Sindrom Neuroleptik Maligna

31
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Laporan Kasus 18 April 2014 REFERAT : NEUROLEPTIK MALIGNANT SYNDROME LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA YTT (F20.9) DISUSUN OLEH : Abdul Rahim 1102090067 PEMBIMBING dr. Grace Catherine PEMBIMBING SUPERVISOR dr.Theodorus Singara, SpKJ (K) DISUSUN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI 1

description

jiwa

Transcript of Sindrom Neuroleptik Maligna

Page 1: Sindrom Neuroleptik Maligna

Bagian Psikiatri

Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

Laporan Kasus

18 April 2014

REFERAT : NEUROLEPTIK MALIGNANT SYNDROME

LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA YTT (F20.9)

DISUSUN OLEH :

Abdul Rahim

1102090067

PEMBIMBING

dr. Grace Catherine

PEMBIMBING SUPERVISOR

dr.Theodorus Singara, SpKJ (K)

DISUSUN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2014

1

Page 2: Sindrom Neuroleptik Maligna

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Abdul Rahim

Nim : 1102090067

Laporan Kasus : Skizofrenia YTT. (F20.9)

Referat : Neuroleptik Malignant Syndrome

Telah menyatakan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri

Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 18 April 2014

Pembimbing Supervisor Pembimbing

dr. Theodorus Singara, SpKJ (K) dr. Grace Catherine

2

Page 3: Sindrom Neuroleptik Maligna

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan

Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Neuroleptik

Malignant Syndrome”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi Kepanitraan Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia Makassar.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan

dalam penguasaan ilmu, sehingga referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan

demi penyempurnaan reparat ini. Akhirnya penulis berharap semoga refarat ini

memberikan manfaat bagi semua pembaca. Amin.

Makassar, 18 April 2014

Penulis

3

Page 4: Sindrom Neuroleptik Maligna

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................. v

DAFTAR ISI ................................................................................................. vi

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Definisi ........................................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi ............................................................................................... 3

2.3 Etiologi ....................................................................................................... 4

2.4 Faktor Resiko ............................................................................................... 4

2.5 Patofisiologi ................................................................................................. 5

2.6 Gambaran Klinis .......................................................................................... 6

2.7 Pemerikasaan Laboratoriun ......................................................................... 7

2.8 Diagnosis .................................................................................................... 7

2.9 Diagnosis Banding ....................................................................................... 9

2.10 Penatalaksanaan ........................................................................................ 11

2.11 Komplikasi .............................................................................................. 11

2.12 Prognosis ................................................................................................... 12

2.13 Pencegahan ................................................................................................ 12

BAB III. Kesimpulan

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14

LAMPIRAN ..................................................................................................... 15

4

Page 5: Sindrom Neuroleptik Maligna

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kesuliatn menilai realita atau

kenyataan (sense of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan

gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian

berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku

penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang

awam menyebut penderita sebagai orang gila. Efek samping obat anti-psikosis

sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan oabat ini kemungkinan

diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa sedasi dan Inhibisi

Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor

menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan otonomik (hipotensi,

antikolinergik/parasimpatolitik menyebabkan mulut kering, kesulitan miksi dan

defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi,

gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia,

sindrom parkinson seperti adanya tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan

Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik

(agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang, syndrome neuroleptik

maligna.(10)

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM

adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.

Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi

kardio pulmo dan ginjal.

Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan

antipsikotik, khususnya neuroleptik, dari data dikumpulkan 1966-1997 kejadian

SMN berkisar antara 0,2% - 3,2% dari pasien jiwa pada rawat inap yang

menerima antipsikotik, namun karena adanya kesadaran sebagai dokter terhadap

pengetehauan tentang SNM ini, kejadian telah menurun menjadi sekitar 0,01% -

0,02% dari 500-1000 pada pasien gangguan jiwa yang diobati dengan

antipsikotik (Caroff and Mann 1993; Lazarus et al. 1989). Pentingnya deteksi

awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM karena komplikasi dari

5

Page 6: Sindrom Neuroleptik Maligna

keadaan ini adalah kematian. Kematian telah menurun dari laporan awal pada

tahun 1960 dari 76% dan lebih baru-baru ini diperkirakan antara 10 dan 20%.

Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan

SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan

sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine),

promethazine (Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal).

Selain itu obat-obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat

menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan),

amoxapine (Ascendin), and lithium(4). Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang

cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian.(8)

Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.(6)

1.2. TUJUAN

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi,

etiologi, patofisiologi, diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai ” Neuroleptic

Maligna Syndrome ”.

Judul Refrat ini dipilih karena SNM masih berpotensi mengancam kehidupan

jiwa. Dibutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan

pada SNM. SNM lebih sering dianggap sindrom daripada benar-benar diagnosis,

dan ini menggarisbawahi keharusan untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan

manajemen reaksi obat secara serius.

6

Page 7: Sindrom Neuroleptik Maligna

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM

adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.

Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi

kardio pulmo dan ginjal.

DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)

mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan

gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,

perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan

darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang

berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya

dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia,

gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah

laku karena demensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma

ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah

sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak

dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,

berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.(7)

2.2. EPIDEMIOLOGI(1)

Pria lebih sering terkena daripada wanita, dan pada pasien orang dewasa lebih

sering terkena dari pada lansia. Angka kematian bisa mencapai 10% - 20%.

Prevalensi sindrom diperkirakan 0,02% - 2,4% pada pasien yang menggunakan

obat golongan Dopamin antagonis. Pada penelitian terdahulu didapatkan bahwa

laki-laki dewasa (Caroff 1980), anak-anak (Shields dan Bray 1976), dan remaja

(Geller dan Greydanus 1979) beresiko untuk SMN.

Insiden sindrom SNM berkisar 0,02% - 3% di antara pasien yang memakai

agen antipsikotik. Survei yang dilakukan, Sachdev et al. (1995) melaporkan

frekuensi 3 kasus SNM (0,24%) dari 1.250 pasien yang menerima clozapine, dan

Williams dan MacPherson (1997) memperkirakan kejadian dari SNM menjadi

7

Page 8: Sindrom Neuroleptik Maligna

(0,10%) pada 9.000 pasien yang diobati clozapine. Dalam pra-pemasaran

percobaan, produsen quetiapine melaporkan 2 kasus mungkin SNM (0,08%) pada

2.387 pasien (Physicians 'Desk Reference 2002). Angka-angka yang hampir sama

pada kejadian SNM diperkirakan terjadi antara populasi pasien dengan gangguan

jiwa. Perbedaan mungkin terjadi dalam populasi sampel, antara pasien rawat

inap dibandingkan rawat jalan, serta perbedaan dalam metode pengawasan dan

definisi penyakit digunakan.

2.3. ETIOLOGI (6)

1. Semua kelas anti psikotik berkaitan dengan SNM baik itu neuroleptik

potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi maupun antipsikotik atipikal. SNM

sering terjadi pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan

chlorpromazine.

2. Penggunaan obat antipsikotik dosis tinggi (terutama neuroleptic potensi

tinggi), antipsikotik aksi cepat dengan dosis tinggi dan penggunaan

antipsikotik injeksi long acting.

3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik

yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama

lithium, dan juga terapi kejang.

2.4. FAKTOR RESIKO(1,2,3,7)

Beberapa penelitian terkait faktor resiko NMS mengatakan bahwa usia dan

jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap peningkatan

resiko kondisi NMS. Namun dari hasil studi dilaporkan bahwa pria lebih umum

terjadi NMS dibanding wanita (Caroff dan Mann 1993; Deng et al 1990;. Keck et

al.1989; Tsutsumi et al. 1994). NMS tidak spesifik untuk setiap diagnosis

neuropsikiatri, meskipun pasien dengan katatonia mungkin beresiko berkembang

menjadi NMS setelah mendapat pengobatan antipsikotik.

Secara klinis, sistemik, dan faktor metabolik memiliki hubungan dengan

insiden NMS, termasuk agitasi, dehidrasi, kelelahan, kelainan yang terjadi

sebelumnya terhadap aktifitas dopamin di SSP atau fungsi reseptor, dan defisiensi

besi. Hampir semua kasus dari pasien NMS telah dilaporkan adanya kelelahan

dan dehidrasi sebelum terjadi NMS. Peningkatan suhu lingkungan diduga sebagai

8

Page 9: Sindrom Neuroleptik Maligna

faktor pencetus dalam beberapa temuan, meskipun NMS dapat terjadi tanpa

adanya perubahan kondisi lingkungan.

Variabel farmakologi dan pengobatan telah diuji sebagai faktor resiko

terjadinya NMS. Hampir semua dopamin atagonis dikaitkan dengan resiko NMS,

meskipun antipsikotik konvensional potensi tinggi berhubungan dengan resiko

yang lebih besar dibandingkan dengan agen potensi rendah dan antipsikotik

atipikal. Pemberian parenteral, tingkat titrasi yang tinggi, dan pemberian dosis

total obat juga berhubungan dengan peningkatan resiko NMS. Namun sebagian

besar kasus NMS terjadi pada dosis terapi agen tersebut. Meskipun pada

pertemuan kasus NMS DSM-IV-TR Research Criteria telah melaporkan dengan

clozapine, olanzapine, dan risperidone, monoterapi dengan quetiapine,

ziprasidone, atau aripiprazole tetap langka.

Faktor resiko dari SNM antara lain :

1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap

SNM adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan

malnutrisi.

2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa

SNM dapat terjadi pada kembar identik.

3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk

rekuren. Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu

antara episode SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien

diberikan anti psikotik dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan

rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya 30%.

4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan

lithium, riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan

neuroleptik tidak teratur.

5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis

neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.

2.5. PATOFISIOLOGI

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan

pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi

terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade

dopamin yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak

9

Page 10: Sindrom Neuroleptik Maligna

(hipothalamus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan

terjadinya gejala klinis SNM.(3,8)

Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat

menyebabkan ketidakstabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat

menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan

perubahan kesadaran. Perubahan status mental disebabkan karena blokade

reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal.(3,8)

2.6. GAMBARAN KLINIS

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang

tidak tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat

terjadi pada dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau

neuroleptikal atipikal), biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah

dimulainya pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang

dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis

(biasanya karena peningkatan dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat

menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat.(7)

Gejalanya yaitu:(1,2,8)

10

Page 11: Sindrom Neuroleptik Maligna

a. Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea,

takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil.

b. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu

tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan

dapat mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme,

inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat

kesadaran.

2.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM(2,4,7)

Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan

nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan :

1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/

L. Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom

Neuroleptik Maligna.

2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine

aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).

3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (10. 000 – 40.000

sel/mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat

meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun.

2.8. DIAGNOSIS(3,7)

Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu

kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan

rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan

otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.

Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis

banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis

SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus

disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas

otot, perubahan status mental dan ketidakstabilan otonom.

Tabel 33.2-2

Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna

11

Page 12: Sindrom Neuroleptik Maligna

Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain

yang berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan

tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau

tekanan darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang

berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik.

A. Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur yang

berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik

B. Dua (atau lebih) berikut:

1) Diaforesis

2) Disfagia

3) Tremor

4) Inkontinensia

5) Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma

6) Mutisme

7) Takikardia

8) Peningkatan atau takenan darah labil

9) Lekositosis

10) Tanda-tanda laboratorium kerusakan otot (misalnya, peninggian CPK)

C. Gejala dalam kriteria A dan B bukan karna zat lain (misalnya,

phenicyclidine) atau suatu kondisi neurologis atau medis umum lain

(misalnya, ensefalitis virus).

D. Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu

gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik)

Tabel dari DSM-IV, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders, ed.4 Hak

cipta American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan izin.

Tabel 33.2-2

Kriteria Levenson’s untuk diagnosis NMS*

Kriteria Major

Demam

Rigiditas

Peningkatan Ckreatin Kinase (CK)

Kriteria Minor

12

Page 13: Sindrom Neuroleptik Maligna

Takikardi

Tekanan darah abnormal

Kesadaran Berubah

Diaphoresis

Lekositosis

* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan

untuk diagnosis

2.9. DIAGNOSIS BANDING(2)

1. Syndrome Serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan

menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan

tidak adanya rigiditas berat.

2. Malignant Hypertermia

Sebuah gangguan genetik langka, Hipertermia ganas (MH) adalah

gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk dominan dan resesif

autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah terpapar,

terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti

suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku

otot, dan ada kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut

juga dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar

kelainan membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki

gangguan miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati

kongenital. Selain itu adanya riwayat keluarga terkait HM pada saat

anestesi dan mungkin kematian.

3. Malignant Katatonia

Diferensial diagnosis SNM yang sering adalah keganasan katatonia.

Gejala klinis hipertermia dan kekakuan ada dalam sindrom ini, biasanya

ada gejala prodromal dari perilaku dalam beberapa minggu yang ditandai

dengan psikosis, agitasi, dan kegembiraan katatonik. Gejala motorik juga

ditandai dengan fenomena yang lebih positif (sikap dystonia, fleksibilitas

lilin, dan gerakan berulang stereotip) yang juga ada dijelaskan dalam

SNM. Nilai laboratorium biasanya normal. Kedua gangguan ini bisa sulit

untuk dibedakan secara klinis.

13

Page 14: Sindrom Neuroleptik Maligna

4. Sindrom Obat lain yang berhubungan

Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi

(3,4-methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan

dengan SNM. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf

pusat, agen ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi,

dan euforia, namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai

psikomotor agitasi, delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan

rhabdomyolysis dapat terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan

aktivitas fisik dan suhu lingkungan. Kekakuan tidak umum dalam kasus

ini. Penggunaan MDMA juga dapat menyebabkan sindrom serotonin.

Sindrom ini dibahas secara rinci dan terpisah.

5. Gangguan yang tidak berhubungan

Alternatif neurologis dan gangguan medis harus dipertimbangkan.

Gejala klinis gangguan ini dapat tumpang tindih dengan SNM, khususnya

pada pasien yang memiliki efek samping ekstrapiramidal dengan

penggunaan antipsikotik secara bersamaan. Diagnosa ini memiliki

prognosis yang serius dan implikasi dalam pengobatan dan tidak boleh

diabaikan:

Infeksi sistem saraf pusat (misalnya, meningitis, ensefalitis)

Infeksi sistemik (misalnya, pneumonia, sepsis)

Kejang

Hidrosefalus akut

Cedera tulang belakang akut

Panas stroke (antipsikotik predisposisi panas stroke termoregulasi )

Akut distonia

Tetanus

Central sistem saraf vaskulitis

Tirotoksikosis

Pheochromocytoma

Intoksikasi obat, toksisitas (misalnya, phencyclidine, ekstasi, kokain,

amfetamin, lithium)

Porfiria akut

14

Page 15: Sindrom Neuroleptik Maligna

2.10. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Suportif(3)

Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti

psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda

dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan

depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan.

Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan

memelihara fungsi organ yaitu:

1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.

2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,

hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.

4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,

analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.

2. Terapi Farmakologi(3)

Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti

bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom

Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene

dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas.

Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata

meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-

obat tersebut.

Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa

kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam

penanganan Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi

menjadi 2 – 3 hari.

2.11. KOMPLIKASI

Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang

paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus

menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal,

15

Page 16: Sindrom Neuroleptik Maligna

pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi,

sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark miocardial.(7)

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik

yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik

karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps

tinggi jika anti pskotik di hentikan.(1)

2.12. PROGNOSIS(1)

Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis otot

yang berat bisa menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom

Neuroleptik Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi

berhubungan dengan jeda waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan

dimulainya kembali pengobatan antipsikotik.

2.13. PENCEGAHAN(8)

Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom

ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek

samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk

mengeliminasi efek samping ekstrapiramidal, terutama rigiditas otot dapat

mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan

komplikasinya.

16

Page 17: Sindrom Neuroleptik Maligna

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik

seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor

resiko dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien

dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak

organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT,

penggunaan neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi,

neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan

neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam,

diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala

ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan

diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti

psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis

dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati

Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi

yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus

menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian

besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

17

Page 18: Sindrom Neuroleptik Maligna

DAFTAR PUSTAKA

1. Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D,

Athur Lazarus, M.D., M.B.A. Neuroleptic Malignant Syndrome and Related

Conditions. 2ndedition

2. Eelco FM Wijdicks, M.D, Michael JA, M.D,DSc Janet L Wilterdink, M.D.

Neuroleptic Malignat Syndrome. 2013. Tersedia dari:

http://www.update.com/content/neuroleptic. (diakses jam 05.49, 09 April

2014).

3. Jeffrey R. Strawn, M.D, Paul E. Keck, Jr., M.D, Stanley N. Caroff, M.D.

Neuroleptic Malignant Syndrome. Am J Psychiatry. 2007.

4. Surjeet Sahoo, M.D, Prasant Kumar Mohapatra, M.D, L.D Parhi, M.D D.M

Neuroleptic Malignant Syndrome With Intake of Paliperidone-A Rare Report.

The Odisha Journal of Psychiatry 2011

5. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant

Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55

6. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 04.35, 10 April 2014)

7. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the

Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and

Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-

45

8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,

http://www.turner-white.com (diakses jam 14.30, 10 April 2014).

9. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.

10. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga

University. Page 180

11. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik .

Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

18