennssee)) aanndd WWeerrnniicckkee''ss aarreeaa,, tthhiiss wwoouulldd mmeeddiiaattee llaanngguuaaggee ccoommpprreehheennssiioonn bbyy ttrraacciinngg lleetttteerrss oonn tthhee sskkiinn oorr rreeaaddiinngg bbrraaiillllee..

132

• suara diidentifikasi jadi bahasa pada area pengenalan kata (inferior lobus parietal

hemisfer dominan), pengenalan berdasarkan pengalaman masa lalu dan hubungan antar

simbol ⇒ Wernicke ⇒ area lain (enkoding)

• KOMUNIKASI : area identifikasi kata - serabut asosiasi - area enkoding motor

(posterior girus temporalis sup - area operkuler lobus frontal)

• impuls visual ⇒ pusat visual primer lobus oksipital kedua hemisfer ⇒ area asosiasi

visual (pengenalan dan identifikasi simbol bahasa) :

• dominan ke area identifikasi kata

• non dominan - menyilang ke hemisfer yg dominan melalui korpus kalosum

• Informasi penamaan obyek dari kedua area asosiasi visual ⇒ area pengenalan kata

hemisfer dominan ⇒ area wernicke

• AREA BROCA (Area enkoding motorik) = konversi preliminer simbol bahasa ke

aktivitas motor

• Informasi dari area broca ⇒ area motor primer hemisfer, untuk dikonversikan menjadi

gerakan motorik ⇒ BICARA

saat bersamaan : komunikasi antara area Broca dengan area motor suplementer

pada medial girus frontal superior ⇒ area motor primer

• Lengkung refleks area broca ⇒ area motor suplementer ⇒ area motor primer yang

bertanggung jawab terhadap kelancaran konversi informasi di area motor primer jadi

impuls yg memproduksi bicara (speech)

• Kaitan anatomi :

Area bahasa posterior = area kortikal, bertugas memahami bahasa lisan = AREA

WERNICKE

Area bahasa bagian frontal = produksi bahasa = AREA BROCA (area brodmann

44).

PEMERIKSAAN SISTEM BAHASA

Untuk lebih memahami dan mangerti tentang pemeriksaan berbahasa kita harus

menguasai terminologi yang penting dalam berbahasa :

• Disartria (pelo,cedal)

Merupakan gangguan pada artikulasi atau pengucapan kata. Hal ini disebabkan oleh

karena kontrol neuromuskular pada proses artikulasi.

133

• Disfonia (serak,bindeng)

Adalah kesulitan dalam mengeluarkan bunyi atau suara (fonasi).

• Disprosodi

Adalah gangguan pada irama berbicara yaitu ritme, intonasi dan melodi suara

terganggu seingga penderita berbicara monoton.(datar).

• Apraksia oral/apraksia bukofasial

Adalah ketidakmampuan otot-otot wajah dan otot-otot untuk berbicara melakukan

gerakan yang terampil. Kompreensi, tenaga otot dan koordinasi normal.

Misal : Penderita disuruh meniup lilin maka akan terjadi kesulitan untuk mengatur

bibirnyas agar dia bisa meniup dengan benar.

• Afasia

Adalah gangguan dalam berbahasa. Dalam hal ini penderrita mengalami gamgguan

dalam meproduksi dan memahami bahasa.

• Disfasia

Adalah gangguan berbasa dalam perkembangan. Terminologi ini digunakan bila

anak-anak mengalami keterlambatan dalam berbahasa yang tidak sebanding dengan

perkembangan fungsi kognintifnya.

• Aleksia

Adalah kehilangan kemampuan dalam membaca yang sebelumnya penderita mampu

membaca.

• Agrafia

Adalah kehilangan kemampuan dalam menulis yang sebelumnya penderita mampu

menulis.

Untuk memeriksa fungsi bahasa kita harus memeriksa keenam modalitas dalam fungsi

berbahasa tersebut sehingga kita dapat menggolongkan gangguan berbahasa tersebut.

• Perhatikan :

Bagaimana px berbicara spontan

Komprehensi (pemahaman)

Repetisi (mengulang)

Menamai (naming)

Membaca dan Menulis

134

Dan jangan lupa selalu menanyakan \ mencari sisi otak mana yg dominan (kidal atau tdk)

PEMERIKSAAN KELANCARAN BERBICARA

• Bicara lancar : lancar, spontan, tanpa tertegun untuk mencari kata yg diinginkan

• kelancaran bahasa verbal : refleksi efisiensi penemuan kata

• untuk mendeteksi masalah berbahasa ringan pada lesi otak yg ringan atau demensia dini

Tes Kelancaran

Menemukan kata (sejumlah kata dalam periode waktu tertentu), bandingkan dengan normal

Dipengaruhi usia, intelegensia dan tingkat pendidikan :

69 th ⇒ 20 nama hewan dalam 1 menit (normal)

70 th ⇒ 17

80 th ⇒ 15,5

menyebutkan nama benda yg berawalan huruf tertentu

Pemeriksaan Pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

• Percakapan : kemampuan memahami pertanyaan dan suruhan yg diberikan pemeriksa

• Suruhan : serentetan suruhan (sederhana - sulit)

• Yes / no question

• Menunjuk : menunjuk benda tertentu

Pemeriksaan Repetisi (Pengulangan

• Menyuruh pendrita mengulang, mulai dari kata yg sederhana (satu patah kata) - banyak

kata (satu kalimat)

• normal : mampu mengulang kalimat yg mengandung 19 suku kata

• gangguan kemampuan mengulang ⇒ kelainan patologis pada daerah peri-sylvian

• bila gangguan (-) ⇒ peri-sylvian bebas dari kelainan Patologis (p.u. Di perbatasan

vaskuler (area water - shed)

Pemeriksaan penamaan dan menemukan kata

• Kesulitan menemukan kata = kemampuan menyebut nama (menamai) ⇒ ANOMIA

• Mencakup kemampuan penderita menyebut :

o Nama obyek - simbol matematik

o Bagian dr obyek - nama tindakan

135

o bagian tubuh

o warna

o gambar geometrik

• Obyek lazim atau yang langka ditemui

• Bila penderita kesulitan, dapat dibantu denga memberikan suku kata pemula dengan

menggunakan kalimat penuntun atau melukiskan / memperagakan kegunaannya atau

memilih diantara jawaban

• Perhatikan jawaban yg diberikan : cepat atau lamban atau tertegun atau neologisme

• Penderita yang AFASIA selalu AGRAFIA, dan sering ALEKSIA ⇒ pemeriksaan baca

dan tulis bisa dipersingkat.

• Penderita yang tidak afasia ⇒ pemeriksaan baca - tulis harus dilakukan sepenuhnya

(karena dpt terjadi terpisah, tanpa afasia)

KLASIFIKASI AFASIA

• Menurut manifestasi klinisnya :

– Afasia yang lancar (bicara lancar, artikulasi baik, irama baik, namun isi bicara

tdk bermakna dan tanpa isi), parafasia (kata sering salah)

• Afasia Reseptif/sensorik (Wernicke)

• Afasia Konduksi

• Afasia amnesik (anomik)

• Afasia transkortikal

– Afasia yang tidak lancar (bicara terbatas, artikulasi buruk)

• Afasia ekspresif/motorik

• Afasia global

• Menurut lesi anatomiknya

– Sindrom afasia peri - silvian

• Afasia Broca (ekspresif)

• Afasia wernicke (reseptif)

• Afasia konduksi

136

kelancaran Pemahaman Pengulangan jenis

Lancar

Baik

Buruk

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Buruk

Buruk

Buruk

Buruk

Buruk

Tak Lancar

Anomik

Konduksi

Transkortikal sensorik

Wernicke

Transkortikal motorik

Broca

Transkortikal camp

Global

– Sindrom afasia daerah perbatasan (border zone)

• Afasia transkortikal motorik

• Afasia transkortikal sensorik

• Afasia transkortikal campuran

– Sindrom afasia subkortikal

• Afasia talamik

• afasia striatal

– Sindrom afasia non - lokalisasi

• Afasia anomik

• Afasia global

Gambaran Klinis Afasia Global

• Paling berat

• beberapa patah kata yang stereotipi

• komprehensi menghilang atau terbatas

• Repetisi, baca, tulis terganggu berat

• akibat lesi luas pd semua daerah bahasa (oklusi arteri karotis interna atau arteri cerebri

media pada pangkal)

• disertai hemiparese/plegi

137

Afasia broca

• Disebabkan lesi daerah broadmann 44 dan sekitarnya (melibatkan operkulum frontal -

area brodmann 45 dan 44, substansia alba frontal dalam), lesi di korteks peri - rolandik

(t.u. Daerah brodmann 4)

• Disertai perubahan emosional (frustasi dan depresi)

Afasia Wernicke

• Hemiparese +/-, tanpa hemiparese sering diduga penderita psikosis

• akibat lesi di daerah bahasa posterior girus temporal superior

• Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, tapa kata kompleks terganggu (lesi daerah

lobus parietal)

• Dapat juga karena lesi subkortikal - ismus temporal yang memblokir signal aferen

inferior ke korteks temporal

Afasia Konduksi

• Akibat terputusnya hubungan antara area wernicke dan broca, gangguan girus

supramarginal, lesi substansia alba subkortikal parietal inferior, fasikulus arkuatus yang

menghubungkan korteks temporal dan frontal

138

Afasia transkortikal

• Fluent (SENSORIK), pemahaman buruk, repetisi baik, ekolalia, komprehensi auditif

dan membaca terganggu, defisit motorik dan sensorik jarang, defisit lapangan pandang .

• Nonfluent (MOTORIK), pemahaman baik, repetisi baik, output terlambat, ungkapan

singkat, parafasia, ekolalia nonfluent, komprehensi buruk, repetisi baik, ekolalia >>

(CAMPURAN)

• Oleh karena lesi luas berupa infark berbentuk bulan sabit, dalam zona perbatasan antara

pembuluh darah serebral mayor (lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan

media)

• Afasia transkortikal motorik oleh karena. Lesi di perbatasan anterior yg menyerupai

huruf C terbalik,

• Tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 & 44 dan

sekitarnya), korteks peri sylvian parietal (repetisi)

• Etiologi tersering :

• Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun (cardiac arrest)

• Oklusi atau stenosis berat arteri karotis

• Anoksia oleh keracunan CO

• Demensia

Afasia Anomik

• Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik (lesi

kortikal / subkortikal)

• Anomia dapat ringan, sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat

pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong.

• Prognosis untuk penyembuhan bergantung beratnya defek inisial

139

MEMORI

Memori adalah status mental yang memungkinkan seseorang menyimpan informasi

untuk dipanggil kembali dikemudian hari. rentang waktu untuk memanggil kembali bisa singkat

berapa detik (seperti pada tes mengulang angka), atau setelah bertahun – tahun seperti

mengingat kembali pengalaman masa kanak- kanak.

Gangguan memori merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada penderita

dengan sindrom mental organik. Hampir semua penderita dimensia menunjukkan masalah

memori dini pada perjalanan penyakitnya.

Memperhatikan secara seksama hasil tes memori sering dapat mengungkapkan adanya

gangguan organik sebelum terlihat kelainan pada pemeriksaan neurologi rutin. Hal ini

disebabkan karena berbagai penyakit organik mengakibatkan berbagai gangguan jenis memori,

misalnya defisit memori yang terisolasi pada sndroma korsakof, ganggua n memori disertai in-

atensi dan agitasi pada kadaan konfusi kacau, atau gangguan memori baru disertai disfungsi

kognitif umum pada dimensia. Pada tiap kelainan ini mekanisme patofisiologi gangguan memori

berbeda. Memori verbal dapat terganggu pada lesi unilateral hemisfer kiri dan memori visual

nonverbal dapat terganggu pada lesi hemisfer kanan yang unilateral.

Tidak semua gangguan memori disebabkan oleh kelainan organik. Faktor psikiatrik

terutama depresi dan anxietas dapat juga mempengaruhi fungsi memori dan kognitif. sering

keluhan memori pada usia lanjut lebih berkaitan dengan keadaan

afektif dari pada faktor neurologi. penderita yang depresif dan cemas dan juga penderita dengan

gangguan psikiatrik sering mengalami gangguan memori.

Pada pemeriksaan memori diperlukan kooperasi dan kinerja maksimal, sedangkan

penderita dengan gangguan emosional sering kali kinerjanya buruk. Karena itu dapat terjadi

kesalahan dalam mendiagnosis, yang seharusnya depresi dianggap sebagai demensia atau

sebaliknya . mendeteksi atau memngungkapakan masalah memori pada penderita dengan

kelainan psikiatrik adalah sulit namun dengan evaluasi neurologis, psikiatrik dan psikologis

hampir selalu dapat membimbing kediagnosis yang benar.

Proses Memori Pertama-tama informasi diterima oleh modalitas sensorik khusus misalnya raba, dengar,

visual dan diregistrasi. selanjutnya memori ini disimpan sebentar dimemori jangka pendek

(memori kerja). Langkah kedua terdiri dari menyimpan dan mempertahan kan informasi dalam

bentuk yang lebih permanen (memori jangka panjang ). Proses penyimpanan ini dapat

ditingkatkan melalui pengulangan (repetisi) atau oleh penggabungan dengan informasi lain

yang sudah disimpan sebelumnya. Penyimpanan merupakan proses aktif yang membutuhkan

140

upaya melalui praktek dan latihan. Langkah akhir pada proses memori adalah memanggil

kembali (recal) menjumput (retrival) informasi yang telah disimpan. Langkah menjumput

merupakan proses yang aktif , memobilisasi yang telah disimpan. Tiap tahapan pada seluruh

proses memori bertumpu pada integritas langkah-langkah sebelumnya. Bila terdapat interupsi

atau gangguan dalam urutanya, hal ini dapat menghalangi penyimpanan atau penjumputan

memori sehingga aka terjadi gangguan memori.

Pembagian Memori :

Memori Segera

Memori segera atau pemanggilan segera merupakan pemanggilan setelah rentang waktu

beberapa detik, seperti pada pengulangan deretan angka.

Memori baru/ janka pendek ( rescent memori) Kemampuan penderita untuk mengingat kejadian yang baru terjadi, kejadian sehari-hari

( misalnya hari, tanggal, sarapan pagi atau kejadian yang baru terjadi). Lebih tegas lagi

memori baru adalah kemampuan untuk mengingat materi yang baru dan menjumput

materi tersebut setelah interval beberapa menit , jam atau hari.

Memori Rimot ( jangka panjang)

Kemampuan mengumpulkan fakta atau kejadian yag terjadi bertahun – tahun

sebelumnya, seperti nama guru atau nama teman waktu kecil dulu.

Amnesia

Kelainan pada fungsi memori, rentang waktu amnesia dapat singkat ( beberapa detik) atau lama

sampai bertahun – tahun. Kejadian ini sering terjadi pasca trauma kepala, stroke.

Amnesia antegrade adalah ketidak mampuan memepelajari materi baru setealah jejas otak

Amnesia retrograd berarti amnesia terhadap kejadian sebelum terjadinya jejas pada otak.

Amnesia psikogenik

Amnesia dapat juga berbentuk amnesia psikogenik. Dalam hal ini pasien memblok suatu kurun

waktu. pasien ini tidak menunjukkan defisit memori baru, ia dapat mempelajari aitem baru

sewaktu periode amnesia dan setelah periode amnesia berlalu, dan tidak menderita defek pada

memori jangka panjang dan pendek (recent) bila di tes. hilangnya memori yang berdasarkan

keadaan psikologis mengakibatkan lubang-lubang pada memori terhadap kejadian sewaktu

adanya amnesia. Kadang pasien dapat mengingat sebagian dari periode amnesia yang tidak

bermuatan trauma emosional, namun akan memblok kejadian yang secara emosional traumatik.

141

Pemeriksaan Pada pemeriksaan memori tiap aspek pemerikasaan memori harus diteliti yaitu memori

segera, memori jangka pendek \ memori baru dan memori rimot. Dalam menilai memori perlu

disadari bahwa tes memori memerlukan pemusatan perhatian, dengan demikian pada pnederita

yang in-atensi pemeriksaan tidak valid. demikian juaga dengan gangguan fungsi sensorik dan

motorik serta gangguan fungsi bahasa yang mengganggu komprehensi dan kemampuan ekspresi,

juga akan mengganggu kinerja serta hasil tes memori.

Pemeriksaan memori segera ( immediate recall)

Dilakukan dengan cara mengulang angka.

Cara pemeriksaan :

penderita diberitahu untuk menyebutkan angka yang telah pemeriksa sebutkan. Mula-

mula dengan menyebutkan dua angka, tiga angka, dan seterusnya. pemeriksa harsu

menyebutkan angka dengan jelas, dengan kecepatan satu angka satu detik.

contoh aitem tes : 4-7; 3-6-8; 1-3-7-3; 2-5-3-6-7; 2-7-4-7-8; 1-5-7-4-8-4-1 dst

Skor orang dengan intelegensi rata-rata dapat dengan akurat mengulangi 5 sampai 7 angka tanpa

kesulitan. bila dapat mengulang kurang dari 5 angka maka terjadi gangguan memori segera.

Pemeriksaan memori baru ( rescent memori )

Pemeriksaan memori baru mencakup pemeriksaan memori verbal dan visual.

memori verbal

Cara pemeriksaan :

Pemeriksa memeriksa orientasi penderita dengan menanyakan :

Indetitas pribadi ( nama, umur , tangal lahir dll )

Tempat ( dimana saat ini berada, apa nama tempat ini dll.)

Waktu ( pagi, siang, sore, tanggal, tahun dll.)

Orang yang normal dapat melakukan tes ini tanpa mengalami kesulitan, akan tepai ada juga

yang mengalami kesulitan dalam memahami waktu dan ini tergantung juga pada edukasi

penderita.

Tes dengan empat kata yang tidak berurutan

Katakan pada penderita “ saya kan menyebutkan 4 patah kata yang anda harus sebutkan

makanya harus dingata baik-baik, Beberapa menit lagi saya akan menit lagi saya akan

menanyakan apa yang telah saya katakan.” Untuk memastikan penderita mengerti dan

142

memahami suruh penderita mengulang apa yang telah kita katakan. kemudian penderita diberi

tugas lain agar dia tidak mengulang kata tersebut didalam hatinya. setelah berselang 5 menit,

suruh penderita menyebutkan 4 kata tadi.

Aitem test yang dapat diberikan :

cokelat, jujur, mawar, lengan

lucu, wortel. tumit, setia

bila penderita tidak dapat menyebutkan suatu kata maka dapat kita bantu dengan beberapa cara

yaitu :

Bantuan semantik, sehubungan dengan jenis obyek, misalnya salah satu katanya

mengenai warna.

Batuan fonem, kata yang belum anda sebut mengandung : suku kata ju ( jujur).

Bila penderita masih tidak mampu menyebutkan kata tadi maka pmeriksa dapat memberikan

sederetan kata-kata yang memuat kata yang harus disebutkanya kembali, misalnya : merah hijau,

cokelat kuning, biru.

Bila kemampuan penderita lebih baik mengenala daripada menyebutkanya secara sepontan

maka hal ini menunjukkan problem memori pada masalah penjumputan (retrieval) fari pada

akuisisi atau defisit penyimpanan.

orang normal dibawah 60 tahun dapat menyebutkan kembali 3 atau 4 kata setelah sepulu menit

berlalu. Teradapat variasi yang besar pada populasi normalpada hasil tes ini ( SD. 0,8 kata) jadi

implikasi klinik pada skor yang rendah ( misalnya 2 dari 4) harus dilihat dan diinterprestasikan

dengan memperhatikan seluruh pemeriksaan lainnya.

Memori visual.

Seharusnya dilakukan pada semua penderita karena tes ini bisa dilakukan pada panderita afasia

juga pada penderita dengan gangguan fungsi verbal.

Cara pemeriksaan :

Pemeriksaan dengan menggunakan 5 obyek kecil, yang dapat dengan mudah

disembunyikan disekitar penderita, misalnya : pensil, sisir, mata uang sendok dll. obyek

ini disimpan disekitar penderita misalnya dibawah kursi, dibawah bantal, didalam laci di

kantung pemeriksa. Sewaktu disembunyikan penderita melihatnya, kemudian perhatian

penderita dialihkan dengan cara penderita diajak bicara dengan diberikan beberapa

pertanyaan, setelah berselang 5 menit penderita kita tanyakan benda yang kita simpan

tadi dan dimana tempatnya.

143

skor memori visual.

Orang normal berusia diawah umur 60 tahun dapat menyebutkan 4 atau 5 obyek yang

disembunyikan setelah 5 menit tanpa kesulitan. penderita usia 70 – 90 tahun kurang mampu

melakukanya . apabila penderita mampu melakukan kurang dari 3 obyek maka dapat dikatakan

telag terjadi gangguan memori.

Memori Rimot ( jangka panjang)

Tes mengenai memori rimot dapat mengenai informasi pribadi, pentahuan umum dan sejarah.

Data pribadi memerlukan verifikasi dari orang lain yang mengetahui. Pengetahuan umum dan

sejarah dipengaruhi oleh tingkat edukasi, pengalaman sosial dan intelegensi premorbid.

Pertanyaan yang dapat diajukan mengenai diri pribadi adalah :

Dimana anda dilahirkan ?

Kapan anda dilahirkan ?

dimana anda sekolah SD,SMP,SMA?

Apa saja pekerjaan anda? kapan ? dimana ?

Siapa nama istri anda ? anak ? berapa anak anda ? siapa nama ibu anda ?

Informasi pribadi umumnya dapat diselesaikan dengan baik oleh orang normal atau penderita

dengan gangguan yang ringan. Kinerja yang buruk mengkin menunjukkan keadaan patologik,

namun kita tidaka dapat menilai jenisnya.

Pengetahuan umum , fakta sejarah.

pemeriksaanya dapat dilakukan dengan cara :

Sebutkan nama empat wakil presiden RI ! mulai saat ini dengan urutan kebelakang.

Tes ini sering sukar dilakukan pada penderita Alzaimer dini.

Sebutkan kerusuhan terakhir yang beritanya tersebar luas disetiap media mas a di seluruh

Indenesia !! kapan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia ?

Implikasi Klinik

Beberapa aspek proses memori terjadi pada bangunan neuroanatomi tertentu atau sistem

neuronal. Penelitian patologik anatomi telah banyak mendokumentasikan bahwa bangunan

Limbik terlibat dalam pemnyimpanan jangka panjang dan penjumputan informasi baru (recent).

namun demikian, bangunan yang berperan untuk pemanggilan – kembali segera dan memori –

144

rimot belum dapat ditentukan. Walaupun jejak memori visual, verbal dan taktil mungkin sekali

disimpan di neo – korteks, banyak bangunan subkortikal dibutuhkan untuk proses total dari

memori (regstrasi, penyimpanan dan penjumputan). kerusakan pada berbagai sistem kortikal

atau subkortikal akan mengakibatkan berbagai pola gangguan fungsi.

Perhatian, berbahasa dan memori merupakan dasar dari proses yang menjadi pondasi

dari perkembangan fungsi intelektual yang lebih tinggi. Fungsi kognitif yang lebih tinggi

mencakup manipulasi bahan yang telah dipelajari, pemikiran abstrak, menyelesaikan masalah

(problem solving), menghitung dsbnya. Fungsi neuropsikologi yang kompleks ini bertumpu

pada integrasi serta interaksi dari proses yang lebih dasar. Fungsi kognitif yang lebih tinggi ini

sering sangat rawan terhadap akibat penyakit saraf. Evaluasi fungsi, kognitif yang lebih tinggi

pada pemeriksaan status mental, dapat menunjukkan akibat dini dari kerusakan kortikal,

sebelum proses yang lebih dasar, yaitu atensi, berbahasa dan memori terganggu.

APRAKSIA

Figure Caption: The major cortical brain centers involved in the control of movement.

Subcortical centers include the cerebellum, basal ganglia and substantia nigra

Praksis Konstruksional

• Praksis adalah integrasi motorik yang digunakan uutuk melakukan gerakan kompleks

yang bertujuan.

• Tugas konstruksional : menggambar garis dan balok, berguna dalam deteksi penyakit

otak organik (HARUS DIMASUKKAN DLM PEMERIKSAAN STATUS MENTAL)

145

• Ketidak mampuan melakukan tugas konstruksional disebut apraksia konstruksional

• kemampuan konstruksi :

– menggambar atau membangun gambae atau bentuk 2 - 3 dimensi

– mencontoh atau menyalin gambar garis dengan pensil dan kertas

– merekonstruksi bangunan balok

• Merupakan fungsi kognitif non - verbal tingkat tinggi ⇒ tugas motorik perseptual

komplek (melibatkan integrasi fungsi lobus occipital - parietal - frontal)

Karena daerah kortikal yang dibutuhkan luas dalam melaksanakan konstruksional maka lesi

otak dini dan ringan sudah menunjukkan gangguan.

PEMERIKSAAN

• Menggambar segi empat

• Mereproduksi bangunan geometri dengan pensil dan kertas

• menggambar secara spontan

• Reproduksi pola dengan menggunakan batang korek api

• Membuat konstruksi dari balok 3 dimensi

• Tugas analisa spasial, yaitu pasien diminta menandai bagian yg bertindihan.

Implikasi Klinis

• Kemampuan konstruksional merupakan fungsi kortikal terintegrasi tinggi yg primer

dilaksanakan oleh lobus parietal.

• Gangguan kinerja konstruksional ⇒ diduga adanya penyakit pada bagian posterior

hemisfer serebral (meskipun daerah lain dapat juga ikut terlibat).

Apraksia

• Adalah gangguan didapat pada gerakan motorik yg dipelajari dan berurutan , yang bukan

disebabkan oleh gangguan elementer pada tenaga, koordinasi, sensorik atau kurangnya

pemahaman (konprehensi) atau atensi.

• Hendaya (impairment) daalm seleksi dan organisasi inervasi motorik yang dibutuhkan

untuk melakukan suatu aksi.

• Apraksia bukan gangguan motorik tingkat rendah, tatapi defek dalam perencanaan

motorik (langkah2 integratif yang dibutuhkan pada gerakan terampil atau yang

dipelajari)

146

• Klasifikasi apraksia berdasarkan kerumitan (kompleksitas) dan sifat dari tugas yang

dilaksanakan.

Macam - macam Apraxia

• Apraxia ideomotor

• Apraxia ideasional (lesi cerebral difus)

• Cortical motor apraxia

• Apraxia agraphia (lesi di writing center exner 89)

• Apraxia swallowing (menelan), contoh ceguken

• Apraxia gaze dan head-neck (apraxia dlm melirik, lesi pd area 8)

• Apraxia tangan dan jari (dressing apraxia)

1. Apraksia Ideomotor

• Jenis yang paling sering dijumpai.

• Tidak mampu melakukan gerakan motorik yangg sebelumnya pernah dipelajari dan

dapat dilakukan dengan benar.

• ketidak mampuan lobus frontal untuk menerjemahkan aksi menjadi gerakan

mortorik.

• Gangguan dapat dilihat pada otot buko-fasial, ekstremitas superior / inferior, atau

otot badan.

• Misal :

– Penderita tidak mampu memperagakan bagaimana minum dengan

menggunakan sedotan

– Tidak mampu meniup api.

Apabila penderita gagal melakukannya maka terjadi apraksia bukofasial

– Kesulitan dalam gerakan lengan atau tungkai (“Beri hormat !”, “Peragakan

bagamana menendang bola!”)

Apabila penderita gagal melakukannya maka terjadi apraksia anggota gerak

– Kesulitan menggerakkan tubuh (“Peragakan bagaimana sikap seorang petinju

menangkis serangan lawan”)

147

Apabila penderita gagal melakukannya maka terjadi apraksia gerak tubuh

seluruhnya

• Penderita apraksia ideomotor mungkin tidak mampu memejamkan mata atas suruhan,

namun dapat mengedipkan mata secara spontan, tidak mampu menjulurkan lidah atas

perintah, namun gerakan lidahnya adekuat bila berbicara.

• Penderita mungkin mengalami kesulitan melaksanakan tugas yang sederhana

(berpakaian, menyisir rambut, menggunakan alat makan).

PEMERIKSAAN

• Bukofasial

– Bagaimana meniup lilin yg menyala

– Menjulurkan lidah

– Minum melalui semprit

• Anggota gerak

– Memberi hormat

– Mengetok palu

– Menyisir rambut

– Menendang bola

• Seluruh tubuh

– Melakukan smash pada bulu tangkis

– Sikap seorang petinju

Implikasi Klinis

• Berasosiasi erat dengan fungsi bahasa pada hemisfer yang dominan

• Pemahaman verbal merupakan prasarat dari penilaian praksis

• Bila suruhan telah dipahami, informasi meluas ke girus supramarginal yang letaknya

berbatasan (misal hembus lilin menyala) di asosiasikan dengan memori kinetik (gerakan)

yang berada di korteks parietal posterior - rolandik.

• Memori darr gerakan ditransfer ke daerah pre motor tempat memori bagi pola motorik

dicetuskan.

• Daerah premotor kemudian mengarahkan neuron piramid di daerah motor untuk

melaksanakan aksi

148

• Lesi di salah satu titik di sepanjang jalur akan menyebabkan apraksia ideomotor

2. Apraksia Ideasional

• Adalah gangguan perencanaan motorik yang kompleks (lebih tinggi dari ideomotor)

• Kegagalan dalam melaksanakan tugas yang mempunyai berbagai komponen yang

berurutan

• Penderita tidak mampu memformulasikan rancangan aksi (plan of action). Perintah

melakukan aksi jelas dipahami, namun penderita tidak mampu merencanakan rentetan

aktivitas yang diperintah.

• Contoh :

– Pendrita disuruh menuangkan air dari teko ke dalam gelas, penderita mungkin

gagal menuangkan air, an mungkin mengangkat gelas ke bibir atau mengangkat

teko dan minum langsung dari teko.

– Menyalakan lilin dengan korek api (Tahapannya : korek menyala - lilin

dinyalakan - korek ditiup untuk memadampak api), penderita dapat melakukan

gerakan tersebut tapi kacau urutannya.

Implikasi Klinis

• Sering dijumpai pada penderitadengan penyakit otak bilateral (penyakit kortikal difus,

t.u. Lobus parietal)

• Ketidakmampuan mengetahui kegunaan suatu obyek ⇒ agnosia obyek (px berusaha

menyalakan lilin dengan menggesekkan lilin pada kotak korek api)

• Apraksia idesional umumnya tidak sendiri, namun dijumpai bersama deteriorasi

intelektual luas.

3. Cortical Motor Apraxia

• Penderita dapat melakukan tindakan sesuai perintah hanya lebih lamban

– Apraxia Speech

– Musical apraxia

149

AGNOSIA

• Figure Caption: Sensory areas of the cortex. Represented here are somatosensory

perception (touch, hot/cold, position), vision and hearing. The dark blue sections represents

brain areas that mediate the association of these perceptions. The colored areas in the

figure on the right depict the injured areas of the occiptal and temporal lobes associated

with prosopagnosia (inability to recognize faces).

Definisi

• Gagal mengenal suatu obyek kendati sensasi primernya (inderanya) berfungsi baik.

• Gangguan persepsi sensasi, walaupun sensibilitas primernya normal.

• Dapat melibatkan semua jenis sensasi (visual, rasa raba dan persepsi tubuh)

Agnosia (a-gnosis, "non-knowledge") is a loss of ability to recognize objects, persons,

sounds, shapes or smells while the specific sense is not defective nor is there any

significant memory loss. It is usually associated with brain injury or neurological

illness, particularly after damage to the temporal lobe

150

Macam Agnosia

• Verbal agnosia

• visual spatial agnosia (tidak mampu mengenali tata ruang. Penderita biasanya takut

turun tangga)

• Visual agnosia (tidak mampu mengenali obyek melalui penglihatan)

• Agnosia taktil (astereognosia), tidak mampu mengenali obyek dengan sentuhan atau

perabaan.

• Visual - verbal agnosia (gejala buta kata, alexia tanpa agrafia)

• Sindrom Gerstmann, gejala alexia, agrafia, dan R/L discrimination (lesi di are 22,39)

• Simultagnosia: Patients recognize objects or details but only one at the time. They cannot

make out the scene they belong to or make out a whole image out of the details. They

literally cannot see the forest for the trees.

• Associative Agnosia: Patients can describe visual scenes and classes of objects but still

fail to recognize them. He may, for example, know that fork is something you eat with

but may mistake it for a spoon.

• Mirror Agnosia: Patients cannot recognize objects or activity on either their left or right

field of view. Impairment can vary from mild inattention to complete inability to perform

spatial reasoning with regard to the afflicted side. The disorder takes its name from an

experiment in which a patient was shown objects reflected in a mirror and saw them, but

was unable to find them when prompted

• Prosopagnosia: Patients cannot consciously recognize familiar faces, sometimes even

including their own. Impairment may vary from 'faces making no sense' to being able to

perceive faces but not connect them with any semantic information, such as the person's

identity, name or occupation. Curiously, despite being unable to consciously recognise

people, studies have shown that people with prosopagnosia can show an emotional

response to familiar faces. Affected people may be able to recognise a person through

another cue, like familiar voice or clothing. It is especially likely after bilateral (both

sides) or right temporal lobe damage.

• Agnostic alexia: Inability to recognize text.

• Color agnosia: There is a distinction between color perception versus color recognition.

Central Achromatosia refers to deficiency in color perception

151

• Auditory agnosia refers to similar symptoms with environmental, nonverbal auditory

cues. This is separate from word deafness which is agnosia connected to auditory

information. Receptive amusia is agnosia for music. Cortical deafness refers to people

who do not respond to any auditory information but whose hearing is intact.

Agnosia visual

• Tiadak mampu mengenal obyek secara visual, padahal penglihatannya adekuat.

• Kemungkinan disebabkan oleh kelainan yang melibatkan area asosiasi visual otak

(penderita dapat melihat obyeknya, namun tadak dapat mengenalinya atau menyebutkan

namanya).

• Perlu disingkirkan kemungkinan adanya afasia nominal bila penderita dapat menamai

obyek teresbut melalui perabaan (taktil).

Agnosia Jari

• Adalah keadaan penderuta yang tidak mampu mengidentifikasi jarinya sendiri akan

tetapi dapat mengetahui jari orang lain (misal tak mampu melakukan suruhan “Tunjuk

telunjukmu! Kanan atau ibu jari kirimu !”)

Cara Pemeriksaan

• Penderita disuruh menutup mata, pemeriksa meraba salah satu jarinya, kemudian

penderita buka mata, dan menunjukkan jari yang diraba oleh pemeriksa.

• Pemeriksa menyebutkan nama jari dan suruh penderita menunjukkan pada jari pemeriksa

(misal “Tunjuklah jari manis saya!”)

• Penderita dengan agnosia jari biasanya mempunyai lesi di hemisfer yang dominan.

• Lesi di parietal - occipital mungkin dapat menyebabkan agnosia jari.

• Bila didapatkan afasia tes ini sulit dilakukan atau sulit dinilai.

Agnosia Taktil (Astereognosia)

• Adalah keadaan diman terdapat kegagalan mengenal suatu obyek melalui perabaan,

sedang sensorik primernya baik.

• Dapat dijumpai pada lesi yang melibatkan lobus parietal yang non dominan.

Cara Pemeriksaan

• Suruh penderita menutup mata

• Tempatkan pada tangan atau genggamannya suatu benda, misal kunci atau peniti

• Dengan cara meraba2 suruh penderita mengenalinya.

152

• Penderita agnosia taktil tidak mampu mengenali benda dengan cara meraba.

Anosognosia

Adalah tidak mengakui adanya penyakit atau kelainan, merupakan keadaan tidak

mengakui atau tidak menyadari adanya gangguan fungsi pada sebagian tubuh (misal :

tidak mengakui adanya kelumpuhan, padahal jelas terlihat adanya hemiplegi).

Anosognosia merupakan gambaran kelainan di frontal posterior dan lobus parietal otak,

dan lebih sering terlihat bila lesi melibatkan hemisfer yang non dominan.

7

DAFTAR KETERAMPILAN KLINIS YANG DIPEROLEH DI KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KETERAMPILAN NILAI 4 NILAI 3 NILAI 2 NILAI 1

NEUROLOGI Fungsi Nn.Kranial Assessment of sense of smell Inspection of width of palpebral cleft Inspection of pupils (size and shape) Pupillary reaction to light Assessment of facial symmetry Assessment of strength of temporal and masseter muscles Assessment of facial sensation Assessment of facial movements Tongue, inspection at rest Tongue, inspection and assessment of

motor System (e.g. Sticking out)

Pupillary reaction of close objects Assessment of extra-ocular movements - Assessment of diplopia Assessment of nystagmus Corneal reflex Assessment of visual fields Test visual acuity Fundoscopy assessment of pupil Assessment of taste Assessment of hearing (lateralization, air And bone conduction) Assessment of swallowing Inspection of palate Test gag reflex Assessment of sternomastoid and trapezius muscles

Sistem motorik Inspection: posture, habitus involuntary movements Assessment of passive stretch Assessment of muscle strength Assessment of strength of individual

muscles

Koordinasi Inspection of gait (normal, on heels, on toes, hopping in one place, heel-to-toe) Shallow knee bend Romberg’s test Reaction to a push (balance) Point-to-point testing: between index

finger and nose Point-to-point testing: heel on opposite Knee, running down to big toe Testing for dysdiadochokinesis

Sistem sensori Assessment of sense of pain Assessment of sense of temperature

8

Assessment of light touch Assessment of extinction phenomenon Assessment of vibration Assessment of position sense Assessment of discriminative

sensations (e.g.stereognosis) Ggn.Sensasi radikular Lasègue’s sign Fungsi yg lebih tinggi assessment of level of consciousness

by means of Glasgow coma scale assessment of orientation assessment of aphasia

Assessment of apraxia Assessment of agnosia Assessment of new learning ability Assessment of memory Assessment of concentration

Reflek fisiologis Tendon reflexes (biceps, reflex, triceps reflex knee reflex, ankle reflex) Plantar response Abdominal reflexes Cremaster reflex Anal reflex

Reflek patologis Hoffmann-Trömner sign Respon plantar Babinski Reflek primitive

Snout reflex Rooting reflex Grasp reflex Glabela reflex -4- Palmomental Reflex

Lain-lain Detections of neck Assessment of fontanelles Patrick’s and contra patrick’s sign Chvostek’s sign

Dx penunjang X-ray skull X-ray spine CT-scan of cerebrum EEG EMG, EMNG ENG Brain mapping PET, SPECT

Seldinger angiography Myelography caudography Visual evoked

response examination,

BAEP,SSEP Digital substraction

9

angiography Duplex-scan of vessels Biopsy of muscle Lumbar puncture Lumbar puncture,

Queckenstedt test

MRI, MRA Skill Tx therapeutic spinal

tap opening the skull surgery for acoustic neuroma surgery of pituitary gland surgery for extradural haemorrhage surgery for subdural haemorrhage surgery for cerebral tumour surgery for carpal/tarsal tunnel syndrome surgery for intra cerebral aneurysm

Spine Inspection at rest Inspection in motion Percussion for tenderness Palpation for tenderness Palpation for pain on vertical pressure Assessment of lumbar flections

7

STATUS MAHASISWA ILMU PENYAKIT SYARAF PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Nama Mahasiswa : NIM : No. Register RSUD : I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tanggal Pemeriksaan : Umur : Ruang Perawatan : Jenis Kelami : Masuk RS : Tgl ... Jam ... Agama : Keluar RS : Tgl ... Jam ... Suku / Bangsa : Diagnosa Masuk : Alamat : Diagnosa Keluar : Pendidikan / Pekerjaan : Code (ICD) :

Mengetahui,

Dokter Ruangan : Dokter Pembimbing

( ) ( ) Koordinator Mahasiswa ( )

8

II. SUBYEKTIF ANAMNESIS : 1. Keluhan utama : 2. Riwayat Penyakit Sekarang :

3. Riwayat Penyakit Keluarga :

4. Riwayat Penyakit Dahulu :

5. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Pribadi :

9

III. OBYEKTIF A. Pemeriksaan Umum

1. Status Present : - Kesan : - Suhu : - Kesadaran : GCS - Pernafasan : - Gizi : - Anemi : - Tensi : - Icterus : - Nadi : - Sianosis : - Lain-lain : THORAX : Inspeksi : Palpasi :

- Paru-paru : Perkusi : Aukultasi : - Jantung : Perkusi : Aukultasi :

ABDOMEN : - Inspeksi : - Lemas / Tegang : - Palpasi : - Hepar : - Perkusi : - Lien

2. Status Psykologis : - Afek dan Emosi : - Penyerapan : - Proses berfikir : - Kemauan : - kecerdasan : - Psikomotor :

3. Status Neurologis :

1. Kepala : Posisi : Penonjolan : Bentuk / Ukuran : Aukultasi :

2. Urat Syaraf Kepala : Kanan Kiri

- N.I (Olfaktorius) Penghidu :

- N.II (Optikus) Ketajam penglihatan : Lapang Penglihatan : Funduskopi :

10

- N III, IV, VI Kanan Kiri

• N. III (Okulomotorius) Celah kelopak mata - Ptosis : - Exsotalmus :

Pergerakan bola mata : Pupil - Ukuran / bentuk : - Isokor / anisokor : Reflek cahaya langsung / tdk langsung : Nistagmus :

• N. IV (Trokhlearis) Posisi bola mata : Pergerakan mata :

• N. VI (Abdusen) Pergerakan mata :

- N. V (Trigeminus) Sensibilitas : - N V 1 :

- N V 2 :

- N V 3 : Motorik : - Inspeksi : - Palpasi : - Mengunyah : - Menggigit : Reflek dagu / masseler : Reflek kornea :

- N. VII (Fasialis) Motorik

M. Frontalis : M. oblik okuli : M. Oblik Oris : Pengecap 2/3 lidah depan :

- N. VIII (Oktavus) Detik arloji : Suara berbisik : Tes Weber : Tes Rinne :

11

- N. IX (Glossofaringeus) Kanan Kiri Pengecapan 1/3 (bagian belakang) : Sensibilitas faring :

- N. X (Vagus) Posisi Arkus faring : (istirahat / A A H) : Reflek telan / muntah :

- N. XI (Aksesorius) Mengangkat bahu : Memalingkan kepala (dengan / tanpa tahanan) :

- N. XII (Hipoglossus) Deviasi lidah : Fasceculasi : Tremor : Atrofi : Ataxia :

3. Leher

- Tanda perangsangan selaput otak: • Kaku kuduk : • Kernig’s sign :

- Kelenjar lympe : - Arteri karotis :

• Palpasi : • Aukultasi :

- Kelenjar gondok :

4. Abdomen - Reflek kulit dinding perut :

5 Kolumna vertebralis

- Inspeksi : - Palpasi : - Pergerakan : - Perkusi :

6. Ekstremitas Superior Inferior Kanan Kiri Kanan Kiri

Motorik :

• Pergerakan : • Kekuatan : • Tonus otot :

Otot yang terganggu: Refleks fisiologis :

12

• Biceps (BPR) : • Triseps (TPR) : KPR: APR:

Refleks patologis • Hoffman-iromner: Babinski :

Chaddock : Gordon : Schacfer : Oppenheim : Mendel – B : Rossolimo :

Trofi : Sensibilitas • Eksteroseptif :

Nyeri : Suhu : Rasa raba halus :

• Proprioseptif : Rasa sikap : Rasa nyeri dalam:

• Fungsi Kortikol : Rasa diskriminasi: Stereognosis : Barognosis :

7. Pergerakan abnormal spontan :

8. Gangguan koordinasi • Test jari-hidung : • Test pronasi-supinasi : • Test tumit-lutut :

9. Gait :

10. Pemeriksaan fungsi luhur (FKL)

• Afek / Emosi : • Kemampuan bahasa : • Memori : • Visuospasial : • Intelegensia :

13

IV. PEMERIKSAAN LABORATURIUM • Darah :

• Urine :

• Laquor serebrospinslis : V. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS DAN PEMERIKSAAN LAIN VI. RINGKASAN VII. DIAGNOSIS Diagnosis klinik : Diagnosis Topik : Diagnosis Etiologik :

14

VIII. DIAGNOSIS BANDING IX. THERAPI (Therapy umum dan Medikamentosa) X. PROGNOSA XI. ANJURAN

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam R.D, Principles of Neurology : The Neurologic Examination (Companian Hand

Book). 6th Edition, MC Graw Hill International, USA : 1998, 5-9

2. Allen V. Maurice W, Pictorial Manual of Neurlogic Test, 2 ed.Year Book Medical

Publizers, INC, 1980.

3. Aminoff M.J, Clinical Neurologi, 3nd. ed. Appletion and Lange, 1996.

4. Chandra B, Neurologi Klinik, Lab. Ilmu Penyakit saraf RSU Dr

Soetomo,Surabaya,1994.

5. De Groot I., Neuroanatomi Korelatif : Susunan Syaraf autonom, Edisi ke-21, Jakarta :

Penerbit ECG, 1996, 202-216.

6. De jong’s N. R., The Neurologic Examination, 5th Edision, I.B Lippincott Company,

USA : 1992.

7. Fuller. G, et al, An Illustration Colour Text Neurology, Churchill Livingstone, 2000,

London.

8. Gilroy, Basic Neurology,3th ed. Mc.Graw Hill,2000

9. Groof D.J, Neuroanatomi Korelatif Klinis : Fungsi Kortikal Luhur, Edisi Ke-21, EGC,

Jakarta ,1987 :217-224

10. Harsono, Neurologi Klinis : Pengetahuan Dasar Susunan Syaraf Autonom, Edisi ke-1,

Gajah Mada University Press, Jogjakarta : 1996, 337-365

11. http:// braincampus.learnpsychology.com/npsych/apraxia.html.

12. http:// braincampus.learnpsychology.com/npsych/aphasia.html.

13. http:// www.nanonline.org./nandistance/mtbi/clin Neuro/agnosia.html.

14. Jan Thompson , A Practical Guide to Clinical Medicine, The School of Medicine of the

University of California, San Diego. 2004.

15. Islam MS, Neuro Anatomi Fungsional, Lab Ilmu Penyakit Saraf RSU Dr

Soetomo,Surabaya,1996.

16

16. jong’s, The Neurologic Examination : The Mental Status Examination 5th Edition, IB

Sippincalt Company, 1992 :28-40

17. Kusumoputro S. , Kapita Selekta Neurologi : Fungsi Luhur, Cetakan Ke-2, Yogyakarta :

UGM Press, 1996 : 3-24

18. Laboratorium Ketrampilan Medik, 2003. Skills Lab jilid 2, Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada, MEDIKA offset FKU UGM, Yogyakarta

19. Lindsay.WK,et.al, Neurology and Neurosurgery Illustrated, Churchill Livingstone,

London,1998.

20. Lumbantobing, Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Cetakan 2 Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta ,2000.

21. Marshall RS, On Call Neurology, W.B Saunders Company,1997.

22. M.D O’Brien, Aid to The Examination of The Peripheral Nervous System, W.B

Saunders, Fourth Ed. 2000.

23. Ngoerah Igst Ng G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Syaraf, Surabaya, Airlangga University

Press. 1991.

24. Priguna Sidharta, Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Cetakan 4., Dian Rakyat

Jakarta, 1999.