sindrom nefrotik

40
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif ≥ 3.5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia, hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal. Ada banyak penyebab spesifik dari sindrom nefrotik. Ini termasuk penyakit ginjal seperti lesi minimal nefropati, glomerulosklerosis fokal, dan nefropati membranosa. Sindrom nefrotik juga dapat hasil dari penyakit sistemik yang mempengaruhi organ-organ lain selain ginjal, seperti diabetes, amiloidosis, dan lupus erythematosus. (medscape) Penyakit ini terjadi tiba - tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA PERIODE 15 SEPTEMBER – 22 NOVEMBER 2014 Page 1

description

SINDROM NEFROTIK

Transcript of sindrom nefrotik

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif 3.5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA)Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia, hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal.Ada banyak penyebab spesifik dari sindrom nefrotik. Ini termasuk penyakit ginjal seperti lesi minimal nefropati, glomerulosklerosis fokal, dan nefropati membranosa. Sindrom nefrotik juga dapat hasil dari penyakit sistemik yang mempengaruhi organ-organ lain selain ginjal, seperti diabetes, amiloidosis, dan lupus erythematosus. (medscape)Penyakit ini terjadi tiba - tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Pada dewasa yang jelas terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (Mansjoer A,,dkk.,2001 )

BAB IISINDROMA NEFROTIK

II.1.DEFINISI Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.6Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.

II.2.EPIDEMIOLOGIPada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.Karena diabetes adalah penyebab utama sindrom nefrotik, Indian Amerika, Hispanik, dan Afrika-Amerika memiliki insiden yang lebih tinggi dari sindrom nefrotik dibandingkan orang kulit putih. Nefropati HIV merupakan komplikasi infeksi HIV yang tidak biasa pada kulit putih, hal ini terlihat dengan frekuensi yang lebih besar di Afrika Amerika. glomerulosklerosis fokal tampaknya menduduki pada anak-anak Afrika-Amerika, dibandingkan dengan anak-anak kulit putih, sebagai penyebab sindrom nefrotik. Ada dominasi laki-laki dalam terjadinya sindrom nefrotik, karena ada penyakit ginjal kronis pada umumnya. laki-laki juga terlihat pada paraneoplastic nefropati membranosa. Namun, lupus nephritis mempengaruhi sebagian besar perempuan. Pada penelitian di jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri dari anak-anak dengan kelainan glomerulus lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena, obat-obatan, alergen dan toksin, dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.

II.3.ETIOLOGIa. Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui penyebabnya).1) Glomerulonefritis membranosaJarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir semua pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran penebalan dinding kapiler, pada mikroskop elektron terlihat kelainan membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50%.

2) Glomerulonefritis Kelainan MinimalMerupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%. Dengan mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan ada mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang membengkak dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada hipertensi.Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan50% pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) (Braunwald E., 2008).Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh.

3) Glomerulonefritis membranoproliferatifBiasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang rendah.

4) Glomerulosklerosis fokal SegmentalPada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.

b. Glomerulonefritis sekunder akibat:1) Infeksi i. HIV, hepatitis virus B dan Cii. Sifilis, malaria, skistosomaiii. Tuberkulosis, lepra2) Keganasan Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal 3) Penyakit jaringan penghubungLupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective tissue disease)4) Efek Obat dan Toksin Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin, kaptopril, heroin5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering (Prodjosudjadi W, 2006). Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN (Himawan S., 1979).Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama diabetes, amiloidosis, dan thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat secara sekunder atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain (Wilson L.M.,1995).

II.4.PATOFISIOLOGI Proteinuria Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.

Selektivitas protein Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria. Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

Hipoalbuminemia Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Kelainan metabolisme lipid Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya polarisal.

Edema Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan terbentuknya edema. Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik hidropatik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema

Terbentuknya edema menurut teori underfilled

Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia.

Kelainan glomerulus

Albuminuria Hipoalbuminemia Retensi Na renal primer

Volume plasma

Edema

Terjadinya edema menurut teori overfilled

Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer denan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama. Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal. Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium. Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti.

II.5.MANISFESTASI KLINIS Gejala utama yang ditemukan adalah:1. Proteinuri >3.5 g/ hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anak-anak.2. Hipoalbuminemia < 30 g/ l3. Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan edema muka, ascites dan efusi pleura.4. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas ditemukan. Ada yang berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta hipoalbuminemia sudah cukup untuk menengakkan diagnosis SN (Himawan S., 1979).a. ProteinuriaNefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik proteinuria (Orth S.R. & Berhard E., 1998)Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri ditentukan oleh keutuhan struktur MBG (Prodjosudjadi W., 2006).b. Hipoalbuminemia Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal (Prodjosudjadi W., 2006).

c. EdemaEdema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan Mekanisme underfill dapat dilihat pada gambar 4 dan Overfill pada gambar 5.

proteinuriaTekanan osmotik plasmaEDEMARetensi NaVolume plasmaSistem RAAhipoalbuminemiaADHRetensiANP N/Retensi air

Gambar 4: Skema mekanisme underfill

Defek tubulus primerRetensi NaVolume plasmaaldosteronTubulus resisten terhadap ANPANP ADH/NEDEMA

Gambar 5: Skema mekanisme Overfill

II.6. DIAGNOSAA. Diagnosaa. Anamnesis: Bengkak seluruh tubuh & buang air kecil warna keruhb. Pemeriksaan fisik: edema anasarka & asitesc. Laboratorium: proteinuri masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia, (20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Gambaran laboratorium Darah : - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl) - Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%) - Kalsium menurun - Ureum Normal - Hb menurun, LED meningkat Urin: - Volumenya : normal sampai kurang - Berat jenis : normal sampai meningkat - Proteinuria masif (>29gr / 24 jam) - Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal - Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

Pemeriksaan urin yang didapatkan Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%). Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari. Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam. Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada. Berat jenis urin meningkat. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III). Terdapat leukosit

Pemeriksaan darah yang didapatkan Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik. Hiperkolesterolemia

Studi pencitraanUltrasonografi GinjalUltrasonografi Ginjal dapat membantu untuk membedakan antara MCNS dan penyakit ginjal kronis lainnya, tapi temuan biasanya tidak spesifik.Dalam semua kasus sindrom nefrotik, ginjal biasanya membesar akibat edema jaringan. Peningkatan gambaran Echogenicity biasanya menunjukkan penyakit ginjal kronis selain MCNS, di mana echogenicity biasanya normal.Temuan ginjal kecil mengindikasikan penyakit ginjal kronis selain MCNS dan biasanya disertai dengan peningkatan kadar kreatinin serum.Rontgen ThoraxRontgen thorax dilakukan dengan indikasikan pada anak dengan gejala pernapasan.Efusi pleura adalah hal yang paling umum terjadi, lalu diikuti dengan edema paru walaupun hal ini jarang ditemukan.Rontgen thorax juga harus dipertimbangkan sebelum terapi steroid diberikan untuk menyingkirkan infeksi TB , terutama pada anak dengan uji Mantoux positif atau sebelumnya positif atau pengobatan sebelumnya untuk TB.Uji MantouxMantoux (Pure protein derivative [PPD]) harus dilakukan sebelum pengobatan steroid untuk menyingkirkan infeksi TB.Pemeriksaan Mantoux dapat dilakukan secara bersamaan dengan pengobatan steroid, pengobatan dengan steroid selama 48 jam sebelum membaca hasil pemeriksaan PPD tidak menutupi hasil yang positif (jika tes hasilnya positif, steroid harus segera dihentikan).Pada anak-anak dengan PPD positif, PPD sebelumnya positif, atau sebelum pengobatan untuk TB, rontgen thorax harus dilakukan. Biopsi GinjalBiopsi ginjal tidak diindikasikan untuk pasien yang mengidap Sindrom nefrotik pada anak 1-8 tahun kecuali hasil Anamnesis, temuan fisik, atau laboratorium menunjukkan kemungkinan sindrom nefrotik sekunder atau sindrom nefrotik primer selain MCNS.Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien berusia kurang dari 1 tahun bila bentuk genetik dari sindrom nefrotik kongenital lebih umum, dan pada pasien yang lebih tua dari 8 tahun, ketika penyakit glomerular kronis seperti FSGS memiliki insiden yang lebih tinggi untuk terjadi.Pada pasien yang usianya lebih tua dari 8 tahun, pengobatan steroid empiris dapat dipertimbangkan sebelum biopsi ginjal, tetapi ini harus dirawat di bawah perawatan nephrologis pediatrik berpengalaman dengan sindrom nefrotik. Beberapa penulis telah merekomendasikan melakukan biopsi ginjal pada pasien yang lebih tua dari 12 tahun. Biopsi ginjal juga harus dilakukan ketika anamnesis, pemeriksaan fisik , atau hasil laboratorium menunjukkan adanya temuan sindrom nefrotik sekunder atau penyakit ginjal selain MCNS. Dengan demikian, biopsi ginjal diindikasikan jika pasien memiliki salah satu dari berikut: Gejala penyakit sistemik (misalnya, demam, ruam, nyeri sendi) Indikasi laboratorium sindrom nefrotik sekunder (Antinuclear antibodi (ANA), anti-double stranded DNA antibody) Peningkatan responsif tingkat kreatinin terhadap koreksi deplesi volume intravaskular Sebuah sejarah yang relevan keluarga penyakit ginjal

Langkah DiagnostikLangkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk menetapkan apakah ini merupakan sindrom nefrotik atau bukan sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti dari protein kehilangan enteropati), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (misalnya, dalam angioedema, kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal jantung kongestif).Untuk menetapkan adanya sindrom nefrotik, tes laboratorium harus mengkonfirmasi (1) nefrotik-range proteinuria, (2) hipoalbuminemia, dan (3) hiperlipidemia.Oleh karena itu, pengujian laboratorium awal harus mencakup sebagai berikut: Urinalisis Protein urin kuantifikasi (dengan terlebih dahulu pagi-protein urin / kreatinin atau 24-jam protein urin) Serum albumin Lipid panel

Setelah ditegakan adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya adalah menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau sekunder yang diakibatkan oleh adanya gangguan penyakit sistemik sistemik dan, jika idiopatik nefrotik sindrom (INS) telah ditentukan, apakah tanda-tanda penyakit ginjal kronis, ginjal insufisiensi, atau tanda-tanda mengecualikan kemungkinan MCNS.Oleh karena itu, selain tes di atas, berikut ini harus disertakan dalam hasil pemeriksaan: Tes darah lengkap (CBC) Metabolik panel (elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi) Tes HIV, hepatitis B dan C Pelengkap studi (C3, C4) Antinuclear antibodi (ANA), anti-double stranded DNA antibody (pada pasien dipilih)Pasien dengan INS kehilangan vitamin D-binding protein, yang dapat mengakibatkan tingkat vitamin D rendah, dan globulin mengikat tiroid, yang dapat menyebabkan kadar hormon tiroid rendah.Pertimbangan harus diberikan, terutama pada anak dengan sering kambuh atau steroid tahan sindrom nefrotik, untuk pengujian untuk 25-OH-vitamin D; 1,25-di (OH)-vitamin D; T4 bebas, dan thyroid-stimulating hormone ( TSH).Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom nefrotik.Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik lebih muda dari usia 1 tahun harus dievaluasi untuk kongenital / infantile sindrom nefrotik.Selain tes di atas, bayi harus memiliki tes berikut: Kongenital infeksi (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus, HIV) Biopsi ginjal (lihat Prosedur) Genetik tes untukNPHS1,, NPHS2 WT1,danLAMB2mutasi sebagai dipandu oleh temuan biopsi dan presentasi klinis Tidak ada perawatan bedah rutin diindikasikan untuk kondisi ini.

Diferensial Diagnosis Glomerulonefritis akut Poststreptococcal Kegagalan ginjal akut Angioedema Denys-Drash Syndrome Henoch Schonlein Purpura- HIV-Associated nefropati Minimal-Perubahan Penyakit Nail-patella Syndrome Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Toksoplasmosis

Indikasi untuk Perawatan di Rumah SakitIndikasi medis Kemungkinan untuk masuk meliputi: Anasarca, terutama ketika resisten terhadap terapi rawat jalan dan / atau disertai dengan kompromi masalah pernapasan, asites masif atau edema skrotum / perineum atau penis Signifikan hipertensi Anuria atau oligouria parah Peritonitis, sepsis, atau infeksi yang parah Signifikan infeksi pernapasan Signifikan azotemia

II.7.KOMPLIKASI Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergangung faktor-faktor sebagai berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin penderita. 1.Infeksi Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.

2.Tromboemboli dan gangguan koagulasi pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini disebabkan oleh faktor-faktor : perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand. perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemiaperubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipidPeran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi trombost. Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen akan meningkat.

3.Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri Renalis. Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia dan penurunan sel-sel imunitas. Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid. Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis lebih besar terhadap kortikosteroid. Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif di masa mendatang.

4.Gagal Ginjal Akut (GGA)Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

II.8.PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Secara Suportif, Diitetik dan Medikamentosa Suportif:Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari

Medikamentosa: Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala. Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang. Maintenance setelah 2 minggu penggunaan kortikosteroid dosis tinggi, hingga 12 minggu pengobatan. Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome. 1.Kortikosteroid Prednisone merupakan imunosupresan yang digunakan dalam pengobatan gangguan autoimun. Agen ini dapat menurunkan peradangan dengan membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler dan menekan polymorphonuclear neutrofil (PMN) aktivitas. Ini dapat diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari atau sebagai dosis terbagi; studi menunjukkan bahwa dosis tunggal sama efektif dan sangat meningkatkan kepatuhan.

2.ImmunomodulatorSiklofosfamid Siklofosfamid adalah polipeptida siklik yang menekan beberapa aktivitas humoral. Secara kimiawi terkait dengan nitrogen. Dalam hati, zat ini dibiotransformasi oleh sitokrom P-450 untuk metabolit aktif, 4-hydroxycyclophosphamide, dimana alkilat adalah situs target dalam sel yang rentan dalam semua jenis reaksi. Sebagai agen alkylating, mekanisme kerja dari metabolit aktif mungkin melibatkan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik. Mekanisme kerja dari siklofosfamid pada penyakit autoimun diduga melibatkan imunosupresi akibat rusaknya sel-sel kekebalan tubuh melalui ikatan silang DNA. Pada dosis tinggi, siklofosfamid mempengaruhi sel-sel B dengan menghambat ekspansi klonal dan penekanan produksi imunoglobulin. Dengan terapi dosis rendah jangka panjang, hal itu mempengaruhi fungsi sel T. Siklofosfamid telah berhasil digunakan dalam kondisi yang memerlukan imunosupresi. Hal ini sangat efektif untuk remisi sindrom nefrotik steroid-sensitif; setengah dari anak-anak memasuki remisi berkepanjangan. Para peneliti telah merumuskan berbagai protokol untuk lesi patologis ginjal yang berbeda.

3.Diuretik Obat ini digunakan untuk pengobatan gejala edema. a. Furosemide (Lasix) Furosemide meningkatkan output urin dengan menghambat transpor natrium dalam lingkaran menaik Henle dan tubulus ginjal distal. Dosis harus individual kepada pasien. Tergantung pada respon, dengan dosis 20-40 mg, tidak lebih cepat dari 6-8 jam setelah dosis sebelumnya, sampai diuresis diinginkan terjadi.

b. Spironolactone (aldactone) Spironolactone digunakan untuk edema akibat ekskresi aldosteron berlebihan. Bersaing dengan aldosteron untuk situs reseptor di tubulus ginjal distal, sehingga meningkatkan ekskresi natrium.

4. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor ACE Inhibitor memblokir konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dan mencegah sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Agen-agen ini ditunjukkan dalam alkalosis metabolik akibat hiperaldosteronisme. a. Captopril Captopril mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, sehingga sekresi aldosteron rendah. b.Enalapril (Vasotec) Sebuah inhibitor kompetitif ACE, enalapril mengurangi angiotensin tingkat II, penurunan sekresi aldosteron. c.Lisinopril (Prinivil, Zestril) Agen ini menghambat ACE, enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II.

5. Angiotensin II antagonis reseptor ARB menentang aksi angiotensin II pada reseptor tipe 1, menurunkan tekanan darah arteri sistemik dan menumpulkan efek intrarenal angiotensin II. Jika inhibitor ACE menyebabkan batuk, ARB bisa diganti. a.Valsartan (Diovan) Valsartan adalah prodrug yang langsung meng-antagonis angiotensin II reseptor. Ini menggantikan angiotensin II dari reseptor AT1 dan dapat menurunkan tekanan darah dengan memicu vasokonstriksi antagonis AT1, pelepasan aldosteron, pelepasan katekolamin, vasopressin merangsang arginin, asupan air, dan respon hipertrofik. Valsartan dapat menyebabkan penghambatan yang lebih lengkap tentang renin-angiotensin system daripada inhibitor ACE. Ini tidak mempengaruhi bradikinin dan kurang mungkin terkait dengan batuk dan angioedema. Valsartan adalah untuk digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi inhibitor ACE. b. Losartan (Cozaar) ARB ini blok vasokonstriktor dan efek aldosteron mensekresi angiotensin II. Ini dapat menyebabkan penghambatan yang lebih lengkap dari sistem renin-angiotensin daripada inhibitor ACE, tidak mempengaruhi respon terhadap bradikinin, dan kurang mungkin terkait dengan batuk dan angioedema. Hal ini digunakan pada pasien tidak dapat mentoleransi inhibitor ACE.

II.9.PROGNOSIS Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia).

BAB IIIKESIMPULAN

Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit ginjal yang terbanyak. Umumnya menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai prognosis baik. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja sama antara penderita dan dokter yang mengobatinya. Karena banyak komplikasi yang dapat timbul dari keadaan ini, misalnya penurunan massa otot karena gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulasi, osteoporosis, infeksi karena defek faktor - faktor imunologi, dan gangguan ginjal yang dapat berakhir menjadi penyakit ginjal Tahap akhir (PGTA) maka penatalaksanaan secara dini akan sangat berguna untuk mencegah gagal ginjal. Penatalaksanaannya meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan edema, diuretik ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah, antibiotik profilaksis, obat anti koagulasi (asetosal), nutrisi tinggi kalori dan rendah garam.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA PERIODE 15 SEPTEMBER 22 NOVEMBER 2014 Page 1