Skenario Kedua

4
 edah Kasus Skenario Kedua Tugas Remidi : Psikologi Belajar Lanjut Dosen pen gampu : Prof.Dr.Amit ya Kumara,.M. Disusun ole! : Tri "ido#ati $%&'$$&( PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA 2014 A. Teori ya! Di! "a#a "$ "# Be%a& Ka'" '

description

Psikologi belajar lanjut

Transcript of Skenario Kedua

Bedah Kasus Skenario Kedua

Tugas Remidi

: Psikologi Belajar LanjutDosen pengampu: Prof.Dr.Amitya Kumara,.M.S

Disusun oleh :Tri Widowati12091103PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

2014

A. Teori yang Digunakan untuk Bedah Kasus

1. Social Cognitive Theory (Albert Bandura) alasan pemilihan teori ini dikarenakan :

Teori kognitif sosial dapat diaplikasikan guna membantu memahami dan merumuskan intervensi dalam konseling belajar dan perkembangan individu.

Teori kognitif sosial mengakui baik adanya kontribusi sosial terhadap cara manusia berpikir dan bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap motivasi, emosi, dan tindakan individu.

B. Peran Teori Sosial Kognitif dalam membedah Kasus

Berdasarkan deskripsi kasus skenario kedua dapat dicermati bahwa pemicu masalah utamanya adalah perceraian dan perkawinan kembali ibunya sebagai akibat melorotnya nilai belajar subyek disekolah.Hal ini bisa diketahui pada saat wawancara psikolog dengan Budi, perilaku yang nampak adalah Budi ragu, tidak yakin atas dirinya, menghindari kontak mata dan saat berbicara suaranya pelan. Dari konsep ini, bisa dikatakan bahwa perilaku dan peristiwa perceraian orangtua kandung subyek serta adanya pernikahan kembali ibunya dengan ayah tiri adalah bentuk manifestasi situasi yang langsung memberi efek negetif pada perilaku subyek.Subjective WellBeing (SWB) yaitu evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi tersebut bersifat kognitif dan afektif. Evaluasi yang bersifat kognitif meliputi bagaimana seseorang merasakan kepuasan dalam hidupnya. Evaluasi yang bersifat afektif meliputi seberapa sering seseorang merasakan emosi positif dan emosi negatif. Seseorang dikatakan mempunyai tingkat subjective wellbeing yang tinggi jika orang tersebut merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif seperti kegembiraan dan kasih sayang serta jarang merasakan emosi negatif seperti kesedihan dan amarah (Diener, Suh, dan Oishi, 1997). Kasus yang dihadapi subyek erat kaitannya dengan Subjective wellbeing, ini merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena subjective wellbeing mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan (Pavot & Diener, 2004). Individu dengan tingkat subjective wellbeing yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik. Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjective wellbeing yang tinggi dapat melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga merasakan kehidupan yang lebih baik.Berdasarkan pada pengamatan terhadap fenomena yang ada, hasil penelitian awal dan beberapa referensi yang telah diuraikan di atas memberikan Subjective Well-Being Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. jurnal psikologi 197 gagasan dalam penelitian ini untuk mengetahui proses yang sebenarnya dialami dan bagaimana dinamika psikologis subjective wellbeing yang terjadi pada anak dari orang tua yang bercerai. Kajian tersebut jika dikaitkan dengan teori belajar sosial kognitif akan menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.Menurut Bandura, bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial kognitif adalah pemodelan (modelling),dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Hal ini bisa dijelaskan bahwa Budi mengambil langkah selektif untuk dirinya sendiri dengan cara meminta kepada orangtuanya untuk Homescholing namun apakah keadaan ini dapat membantu dirinya keluarga dari permasalahan, semua itu memerlukan proses belajar sosial dalam membangun kehidupan sosialnya.C. Bentuk Intervensi Pemecahan Masalah

Bentuk intervensi yang cocok dikenakan dalam pemecahan kasus subyek adalah Intervensi Social Kognitive, langkah-langkahnya sebagai berikut : 1. Konselor memberikan pemahaman kepada kedua orangtua subyek agar tetap memberikan motivasi kepada subyek untuk tetap meningkatkan prestasi belajar dan membangun hubungan interaksi sosial subyek melalui pembinaan secara berkelanjutan yang disertai perhatian yang baik.

2. Khususnya untuk subyek, konselor memberikan pemahaman mengenai pentingnya belajar, tujuannya agar subyek lebih memfokuskan perhatian dan pikirannya ke pelajaran, dengan kesibukan yang positif serta adanya penguatan diri dari subyek, maka langkah ini bisa membantu untuk peningkatan rasa percaya diri disekolah dan dalam pergaulan sosialnya subyek.Daftra Pustaka

Diener, Suh, dan Oishi. 1997. Recent Findings on Subjective WellBeing. Indian Journal of Clinical Psychology, March, 1997. @ www.psych.uiuc.edu.Pavot & Diener, 2004. The Subjective Evaluation of WellBeing in Adulthood: Findings and Implication. Ageing International, Spring 2004, Vol. 29, No. 2, pp. 113135.Pracasta dkk 2010., Subjective WellBeing Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.