Tugas Neuro

34
KATA PENGANTAR Alhamdulillah kami ucapkan puji dan syukur pada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kelompok dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penyakit Epilepsi” dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurobehaviour tentang gangguan atau penyakit pada sistem saraf. Kelompok menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna karena menemukan berbagai kesulitan. Sehingga kelompok mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

description

as

Transcript of Tugas Neuro

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami ucapkan puji dansyukur pada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kelompok dapat menyelesaikan makalah dengan judul Penyakit Epilepsi dengan baik.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahNeurobehaviourtentang gangguan atau penyakit pada sistem saraf. Kelompok menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna karena menemukan berbagai kesulitan. Sehingga kelompok mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR......................................................................................................... IDAFTARISI....................................................................................................................... IIBAB I ..................................................................................................................................1LATAR BELAKANG........................................................................................................ 1BAB II................................................................................................................................. 5JURNAL............................................................................................................................. BAB IIIPENGERTIAN..................................................................................................................... 5ETOLOGI..................................................................................................................... 6PATOFISIOLOGI..............................................................................................................6KLASIFIKASI DA GAMBARAN KLINIS...............................................................7MANIFESTASI KLINIS..................................................................................................10PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK..................................................................................11KOMPLIKASI.....................................................................................................................11PENATALAKSANAAN...................................................................................................11PENCEGAHAN..................................................................................................................13PENGOBATAN.................................................................................................................13

BAB IPENDAHULUANA.LATAR BELAKANGEpilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dalam/dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu.Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan ilmu klenik, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.Semua orang beresiko mendapat epilepsi. Bahkan, setiap orang beresiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang penyakit epilepsi atau ayan, melatarbelakangi penulis menyusun makalah ini. Makalah ini membahas hal-hal mengenai penyakit epilepsi, penyebab, klasifikasi penyakit epilepsi, mekanisme terjadinya epilepsi dan pengobatannya.B.RUMUSAN MASALAHRumusan masalah dari makalah ini adalah:1. Apa definisi dari penyakit epilepsi?2. Apa penyebab epilepsi?3. Bagaimana patofisiologi dari epilepsi?4. Bagaimana pengobatan epilepsi?5. Apa contoh obat epilepsi ?BAB IITINJAUAN JURNAL

PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA EPILEPSI(Eki Vina Nurviana, Siswati, Kartika Sari Dewi)FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

AbstractEpilepsy is disturbance of brain chronically with emerge symptoms like monotonously attack and continuously. Epilepsy gets negative effects both of physic and mental effects that can influence of sufferers life. Epilepsy sufferers often feel social pressure like byword and under separate cover the other person. Therapy needs long time and cause the problem forsufferer. That conditions make epilepsy sufferer feel dissatisfied with their condition, hanghead, and dont admitted that disturbance.This research used phenomenological qualitative method. Collected data was done with observation method and in deep interview. Subject criteria were someone who got definitely diagnosis of epilepsy and can make conversation with the other person. Subject was acquired three people both by searched and asked to closest people who known about epilepsy sufferer condition. Each subject has different characteristic such resident, sex, age, economical status, education level, and epilepsy onset. Subject got information about clarity of epilepsy diagnosis in different time. First subject had suffered epilepsy after 10 years; second subject had suffered epilepsy after 2 years and third subject after first gotten into epilepsy attack.From research result were found that epilepsy sufferer could do well-self accepted. That case was influenced by supporting factor like social support, self control, significant others role, social knowledge, well-physic condition, extrovert, achievement, ability of completing development task and self knowledge. Cumberer factor of self acceptance that faced by epilepsy sufferer were social pressure, economical problem, introvert and undefined diagnosis. Epilepsy sufferer would do the copying strategy that centred to problem and emotion until they can solve the problem. They can accept their disease and their self with intact. This research result had in prospect for epilepsy sufferer can do the self acceptance thing until walk on their life optimally.PENDAHULUANEpilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006, h. 3).Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa epilepsi yang lebih dikenal masyarakat dengan berbagai nama, diantaranya ayan dan sawan, disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan dikaitkan dengan nama roh atau setan (Djeno dan Misnahati, 2004). Kurangnya pengertian tentang epilepsi di kalangan keluarga dan masyarakat merupakan sebab utama mengapa masalah epilepsi belum dapat ditanggulangi dengan baik. Gambaran seperti itu masih cukup kental di masyarakat awam, sehingga terapinya menggunakan kekuatan spriritual. Selain itu, penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang memalukan atau menakutkan dan merupakan penyakit menular melalui buih yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan, bahkan masih ada masyarakat yang menganggap sebagai upaya golek pesugihan" (2004,http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/19/05x1.htm.).Epilepsi memiliki gejala yang menyerupai gangguan histeria yaitu hilangnya kesadaran dan kontrol terhadap anggota tubuh. Epilepsi merupakan gangguan yang terjadi karena adanya ketidaknormalan fungsi seluruh atau sebagian otak yang dapat dilihat melalui pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG) atau magnetic resonance imaging (MRI). Sedangkan pada penderita histeria tidak ditemukan adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut dan terdapat bukti adanya penyebab secara psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang menimbulkan stres atau hubungan interpersonal yang terganggu (PPDGJ-III, 2002, h. 81).Seseorang akan menunjukkan reaksi yang berbeda ketika didiagnosis menderita penyakit kronis. Ada seseorang yang langsung kaget tetapi ada pula yang merasa lega karena akhirnya mengetahui apa penyakitnya. Secara umum menurut Shontz (dikutip Sarafino, 1994, h.402), ada serangkaian reaksi yang muncul setelah seorang pasien mendengar bahwa pasien tersebut terdiagnosis penyakit kronis yaitu fase shock, encounter dan retreat.Laporan WHO pada tahun 2001 memperkirakan bahwa pada tahun 2000 diperkirakan penderita epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang dan 80% tinggal di negara berkembang. Angka prevalensi epilepsi pada umumnya berkisar antara 5-10 per 1000 orang penduduk (Pinzon dkk, 2005). Kejadian epilepsi pada laki-laki sebesar 5,88 dan perempuan sebesar 5,51 tiap 1000 penduduk. Prevalesi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi (Depkes, 2006).Kondisi fisik dan psikis dari penderita epilepsi membawa dampak negatif bagi perkembangan psikologisnya. Ada beberapa bentuk gangguan yang muncul dalam kondisi tersebut antara lain: rasa malu, rendah diri, hilangnya harga diri dan kepercayaan diri. Bentuk gangguan tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami depresi yang berkepanjangan apabila tidak segera diatasi. Depresi yang dialami oleh penderita dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing dan terkucil dari lingkungannya (Monty dkk, 2003).Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Helmi dkk, 1998). Penerimaan diri ini dibutuhkan agar penderita epilepsi tidak hanya mengakui kelemahan dan terpaku pada keterbatasan yang dimiliki, tetapi juga mampu mempergunakan berbagai potensi yang masih dimiliki agar dapat meningkatkan rasa berharga dan kepercayaan diri sehingga dapat menjalani kehidupannya secara normal.PERMASALAHAN PENELITIANBerdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikemukakan suatu permasalahan penelitian yang akan ditemukan jawabnya melalui penelitian ini bagaimana proses penerimaan diri pada penderita epilepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri pada penderita epilepsi, masalah yang dihadapi subjek berkaitan dengan penyakitnya dan bagaimana usaha yang dilakukan subjek untuk menyelesaikan masalah tersebut?

TUJUAN PENELITIANTujuan penelitian fenomenologis ini adalah memahami dan mendeskripsikan proses penerimaan diri penderita epilepsi, pengaruh kondisi subjek terhadap kehidupannya sehari-hari, interaksi subjek dengan lingkungannya, dan visi subjek untuk hari depannya.TINJAUAN PUSTAKAPenerimaan DiriMenurut Supratiknya (1995, h.84), penerimaan diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Allport (dalam Hjelle & Zieglar, 1981, h.191) mengungkapkan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang-orang yang:a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinyaSeseorang bisa mendapatkan sisi lain dari dirinya. Tidak berhenti pada kebiasaan dan keterbatasan serta aktivitas yang hanya berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan sendiri.b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan keadaan emosiDasar individu yang baik adalah kesan positif terhadap dirinya sendiri, dengandemikian seseorang akan dapat bertoleransi dengan frustrasi dan kemarahan atas kekurangan dirinya dengan baik tanpa perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan bermusuhan.c. Dapat berinteraksi dengan orang lainDua hal yang menjadi kriteria hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain adalah keintiman dan kasih sayang.d. Memiliki persepsi yang realistik dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahSeseorang melihat pada hal-hal yang ada pada dirinya, bukan pada hal-hal yang mereka harapkan ada pada dirinya. Berpijak pada realitas, bukan pada kebutuhan-kebutuhan dan fantasi.Hurlock (1999, h.259) menyatakan penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah :a. Aspirasi yang realistisIndividu yang mampu menerima dirinya harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai.b. KeberhasilanAgar individu menerima dirinya, individu harus mampu mengembangkan faktor peningkat keberhasilan sehingga potensinya berkembang secara maksimal.c. Wawasan diriKemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki akan meningkatkan penerimaan diri.d. Wawasan sosialKemampuan melihat diri pada individu seperti pandangan orang lain tentang diri individu tersebut menjadi suatu pedoman untuk memungkinkan berperilaku sesuai harapan individu.e. Konsep diri yang stabilBila individu melihat dirinya dengan satu cara pada suatu saat dan cara lain pada saat lain, yang kadang menguntungkan dan kadang tidak, akan menyebabkan ambivalensi pada dirinya. Agar tercapainya kestabilan dan terbentuknya konsep diri positif, significant others memposisikan diri individu secara menguntungkan.EpilepsiEpilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006, h.3).Menurut Lumbantobing (1994, h.2-3) seseorang dikatakan menderita epilepsi apabila didapatkan ambang kejang yang rendah, mereka mudah sekali mengalami serangan epilepsi, kadang-kadang timbul secara spontan dan kadang-kadang oleh rangsang yang ringan saja seperti karena kesal, kurang tidur, dan marah. Selain itu seseorang dianggap sebagai penderita epilepsi bila ia telah lebih dari satu kali mengalami bangkitan atau serangan epilepsi secara spontan atau oleh gangguan yang ringan. Menurut Commision of Classification and terminology of the International League against Epilepsy (ILAE) tahun 1981 (Harsono, 2001, h.19-25), klasifikasi epilepsi sebagai berikut :a. Serangan epilepsi umum :Serangan epilepsi diawali dengan hilangnya kesadaran dan diikuti gejala lainnya yang bervariasi. Jenis-jenis serangan epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidak adanya aktivitas motorik yang khas diantaranya, yaitu : serangan tonik-klonik umum (grand mal), absence (petit mal), absence tidak khas, serangan atonik, serangan mioklonik dan serangan tonik.b. Serangan parsialSerangan parsial terdiri dari serangan parsial sederhana, serangan parsial kompleks dan serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum (serangan parsial sederhana).c. Serangan tak tergolongkanReaksi Terdiagnosis Penyakit kronisShontz (dalam Sarafino, 1994, h.402) memaparkan adanya serangkaian reaksi yang muncul setelah seorang pasien mendengar bahwa pasien tersebut terdiagnosis penyakit kronis. Pertama, seseorang akan mengalami shock. Keterkejutan akan berbeda kadarnya dan tergantung pada pemahaman pasien mengenai sakitnya. Perasaan terkejut ini merupakan reaksi darurat yang ditandai dengan tiga karakteristik, yaitu; (1). Merasa tertegun, lemas, dan bingung, (2). Berperilaku biasa tapi melamun, (3). Merasa tidak terlibat dalam situasi. Setelah mengalami keterkejutan yang merupakan reaksi darurat di atas, pasien akan berlanjut pada tahap ke dua, yaitu encounter pada saat pasien mulai memahami penyakitnya dan bahwa ia harus hidup dengan membawa penyakit kronis tersebut. Pada masa ini, pasien sering kali kurang mampu merencanakan tindakan untuk mengatasi keadaan secara efektif. Banyak pasien yang menggunakan strategi penghindaran (avoidance) karena stres tinggi yang dirasakan pasien tersebut. Tahap ini akan berlanjut pada tahapan yang ketiga, yaitu retreat pada saat pasien mulai menyadari realitas dan berusaha untuk menjalani hidupnya sebaik mungkin, sekalipun dengan penyakit yang dideritanya.

METODE PENELITIANPeneliti akan meneliti proses penerimaan diri pada penderita epilepsi. Untuk memahami dunia pengalaman subjek, maka peneliti harus meninggalkan asumsi-asumsi yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti akan dapat memahami bagaimana proses penerimaan diri pada penderita epilepsi, jika bisa melakukan reduksi atau penyaringan terhadap pendirian-pendirian subjektif peneliti. Dengan demikian, peneliti tidak akan mengotori dunia pengalaman subjek. Proses penerimaan diri tiap-tiap orang berbeda-beda dan oleh karena itu peneliti harus benar-benar memahami penerimaan diri masing-masing orang dan tidak bisa menyamakan pengalaman masing-masing orang tersebut.Metode yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi. Kemampuan melakukan wawancara dan observasi merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh peneliti kualitatif. Dasar keterampilan wawancara dan observasi berperan besar dalam pelaksanaan metode-metode yang lebih praktis (Poerwandari, 2001, h. 64).HASIL DAN PEMBAHASANMenurut Supratiknya (1995, h.85) penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Dalam penelitian ini ketiga subjek menunjukkan penerimaan diri dalam bentuk perilaku yang berbeda-beda. Subjek #1 mengalami kesulitan dalam berinteraksi karena pada mulanya subjek merupakan seseorang yang pendiam dan cenderung menarik diri dari lingkungan. Subjek #1 mengembangkan potensi akademiknya dengan melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar strata II. Subjek #2 pun mengembangkan potensi akademiknya. Subjek #2 sering mengikuti perlombaan mata pelajaran mewakili sekolahnya dan mendapat nilai terbaik di kelas. Selain itu subjek berhasil meraih kelulusan dan mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi. Sedangkan subjek #3 sudah menikah sehingga menginginkan agar keluarganya tetap harmonis.Shontz (dalam Sarafino, 1994, h.402) memaparkan adanya serangkaian reaksi yang muncul setelah seorang pasien mendengar bahwa pasien tersebut terdiagnosis penyakit kronis yaitu fase shock, encounter dan retreat. Epilepsi merupakan penyakit kronis karena membutuhkan penanganan yang cukup lama. Ketiga subjek juga mengalami fase tersebut sebelum akhirnya mampu mencapai penerimaan diri sepenuhnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa fase tersebut berlangsung bolak-balik dan masing-masing subjek terdapat perbedaan reaksi yang dialami. Subjek #1 membutuhkan waktu yang cukup lama sampai subjek memasuki fase retreat yaitu ketika subjek mampu menerima penyakinya dengan ikhlas. Fase-fase yang dialami subjek #1 berlangsung bolak-balik. Pada awalnya subjek #1 mengalami fase shock, encounter dan retreat kemudian ketiga fase itu terulang kembali dengan adanya diagnosis lanjutan dari penyakitnya. Perbedaannya adalah proses yang kedua berlangsung lebih singkat dibanding yang pertama karena keadaan sudah berbeda dan subjek pernah mengalaminya.Subjek #2 pun mengalami fase-fase yang berlangsung bolak-balik tetapi tidak selama subjek #1. Sebelumnya subjek tidak tahu apa penyakitnya. Subjek #2 mampu menerima keadaanya dan terbuka dengan orang lain. Subjek melakukan pemeriksaan yang berulang-ulang sampai mendapatkan kepastian diagnosis epilepsi. Sedangkan subjek #3 hanya mengalami fase retreat yaitu langsung bisa menerima penyakitnya da bersikap biasa dalam kehidupan sehari-harinya.Dalam penelitian ini, perbedaan waktu berlangsungnya fase-fase yang dialami subjek menuju penerimaan diri disebabkan karena terdapat perbedaan waktu untu mendapatkan informasi mengenai kejelasan diagnosis.House (dalam Smet, 1994, h. 136) membedakan empat tipe dukungan sosial sebagai berikut :a. Dukungan emosionalMencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya : umpan balik, penegasan). Dukungan emosi diterima oleh ketiga subjek dari orang-orang dekat subjek seperti orangtua, saudara, teman dan tetangga.b. Dukungan penghargaanSubjek #2 memperoleh penghargaan dari gurunya yaitu berupa pujuan dan kepercayaan yang diberikan pada subjek untuk mewakili sekolah mengikuti lomba mata pelajaran.c. Dukungan instrumental/dukungan materiKetiga subjek mendapat dukungan materi berupa biaya untuk pengobatan dari orang tua.d. Dukungan informatifDukungan informasi berupa informasi mengenai kebedaan dokter yang bisa mengobati dan informasi mengenai kejelasan diagnosis. Kejelasan diagnosis dan penanganan yang cepat membuat subjek lebih siap untuk menerima dirinya serta mampu menjalani kehidupannya secara optimal.Selain dukungan sosial, dalam penelitian ini tuntutan pemenuhan tugas perkembangan mendorong subjek untuk segera memasuki fase berikutnya menuju penerimaan diri. Menurut Havighurts (dikutip dalam Hurlock, 1997, hal. 9), tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertent dari kehidupan individu. Tugas perkembangan antara masing-masing subjek berbeda sesuai dengan usianya. Subjek #1 dan subjek #2 masih berada pada masa remaja tetapi berbeda juga, subjek #1 memasuki masa remaja akhir dan subjek #2 baru memasuki awal masa remaja. Pengaruh teman sebaya sangat besar bagi subjek. Mereka ingin mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman-temannya sehingga membuat subjek ingin menyenangkan teman-temannya meskipun terkadang kurang menyenangkan bagi subjek dan mengharuskan subjek untuk mengontrol emosinya. Selain itu subjek #1 mulai memikirkan masa depannya terkait dengan pekerjaan apa yang akan dilakukan. Tugas perkembangan yang dihadapi subjek #3 yaitu mengelola rumah tangga karena subjek sudah menikah. Subjek dituntut untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai keluarga yaitu dalam mencari nafkah dan menjaga keluarga agar tetap harmonis. Tekanan sosial membuat proses yang dialami subjek menjadi lebih lama. Hal tersebut dialami oleh subjek #1 dan subjek #2. Tekanan sosial yang diterima subjek #1 membuat subjek berpikir bahwa ada penolakan dari orang lain. Mereka cenderung menjauhi subjek karena subjek menderita epilepsi sehingga mereka merasa jijik dan tidak mau berteman dengan subjek.Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan adanya faktor pendorong serta penghambat membuat subjek melakukan strategi penanggulangan masalah (coping) baik berpusat pada emosi maupun masalah. Penanggulangan masalah ini membuat subjek mencapai penerimaan diri yang optimal. Subjek #1 lebih banyak melakukan coping dibandingkan subjek yang lain karena permasalahan yang dihadapi cukup berat baik berasal dari diri subjek maupun dari orang lain. Subjek melakukan turning to religion setelah merasa putus asa dengan keadaan yang tidak segera membaik (Carver, Scheier, dan Weintraub dalam Bishop, 1994, h.156). Subjek mencari bantuan dari Tuhan, berdoa atau mencari ketenangan dalam beragama. Subjek menyadari bahwa ada hikmah dibalik epilepsi yang dideritanya. Pemikiran tersebut membuat pola pikir subjek berubah dan membuat subjek menjadi lebih terbuka dan lebih menilai permasalahan dari sisi positifnya. Kesadaran itu yang mengawali terbentuknya penerimaan diri subjek secara utuh.SIMPULANBerdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa proses penerimaan diri yang dialami masing-masing subjek membutuhkan waktu yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh seberapa cepat subjek mendapatkan informasi mengenai kondisi dirinya sehingga subjek mengetahui apa yang harus dilakukannya.Subjek mengalami sejumlah reaksi seperti shock, encounter dan retreat sebelum subjek bisa menerima dirinya secara utuh. Reaksi tersebut sebagai bentuk respon yang dilakukan subjek setelah mendapatkan diagnosis menderita epilepsi. Masing-masing subjek mengalami proses yang berbeda. Subjek #1 dan subjek #2 membutuhkan proses yang panjang dibandingkan subjek #3. Hal tersebut dipengaruhi oleh berapa lama subjek mendapatkan kepastian diagnosis.Epilepsi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang cukup mengganggu kehidupan subjek baik fisik maupun psikis. Hal tersebut di pengaruhi oleh faktor penghambat dan faktor pendorong. Tekanan sosial yang diterima subjek membuat subjek menjadi tidak percaya diri. Hal tersebut sangat terlihat pada subjek #1. Tekanan sosial yang diterima membuat subjek semakin malu dan menolak kenyataan tentang keadaan dirinya. Persepsi subjek yang menganggap bahwa epilepsi itu memalukan semakin membuat subjek sulit untuk melakukan penerimaan diri. Subjek #2 juga mendapatkan tekanan sosial tetapi subjek berusaha untuk bersikap tidak peduli. Hal ini karena subjek orang yang sangat terbuka dengan lingkungan sehingga subjek mendapatkan dukungan sosial dari pihak lain. Masalah yang cukup menghambat bagi subjek #3 adalah masalah keuangan. Subjek seorang kepala keluarga yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Epilepsi membuat aktifitas subjek terbatas termasuk untuk bekerja sehingga penghasilannya juga berkurang. Selain itu pengobatan subjek sempat terhenti karena tidak adanya biaya. Tetapi tidak berlangsung lama karena subjek mendapatkan kartu gratis untuk berobat.Semua subjek berusaha untuk meminimalisir faktor penghambat dan mengembangkan faktor pendorong sehingga subjek bisa keluar dari permasalahan yang dialaminya. Subjek melakukan strategi penanggulangan masalah (koping) yang berpusat pada emosi seperti pasrah dan menyerahkan semuanya pada Tuhan, melakukan mekanisme pertahanan diri seperti penghindaran dan menganggap seolah-olah semuanya baik-baik saja, serta bersikap tidak peduli dengan sikap orang lain. Selain itu subjek juga melakukan strategi koping yang berpusat pada masalah seperti meminta pertimbangan orang lain ketika memutuskan sesuatu, melakukan terapi alternatif dan operasi, mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang serta menemukan kesempatan yang tepat untuk terbuka dengan orang lain. Strategi koping yang dilakukan subjek akan membawa subjek pada penerimaan diri yang utuh. Penerimaan diri diawali dengan keikhlasan dan kepasrahan subjek untuk menerima kenyataan bahwa mereka menderita epilepsi kemudian akan berkembang pada penerimaan dirinya secara utuh. Mengenali kelemahan serta mengembangkan potensi dan kelebihan dirinya agar subjek bisa menjalankan kehidupannya secara optimal.SARAN1. Bagi subjeka. Mencari informasi mengenai penanganan epilepsi secara lengkap melalui media cetak, media elektronik atau melalui ahli-ahli profesional seperti dokter sehingga subjek memperoleh pengetahuan dalam menentukan tindakan yang akan di ambil baik mengenai epilepsi maupun kehidupan sehari-hari.b. Meningkatkan religiusitas. Sebaiknya subjek lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan bersikap pasrah, banyak bersyukur serta melakukan ibadah-ibadah sehingga subjek menjadi lebih tenang dan mampu menyelesaiakan setiap permasalahan yang dihadapic. Mengembangkan sikap keterbukaan dan kepercayaan terhadap orang lain sehingga subjek tidak merasakan penderitaan yang dialami sebagai hal yang harus diselesaikan sendiri dan dapat memperoleh informasi dari orang laind. Merancang harapan-harapan dalam hidupnya yang memang dapat dicapai sesuai dengan kondisinya sehingga potensi yang dimiliki dapat dikembangkane. Mencari dukungan dari orang-orang sekitar yang dapat membantu penderita dalam mengatasi kondisi akibat epilepsif. Subjek diharapkan tetap menjaga kesehatan dan berkonsultasi dengan ahli-ahli yang profesional di bidangnya seperti dokter atau ahli kesehatan agar kemungkinan-kemungkinan yang bersifat membahayakan akibat epilepsi dapat segera ditangani2. Bagi orang-orang di sekitar subjeka. Menerima kondisi subjek dengan tetap memberikan perhatian tanpa menganggap subjek adalah orang yang lemah yang tidak dapat melakukan aktivitas sama sekali.b. Mencari informasi terkait dengan epilepsi sehingga tidak menyebabkan terbentuknya pemahaman yang salah mengenai epilepsi serta informasi mengenai perlakuan yang efektif yang dapat dilakukan kepada subjek. Informasi tersebut selanjutnya diberikan dan dipraktekkan kepada subjek.c. Keluarga diharapkan tidak berputus asa terhadap subjek dan selalu memberikan dukungan positif yang efektif terhadap subjek, baik dukungan secara emosional, informasional, maupun berupa materi dalam upaya pemulihan dan pencegahan kembali.d. Memberikan penjelasan mengenai epilepsi pada masyarakat agar mereka memahami epilepsi secara benar sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang salah mengenai epilepsi

BAB IIIPEMBAHASAANA. PENGERTIANEpilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.Epilepsy adalah merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-ulang. Diagnosa ditegakkan paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.B. PATOFISIOLOGIDasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialahgamma amino butyric acid(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Anonim, 2009).

C. ETIOLOGIDitinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya.2. Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otakd. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otakf. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otakg. Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

D. MANISFESTASI KLINIS DAN PRILAKU1) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan.2) Kelainan gambaran EEG3) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptoge4) Dapat mengalamiaurayaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)5) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar6) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.7) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal8) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat9) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba10) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang11) Gigi geliginya terkancing12) Hitam bola matanya berputar- putar13) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecilE.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK1) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas2) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan3) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.4) Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah menilai fungsi hati dan ginjal menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi). Pungsi lumbalutnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

F. PENATALAKSANAANManajemen Epilepsi :1) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi2) Melakukan terapi simtomatik3) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni: Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal. Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.Cara menanggulangi kejang epilepsi :1. Selama Kejanga) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahub) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkac) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.2. Setelah Kejanga) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mald) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejange) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungaf) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembuth) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.

G. PENCEGAHANUpaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.H. PENGOBATANPengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi ini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua.