Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

43
Skenario 1 Blok 19 Seorang laki-laki berumur 28 tahun dirujuk ke RSMH palembang dari RSUD Sekayu sekitar jam 19.00 WIB karena tanpa sengaja meminum air di dalam botol akua berisi cairan cuka para, penderita mengerang kesakitan di dada dan kesulitan bicara. Pada saat itu, penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu. Selama didalam mobil ambulan, penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen. Sekitar jam 23.00 WIB, penderita sampai diruang emergency RSMH palembang dan diberikan kembali oksigen namun penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun. Pada pemeriksaan fisik: temp aksila. 37,0 C, HR 122 x/m, TD 130/90 mmHg, RR 28 x/m dan SpO2 98%. Laki-laki tersebut mengalami disorientasi tempat dan waktu. Pada pemeriksaan pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya +, dan tubuhnya banyak mengeluarkan keringat. Auskultasi dada : ronkhi (-), stridor inspirasi (+), ritme jantungnya takikardi reguler, abdomen dalam batas normal. Kepala : Hematom pada regio frontal diameter 5 cm, GCS : 11 (A: 3, M: 5, V: 3), Eriteme perioral mukosa mulut. Toraks : Inspeksi : jejas (-), RR 28 reguler,retraksi suprastenal, bercak eritema pada dada. Perkusi : sonor, kiri = kanan. Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-). Abdomen dalam batas normal

description

6f[6[

Transcript of Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Page 1: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Skenario 1 Blok 19

Seorang laki-laki berumur 28 tahun dirujuk ke RSMH palembang dari RSUD Sekayu sekitar jam 19.00 WIB karena tanpa sengaja meminum air di dalam botol akua berisi cairan cuka para, penderita mengerang kesakitan di dada dan kesulitan bicara.

Pada saat itu, penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu. Selama didalam mobil ambulan, penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen. Sekitar jam 23.00 WIB, penderita sampai diruang emergency RSMH palembang dan diberikan kembali oksigen namun penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun.

Pada pemeriksaan fisik: temp aksila. 37,0 C, HR 122 x/m, TD 130/90 mmHg, RR 28 x/m dan SpO2 98%. Laki-laki tersebut mengalami disorientasi tempat dan waktu. Pada pemeriksaan pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya +, dan tubuhnya banyak mengeluarkan keringat. Auskultasi dada : ronkhi (-), stridor inspirasi (+), ritme jantungnya takikardi reguler, abdomen dalam batas normal.

Kepala : Hematom pada regio frontal diameter 5 cm, GCS : 11 (A: 3, M: 5, V: 3), Eriteme

perioral mukosa mulut.Toraks :

Inspeksi : jejas (-), RR 28 reguler,retraksi suprastenal, bercak eritema pada dada. Perkusi : sonor, kiri = kanan. Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-).

Abdomen dalam batas normal

Page 2: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

A. Klarifikasi Istilah

1. Cairan cuka para : Asam format (asam metanoat) yang juga dikenal asam semut merupakan cairan tak berwarna dengan bau yang merangsang. Biasanya digunakan untuk menggumpalkan lateks (getah karet).

2. Kesakitan di dada : Sensasi tidak menyenangkan atau nyeri di bagian dada.

3. Kesulitan bicara : Gangguan pengeluaran suara dari pita suara yang kemungkinan disebabkan adanya gangguan pada rima glotis (vocal chord).

4. Kesakitan berat : Sensasi yang tidak menyenangkan yang dirasakan dan terlihat sangat sakit.

5. Gelisah : Perasaan cemas atau takut.6. Disorientasi : Suatu keadaan yang dihasilkan karena kehilangan

kewaspadaan terhadap ruang, waktu dan personality.7. Pupil isokor : Diameter pupil yang sama besar8. Ronkhi : Suara napas tambahan yang dihasilkan karena udara

melewati brnkus yang menyempit dan biasanya terdengar dengan menggunakan stetoskop saat ekspirasi.

9. Stridor inspirasi : Suara napas bernada tinggi yang terdengar saat inspirasi disebabkan adanya obstruksi saluran napas atas.

10. Takikardi reguler : Peningkatan frekuensi jantung yang teratur11. Hematoma : Pengumpulan darah setempat, umumnya menggumpal

dalam organ, rongga atau jaringan, akibat pecahnya dinding pembuluh darah.

12. GCS : System numeric yang digunakan untuk mengukur kesadaran pasien setelah terjadi cedera kepala.

13.

Eritema : Kemerahan pada kulit yang dihasilkan oleh pembuluh kapiler

14. Eritema perioralmukosa mulut

: Kemerahan pada daerah sekitar mukosa mulut

15. Retraksi suprastenal : Tarikan dinding dada yang menandakan adanya peningkatan usaha nafas.

16. Bercak eritema pada dada

: Bercak kemerahan yang terlihat pada dada

B. Identifikasi Masalah

Page 3: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

5. Laki-laki berumur 28 tahun dirujuk ke RSMH, karena terminum cairan cuka para dan mengerang kesakitan di dada dan kesulitan bicara.

6. Penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu.

7. Selama didalam mobil ambulan, penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen.

8. Saat sampai diruang emergency RSMH palembang dan diberikan kembali oksigen namun penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun.

9. Pada pemeriksaan fisik didapat : HR 122 x/m, TD 130/90 mmHg, RR 28 x/m, disorientasi tempat dan waktu, tubuhnya banyak mengeluarkan keringat, Auskultasi dada stridor inspirasi (+), ritme jantungnya takikardi reguler.Kepala :

Hematom pada reg. Frontaldiameter 5 cm, GCS : 11 (A: 3, M: 5, V: 3), Eriteme perioral mukosa mulut.

Torak : Inspeksi : RR 28 reguler,retraksi suprastenal, bercak eritema pada dada.

C. Analisis Masalah

1. Apa saja komposisi kimia cairan cuka para?Apa dampak dan gejala cairan cuka para kalau terminum atau terkenah kulit?

2. Mengapa penderita mengerang kesakitan di dada?Mengapa pederita kesulitan bicara?

3. Apa saja dampak penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu?

4. Mengapa penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen?

5. Mengapa saat sampai di RS penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun walaupun telah diberi oksigen?

6. Bagaimana hubungan jarak, waktu 4 jam serta dampak terhadap kondisi penderita?

7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan mekanisme nya?8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tambahan dan mekanisme nya?9. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan? Apa yang terjadi pada pasien

ini (DK)?10. Bagaimana tatalaksana lanjutan?11. Bagaimana prognosis, komplikasi, dan KDU?

D. Hipotesis

Page 4: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Laki-laki berumur 28 tahun mengalami intoksikasi zat korosif (cuka para) dan trauma kapitis.

E. Sintesis

1. Cuka ParaNama asam format berasal dari kata Latin formica yang berarti semut. Pada

awalnya, senyawa ini diisolasi melalui distilasi semut. Senyawa kimia turunan asam

format, misalnya kelompok garam dan ester, dinamakan format atau metanoat. Ion

format memiliki rumus kimia HCOO−.

Asam format (nama sistematis: asam metanoat) adalah asam gol. karboksilat yang

paling sederhana, dengan rumus kimia HCOOH atau CH2O2. Asam format secara

alami terdapat pada racun sengat lebah dan semut. Asam format juga merupakan

senyawa intermediet (senyawa antara) yang penting dalam banyak sintesis kimia.

Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari

ordo Hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Asam format juga merupakan hasil

pembakaran yang signifikan dari bahan bakar alternatif, yaitu pembakaran metanol

(dan etanol yang tercampur air), jika dicampurkan dengan bensin.

Asam format, secara prinsip, digunakan sebagai pengawet dan agen antibakteri di

tempat penyimpanan makanan ternak (jerami) dengan cara disemprotkan.

Penggunaan lain asam ini meliputi :

- Proses pengubahan latex organic menjadi karet mentah

- Menyamak kulit sebagai bahan textile

- Insektisida (kutu Acarapis woodi & Varroa)

- Bahan bakar

- Kepentingan laboratorium (sumber CO, HPLC separation, hydrogen storage)

- Dll

Kandungan:Gugus asam dan gugus karboksilat. Berbeda dengan asam karboksilat yang lain, asam

format mempunyai sifat mereduksi. Hal ini karena di samping mengandung gugus

asam, senyawa ini masih mempunyai gugus aldehida.

Dampak cuka para pada tubuh:

Page 5: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Secara umum, zat asam ketika berkontak dengan sel akan menyebabkan necrosis

koagulatif dengan cara denaturasi protein, membentuk koagulum yang disebut

eschar. Pembentukan eschar ini memiliki fungsi protektif untuk menghalangi daya

tembus zat asam tsb.

Kesakitan di dada dan kesulitan bicaraPada kasus, seseorang terminum cuka para ( bahan korosif ). Cuka para ini akan

menimbulkan nyeri hebat dan seperti terbakar karena ia mengikis mukosa mulut.

Kemudian, cuka para mengenai faring, laring sehingga menimbulkan edema laring

yang menyebabkan fungsi fonasi terganggu sehingga ia kesulitan bicara. Selanjutnya,

cuka para akan dilanjutkan ke esophagus. Cuka para juga akan mengikis mukosa

esophagus yang menyebabkan nyeri hebat dan seperti terbakar ( sakit di dada ).

Kemudian, cuka para akan diteruskan ke abdomen.

2. Cedera kepala Biomekanika trauma kepala

Terjatuh menyebabkan trauma karena adanya perubahan kecepatan yang tiba-

tiba atau deselerasi. Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan kepada tubuh

manusia , maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-

faktor fisik dari kekuatan tersebut dan jaringan tubuh. Beratnya trauma yang

terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk

menahan tubuh. Pada tempat benturan akan terjadi perbedaan pergerakan dari

jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Karakteristik

permukaan yang menghentikan gerak tubuh juga penting, permukaan yang

keras, menambah beratnya deselerasi dan akan menimbulka trauma yang lebih

berat.

Trauma juga bergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.

Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan sebelum

benturan . viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya

walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada ke

dua keadaan diatas, berat trauma yang terjadi , tergantung seberapa jauh gaya

Page 6: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

yang ada, akan dapat melewati ketahanan jaringan. Karenanya berat ringannya

trauma akan ditentukan oleh :

kinematik dari deselerasi vertikal,

viskoelastsitas jaringan

karakteristik fisik dari permukaan benturan

posisi dari tubuh relatif terhadap permukaan benturan.

Pada kasus, korban jatuh dengan kepala membentur batu, artinya seluruh energi

transfer ditujukan pada suatu area yang kecil dan terfokus pada suatu titik dalam

(frontal) . Trauma tumpul kepala à kerusakan jaringan terjadi sewaktu energy/

kekuatan akibat trauma diteruskan ke otak à energy diserap oleh lapisan

pelindung otak yaitu rambut, kulit kepala, & tengkorak (kerusakan jaringan

pelindung otak, dasar tulang terlihat) à trauma hebat à penyerapan tidak cukup

untuk melindungi otak à sisa energy diteruskan ke otak

Klasifikasi trauma kapitis

1. Komosio serebri adalah keadaan dimana si penderita setelah mendapat

trauma kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari

10 menit). Kemudian si penderita dengan cepat siuman kembali tanpa

mengalami suatu kelainan neurologis. Gejala-gejala yang dapat dilihat

adalah :

a. Penderita tidak sadar sejenak (± 10 menit)

b. Wajahnya pucat

c. Kadang-kadang disertai muntah

Page 7: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

d. Nadi agak lambat : 60-70/ menit

e. Tensi normal atau sedikit menurun

f. Suhu normal atau sedikit menurun

g. Setelah sadar kembali mungkin tampak ada amnesia retrogad

h. Tidak ada Post-Traumatic Amnesia (PTA)

2. Kontusio serebri (memar otak). Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang

disebabkan oleh trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil

(perdarahan yang terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata

pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat

mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan

terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.

3. Hematoma epidural. Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi

diantara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3%

kasus trauma kapitis. Perdarahan ini terjadi akibar robeknya salah satu cabang

arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya

arteria diploika. Gejala-gejala yang dapat dijumpai yaitu :

a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya trauma

kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita

adalah baik.

b. Tensi yang semakin bertambah tinggi

c. Nadi yang semakin bertambah lambat

d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan hemiplegi di

sisi kontralateral dari garis fraktur.

e. Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian).

f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea

media atau salah satu cabangnya.

4. Hematoma subdural Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi

diantara durameter dan arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya

sobekan pada “bridging veins”. Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis,

hematoma subdural dibagi atas 3 jenis :

Page 8: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

a. Hematoma subdural akut Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam

setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar

luas.

b. Hematoma subdural sub-akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan

dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.

c. Hematoma subdural kronik

Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.

Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang

baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea.

Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula

ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi

durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat

menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat

pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan

menggembungnya hematoma.

5. Hematoma intraserebral. Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio

sehingga secara umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang

mengancam terjadianya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema

lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang

dioperasi. Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah

mengalami trauma kapitis akan memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem

(pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang

meningkat, dan artreiografi karotis dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri

perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media

yang tidak normal.

Patofisiologi

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturanà memar pada permukaan otak,

laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragià cedera sekunder dapat

terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area

cederaà hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan

permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arteriaà peningkatan isi intrakranial,

Page 9: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

àpeningkatan tekanan intrakranial (TIK). à menyebabkan cedera otak sekunder

meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensià penurunan kesadaran.

Penyebab Pasien Tampak Sakit Berat, Gelisah, Tidak Dapat Bicara, Sulit

Nafas

Tidak ada perbaikan walau sudah di berikan oksigen

Pada kasus terjadi :

a) Obstruksi airway

Hal ini dikarenakan terjadi striktura sel-sel faring (dan supraglottis) yang

mengalami luka bakar sehingga terbentuk obstruksi jalan napas.

Cuka para (zat korosif)

Tertelan ( Ingesti)

terjadi kerusakan saluran cerna

terjadi reaksi inflamasi

Kerusakan di mukosa bibir dan mulut

terdapat banyak ujung syaraf bebas

rasa nyeri hebat

tidak bisa bicara

dampak kesakitan hebat

edema orofaringeal & glotis

obstruksi saluran napas atas

kesulitan bernapas

Suplai O2 ke jaringan << gelisah

Page 10: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Obstruksi jalan napas ini akan mengakibatkan pemberian oksigen kurang

maksimal keran aliran oksigen terhambat.

b) Retensi CO2

Dalam mekanisme ventilasi, terjadi pergantian udara dimana oksigen masuk

kedalam aliran darah dan CO2 keluar ke atmosfer. Pada kasus penyempitan

jalan nafas, “jalan” keluar untuk ekspirasi mengeluarkan CO2 sudah sempit

ditambah lagi dengan penekanan oksigen dari resusitasi oksigen menyebabkan

retensi CO2. Retensi CO2 ini akan menghalangi proses pertukaran O2 dan

CO2 pada alveoli.

Saat sampai di RS penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran

yang menurun walaupun telah diberi oksigen?

Di ruang emergensi, pasien mengalami penurunan kesadaran akibat supply O2

ke dalam tubuh sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan O2 dalam tubuh.

Selain itu, trauma kapitis yang dialami pasien ini mungkin ini juga

menyebabkan kesadaran pasien menurun. Saat terjadi trauma kapitis à TIK

(tekanan intra kranial) akan meningkat dan akan menekan pusat kesadaran

(retikulofornatio) menyebabkan pasien akan kehilanghan kesarannya secara

perlahan.

3. Kompensasi Tubuh terhadap Trauma dalam Waktu 4 Jam

Sistem Kardiovaskuler

Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas

atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.

Page 11: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan

disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takhikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan

mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah

arteriol berkontraksi.

Aktivitas myokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya

stroke work dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf

simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan

terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan

berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan

tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

Sistem Respirasi

Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi

paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi.

Terjadinya pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang

menigkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi

apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran

darah.

Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi,

jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga

terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan

karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan

asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian

terjadi peningkatan tingginya TIK. Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik.

Pada kontusio otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang

mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal

tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan

sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya

TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula

oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia

dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.

Sistem Genito-Urinaria

Page 12: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi

natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.

Keluaran Urin sedikit dan Meningkatnya konsentrasi elektrolit. Retensi Cairan

Pelepasan ADH Trauma . Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus

terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan

dan natrium. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan

pasca trauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan

pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemeberian cairan harus

hati – hati untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan

pemeriksaan serum elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tiadk terjadi kelainan

pada kardiovaskuler.

SistemPencernaan

Setelah 3 hari terdapat respon tubuh yang merangsangtrauma kepala ( aktivitas

hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi

hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid

adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun

pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung

yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya

peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi

produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan

perdarah lambung.

Sistem Muskuloskeletal

Akibat utama dari cederaotak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau

hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu,

pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan

perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas

atau kontraktur. Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2

kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian

posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua

bagian saraf itu bersinaps dengannkelompok neuron – neuron motorik bawah yang

berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot – otot tertentu. Masing – masing

Page 13: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan.

Sehingga ,pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini

cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat

kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot

dan penamilan postur abnormal, yang pada saatny dapat membuat komplikasi seperti

peningkatan saptisitas dan kontraktur

4. Interpretasi hasil pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Nilai normal Interpretasi dan mekanisme

T: 37,00 C Normal : 36,5-37,5 Normal

HR:122x/m Normal : 60-100x/m Takikardi, kompensasi

berkurangnya suplai oksigen

TD : 130/90 mmHg Normal:120/80 mmHg Meningkat, kompensasi

kurangnya suplai darah ke

jaringan tubuh, Terjadi

vasokontriksi akibat kinerja

simpatis dan juga penambahan

CO akibat peningkatan

frekuensi kontraksi jantung

RR : 28 x/m Normal : 16-24 x/m Meningkat, kompensasi

kurangnya suplai oksigen

SpO2 : 98% Cara mengukur jumlah

oksigen yang ada didalam

tubuh adalah dengan

mengukur saturasi oksigen

di dalam darah, yaitu

sekitar 96 - 99%

- Normal ataupun

kemungkinan terjadi prosedur

Kesulitan bernafas yang masih

timbul akibat adanya rasa

nyeri yang ditimbulkan oleh

iritasi bahan korosif, dalam

hali ini cuka para, terhadap

Page 14: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

saluran cerna dan nafas.

Pasien mengalami

disorientasi tempat dan

waktu

Sadar, kompos mentis Terjadi penurunan

kesadaran

Kemungkinan :

1. karena trauma kapitis

yang dialaminya perlu

pemeriksaan lebih

lanjut yakni CT scan.

2. penurunan O2 ke otak.

Pupil isokor Normal selebar 3mm Efek perangsangan saraf

simpatisàserabut radialis

irisàdilatasi

Reflek cahaya (+) (+) Normal

Tubuhnya banyak

mengeluarkan keringat

Perangsangan simpatis akibat

stress tubuh, gangguan

hemodinamik

Auskultasi dada :

Ronkhi (–)

Stridor Inspirasi (+)

Normal

Normal: tak ada

Tidak ada cairan dalam alveoli

Obstruksi saluran nafas atas

terutama mengganggu jalan

nafas akibat hipoksia seluler

dan aktivasi system simpatis

pada kerusakan jaringan,

dehidrasi sel dan jaringan serta

hipovolemia tanpa gangguan

struktur pada jantung

Ritme jantung Normal: tidak takikardi Kompensasi akibat kurangnya

Page 15: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

takikardi reguler suplai darah ke jaringan tubuh

Abdomen dalam batas

normal

Normal Asam format (cuka para) tidak

sampai ke saluran GI karena

kemungkinan dimuntahkan

sebelum sampai lambung

Hematom pada regio frontal, diameter 5cm : akibat kerusakan pembuluh darah

setelah pembuluh darah SCALP dan tulang tengkorak saling bersinggungan

Tabel Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS).

Jenis pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (eye opening / E) :

Spontan

Terhadap suara

Terhadap nyeri

Tidak ada

4

3

2

1

Respon motorik terbaik (M) :

Ikut perintah

Melokalisir nyeri

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi)

Ekstensi abnormal (deserebrasi)

Tidak ada (flasid)

6

5

4

3

2

1

Respon verbal (V) :

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada

5

4

3

2

1

Eritema perioral dan mukosa mulut : akibat proses pelarutan atau denaaturasi

protein oleh asam format (cuka para) pada kulit dan mukosa sehingga terjadi

Page 16: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

gangguan keseimbangan membran dan tekanan osmosis pada kulit menimbulkan

reaksi inflamasi eritema

Thoraks

o Jejas (-) : tidak ada trauma yang mengenai dada

oRR 28 x / menit : Meningkat, sebagai kompensasi kurangnya suplai oksigen`

oRetraksi suprasternal (+) : usaha bernafas yang kuat karena ada gangguan

inspirasi (restriksi)

oBercak eritema pada dada : akibat proses pelarutan atau denaturasi protein

oleh asam format (cuka para) pada kulit dan mukosa sehingga terjadi gangguan

keseimbangan membran dan tekanan osmosis pada kulit yang meimbulkan reaksi

inflamasi eritema

oPerkusi sonor kanan sama dengan kiri

oAuskultasi : vesikuler ronki (-)

Abdomen dalam batas normal

5. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis

a. Waktu saat menelan à pukul 19.00.

b. Jumlah dan sifat bahan yang tertelan à cuka para (asam kuat).

c. Kecelakaan atau disengaja à “tertelan”.

d. Rute à per oral.

e. Keadaan saat pajanan (lokasi, lingkungan, intensitas).

f. Riwayat trauma lainnya (posisi, lokasi, jenis tabrakan, kecepatan dll)

à terjatuh 2 meter dan kepala terbentur batu à trauma kapitis.

b. Pemeriksaan fisik

a. Tanda vital. Pada kasus ; febris, takikardia, takipnea, hipertensi.

b. Sistem kardiopulmoner. Pada kasus ; (-) ronki, (+) stridor, takikardi,

ireguler.

c. Status neurologis. Pada kasus ; disorientasi tempat dan waktu, pupil

melebar tapi masih ada refleks cahaya, serta GCS.

Page 17: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

d. Pemeriksaan khusus ; kepala, rongga mulut, faring dan laring. Pad

pemeriksaan rongga mulut, faring dan laring mungkin dapat

menunjukkan kemerahan mukosa yang jelas, daerah gundul atau

koagulum bahan kaustik. Pemeriksaan ini harus hati-hati untuk

menghindari muntah bahan penyebab kembali ke esophagus dan

faring yang tidak disengaja.

c. Pemeriksaan penunjang

a. CBC, elektrolit, ureum, kreatinin dan ABG à Membantu dalam

mendiagnosa terjadinya toksisitas sistemik, mengkoreksi

keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan

intracranial dan mendeteksi masalah ventilasi atau oksigenisasi.

b. Glukosa serum, kalau hipoglikemia berikan 50 ml D 50%.

c. EKG

d. Foto rontgen kepala dan thorax ; Menilai adanya fraktur dan mencari

tanda perforasi esofagogastrik, seperti udara bebas.

e. Analisis toksikologi ; Sampel yang dikirim adalah 50 ml urin,10 ml

serum,bahan muntahan dan feses.

f. CT scan kepala ; Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan

komplikasi jangka pendek.

g. Endoskopi

Untuk menentukan adanya dan seberapa luas luka bakar akibat larutan

yang tertelan pada esophagus

Endoskopi, indikasi endoskopi meliputi :

i. Anak kecil.

ii. Dewasa yang simtomatik

iii. Pasien dengan penurunan kesadaran dan status mental yang

abnormal.

iv. Pasien yang sengaja meminum zat kimia (usaha bunuh diri).

Page 18: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Namun oleh karena endoskopi dapat meningkatkan kerusakan

jaringan, maka endoskopi tidak boleh dilakukan pada :

a. Pasien yang dicurigai terdapat perforasi esfagus.

b. Perforasi gastrointestinal.

c. Edema jalan nafas yang signifikan à pada kasus ; tidak

boleh dilakukan endoskopi.

d. Status hemodinamik pasien yang tidak stabil.

h. Lumbal Pungsi ; untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS

harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma.

i. EEG ; dapat digunakan untuk mencari lesi pada otak.

Page 19: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

6. Diagnosis Kerja

A. Intoksikasi bahan kaustik/korosif

Definisi

Merupakan penyebab kerusakan kaustik dan korosif pada jaringan tubuh

oleh reaksi kimia. pH kimia diukur dari seberapa mudahnya zat kimia tersebut

menyumbang proton (zat asam) atau menerima proton (zat basa) di dalam air.

Tingkat nilai pH ini dihubungkan dengan daya rusak zat kimia terhadap jaringan

tubuh. Zat kimia dengan pH dibawah 2 dianggap sebagai asam kuat, sedengkan

zat kimia dengan pH diatas 12 dianggap basa kuat.

Tingkat keparahan kerusakan jaringan oleh zat kimia dipengaruhi oleh :

1. Lama kontak

2. Jumlah dan bentuk zat kimia (padat atau cair)

3. Jenis zat kimia yang terkait (konsentrasi, pH, kemampuan menembus

jaringan, dll).

Etiologi

Ingesti bahan kimia yang bersifat korosif, seperti asam kuat atau basa kuat.

Manifestasi Klinis

Tingkat keparahan akibat eksposur dengan asam/basa dinilai dari:

a. Durasi terpapar

b. Jumlah dan bentuk zat (cair atau padat)

c. Bentuk fisik dari substansi; konsentrasi pH, kemampuan mempenetrasi

jaringan, titralable reserve (jumlah jaringan untuk menetralisirkan agen)

Gejala-Gejala Keracunan

Gejala nonspesifik: Pusing, mual, muntah, gemetar, lemah badan,

pandangan berkunang-kunang, sukar tidur, nafsu makan berkurang, sukar

konsentrasi, dan sebagainya.

Gejala spesifik: Sesak nafas, muntah, sakit perut, diare, kejang-kejang, kram

perut, gangguan mental, kelumpuhan, gangguan penglihatan, air liur berlebihan,

nyeri otot, koma, pingsan, dan sebagainya.

Page 20: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Tanda dari obstruksi jalur napas (atas):  

o Stridor

o Suara parau

o Disfonia atau afonia

o Tanda distress pernapasan :takipnea dan hiperpnea

o Retraksi suprasternal

o Batuk

Tanda dari obstruksi jalur napas (bawah, apabila teraspirasi):

o Ronki

o Edema paru

o Distress pernapasan

Tanda dan gejala kerusakan lain:

o Takikardia

o Eritema perioral dan mukosa mulut

o Oropharyngeal burns à lesi orofaringeal, edema, perforasi

o Udara subkutan

o Peritonitis akut – apabila terjadi perforasi

o Hematemesis

Neurologis:

Perubahan status mental ex: penurunan kesadaran, gelisah, cemas, disorientasi

Patofisiologi

Zat kimia menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengubahan :

1. Status ionisasi kimia sel

2. Struktur kimia sel

3. Merusak ikatan kovalen kimia sel

Pada lingkungan cair, ion hydrogen (H+) dari zat asam merupakan penyebab

utama dari mekanisme perusakan sel jaringan, sedangkan pada zat basa, ion

hidroksid (OH-).

Acid ingestion (meminum zat asam) menyebabkan kerusakan jaringan

dengan nekrosis koagulasi, dimana terjadi denaturasi dari protein di lapisan

Page 21: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

superficial jaringan. Nekrosis ini kemudian akan membentuk koagulum yang

disebut eschar. Eschar ini bersifat protektif untuk lapisan dibawahnya.

Lapisan eschar akan terlepas dalam 3-4 hari setelah terminum zat kimia,

dan defect dari lepasnya eschar ini akan dipenuhi oleh sel-sel granulasi.

Kemudian perforasi akan terbentuk setelah 3 – 4 hari setelah lapisan eschar

terlepas.

Tidak seperti kasus terminum zat basa, gaster umumnya terkena pada

kasus terminum zat asam. Kerusakan usus halus terjadi pada 20% kasus. Dan

pada setiap kasus terminum zat asam, tidak diperbolehkan untuk mencetuskan

reflex muntah, karena dapat menyebabkan spasme pylorus dan antral.

B. Trauma Kapitis

Definisi

Ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi

cerebral sementara. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10%

kasus. Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal.

Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera

setempat.

Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika

energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.

Manifestasi Klinis

a. Cemas, gelisah

b. Penurunan kesadaran, GCS ↓

c. Tanda rangsangan simpatis: takikardi, takipneu, bradikardi

d. Tanda TIK ↑: pusing, sakit kepala, mual, muntah

e. Hematoma

Page 22: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.

Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system

GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement):

a. Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan

Commotio Cerebri

Skor GCS 13-15

Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10

menit

Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan

pada pemeriksaan neurologis.

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)

Skor GCS 9-12

Ada pingsan lebih dari 10 menit

Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota

gerak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

Skor GCS <8

Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih

berat

Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

Patofisiologi

Mekanisme cedera kepala:

Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala

yang diam. Contoh: akibat pukulan lemparan.

Deselerasi. Contoh: kepala membentur aspal.

Page 23: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan

integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada

tengkorak.

Patogenesis

Hematom Epidural pada region frontal

Pasien Gelisah

Pe↓ kesadaran

Mempengaruhi pusat kesadaran (formasio retikularis)

Iskemia otak

↓ aliran darah otak

↑ TIK (Dekompensasi)

↓ CSF & Vena (Kompensasi)

Makin luas

Akumulasi darah di rongga epidural daerah frontal

Laserasi/rupture ar.meningeal media

Benturan keras pada kepala

Retraksi Suprasternal

Penggunaan otot2 bantu napas

Stridor (+)

Pe↑ kecepatan dan turbulensi aliran udara yg

melewati

Tidak bisa bicara

Inflamasi pada orofaring dan laring (berhubungan dengan vocal

cord)

Kesulitan bernapas

Obstruksi sal. napas atas

Edema pada orofaring dan laring

Pe↑ permeabilitas kapiler

Vasodilatasi arteriolar pada orofaring dan laring

Pe↓ aliran darah mendadak pada mukosa orofaring & laring

Luka Bakar kimia pada organ dan saluran yg terkena

Ingesti (tertelan)

Cuka para

(Asam formiat)

menggetarkan struktur plica vocalis &

arytenoepiglottic folds

Page 24: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Penatalaksanaan

A. Intoksikasi Bahan Kaustik/Korosif

Perawatan di tempat kejadian

Langsung caritahu agen yang terminum/ teringesti, volume dan

jumlah teringesti

Jangan rangsang muntah

(KONTROVERSIAL) Jumlah sedikit diluen, secepatnya berikan air

atau susu untuk mencegah menempelnya (adhering) partikel terhadap

mukosa esofagus. > 30 menit setelah kejadian jangan lagi dilakukan.

Perawatan intensif di UGD :

Diprioritaskan – jalur napas dan tanda vital, monitoring jantung

segera dan akses intravena.

Kontrol jalur napas

o Karena resiko yang sangat cepat dari edema jalur napas,

evakuasi segera jalur napas dan kondisi kesadaran. Persiapkan

segera alat intubasi endotrakeal dan krikotirotomi. Intubasi

orotrakeal atau intubasi dengan bantuan optik fiber lebih baik

daripada nasotrakeal untuk mencegah perforasi jaringan lunak

o Sebisanya, hindari induksi paralisis saat intubasi karena resiko

dari distorsi anatomi akibat perdarahan dan nekrosis.

o Krikotirotomi atau percutaneous needle cricothyrotomy

penting dilakukan bila didapat tanda friabilitas ekstrem

jaringan atau edema yang signifikan.

o Beri O2 yang adekuat.

Sirkulasi ; Infus D 5%, kalau perlu koloid/transfusi.

Eliminasi :

KL, emesis dan katarsis merupakan kontra indikasi.

Segera suruh minum air/ air susu sebanyak mungkin.

Medikamentosa

Page 25: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Kortikosteroid iv selama 4-7 hari, kemudian dosis

diturunkan 10-20 hari.

Antibiotika, misal ; penisilin 1 juta unit I.V. setiap 6 jam,

harus diberikan dini untuk mengatasi flora mulut gram

positif.

PPI – proton pump inhibitor – mencegah terpajannya

esofagus yang terluka terhadap asam lambung, yang dapat

menyebabkan striktura esofagus

Pantoprazole – terapi untuk GER dan esofagitis erosif.

Analgesik parenteral, monitor tanda sedasi dan depresi dari

respirasi

Nutrisi

o Diet/ obat oral ditunda sampai dilakukan pemeriksaan

laringoskopi indirek /esofagoskopi.

o Bila lesi ringan; diet oral segera dengan makanan cair, steroid-

antibiotika dipercepat penghentiannya.

o Bila lesi luas; perlu sonde lambung atau penderita dipuasakan

dan diberi nutrisi parenteral total atau konsul bedah untuk

pemasangan sonde lewat gastrostomi.

Rujuk pasien jika penatalaksanaan kegawatan telah dilakukan atau

keadaan pasien sudah stabil. Rujuk ke spesialis digestif.

Follow up

Pasien yang tidak sengaja tertelan agen penyebab yang asimtomatik

dan tidak menunjukkan gejala apapun, boleh dipulangkan 2-4 jam

setelah observasi, tak ada kelainan anatomi, pasien harus bisa

meminum cairan tanpa kesulitan, tak ada gangguan berbicara

NPO (nothing per mouth)

Esofagram setelah 3-4 minggu

Page 26: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

B. Trauma Kapitis

Algoritma penatalaksanaan awal cedera otak sedang

a. Airway dan c-spine protection ; yakini bahwa jalan napas lancar dan

ventilasi adekuat. Jika diperlukan intubasi, gunakan jalur orotrakeal.

Leher harus terus diimobilisasi (dengan collar neck) sampai cedera leher

tersingkirkan secara klinis/radiologis.

b. Breathing ; oksigenisasi dan ventilasi adekuat à Pemberian O2 yang

adekuat.

c. Circulation ; hentikan perdarahan jika ada perdarahan aktif dengan

penekanan, kecuali bila PD bocor dapat dilihat dan diklem. Walaupun

demikian jangan klem PD wajah karena letaknya dekat saraf. Jika ada

muntah-muntah, berikan cairan RL 1500 cc.

d. Lakukan pemeriksaan neurologis.

a. Status kesadaran.

Definisi: penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintahGCS: 9-12Pemeriksaan awal

Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhanaCT scan kepala pada semua kasusDirawat untuk observasi

Setelah dirawat:Pemeriksaan neurologis periodic

Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan dipulangkan

Bila kondisi memburuk

Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protocol cedera kepala berat

Bila kondisi membaik

Pulang bila memungkinkanControl di poliklinik

Page 27: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

b. Pupil.

c. Gerakan mata.

d. Fungsi motorik wajah dan ekstremitas.

e. Refleks.

f. Perdarahan telinga dan hidung.

e. Periksa bagian-bagian lain di badan utuk mencari cedera yang

mengancam nyawa dan cegah hipotermi.

f. Monitor (adjunct), kalau keadaan pasien mulai stabil :

a. Tanda-tanda vital dan status neurologis à untuk mendeteksi

pemburukan dan menentukan terapi yang tepat.

b. Kateter ; monitoring cairan yang keluar.

c. Reevaluasi tiap 15 menit.

d. Segera lakukan foto rontgen (kepala & vertebra servikal) serta CT

scan kepala.

g. Medikamentosa

a. Kejang ; diazepam (valium) 10-15 mg I.V, 5 mg/menit, diikuti dg

fenitoin (Dilantin).

b. Keadaan yang cepat memburuk ; manitol 1-1,5 g/kg I.V, diberikan

untuk menurunka TIK.

c. Penggunaan steroid untuk menurunkan edema akibat trauma

masih kontroversial. Jika digunakan, beri Deksametason

(Decadron) 20 mg I.V di ikuti dengan 10 mg setiap 4 jam selama

24 jam.

d. Antimuntah ; metaklorforamid.

h. Rujuk pasien ke dokter bedah/syaraf untuk dilakukan tindakan

pembedahan (kraniektomi) atas indikasi.

– Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan (indikasi) untuk

merujuk pasien adalah kriteria fisiologis (tingkat kesadaran), pola

perlukaan kepala (luas luka), biomekanika trauma serta beberapa

hal berikut :

– Keadaan klinis :

Page 28: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

• Trauma kapitis

• GCS < 14 atau turun tajam

• tanda lateralisasi

i. Penatalaksanaan tergantung beratnya gejala

a. CKR :

• Perawatan selama 3-5 hari

• Mobilisasi bertahap

• Terapi simptomatik

• Observasi tanda vital

b. CKS :

• Perawatan selama 7-10 hari

• Anti cerebral edem

• Anti perdarahan

• Simptomatik

• Neurotropik

• Operasi jika ada komplikasi

c. CKB :

• Seperti pada CKS

• Antibiotik dosis tinggi

• Konsultasi bedah saraf

Penatalaksanaan pada Kasus

1. Prioritas : jalur nafas, tanda vital, monitor jantung dan akses iv.

2. Penatalaksanaan dilakukan secara simultan (bersamaan).

3. Airway : Bebaskan jalan nafas dari obstruksi dan lindungi vertebra

servikalisnnya.

- Trauma kapitis à Proteksi c-spine dg immobilisasi kepala

menggunakan collar neck sampai cedera leher tersingkirkan

secara klinis/radiologis.

Page 29: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

- Edema jalan nafas à intubasi endotrakeal melalui orotrakeal

(karena khawatir ada trauma servikal). Tapi, jika tidak

memungkinkan (edema laring signifikan) lakukan krikotirotomi.

4. Breathing : oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat.

- Pemberian O2.

5. Circulation :

- Akses iv (sudah terpasang sejak transportasi).

- Cek gula serum, kalau hipoglikemia, infus D5%.

- Namun penggunaan Dekstrose, harus hati-hati pada pasien yang

mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Jika ada gejala

peningkatan TIK, seperti ; mual muntah, nyeri kepala hebat, ganti

cairan dg RL 1500 cc.

- Jika ditempat yang terbentur ada perdarahan aktif, hentikan

dengan penekanan (perban).

6. Eliminasi/Dekontaminasi :

- Kontraindikasi : KL, emesis dan katarsis à agar esofagus tidak

terpapar lagi oleh bahan korosif.

- Minum air/air susu yang banyak.

7. Exposure :

- Periksa bagian tubuh lain untuk mencari cedera yang mengancam

nyawa dan cegah hipotermi. Cedera lain, misal ; luka bakar di

tubuh akibat percikan cuka para atau trauma di bagian tertentu

akibat terjatuh dari ketinggian 2 meter.

8. Monitor :

Page 30: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

- Tanda vital.

- Pemeriksaan neurologis.

i. Status kesadaran (GCS)

ii. Pupil.

iii. Gerakan mata.

iv. Fungsi motorik wajah dan ekstremitas.

v. Refleks.

vi. Perdarahan telinga dan hidung.

- Kateter urin.

9. Rujuk pasien jika tahapan di atas telah dilakukan/pasien dalam keadaan

stabil. Sebaiknya rujuk dilakukan secepat mungkin untuk melakukan

dekontaminasi intoksikasi dan menatalaksana trauma kapitisnya. Rujuk

ke spesialis digestif, bedah dan neurologis.

Prognosis

Dubia.

Tergantung dari derajat kerusakan jaringan, lama waktu terpajan dan sifat fisik dari agen

(termasuk pH, volume, dan konsentrasi; kemampuan penetrasi jaringan, dan titration

reserve (jumlah jaringan yang dibutuhkan untuk menetralisir agen).

Komplikasi

Edema jalan napas atau obstruksi

Striktur esofagus

Perforasi dari gastroesofagus  

Page 31: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Komplikasi sekundernya termasuk : mediastinitis, perikarditis, pleuritis,

pembentukan fistula trakeoesofagal, pembentukan fistula esofagal-aortic, dan

peritonitis

Perforasi dapat terjadi 4 hari setelah terpapar zat asam.

Obstruksi dari saluran gaster setelah 3-4 minggu terpajan

Hemorhagik pada regio gastrointestinal secara akut

Perdarahan dari traktus gastrointestinal

Resiko jangka panjang, squamous cell carcinoma, ca esofagus 1-4% kasus.

KDU

Kompetensi dokter umum untuk trauma kepala dan keracunan adalah 3B, yaitu mampu

membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan tambahan, dapat memutuskan dan

memberikan terapi awal, serta merujuk ke spesialis yang relevan pada kasus gawat

darurat.

Page 32: Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10

Daftar Pustaka

American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life

Support for Doctors.

Bresler, Michael Jay dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran Darurat.

Jakarta : EGC

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC.

Djoko, Widayat dan Djoko Widodo. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV. Jakarta: FKUI

Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat :

Binarupa Aksara