Paper Neuro

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tetanus merupakan salah satu contoh penyakit yang sering terjadi. Biasa dihubungkan dengan benda tajam yang berkarat. Semua golongan usia dapat menderita tetanus, bayi, anak-anak, dewasa, maupun lansia. Bila sudah terpajan, tetanus akan sangat cepat penyebarannya di dalam tubuh dan dapat berakibat fatal. Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad–abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci percobaan. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani bersama Nicolaier. Setahun kemudian Kitasato bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus dan mengungkap keberhasilan netralisasi toksin menggunakan antiserum spesifik. Pada tahun 1925, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas. Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non-imun, individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh namun gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, PAPER SMF Neurologi RS Haji Medan 2015 “TETANUS” Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara Amatul Shafi – 7111080230 1

description

Paper Neurologi tentang Tetanus mencakup definisi, etiologi, patogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari sumber terpercaya.

Transcript of Paper Neuro

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangTetanus merupakan salah satu contoh penyakit yang sering terjadi. Biasa dihubungkan dengan benda tajam yang berkarat. Semua golongan usia dapat menderita tetanus, bayi, anak-anak, dewasa, maupun lansia. Bila sudah terpajan, tetanus akan sangat cepat penyebarannya di dalam tubuh dan dapat berakibat fatal.

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabadabad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci percobaan. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani bersama Nicolaier. Setahun kemudian Kitasato bersama dengan von Behring melaporkan adanya antitoksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus dan mengungkap keberhasilan netralisasi toksin menggunakan antiserum spesifik. Pada tahun 1925, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non-imun, individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh namun gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama negara beriklim tropis dan negara-negara berkembang. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, pedesaan, daerah dengan iklim hangat selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-anak.Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus.Tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk serta fasilitas Intensive Care Unit (ICU) yang tidak selalu tersedia. Sebagian besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan suportif di ICU. Keberhasilan terapi suportif akan menentukan outcome, di samping faktor beratnya penyakit.Oleh karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal, maka kita perlu mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan dan komplikasi yang dapat timbul.1.2. Tujuan PembahasanPenulisan paper ini bertujuan untuk mengetahui dengan tuntas tentang tetanus mencakup definisi, epidemiologi singkat, etiologi, patogenesis dan patofisiologi, tanda dan gejala, cara penegakan diagnosa, penatalaksanaan, hingga komplikasi dan prognosis sehingga penulis mampu menangani kasus tetanus sesuai kompetensi dokter umum yang telah ditetapkan. Di samping itu guna penulisan ini yaitu untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Neurologi Rumah Sakit Haji Medan.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1. DEFINISI Kata tetanusdiambil dari bahasa Yunani yaitu tetanosdari teineinyang berarti menegang. Tetanus yang juga dikenal denganlockjaw adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat dan dihasilkan oleh Clostridium tetani yang menginfeksisistem sarafdanototsehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease.8,9Menurut Harrison dan de Jong, Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. 2,42.2. EPIDEMIOLOGITetanus masih tetap bersifat endemik di negara-negara berkembang walaupun WHO telah menargetkan eradikasi tetanus pada tahun 1995. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.Mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.2.3. ETIOLOGI2.3.1. MikrobiologiInfeksi tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini merupakan bakteri anaerob dengan Gram positif yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora terminal. Bakteri ini banyak terdapat di tanah yang terkontaminasi tinja binatang misalnya kuda, dan bisa juga terdapat pada manusia. Beberapa jenis C.tetani dapat dibedakan berdasarkan antigen flagelar spesifik. Semua mempunyai antigen O (somatik) yang sama dan menghasilkan jenis antigenik neurotoksin yang sama, yaitu tetanospasmin. Sintesis eksotoksinnya dikontrol oleh gen ekstrakromosom, dalam hal ini plasmid.3 Spora berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron, ujung sel menyerupai drumstick atau raket squash dan tidak berwarna. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C selama 15-20 menit. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam apabila keadaannya memungkinkan yaitu keadaan anaerob yang biasanya terjadi karena adanya jaringan nekrotik, adanya garam kalsium, adanya kuman piogenik lainnya, vaskularisasi yang tersumbat, dan bekas pemotongan tali pusat kemudian berkembang biak. Semua hal tersebut membantu potensial oksidasi-redukso yang rendah. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.(a) (b)

Gambar 2.1. (a) Pewarnaan Gram C.tetani tampak bentuk vegetatif basil dan spora drum stick (b) Gambar skematis tetanospasmin

Clostridium tetani tidak bersifat invasif dan akan tetap berada di luka. Tetapi spora akan menjadi bentuk vegetatif dan memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolysin yang dilepaskan ketika sel lisis. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas (suhu 65oC) dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan betanggung jawab atas manifestasi klinis tetanus berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang.Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuron yang dipengaruhi. 1,2,32.3.2. Faktor RisikoFaktor host mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Diantaranya yaitu: 1) Usia. Tetanus merupakan penyakit usia aktif (5-40 tahun), neonatus, dan wanita selama persalinan dan aborsi.2) Jenis kelamin. Pria lebih bayak terserang daripada wanita.3) Pekerjaan. Pekerja agrikultur lebih tinggi resiko terinfeksi C.tetani.4) Daerah persebaran di pedesaan dibanding perkotaan.5) Imunitas. Herd immunity tidak melindungi imunitas perorangan.6) Lingkungan dan Kebiasaan. Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka baik akibat trauma, cedera iatrogenik, maupun infeksi yang membuka jalan masuk seperti pada otitis dan abses gigi dimana luka tersebut kemudian terkontaminasi oleh spora dari Clostridium tetani. Masalah utama pada infeksi C.tetani ini adalah hygiene.2.4. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIC.tetani memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit (luka). Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk germinasi sporanya, akan berkembang biak, dinding sel kuman bentuk vegetatif lisis dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolisin. Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka, sehingga tidak ada penyebaran kuman. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi karena tidak semua strain memiliki plasmid.Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah tetapi sedikit memiliki efek klinis, melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat: (1) Secara lokal: toksin diabsorpsimasuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya lalu berjalan ke neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat atau motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat, (2) Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat. Gambar 2.2. Patogenesis Tetanospasmin di Neuron

Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam SSP. Transpor intraneuronal retrograd lebih jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor, lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf sensorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju SSP. Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Rantai ringan tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmiter. Gambar 2.3. Mekanisme Inhibisi Tetanospasmin Terhadap Neurotransmitter

Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, dimana setelah toksin menyebarangi sinaps untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan -amino butyric acid (GABA). Interneuron spinal yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak menimbulkan nyeri hebat dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. Sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya kadar katekolamin plasma dan ekskresi katekolamin dalam urine. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel dan tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin tetanus, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam SSP. Perubahan akibat toksin tetanus, yaitu pada SSP, efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. Rasa sakit Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neuropathic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

Aktifitas neuromuskular perifer Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena aksonopati.

Perubahan pada sistem saraf autonom mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem sistem simpatis dan parasimpatis (terjadi fluktuasi dari aktifitas). Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.2.5. MANIFESTASI KLINISMasa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. 2.5.1. Klasifikasi Klinis

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

1) Tetanus LokalTetanus lokal Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. . Pasien dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.2) Tetanus Umum (Generalisata)Merupakan bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Ascending Tetanus Suatu bentuk penyakit tetanus yang pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci (lock jaw). Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan napas akut yang mengancam nyawa. Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (5). Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.3) Tetanus Sefalik

Tetanus sefal jarang terjadi merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang terkena (paling sering paralisis N VII dan N III). Paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi. 4) Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menetek/menelan ASI (biasanya keluhan awal), iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.

Posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.2.5.2. Derajat KeparahanTerdapat beberapa sistem Sistem Skoring untuk menentukan derajat keparahan infeksi tetanus. Skoring ini perlu dilakukan untuk menilai dan menetukan berat penyakit, mengarahkan pada manajemen terapi yang tepat dan juga bertindak sebagai penentu prognostik. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia.Tabel 1. Tolok Ukur PhilipsVariableTolak ukur Nilai

Masa inkubasi < 48 jam

2- 5 hari

6- 10 hari

11-14 hari

14 hari5

4

3

2

1

Lokasi infeksiInternal/umbilical

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui5

4

3

2

1

ImunisasiTidak ada

Mungkin ada/ibu dapat

>10 tahun lalu

16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh AblettDERAJAT I (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

DERAJAT II (sedang): Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 kali per menit, disfagia ringan.

DERAJAT III (berat): Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme reflek berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea, disfagia berat, dan takikardi (lebih dari 120 kali per menit).

DERAJAT IV (sangat berat): Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan sistem kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardi, salah satunya dapat menetap.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut UdwadiaGrade I (ringan)Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang)Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III (berat)Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV (sangat berat)Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

Skor 0-1: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%

Skor 2-3: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%

Skor 4: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%

Skor 5-6: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.6. PEMERIKSAAN

2.6.1. Anamnesa dan Pemeriksaan FisikBagan anamnesis yang perlu ditanyakan pada pasien tetanus: Menanyakan keluhan-keluhan kaku pada wajah, leher, perut, dan anggota gerak. Apakah mulut pasien hanya bisa dibuka 2 jari. Menanyakan riwayat penyakit dahulu, terutama riwayat kecelakaan dan luka sempat berkontak dengan tempat yang kotor dalam 2 minggu terakhir, riwayat demam atau kejang, penyakit lain dan pernah di rawat di rumah sakit, riwayat alergi, DM, dan otitis media, ganggren gigi. Riwayat imunisasi dan pemberian ulang vaksin DT (difteri dan tetanus), riwayat pemberian ATS (anti tetanus toxoid). Menanyakan riwayat sosial: Kebersihan, perilaku hygiene pasien. Jika punya riwayat luka, pasien dapat merawat lukanya atau tidak. Jika punya riwayat pembedahan, apakah pasien mendapatkan antibiotik setelahnya.Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan melihat adanya luka dan gejala yang khas pada penyakit. Meminta pasien untuk membuka mulut, pada kasus tetanus biasanya hanya dapat membuka mulut maksimal 2 jari. Melihat apakah adanya kekakuan wajah (rhisus sardonikus), leher dan anggota gerak. Penting diperhatikan bahwa kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus.Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif). 2.6.2. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilainilai yang spesifik; leukosit dapat normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadangkadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.2.7. DIAGNOSIS

Diagnosa yang umumnya dipakai adalah diagnosa kerja dan diagnosa pembanding (differential diagnose/DD). Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif.91) Diagnosa Kerja2Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pemeriksaan kuman C.tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman dan adanya trias tetanus, kejang tanpa gangguan kesadaran.2) Diagnosa Banding1Bila gambaran klinis sudah jelas, biasanaya diagnosis pasti mudah ditegakkan. Pada fase awal kadang keraguan dapat timbul. Beberapa keadaan yang dapat menimbukan manifestasi mirip tetanus yaitu:

Tabel 3. Diagnosa Banding Tetanus

INFEKSI

Meningoencephalitis

Polio

Rabies

Lesi oropharyngealDemam, dapat ditemukan dysphagia, kaku pada leher, trismus (-), sensorium depresi, abnormal CSF

Trismus tidak ada, paralise tipe flaccid, abnormal CSF

Gigitan binatang, trismus (-), hanya oropharyngeal spasm, Khas hidrofobik

Hanya lokal, trismus ada, rigiditas generalisata dan spasme (-)

KELAINAN METABOLIK

Hypocalemic Tetany

Keracunan StrychnineReaksi PhenothiazineKejang pada kaki dan tangan (carpopedal), rasa perih di sekitar mulut. Trismus jarang ditemukan. Chvosteks dan Trousseaus sign mungkin ditemukan. Pada Chvosteks sign ditemukan kedutan pada sisi ipsilateral dari otot wajah jika wajah diketuk di anterior telinga dan di bawah tulang zygomaticus. Pada Trousseaus sign ditemukan kontraksi otot berupa fleksi pada pergelangan dan metacarpophalangeal, hiperekstensi dari jari-jari, dan flexi pada ibu jari ke telapak tangan jika lengan dioklusi selama beberapa menit. Pada tetanus tidak muncul kejang pada carpopedal serta Chvosteks dan Trousseaus sign

DD utama tetanus. Karekteristik spasme dari tetanus (seperti strichnine) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks sinaptik di spinal cord. Kerja dari tetanospamin analog dengan strychnine, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. Berupa kejang tonik umum.Bedanya pada keracunan ini ada relaksasi komplit di antara spasme dan riwayat penggunaan strychnine.

Dystonia (gejala ekstrapiramidal), respon terhadap diphenhydramine.

PENYAKIT CNSStatus Epiletikus

Hemorrhage/tumorKejang, tidak ditemukan kekakuan otot di antara kejang. Bisanya sudah ada riwayat serangan epilepsi. Sensorium depresi.

Trismus tidak ada, sensorium depresi

PSIKIATRIKHysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antar spasme

MUSKULOSKELETALTrauma Hanya lokal

2.8. PENATALAKSANAANAda tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.2.8.1. Pencegahan Tetanus

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam upaya menurunkan morbilitas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus (1) Perawatan luka yang adekuat (2) Imunisasi aktif dan pasif. 2Suntikan untuk mendapatkan kekebalan aktif dengan Tetanus Toksoid (TT) dan suntikan untuk menimbulkan kekebalan pasif digunakan 2 anti tetanus serum (ATS) dan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG), untuk kekebalan aktif dengan TT. ATS sebanyak merupakan serum yang dapat langsung mencegah timbulnya tetanus. Sementara itu, vaksin tetanus toxoid tidak untuk mencegah tetanus saat itu, namun untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap tetanus, sehingga mencegah terjadinya tetanus di kemudian hari bila ternyata luka tersebut masih mengandung kuman, juga mencegah tetanus pada kejadian lain dalam jangka waktu kira-kira 6 bulan bila tanpa booster.6 Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan TT. Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.Tabel 4. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus

Bayi dan anak normal.Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.

Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.

Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal sampai usia 7 tahun yang tidak diimunisasi pada masa bayi awal.DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama.

Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.

Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.

Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang belum pernah diimunisasi.Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah injeksi kedua.

Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum pernah diimunisasi.Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).

Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.

Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Sumber: Edlich, 2003

Aturan Pemberian Tetanus Toksiod: (1) Imunisasi pasif dengan human immune globulin tidak diindikasikan jika pasien tersebut sudah mendapat suntikan toksoid minimal 2 kali sebelumnya. (2) Pasien dengan imunisasi lengkap yaitu, pasien yang sudah mendapat booster dalam 10 tahun terakhir, tidak memerlukan penatalaksanaan tambahan untuk luka-luka non tetanus biasa. Jika luka dicurigai mengandung tetanus, injeksi 0,5 ml toksoid tetanus booster yang dapat diabsorbsi harus diberikan jika pemberian terakhir telah lebih dari 5 tahun yang lalu. (3) Pasien dengan riwayat imunisasi lengkap tetapi booster yang didapat sudah melewati masa 10 tahun harus mendapat toksoid tetanus untuk semua luka tembus. (4) Pasien dengan riwayat imunisasi pernah mendapat sekali injeksi atau kurang, atau riwyatnya tidak diketahui harus mendapat toksoid tetanus untuk luka nontetanus. Untuk luka yang dicurigai tetanus dapat diberikan ATS.Tabel 5. Perbandingan ATS dan TTPemberian Anti Tetanus Serum (ATS)

Sifat: Pasif, merupakan antibodi yang sudah jadi sehingga tubh tidak membentuk antibodi lagi

Perlu ditest alergi

Onset of action cepat

Duration of action singkat ( 2 minggu)

Dosis profilaksis Dewasa: 3000 IU, Anak: 1500 IU, secara IM

Dosis terapeutik Dewasa: 20.000 IU yang dapat diberikan maksimal 5 kali (100.000 IU)Pemberian Tetanus Toksoid (TT)

Sifat: Aktif, mengandung kuman yang harus dilemahkan sehingga tubuh haru membentuk antibodi lagi

Onset of action lama

Duration of action panjang

Dapat diberikan bersama ATS bila diperkirakan masa kerja ATS akan selesai

Dosis: 0,5 cc / IM

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus

Tabel 6. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Tampilan klinisLuka rentan tetanusLuka tidak rentan tetanus

Usia luka> 6 jam< 6 jam

KonfigurasiBentuk stellate, avulsiBentuk linier, abrasi

Kedalaman> 1 cm 1 cm

Mekanisme cideraMisil, crush injury, luka bakar, frostbiteBenda tajam (pisau, kaca)

Tanda-tanda infeksiAdaTidak ada

Jaringan matiAdaTidak ada

Kontaminan (tanah, feses, rumput, saliva, dan lain-lain)AdaTidak ada

Jaringan denervasi/iskemikAdaTidak ada

Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.Tabel 7. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma 2Riwayat imunisasi tetanus sebelumnya (dosis)Luka rentan tetanusLuka tidak rentan tetanus

TTATSTTATS

Tidak diketahuiYa*YaYa*Tidak

1 x DT atau DTP2 x DT atau DTP3 x DT atau DTPYa*Ya*Tidak++YaYa

TidakYa*Ya*Tidak+TidakTidak

Tidak

*Seri imunisasinya harus dilengkapi+ kecuali booster terakhir > 10 tahun

++ kecuali booster terakhir sudah > 5 tahun

Cara Pemberian IM (ATS 1500 IU / HTIG 250 IU)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini.92.8.2. Manajemen Penatalaksanaan Tetanus1) Netralisasi dari toksin yang bebasAntitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (HTIG) dengan dosis 3000-6000 U secara IM merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi karena volumenya besar. TIG tidak boleh diberikan secara intravena karena mengandung "anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.2) Menyingkirkan sumber infeksi Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secara luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol mungkin merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin.3) Pengendalian rigiditas dan spasmeRegimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin. Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua.4) Penatalaksanaan Respirasi

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini.

5) Pengendalian Disfungsi Otonom

Metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi pertama. Benzodiazepin, antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas kardiovaskular.6) Penatalaksanaan intensif suportifTurunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dan lebih murah daripada nutrisi parenteral. Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan, kecukupan kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.7) Vaksinasi

Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.2.8.3. Farmakologi Obat-Obatan Yang Biasa Dipakai Pada Tetanus

1) Diazepam Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama. Dosis dewasaSpasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perluSpasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perluSpasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam Dosis pediatrikSpasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat kali sehariSpasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.2) FenobarbitalDosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari. 3) Baklofen Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa4) Penisilin G Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas. Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari5) MetronidazolMetronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4 gr/hari. Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih dari 2 gr/hari. Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan. 6) Vekuronium (muscle relaxant)

Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan terjadinya paralisis muskuler. Aman bagi jantung. Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi , menjadi 0,05 mg/kg apabila pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis: 0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi. Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun: mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dan suplementasi yang lebih sering, > 10 tahun: seperti dosis biasa. 2.9. KOMPLIKASI1) Pada saluran pernapasan

Oleh karena spasme otototot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2) Pada kardiovaskuler

Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3) Pada tulang dan otot

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terusmenerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

4) Komplikasi yang lain

Laserasi lidah akibat kejang Ulkus dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja

Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom.Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu: Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.Tabel 8. Komplikasi-Komplikasi TetanusSistemKomplikasi

Jalan napasAspirasi

Laringospasme/obstruksi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif

RespirasiApne

Hipoksia

Gagal nafas

ARDS

Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)

KardiovaskulerTakikardia, hipertensi, iskemia

Hipotensi, bradikardia

Asistol, gagal jantung

GinjalHigh output renal failure

Gagal ginjal oligouria

Stasis urin dan infeksi

GastrointestinalStasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan

Lain-lainPenurunan berat badan

Tromboembolus

Sepsis dengan gagal organ multipel

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme

2.10. PROGNOSISTetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. Pasien dengan tetanus berat umumnya membutuhkan perawatan ICU 3-5 minggu. Tonus meningkat dan spasme minor mungkin dapat terjadi hingga berbulan-bulan namun diharapkan dapat kembali ke fungsi semulanya.Tabel 9. Klasifikasi Prognostik menurut Cole-Spooner

Kelompok PrognostikPeriode AwalMasa Inkubasi

I36 jam>6 hari

IIITidak diketahuiTidak diketahui

Angka kematian pasien dalam kelompok prognostik I lebih tinggi dari kelompok prognostik II dan III.BAB III

PENUTUP3.1. KesimpulanTetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh neurotoksin bakteri anaerob Clostridium tetani. Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas yang sering disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher. Pada keadaan yang lebih lanjut terdapat gejala seperti trismus, kejang opistotonus, sampai menimbulkan kematian. Tetanus tidak menyerang saraf sensorik atau fungsi korteks. Hal ini menyebabkan penderita sadar dan harus menahan rasa yang sangat nyeri.

Pengobatan yang dapat diberikan seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk kejang digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan memakai respirator.

Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala klinis pertama sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan prognosis. DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Bab 445 Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Hal. 2911-2923.2. Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2012. Hal 45-50.

3. Brooks, Geo F. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Edisi 23. Jakarta : EGC. 2008. Hal. 207-210

4. Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. United State: McGraw-Hill. 2008. Hal. 711-7135. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana KegawatDaruratan Tulang Belakang. Jakarta: CV Sagung Seto.2009.6. Schwartz, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. EGC, Jakarta: 20037. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008. Hal.126-127

8. Dire DJ. Tetanus [jurnal]: Deparment of emergency medicine. University of Texas-Houston. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/786414-diagnosis. Diakses tanggal 16 April 2015.

9. Edich RF, Hill LG, Mahler CA, et a. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long Term Effect of Medical Implants. 2003;13(30):292-301

10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al Neurological Aspect of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2000;69:292-301

11. Laksmi, Ni Komang Saraswita. Dalam Jurnal CDK. Penatalaksanaan Tetanus. Diunduh dari: http://www.kalbemed.com diakses tanggal 16 April 2015

12. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam Malik. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf. Diakses tanggal 16 April 2015.PAPER SMF Neurologi RS Haji Medan 2015 TETANUS

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara

Amatul Shafi 7111080230

1